Anda di halaman 1dari 32

RESPON PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM

MENYELESAIKAN KASUS PELANGGARAN HAM DI MYANMAR


TAHUN 2015-2020

RYAN RIZKY RAMADHAN

ABSTRAK
Hak asasi manusia di Myanmar di bawah rezim pemerintahan militernya telah
lama dianggap sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Beberapa organisasi hak
asasi manusia internasional telah berulang kali mendokumentasikan dan
mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang meluas di Myanmar. Kerja paksa,
perdagangan manusia dan pekerja anak adalah hal biasa. Rezim pemerintahan dan
junta militer Burma juga terkenal karena merajalela penggunaan kekerasan
seksual sebagai alat kontrol, termasuk tuduhan pemerkosaan sistematis dan
pengambilan budak seks oleh militer. bahwa pasukan keamanan di Myanmar
melakukan pelanggaran serius terhadap hukum internasional yang memerlukan
penyelidikan dan penuntutan kriminal, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan genosida. Penelitian ini bertujuan untuk membahas latar
belakang dan penyebab dari kemunculan kasus pelanggaran HAM di Myanmar,
serta respon dan kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas kasus pelanggaran
HAM di wilayah tersebut. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif
dengan menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan
data dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan melalui teknik analisis data.
Peneliti menggunakan empat tahapan analisis data, yaitu pengumpulan data,
reduksi data, penyajian data dan penarikan/verifikasi data. Hasil akhir dari
penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi bacaan bagi umum dan
khusus, yaitu para peneliti dan akademisi dalam bidang studi Hubungan
Internasional, terutama pada kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kata kunci: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM),


Myanmar

ii
THE RESPONSE OF THE UNITED NATIONS IN RESOLVING CASES
OF HUMAN RIGHTS VIOLATIONS IN MYANMAR 2015-2020

RYAN RIZKY RAMADHAN

ABSTRACT
Human rights in Myanmar under its military rule regime have long been
considered among the worst in the world. Several international human rights
organizations have repeatedly documented and condemned widespread human
rights violations in Myanmar. Forced labor, human trafficking and child labor
are commonplace. The Burmese government regime and military junta are also
notorious for the rampant use of sexual violence as a means of control, including
allegations of systematic rape and the taking of sex slaves by the military. that
security forces in Myanmar committed serious violations of international law that
warrant criminal investigation and prosecution, namely crimes against humanity,
war crimes and genocide. This research aims to discuss the background and
causes of the emergence of cases of human rights violations in Myanmar, as well
as the response and policies of the United Nations to cases of human rights
violations in the region. The method used is descriptive qualitative using primary
and secondary data sources. Data retrieval techniques are carried out through
literature studies and through data analysis techniques. Researchers used four
stages of data analysis, namely data collection, data reduction, data presentation
and data withdrawal/verification. The final results of this study can be utilized as
a reading reference for general and specific, namely researchers and academics
in the field of International Relations studies, especially in cases of human rights
violations.

Keywords: United Nations (UN), human rights, Myanmar

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………………….. ii
ABSTRACT……………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. iv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………. 1


1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………………. 3
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………………. 3
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………... 4
1.5 Sistematika Penelitian…………………………………………………......... 4
1.6 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………… 5

BAB II KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN…………………………….. 16

2.1 Tinjauan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pelanggaran HAM……. 16
2.2 Tinjauan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Resolusi PBB….. 18
2.3 Tinjauan tentang pembentukan Misi Pencari Fakta Internasional
Independen di Myanmar (IIFFMM) dan Mekanisme Investigasi
Independen untuk Myanmar (IIMM)……………………………………….. 24

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………… 26

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………………………….. 26


3.2 Jenis dan Sumber Data……………………………………………………… 26
3.3 Metode Pengumpulan Data…………………………………………………. 27
3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………………... 27
3.5 Teknik Keabsahan Data…………………………………………………….. 28
3.6 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………………. 28

DAFTAR PUSTAKA………..…………………………………………………. 29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pelanggaran HAM di Myanmar sendiri telah muncul akibat dari rezim
pemerintahan militer yang sudah berjalan lama dari tahun ke tahun. Dari hal
tersebut, pemberontakan muncul dan telah berlangsung di Myanmar sejak
1948, yang di mana tahun tersebut Myanmar dikenal sebagai Burma,
memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Konflik tersebut sebagian besar
berbasis etnis, dengan beberapa kelompok etnis bersenjata memerangi
angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, untuk menentukan nasib sendiri.
Meskipun banyak gencatan senjata dan pembentukan zona otonom yang
dikelola sendiri pada tahun 2008, banyak kelompok terus menyerukan
kemerdekaan, peningkatan otonomi, atau federalisasi negara. Konflik tersebut
juga merupakan perang saudara terpanjang di dunia, yang berlangsung lebih
dari tujuh dekade.

Hak asasi manusia di Myanmar di bawah rezim militernya telah lama


dianggap sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Organisasi hak asasi
manusia internasional termasuk Human Rights Watch, Amnesty International
dan Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan telah berulang kali
mendokumentasikan dan mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang
meluas di Myanmar. Laporan Freedom in the World 2011 oleh Freedom
House mencatat bahwa junta militer telah menekan hampir semua hak dasar;
dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan impunitas. Pada tahun
2011 negara lebih dari 2.100 tahanan politik termasuk sekitar 429 anggota
NLD, pemenang dalam pemilu 1990. Pada Juli 2013, menurut Asosiasi
Bantuan untuk Tahanan Politik, ada sekitar 100 tahanan politik di penjara
Burma.

1
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berulang kali meminta
mantan pemerintah militer Burma untuk menghormati hak asasi manusia dan
pada bulan November 2009 Majelis Umum mengadopsi sebuah resolusi yang
mengecam keras pelanggaran sistematis yang sedang berlangsung terhadap
hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dan menyerukan kepada junta
militer Burma yang berkuasa saat itu. untuk mengambil langkah-langkah
mendesak untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia internasional dan
hukum humaniter. Kerja paksa, perdagangan manusia dan pekerja anak adalah
hal biasa. Junta militer Burma juga terkenal karena merajalelanya penggunaan
kekerasan seksual sebagai alat kontrol, termasuk tuduhan pemerkosaan
sistematis dan pengambilan budak seks oleh militer, sebuah praktik yang
berlanjut pada tahun 2012.

Pada bulan Maret 2017, komite tiga anggota di Dewan Hak Asasi Manusia
PBB menjalankan misi pencarian fakta atau Fact Finding Mission (FFM).
Misi ini bertujuan untuk menetapkan fakta dan keadaan dari dugaan
pelanggaran hak asasi manusia baru-baru ini oleh militer dan pasukan
keamanan, dan pelanggaran, di Myanmar dengan tujuan untuk memastikan
akuntabilitas penuh bagi pelaku dan keadilan bagi korban. Sayangnya,
pemerintah Myanmar tidak bekerja sama dengan Fact Finding Mission (FFM).
Mereka juga tidak mengizinkan pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi
manusia di Myanmar ke negara itu. Apa yang ditemukan dan diumumkan oleh
Misi Pencari Fakta adalah bahwa pasukan keamanan di Myanmar melakukan
pelanggaran serius terhadap hukum internasional yang memerlukan
penyelidikan dan penuntutan pidana, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan genosida.

Menanggapi klaim ini, Pemerintah Myanmar telah mengambil posisi bahwa


pekerjaan FFM tidak bertanggung jawab dan tidak konstruktif. Pada
September 2019, misalnya, U Kyaw Moe Tun, Wakil Tetap Myanmar untuk
PBB di Jenewa, memberikan komentar dalam Sidang Dewan Hak Asasi
Manusia di Jenewa. U Kyaw Moe Tun mengatakan bahwa Rakyat Myanmar,

2
yang dulu berpihak pada PBB dalam perjuangan panjang mereka untuk
demokrasi dan hak asasi manusia, semakin kecewa dengan sikap yang kurang
objektif yang diambil oleh beberapa elemen PBB terhadap Myanmar.

Bukti telah dikumpulkan yang menunjukkan bahwa rezim Burma telah


menandai etnis minoritas tertentu seperti Karen, Karenni dan Shan untuk
pemusnahan atau Burmisasi. Namun, ini hanya mendapat sedikit perhatian
dari komunitas internasional karena lebih halus dan tidak langsung daripada
pembunuhan massal yang terjadi di tempat-tempat seperti Rwanda. Menurut
Amnesty International, orang-orang Muslim Rohingya terus menderita
pelanggaran hak asasi manusia di bawah kekuasaan junta yang memerintah
Burma sejak 1978, dan akibatnya banyak dari mereka melarikan diri ke negara
tetangga Bangladesh. Kekerasan terhadap komunitas Kristen seperti Kachin
juga telah berkobar sejak pertempuran dimulai kembali pada Juni 2011 dalam
Konflik Kachin 2011–2012.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dengan mengacu pada latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana respon Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM di Myanmar pada tahun 2015-
2020?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
a. Mengetahui latar belakang dan penyebab dari kemunculan kasus
pelanggaran HAM di Myanmar tahun 2015-2020.
b. Mengetahui respon dan kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas
kasus pelanggaran HAM di Myanmar pada tahun tersebut.

3
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Sebagai referensi bacaan bagi umum dan khusus, yaitu para peneliti dan
akademisi dalam bidang studi Hubungan Internasional, terutama pada kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bagi penulis, sebagai bahan
penambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam menulis skripsi.

1.5 SISTEMATIKA PENELITIAN


Sistematika penulisan akan dibagi menjadi lima Bab, yaitu:
a. Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penelitian dan
tinjauan pustaka.
b. Bab II Kerangka Teori dan Pemikiran
Bab ini menjelaskan pengertian hak asasi manusia, rezim, teori
hubungan internasional yang akan digunakan untuk menganalisis,
kerangka berpikir, serta teori-teori lain yang berkaitan dengan
pembahasan ini.
c. Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang penjabaran metode penelitian, jenis
penelitian, variabel penelitian, teknik pengumpulan dan analisis
data.
d. Bab IV Pembahasan: Respon Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar tahun 2015-2020
Bab ini menjelaskan pembahasan mendalam tentang kebijakan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menindaklanjuti
pemerintahan Myanmar atas pelanggaran HAM pada kisaran tahun
2015-2020.
e. Bab V Penutup
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran yang sekiranya dapat dipertimbangkan lebih lanjut untuk
masa depan.

4
1.6 TINJAUAN PUSTAKA
a. ANALYSIS OF DONOR, INGO/NGO AND UN AGENCY
DELIVERY OF HUMANITARIAN ASSISTANCE TO DISPLACED
PERSONS FROM MYANMAR ALONG THE THAI-MYANMAR
BORDER (Dares Chusri, Tarina Rubin, Ma. Esmeralda Silva, Jason D.
Theede, Sunanta Wongchalee, Patcharin Chansawang)
Studi ini telah memberikan berbagai perspektif tentang peran donor,
organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan badan-
badan PBB dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada para
pengungsi internal di tempat penampungan di sepanjang perbatasan
Thailand-Myanmar. Hal ini dicapai dengan mengkaji alasan di balik
intervensi internasional, kebijakan pendanaan dan mandat organisasi;
strategi implementasi dan dinamika kerja sama di antara para
pemangku kepentingan; serta lingkungan operasional dan dampaknya
terhadap intervensi yang efektif. Temuan-temuan dari analisis data
sekunder dan studi lapangan (studi kuantitatif dan kualitatif)
dikonsolidasikan dan dirangkum dalam laporan riset ini. Rekomendasi
praktis dan realistis diberikan untuk opsi kebijakan guna mencapai
solusi yang tahan lama bagi para pengungsi di tempat penampungan
sementara di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Namun, riset
ini tidak menjelaskan apa penyebab dari kasus krisis pengungsi
perbatasan ini secara mendalam dan tidak menjelaskan wilayah yang
terdampak kasus ini di beberapa wilayah Myanmar lainnya. Karena
itu, penulis menggunakan riset ini sebagai tinjauan.

b. MYANMAR: CONFLICTS AND HUMAN RIGHTS VIOLATIONS


CONTINUE TO CAUSE DISPLACEMENT (Internal Displacement
Monitoring Centre)
Riset ini menjelaskan tentang pengungsian akibat konflik dan
pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut di Myanmar pada
tahun 2008. Diperkirakan 66.000 orang dari komunitas etnis minoritas
di Myanmar bagian timur terpaksa mengungsi untuk menghindari

5
dampak konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia. Hingga
Oktober 2008, setidaknya 451.000 orang dilaporkan mengungsi secara
nasional di daerah pedesaan di Myanmar bagian timur. Namun, ini
adalah angka konservatif, dan tidak ada informasi yang tersedia
mengenai jumlah pengungsi internal di beberapa bagian 6egara
tersebut. Pada tahun 2008, krisis pengungsian yang paling parah terjadi
di Negara Bagian Kayin (Karen) di bagian timur 6egara tersebut, di
mana serangan yang gencar dilakukan oleh tentara Myanmar terhadap
kelompok-kelompok etnis yang tidak setuju dengan pemerintah telah
berlangsung sejak akhir tahun 2005. Pada bulan Oktober 2008,
dilaporkan terdapat lebih dari 100.000 pengungsi internal di 6egara
bagian tersebut.

Pengungsian baru juga dilaporkan terjadi pada tahun 2008 di 6egara


bagian Chin, Myanmar barat, sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi
manusia dan kerawanan pangan yang parah. Orang-orang juga terus
mengungsi di beberapa bagian 6egara tersebut karena kombinasi
tindakan pemaksaan seperti kerja paksa dan penyitaan tanah yang
membuat mereka tidak memiliki pilihan selain bermigrasi, seringkali
dalam konteks inisiatif pembangunan yang disponsori oleh 6egara.
Para pengungsi internal yang tinggal di daerah-daerah di Myanmar
yang masih terkena dampak konflik bersenjata antara tentara dan
kelompok pemberontak tetap menjadi kelompok yang paling rentan,
dengan prioritas kebutuhan mereka yang cenderung terkait dengan
keamanan fisik, makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.
Akses kemanusiaan terhadap populasi ini masih sangat terbatas.
Penulis menggunakan riset ini sebagai tinjauan, mengingat kasus ini
masih relevan dengan yang diteliti.

6
c. IS THE UNITED NATIONS ENDORSING HUMAN RIGHTS
VIOLATIONS?: AN ANALYSIS OF THE UNITED NATIONS’
COMBATING DEFAMATION OF RELIGIONS RESOLUTIONS
AND PAKISTAN’S BLASPHEMY LAWS (Rebecca J. Dobras)
Menanggapi meningkatnya sentimen anti-Muslim di seluruh dunia,
badan-badan hak asasi manusia PBB mengeluarkan Resolusi
Memerangi Penistaan Agama. Di permukaan, Resolusi ini tampaknya
mendukung toleransi beragama dan penerimaan agama dengan
mencoba mencegah ekspresi ide-ide rasis dan xenofobia. Namun,
Resolusi Penistaan Agama sebenarnya dapat meningkatkan intoleransi
agama dan diskriminasi terhadap agama minoritas, serta melanggar
hak asasi manusia yang mendasar, seperti kebebasan berbicara dan
berekspresi. Resolusi Penistaan Agama mengizinkan dan bahkan
mendorong negara-negara untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencegah Islam dari penistaan, termasuk
menghukum individu-individu yang melakukan kebebasan berbicara
yang secara tidak langsung mengkritik Islam.

Bisa dibilang, Pakistan bertindak sebagaimana Resolusi Penistaan


Agama mendorong negara-negara untuk bertindak-dengan
menghukum mereka yang menistakan Islam. Pakistan, negara yang
memprakarsai Resolusi ini setiap tahunnya, memiliki hukum penistaan
agama yang sangat ketat. Negara ini menghukum mati orang jika
perasaan keagamaan sedikit saja tersinggung, yang dapat terjadi jika
kaum minoritas menyuarakan keyakinan mereka bahwa Muhammad
bukanlah nabi terakhir. Meskipun ada jaminan konstitusional Pakistan
terhadap kebebasan beragama, minoritas agama tidak dapat dengan
bebas mempraktikkan agama mereka karena takut dianiaya di bawah
undang-undang penistaan agama. Selain pelanggaran hak asasi
manusia yang terang-terangan ini, undang-undang penistaan agama
ditegakkan secara sewenang-wenang dan sering kali mengakibatkan
tuduhan yang tidak berdasar terhadap orang-orang yang tidak bersalah.

7
terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Riset ini menjadi tinjauan
penting, mengingat kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tidak
berdampak besar terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM di
Myanmar. Dalam hal ini, apa yang membuat Perserikatan Bangsa-
Bangsa terhambat dalam tugasnya? Ketidakmampuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyebabkan masyarakat minoritas, seperti Rohingya
sebagai minoritas beragama Muslim terus dikucilkan oleh rezim
pemerintahan militer negara tersebut, yang mayoritas beragama
Buddha dan terang-terangan mendiskriminasikan kaum minoritas dan
mengusir orang Rohingya yang tinggal di Negara bagian Rakhine.

d. CHINA’S ROLE IN MYANMAR’S INTERNAL CONFLICTS


(United States Institute of Peace’s Senior Study Group)
Laporan ini merupakan laporan pertama dari seri Kelompok Studi
Senior (SSG) yang diselenggarakan oleh Institut Perdamaian Amerika
Serikat (USIP) untuk mengkaji pengaruh Cina terhadap dinamika
konflik di seluruh dunia. Sekelompok tiga belas ahli bertemu dari
Februari hingga Juni 2018 untuk menilai keterlibatan Cina dalam
konflik internal Myanmar, khususnya di negara bagian Rakhine,
Kachin, dan Shan, serta dampak Cina terhadap proses perdamaian
Myanmar secara keseluruhan.

Seiring dengan semakin terlibatnya Tiongkok di zona konflik di


seluruh dunia, keterlibatannya di Myanmar telah sangat langsung dan
berpengaruh. Letak Myanmar yang berada di perbatasan Cina
menciptakan dinamika unik yang membedakan kepentingan dan peran
Cina kepentingan dan peran Cina di Myanmar terpisah dari tujuan dan
pengaruhnya di negara-negara lain yang terkena dampak konflik.
Amerika Serikat harus memperhatikan dampak dari peran Cina dalam
konflik internal Myanmar mengingat kepentingan AS yang lebih luas
kepentingan AS yang lebih luas dalam keberhasilan upaya perdamaian
Myanmar dan percobaan reformasi secara keseluruhan. Untuk itu,

8
Amerika Serikat Amerika Serikat harus mempertahankan keterlibatan
jangka panjang dan tingkat tinggi di jangka panjang dan tingkat tinggi
pada berbagai masalah politik, sosial, ekonomi, dan keamanan untuk
membantu Myanmar melalui masa transisi yang sulit, setiap saat
memperjelas bahwa satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian
yang langgeng adalah melalui komitmen bersama terhadap keadilan,
kompromi, saling menghormati, dan persamaan hak dan perlindungan
yang sama bagi semua semua rakyat Myanmar yang beragam. Laporan
ini menjadi tinjauan penulis, meskipun tidak dijelaskan mendalam soal
keterlibatan PBB, tetapi ada kepentingan negara anggota PBB seperti
Cina dan Amerika Serikat yang kemungkinan besar menghambat
proses perdamaian di Asia Tenggara, dalam hal ini adalah Negara
Myanmar dan konflik internalnya.

e. THE DILEMMA OF NON-INTERFERENCE: MYANMAR,


HUMAN RIGHTS AND THE ASEAN CHARTER (John Arendshorst)
Riset ini menjelaskan bahwa junta militer yang saat ini memegang
kekuasaan di Myanmar telah melakukan banyak pelanggaran hak asasi
manusia yang mengerikan. Selain merugikan rakyat Myanmar,
pelanggaran-pelanggaran ini juga menimbulkan dampak negatif yang
signifikan bagi anggota-anggota ASEAN lainnya. Namun, pada bulan
Oktober 2008, ASEAN meratifikasi Piagam yang menetapkan standar
hak asasi manusia formal bagi para anggotanya dan mengarah pada
pembentukan AICHR sebagai alat untuk mempromosikan standar
standar-standar tersebut.

Setelah meratifikasi Piagam tersebut, ASEAN dapat mengambil salah


satu dari tiga pendekatan: ASEAN dapat melanjutkan kebijakan non-
intervensionis "keterlibatan konstruktif", ASEAN dapat memodifikasi
AICHR untuk memasukkan pengadilan yang dapat mengeluarkan
keputusan yang mengikat tentang pelanggaran hak asasi manusia, atau
dapat menjatuhkan sanksi atau mengusir Myanmar karena melanggar

9
prinsip-prinsip inti Piagam Piagam ASEAN. Opsi pertama tidak
disarankan, karena akan merusak kredibilitas internasional ASEAN
dan internasional dan meniadakan keefektifan prinsip-prinsip hak asasi
manusia dalam Piagam Piagam ASEAN dan legitimasi AICHR. Yang
kedua adalah tidak praktis, karena kesepakatan mengenai mekanisme
pengadilan semacam itu akan sulit dilakukan karena keragaman negara
anggota ASEAN. negara anggota ASEAN. Pendekatan ketiga adalah
yang terbaik, karena hal ini akan membuktikan kepada dunia bahwa
ASEAN adalah organisasi regional yang kuat dan modern dan masih
memungkinkan adanya fleksibilitas di masa depan. Riset ini menjadi
tinjauan sebagaimana ASEAN sebagai organisasi regional Asia
Tenggara kini dipertanyakan oleh komunitas internasional, mengenai
kebijakannya atas Myanmar. Menurut penulis, organisasi AICHR
dinilai kurang efektif dan tidak berdampak besar dalam penyelesaian
konflik internal Myanmar, mengingat Negara anggota ASEAN yang
berprinsip non-intervensi pada masing-masing anggotanya.

f. PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK


ROHINGYA (M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah)
Dunia internasional tahun 2012 diwarnai oleh konflik yang terjadi di
Myanmar yaitu konflik etnis Rohingya. Konflik yang terjadi di
Myanmar sudah terjadi sejak lama namun media internasional baru
mulai meliput tahun 2012 sehingga banyak negara mulai mengklaim
tindakan pemerintah Myanmar. Akibat respon dunia internasional,
konflik semakin memanas yang ditandai dengan pembunuhan,
pemerkosaan dan pembakaran rumah-rumah warga etnis Rohingya.
Selanjutnya konflik etnis antara Rohingya dan Rakhine tak mendapat
titik damai. Upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga internasional
maupun non internasional serta negara-negara, tidak membuat konflik
itu terselesaikan. Justru semakin banyak tindakan kekerasan yang
dilakukanterhadap etnis Rohingya. Semenjak diterbitkannya kebijakan
burmanisasi, etnis Rohingya tidak diakui. Warga Rakhine dengan

10
segala tindakan yang brutal berusaha melakukan segala cara untuk
mengusir etnis Rohingya dari Myanmar. Kebijakan burmanisasi yang
telah dikeluarkan membuat etnis Rohingya harus menjadi stateless atau
tidak mempunyai kewarganegaraan.

Tindakan demi tindakan kekerasan diluncurkan kepada etnis Rohingya


sehingga timbul rasa tidak nyaman yang mengharuskan etnis Rohingya
harus mengungsi ke beberapa negara seperti Bangladesh, Indonesia,
Malaysia dan Thailand. Tidak peduli banyaknya anak-anak yang harus
mendapatkan kesempatan untuk hidup dan belajar, etnis Rakhine dan
anggota militer Myanmar tetap melakukan serangan demi serangan
terhadap etnis Rohingya. Memuncaknya konflik pada tahun 2012
membuat etnis Rohingya harus kehilangan keluarga, tempat tinggal
bahkan harus mengungsi. Setelah itu tahun-tahun berikutnya konflik
itu tak kunjung redah. Justru semakin terjadi pembunuhan,
pembakaran rumah -rumah dan tempat belajar hingga meningkatnya
jumlah pengungsi di beberapa negara. Jumlah korban yang terus
meningkat maka, konflik etnis yang terjadi di Myanmar termasuk
dalam kejahatan genosida. Di mana, ada tindakan untuk memusnahkan
etnis rohingya dari Myanmar dengan cara membunuh, membantai
hingga tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara
Myanmar.

g. PENERAPAN PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA


TERHADAP KASUS PELANGGARAN HAM ETNIS ROHINGYA
DI MYANMAR (Setiyani dan Joko Setiyono)
Negara sebagai pemangku HAM sudah seharusnya dapat menjamin
pemenuhan HAM warga negaranya tanpa diskriminasi. Diskriminasi
terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar telah menjadi sorotan
dunia internasional. Diskriminasi yang dilakukan pemerintah pun
sudah mengarah pada tindakan pelanggaran HAM berat yaitu
genosida. Myanmar sebagai negara harus bertanggung jawab atas

11
kejahatan yang menimpa warga negaranya. Bentuk tanggung jawab
yang dilakukan salah satunya adalah tindakan penghentian, setelah
dihentikan maka penegakan HAM pun harus dilakukan meliputi
penyelidikan, penuntutan sampai penjatuhan hukuman. Kedaulatan
negara tidak dapat dijadikan alasan Myanmar terbebas dari segala
tuntutan atas pelanggaran HAM. Negara Myanmar dapat dituntut dan
dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM tersebut.
Pertanggungjawaban negara pada hakikatnya akan muncul apabila
Negara tersebut telah melakukan wrongfull action. Pelangaran HAM
merupakan wrongful action sehingga menimbulkan
pertanggungjawaban negara.

h. PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT


TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN
HUKUM INTERNASIONAL (Aviantina Susanti, Dr. Mohammad
Ridwan S.H. M.S. dan Ikaningtyas SH. LLM.)
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, dan menganalisis
pengaturan hokum internasional yang berkenaan dengan perlindungan
terhadap etnis rohingya, dan mengetahui dan menganalisa upaya yang
dapat dilakukan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
terhadap etnis rohingya di Myanmar berdasarkan hokum internasional.
Penelitian dilakukan dengan metode normatif. Bahan yang digunakan
adalah bahan primer, sekunder, dan tersier yang didapatkan dari studi
kepustakaan. Pada hasil penelitian telah dapat diketahui bahwa jika
dilihat berdasarkan pada tindakan salah secara internasional maka
negara Myanmar telah melanggar kewajiban internasional dalam
melindungi kepentingan masyarakat internasional dimana dalam hal
tersebut tedapatnya pelanggaran berat atas kewajiban internasional
dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran HAM maka
negara mempunyai tanggungjawab untuk menyelesaikan kasus yang
terjadi di negaranya. Berdasarkan pada pasal 33 Piagam Perserikatan

12
Bangsa-bangsa negara Myanmar seharusnya menggunakan cara
diplomasi terlebih dahulu sebelum langsung membawa kasus yang
terjadi ke ranah hukum. Upaya diplomasi yang dapat dilakukan dengan
menggunakan mediasi dimana Myanmar dapat meminta bantuan
kepada PBB sebagai pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan
kasus ini. Jika masih belum berhasil upaya tersebut, maka kasus yang
terjadi dapat diadili di International Criminal Court (ICC) dan dapat
dijatuhi hukuman yang sesuai berdasarkan hukum internasional.

i. PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL


OLEH DEWAN HAK ASASI MANUSIA PBB: SUATU TINJAUAN
TERHADAP TAHANAN RUMAH AUNG SAN SUU KYI (I Gusti
Ayu Apsari Hadi)
Era baru Dewan HAM PBB saat ini telah memberikan kewenangan
kepadanya untuk dapat melakukan tindakan yang tegas sekalipun
terhadap setiap pelanggaran HAM di seluruh dunia. Kinerja Dewan
HAM yang konkret terlihat dalam upaya pembebasan seorang tahanan
rumah sekaligus tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Dalam
resolusi Dewan HAM A/HRC/10/19 tahun 2009 par. 38 disebutkan
bahwa,

“The Special Rapporteur reiterates his call for the termination of Daw
Aung San Suu Kyi’s detention under house arrest, which is in
contravention of articles 9, 10 and 19 of the Universal Declaration of
Human Rights…”

Ketiga pasal tersebut sama – sama menyebutkan bahwa seseorang


berhak atas kebebasan untuk mengemukakan pendapat, larangan atas
penangkapan sewenang-wenang hingga memiliki hak atas pengadilan
yang adil dalam pasal 10. Adanya resolusi yang dilakukan oleh
kelompok kerja (Special Rapporteur) tersebut membuktikan salah satu
langkah Dewan HAM dalam ikut berperan aktif dalam pembebasan

13
tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Penangkapan, penahanan, hingga peradilan yang sewenang-wenang


yang dialami oleh Suu Kyi merupakan suatu kejahatan kemanusiaan
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum
internasional.Atas dasar tersebut pula masyarakat internasional dirasa
berhak untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan Myanmar
sebagai suatu negara. Melalui mekanisme Universal Periodic Review
Dewan HAM memiliki hak untuk meminta laporan dari setiap negara
atas kondisi HAM yang ada di wilayah teritorialnya. Maka dalam UPR
10th di Geneva, 24 Januari – 4 Februari 2011 par. 29 disebutkan:

“The Secretary-General, the High Commissioner for Human Rights,


the Security Council, the General Assembly, the Human Rights
Council and the Special Rapporteur on the situation of human rights in
Myanmar called for the immediate release of Daw Aung San Suu Kyi,
and of all remaining political prisoners.”

Artinya organ-organ tersebut telah mengeluarkan seruan-seruan agar


pemerintah Myanmar segera membebaskan Aung San Suu Kyi dari
tahanan rumahnya. Hal tersebut membuktikan bahwa jika pelanggaran
HAM terjadi di suatu negara terlebih merupakan suatu pelanggaran
berat HAM maka masyarakat internasional seketika dan spontan akan
memberikan reaksinya. Selain itu juga mengisyaratkan bahwa negara-
negara tidak lagi dapat berlindung di balik kedaulatan teritorialnya atas
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah negaranya,
termasuk Myanmar.

14
j. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KAUM ETNIS ROHINGYA
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
(Ketut Arianta, Dewa Gede Sudika Mangku dan Ni Putu Rai Yuliartini)
Penelitian ini menjelaskan bahwa perlindungan hukum bagi kaum etnis
Rohingya berdasarkan hukum internasional secara umum sudah diatur
dalam instrument-instrument internasional seperti Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik 1966, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Konvensi Genosida, Konvensi Internasional Menentang
Penyiksaan, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua
Bentuk Diskriminasi Rasial 1965, Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, dan
Konvensi Mengenai Status Pengungsi. Penyelesaian sengketa
pelanggaran HAM berat terhadap kaum etnis Rohingya, berdasarkan
pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnis
rohingya dan pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapat
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan menggunakan
mediasi terlebih dahulu. Apabila cara tersebut tidak berhasil, Dewan
Keamanan PBB dapat mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan
internasional seperti Pengadilan Pidana Internasional yang diatur
dalam Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998.

15
BAB II
KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN

2.1 TINJAUAN TENTANG HAK ASASI MANUSIA (HAM) DAN


PELANGGARAN HAM
Hak asasi manusia adalah prinsip atau norma moral untuk standar perilaku
manusia tertentu dan secara teratur dilindungi dalam hukum kota dan
internasional. Mereka umumnya dipahami sebagai hak fundamental yang
tidak dapat dicabut yang secara inheren menjadi hak seseorang karena dia
adalah manusia" dan yang "melekat pada semua manusia, tanpa
memandang usia, asal etnis, lokasi, bahasa, agama, suku, atau status
lainnya. Mereka berlaku di mana-mana dan setiap saat dalam arti universal
dan mereka egaliter dalam arti sama untuk semua orang. Mereka dianggap
membutuhkan empati dan supremasi hukum dan memaksakan kewajiban
pada orang untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dan
umumnya dianggap tidak boleh diambil kecuali sebagai hasil dari proses
hukum berdasarkan keadaan tertentu.

Doktrin hak asasi manusia telah sangat berpengaruh dalam hukum


internasional dan institusi global dan regional. Tindakan oleh negara dan
organisasi non-pemerintah membentuk dasar kebijakan publik di seluruh
dunia. Gagasan hak asasi manusia menunjukkan bahwa "jika wacana
publik masyarakat global masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa
moral yang sama, itu adalah bahasa hak asasi manusia". Klaim kuat yang
dibuat oleh doktrin hak asasi manusia terus memicu skeptisisme dan
perdebatan yang cukup besar tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi
manusia hingga hari ini. Arti yang tepat dari istilah hak adalah
kontroversial dan merupakan subyek perdebatan filosofis yang
berkelanjutan; sementara ada konsensus bahwa hak asasi manusia
mencakup berbagai macam hak seperti hak atas pengadilan yang adil,
perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan

16
berbicara atau hak atas pendidikan, ada ketidaksepakatan tentang mana
dari hak-hak khusus ini yang harus disertakan. dalam kerangka umum hak
asasi manusia; beberapa pemikir menyarankan bahwa hak asasi manusia
harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran
terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih
tinggi.

Banyak ide dasar yang menggerakkan gerakan hak asasi manusia


berkembang setelah Perang Dunia Kedua dan peristiwa Holocaust, yang
berpuncak pada adopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Paris
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948.
masyarakat tidak memiliki konsepsi modern tentang hak asasi manusia
universal yang sama. Cikal bakal wacana hak asasi manusia yang
sebenarnya adalah konsep hak kodrat yang muncul sebagai bagian dari
tradisi hukum alam abad pertengahan yang menjadi menonjol selama
Pencerahan Eropa dengan para filsuf seperti John Locke, Francis
Hutcheson dan Jean-Jacques Burlamaqui dan yang menonjol dalam
wacana politik Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Dari landasan
ini, argumen hak asasi manusia modern muncul selama paruh kedua abad
ke-20, mungkin sebagai reaksi terhadap perbudakan, penyiksaan, genosida
dan kejahatan perang, sebagai realisasi dari kerentanan manusia yang
melekat dan sebagai prasyarat untuk kemungkinan hanya masyarakat.

Hak asasi manusia menurut PBB adalah hak yang melekat pada semua
manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, suku, bahasa,
agama, atau status lainnya. Hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup
dan kebebasan, kebebasan dari perbudakan dan penyiksaan, kebebasan
berpendapat dan berekspresi, hak untuk bekerja dan pendidikan, dan
banyak lagi. Setiap orang berhak atas hak-hak ini, tanpa diskriminasi.
Sementara itu, jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri
atas:

17
a. Pelanggaran HAM ringan meliputi: pemukulan, penganiayaan,
pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnya dan menghilangkan nyawa orang
lain.

b. Pelanggaran HAM sedang meliputi: melakukan kegiatan yang


mengarah kepada pemborosan dan kerugian, tidak mentaati kode
etik yang ditetapkan oleh suatu lembaga, bertindak sewenang-
wenang terhadap sesama manusia atau anggota, melakukan hal-hal
yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat seseorang dan
menyalahgunakan wewenang atau jabatan untuk kepentingan
pribadi atau golongan.

c. Pelanggaran HAM berat meliputi: kejahatan pembunuhan masal


(Genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Against
Humanity), kejahatan perang (War Crimes) dan kejahatan agresi
(Crime of Aggression).

2.2 TINJAUAN TENTANG PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB)


DAN RESOLUSI PBB
Salah satu tujuan utama PBB adalah mempromosikan dan mendorong
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk
semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, dan
negara-negara anggota berjanji untuk melakukan tindakan bersama dan
terpisah untuk melindungi ini hak.

Pada tahun 1948, Majelis Umum mengadopsi Deklarasi Universal Hak


Asasi Manusia, yang dirancang oleh sebuah komite yang dipimpin oleh
diplomat dan aktivis Amerika Eleanor Roosevelt, dan termasuk pengacara
Prancis René Cassin. Dokumen tersebut menyatakan hak-hak sipil, politik,
dan ekonomi dasar yang umum bagi semua manusia, meskipun
efektivitasnya dalam mencapai tujuan-tujuan ini telah diperdebatkan sejak

18
penyusunannya. Deklarasi tersebut berfungsi sebagai standar umum
pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa daripada dokumen yang
mengikat secara hukum, tetapi telah menjadi dasar dari dua perjanjian
yang mengikat, Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik
dan Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Hak Sosial dan Budaya.
Dalam praktiknya, PBB tidak dapat mengambil tindakan signifikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia tanpa resolusi Dewan Keamanan,
meskipun PBB melakukan pekerjaan yang substansial dalam menyelidiki
dan melaporkan pelanggaran.

Pada tahun 1979, Majelis Umum mengadopsi Konvensi Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, diikuti oleh Konvensi
Hak Anak pada tahun 1989. Dengan berakhirnya Perang Dingin, dorongan
untuk tindakan hak asasi manusia mengambil langkah baru. dorongan.
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dibentuk pada
tahun 1993 untuk mengawasi masalah hak asasi manusia untuk PBB,
mengikuti rekomendasi dari Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tahun
itu. Jacques Fomerand, seorang sarjana PBB, menggambarkan mandat
organisasi ini sebagai luas dan tidak jelas, dengan hanya sedikit sumber
daya untuk melaksanakannya. Pada tahun 2006, digantikan oleh Dewan
Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 47 negara. Juga pada tahun 2006,
Majelis Umum mengesahkan Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat, dan
pada tahun 2011 Majelis Umum mengesahkan resolusi pertamanya yang
mengakui hak-hak kaum LGBT.

Badan PBB lainnya yang bertanggung jawab atas masalah hak-hak


perempuan termasuk Komisi PBB tentang Status Perempuan, komisi
Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) yang didirikan pada tahun 1946;
Dana Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan,
dibentuk tahun 1976; dan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kemajuan Perempuan, didirikan pada
1979. Forum Permanen PBB tentang Isu-Isu Adat, salah satu dari tiga

19
badan dengan mandat untuk mengawasi isu-isu yang berkaitan dengan
masyarakat adat, mengadakan sesi pertamanya pada tahun 2002.

Hukum hak asasi manusia internasional menetapkan kewajiban


Pemerintah untuk bertindak dengan cara tertentu atau untuk menahan diri
dari tindakan tertentu, untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar individu atau kelompok. Salah satu
pencapaian besar Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pembentukan badan
hukum hak asasi manusia yang komprehensif—sebuah kode universal dan
dilindungi secara internasional yang dapat diikuti oleh semua negara dan
dicita-citakan oleh semua orang. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
mendefinisikan berbagai hak yang diterima secara internasional, termasuk
hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial. Ia juga telah
membentuk mekanisme untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak
ini dan untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan tanggung
jawab mereka.

Dasar dari badan hukum ini adalah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa


dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), yang diadopsi oleh
Majelis Umum pada tahun 1945 dan 1948, masing-masing. Sejak itu, PBB
secara bertahap memperluas hukum hak asasi manusia untuk mencakup
standar khusus bagi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas,
minoritas dan kelompok rentan lainnya, yang kini memiliki hak yang
melindungi mereka dari diskriminasi yang telah lama terjadi di banyak
masyarakat. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) merupakan
dokumen tonggak sejarah hak asasi manusia. Dirancang oleh perwakilan
dengan latar belakang hukum dan budaya yang berbeda dari semua
wilayah di dunia, Deklarasi diproklamasikan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris pada 10 Desember 1948 dengan
resolusi Majelis Umum 217 A (III) sebagai standar umum pencapaian
untuk semua bangsa. dan semua bangsa. Ini menetapkan, untuk pertama
kalinya, hak asasi manusia yang mendasar untuk dilindungi secara

20
universal dan telah mengilhami konstitusi banyak Negara yang baru
merdeka dan banyak negara demokrasi baru. UDHR, bersama dengan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan dua Protokol
Opsionalnya (tentang prosedur pengaduan dan tentang hukuman mati) dan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan
Protokol Opsionalnya, membentuk apa yang disebut RUU Internasional
Hak Asasi Manusia.

Dalam skenario tertentu, ada respon-respon tertentu dari komunitas


internasional dalam pelanggaran HAM. Seperti yang ada dalam PBB,
sesuai dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang berlaku.
Berikut respon-respon komunitas internasional yang menyangkut tinjauan
sebelumnya, di antaranya:

a. Pelanggaran HAM ringan:


Pada 2 Oktober 2018, Jamal Khashoggi, seorang
pembangkang Arab Saudi, jurnalis, kolumnis untuk The
Washington Post, mantan editor Al-Watan dan mantan
manajer umum dan pemimpin redaksi Al-Arab News
Channel, dibunuh oleh agen-agen Pemerintah Saudi di
Konsulat Saudi di Istanbul, Turki. Pembunuhan itu memicu
pengawasan global yang intens dan kritik terhadap
pemerintah Saudi. Kelompok hak asasi manusia Amnesty
International menyebut putusan itu sebagai penyembunyian
kesalahan atau kesalahan seseorang untuk membersihkan
nama mereka dan pemerintah Turki mengatakan bahwa
persidangan telah jauh dari keadilan yang dilayani dan
akuntabilitas. Pada 15 November 2018, Kantor Kejaksaan
Saudi menyatakan bahwa 11 warga negara Saudi telah
didakwa dan didakwa dengan pembunuhan Khashoggi dan
bahwa lima orang yang didakwa akan menghadapi
hukuman mati karena telah ditentukan bahwa mereka

21
terlibat langsung dalam memerintahkan dan mengeksekusi
pembunuhan tersebut. kejahatan. Pelapor PBB untuk
eksekusi singkat, Agnès Callamard, menggambarkan
hukuman itu sebagai ejekan terhadap keadilan, karena,
menurutnya, itu adalah eksekusi di luar proses hukum yang
menjadi tanggung jawab negara Arab Saudi dan dalangnya
bebas.

b. Pelanggaran HAM sedang:


PBB tidak bisa mengesampingkan kasus iklim yang dibawa
oleh Greta Thunberg yang berargumen di hadapan
Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa kelambanan terhadap
perubahan iklim melanggar hak-hak anak dalam sebuah
panel PBB. Komite tersebut, yang terdiri dari 18 ahli hak
asasi manusia independen, mengatakan bahwa mereka
menemukan hubungan sebab akibat yang cukup antara
kerugian yang diduga diderita oleh anak-anak dan kelalaian
lima negara bagian. Namun, hal itu menerima argumen
negara bahwa anak-anak seharusnya membawa kasus
mereka ke pengadilan nasional terlebih dahulu. Pengaduan
itu diajukan pada tahun 2019 ke Komite Hak Anak PBB
oleh 15 aktivis, berusia antara delapan dan 17 tahun pada
saat itu, dari 12 negara. Mereka berpendapat bahwa
Prancis, Turki, Brasil, Jerman, dan Argentina telah
mengetahui tentang risiko perubahan iklim selama beberapa
dekade tetapi gagal mengekang emisi karbon mereka. Panel
telah melakukan audiensi dan musyawarah sejak itu.

22
c. Pelanggaran HAM berat:
Departemen Operasi Perdamaian Perserikatan Bangsa-
Bangsa melarang paramiliter Bangladesh yang terkenal
kejam, Rapid Action Battalion (RAB) dari penempatan di
PBB. Pada tanggal 5 Desember 2021, Kelompok Kerja
PBB untuk Penghilangan Paksa dan Tidak Sukarela
menyuarakan keprihatinan bahwa anggota RAB akan
memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam operasi
pemeliharaan perdamaian PBB, tanpa penyelidikan
sebelumnya atas dugaan keterlibatan mereka dalam
pelanggaran hak asasi manusia atau pemeriksaan
menyeluruh. proses. Kelompok Kerja juga mengatakan
bahwa petugas yang terlibat dalam, atau bersedia
mentolerir, pelanggaran tampaknya dipromosikan dan
diberi penghargaan di dalam pasukan keamanan dan
penegakan hukum Bangladesh. Komite PBB Terhadap
Penyiksaan merekomendasikan agar pemerintah
Bangladesh menetapkan prosedur pemeriksaan independen,
dengan panduan PBB yang sesuai, untuk semua personel
militer dan polisi yang diusulkan untuk ditempatkan dalam
misi perdamaian PBB dan memastikan bahwa tidak ada
orang atau unit yang terlibat dalam pelaksanaan
penyiksaan, tindakan di luar hukum pembunuhan,
penghilangan atau pelanggaran hak asasi manusia serius
lainnya dipilih untuk dilayani. Pengerahan anggota RAB
dalam operasi pemeliharaan perdamaian memperkuat pesan
bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia tidak akan
menghalangi satu dari layanan di bawah bendera PBB dan
meningkatkan kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia
dilakukan dalam misi PBB.

23
2.3 TINJAUAN TENTANG PEMBENTUKAN MISI PENCARI FAKTA
INTERNASIONAL INDEPENDEN DI MYANMAR (IIFFMM) DAN
MEKANISME INVESTIGASI INDEPENDEN UNTUK MYANMAR
(IIMM)
Mekanisme ini dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia pada 27
September 2018 dalam resolusi 39/2 untuk mengumpulkan,
mengkonsolidasikan, memelihara dan menganalisis bukti kejahatan
internasional paling serius dan pelanggaran hukum internasional yang
dilakukan di Myanmar sejak 2011, dan untuk menyiapkan berkas secara
berurutan. untuk memfasilitasi dan mempercepat proses peradilan pidana
yang adil dan independen. Resolusi tersebut juga memberdayakan
Mekanisme untuk menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh FFM
dan untuk mengumpulkan bukti tambahan; untuk mendokumentasikan dan
memverifikasi informasi dan bukti yang relevan, termasuk melalui
keterlibatan lapangan dan dengan bekerja sama dengan entitas lain; dan
untuk melaporkan kegiatan utamanya setiap tahun kepada Dewan Hak
Asasi Manusia dan Majelis Umum. Pembentukan Mekanisme disambut
oleh Majelis Umum pada 22 Desember 2018 dalam resolusinya 73/264.

Pada tanggal 26 September 2019, Dewan Hak Asasi Manusia dalam


resolusi 42/3, menyambut baik mulai beroperasinya Mekanisme pada
tanggal 30 Agustus 2019 dan menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk “memastikan bahwa Mekanisme tersebut diberikan
dukungan dan sumber daya yang diperlukan dalam hal kepegawaian,
lokasi dan kebebasan operasional sehingga dapat melaksanakan
mandatnya seefektif mungkin.”

Majelis Umum, dalam resolusinya 74/246 pada tanggal 27 Desember


2019, selanjutnya menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
“memastikan bahwa Mekanisme Independen diberikan fleksibilitas yang
diperlukan dalam hal kepegawaian, lokasi dan kebebasan operasional
sehingga dapat memberikan hasil yang efektif. mandatnya” dan juga
mendesak Mekanisme untuk memajukan pekerjaannya dengan cepat.

24
Pada tanggal 22 Juni 2020, dalam resolusi 43/26 , Dewan Hak Asasi
Manusia menyambut baik kerja Mekanisme tersebut dan menyerukan
“kerja sama yang erat dan tepat waktu antara Mekanisme tersebut dan
penyelidikan apa pun di masa depan oleh pengadilan atau tribunal
nasional, regional atau internasional, termasuk oleh Pengadilan
Internasional. Pengadilan Pidana atau Mahkamah Internasional.”

Pada tanggal 31 Desember 2020, dalam resolusi 75/238 , Majelis Umum


menegaskan kembali “seruan mendesak kepada pemerintah Myanmar […]
untuk bekerja sama dan terlibat secara berarti dengan Pelapor Khusus yang
baru ditunjuk mengenai situasi hak asasi manusia di Myanmar,
Mekanisme Independen dan pemegang mandat dan mekanisme PBB
lainnya yang bekerja di Myanmar, termasuk dengan memfasilitasi
kunjungan dan memberikan akses tanpa batas ke seluruh negeri.”

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN


Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah kualitatif deskriptif dengan
rancangan studi kasus yang ruang lingkupnya dibatasi. Penelitian kualitatif
deskriptif adalah metode penelitian yang difokuskan untuk memahami sebuah
fenomena dengan memeriksa karakteristik dan kualitasnya. Saya
menggunakan jenis penelitian ini, karena ingin mengeksplorasi topik yang
belum pernah diteliti secara mendalam, atau ketika kami ingin mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang topik yang telah dipelajari sebelumnya
tetapi menggunakan perspektif yang berbeda.

Penelitian kualitatif deskriptif adalah jenis penelitian kualitatif yang


mengeksplorasi karakteristik suatu fenomena, daripada menjelaskan penyebab
atau mekanisme yang mendasarinya. Penelitian ini melibatkan pengumpulan
dan analisis data dalam bentuk kata-kata, gambar, atau bentuk informasi non-
numerik lainnya.

Tujuan dari penelitian kualitatif deskriptif adalah untuk memberikan


penjelasan yang kaya dan terperinci tentang fenomena yang diteliti. Dengan
demikian, kita dapat mengembangkan pertanyaan penelitian lebih lanjut.
Kegiatan ini juga akan membantu menginformasikan kebijakan atau praktik.

3.2 JENIS DAN SUMBER DATA


Jenis yang digunakan dalam skripsi ini adalah data kualitatif. Data kualitatif
adalah data yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk angka – angka,
melainkan bersifat pernyataan atau ini atau informasi (membaca literatur, studi
buku atau jurnal dan interview atau wawancara dengan narasumber).

26
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
Cara pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui studi
kepustakaan dan melalui teknik analisis data, yaitu mengamati fenomena
dalam latar negara Myanmar dan pelanggaran hak asasi manusia, lalu
menganalisis dokumen atau bentuk pengumpulan data yang sesuai dengan
fenomena tersebut, yaitu kebijakan dan resolusi dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa terhadap Myanmar.

3.4 TEKNIK ANALISIS DATA


Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Dalam hal ini, peneliti menggunakan
analisis data kualitatif.

Analisis data kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis,


analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, dan komparasi.
Analisis data adalah proses menyusun, mengkategorikan data, mencari pola
atau tema, dengan maksud untuk memahami maknanya. Menyusun data
berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori. Tanpa kategorisasi
atau klasifikasi data akan terjadi chaos. Analisis data adalah kegiatan kreatif.
Tidak ada langkah-langkah yang terinci, sehingga tiap peneliti harus mencari
caranya sendiri. Sejak mulanya peneliti telah membentuk hipotesis-kerja yang
diuji kebenarannya dengan memperoleh data melalui observasi langsung
terhadap berbagai hal, wawancara dengan informan, dan dokumen (kajian
terhadap bahan tertulis, foto, video, gambar, ilustrasi, karikatur). Analisis data
senantiasa bertalian dengan pengumpulan data. Melalui analisis diketahui data
apa yang masih harus dicari berhubung dengan pertanyaan atau hipotesis
tertentu. Analisis data membantu pemberian kode serta penulisan lembar
rangkuman dan laporan berkala.

Dapat dijelaskan sesuai dengan tujuan penelitiannya, bahwa variabel


independen atau IV (X) adalah apa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh

27
Myanmar pada kisaran tahun tersebut dan untuk variabel dependen atau DV
(Y) adalah apa respon PBB terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan
Myanmar tersebut. Dalam DV, akan dibahas apakah tindakan PBB belum atau
sudah sesuai dengan pelanggaran HAM. Lalu, akan dijelaskan detailnya lebih
lanjut di bab pembahasan.

3.5 TEKNIK KEABSAHAN DATA


Pemeriksaan terhadap keabsahan data merupakan sebagai unsur yang tidak
terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif. Teknik pemeriksaan
keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji kredibilitas
(perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, analisis
kasus negatif, menggunakan bahan referensi, atau mengadakan
membercheck), transferabilitas, dependabilitas, maupun konfirmabilitas.

3.6 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Tanggal 15 Mei 2023, di kediaman peneliti. Dikarenakan kondisi pandemi,
peneliti tidak dapat ke lapangan (stay at home dan social distancing).

28
DAFTAR PUSTAKA

Argenal, Amy Marie. Nuancing Human Rights Discourse and Practice:


Perspectives from Myanmar

Binder, Martin. The United Nations and the Politics of Selective Humanitarian
Intervention

Callahan, Mary P., Making Enemies: War and State Building in Burma

Devi, Konsam Shakila. Myanmar under the Military Rule 1962-1988

HUMAN RIGHTS YEARBOOK BURMA 1994-2008

Rieffel, Lex. Myanmar/Burma: Inside Challenges, Outside Interests

Schiff, Rebecca L., The Military and Domestic Politics

Thein. "Failure of Democratic Consolidation: The Three Year Interlude of


Military Rule (1958-1962) in Burma" (2014). Master's Theses. 533.

United Nations, Independent Investigative Mechanism for Myanmar,


https://iimm.un.org/

United Nations Human Rights Council. Human Rights Council Mandated


Investigations; Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar,
https://www.ohchr.org/en/hr-bodies/hrc/myanmar-ffm/index

29

Anda mungkin juga menyukai