Anda di halaman 1dari 5

Biografi Syekh Nuruddin Ar-Raniri

Pada abad-17, pada masa Sultan Iskandar Tsani kala itu muncul kontradiksi
mengenai pemikiran sufi wahdatul wujud keyakinan tentang paham tuhan,
alam, manusia, dan wujudiyyah. Kotradiksi ini muncul setelah perbedaan
pemahaman yang diyakini oleh Hamzah Fansuri. Sehingga muncul perdebatan
dikalangan masyarakat muslim, disamping itu paham aliran baru Ar-Raniry
terus berkembang dan menyebar.

Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn
Muhammad Ar-Raniry. Disebut Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah
Ranir (Rander ) yang terletak dekat Gujarat (India ) sebuah kota di Pantai
Gujarat sekitar pertengahan kedua abad XVI M.Diperkirakan bahwa,
kedatangan Ar-Raniry di Aceh tidak mendapat sambutan dari Sultan Iskandar
Muda ( 1636).

Hal ini dikarenakan ia membawa ajaran baru yang menentang paham


wujudiyyah.Pada waktu itu ia tidak bisa berkarya, karena sultan sangat
fanatik dengan ajaran wujudiyyah yang dianutnya. Pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, ulama yang sangat berpengaruh yaitu Syeikh
Samsudin Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah Sultan yang
bertindak sebagai penasehat dan Mufti kerajaan.

Memandang kondisi ini membuat Ar-Raniry tidak bisa berbuat apa-apa dan
tergerak untuk melanjutkan perjalanannya ke pahang dan tinggal beberapa
tahun , pada masa itu pemerintahan Sultan Ahmad. Iskandar Tsani (putra
dari Sultan Ahmad) yang tidak lain merupakan menantu dari Sultan Iskandar
Muda sendiri menggantikan tahta Iskandar Muda yang saat itu menjadi
Sultan Aceh.

Syekh Samsudin Sumatrani tutup usia kemudian disusul oleh Sultan


Iskandar Muda hanya selang enam tahun. Sejak itu Ar-Raniri kembali ke
Aceh, dan menetap disana (1637-1644) demi mendapat perlindungan dari
sultan, suasana politik dan agama Aceh sudah berubah.

Pada masa inilah Nuruddin Ar-Raniry bisa berkiprah di Aceh karena selain
dipercaya oleh Sultan, ia mendapat fasilitas seperti tempat tinggal di istana,
tak hanya itu mendapat kedudukan yang istimewa ia dinobatkan sebagai
mufti (Syeikh al-Islam ) dan pengganti dari Syeikh Samsudin Sumatrani, dan
dari usahanya selama di istana ia menghasilkan banyak tulisan.
Ia hidup di Aceh selama 7 tahun sebagai alim, mufti, dan penulis produktif
menentang doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Sumatrani. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dikenal sebagai
seorang syeikh dalam Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w.
578H/ 1181 M).

Ia berguru pada beberapa ulama’ terkemuka seperti Sayyid Umar Abu Hafsah
Abdullah Basyelban seorang khalifah thariqah di India dan Sayyid Abdul
Rahman Tajuddin yang mengajari beliau Tariqah Rifa’iyah.

Ia ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat Rifai’yah, karena


rasa tanggung jawab yang sudah ada dan melekat pada dirinya iapun diutus
untuk menyebarkannya di wilayah melayu-indonesia.Melakukan perjalanan
keilmuan ke berbagai wilayah seperti Tarim Hadramaut, Makkah, Aceh, dan
lain-lain.

Tak hanya tarekat Rifai’yah yang mempunyai keterkaitan dengan dirinya ,


namun Dia juga mempunyai silsilah inisiasi dari Tarekat Aydarusiyah dan
tarekat Qadiriyyah.
Nuruddin Ar-Raniry, tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai perintis anti
paham wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani.

Otaknya yang yang sangat cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan


paham Wujudiyyah yang sedang berkembang saat itu.Selain sebagai sufi, ia
memiliki banyak keahlian seperti ahli teolog, ahli fikih, ahli ahli hadits,
sejahrawan, ahli perbandingan agama, dan politisi.

Menurut paham Ar-Raniry, wujudiyyah adalah suatu paham yang


menyesatkan. Ia mengeluarkan pendapat sebagai jawaban atas pertanyaan
dari berbagai persoalan ditengah umat untuk memberantas orang yang
dianggap menyeleweng, membunuh orang yang menolak bertobat dari
kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran menyimpang.

Pada tahun 1054/1644 ia meninggalkan Aceh karena mendapatkan serangan


balik dari lawan debatnya yang tajam dari murid Syamsuddin yang dituduh
menganut paham panteisme (pandangan bahwa Tuhan setara alam atau alam
fisik).
Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang sosok sufi yang tidak toleran dan
berpegang teguh pada peraturan dan ajaran resmi dalam agama, yang tidak
menghargai karya dan gagasan orang lain. Namun ia memiliki sisi positif yakni
berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syari’at
dan tasawuf.

Karya-karya beliau yang terkenal

Dalam penyelidikannya yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia lebih


mendukung pendapat Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang
cerdas, yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati dengan pengetahuan
yang dapat dipercaya yang berhasil meluruskan ajaran-ajaran sesat tokoh
Wujudiyyah.
Bukti kecerdasan dan pengetahuan yang luas dalam ilmu keagamaan
dibuktikan dengan menuangkan karya-karyanya yang masih ada hingga saat
ini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf, fikih ushul dan fikih praktis
serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang menjadi rujukan
sumber utama dalam memahami sejarah Aceh, tauhid, bidang politik, hadist,
sejarah serta dalam perkembangan bahasa Melayu.

Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain
sebagai berikut :
1. Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang
membahas ilmu tasawuf.
2. Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai
kesesatan ajaran Wujudiyyah.
3. Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam
Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang
membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan
manusia dengan Tuhan.
4. Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa
Melayu yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
5. Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati),
sebuah kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam
hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan
perbedaan syariat dengan hakikat.
6. Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin
7. Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831
Hadits dalam bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635
M). dua kitab ini (No.2 dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan
dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani.
8. Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
9. Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.
10. Kaifiyat al-Salat.

Karya- karya beliau yang terkenal

Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang sudah
ditemukan hingga kini, yaitu: ash-Shirath al-Mustaqim; Durrah al-Faraidh fi
Syarh al-‘Aqaid; Hidayah al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib fi al-Hadis; Bustan
as-Salathin fi Zikir al- Awwalin wa al-Akhirin; Nubzah fi Da’wah az-Zil; Latha’if
al-Asrar; Asrar al-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh wa al-Bayan.

At-Thibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-


Qiyamah; Hill az-Zil; Ma al-Hayah li Ahl al-Mayyit; Jawahir al- Ulum fi Kasyf al-
Ma’lum; Ainaal-Alam Qabl an Yukhlaq; Syifa’al-Qulub an at-Tasawwuf; Hujjah
ash-Shiddiq fi Daf’I az-Zindiq; al-Fath al-Mubin a’la al-Mulhidin; Al-Lam’an fi
Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an; Shawarim ash-Shiddiq fi Qath’i az-Zhindiq.

Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq ash-Shufiyyah, ba’du Khalq as-Samawat wa


al-Ardh; Hidayah al-Imam bi Fadhl al-Mannan; Ilaqah Allah al-Alam; Aqaid ash-
Shufiyyah al- Muwahhidin; Kayfiyyah ash-Shalah; al-Fath al-Wadud fi Bayan
Wahdah al-Wujud; Ya Jawwad Jud; Audah as-Sabil Laysa li Abathil al-Muhidin
Ta’wil; Syazarat al-Murid; Umdah al-I’tiqad.
Diantara karya-karya beliau adalah Al-Shirath al-mustaqim, Bustan al-Salathin
fi Dzikir al-Awwalin wa al-Akhirin, Asrar al-Insan fi Ma’rifati al-Ruh wa al-
Akhirin, Aqaid al-Shulfiyyat al-Muwahhidin, Latha’if al-Asrar, Jawahir al-Ulum fi
kasyf al-Ma’lum, dan karya-karya lainnya.

Karya-karya tersebut menyangkut masalah tasawuf, diantaranya penolakan


terhadap paham panteisme yang dinilainya sesat dan tentang perdebatan
melawan pengikut Hamzah Fansuri yang menyebabkannya fatwa “hukuman
mati” dikeluarkan kepada mereka.

Nubzah fi Da’wah az-Zil, memuat pemaparan topik tentang tasawuf penegasan


aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat. At-Tibyan fi
Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian tentang perdebatan melawan
pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman
mati” kepada mereka.

Kedatangan Nuruddin Ar-Raniry terbukti berhasil mematahkan pemikiran


Wujudiyyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Pemikirannya yang
terang-terangan dengan berhadapan langsung antara saksi dan
terdakwa/musuh, seperti halnya yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali yang
begitu prihatin dalam hal mengkritik kaum filosof, pada kitab Tahâfut al-
Falâsifah-nya.

Tidak jauh beda dengan Nuruddin Ar-Raniry yang menyerang Wujudiyyah


setelah memahami paham aliran itu. Nuruddin Ar-Raniry tutup usia pada 21
September 1658 M.

Pemikiran-pemikiran Nuruddin Ar-Raniry yang ditujukan terutama kepada


penganut paham Wujudiyyah, para tokoh, maupun pemikirannya secara
umum, dapat dipaparkan menjadi beberapa bidang pembahasan sebagai
berikut :
1. Tentang Tuhan, Ia menyatukan paham mutakallimin dan para sufi salah
satunya Ibn Arabi, ia beranggapan bahwa “wujud Allah dan Alam Esa” yang
berarti bahwa alam ini tidak ada / alam ini berbeda atau bersatu dengan
Allah. Singkatnya yaitu bahwa alam ini merupakan tajalli Allah
2. Tentang Alam, Ia beranggapan bahwa alam ini diciptakan Allah melalui
tajalli, ia menolak teori al-faidh (emanasi ) yang dikemukakan Ibn Farabi
bahwa dari wujud tuhan memancarkan alam semesta karena akan membawa
kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada
kemusyrikan, terjadi melalui tafakkur Tuhan tentang dirinya adalah ilmu
tentang diri-Nya dan ilmu itu alah daya (al-qudrah) yang menciptakan segala
sesuatu..Alam dan falak, menurutnya, merupakan wadah tajalli asma dan
sifat Allah dalam bentuk yang nyata. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal;
nama Rahman ber-tajalli pada arsy; nama Rahim ber-tajalli pada kursy; nama
Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
3. Tentang Manusia, Ar-Raniry beranggapan bahwa “ manusia merupakan
makhluk Allah yang palin sempurna di dunia ini. merupakan khalifah Allah di
bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan
mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan
menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama
dengan apa yang telah digariskan Ibn ‘Arabi.
4. Wujudiyyah. Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniry, berpusat
pada wahdat al-wujud (kesatuan wujud) , yang disalahartikan kaum
Wujudiyyah dengan arti serupa/ sama dengan tuhan. Hubungan syariat dan
hakikat. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar- Raniry,
merupakan sesuatu yang tidak benar. Kelihatannya, Ar-Raniry, sangat
menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawuf .

Anda mungkin juga menyukai