Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 1
MODUL PERTOLONGAN PERTAMA PADA KEGAWATAN DAN
KEDARURATAN

Disusun Oleh:
Kelompok 9
Muhammad Riyadi Piliang I1011181068
Athira Syafika I1011191027
Andi Muhammad Hasbi A.H I1011191032
Sin Yi I1011191037
Wayan Adelia Putri I1011191040
Nisrina Qutratu’ain Fatin Nuha M.P. I1011191044
Auriellia Tiara S. I1011191076
Makhruzal I1011191082
Ahmad Shofiyulhuda I1011191083
Tiara Fika Fardila I1011191089
Noval Ardianto Siringo Ringo I1011191092

Didampingi oleh:
Fasilitator Diskusi 1 : Dr. dr. Ery Hermawati, M. Sc
Fasilitator Diskusi 2 : Dr. dr. Ery Hermawati, M. Sc

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Pak Anto dan keluarganya tinggal di daerah dekat dengan area pembuangan sampah
utama. Seminggu setelah banjir yang merendam rumah mereka, anak Pak Anto, Ani yang
berusia 3 tahun mengalami muntah-muntah dan diare selama 3 hari. Pagi ini Pak Anto
menyadari anaknya terlihat lemah. Saat dipanggil Ani hanya menjawab lemah. Bibirnya
agak kering. Saat diberi makan bakso oleh ibunya, Ani tiba-tiba tersedak dan terbatuk-
batuk. Pak Anto meminta pertolongan kepada anda, karena tahu anda adalah mahasiswa
kedokteran tingkat akhir.
Data tambahan
Setelah dilakukan manuver untuk mengeluarkan bakso yang membuat Ani tersedak, anak
Ani sadar, terbaring dalam kondisi lemah, dengan pernapasan cepat dan dalam
(38x/menit), pulsasi nadi lemah 150x/menit. Kedua tangan dan kakinya dingin, lembab,
dan pucat. Ani segera dibawa ke Rumah sakit saat mobil ambulan tiba.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Banjir: Peristiwa yang terjadi ketika air yang berlebihan merendam daratan.
2. Tersedak: Obstruksi saluran napas akibat benda asing secara sebagian atau total,
sehingga menyebabkan korban kesulitan bernapas.
3. Diare: Suatu keadaan dimana pada bayi frekuensi buang air besar > 4 kali dan pada
anak > 3 kali dengan konsistensi feses yang encer berwarna hijau atau dapat juga
bercampur lendir dan darah atau lendir saja.

1.3 Kata Kunci


1. Ani usia 3 tahun
2. Muntah dan diare sejak 3 hari
3. Tersedak makanan
4. Lemah
5. Bibir kering
6. Pertolongan
7. Sanitasi lingkungan buruk
8. Terbatuk-batuk
2
1.4 Rumusan Masalah
Ani usia 3 tahun tersedak dan terbatuk-batuk akibat makanan dengan riwayat muntah
dan diare selama 3 hari.

1.5 Analisis Masalah

Muntah-muntah dan diare


Ani (3 tahun)
selama 3 hari

Tersedak (airway obstruction)

Infeksi Pentol bakso


(laringitis dan epiglotitis) (foreign-body airway obstruction)

Tubuh lemah (dehidrasi) Dinilai tingkat keparahannya

Tentukan derajat dehidrasi


• Tidak dapat bersuara • Menangis (bayi)
• Batuk tidak keras • Bisa merespon (anak-anak)
• Sulit bernafas • Batuk keras dan normal
Tatalaksana • (+) Sianosis • Bisa bernafas dengan baik
(Pada dehidrasi berat, atasi syok
• Kesadaran ↓
hipovolemia secepatnya)
Terus diawasi
sampai obstruksi
Pasien tidak sadar Pasien sadar hilang

Call emergency number • 5 × Back Blows


• 5 × Chest thrust (infant) or 5 ×
Abdominal thrust (children)
Lihat jalan nafas (apakah benda
yang tersangkut terlihat?)

Beri 5 × pernafasan

CPR 3
(cardiopulmonary
resuscitation)
1.6 Hipotesis
Ani mengalami dehidrasi berat dan obstruksi jalan napas parsial sehingga
membutuhkan pertolongan segera.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Bantuan hidup dasar
a. Definisi
b. Tujuan
c. Indikasi
d. Langkah-langkah
2. Dehidrasi
a. Penilaian derajat dehidrasi
b. Etiologi
c. Tatalaksana
3. Diare
a. Definisi
b. Patofisiologi
c. Klasifikasi
d. Tatalaksana
4. Choking
a. Definisi
b. Tanda dan gejala
c. Klasifikasi
d. Faktor yang mempengaruhi
e. Mekanisme
f. Tata laksana (invasif dan non-invasif)
g. Pencegahan
5. Syok
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Tahapan
d. Langkah awal dalam penanganan pasien syok
6. Initial Emergency Assessment
a. Penilaian ABCDE / ABCCS
4
b. PAT
c. Tingkat kesadaran
7. Studi Kasus
a. Bagaimana hukum dan etika mengenai pertolongan pertama yang bisa dilakukan
oleh mahasiswa kedokteran?
b. Bagaimana pertolongan pertama terhadap kasus tersebut? Yang mana yang perlu
didahului choking atau dehidrasi?
8. Interpretasi data tambahan

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bantuan Hidup Dasar
2.1.1 Definisi
Bantuan hidup dasar merupakan serangkaian usaha awal untuk mengembalikan
fungsi pernapasan dan sirkulasi pada seseorang yang mengalami henti nafas dan
henti jantung.1
2.1.2 Tujuan
Bantuan hidup dasar merupakan aspek dasar tindakan penyelamatan sehubungan
dengan kejadian henti jantung.2 Tindakan bantuan hidup dasar ini secara garis besar
dikondisikan untuk kejadian henti jantung di luar rumah sakit sebelum
mendapatkan pertolongan medis. Dengan melakukan bantuan hidup jantung dasar
dengan baik dan tepat, henti jantung dapat segera diatasi, fungsi jantung paru dan
otak dapat dipertahankan dan dijaga dengan baik, agar suplai darah ke otak dapat
terpelihara sampai bantuan lanjutan tiba. Keterampilan dalam tindakan pertolongan
awal ini bertujuan untuk oksigenasi darurat, mempertahankan fungsi jantung paru
melalui ventilasi dan sirkulasi buatan. Dengan demikian, diharapkan ventilasi dan
sirkulasi dapat pulih spontan sehingga mampu melakukan oksigenasi secara
mandiri. Hal ini akan memberikan prognosis yang lebih baik, menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas.3
2.1.3 Indikasi
Bantuan hidup dasar diberikan kepada pasien yang dicurigai mengalami serangan
jantung, gangguan pernapasan, atau gangguan jalan napas seperti pada kasus henti
nafas dan henti jantung.4 Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan
oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asp/uap/gas, obstruksi jalan nafas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar
petir, serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya.5
2.1.4 Langkah-langkah6, 7
1. Pada saat tiba di lokasi kejadian
Tahap ini merupakan tahapan umum pada saat tiba di suatu lokasi
kejadian, baik pada kasus trauma ataupun kasus medis. Pada saat tiba di
tempat kejadian, kenali dan pelajari segala situasi dan potensi bahaya yang

6
ada. Sebelum melakukan pertolongan, pastikan keadaan aman bagi
penolong.
a. Amankan keadaan
Perhatikan dahulu segala yang berpotensi menimbulkan bahaya
sebelum menolong pasien, seperti lalu lintas kendaraan, jalur listrik,
asap, cuaca ekstrim, atau emosi dari orang di sekitar lokasi kejadian.
Lalu menggunakan alat perlindungan diri (APD) yang sesuai.
b. Evaluasi ancaman bahaya
Bila tidak ada ancaman bahaya jangan memindahkan korban,
misalnya api atau gas beracun. Jika penolong harus memindahkan
korban, maka harus dilakukan secepat mungkin dan seaman mungkin
dengan sumber daya yang tersedia.
c. Evaluasi penyebab cedera atau mekanisme cedera
Evaluasi petunjuk yang mungkin menjadi pertanda penyebab
terjadinya kegawatan dan bagaimana korban mendapatkan
cederanya, misalnya terjatuh dari tangga, tabrakan antar kendaraan,
atau adanya tumpahan obat dari botolnya. Gali informasi melalui
saksi mata apa yang terjadi dan menggunakan informasi tersebut
untuk menilai apa yang terjadi. Penolong juga harus memikirkan
kemungkinan korban telah dipindahkan dari tempat kejadian, baik
oleh orang di sekitar lokasi atau oleh si korban sendiri.
d. Jumlah korban
Evaluasi pula keadaan sekitar bilamana terdapat korban lain. Jangan
sekali-kali berpikir hanya ada satu korban, oleh sebab itu sangat
penting untuk segera mengamati keadaan sekitar kejadian.
e. Meminta pertolongan
Minta bantuan ke orang sekitar tempat kejadian. Hal ini sangat
penting karena akan sangat sulit menolong pasien seorang diri,
apabila ada lebih dari satu penolong maka akan lebih efektif
menangani korban, seperti pengaktivan EMS dan mengamankan
lokasi.
f. Evaluasi kesan awal Anda

7
Evaluasi gejala dan tanda yang mengindikasikan kedaruratan yang
mengancam nyawa korban, seperti adanya sumbatan jalan nafas,
perdarahan dan sebagainya.
2. Penilaian awal pada korban tidak sadarkan diri
a. Level of Conciousness (Tingkat kesadaran)
Pedoman berikut digunakan secara bertahap untuk menilai tingkat
kesadaran korban:
• A - Alert/Awas: Kondisi dimana korban sadar, meskipun
mungkin masih dalam keadaan bingung terhadap apa yang
terjadi.
• V - Verbal/Suara: Kondisi dimana korban merespon terhadap
rangsang suara yang diberikan. Oleh karena itu, si penolong
harus memberikan rangsang suara yang nyaring ketika
melakukan penilaian pada tahap ini.
• P - Pain/Nyeri: Kondisi dimana korban merespon terhadap
rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong. Rangsang nyeri
dapat diberikan melalui penekanan dengan keras di pangkal
kuku atau penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan
yang dikepalkan pada tulang sternum/tulang dada. Namun,
pastikan bahwa tidak ada tanda cidera di daerah tersebut
sebelum melakukannya.
• U - Unresponsive/tidak respon: Kondisi dimana korban tidak
merespon semua tahapan yang ada di atas.
b. Airway – Breathing – Circulations (Jalan napas - Pernapasan -
Sirkulasi)
Apabila korban dalam keadaan tidak respon, segera evaluasi keadaan
jalan napas korban. Pastikan bahwa korban dalam posisi telentang.
Jika korban tertelungkup, penolong harus menelentangkannya
dengan hati-hati dan jangan sampai membuat atau memperparah
cidera korban. Pada korban yang tidak sadarkan diri dengan mulut
yang menutup terdapat metode untuk membuka jalan napas, yaitu
head-tilt/chin-lift technique (teknik tekan dahi/angkat dagu) dengan
menekan dahi sambil menarik dagu hingga melewati posisi netral

8
tetapi jangan sampai menyebabkan hiperekstensi leher dan Jaw-
thrust manuever (manuver dorongan rahang) yang dilakukan bila
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau tulang belakang pada
korban. Lalu membuka mulut korban. Metode ini yang biasa dikenal
dengan Triple Airway Manuever.

Gambar 2.1 Triple airway manuever


Cara melakukannya dengan berlutut di atas kepala pasien, lalu
menumpukan siku pada lantai, meletakkan tangan pada tiap sisi
kepala, meletakkan jari-jari di sekitar sudut tulang rahang dengan ibu
jari berada di sekitar mulut, lalu angkat rahang ke atas dengan jari-
jari dan ibu jari membuka mulut dengan mendorong dagu ke arah
depan sambil mengangkat rahang. Pastikan tidak menggerakkan
kepala atau leher korban ketika melakukannya.
Evaluasi napas dan nadi karotis (nadi leher) korban secara
bersamaan/simultan kurang lebih selama 5 detik atau tidak lebih dari
10 detik. Lakukan pengecekan napas dengan melihat naik-turunnya
dada korban, dengarkan dan rasakan dengan pipi udara yang
dihembuskan oleh korban. Lakukan pengecekan nadi dengan meraba
arteri karotis yang ada di leher dengan meletakkan 2 jari di bawah
sudut rahang yang ada di sisi penolong.
c. Hasil pemeriksaan awal
Dari penilaian awal ini, dapat diperoleh informasi tentang korban
apakah korban hanya mengalami pingsan, henti napas atau bahkan
henti jantung.
1. Henti napas
Jika korban tidak bernapas tetapi didapati nadi yang adekuat,
maka pasien dapat dikatakan mengalami henti napas. Maka
langkah awal yang harus dilakukan adalah mengaktifkan sistem

9
tanggapan darurat, kemudian penolong dapat memberikan
bantuan napas. Pastikan jalan napas bersih dari sumbatan,
berikan 1 kali bantuan napas setiap 5-6 detik, dengan durasi
sekitar 1 detik untuk tiap pemberian napas. Terdapat 3 cara
memberikan ventilasi yaitu dengan mouth-to-mouth ventilation,
pocket mask ventilation dan bag valve mask resuscitation.

Gambar 2.2 Pocket Mask Ventilation.


Pastikan dada korban mengembang pada setiap pemberian
napas. Periksa nadi setiap 2 menit. Pemberian napas harus
dilanjutkan hingga korban mulai bernapas dengan spontan,
penolong terlatih tiba, nadi korban menghilang dimana pada
kasus ini penolong harus memulai RJP dan pasangkan AED bila
tersedia serta apabila keadaan lingkungan menjadi tidak aman.
2. Henti Jantung
Jika korban tidak bernapas, nadi tidak ada dan tidak ada respon,
maka pasien dapat dikatakan mengalami henti jantung. Pada
keadaan ini, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah
mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan menghubungi pusat
layanan kesehatan darurat terdekat. Kemudian segera
melakukan RJP yang benar dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Letakkan korban pada permukaan datar dan keras untuk
memastikan bahwa korban mendapat penekanan yang
adekuat.
b. Pastikan bagian dada korban terbuka untuk meyakinkan
penempatan tangan yang benar dan untuk melihat rekoil
dada.

10
c. Letakkan tangan di tengah dada korban, tupukan salah
satu pangkal tangan pada daerah separuh bawah tulang
dada dan tangan yang lain di atas tangan yang bertumpu
tersebut.
d. Lengan harus lurus 90 derajat terhadap dada korban,
dengan bahu penolong sebagai tumpuan atas.
e. Tekan dada dengan kecepatan 100-120 kali per menit,
dengan kedalaman minimal 5 cm tetapi tidak boleh lebih
dari 6 cm.
f. Selama melakukan penekanan, pastikan bahwa dinding
dada diberikan kesempatan untuk mengembang kembali
ke bentuknya semula (rekoil penuh).
g. Berikan 2 kali bantuan napas setiap selesai melakukan 30
kali penekanan dada, dengan durasi selama 1 detik untuk
tiap pemberian napas. Pastikan dada mengembang untuk
tiap pemberian bantuan napas.
h. Untuk penolong yang tidak terlatih dalam melakukan
RJP, disarankan untuk melakukan penekanan dada saja
secara terus-menerus.

Gambar 2.3 Teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP).


Apabila perangkat automated external defibrilator (AED) telah
tersedia, maka segera dipasangkan. AED adalah alat elektronik
portabel yang secara otomatis dapat menganalisis ritme jantung
pasien dan dapat melakukan defibrilasi. AED dapat
mengindikasikan pemberikan defibrilasi pada dua keadaan
disritmia jantung, yaitu ventricular fibrilasi (VF) dan
ventricular tachycardi (VT). Cara menggunakan AED
dijelaskan sebagai berikut.
a. Nyalakan alat AED.

11
b. Pastikan dada pasien terbuka dan kering.
c. Letakkan pad pada dada korban. Gunakan pad dewasa
untuk korban dewasa dan anak dengan usia di atas 8 tahun
atau dengan berat di atas 55 pound (di atas 25 kg).
Tempatkan satu pad di dada kanan atas di bawah tulang
selangka kanan, dan tempatkan pad yang lain di dada kiri
pada garis tengah ketiak, beberapa inci di bawah ketiak
kiri.
d. Hubungkan konektor, dan tekan tombol analyze.
e. Beritahukan pada semua orang dengan menyebutkan
"clear" sebagai tanda untuk tidak menyentuh korban
selama AED menganalisis. Hal ini dilakukan agar analisis
yang didapatkan akurat.
f. Ketika "clear" disebutkan, penolong yang bertugas untuk
melakukan RJP harus menghentikan penekanan dada dan
mengangkat tangannya beberapa inci di atas dada, tapi
masih berada pada posisi untuk bersiap melanjutkan
penekanan dada segera setelah kejut listrik diberikan atau
AED menyarankan bahwa kejut listrik tidak
diindikasikan.
g. Amati analisis AED dan siapkan untuk pemberian kejut
listrik bila diperlukan. Pastikan tidak ada seorangpun
yang kontak dengan pasien. Siapkan penolang pada posisi
untuk siap melanjutkan penekanan dada segera setelah
kejut listrik diberikan.
h. Berikan kejut listrik dengan menekan tombol "shock" bila
ada indikasi.
i. Setelah kejut listrik diberikan, segera lanjutkan
penekanan dada dan lakukan selama 2 menit (sekitar 5
siklus) hingga AED menyarankan untuk melakukan
analisis ulang, adanya tanda kembalinya sirkulasi
spontan, atau Anda diperintahkan oleh ketua tim atau
anggota terlatih untuk berhenti.

12
2.2 Dehidrasi
2.2.1 Penilaian derajat dehidrasi
Penilaian beratnya derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara objektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subjektif dapat
menggunakan krteria WHO, MMWR, skor Maurice king.8

Tabel 2.1 Dehidrasi Bedasarkan Presentasi Kehilangan Air dari Berat Badan. 8

Derajat Dehidrasi Dewasa Bayi & Anak


Dehidrasi ringan 4% dari berat badan 5% dari berat badan
Dehidrasi sedang 6% dari berat badan 10% dari berat badan

Dehidrasi berat 8% dari berat badan 15% dari berat badan

Derajat dehidrasi berbeda antara usia bayi dan anak jika dibandingkan usia dewasa.
Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi
air tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada
orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat
badan juga relatif lebih besar. Pada anak yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih cepat
terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih rendah. Menentukan
derajat dehidrasi pada anak juga dapat menggunakan skor WHO, dengan penilaian
keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor.8

Tabel 2.2 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Skor WHO.8


Yang Dinilai Skor
A B C
Keadaan Umum Baik Lesu/haus Gelisa, cemas,
mengantuk,
hingga syok
Mata Biasa Cekung Sangat cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Turgor Kulit Baik Kurang Jelek

Catatan:
< 2 tanda dikolom B dan C: tanpa dehidrasi
> 2 tanda dikolom B: dehidrasi ringan-sedang
≥ 2 tanda dikolom C: dehidrasi berat

13
Tabel 2.3 Derajat Dehidrasi Menurut Sistem Pengangkatan Maurice king.9
Bagian tubuh Nilai untuk gejala yang ditemukan
yang diperiksa
0 1 2

Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, Mengigau, koma,


apatis, ngantuk atau syok

Kekenyalan Normal Sedikit kurang Sangat Kurang


kulit

Mata Normal Sedikit cekung Sangat Cekung

Ubun-ubun Normal Sedikit cekung Sangat Cekung


besar

Mulut Normal Kering Kering dan


sianosis

Denyut nadi/mnt Kuat <120 Sedang (120-40) Lemah < 140

Hasil yang didapat pada penederita diberi angka 0,1 atau 2 sesuai dengan tabel
kemudian dijumlahkan.
Nilai 0-2 = Ringan
Nilai 3-6 = Sedang
Nilai 7-12 = Berat
2.2.2 Etiologi10
Dehidrasi terjadi ketika cairan tubuh melebihi penggantian cairan. Hal ini dapat
disebabkan gagalnya memenuhi cairan tubuh yang harus dipenuhi. Ada beberapa
bentuk dehidrasi. Kehilangan cairan isotonik terjadi ketika air dan natrium hilang
secara bersamaan. Penyebab kehilangan cairan isotonik yaitu muntah, diare,
keringat berlebihan, luka bakar, penyakit ginjal intrinsik, hiperglikemi, dan
hipoaldosteronisme. Dehidrasi hipertonik terjadi ketika kehilangan cairan tubuh
melebihi kehilangan kadar natrium. Natrium dan osmolalitas serum akan selalu
meningkat pada dehidrasi hipertonik. Kehilangan cairan tubuh yang berlebih secara
murni yang terjadi melalui kulit, paru-paru, dan ginjal. Etiologinya adalah demam,
peningkatan respirasi, dan diabetes insipidus. Dehidrasi hipotonik sebagian besar
disebabkan oleh diuretik, yang menyebabkan lebih banyak kehilangan natrium dari
pada kehilangan cairan tubuh. Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya
kadar natrium dan osmolalitas.

14
2.2.3 Tatalaksana11
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti cairan yang
hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi, penanganan
juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien.
• Tatalaksana pada dehidrasi derajat ringan-sedang
Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui
pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk mengembalikan
volume intravaskuler dan mengoreksi asidosis. Jenis ORS yang diterima
sebagai cairan rehidrasi adalah dengan kandungan glukosa 2-3 g/dL,
natrium 45-90 mEq/L, basa 30 mEq/L, kalium 20-25 mEq/L, dan
osmolalitas 200-310 mOsm/L.
Banyak cairan tidak cocok digunakan sebagai cairan pengganti,
misalnya jus apel, susu, air jahe, dan air kaldu ayam karena mengandung
glukosa terlalu tinggi dan atau rendah natrium. Cairan pengganti yang tidak
tepat akan menciptakan diare osmotik, sehingga akan makin memperburuk
kondisi dehidrasinya.
Adanya muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian ORS,
kecuali jika ada obstruksi usus, ileus, atau kondisi abdomen akut, maka
rehidrasi secara intravena menjadi alternatif pilihan. Defisit cairan harus
segera dikoreksi dalam 4 jam dan ORS harus diberikan dalam jumlah sedikit
tetapi sering, untuk meminimalkan distensi lambung dan refleks muntah.
Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL setiap menit dapat ditoleransi
dengan baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan NGT (nasogastric tube)
atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat diberikan untuk
mencapai kondisi rehidrasi. Saat pasien telah dapat minum atau makan,
asupan oral dapat segera diberikan.
• Tatalaksana pada dehidrasi derajat berat
Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi
rehidrasi intravena, Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan
baik.

15
Penanganan kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap:
1. Tahap Pertama
Berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok
hipovolemia yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap
ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer
lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan
cairan intravaskuler dapat dilihat dari perbaikan takikardi,
denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien. Apabila
perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan
kecepatan hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus
dipikirkan (misalnya anafilaksis, sepsis, syok kardiogenik).
Pengawasan hemodinamik dan golongan inotropik dapat
diindikasikan.
2. Tahap Kedua
Berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan
dan penggantian kehilangan yang masih berlangsung.
Kebutuhan cairan pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan
cairan (urin, tinja) ditambah IWL (insensible water loss). Jumlah
IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan
dapat meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar
kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
• Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
• Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/ kgBB untuk setiap
kilogram berat badan di atas 10 kg
• Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/ kgBB untuk setiap
kilogram berat badan di atas 20 kg

2.3 Diare
2.3.1 Definisi12
Diare adalah pengeluaran kotoran tinja dengan frekuensi meningkat (lebih
dari/sama dengan tiga kali dalam sehari) dengan perubahan konsistensi tinja
menjadi lembek atau encer, dengan atau tanpa darah/lender dalam tinja tersebut.

16
2.3.2 Patofisiologi13
Diare adalah hasil dari berkurangnya penyerapan air oleh usus atau peningkatan
sekresi air. Sebagian besar kasus diare akut disebabkan oleh etiologi infeksi. Diare
kronis umumnya dikategorikan menjadi tiga kelompok; berair, berlemak
(malabsorpsi), atau menular. Cara lain untuk mengklasifikasikan patofisiologi
diare menjadi diare sekretorik dan osmotik. Intoleransi laktosa adalah jenis diare
cair yang menyebabkan peningkatan sekresi air ke dalam lumen usus. Pasien
biasanya memiliki gejala kembung dan perut kembung bersama dengan diare
berair. Laktosa dipecah di usus oleh enzim laktase. Produk sampingan mudah
diserap oleh sel epitel. Ketika laktase menurun atau tidak ada, laktosa tidak dapat
diserap, dan tetap berada di lumen usus. Laktosa aktif secara osmotik, dan menahan
dan menarik air yang menyebabkan diare berair. Penyebab umum diare berlemak
termasuk penyakit celiac dan pankreatitis kronis. Pankreas melepaskan enzim yang
diperlukan untuk pemecahan makanan. Enzim dilepaskan dari pankreas dan
membantu pencernaan lemak, karbohidrat, dan protein. Setelah dipecah, produk
tersedia untuk diserap di usus. Pasien dengan pankreatitis kronis memiliki
pelepasan enzim yang tidak mencukupi yang menyebabkan malabsorpsi.
Gejalanya sering meliputi nyeri perut bagian atas, perut kembung, dan tinja
berwarna pucat dan berbau busuk karena malabsorpsi lemak. Dalam bentuk
sekretorik diare, infeksi bakteri dan virus adalah penyebab umum. Dalam hal ini,
tinja berair adalah hasil dari cedera pada epitel usus. Sel epitel melapisi saluran
usus dan memfasilitasi penyerapan air, elektrolit, dan zat terlarut lainnya. Etiologi
infeksi menyebabkan kerusakan sel epitel yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas usus. Sel-sel epitel yang rusak tidak dapat menyerap air dari lumen
usus yang menyebabkan feses menjadi encer.
2.3.3 Klasifikasi
Berdasarkan durasinya, terdapat tiga jenis diare: 14
a. Diare akut, berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari.
b. Disentri, yaitu diare akut dengan darah.
c. Diare persisten, berlangsung selama 14 hari atau lebih.
Selain itu diare dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya:15
a. Diare sekretorik terjadi bila mukosa usus secara langsung mensekresi cairan
dan elektrolit ke dalam feses. Diare sekretorik kemungkinan disebabkan
oleh inflamasi karena mikroorganisme penyebab diare. Kolera merupakan
17
salah satu diare sekretorik yang distimulasi oleh enterotoksin Vibrio
cholerae yang menyebabkan peningkatan kadar adenosin monofosfat siklik
(cAMP) pada enterosit, sehingga terjadi penarikan cairan ke lumen usus
halus. Sekresi juga distimulasi oleh mediator inflamasi oleh berbagai
macam hormon, seperti peptida usus vasoaktif yang disekresi oleh suatu
tumor neuroendokrin.
b. Diare osmotik merupakan malabsorbsi substansi yang dimakan, yang akan
menarik air ke lumen usus. Contohnya pada kasus intoleransi laktosa, sering
terjadi fermentasi substansi yang termalabsorbsi menimbulkan gas, kram
perut, dan feses yang asam.
2.3.4 Tatalaksana16
Diare pada anak, WHO merekomendasikan lima tatalaksana utama diare disebut
lintas penatalaksana diare (rehidrasi, supplement zinc, nutrisi, antibiotik selesktif,
dan edukasi orang tua/pengasuh)
1. Rehidrasi yang adekuat Oral Rehydration Therapy (ORT)
Pemberian cairan pada kondisi tanpa dehidrasi adalah pemberian larutan oralit
dengan osmolaritas rendah. Oralit untuk pasien diare tanpa dehidrasi diberikan
sebanyak 10 ml/kgbb tiap BAB. Rehidrasi pada pasien diare akut dengan
dehidrasi ringan-sedang dapat diberikan sesuai dengan berat badan penderita.
Volume oralit yang disarankan adalah sebanyak 75 ml/KgBB. Buang Air Besar
(BAB)i berikutnya diberikan oralit sebanyak 10 ml/KgBB. Pada bayi yang
masih mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI), ASI dapat diberikan.
2. Parenteral
Selanjutnya kasus diare dengan dehidrasi berat dengan atau tanpa tanda-tanda
syok, diperlukan rehidrasi tambahan dengan cairan parenteral. Bayi dengan
usia <12 bulan diberikan ringer laktat (RL) sebanyak 30 ml/KgBB selama satu
jam, dapat diulang bila denyut nadi masih terasa lemah. Apabila denyut nadi
teraba adekuat, maka ringer laktat dilanjutkan sebanyak 70 ml/KgBB dalam
lima jam. Anak berusia >1 tahun dengan dehidrasi berat, dapat diberikan ringer
laktat (RL) sebanyak 30 ml/KgBB selama setengah sampai satu jam. Jika nadii
teraba lemah maupun tidak teraba, langkah pertama dapat diulang. Apabila nadi
sudah kembali kuat, dapat dilanjutkan dengan memberikan ringer laktat (RL)
sebanyak 70 ml/KgBB selama dua setengah hingga tiga jam. Penilaian
dilakukan tiap satu hingga dua jam. Apabila status rehidrasi belum dapat
18
dicapai, jumlah cairan intravena dapat ditingkatkan. Oralit diberikan sebanyak
5 ml/KgBB/jam jika pasien sudah dapat mengkonsumsi langsung. Bayi
dilakukan evaluasi pada enam jam berikutnya, sementara usia anak-anak dapat
dievaluasi tiga jam berikutnya.
3. Suplement Zinc
Suplement zinc digunakan untuk mengurangi durasi diare, menurunkan risiko
keparahan penyakit, dan mengurangi episode diare. Pengunaan mikronutrien
untuk penatalaksanaan diare akut didasarkan pada efek yang diharapkan terjadi
pada fungsi imun, struktur, dan fungsi saluran cerna utamanya dalam proses
perbaikan epitel sel seluran cerna. Secara ilmiah zinc terbukti dapat
menurunkan jumlah buang air besar (BAB) dan volume tinja dan mengurangi
risiko dehidrasi. Zinc berperan penting dalam pertumbuhan jumlah sel dan
imunitas. Pemberian zinc selama 10-14 hari dapat mengurangi durasi dan
keparahan diare. Selain itu, zinc dapat mencegah terjadinya diare kembali.
Meskipun diare telah sembuh, zinc tetap dapat diberikan dengan dosis 10
mg/hari (usia < 6 bulan) dan 20 mg /hari (usia > 6 bulan).
4. Nutrisi adekuat
Pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan yang sama saat anak sehat diberikan
guna mencegah penurunan berat badan dan digunakan untuk menggantikan
nutrisi yang hilang. Apabila terdapat perbaikan nafsu makan, dapat dikatakan
bahwa anak sedang dalam fase kesembuhan. Pasien tidak perlu untuk puasa,
makanan dapat diberikan sedikit demi sedikit namun jumlah pemerian lebih
sering (>6 kali/hari) dan rendah serat. Makanan sesuai gizi seimbang dan atau
ASI dapat diberikan sesegera mungkin apabila pasien sudah mengalami
perbaikan. Pemberian nutrisi ini dapat mencegah terjadinya gangguan gizii,
menstimulasii perbaikan usus, dan mengurangi derajat penyakit.
5. Antibiotik selektif
Pemberian antibiotik dilakukan terhadap kondisi-kondisi seperti:
a. Patogen sumber merupakan kelompok bakteria
b. Diare berlangsung sangat lama (>10 hari) dengan kecurigaan
Enteropathogenic E coli sebagai penyebab.
c. Apabila patogen dicurigai adalah Enteroinvasive E coli.
d. Agen penyebab adalah Yersinia ditambah penderita memiliki tambahan
diagnosis berupa penyakit sickle cell.
19
e. Infeksii Salmonella pada anak usia yang sangat muda, terjadi
peningkatan temperatur tubuh (>37,5 C) atau ditemukan kultur darah
positif bakteri

2.4 Choking
2.4.1 Definisi17
Choking atau foreign body airway obstruction terjadi ketika benda asing seperti
makanan, koin, atau mainan menutup sebagian atau seluruh bagian saluran napas
atas hingga trakea. Choking dapat dialami oleh bayi hingga orang tua. Pada usia
muda, benda asing kemungkinan berupa makanan atau mainan. Sedangkan pada
orang tua berupa makanan.
2.4.2 Tanda dan gejala18
Benda asing (foreign body) yang bersarang di laring atau trakea paling
berbahaya karena ini menyebabkan obstruksi jalan napas total. Atau, benda asing
seperti manik-manik kecil atau potongan kecil makanan dapat lewat di bawah pita
suara dan menjadi bersarang di carina atau di dalam saluran bronkus. Pada orang
dewasa, karena perbedaan anatomi antara paru kanan dan kiri, benda asing lebih
sering bersarang di bronkus kanan. Namun, anak-anak akan memiliki
kemungkinan yang sama di kedua bronkus karena pertumbuhan kedua paru masih
sama sampai usia 16 tahun. Terdapat perbedaan indikasi terjadinya chocking
dikarenakan perbedaan daya atau kemampuan dalam menyampaikan kondisi yang
sedang dialami berdasarkan usia pasien chocking. Namun, secara general akibat
terganggunya system vokal, maka pasien akan kesulitan menyampaikan
kondisinya secara verbal.
Adapun pada anak-anak, umumnya akan muncul kondisi drooling (keluarnya
air liur yang banyak) atau stridor. Sementara pada orang dewasa, gejala yang paling
umum adalah triad klasik dari batuk paroksismal, mengi, dan dispnea atau
penurunan masuk udara/penurunan suara napas. Dapat juga dijumpai kondidi "café
coronary" yang merujuk pada kondisi henti jantung sekunder untuk obstruksi jalan
napas yang terjadi saat sedang makan.
Presentasi klinis juga dapat dibedakan berdasarkan tingkat obstruksi dan dapat
bervariasi mulai dari asimptomatik hingga kolaps pernapasan dan kematian. Pasien
anak bergejala paling sering ditandai dengan dengan batuk, dispnea, sensasi benda
asing, atau sakit tenggorokan. Mereka yang memiliki diagnosis tertunda akan
20
sering melaporkan batuk atau mengi yang persisten. Pada pemeriksaan fisik,
temuan berkisar dari gangguan pernapasan normal hingga akut, tetapi paling sering
terjadi penurunan masuknya udara dan suara napas, suara napas abnormal atau
asimetris, takipnea, hidung kemerahan (flaring), mengi, atau stridor. Pada bayi dan
anak-anak, biasanya kondisi choking disertai atau terjadi selama kondisi khusus,
sebagai contoh saat sedang makan dan bermain. Hal ini merupakan tanda yang
dapat meningkatkan kecurigaan terhadap choking. Tanda lain dapat mengikuti,
seperti batuk, kesusahan dalam bernapas atau berbicara, menangis (terutama pada
infant/bayi), dan gagging (dapat disertai diamnya bayi/anak dan memegang
tenggorokan). Sesuai dengan gejala berat-ringannya obstruksi, juga terdapat tanda
yang membedakan keduanya.

Tabel 2.4 Tingkat Keparahan Obstruksi Jalan Napas


Obstruksi Ringan (Mild) Obstruksi Parah (Severe)
Merupakan kondisi batuk efektif dengan ciri Merupakan kondisi batuk tidak efektif yang
yang dialami infant/anak-anak antara lain: umumnya dapat ditemui tanda pada
Obstruksi ringan (batuk efektif) infant/anak-anak sebagai berikut:
1. Menangis/mampu menanggapi 1. Tidak dapat bersuara
pertanyaan secara lisan 2. Tenang (diam/senyap)
2. Mengalami batuk yang keras 3. Mengalami silent cough
3. Mampu mengambil napas sebelum 4. Tidak bisa bernapas
batuk dan sepenuhnya responsif 5. Menunjukkan tanda-tanda sianosis dan
penurunan tingkat kesadaran

2.4.3 Klasifikasi19
Klasifikasi tersedak dibagi menjadi dua yaitu:
1. Obstruksi total yaitu terhambatnya saluran pernafasan secara total sehingga
pasien tidak dapat bernafas sama sekali, dan harus segera ditolong karena
dalam beberapa menit pasien akan mengalami kematian yang permanen.
Bila terjadi obstruksi total maka akan terjadi atelektasis.
2. Check valve / Parsial yaitu terhambatnya saluran pernafasan secara parsial
atau tidak secara total, sehingga pasien masih dapat bernapas tetapi kurang
adekuat. Penyebab obstruksi ini (biasanya benda asing) harus segera
dikeluarkan karena akan mempengaruhi pasokan oksigen ke jaringan.
Tetapi pengeluaran benda asing tersebut harus dilakukan oleh tenaga medis
yang terlatih. Bila pengeluaran benda asing dilakukan oleh orang yang tidak
terlatih maka dapat menyebabkan sumbatan total. Obstruksi parsial dapat
menyebabkan emphisema paru.

21
2.4.4 Faktor yang mempengaruhi20
Anak-anak di bawah usia empat tahun cenderung lebih rentan tersedak. Tersedak
terkait makanan pada anak-anak sering terjadi karena anak-anak di bawah usia dua
tahun belum mengembangkan gigi geraham. Jadi, ketika anak-anak di bawah usia
dua tahun menggigit makanan dengan gigi seri mereka, mereka tidak dapat
menggilingnya untuk menelan dengan lancar. Meskipun anak-anak berusia tiga
sampai empat tahun menunjukkan perkembangan gigi geraham, praktik
mengunyah mereka tetap belum maksimal, terutama dengan makanan yang tidak
sesuai dengan usia mereka. Selain itu, anak-anak pada usia ini juga mudah
terganggu dan mungkin tidak konsentrasi saat makan.
2.4.5 Mekanisme21
Benda asing yang bersarang di laring atau trakea paling berbahaya karena
menyebabkan obstruksi jalan napas total. Sebagai alternatif, benda asing seperti
manik-manik kecil atau potongan kecil makanan dapat lewat di bawah pita suara
dan bersarang di carina atau di dalam bronkus utama. Pada orang dewasa, karena
perbedaan anatomi paru kanan dan kiri, benda asing lebih sering diambil dari
bronkus utama kanan.
Penutupan glottal dan refleks ekspirasi, upaya ekspirasi paksa untuk
mengeluarkan debris laring, adalah mekanisme utama untuk mencegah benda asing
masuk ke jalan napas. Refleks ekspirasi berbeda dari refleks batuk karena refleks
ekspirasi dimulai dengan ekspirasi, dan refleks batuk dimulai dengan inspirasi,
menyiratkan input sensorik atau aferen dan pemrosesan saraf pusat yang berbeda.
Refleks ekspirasi berfungsi untuk mencegah aspirasi bahan ke saluran napas bagian
bawah sementara refleks batuk menarik udara ke paru-paru untuk mendorong
pengeluaran mukus dan debris jalan napas yang lebih efisien.
Obstruksi jalan napas dapat terjadi di mana saja mulai dari faring hingga
bronkus. Obstruksi di laring, di atas pita suara, memiliki prognosis yang lebih baik
karena manuver terapeutik cenderung lebih efektif daripada ketika obstruksi terjadi
di bawah laring, yang mungkin memerlukan pengangkatan dengan instrumentasi.
Selain itu, derajat obstruksi juga penting karena obstruksi parsial masih
memungkinkan aliran udara dan dapat memberikan waktu tambahan sebelum
pasien menjadi hipoksia. Spasme dan edema akibat obstruksi jalan napas dan
menjadi lebih parah seiring berjalannya waktu. Secara bersamaan upaya pasien
untuk mengeluarkan benda tersebut berkurang seiring waktu, membuat pengusiran
22
spontan dari benda yang tersangkut lebih kecil kemungkinannya. Meskipun tidak
mungkin dikendalikan, jumlah udara yang terperangkap di paru-paru pada saat
obstruksi total akan mempengaruhi tekanan yang dihasilkan oleh tindakan
terapeutik, seperti dorongan perut, untuk mengeluarkan benda tersebut.
Stridor, suara pernapasan bernada tinggi yang bervariasi, adalah temuan
pemeriksaan fisik yang umum pada obstruksi jalan napas. Penyebabnya dikaitkan
dengan aliran turbulen yang cepat melalui lubang jalan napas yang sempit.
Pengurangan aliran udara meningkatkan energi yang dikeluarkan untuk
memindahkan udara melintasi jalan napas, mengakibatkan aliran udara turbulen
dan, selanjutnya, stridor dan gangguan pernapasan. Stridor biasanya terdengar pada
inspirasi tetapi juga dapat terdengar pada ekspirasi pada obstruksi berat. Stridor
bifasik ini menunjukkan obstruksi jalan napas tetap yang parah pada tingkat glotis,
subglotis, atau trakea bagian atas.
2.4.6 Tata laksana (invasif dan non-invasif)
Non invansif
• Tatalaksana tersedak pada anak22
Penanganan dini untuk tersedak pada anak terbagi menjadi 3 macam, yaitu
meliputi back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust (hentakan
pada perut) disebut juga dengan maneuver Heimich dan chest thrust
(hentakan pada dada). Urgensi dari permasalahan kegawatdaruratan
tersedak pada anak dapat menyebabkan kematian, sangat perlu untuk
dilakuakan edukasi terkait penanganan kegawatdaruratan tersedak pada
anak. Hal ini sebagai salah satu upaya penanganan dan mengurangi
mortalitas kasus tersedak pada anak.
• Tatalaksana tersedak pada dewasa23
Terdapat beberapa manuver yang terbukti efektif untuk menangani
tersedak, antara lain back blow (tepukan di punggung), abdominal thrust
(hentakan pada perut) disebut juga dengan manuver Heimlich, dan chest
thrust (hentakan pada dada).
a. Tepukan di punggung (back blow)
Tepukan di punggung (back blow) dilakukan dengan memberikan
lima kali tepukan di punggung korban. Berikut cara melakukan back
blow:

23
1. Berdiri di belakang korban den sedikit bergeser kesamping.
2. Miringkan korban sedikit ke depan dan sangga dada korban
dengan salah satu tangan.
3. Berikan lima kali tepukan di punggung bagian atas di
antara tulang belikat menggunakan tangan bagian bawah.
b. Manuver hentakan pada perut (abdominal thrust)/manuver
Heimlich)24
Manuver hentakan pada perut hanya boleh dilakukan untuk anak
berusia diatas 1 tahun dan dewasa. Manuver hentakan pada perut
dapat membuat korban batuk yang diharapkan cukup kuat untuk
menghilangkan sumbatan pada saluran napas. Manuver hentakan
pada perut membuat tekanan (penekanan) pada paru-paru dan
memaksa udara keluar. Udara yang dipaksa keluar juga akan
memaksa keluar benda yang membuat korban tersedak. Berikut cara
melakukan manuver hentakan pada perut:
1. Miringkan korban sedikit ke depan dan berdiri di belakang
korban dan letakkan salah satu kaki di sela kedua kaki
korban.
2. Buat kepalan pada satu tangan dengan tangan lain
menggenggam kepalan tangan tersebut. Lingkarka tubuh
korban dengan kedua lengan kita.
3. Letakkan kepalan tangan pada garis tengah tubuh korban
tepat di bawah tulang dada atau di ulu hati.
4. Buat gerakan ke dalam dan ke atas secara cepat dan kuat
untuk membantu korban membatukkan benda yang
menyumbat saluran napasnya. Manuver ini terus diulang
hingga korban dapat kembali bernapas atau hingga korban
kehilangan kesadaran.
5. Jika korban kehilangan kesadaran, baringkan korban secara
perlahan sehingga posisinya terlentang dan mulai lakukan
RJP. Setiap saluran napas dibuka saat RJP, penyelamat
harus memeriksa apakah terdapat benda asing pada mulut
korban dan mengambilnya apabila menemukannya.

24
c. Manuver hentakan pada dada (chest thrust)23
Apabila korban tersedak sedang hamil atau mengalami kegemukan,
manuver hentakan pada perut mungkin tidak efektif. Pada
keadaaan- keadaan tersebut, dapat dilakukan manuver hentakan
pada dada:
1. Letakkan tangan di bawah ketiak korban
2. Lingkari dada korban dengan lengan kita
3. Letakkan bagian ibu jari pada kepalan di tengah-tengah
tulang dada korban (sama seperti tempat melakukan
penekanan dada pada RJP)
4. Genggam kepalan tangan tersebut dengan tangan satunya
dan hentakan ke dalam dan ke atas.
Invansif25
• Prosedural Pengambilan Benda Asing dengan Forcep Magill dibantu
Laringoskopi Direk
Berikut merupakan teknik pengambilannya, yaitu:
1. Membuka mulut korban dan inspeksi kavitas oral
2. Melepaskan semua denture yang mudah lepas
3. Melakukan laringoskopi atau video-assisted laryngoscope. Lakukan
suction jika diperlukan
4. Pegang forcep Magill dengan ibu jari dan jari manis tangan kanan
dimasukkan ke dalam lubang
5. Masukkan forcep (dalam keadaan tertutup) ke dalam mulut pasien
6. Dengan bantuan laringoskopi direk, buka dan tutup
forcep Magill untuk menjepit benda asing. Perhatikan agar tidak
menjepit jaringan di sekitarnya
7. Lakukan manipulasi benda asing tersebut jika diperlukan
• Prosedural Bronkoskopi
Langkah-langkah prosedur bronkoskopi lentur:
1. Memasuki pohon trakeobronkial.
Bronkoskop dimasukkan melalui nasal, oral atau
endotrakeal/trakeostomi.
2. Inspeksi jalan napas.

25
Seiring dengan masuknya bronkoskop ke jalan napas, lakukan
inspeksi glotis, trakea, bronkus cabang utama dan segmental.
3. Prosedur diagnostik dan terapetik benda asing.
Langkah-langkahnya terdiri atas: mencabut benda asing,
menggenggam atau mengamankan objek, mengeluarkannya
bersama dengan bronkoskop fleksibel.
4. Dokumentasi dan pelaporan.

Follow up
Jika prosedur penanganan tersedak di atas tidak berhasil dalam mengeluarkan
benda asing, maka: pada keadaan gawat darurat dapat dilakukan tindakan
krikotiroidotomi; pada keadaan tidak gawat darurat, dapat dirujuk ke fasilitas yang
dapat melakukan tindakan bronkoskopi. Jika penanganan tersedak berhasil, benda
asing mungkin akan tetap berada di jalan napas atas atau bawah dan dapat
menyebabkan komplikasi lainnya. Korban dengan batuk terus-menerus, kesulitan
menelan atau adanya sensasi benda yang masih tersangkut di tenggorokan harus
mendapatkan penanganan medis. Abdominal thrust dan kompresi dada berpotensi
menyebabkan cedera internal yang serius dan semua korban yang berhasil
ditangani dengan tindakan ini perlu diperiksa oleh tenaga medis setelahnya.
Korban dengan pengobatan antiplatelet dan/atau antikoagulan mempunyai risiko
lebih tinggi mengalami perdarahan intraabdomen. Oleh karena itu, disarankan agar
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan dilakukan CT scan thorakoabdominal jika
diduga ada cedera torako-abdominal. Pasien yang menjalani prosedur pengambilan
benda asing dengan forcep Magill dengan laringoskop direk atau bronkoskopi perlu
dimonitor seperti layaknya pasien setelah anestesi/sedasi. Selain itu, juga perlu
dipantau komplikasi yang dapat terjadi sesuai prosedur yang dilakukan selama
bronkoskopi.
2.4.7 Pencegahan26
Orang tua harus memberikan perhatian kepada anak-anak mereka ketika sedang
makan. Terdapat beberapa faktor perilaku yang dapat mempengaruhi resiko anak
tersedak, diantaranya: tingkat aktivitas yang tinggi saat sedang makan, seperti
berjalan atau berlari, berbicara, tertawa, dan makan dengan cepat (mengunyah
makanan tidak sempurna), dapat meningkatkan resiko anak tersedak. Pencegahan

26
lainnya yang dapat dilakukan seperti pelabelan pada makanan dengan hati-hati, dan
edukasi kepada masyarakat.

2.5 Syok
2.5.1 Definisi27
Syok merupakan gangguan hemodinamik yang menyebabkan tidak adekuatnya
hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan hemodinamik tersebut dapat
berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah
balik, penurunan pengisian ventrikel dan kecilnya curah jantung.
2.5.2 Klasifikasi28
Syok atau renjatan dapat merupakan keadaan terdapatya pengurangan yang sangat
besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur- unsur
gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan Syok tidak terjadi dalam waktu
lama dengan tanda klinis penurunan tekanan darah, akral dingin, kulit pucat,
penurunan cardiac output. Syok yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian dengan manifestasi klinis sesuai dengan derajat syok yang terjadi,
yaitu:
1) Syok Hipovolemik atau oligemik
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari
muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel
tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan
volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini
yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume)
dan curah jantung yang tidak adekuat.
2) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan
arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/
m2, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak
tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin
dan sianotik.
Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark
ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
yang berat, dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya

27
miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan
pembedahan jantung yang lama.
Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta
atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat
menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah
keluar melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya
menyebabkan syok kardiogenik.
3) Syok obstruksi
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama
diastole, sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke
Volume) dan berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli
paru masif.
4) Syok Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang
menyebabkan penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis
syok septic merupakan gangguan kedua system vaskuler perifer dan jantung.
Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat
serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu
dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh
menetap.
2.5.3 Tahapan29
Hipoksia pada tingkat sel menyebabkan serangkaian perubahan fisiologis dan
biokimia, mengakibatkan asidosis dan penurunan aliran darah regional, yang
selanjutnya memperburuk hipoksia jaringan. Pada syok hipovolemik, obstruktif,
dan kardiogenik, terjadi penurunan curah jantung dan penurunan transportasi
oksigen. Pada syok distributif, terjadi penurunan resistensi pembuluh darah perifer
dan ekstraksi oksigen yang abnormal. Kegembiraan adalah spektrum perubahan
fisiologis, mulai dari tahap awal yang reversibel hingga tahap akhir yang
ireversibel dengan kegagalan multiorgan dan kematian. Secara umum, syok
memiliki tiga tahap berikut:
1. Pre-shock atau kompensasi shock - Seperti namanya, tahap ini ditandai
dengan mekanisme kompensasi untuk melawan penurunan perfusi jaringan,

28
termasuk takikardia, vasokonstriksi perifer, dan perubahan tekanan darah
sistemik.
2. Syok - Selama tahap ini, sebagian besar tanda dan gejala klasik syok muncul
karena disfungsi organ awal, akibat perkembangan tahap pra-syok karena
mekanisme kompensasi menjadi tidak mencukupi.
3. Disfungsi organ akhir - Ini adalah tahap akhir, yang mengarah ke disfungsi
organ ireversibel, kegagalan multiorgan, dan kematian
2.5.4 Langkah awal dalam penanganan pasien syok30
Posisi Tubuh
a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum
posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran
darah ke organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau
penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring
miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk
menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang
sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk
menghindari terjadinya asfiksia.
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau
kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari
bagian tubuh lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita
dibaringkan dengan posisi telentang datar.
f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi
lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan
kakinya kembali.
Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
29
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit
d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa
sungkup (Ambu bag) atau ETT.
Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan Central Venous Pressure (CVP).
Penatalaksanaan berdasarkan jenisnya:
1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik
Penatalaksanaan syok anafilaktik jika terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
• Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap
bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang
tidak sadar, tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan,
dan buka mulut.
• Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

30
• Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
(a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung
luar.
• Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan
bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan
protokol resusitasi jantung paru.
c. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik.
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin
2–4 ug/menit.
d. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB
intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam
cairan infus.
e. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
f. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma.
g. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.

31
h. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.
i. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari
2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk
observasi.
2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
a. Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita
untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan
sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar,
mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi
cairan ke dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau
dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak
ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila
penderita menjadi mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan
pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus
seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin
diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah
32
pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan
elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian
volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan
volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama
dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa
transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah
pemberian cairan yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian
cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus
diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan
nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ
majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan
alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan
pemeriksaan analisa gas darah.
3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif
seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan
penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar
darah yang berkumpul ditempat tersebut. Penatalaksanaannya:
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya
dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi
dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator
mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari
pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi
yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan

33
hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot
respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan
resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus
dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor
kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-
obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada
perdarahan seperti ruptur lien).
• Dopamin: merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10
mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi
takikardi.
• Norepinefrin: efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan
tekanan darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini
harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok
neurogenik.
• Dobutamin: berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan
oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan
tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

2.6 Initial Emergency Assessment


2.6.1 Penilaian ABCDE / ABCCS31
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut
Primary Survey yang harus selesai dilakukan dalam 2 – 5 menit.
a. Airway
Menilai jalan napas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas?
Jika ada obstruksi maka lakukan:
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)

34
• Guedel airway / nasopharyngealairway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisinetral
b. Breathing
Menilai pernapasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika
pernafasan tidak memadai maka lakukan:
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernapasan buatan
c. Circulation
Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan napas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16G)
• Berikan infus cairan
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap
nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma
Scale
AWAKE = A
RESPON BICARA = V
RESPON NYERI = P
TIDAK ADA RESPON = U
e. Exposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus dikerjakan.
2.6.2 PAT
Pada pasien anak dikenal istilah pediatric assessment triangle (PAT) yaitu
menilai secara cepat kegawatan susunan saraf pusat, kardiovaskular dan respirasi.
Penilaian komponen tersebut terlihat berurutan, tetapi kenyataannya dalam tim
dapat dilakukan secara bersamaan, sehingga seluruh proses hanya memakan waktu
beberapa menit. Survei primer dimulai di lokasi cedera dan bertujuan untuk

35
memastikan jalan napas yang paten, pernapasan yang memadai, kardiovaskular
yang adekuat, dan menilai disabilitas neurologis.32
Evaluasi komponen PAT hanya memerlukan kemampuan audiovisual
pemeriksa, tidak memerlukan peralatan khusus serta dapat dilakukan dengan cepat.
Komponen PAT terdiri dari tiga komponen utama yaitu kesan umum (appearance),
upaya napas dan sirkulasi perifer dengan penjabaran tiap komponen. Tiga
komponen tersebut dapat menggambarkan kondisi kardiopulmoner, status serebral
dan fungsi metabolik awal pasien. Interpretasi komponen PAT dapat dinilai secara
terpisah maupun digabungkan untuk menilai kesan umum dan dasar kelainan
fisiologi yang mendasari (respirasi, perfusi, metabolik atau sistem saraf pusat).
Meskipun belum banyak terdapat penelitian yang melakukan validasi PAT,
pemeriksaan PAT lebih dapat diterapkan di kondisi emergensi karena menganut
prinsip evaluasi kegawatdaruratan. Tujuan penggunaan PAT adalah untuk memulai
urutan pemeriksaan dan penggunaannya tidak dapat menggantikan evaluasi
ABCDE.33
2.6.3 Tingkat kesadaran34
GCS (glasgow coma scale) adalah skala yang dipakai untuk mengetahui tingkat
kesadaran. Dulu, skala ini digunakan pada orang yang mengalami cedera kepala.
Namun, saat ini, GCS juga digunakan untuk menilai tingkat kesadaran seseorang
saat memberikan pertolongan darurat medis. Tingkat kesadaran seseorang
umumnya dapat dinilai dari tiga aspek, yaitu mata (kemampuan membuka mata),
suara (kemampuan bicara), dan gerakan tubuh. Tiga aspek ini dinilai melalui
pengamatan, kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan angka GCS.
Tingkat kesadaran tertinggi berada di skala 15, sedangkan tingkat kesadaran
terendah atau dapat dikatakan koma berada di skala 3. Nah, untuk mengetahui skala
tersebut, cara mengukur tingkat kesadaran dengan skala GCS adalah sebagai
berikut:
• Mata
Berikut ini adalah panduan pemeriksaan mata untuk menentukan angka
GCS:
1. Poin 1: Mata tidak bereaksi dan tetap terpejam meski telah diberi
rangsangan, seperti cubitan pada mata.
2. Poin 2: Mata terbuka setelah menerima rangsangan.

36
3. Poin 3: Mata terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat
mengikuti perintah untuk membuka mata.
4. Poin 4: Mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan.
• Suara
Untuk pemeriksaan respons suara, panduan untuk menentukan nilai GCS
adalah sebagai berikut:
1. Poin 1: tidak mengeluarkan suara sedikit pun meski sudah dipanggil
atau diberi rangsangan.
2. Poin 2: suara yang keluar berupa rintihan tanpa kata-kata.
3. Poin 3: suara terdengar tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-
kata, tetapi bukan kalimat yang jelas.
4. Poin 4: suara terdengar dan mampu menjawab pertanyaan, tetapi
orang tersebut tampak kebingungan atau percakapan tidak lancar.
5. Poin 5: suara terdengar dan mampu menjawab semua pertanyaan
yang diajukan dengan benar serta sadar penuh terhadap lokasi, lawan
bicara, tempat, dan waktu.
• Gerakan
Panduan penentuan angka GCS untuk pemeriksaan respons gerakan adalah
sebagai berikut:
1. Poin 1: tidak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali walau
sudah diperintahkan atau diberi rangsangan nyeri.
2. Poin 2: hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki atau
meluruskan kaki dan tangan saat diberi rangsangan nyeri.
3. Poin 3: hanya mampu menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi
rangsangan nyeri.
4. Poin 4: mampu menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika
dirangsang nyeri. Misalnya, orang tersebut merespons dengan
menarik tangannya ketika dicubit.
5. Poin 5: mampu menggerakkan tubuhnya ketika diberikan rangsangan
nyeri dan orang tersebut dapat menunjukkan lokasi nyeri.
6. Poin 6: mampu melakukan gerakan tubuh apa pun saat diperintahkan.

Skala GCS diperoleh dengan menjumlahkan setiap poin dari ketiga aspek
pemeriksaan di atas. Skala ini dipakai sebagai tahap awal evaluasi kondisi

37
seseorang yang pingsan atau baru mengalami kecelakaan dan kemudian tidak
sadarkan diri sebelum diberi pertolongan lebih lanjut.

2.7 Studi Kasus


2.7.1 Bagaimana hukum dan etika mengenai pertolongan pertama yang bisa
dilakukan oleh mahasiswa kedokteran?
BHD dapat dilakukan oleh orang awam sekalipun karena tidak setiap waktu
terdapat akses yang cepat untuk mendapat bantuan medis. Oleh karenanya
sangatlah penting agar orang di sekitar korban dapat melakukan BHD dengan
segera. Namun, BHD oleh awam harus segera digantikan ketika bantuan
profesional sudah datang.35
2.7.2 Bagaimana pertolongan pertama terhadap kasus tersebut? Yang mana yang
perlu didahului choking atau dehidrasi?36
Dalam menentukan prioritas kasus kegawatdaruratan, terdapat suatu sistem yang
dinamakan triase (triage), yaitu sistem untuk menentukan pasien yang diutamakan
memperoleh penanganan medis terlebih dulu di instalasi gawat darurat (IGD)
berdasarkan tingkat keparahan kondisinya. Salah satu triase yang dapat digunakan
adalah Skala Triase Australasia/Australasian Triage Scale (ATS) yaitu algoritma
triase gawat darurat yang terdiri dari lima tingkat yang terus dikembangkan di
Australia. ategori ATS menggunakan warna antara lain: merah (kategori 1),
oranye (kategori 2), hijau (kategori 3), biru (kategori 4) dan putih (kategori 5).
1. Merah (Kategori 1)
a. Deskripsi kategori: kondisi yang mengancam kehidupan atau
memiliki risiko kecacatan dan membutuhkan intervensi agresif
segera.
b. Response: segera, serentak, penilaian dan perawatan.
c. Deskriptor Klinis: gagal jantung, henti napas, risiko langsung
terhadap jalan napas (laju pernapasan <10/menit, gangguan
pernapasan ekstrem, blood pressure (BP) <80 (dewasa) atau
anak/bayi yang sangat syok, tidak responsif atau hanya merespons
nyeri (GCS <9), kejang yang sedang berlangsung/berkepanjangan,
overdosis dan tidak responsif atau hipoventilasi, gangguan perilaku
parah dengan ancaman kekerasan berbahaya.

38
2. Oranye (Kategori 2)
a. Deskripsi kategori: Kondisi pasien cukup serius atau memburuk
dengan sangat cepat sehingga ada potensi ancaman terhadap
kehidupan, atau kegagalan sistem organ, jika tidak dirawat dalam
waktu sepuluh menit setelah kedatangan atau nyeri yang sangat parah.
b. Response: Penilaian dan perawatan dalam 10 menit (penilaian dan
perawatan sering bersamaan).
c. Deskriptor Klinis: risiko jalan nafas, tridor parah, gangguan
pernapasan parah, gangguan peredaran darah (kulit lembab atau
berbintik-bintik, perfusi buruk, SDM <50 atau >150 (dewasa),
hipotensi dengan efek hemodinamik, kehilangan darah yang parah),
nyeri dada, Rasa sakit yang sangat parah, dugaan sepsis), neutropenia
demam, trauma berat, fraktur mayor, torsi testis, konsumsi, diseksi
aorta, kehamilan ektopik.
d. Perilaku/Psikiatri: kasar atau agresif, ancaman langsung terhadap diri
sendiri atau orang lain, agitasi atau agresi yang parah, stroke akut,
percikan asam atau alkali ke mata, endophthalmitis yang dicurigai
(pasca katarak, injeksi pasca-intravitreal), dan multi trauma besar
(membutuhkan respons tim yang terorganisir dengan cepat).
3. Hijau (kategori 3)
a. Deskripsi kategori: berpotensi mengancam kehidupan kondisi pasien
dapat mengancam anggota tubuh, atau dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan, jika penilaian dan pengobat tidak dimulai
dalam waktu tiga puluh menit.
b. Response: penilaian dan perawatan dimulai dalam 30 menit.
c. Deskriptor Klinis: hipertensi berat, kehilangan darah yang cukup
parah, kejang, muntah yang persisten, dehidrasi, cidera kepala dugaan
sepsis, nyeri yang cukup parah, nyeri perut tanpa fitur risiko tinggi
atau usia pasien >65 tahun, cidera ekstremitas sedang, deformitas,
laserasi parah, himpitan tanpa fitur berisiko tinggi lainnya, anak yang
berisiko mengalami pelecehan.
d. Perilaku/Psikiatri: sangat tertekan, risiko membahayakan diri sendiri,
psikotik akut atau pikiran kacau, krisis situasional, gelisah yang
berpotensi agresif.
39
4. Biru (Kategori 4)
a. Deskripsi kategori: Berpotensi serius, kondisi pasien dapat
memburuk, atau hasil yang merugikan dapat terjadi, jika penilaian
dan pengobatan tidak dimulai dalam satu jam setelah kedatangan di
UGD. Mungkin membutuhkan pemeriksaan dan konsultasi yang
rumit dan/atau manajemen rawat inap
b. Respone: Penilaian dan perawatan dimulai dalam 60 menit.
c. Deskriptor klinis: Perdarahan ringan, aspirasi benda asing, tidak ada
gangguan pernapasan, cidera dada tanpa nyeri tulang rusuk, kesulitan
menelan, cidera kepala ringan, nyeri sedang, muntah atau diare tanpa
dehidrasi, peradangan mata, trauma tungkai, kemungkinan patah
tulang, laserasi tanpa komplikasi, nyeri perut non-spesifik
d. Perilaku/Psikiatri: masalah kesehatan mental semi mendesak, di
bawah pengamatan dan/atau tidak ada risiko langsung terhadap diri
sendiri atau orang lain.
5. Putih (Kategori 5)
a. Deskripsi kategori: kurang mendesak, kondisi pasien cukup kronis
atau minor sehingga gejala atau hasil klinis tidak akan terpengaruh
secara signifikan.
b. Respone: penilaian dan perawatan dimulai dalam 120 menit.
c. Deskriptor klinis: nyeri minimal tanpa fitur risiko tinggi, gejala minor
penyakit yang stabil, gejala minor dari kondisi berisiko rendah, luka
ringan, laserasi minor (tidak perlu dijahit).
d. Perilaku/Psikiatri: pasien yang dikenal dengan gejala kronis, krisis
sosial, sabar secara klinis.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus gangguan
pernapasan akibat tersedak termasuk ke dalam kategori 1/merah dan kasus
dehidrasi termasuk ke dalam kategori 3/hijau. Oleh karena itu, penatalaksanaan
choking lebih diprioritaskan daripada penatalaksanaan dehidrasi karena pada kasus
choking, jalur pernapasan terganggu sehingga membuat pasien kesulitan bernapas
dan dapat mengancam keselamatan pasien jika tidak ditangani dengan segera.

40
2.8 Interpretasi data tambahan

Px. Ani, usia 3 tahun; Rx. muntah dan diare selama 3 hari
Temuan Interpretasi
Keadaan umum:
- Tampak lemah Penurunan kesadaran
- Merespon stimulus verbal Dehidrasi, et causa diare
- Bibir agak kering
Tanda vital:
- Kesadaran: sadar namun lemah Penurunan kesadaran
- HR: 150x/menit, pulsasi nadi lemah HR normal; pulsasi lemah indikasi syok
- RR: 38x/menit, napas cepat dan dalam RR normal; hiperventilasi
- Ekstremitas: akral dingin, lembab, Penurunan perfusi oksigen
pucat
Survei primer:
- Airway Paten; sempat tersedak makanan
- Breathing Hiperventilasi
- Circulation Penurunan perfusi dan preload
- Disability Penurunan kesadaran
- Exposure Ekstremitas dingin
Dx. Syok hipovolemik dengan dehidrasi sedang-berat, et causa diare
Fisiologi: ↓ volume intravaskular → ↓ preload → ↓ pengisian ventrikel → ↓ stroke volume
→ ↓ curah jantung → perfusi jaringan tidak adekuat
Tx. Resusitas cairan NS/RL 20mL/KgBB

41
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Hipotesis diterima. Ani mengalami syok hipovolemik akibat dehidrasi berat dan
memerlukan resusitasi cairan segera, lalu terdapat indikasi yang mengarah pada syok
sepsis namun belum dapat dipastikan karena kurangnya data tambahan, serta Ani
mengalami obstruksi jalan napas parsial yang sudah teratasi dengan manuver.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Ambohamsah, I; Arfa, F; Tanjung, R. Penyuluhan dan Pelatihan Bantuan Hidup Dasar


(BHD) Kecamatan Mapili Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Abdidas.
2021;2(6):1356-1361.
2. Purnomo, Edi, et al. Pengetahuan dan Keterampilan Bantuan Hidup Dasar Serta
Penanganan Tersedak Pada Siswa SMA. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan.
2021;14(1):42-48.
3. Irfani, Qonita Imma. Bantuan hidup dasar. Cermin Dunia Kedokteran. 2019;46(6):458-
461.
4. Abdullah, N, H. Basic Life Support Training Manual. Malaysia. 2017.
5. Ganthikumar, K. Indikasi dan keterampilan resusitasi jantung paru (RJP). Intisari Sains
Medis, 2016;6(1):58-64.
6. American Red Cross. Basic Life Support for Healthcare Providers Handbook. 2015.
7. American Heart Association. AHA Guideline Update for CPR and ECC. Circulation
Vol. 132. 2015.
8. Leksana E. Strategi terapi cairan pada dehidrasi. Cermin Dunia Kedokteran.
2015;42(1):70–3.
9. Subagyo B, santoso NB, BAB VI Diare Akut di IDAI UGH. Buku Ajar Gastroentologi-
Hepatologi Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.h-87.
10. Taylor K, Jones EB. Adult Dehydration. [Updated 2022 May 15]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555956/
11. Leksana, E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi. Cermin Dunia Kedokteran.
2015;42(1):70-73.
12. Iryanto, Andika Agus, Tri Joko, and Mursid Raharjo. Literature Review: Faktor Risiko
Kejadian Diare Pada Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2021;11(1):1-
7.
13. Nemeth V, Pfleghaar N. Diarrhea. [Updated 2021 Nov 29]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448082/
14. WHO. Diarrhoeal Disease. 2017. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/diarrhoeal-

43
disease#:~:text=There%20are%20three%20clinical%20types,lasts%2014%20days%2
0or%20longer.
15. Marcdante, Karen J, Kliegman, Robert M, Jenson, Hal B, Behrman, Richard E. (2014).
Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Ke-6. Diterjemahkan Oleh Vivian Tan. Jakarta:
IDAI; 2014.
16. Rendang Indriyani, D. P., & Putra, I. G. N. S. Penanganan terkini diare pada anak:
tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis. 2020;11(2):928.
https://doi.org/10.15562/ism.v11i2.848
17. Duckett SA, Bartman M, Roten RA. Choking. [Updated 2022 Apr 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499941/
18. Jevon P. Choking 2: Foreign-Body Airway Obstruction in Infants and Children.
Nursing Times. 2019; 115(1):22-24. Doi:
19. Ayu SO. Efektifitas Pemberian Penyuluhan Kesehatan dengan Metode Demonstrasi
terhadap Keterampilan Ibu dalam Penanganan Tersedak pada Anak Usia 2-5 Tahun Di
TK Negeri Pembina Ngawi [skripsi]. Madiun: STIKES Bhakti Husada Mulia; 2020.
20. Mayorathan U, Manikkavasakar S, Pranavan S. Accidental Choking in Children: An
Area to Be Focused on. Cureus. 2022 Feb 21;14(2): e22459. doi:
10.7759/cureus.22459. PMID: 35345707; PMCID: PMC8942174.
21. Dodson H, Cook J. Foreign Body Airway Obstruction. [Updated 2022 May 2]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553186/
22. Pusponegoro AD, et al. Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life Support. Edisi
Kelima. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118. Tim Bantuan Medis
BEM.2012.
23. Bagian Diklat RSCM. Tersedak. Pelatihan Internal RSCM Bantuan Hidup Dasar 2015.
24. JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
ElectrolyteDisturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.
New York: Mc-Graw Hill. 2013
25. Sumber: I. Maconochie, B. Bingham and S. Skelett, Paediatric basic life support,
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/paediatric-basic-life-
support/#choking, 2020.

44
26. Erna, et al. Pemberdayaan Masyarakat (Guru dan Orang Tua) Tanggap Bahaya
Tersedak di KB-TK Khadijah Surabaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2019;4(2):25-
31.
27. Hardisman, H. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update
dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013;2(3):178-182.
28. Purwanto, Diana S.; Astrawinata, Dalima AW. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok
Septik. Jurnal Biomedik: JBM, 2018;10(3):143-151.
29. Haseer Koya H, Paul M. Shock. [Updated 2021 Jul 26]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531492/
30. Arianto, D P; Suwarman, S. Tatalaksana Syok Septik dengan Infeksi Intraabdomen et
causa Perforasi Gaster di ICU. Tarumanagara Medical Journal. 2020;2(2):402-408.
31. Dewi FS. Gambaran Penanganan Awal Pada Pasien Gangguan Pernapasan Karena
Nhs (Non Hemoragik Stroke) Dengan Membuka Jalan Napas Di Icu Rumah Sakit
Bhayangkara Makassar [SKRIPSI].2020.
32. Dewi, Rismala . Cedera pada Anak: Apa yang Perlu Kita Ketahui? Medical Challenges
in Pediatric Practice. Simposium Ilmiah Tahunan IDAI Cabang DKI Jakarta XVI.2019.
33. Wati, DK. Pedoman praktis penatalaksanaan pasien anak di ruang gawat darurat. Pt.
Intisari sains medis. Denpasar. 2019:9-15.
34. Jain S, Iverson LM. Glasgow Coma Scale. [Updated 2022 Jun 21]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513298/
35. Bakara, D. M., Mulyadi, M., & Khorini, F. (2020). BUKU PANDUAN
PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT UNTUK KADER. The Journal
Publishing, 1(5), 1-43
36. Sumber: Atmojo JT, Putri AP, Widiyanti A, Handayani RT, Darmayanti AT.
Australasian Triage Scale (ATS): Literature Review. Journal of Borneo Holistic Heath.
2020; 3(1): 20-5.

45

Anda mungkin juga menyukai