Anda di halaman 1dari 3

ANTI TAKEOVER v.

s PRO TAKEOVER

D.H. Widayatmoko
Praktisi dan Akademisi Keuangan

Ditengah merebaknya rasa khawatir dari pihak


manajemen maupun pemilik perusahaan yang
potensia,l akibat maraknya aksi pengambilalihan
kepemilikan oleh pihak lain, ada suatu fenomena yang
tidak lazim kita temui dan umumnya luput dari
perhatian para analis keuangan maupun para peneliti.
Ternyata ada perusahaan yang dengan sengaja
‘memasang badan’ untuk dijadikan target takeover
dengan beberapa alasan.

Pendahuluan
Mungkin akan timbul pertanyaan di benak kita tentang apa maksud judul di atas. Kalau
istilah “Anti Takeover” agaknya sudah kerapkali kita dengar setiap saat terjadi penolakan
atas usaha pengambilalihan sebuah entitas usaha oleh entitas usaha lainnya. Tapi istilah
“Pro Takeover”? Benarkah istilah itu benar-benar ada dalam kamus keuangan? Ataukah
hanya kesalahan dalam penulisan semata? Marilah kita simak sejenak ulasan berikut ini.

Takeover dan Anti Takeover


Takeover adalah aktivitas pengambilalihan kepemilikan perusahaan oleh perusahaan
lainnya dengan cara pembelian (akuisisi) maupun dengan pengkonversian dari hutang ke
saham. Umumnya pengambilalihan ini diterjemahkan oleh sebagian besar masyarakat
sebagai penjajahan. Apalagi bila pengambilalihan tersebut dilakukan secara paksa.
Umumnya upaya pengambilalihan usaha dilakukan dengan lemah lembut dan penuh
bujuk rayu yang kita kenal dengan istilah “tender offer”. Pada saat tender offer biasanya
sang calon pengambilalih (aggressor) akan melayangkan surat yang ditujukan untuk
manajemen dan para pemegang saham perusahaan target. Biasanya mereka diminta untuk
menjual sahamnya kepada agressor tadi dengan harga tertentu, umumnya diatas harga
pasar. Namun tidak semua pemilik perusahaan bersedia menyerahkan sahamnya begitu
saja, walaupun dengan tawaran yang berada di atas harga pasar. Apabila upaya lemah
lembut tersebut tidak jua membuahkan hasil, maka umumnya aggressor akan mulai
hilang kesabarannya dan akan mulai melakukan aksi perampasan (hostile takeover).
Hostile Takeover itu sendiri bentuknya bermacam-macam dari tekanan pada pihak
manajemen dengan menggunakan tangan-tangan pemerintah atau pihak penguasa, sampai
penyebaran fitnah dan penciptaan image yang buruk bagi perusahaan target.

Masih ingat film “Pretty Woman” yang diperankan oleh Julia Roberts dan Richard Gere?
Di sana Richard Gere berperan sebagai seorang investment banker yang selalu berupaya
merebut perusahaan-perusahaan yang potensial untuk berkembang, namun tengah
mengalami permasalahan keuangan, dari tangan pemilik aslinya. Konon permasalahan
keuangan yang mereka hadapi juga adalah hasil kreativitas dari sang investment banker
beserta gang-nya. Di film itu dapat kita saksikan juga, betapa dengan tanpa daya, seorang
pemilik perusahaan pelayaran tengah berusaha habis-habisan mencoba membujuk sang
investment banker untuk membatalkan niatnya merampas perusahaan yang telah mereka
rintis selama beberapa generasi tersebut.

Anti Takeover adalah upaya yang dilakukan oleh pemilik dan manajemen perusahaan
untuk menghindari terjadinya Hostile Takeover tadi. Ada berbagai strategi yang
umumnya dilakukan oleh pihak manajemen atau pemilik, yang mereka sebut sebagai
“Shark Repellents” atau Obat Anti Hiu, diantaranya adalah: Poison Pills, Golden
Parachutes, Standstill Agreement dan masih banyak lagi.
Pada Poison Pills atau ‘Pil Beracun’ pihak manajemen berupaya agar perusahaan tampak
jadi tidak lagi menarik bagi aggressor, misalnya dengan cara membagi dividen dalam
jumlah besar yang dibiayai dengan hutang.
Pada Golden Parachutes atau ‘Parasut Emas’ pihak manajemen yang umumnya merasa
khawatir posisinya akan digantikan oleh orang lain setelah takeover, menyiapkan paket
pensiun yang luar biasa aduhai seperti warrant saham, gaji yang berkelanjutan, paket
lump-sum pensiun yang besar, dan berbagai fasilitas lainnya.
Sementara pada Standstill Agreement atau ‘Perjanjian Diam’, pihak manajemen memberi
persyaratan agar si agressor menandatangani perjanjian untuk tidak melakukan
perubahan pada struktur organisasi atau pergantian posisi personel manajemen. Bila
aggressor bersedia menandatangani perjanjian, maka proses takeover akan dibuat mudah
dan mendapat bantuan dari pihak manajemen.
Semua upaya untuk menghambat proses pengambilalihan ini didasari oleh rasa khawatir
akan adanya perombakan pada lembaga yang selama ini telah memasuki wilayah
kenyamanan (comfort zone), terutama bagi para staf manajemen puncak. Contohnya saja,
pada saat Bank Bali akan diambil alih oleh Standard Chartered Bank, seluruh manajer
diikuti karyawan melakukan aksi mogok kerja selama berhari-hari dan memaksa DPR
mengambil tindakan untuk menghentikan rencana take over tersebut.

Pro Takeover
Tapi siapa menyangka, sementara rata-rata perusahaan selalu mencoba melakukan anti
takeover, ternyata ada juga perusahaan tertentu yang memang dengan sengaja tidak
melakukan hal tersebut dengan harapan akan ada yang ingin mengambil alih atau
melakukan takeover. Setidaknya, itulah fenomena yang berhasil didokumentasikan oleh
Sharon Hannes dari Center for Law, Economics, and Business Universitas Harvard, di
tengah maraknya aksi penolakan terhadap takeover. Menurut Hannes perusahaan yang
menginginkan dijadikan target takeover umumnya tidak melakukan aktivitas apapun
yang tergolong dalam anti takeover, sehingga lebih memudahkan mereka untuk diambil
alih oleh si aggressor. Di sini kita dapat melihat adanya kebutuhan akan takeover di
antara rasa takut akan dijadikan target takeover.
Kira-kira apakah alasan dari perusahaan tersebut ingin di takeover?
Ada beberapa alasan yang mendasari keinginan perusahaan untuk menjadi target
takeover.
Yang pertama adalah keuntungan dari selisih nilai penjualan dan nilai pasar perusahaan.
Tender offer yang dilakukan oleh Phillip Morris terhadap HM Sampurna direspons
dengan amat positif oleh para pemegang saham. Bahkan harga saham HMSP sempat
melonjak tajam menjelang tanggal-tanggal takeover. Dan pada akhir Mei 2006 kemarin
Phillip Morris telah mentransfer uang untuk 97% kepemilikan saham HMSP dengan nilai
mencapai Rp10.600,- per lembar saham.
Yang kedua, manajemen perusahaan yang menjadikan perusahaannya target takeover
umumnya merasa bahwa satu-satunya cara agar perusahaan mereka dapat lebih
berkembang adalah dengan cara menggabungkan diri dengan lembaga yang lebih
memiliki peluang, baik dari akses pasar maupun akses modal.
Perusahaan penerbitan yang sistem administrasinya sudah mapan dan berkeinginan untuk
merambah pasar negeri jiran, umumnya sangat dinantikan oleh perusahaan penerbitan
lokal yang merasa bahwa kemampuan modalnya terbatas dan kemampuannya
bersaingnya masih lemah di pasar domestik yang sangat kompetitif, sementara daya serap
pasar yang semakin menurun akibat berbagai eksposur ekonomis, seperti nilai tukar dan
inflasi.
Ketiga, pihak manajemen yang sudah lelah dan bosan dengan para pemilik lama yang
dianggap kurang partisipatif dalam memperjuangkan kelangsungan hidup perusahaan
atau kurang peduli dengan tingkat kesejahteraan karyawan, umumnya juga mencari cara
agar dapat diambil alih oleh aggressor yang dianggap lebih concern pada masalah-
masalah tersebut. Strategi ini mirip dengan strategi “White Knight”, salah satu aktivitas
anti takeover.
Dan sebagaimana Hukum Say yang mengatakan “Supply creates it’s own demand”, rata-
rata perusahaan tersebut memang betul-betul menjadi target takeover dari para aggressor,
terutama perusahaan aggressor pujaan hati.

Penutup
Ada masih banyak strategi pro takeover lainnya yang dapat dilakukan oleh pihak
manajemen agar perusahaan mereka menjadi target take over perusahaan lain yang lebih
dinginkan atau diidolakan.
Jadi berhati-hatilah Anda, para pemilik perusahaan, yang kurang memperhatikan
kepuasan karyawan atau kurang memantau perkembangan perusahaan. Bisa jadi
sekelompok karyawan kunci di perusahaan Anda tengah merencanakan sesuatu untuk
memindahkan kepemilikan dari tangan Anda ke tangan orang lain, atau bahkan ke tangan
mereka sendiri (Management Buy-Out). Mengutip kata Bang Napi, “Waspadalah!
Waspadalah!”

Referensi:

Hannes, S. “The Missing Link in the Corporate Takeover Literature.”, Stanford/Yale Jr.
Faculty Forum Paper No. 01-08 (2001)

Weston, J.F.; K.S. Chung; and S.E. Hoag. “Mergers, Restructuring, and Corporate
Control.” Prentice Hall International, Inc., Singapore (1990)

Anda mungkin juga menyukai