Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TENTANG PENERAPAN CODE BLUE

DAN EWSS (EARLY WARNING SCORE SYSTEM)

Disusun Oleh:

Nama: Efa Klemensia Sitohang


Nim : 032015058

PROGRAM STUDI NERS TAHAP PROFESI


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesalahan dalam mengenali dan memberikan respon perburukan kondisi pasien

akan meningkatkan resiko kejadian yang tidak diharapkan (KTD) (Masssey et al.,

2014). Perburukan kondisi pasien terjadi disaat tingkat kondisi klinis pasien

berubah menjadi tingkat kondisi klinis yang lebih buruk sehingga dapat

meningkatkan angka morbiditas pasien. Disfungsi organ, terlalu lama masa rawat

di rumah sakit, tubuh mengalami disabilitas, dan kematian termasuk dalam

perburukan kondisi (Jones et al.,2013).

Alasan terjadi perburukan kondisi pada pasien yaitu salah dalam

mengobservasi keadaan pasien, kurangnya komunikasi dalam melakukan

observasi, salah dalam menentukan prioritas untuk melakukan perawatan,

kurang edukasi dan pelatihan tentang pentingnya deteksi dini, kurangnya

sifat kepemimpinan dalam melakukan implementasi, salah dalam

mengimplementasikan prosedur dan peraturan secara adekuat serta salah

mengkalkulasi nilai dengan akurat dan konsisten (NICE, 2007).

Code blue adalah suatu sistem komunikasi peringatan untuk

melakukan resusitasi pada pasien yang mengalami henti nafas atau henti

jantung (Bayramoglu et al., 2013). Sistem code blue digunakan untuk

mengurangi kejadian angka kematian dirumah sakit. Pendokumentasian

harus dilakukan saat terjadi code blue, seperti menulis lama durasi

resusitasi, tempat kejadian, dan out come dari resusitasi.


Oleh karena itu, banyak rumah sakit menggunakan Early warning

Score (EWS) untuk mendeteksi abnormalitas dan pemicu respon yang

tepat dari staff (Petersen, 2016). EWS adalah sistem penilaian sederhana

yang digunakan di ruang rawat inap dengan mengukur frekuensi nadi,

tekanan darah sistolik, frekuensi nafas, saturasi oksigen, temperatur,

tingkat kesadaran dan penggunaan alat bantu nafas. Masing-masing

parameter mempunyai nilai rendah dan tinggi yaitu, nol sampai dengan

tiga, setelah itu nilai dikalkulasikan sehingga mendapat nilai total

(Kyriacos et al., 2015).

Menurut National Clinical Effectiveness Committee (2010) semakin

tinggi skor EWS, semakin tinggi juga perburukan kondisi pada pasien.

EWS dibagi menjadi tiga kategori yaitu, skor rendah dengan nilai satu

sampai empat, skor sedang dari nilai lima atau mendapat nilai di kotak

merah pada grafik observasi, dan skor tinggi dengan nilai tujuh atau lebih

(Royal College of Physicians, 2015). Namun, banyak terjadi kegagalan

dalam sistem EWS ini dikarenakan ketidakpatuhan dalam merespon

perburukan kondisi pasien sesuai prosedur.


BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Code Blue

2.1.1 Definisi Code Blue

Code Blue adalah kode warna sistem manajemen darurat rumah sakit

yang menandakan adanya seorang pasien yang sedang mengalami

serangan jantung (Cardiac Arrest) atau mengalami situasi gagal nafas akut

(Respiratory

Arrest). Dan situasi darurat lainnya yang menyangkut dengan nyawa

pasien dan membutuhkan intervensi medis darurat agar terciptanya

stabilisasi situasi darurat medis yang terjadi dalam wilayah rumah sakit

(Ghamdi, Essawy, & Qahtani, 2014).

2.1.2 Tujuan Code Blue

a. Untuk menyediakan penanganan resusitasi dan stabilisasi korban gawat

darurat yang mengalami permasalahan cardio-respiratory dan kejadian

gawat darurat lainnya dalam lingkungan rumah sakit.

b. Untuk membentuk tim terlatih yang dapat digunakan untuk penanganan

cepat dari rumah sakit.

c. Untuk memulai pelatihan keterampilan Basic Life Support (BLS) dan

penggunaan Automated defibrillator eksternal (AED) untuk semua staf

rumah sakit yang berbasis klinis atau non klinis.


d. Untuk memulai penempatan peralatan Basic Life Support (BLS) di

berbagai lokasi strategis di dalam lingkungan rumah sakit untuk

memfasilitasi respon cepat untuk keadaan gawat darurat.

e. Untuk mesmbuat rumah sakit aman dan siap tanggap untuk keadaan gawat

darurat.

2.1.3 Organisasi Code Blue

Code Blue Team terdiri dari 3 sampai 4 anggota antara lain:

1. Koordinator tim Dijabat oleh dokter ICU/NICU yang bertugas

mengkoordinir segenap anggota tim. dengan Kualifikasi:

a. Memiliki SIP yang masih berlaku.

b. Memiliki ATLS atau ACLS.

c. Memiliki kewenangan klinis dalam hal kegawatdaruratan medis

2. Penanggung Jawab Medis yang dijabat oleh dokter jaga/ dokter ruangan

yang bertugas untuk mengidentifikasi awal / triage pasien, memimpin

penanggulangan pasien saat terjadi kegawatdaruratan, memimpin tim saat

pelaksanaan RJP dan menentukan sikap selanjutnya.

3. Perawat pelaksana dimana tugasnya antara lain bersama dokter

pemanggungjawab medis melakukan triage pada pasien dan membantu

dokter penanggungjawab medis menangani pasien gawat darurat.

4. Tim resusitasi didalamnya terdapat perawat terlatih dan dokter ruangan

/dokter jaga dimana tugasnya memberikan bantuan hidup dasar kepada

pasien gawat darurat, melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien

gawat darurat.
Setiap anggota Code Blue Team akan memiliki tanggung jawab

yang ditunjuk seperti pemimpin tim, manajer airway, kompresi dada, IV

line, persiapan obat dan defibrilasi. Setiap anggota tim yang ditunjuk harus

membawa hand phone.

2.1.4 Code Blue Team

Adapun pelatihan yang harus dimiliki oleh Code Blue Team antara lain

(Sultanah Aminah Johor Bahru, 2017) :

a. Basic Life Support (BLS) acuan pada penyedia layanan kesehatan

perawatan profesional yang berikan kepada pasien yang mengalami

serangan jantung atau obstruksi jalan napas. BLS meliputi keterampilan

psikomotorik untuk melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR)

berkualitas, menggunakan Automated defibrillator eksternal (AED) dan

menghilangkan sumbatan jalan napas untuk pasien dari segala usia. BLS

juga berfokus pada integrasi keterampilan kunci untuk membantu tim

penyelamat mencapai hasil pasien optimal.

b. Advanced Cardiac Life Support (ACLS) merupakan bantuan hidup lanjut

pada kasus henti jantung. Dengan tatalaksana penggunaan defibrillator dan

obat-obatan. Serta pelatihan keterampilan dalam skill station dan

megacode dengan menggunakan alat-alat simulator

2.1.5 Fase Code Blue

Dalam menanggapi kejadian Code Blue tahapan/fase dalam

pelaksanaannya terdiri dari beberapa fase diantaranya (RS Sari Asih

Sangiang, 2015) :
a. Alert System

Alert System merupakan sistem yang terkoordinasi di suatu tempat

untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam

rumah sakit untuk anggota Code Blue Team. Jika keadaan darurat medis

terjadi, setiap personil rumah sakit mana saja dalam dapat

mengaktifkan.Code Blue melalui telepon atau panggilan untuk membantu

dan mengaktifkan Code Blue :

1. Local Alert

Sistem ini bergantung pada mekanisme yang dibuat oleh Zona

Koordinator, contoh: Pengumuman melalui sistem Code Blue lalu akan

menampilan nama-nama Code Blue Team di lokasi yang strategis zona

mereka setelah kasus Code Blue terjadi, tim Primer harus meninggalkan

pekerjaannya dan mengambil tas Code Blue lalu bergegas ke lokasi dan

memulai CPR / BLS.

2. Hospital Alert

Saat Code Blue diaktifkan hal itu akan langsung terhubung ke Medical

Emergency Call Center (MECC) dan Code Blue Team yang bertanggung

jawab atau yang berada di sekitar tempat darurat akan menanggapi situasi

Code Blue sesegera mungkin. Durasi waktu yang dibutuhkan dari

menerima alam Code Blue dan kedatangan tim Code Blue di lokasi

kejadian adalah 5 sampai 10 menit.

b. Intervensi segera di tempat kejadian


Tenaga rumah sakit di tempat di mana keadaan gawat darurat

terjadi (pasien tidak sadar atau dalam cardiac atau respiratory arrest)

memiliki tanggung jawab untuk meminta bantuan lebih lanjut, memulai

resusitasi menggunakan keterampilan dari BLS serta peralatan yang

lengkap.

1. Nomor Code Blue dan nomor MECC akan ditempatkan di bangsal,

departemen, divisi, unit, kantor, lift, koridor, kantin, taman-taman, tempat

parkir, trotoar dll dan lokasi lainnya dalam rumah sakit.

2. Petugas rumah sakit yang menemukan korban harus segera mengaktifkan

pemberitahuan lokal untuk Code Blue Team atau menginstruksikan

seseorang untuk melakukannya, mereka juga harus meminta bantuan lebih

lanjut jika tersedia.

3. Pada saat yang sama, aktivasi pemberitahuan rumah sakit harus dilakukan

dengan menekan tombol Code Blue rumah sakit.

4. Pihak yang bertanggung jawab atau bertanggung jawab atas daerah

tertentu (misalnya dari ruangan lain) juga harus diberitahu untuk datang ke

lokasi segera.

5. Sambil menunggu kedatangan Code Blue Team, jika ada petugas rumah

sakit yang terlatih BLS, mereka harus memulai BLS (posisi airway,

bantuan pernapasan, kompresi dada dll).

6. Jika tidak ada staf BLS terlatih untuk pasien, petugas rumah sakit harus

menunggu bantuan yang berpengalaman dan menjaga lokasi dari

kerumunan orang.
7. Jika monitor jantung, defibrillator manual atau Automated

defibrillator eksternal (AED) tersedia, peralatan ini harus melekat kepada

pasien untuk menentukan kebutuhan defibrilasi; Tahap ini dilakukan oleh

staf yang berpengalaman atau staf terlatih Advance

Cardiac Life Support (ACLS).

8. Setiap departemen, divisi, atau unit harus berusaha untuk memastikan

bahwa staf mereka dilatih keterampilan BLS dan alat resusitasi atau troli

emergency dilengkapi setidaknya peralatan dasar resusitasi dan

ditempatkan di lokasi strategis.

9. Petugas rumah sakit di masing-masing ruangan akan bertanggung jawab

untuk pemeliharaan resusitasi kit.

10. Jika pasien berhasil diresusitasi sambil menunggu kedatangan tim

Code Blue, petugas rumah sakit yang ada di lokasi harus menempatkan

pasien dalam posisi pemulihan dan memantau tandatanda vital.

11. Semua kasus Code Blue harus dievaluasi lebih lanjut hasilnya

c. Kedatangan Code Blue Team

1. Setelah anggota Code Blue Team menerima aktivasi Code Blue, mereka

harus menghentikan tugas mereka saat ini, mengumpulkan resusitasi kit

mereka (tas peralatan) dan bergegas ke lokasi darurat medis.

2. Mereka harus mengerahkan diri mereka sendiri dengan cepat dan 15 lancar

dan menggunakan rute terpendek yang tersedia.

3. Respon waktu (layanan standar) dari waktu dari Code Blue call / aktivasi

kedatangan Code Blue Team di tempat kejadian akan disimpan.


4. Ketika kedatangan Code Blue mengalami penundaan karena berbagai

alasan; Oleh karena itu, kebutuhan untuk Code Blue team untuk tidak

hanya terdiri dari satu staf tetapi juga staf dari departemen lain. Selain itu,

sangat penting bahwa setiap tenaga medis di lokasi kejadian mulai langkah

BLS.

5. Jika korban masih dalam cardiac dan respiratory ketika tim respon

Code Blue tiba di tempat kejadian, tim akan mengambil alih tugas

resusitasi; staf di tempat kejadian harus tinggal di sekitar untuk

memberikan bantuan tambahan jika diperlukan.

6. Setiap kasus Code Blue akan kirim ke ETD terlepas kondisi pasien baik

mempertahankan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) atau tidak. Dalam

ETD, disposisi pasien akan diputuskan setelah integrasi pasca perawatan

serangan jantung.

d. Perawatan Definitif

1. Keadaan darurat medis yang terjadi di setiap daerah baik klinis atau

non-klinis dan baik melibatkan rawat inap atau rawat jalan (umum)

akan dihadiri oleh Code Blue team, pasien ini akan diangkut ke ETD

untuk resusitasi lanjut dan perawatan definitif dimana ditempat ini

biasanya tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan peralatan

untuk perawatan lanjutan.

2. Jika resusitasi tidak berhasil (korban meninggal di TKP), korban masih

perlu ditransfer ke ETD untuk dokumentasi lebih lanjut atau

konfirmasi kematian.
3. Setiap kasus code blue akan menerima perawatan definitive setelah

perawatan pasca integrasi serangan jantung dan diskusi dalam ETD.

e. Peralatan dan Pelatihan

 Semua tingkat staf rumah sakit harus cukup terlatih setidaknya BLS

dan penggunaan AED.

 AED dan alat resusitasi dasar harus ditempatkan di berbagai tempat di

rumah sakit yang mudah diakses untuk tenaga medis dan Code

Blue Team

 Peralatan Code Blue Team terdiri dari beberapa zona diantaranya zona

risiko rendah dimana peralatannya terdiri dari sarung tangan, pocket

masker, guerdel/oropharyngeal airway, kotak pertolongan. Pada zona

resiko tinggi dan ETD peralatan Code Blue Team terdiri dari oksigen

tangki dan tabung, pocket mask, bag-valve mask defibrillator manual

atau AED, sarung tangan sekali pakai dan steril, perangkat Extraglottic

(LMA / LT), kursi roda atau tandu, stetoskop, alat suntik dan jarum,

infus set, glucometer, obat- Dextrose 50%, Dextrose 10%, Normal

Saline, Adrenalin, Atropin, Amiodarone, Diazepam, GTN Tab dan

Aspirin, sphygmomanometer, torch light

 Lanjutan pelatihan dapat diperoleh melalui bagian Diklat Rumah Sakit.

 Pemeliharaan alat resusitasi ini adalah tanggung jawab staf yang

bekerja di tempat alat ditempatkan.

 Peralatan dan obat - untuk diperiksa dan diisi kembali setelah setiap

respon Code Blue.


2.1.6 Algoritma Code Blue

Algoritma Code Blue merupakan urutan atau langkah-langkah

dalam menanggapi kejadia Code Blue yang terjadi adapun Algoritma Code

Blue antara lain (Saed & Mohd, 2017) :

a. Ditemukan pasien Cardiac/Respiratory arrest

b. Staff rumah sakit memanggil pertolongan dan mengaktifasi alarm atau

menghubungi nomor telepon Code Blue Team

c. Penolong pertama terlebih dahulu melakukan BLS/CPR bila memiliki

skill yang mumpuni sampai Code Blue Team datang. Jika tidak mampu

melakukan BLS/CPR tunggu pertolongan datang dan amankan pasien

d. Setelah aktifasi Code Blue, petugas yang bertugas di sekitar tempat

kejadian bergegas menuju lokasi dengan membawa alat resusitasi

e. Setelah Code Blue Team datang, Code Blue Team akan mengambil

/alih resusitasi dan RJP dilanjutkan dan mendokumentasikan semua

kegiatan yang dilakukan

f. Pindahkan pasien secepat mungkin setelah pasien stabil untuk

mendapatkan perawatan lebih lanjut, jika resusitasi berhasil atau

korban meninggal di tempat, pasien tetap harus dipindahkan untuk

mendapat perawatan lebih lanjut atau konfirmasi kematian.


2.2 Konsep EWSS

2.2.1 Defenisi

Early Warning Scoring System adalah sebuah sistem skoring

fisiologis yang umumnya digunakan di unit medikal bedah sebelum pasien

mengalami kondisi kegawatan. Skoring EWSS disertai dengan algoritme

tindakan berdasarkan hasil skoring dari pengkajian pasien. (Duncan &

McMullan, 2012).

2.2.2 Parameter EWSS

Enam parameter fisiologis sederhana ini membentuk dasar

dari sistem skor yaitu Frekuensi pernafasan, saturasi oksigen, suhu,

tekanan darah sistolik, Frekuensi Nadi dan Level kesadaran (AVPU =

Alert, Verbal, Pain, Unrespone). Atau sering disebut dalam pemeriksaan

Tanda-tanda Vital. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut nadi,

respirations dll) yang rutin direkam di rumah sakit.

Dengan Nursing Early Warning Scores, setiap tanda penting

dialokasikan nilai numerik dari 0 sampai 3, dengan bagan kode warna

pengamatan (Skor 0 yang paling diinginkan dan Skor 3 adalah paling tidak
diinginkan). Nilai dari masing-masing score ditambahkan bersama dan

dijumlahkan. Hasil dari total score merupakan nilai peringatan awal.

a. NEWS Parameter Fisiologis dan sistem scoring

Enam Paramater Fisiologis dalam National Early Warning Scores (NHS Report,

2012). Selain keenam parameter tersebut, NEWS juga memberikan nilai tambah 2,

bila pasien menggunakan suplementasi oksigen.

1. Frekuensi Pernapasan

Peningkatan laju pernapasan merupakan gejala yang menunjukan

adanya kondisi akut dan distress pernapasan. Hal ini dapat disebabkan

karena nyeri dan distress, infeksi paru, gangguan system saraf pusat (CNS

gangguan dan gangguan metabolik) seperti asidosis metabolik. Penurunan

laju pernapasan merupakan indikator penurunan kesadaran atau adanya

necrosis SSP.

2. Saturasi Oksigen
Pengukuran non-invasif dari saturasi oksigen dengan pulse oximetry

secara rutin digunakan dalam penilaian klinis. Sebagai pengukuran rutin.

Saturasi oksigen dianggap praktis untuk menjadi sebuah parameter penting

dalam NEWS. Saturasi Oksigen adalah alat bantu yang kuat untuk

penilaian terpadu fungsi jantung. Teknologi yang diperlukan untuk

pengukuran saturations oksigen yaitu pulse oxymetri, sekarang tersedia

secara luas, tersedia portable dan murah.

3. Suhu

Hipertermia ataupun hipotermia merupakan penanda yang sensitif

untuk menunjukan kondisi akut dan adanya gangguan fisiologi. Khusunya

pada anak-anak atau bayi /nenoantus. Perubahan suhu tubuh sangat

berpengaruh terhadap kondisi fisiologis. Terdapat 3 jenis data suhu tubuh:

 Core temperature ( Suhu Inti Tubuh).

 Yang dirasakan pasien.

 Surface Tenperature (Suhu permukaan Tubuh).

4. Tekanan darah sistolik

Hipotensi merupakan tanda yang penting dalam mengkaji derajat

keparahan dan kegawatan penyakit. Hipotensi menunjukan adanya

perubahan sirkulasi seperti : Syok sepsis atau Hipovolemi, gagal jantung

atau gangguan irama jantung. Depresi SSP dan efek obat antihipertensi.

Penting untuk dicatat bahwa beberapa orang memiliki secara alamiah

tekanan darah sistolik rendah (<100 mmHg) dan ini mungkin dicurigai jika

pasien dengan baik tanpa


adanya keluhan dan semua parameter fisiologis lain normal, Periksa

parameter lainnya dan kaji riwayat pemriksaan sebelumnnya. Hipertensi

merupakan salah satu faktor resiko penyakit Kardiovaskuler, Hipertensi

tidak selalu menunjukan kondisi akut yang menunjukan kegawatan.

Hipertensi berat, sistolik > 200 mmhg, dapat terjadi karena nyeri atau

distress lainnya. Sangat penting untuk memastikan apakah perburukan

pasien disebabkan oleh hipertensi atau diperburuk dengan hipertensi.

5. Frekuensi Nadi

Pengukuran frekuensi nadi merupakan indikator penting dari kondisi

klinis pasien. Takikardi mungkin menunjukkan gannguan peredaran darah

karena sepsis atau hipovolume, gagal jantung, pyrexia, demam, nyeri dan

distress. atau mungkin karena aritmia jantung, gangguan metabolik,

misalnya, hipertiroidismus atau dikarenakan efek obat atau antikolinergik

obat-obatan. Bradikardi juga merupakan indikator fisiologis penting.

Frekuensi nadi yang rendah mungkin normal pada kondisi tertentu, atau

sebagai akibat dari obat-obatan, misalnya dengan beta-blockers. Namun, ia

juga mungkin sebuah indikator penting dari Hypotermia, depresi SSP,

hipertiroidisme dan EKG dengan Heart Block.

6. Level kesadaran

Tingkat kesadaran merupakan indikator penting dalam mendeteksi

perburukan pasien. Metode AVPU (Alert Verbel Pain Unrespon) + N

Penilaian ini dilakukan dalam urutan dan hanya satu hasil dilaporkan.
Misalnya, jika pasien menanggapi suara, tidak perlu untuk menilai respon

terhadap rasa sakit.

 Alert: Terbangun atau sadar. Pasien dikatakan alert/sadar apabila pasien

dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan orang. Pasien seperti itu

akan membuka mata spontan, akan menanggapi.

 Verbal: Respon terhadap suara. Pasien ini dalam keadaan disorientasi

namun masih dapat diajak bicara. Pasien membuat beberapa respon ketika

kita mengajak bicara, yang dapat dikaji dalam tiga langkah-langkah

komponen dengan mata suara, atau motorik –misalnya buka mata pasien

dengan menanyakan 'apakah anda baik-baik saja?'. Respon ini dapat

sebagai seperti mendengkur, suara mengerang, atau sedikit, gerakan

ekstermitas bila dikonfirmasi dengan suara.

 Pain: Respon terhadap nyeri. Paien hanya berespon terhadap rangsangan

nyeri. Pasien yang sadar, dan yang belum menjawab untuk suara. Berikan

stimulus nyeri dan kaji apakah pasien dapat merespon.

 Unresponse: Tidak sadar / tidak ada respon. ini juga sering disebut sebagai

'tidaksadar'. Hasil ini dicatatkan jika pasien tidak memberikan suara, mata

atau respons motor untuk rasa sakit atau suara.

 New Onset Confusion, penilaian kebingungan tidak membentuk bagian

dari penilaian AVPU. Namun demikian New Onset Confusion atau

kebingungan harus selalu konfirmasi kekhawatiran tentang kemungkinan

penyebab utama serius dan menjamin evaluasi klinis.

b. Tabel NEWS
c. Algoritme NEWS

Ada tiga tingkat pemicu untuk sebuah tanda klinis yang

memerlukan penilaian Klinis berdasarkan NEWS (NHS Report,2012).

1. Skor rendah: jumlah skor dari 0 dan 1-4

Nilai 0 dan 1-4 termasuk dalam risiko klinis rendah, memiliki warna

hijau. Pasien dengan nilai 0 akan terus diobservasi dengan frekuensi

monitoring pasien setiap 12 jam. Pasien dengan nilai 1-4 harus dilaporkan

kepada perawat penanggung jawab yang bertugas pada shift hari itu, dan

akan menentukan apakah hal tersebut perlu dilaporkan kepada dokter jaga.

Frekuensi monitoring yang dilakukan minimal setiap 4-6 jam.

2. Skor menengah: jumlah skor dari 5-6, atau sebuah skor merah

Nilai 5-6 atau bila salah satu parameter miliki nilai 3, termasuk dalam

risiko klinis medium atau warna orange. Pasien yang memiliki nilai 5-6

harus dilaporkan perawat kepada dokter jaga yang bertugas. Dokter jaga

yang bertugas akan menentukan terapi atau tindakan klinis yang dapat

dilakukan sesuai dengan kasus klinis pasien. Hal ini bertujuan untuk

mencegah perburukan

pasien lebih lanjut. Frekuensi monitoring yang dilakukan minimal setiap

jam.

3. Skor tinggi: jumlah skor dari 7 atau lebih (NHS Report, 2012).

Nilai diatas 7 termasuk dalam risiko tinggi atau warna merah. Pasien

dengan nilai 7 harus dilaporkan dokter jaga kepada dokter spesialis

penanggung jawab pasien sehingga dapat dilakukan tindakan yang sesuai


dengan penyakit pasien. Pasien tersebut membutuhkan monitoring terus-

menerus, sehingga perlu diputuskan pemindahan perawatan pasien ke

ICU. Sebelum dipindahkan ke ICU, pasien harus dilakukan tindakan

stabilisasi sehingga saat transportasi pasien ke ICU, pasien dalam kondisi

sestabil mungkin.

Berikut adalah algoritme NEWS Dewasa menurut hasil warna skor

(Emergency Summit, 2015).

1) Hijau : Pasien dalam kondisi Stabil

2) Kuning: Pengkajian ulang harus dilakukan oleh Perawat Primer/

Penanggung jawab Shift. Jika skor pasien akurat maka perawat primer

atau PP harus menentukan tindakan terhadap kondisi pasien dan

melakukan pengkajian ulang setiap 2 jam oleh perawat pelaksana.

Pastikan kondisi pasien tercatat di catatan perkembangan pasien.

3) Oranye: Pengkajian ulang harus dilakukan oleh Perawat Primer/

Penanggung jawab Shiftdan diketahui oleh dokter jaga residen. Dokter

jaga residen harus melaporkan ke Dokter penanggung jawab dan

memberikan instruksi tatalaksana pada pasien tersebut. Perawat

pelaksana harus memonitor tanda vital setiap jam.

4) Merah: Aktifkan Code blue, tim medik reaksi cepat melakukan tata

laksana kegawatan pada pasien, dokter jaga dan Dokter penanggung jawab

diharuskan hadir disamping pasien dan berkolaborasi untuk menentukan

rencana perawatan pasien selanjutnya. Perawat pelaksana harus memonitor


tanda vital setiap jam atau setiap 15 menit-30menit- 60 menit/ continous

monitoring (Firmansyah, 2013).

d. Respon Klinis NEWS

1) Respons klinis NEWS terdiri dari tiga elemen kunci diantaranya:

Urgensi dari tanggapan.

2) Seniority dan kompetensi klinis dari staf.

3) Seting yang akan dikirimkan perawatan klinis (NHS Report, 2013).

Respon terhadap setiap tingkat pemicu NEWS harus menentukan:

1) Kecepatan/urgensi tanggapan - termasuk proses eskalasi untuk

memastikan bahwa respon selalu terjadi.

2) Who response (Siapa yang merespon), ie-seniority dan kompetensi

klinis dari responder.

3) Setelan atau setting klinis yang sesuai untuk pengobatan akut yang

sedang berlangsung.

4) Frekuensi berlanjut dari monitoring pasien.

e. Rekomendasi dan alur Pendeteksi dini


DAFTAR PUSTAKA

Duncan, K., & McMullan, C. (2012). Early Warning System. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.
Firmansyah (2013), NEWSS: Nursing Early Warning Scoring System,
TMRC RSCM, (online),
(https://www.scribd.com/doc/184093556/NEWSS-Nursing-
Early-Warning-ScoringSystem diakses tanggal 07 mei
2016, jam 09.15 WIB.)
Hipgabi SULUT (2014), Materi Pelatihan Emergency Nursing Basic
Trauma Cardiac Life
Support. Manado : Penulis.
IGD RSCM, (2015), Buku Program Emergency Summit, National
preparedness for medical
Emergency and disaster Where are we now?. Jakarta :
HIPGABI Indonesia. Musliha, (2010), Keperawatan Gawat Darurat, Plus
Contoh Askep Dengan pendekatan NANDA
NIC NOC, Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai