Anda di halaman 1dari 4

Judul : Harmonisasi Penambangan Batubara Dengan Sungai Di Bumi Serasan

Sekundang
Karya : Heru Fachrozi

Berbicara penambangan batubara memang memiliki riwayat yang sudah melegenda


sejak lama. Jauh sebelum kemerdekaan Negeri ini, batubara sudah menjadi primadona bangsa
Eropa. Mulai dari Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat yang melegenda hingga diakui
UNESCO pada 2019 silam, kemudian dijumpai tambang batubara di Bukit Asam, Tanjung
Enim, Sumatera Selatan tidak lepas akan keterlibatan petualang – petualang dari Benua Biru.
Menjadi perhatian, bahwa tidak dipungkiri emas hitam bernama batubara sejak lama
menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi. Para petualang ini berlomba memperebutkan
hasil dari hangatnya kalori batubara. Bukan semata untuk keperluan sehari – hari seperti
bahan bakar perapian, atau masak didapur. Lebih dari itu, batubara banyak dipakai di Eropa
untuk keperluan industri, misal untuk pasokan bahan bakar kereta api uap, kapal uap dan
beragam jenis industri. Disisi lain hadirnya batubara disinyalir membawa efek negatif pada
kerusakan lingkungan, rusaknya kualitas air pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kualitas
udara memburuk yang sangat mungkin banyak menjadi cerita dibalik manisnya akhir cerita
penambangan batubara.
Prolog diatas, sedikit cerminan dirasa ceritanya tidak jauh berbeda dengan kondisi
penambangan batubara yang berada di Bumi Serasan Sekundang, Kabupaten Muara Enim.
Mengawali sejarah penambangan batubara di Bumi Serasan Sekundang tentu tidak lepas dari
eksplorasi batubara yang dipelopori perusahaan miliki Negara, PT Bukit Asam Tbk atau
PTBA yang kala itu bernama Tambang Arang Bukit Asam (TABA). Kemudian diikuti
perusahaan – perusahaan yang sudah ditetapkan Pemerintah Pusat berstatus Clear And Clean
(CnC) sampai kepada era Milenial terus mengeruk bahan bakar dari fosil ini untuk menjadi
primadona ekspor.
Dari kajian Badan Geologi Nasional belum lama ini memperkirakan Indonesia masih
memiliki 160 miliar ton cadangan batubara yang belum dieksplorasi yang sebagian besar
berada di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Ketersediaan cadangan batubara ini
merupakan kabar posistif yang didukung sentimen positif dari Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memutuskan untuk meningkatkan target produksi
batubara tahun 2021 ini, dari sebelumnya 550 juta ton menjadi 625 juta ton. Artinya, geliat
penambangan batubara masih akan terus dilakukan oleh pelaku penambangan.
Lantas, seperti apa harmonisasi dari adanya aktifitas penambangan batubara terhadap
lingkungan khususnya kualitas air pada DAS yang ada di Bumi Serasan Sekundang baik
Sungai Enim maupun Sungai Lematang. Kemudian, selaraskah dengan kelestarian di DAS
yang dimaksud, apakah tetap lestari atau tidak ?.
Seperti diketahui aliran air sungai Enim melintasi wilayah Kecamatan – Kecamatan di
Kabupaten Muara Enim meliputi Tanjung Agung, Panang Enim, Lawang Kidul, dan Muara
Enim sejauh lebih kurang 50 kilometer. Dimulai dari akhir wilayah Kecamatan Muara Enim
dijumpai sungai Lematang melintasi dua Kecamatan yaitu Ujan Mas dan Gunung Megang
berjarak lebih kurang 20 kilometer. Sedangkan lokasi penambangan batubara bisa ditempuh
dari Kecamatan – Kecamatan ini dalam waktu tidak lebih dari satu hari baik dengan berjalan
kaki, menggunakan roda dua maupun roda empat.
Keberadaan kedua sungai tersebut selain menjadi habitat ikan tawar, juga menjadi
surga dunia warga setempat, air sungai dimanfaatkan untuk keperluan mandi dan mencuci
pakaian, bahkan air sungai juga digunakan untuk keperluan minum. Gambaran ini
menunjukan betapa besar ketergantungan warga akan air sungai. Sebaliknya, warga hanya
bisa terdiam lesu ketika melihat air sungai yang mendadak keruh dengan warna coklat tebal
kehitaman. Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan siapapun, pastinya pada kondisi ini
warga sudah kehilangan sumber air.
Belajar pada kasus penambangan batubara Clarence Colliery di Australia, dilansir dari
detik.com, perusahaan didenda $1 juta (atau setara Rp 10 miliar) karena tunpahan besar hasil
tambang mencemari sebuah sungai di Pegunungan Blue Mountains, New South Wales
(NSW) Australia. Hingga lebih dari 200 ton batubara harus dibersihkan dari Sungai
Wollangambe setelah waduk penampungan di tambang dekat wilayah Lithgow, NSW,
ambrol pada tahun 2015.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan
mineral dan batubara terdapat poin – poin penjelasan secara garis besar menegaskan bahwa
dalam usaha penambangan batubara kewajiban perusahaan tambang memprioritaskan
kegiatan pasca tambang mulai dari reklamasi, pengasaman air tambang hingga standarisasi
waduk penampungan air tambang.
Pada kasus lain, jebolnya tanggul limbah batubara milik PT Kaltim Prima Coal (KPC)
dan masuk ke Sungai Bendili, Kutai Timur pada 2014 membuat gusar Aji Mirni Mawarni,
Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan menyurati Dinas Lingkungan Hidup
setempat karena berdampak pada kualitas air PDAM.
Kondisi serupa sempat terjadi, disaat air Sungai Enim dan Sungai Lematang dengan
lebar lebih kurang 50 meter mendadak keruh hitam kecoklatan yang membuat warg enggan
menggunakan air sungai. Efek lain, kualitas air kotor dari PDAM di Kabupaten Muara Enim
pun tidak jarang menjadi keluhan warga manakala kedua sungai tersebut mulai keruh. PDAM
Lematang Enim sendiri yang sudah menempatkan sejumlah Intakenya tepat dipinggir sungai.
Tak jarang bila air dengan kualitas buruk sampai kepelanggan, menyebabkan PDAM
Lematang Enim menjadi bulan – bulanan ocehan pelanggannya.
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasal 62 ayat 2 menerangkan bahwa
Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, BUMS, Koperasi, dan organisasi masyarakat.
Pada PP ini menegaskan di sepanjang DAS tidak diperbolehkan melakukan kegiatan
dan atau melakukan perbuatan yang dapat mempengaruhi kualitas air sungai.
Tahun 2012 silam, di Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara
Enim jebolnya tanggul tambang batubara sempat bersengketa dengan warga pemilik kebun,
yang nyata – nyata petani kebun karet meminta ganti rugi karena kebunya mati terendam air
tambang, dan tidak jauh dari lokasi ini terdapat sungai kecil turun menjadi rusak kualitasnya.
Pengamat lingkungan dari lembaga Non Govertment (NGO) selalu meminta peran
perusahaan penambangan pada banyak kasus jangan hanya turun setelah terjadi kerusakan
lingkungan saja, tapi mulai dari pra hingga pasca tambang yang sifatnya berkelanjutan harus
ada peran perusahaan didalammnya.
Bukan tanpa alasan, NGO berasumsi demikian karena telah banyak kemudaratan yang
diterima Alam dari aktifitas penambangan batubara yang tidak menerapkan Standar
Operasional Prosedure (SOP) dengan tepat. Hilangnya vegetasi, rusaknya ekosistem,
rusaknya perkebunan, gagal panen padi dan menurunnya kualitas air sungai harus dengan
cepat untuk segera diakhiri. Bila tidak, anak cucu kita kelak akan merasakan dampak
buruknya.
Untuk terwujudnya harmonisasi penambangan batubara mengalir sejernih air sungai
di Bumi Serasan Sekundang tentunya harus melibatkan semua stakeholder. Pemilik
perusahaan atau Pimpinan perusahaan jangan sungkan untuk terbuka menerima kritik dan
saran yang membangun, jangan sungkan untuk melibatkan masyarakat dan Pemerintah untuk
duduk bersama memecahkan permasalahan yang terjadi. Serta Perusahaan untuk selalu
memberikan laporan Progres terkait penambangan batubara kepada Pemerintah.
Disisi lain, Pemerintah selaku pemegang regulasi harus konsisten berpihak ke
masyarakat menjalankan aturan hukum yang berlaku. Karena penambangan batubara tercipta
karena adanya penerbitan izin usaha penambangan dari Pemerintah.
Hingga akhirnya, masyarakat jangan hanya menjadi penonton saja melihat geliatnya
penambangan batubara. Masyarakat jangan hanya dilibatkan saat bersengketa dengan
Perusahaan. Sejatinya, Penambangan Batubara berjalan harmonis manakala Masyarakat
merasakan keberadaan Perusahaan minimal melalui Corporate Social Responsibility (CSR)
Perusahaan, dan Alam tidak berteriak merasakan getirnya akibat negatif dari Penambangan
Batubara.

Biodata singkat :
Heru Fachrozi lahir di Muara Enim, 12 Mei 1983 biasa dipanggil Heru. Saat ini,
tercatat sebagai wartawan rubrikini.co.id. Pendidikan formal terakhir Strata Satu (S1)
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Kemudian untuk pengalaman
dibidang jurnalis, papa tiga anak ini pernah bekerja di media cetak dan media tv. Kontak
person : 0813 2030 0634.

Anda mungkin juga menyukai