Anda di halaman 1dari 10

Corporate Governance: Sekilas tentang Tunneling - Type 2 Agency Problem

Konsep ‘separation of ownership and control’ dalam korporasi yang dipopulerkan oleh
Jensen and Meckling (1976) sebagai titik awal berkembangnya dunia korporasi modern membawa
konsekuensi terciptanya agency problem. Konsep tersebut menimbulkan konflik antara pemegang
saham selaku pemilik perusahaan dan manajemen selaku pengendali yang bertanggung jawab atas
kegiatan perusahaan sehari-hari, dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara kedua belah
pihak. Pemegang saham lebih berorientasi kepada long-term value creation (melalui peningkatan
nilai perusahaan dalam jangka panjang), sedangkan manajemen lebih berorientasi pada short-term
horizon sesuai dengan masa kontrak selaku manajemen. Bentuk konflik bisa berupa penetapan
kompensasi (bonus) dan pemakaian fasilitas perusahaan yang berlebihan oleh manajemen, maupun
bentuk manfaat lainnya yang menguntungkan manajemen yang dibebankan ke perusahaan.
Konflik antara pemegang saham dan manajemen inilah yang sering disebut ‘Type 1 Agency
Problem’. Asumsi yang mendasari type 1 agency problem adalah kepemilikan saham yang menyebar
(widespread ownership) dimana pemegang saham jumlahnya banyak dan tersebar namun secara
individual tidak ada yang terlalu signifikan. Dengan demikian para pemegang saham yang banyak dan
tersebar tersebut harus secara bersama mendelegasikan hak pengendalian mereka atas perusahaan
kepada pihak lain (yaitu manajemen) yang mempunyai kemampuan menjalankan perusahaan.
Konsep agency problem ini dikembangkan dari “anglo-saxon” rezim, yaitu kondisi perusahaan-
perusahaan yang umumnya ada di negara Amerika Serikat dan Inggris.
Namun demikian, berdasarkan perkembangan penelitian dan literatur terakhir, kondisi
ideal penyebaran kepemilikan saham perusahaan (widespread ownership / widely held corporation)
tidak banyak terjadi. Yang dominan terjadi adalah kepemilikan mayoritas oleh suatu pihak (biasanya
keluarga) atas suatu perusahaan walaupun perusahaan tersebut telah menjadi perusahaan terbuka
atau perusahaan publik. Kondisi kepemilikan oleh keluarga (family ownership / family business)
memang dominan terjadi di negara-negara berkembang. Tetapi di Amerika Serikat dan Inggris
sendiri, dimana konsep agency problem ini pertama kali dikembangkan, ternyata kondisi family
ownership adalah mendominasi sampai 80-90% (Amerika Serikat) dan 75% (Inggris) dari total seluruh
perusahaan yang ada (Astrachan and Shanker, 2003).
Kondisi concentration of ownership atau family ownership ini, sebagai kebalikan dari
widespread ownership, mendorong terjadinya ‘Type 2 Agency Problem’. Type 2 agency problem
mengacu kepada perbedaan kepentingan (konflik) antara controlling shareholder dan minority
shareholders dalam suatu perusahaan. Dalam perusahaan terbuka atau perusahaan publik,
controlling shareholder biasanya family/founder dari perusahaan, sedangkan masyarakat/publik
biasanya sebagai minority shareholders.
Keberadaan controlling shareholder yang secara dominan mengendalikan jalannya
perusahaan, bisa mengurangi type 1 agency problem dikarenakan manajemen juga “dikuasai” oleh
controlling shareholder, sehingga perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen
adalah minimal. Namun demikian, keberadaan type 2 agency problem ini berefek negatif kepada
minority shareholders, yang kebanyakan adalah masyarakat umum.
Secara umum, type 2 agency problem biasanya dalam bentuk pengambilan manfaat
(private benefits) oleh controlling shareholders yang merugikan kepentingan minority shareholders.
Pengambilan keuntungan atau manfaat oleh controlling shareholder (expropriation) yang
dibebankan pada minority shareholders sering dikenal dengan istilah ‘tunneling’.
Secara logika sederhana, ‘tunneling’ bisa diartikan sebagai terowongan atau jalan bawah
tanah, dimana suatu pihak (controlling shareholder) akan mencari jalan untuk menyalurkan “sesuatu
manfaat” tanpa diketahui atau disadari oleh pihak lain (minority shareholders). Oleh sebab itu, istilah
tunneling dipakai dalam konteks pengambilan manfaat atau keuntungan dari perusahaan oleh
controlling shareholder, yang merugikan kepentingan minority shareholders, biasanya terjadi pada
perusahaan terbuka/publik. Tunneling bisa berupa berupa penyaluran cash flow, asset ataupun
equity keluar dari perusahaan, ataupun kombinasinya.
Sebagai contoh cash flow tunneling misalnya pemberian kompensasi yang berlebihan
kepada anggota keluarga yang juga duduk dalam manajemen, pemberian pinjaman kepada
perusahaan afiliasi dengan syarat dan ketentuan istimewa, penjualan produk perusahaan di bawah
harga pasar kepada perusahaan afiliasi yang juga dikuasai oleh controlling shareholder, ataupun
sebaliknya pembelian bahan baku/input yang lebih mahal oleh perusahaan dari perusahaan afiliasi.
Asset tunneling biasanya berupa pengalihan asset perusahaan kepada perusahaan afialiasi
yang dikuasai oleh controlling shareholder. Cashflow tunneling berefek langsung kepada cash flow
statement perusahaan pada periode yang bersangkutan, sedangkan asset tunneling mempunyai efek
jangka panjang dimana akan mengurangi kemampuan produktif perusahaan (kemampuan
menghasilkan cash flow) akibat “dialirkannya” asset perusahaan kepada pihak lain.
Equity tunneling bisa berupa penawaran saham baru yang lebih murah kepada anggota
keluarga ataupun membawa perusahaan terbuka kembali ke perusahaan tertutup (delisting). Equity
tunneling memberi keuntungan bagi controlling shareholder di atas beban minority shareholders
yang berakibat penurunan nilai saham perusahaan.
Apabila tunneling merupakan aksi oleh controlling shareholder yang berakibat negatif
terhadap kepentingan minority shareholder, maka terdapat aksi oleh controlling shareholder yang
berefek positif bagi minority shareholders dan perusahaan pada umumnya. Aksi kebalikan dari
tunneling adalah ‘propping’, yang biasanya dilakukan oleh controlling shareholder untuk mensupport
perusahaan dalam kesulitan keuangan/kebangkrutan.
Sebagai contoh propping adalah keluarga pendiri (founder) Samsung Group memberikan
suntikan dana dari kekayaan pribadi kepada Samsung Motor Inc. untuk membayar hutang dan
perusahaan lolos dari ancaman kebangkrutan. Tindakan ini menyelamatkan perusahaan dan
sekaligus mempertahankan kepentingan minority shareholders.
Type 2 agency problem akan menjadi lebih parah apabila controlling shareholder
mempunyai Control Right (CR) yang melebihi Cash Flow Right (CFR), atau dapat diartikan bahwa
controlling shareholder mempunyai hak suara/voting (yang mencerminkan kekuatan kontrol) yang
melebihi (tidak proporsional) dengan jumlah uang/investasi yang ditanamkan dalam perusahaan
(diskusi detil tentang hal ini ada dalam artikel sebelumnya - 'Dua Makna Konsep Separation of
Ownership and Control'). Lebih lanjut, kondisi expropriation atau tunneling biasanya ditunjang oleh
lemahnya perlindungan hukum atas investor, lemahnya pengawasan ataupun lemahnya penegakan
hukum (law enforcement).
Contoh Kasus Tunneling
Dongeng “pyramidal ownership” (Century siapa yang punya?)
Angka2 kepemilikan Bank Century dari media masa, kalau digambar seperti ini:
Saya tidak kros cek angka dan komposisi kepemilikan ke Lembaran Berita Negara atau Akta
Notaris. Karena cuma mengandalkan informasi dari media masa, ada beda nama dan prosentase
kepemilikan. Misal “Century Mega Investama” atau “Century Mega Investindo”? Ada beda informasi
komposisi kepemilikan; misalnya sebagian besar berita bilang, Bank Century dimiliki oleh First Gulf
Asian Holdings, Antaboga Delta Sekuritas, publik, dan Century Mega Investama. Tapi ada juga yang
bilang, ada dua owner lagi yaitu Clearstream Banking SA Luxemburg dan Century Super Investindo.
Informasi terakhir ini yang saya pakai untuk gambar kepemilikan Century di atas; sumbernya dari
http://www.dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=23159
Beda nama kepemilikan dan prosentasenya saya abaikan karena tidak akan mengganggu
“jalan cerita”. Saya tidak akan ndongeng mengenai “kelompok bisnis Robert Tantular” (karena saya
juga cuma dapat dari berita2, dan itupun tetap saja tidak bisa lengkap; lihat gambar, banyak “?”). Kali
ini yang mau didongengin adalah struktur kepemilikan “business group”(bahasa Indonesia yang
bener mungkin “grup bisnis” ya, bukan “bisnis grup”).
Apa istimewanya “business group”?
Di Indonesia, “business group” (BG) identik dengan “konglomerat”, orang tajir. Tapi
sebetulnya, pengertian konglomerat (dari kata “conglomerate”) tidak sama dengan “business group”.
Konglomerat, sebetulnya kumpulan subsidiaries atau sister companies atau divisi. Biasanya
disebabkan oleh diversifikasi bisnis. Definisi konglomerat (conglomerate) dimana2 hampir sama. Tapi
tidak demikian halnya dengan definisi bisnis grup.
Umumnya, BG didefinisikan sebagai kelompok usaha yang dimiliki satu atau beberapa
keluarga. Kelompok usaha ini terdiri dari banyak perusahaan yang listed maupun tidak; kadang
afiliasi satu perusahaan dengan BG tertentu tidak jelas/rahasia; bisa juga satu perusahaan jadi
anggota beberapa grup bisnis. Ini yang bikin definisi jadi macam2 tergantung negara mana yang
diobrolin; selain itu cross country analysis juga susah dilakukan. Misalnya, di Indonesia, BG bisa
terdiri dari ratusan perusahaan, dimiliki satu keluarga tapi sebagian besar PT tertutup. Tapi di India,
perusahaan yang berafiliasi dengan BG sebagian besar listed. Di Cina, tidak hanya perorangan yang
punya BG; pemerintah regional juga punya. Di Korea, satu “chaebol” dimiliki oleh beberapa keluarga.
Di Jepang, “keiretsu” merupakan kumpulan dari banyak perusahaan yang saling memiliki (cross
shareholding), tapi tidak ada satu keluarga dominan.
Memang BG lebih banyak dijumpai di negara2 berkembang; konon salah satu alasannya
untuk mensiasati kesulitan akses keuangan. Tapi sebetulnya, grup bisnis (yang bukan “conglomerate”
itu) juga dikenal di negara2 Eropa (seperti Swedia, Belgia, Itali, Perancis) dan Kanada.
Walaupun definisi beda2, ada satu hal yang mirip. BG biasanya mengadopsi “pyramidal
ownership structure”. Maksudnya, struktur kepemilikan BG biasanya bertingkat atau berlapis2:
perusahaan A dimiliki B dimiliki C dimiliki D dan seterusnya sampai kalau diurut terus ke atas, baru
ketemu pemilik perorangan (kadang cuma ketemu “holding company” saja). Tentu saja perusahaan A
(yang ada di “kaki piramid” jumlahnya bisa lebih dari satu). Demikian pula dengan perusahaan B, C
(yang ada di lapisan tengah piramid). Lapisan2 piramid ini bisa lebih dari tiga tingkatan. Ndak usah
jauh2, di Indonesia, BG besar yang punya banyak line bisnis biasanya menerapkan struktur
kepemilikan seperti ini.
Dalam kenyataan (setidaknya di Indonesia), alur kepemilikan tidak selalu “rapi” berurutan
dari atas ke bawah. Bisa saja perusahaan di bagian atas piramid “nyelonong” punya saham
perusahaan2 di kaki piramid. Kadang-kadang, hubungan kepemilikan tidak hanya bertingkat, tapi
juga “cross shareholding” (silang). Satu BG, juga bisa terdiri dari lebih dari satu piramid yang punya
kepemilikan silang. Setau saya, bisa juga terjadi dua BG yang berbeda (keluarga A dan keluarga B)
bikin kongsi berupa holding company, yang kemudian “beranak pinak seperti marmut” (saking
banyaknya perusahaan dibawahnya). Artinya, dari kongsi itu, muncul BG baru. Kalau mau menelusuri
bagaimana rumitnya struktur kepemilikan bisnis grup di Indonesia, bisa cari terbitan Pusat Data
Bisnis Indonesia judulnya kalau nggak salah “Conglomeration Indonesia”.
Kenapa struktur kepemilikan piramid ini jadi “layak” diomongin? Kata orang2 pinter,
struktur ini memungkinkan owner untuk melakukan pemisahan antara “cash flow right” dengan
“control right”. Pemisahan antara cash flow right dan control right ini bikin owner bisa melakukan
“tunnelling” dan “propping”.
Tunnelling? Propping? Apa hubungannya sama bailout Century?Dengan struktur
kepemilikan biasa (bukan piramid), cash flow dan control right biasanya setara. Contohnya kayak gini:
Kalau Sri beli satu lembar saham Century dari (misal) seratus lembar yang ada, dengan konsep one
share one vote, Sri (pemegang saham publik) punya hak suara 1/100. Kalau satu lembar saham
harganya Rp 5000 dari total Rp 500000, dan kalau ada bagi profit sebesar Rp 1 juta, Sri punya hak
1/100 x Rp 1 juta=Rp 10000.
Tapi dengan struktur piramid, cerita bisa jadi beda banget. Coba lihat di struktur
kepemilikan Century itu (yang di bagian kiri, kotak2 warna marun). Bank Century dimiliki oleh (antara
lain) Antaboga Delta Sekuritas (ADS) 7.4%. ADS dimiliki oleh Aditya Rekautama (ARU) 82.18%. ARU
dimiliki oleh Robert Tantular 12.5% dan Sinar Bumi Unggul (SBU) 87.5%. Selanjutnya SBU dimiliki oleh
dua orang Hartawan Aluwi 58.57% dan Budi PV Tanudjaja 41.43%.
Coba iseng2 dihitung berapa cashflow right dari masing2 pemegang saham. Supaya lebih
intuitif anggap aja Bank Century bagi keuntungan 100 (hak pembagian keuntungan biasanya
proporsional dengan modal yang disetor):
Profit Century utk Antaboga Delta 7.4%*100=7.4
Profit Antaboga Delta utk Aditya Rekautama =82.18%*7.4= 6.08
Profit Aditya Rekautama utk Robert T=12.5%*6.08= 0.76
Profit Aditya Rekautama utk Sinar Bumi Unggul=87.5% * 6.08= 5.32
Profit Sinar Bumi Unggul utk Hartawan Aluwi=58.57%*5.32=3.11
Profit Sinar Bumi Unggul utk Budi PV Tanudjaja=41.43%*5.32=2.20
Kalau kita lihat dari bagian atas (mulai dari kepemilikan Hartawan Aluwi dst) ke bawah,
akan nampak bahwa Hartawan Aluwi punya cash flow right 3.11 (atas Century) tapi punya control
right 58.57%. Demikian juga Budi PV Tanudjaja: cash flow right cuma 2.20, tapi atas Century
sebenarnya punya control right 41.43%. Robert Tantular, punya cash flow right 0.76 tapi punya
kendali 12.5% atas Century. Mengenai cash flow right dan control right Robert ini, akan nambah
banyak kalau kotak2 yang lain (yang terpisah) ikut dihitung dan bisa dilengkapi terus ke bagian atas
sampai ketemu pemilik perorangannya. Jadi kalau “jalur” Robert melalui Century Mega Investama
juga dihitung:
Profit Century utk Century Mega Investama/Investindo 9%*100=9
Profit Century Mega Investama utk Robert Tantular=7%*9=0.63
Cash flow right Robert Tantular 0.63 tapi control right atas Century melalui Century Mega
Investama adalah 7%. (Sekedar catatan, ada cara itung cash flow right yang lebih cepat: kalikan saja
prosentase kepemilikan berjenjang dari atas sampai bawah. Hasilnya sama. Jadi semisal mau tau cash
flow right Hartawan Aluwi: 58,57%x87.5%x82.18%x7.4%= 3.11%)
Letak “keajaiban” struktur piramid itu ya ini: yang punya cash flow right kecil (biasanya juga
identik dengan porsi modal yang ditanam), bisa punya control right (hak kendali) signifikan. Kalau
porsi cash flow right dengan control right Robert, Hartawan dan Budi masing2 dibandingkan,
besarnya antara 11-18 kali. Itu belum termasuk prosentase “saham publik” yang konon kabarnya
sebenarnya tidak dimiliki “publik” tapi “mereka2” juga; entah Robert Tantular atau termasuk
individu2 pengendali Century yang ada di lapisan atas piramid. Yang jelas, kepemilikan “publik”
sebesar +/- 50%-60% itu tidak jelas orangnya karena dah dipecah2 dibawah 5%… Modus baru? Nggak
juga, karena denger2 Bank Global dan Unibank dulu juga mecah2 saham yang katanya “publik” jadi
kecil2…
Struktur kepemilikan piramid juga memungkinkan pemilik untuk melakukan “tunnelling”
dan “propping” ; intinya menyalurkan resources dari perusahaan yang sahamnya sebagian dimiliki
publik ke perusahaan lain (baik yang sahamnya tidak dijual ke publik, maupun yang dijual ke publik).
Resources ini bisa digusur ke bagian atas piramid atau ke bagian bawah-kemana saja, suka2 yang
pegang kendali bisnis grup. Coba tengok lagi struktur kepemilikan bisnisnya Robert Tantular di atas.
Kan nggak semuanya listed di pasar modal. Mestinya lebih banyak perusahaan yang berupa PT
tertutup..(selain itu, dia mungkin juga punya PT2 lain yang tidak terkait dengan Century atau
Antaboga Delta Sekuritas). Dengan struktur kepemilikan seperti itu, dengan “mudah” resources
menghilang “dikegelapan” piramid…. Praktek semacam ini merugikan pemegang saham minoritas;
bahasa sononya “expropriation minority shareholders”.
(Sebelum lanjut mengenai tunnelling dan propping, mau kasi tau aja kalau dua hal ini masih
relatif baru; dongeng mengenai keduanya masih terbatas. Itu sebabnya ada pendongeng yang tidak
membedakan tunnelling dan propping; cuma masalah geser resourcenya ke bagian atas piramid atau
ke bawah. Ada juga yang berusaha mengkaitkan praktek tunnelling – propping dengan macro
economic shock. Saya ambil referensi yang setau saya kasi beda yang jelas antara tunnelling dan
propping.)
Dongeng yang setau saya nyebut “tunnelling” pertama kali, mendefinisikan tunneling
sebagai berikut: Tunnelling comes in two forms. First, a controlling shareholder can simply transfer
resources from the firm for his own benefit through self-dealing transactions. Such transactions
include outright theft or fraud, which are illegal everywhere though often go undetected or
unpunished, but also asset sales, contracts such as transfer pricing advantageous to the
controllingshareholder, excessive executive compensation, loan guarantees, expropriation of
corporateopportunities, and so on. Second, the controlling shareholder can increase his share of the
firm without transferring any assets through dilutive share issues, minority freezeouts, insider
trading, creeping acquisitions, or other financial transactions that discriminate against minorities.
(Dikutip dari Tunnelling, Simon Johnson, Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer,
halaman 3.)
Contoh tunnelling yang mirip dengan kasus Century/Antaboga Delta Sekuritas adalah kasus
China Logistics di Hong Kong tahun 2002. Jadi ceritanya, China Logistics ini perusahaan di mainland
China yang listed di pasar modal Hong Kong. Bulan September 2002, auditor China Logistics (Price
Waterhouse) mengumumkan menarik diri dari tugas mengaudit karena ada transaksi besar yang
tidak jelas juntrungnya. Ada HK200 juta hilang (!) tanpa bisa dijelaskan oleh manajemen China
Logistics Hong Kong. Uang itu adalah deposit untuk akuisisi Shanghai Pudong; uangnya dah keluar
dari perusahaan tapi ndak pernah diterima sama yang berhak. Dokumen2 juga hilang. Beberapa
minggu sebelumnya, mantan CEO China Logistics dituntut perusahaanya sendiri karena mengalihkan
HK380juta dari China Logistics ke perusahaannya sendiri. Mantan CEO ini memanfaatkan transaksi
antara China Logistics dengan perusahaan lain di mainland China. Otoritas pasar modal Hong Kong
tidak happy karena kasus tunnelling (sejak Hong Kong kembali ke Cina) marak. Beberapa tahun
sebelum kasus China Logistics, ada kejadian HKD2 milyar dari Akai Holdings raib bersama2
dengan…chairmain Akai.
Propping sebenarnya kebalikan tunnelling: biasanya digunakan untuk “membantu”
perusahaan dalam piramid yang lagi kesulitan keuangan. Jadi, propping itu transfer private resources
into firms that have minority shareholders (Dari Propping and Tunneling,Eric Friedman, Simon
Johnson, Todd Mitton). Praktek ini biasanya dilakukan pemilik kalau ada krisis ekonomi. Contoh
propping yang biasanya diberikan adalah injeksi dana perusahaan Salim di Belanda dan Hong Kong
untuk membantu perusahaannya yang lain di Filipina dan Indonesia pada saat krisis ekonomi 1998.
Praktek serupa juga dilakukan United Engineers Malaysia yang beli saham parent company-nya
Renong Corporation (saat itu sedang alami kesulitan keuangan) dengan harga tinggi. (Contoh2
shareholder expropriation bisa dilihat di Corporate governance in the Asian financial crisis, Simon
Johnson, Peter Boone, Alasdair Breach dan Eric Friedman, hal 41).

Baik propping maupun tunnelling sebenarnya merugikan pemegang saham minoritas dari
perusahaan yang resourcenya diambil/dialihkan ke tempat lain. Dari sisi pengendali/pemilik bisnis
grup sih tindakan itu seperti pindahin isi kantong di kiri ke kantong kanan. Yang jelas, praktek ini
sering dilakukan, rawan disalahgunakan (=kriminal), dan merugikan investor minoritas. Tidak semua
praktek tunnelling-propping berakhir di pengadilan (=jadi tuntutan hukum); tapi implikasi ke
kualitas/reputasi pasar modal tidak bisa diabaikan.
Salah satu indikasi kalao investor merasa dirugikan adalah harga saham yang merosot kalau
ada informasi tunnelling atau propping. Contohnya seperti yang pernah diteliti di Hong Kong. Di
pasar modal Hong Kong ada aturan, connected transactions (=bisa berbentuk tunnelling maupun
propping) musti di-disclose. Mereka yang mengumumkan connected transactions harga sahamnya
turun 3.4% sekitar 10 hari sejak pengumuman; bahkan sampai 12 bulan setelah pengumuman, nilai
saham turun sekitar 12-21%.
Kalau gitu apa bentuk kepemilikan piramid musti dibubarkan dan dilarang?? Tentu saja
tidak, kecuali kalau mau bikin kacau….Struktur seperti ini sudah well established di Indonesia, sudah
ada sejak dulu. Seperti yang saya bilang, hampir semua grup bisnis di banyak negara menerapkan
struktur kepemilikan piramid…. Jadi, suka atau tidak suka, musti belajar hidup berdampingan dengan
struktur seperti ini.
Di Indonesia, BG berkembang sesuai dengan kebijakan pemerintah. Tahun 1970an-1980an
ketika gencar dilakukan deregulasi sektor riil ya banyak orang bikin perusahaan di sektor2 yang
sedang di support sama pemerintah. Kredit2 bank pemerintah juga banyak yang diarahkan ke
sektor2 yang jadi prioritas (dan banyak yang bermasalah). Kebijakan kayak gini (=directed lending),
sebetulnya juga terjadi di Korea Selatan, Cina. (Bisa dibilang banyak pemerintah negara2 berkembang
menerapkan kebijakan seperti itu. Ada yang berhasil bikin industri manufaktur yang kuat, ada yang
tidak dan hanya menimbulkan sentimen etnis atau kesenjangan sosial)
Sejak deregulasi perbankan 1988, bank diijinkan jadi bagian dari grup bisnis. Akibatnya
banyak bank yang akhirnya hanya dijadikan sarana untuk kumpulkan uang orang untuk dibenamkan
diproyek2 pemilik grup. Connected lending terjadi dimana-mana; banyak yang macet akhirnya
banyak bank bermasalah.
Sebetulnya gak ada yang salah dengan keberadaan bank di dalam BG. Di Jerman, bank
secara tradisional jadi pemegang saham perusahaan non-keuangan (sekarang, konon fungsi itu
bergeser karena bank enggan pegang saham dan nanggung masalah perusahaan non-keuangan). Di
Jepang, ada keiretsu system, dimana bank itu jadi semacam “induk” untuk perusahaan2 non
keuangan di dalam keiretsu. Di Indonesia, bank di dalam bisnis grup banyak yang jadi masalah karena
bank relatif kecil (lahir belakangan) dibandingkan sister companiesnya (= “kalah wibawa”).
Posisi bank relatif terhadap sister companiesnya ini bikin bank makin susah diawasi apalagi
kalau bank ada didalam kepemilikan dengan struktur piramid (seperti bank Century). Seolah2 bank
dimiliki “institutional owner” (=perusahaan, bukan individu) padahal owner ini dimiliki oleh
“institutional owner” lain, dst… Siapa sebetulnya pengendali bank akhirnya jadi ndak jelas… Belum
lagi kalau si individual ini punya perusahaan non-keuangan yang juga pake struktur kepemilikan
piramid, dan minta kredit ke bank…. Connected lending bisa disamarkan, bisa dibelit-belit kesana
kemari…
Karena bank paling banyak diatur2, praktek pemberian fasilitas pada pihak terkait (apalagi
kalau sampai banyak yang macet) lebih banyak diberitakan. Beda dengan perusahaan keuangan non-
bank atau perusahaan non-keuangan. Sebetulnya potensi connected transactions selalu ada; dan
sebetulnya sama jeleknya seperti kredit kepada grup sendiri. Tapi mungkin karena tidak diatur
seketat perbankan, atau mungkin karena media tidak “aware” mengenai ini, berita tunnelling atau
propping di Indonesia jarang kita baca. Padahal, kalau kasus2 seperti ini banyak (=investor minoritas
curiga haknya tidak dilindungi), dalam jangka panjang, reputasi pasar modal jadi nggak bagus. Seperti
yang saya cerita sebelumnya, otoritas dan stock analyst Hong Kong sekitar tahun 2002 khawatir
banyaknya kasus tunneling yang tidak bisa ditindaklanjuti sampai pengadilan akan merusak reputasi
pasar modal Hong Kong.
Sebetulnya untuk apa repot2 nyebut “tunnelling”, “propping” segala? Intinya “fraud” kan??
Iya sih, tapi seperti yang saya ceritakan sebelumnya, model “fraud” ini khas struktur kepemilikan
piramid atau grup bisnis. Jadi, semestinya tidak hanya pengawas bank tapi juga pengawas pasar
modal kasi perhatian sama grup bisnis yang punya struktur begini dan punya bank/perusahaan
keuangan non-bank. Disatu sisi, struktur ini tidak bisa dihapus paksa dengan (misalnya) bikin aturan
untuk memaksa pemilik individual bank/non-bank atau pemilik grup bisnis jual sahamnya banyak2 di
pasar modal. Di sisi lain, investor (terutama investor minoritas) harus dilindungi untuk jaga reputasi
pasar modal Indonesia. Saya tidak sedang mengatakan perusahaan keuangan dan non-keuangan
yang ada didalam struktur piramid (dalam grup bisnis) harus dicurigai dan pasti akan berperilaku
kriminal seperti Robert Tantular.
Tapi, kalau modus operandi tunnelling-propping ini tidak dikenali, dan investor protection
juga tidak diatur tegas, jangan2 kedepan kita akan makin banyak baca berita2 tragis macam nasabah
Antaboga Delta Sekuritas.
Kenapa harus ada struktur kepemilikan piramid? Apa tujuannya memang untuk tindak
kriminal? Mereka yang bikin banyak perusahaan tentu saja tidak berpikir untuk melakukan tindak
kejahatan ketika memilih desain piramid. Struktur kepemilikan perusahaan, kata orang2 pinter yang
banyak ndongeng mengenai hal ini, erat hubungannya dengan kualitas “investor protection”.
Negara2 dimana kualitas investor protection nya rendah, biasanya lebih banyak punya perusahaan
dengan concentrated ownership dan pakai sistem piramid. Salah satu alasannya, sistem ini
memungkinkan pemilik tetap bisa pegang kendali (=kendali mayoritas) terhadap banyak perusahaan.
Tapi negara2 maju di Eropa (European continent) macam Belgia, Itali, Perancis, Swedia juga
punya struktur ini…apa itu berarti kualitas investor protection mereka rendah? Jawabannya, “ya”,
relatif dibandingkan dengan negara maju yang menganut Anglo Saxon law macam Amerika dan
Inggris. Jadi begini ceritanya…

Legal origin pada dasarnya bisa dibagi dua aliran besar: Anglo Saxon atau sering disebut
Common law dan Napoleonic Code sering disebut French Law atau Civil law. (Sebetulnya legal origin
itu ada tiga: Anglo Saxon, French Law dan Germanic Law. Ada juga yang menambahkan Scandinavian
Law. Dua yang terakhir ini pecahan dari French Law, tapi ada unsur Anglo Saxon-nya, terutama
Germanic Law). Konon, tidak ada negara di dunia ini yang menulis hukum dari nol; biasanya negara2
mengadaptasi atau mentransplantasikan hukum dari dua aliran itu. Transplantasi atau adaptasi bisa
sukarela, bisa melalui penjajahan. Anglo Saxon law itu asalnya dari Inggris. Makanya yang pake
hukum ini kebanyakan negara2 Common Wealth/Persemakmuran dan Amerika. Jepang juga pake
(sebagian) karena dulu pernah “dikuasai” Amerika. Napoleonic Code, dari namanya bisa ditebak,
ditulis oleh Napoleon Bonaparte, dari Perancis. Yang pake hukum ini ya negara2 jajahan Perancis.
Belanda, dulu sempat dijajah Perancis. Karena Belanda njajah Indonesia, akhirnya kita pake hukum
Belanda, yang sebetulnya satu aliran dengan Napoleonic Code. Contoh yang lain, negara2 Amerika
Latin banyak yang pake Napoleonic code karena dulu dijajah Spanyol.
Sekitar tahun 1998 ada empat orang pinter (Rafael La Porta, Lopez de La Silanes, Andre
Shleifer dan Robert Vishny) bikin dongeng Law and Finance. Mereka cerita mengenai bagaimana
origin of law ada kaitannya dengan financial development . Maksudnya, kalau ada negara yang
capital marketnya lebih maju (capital market centered), ada yang industri perbankannya lebih maju
(bank centered), ada negara yang lebih banyak punya perusahaan listed, ada negara yang lebih
banyak punya perusahaan yang family owned, itu semua bisa dijelaskan dari law yang diadopsi oleh
negara tsb.
Negara2 yang menganut Anglo Saxon, menurut dongengan empat orang itu, biasanya
capital market centered dan punya banyak perusahaan yang listed karena Common law berevolusi
dengan spirit melindungi “property right” individual terhadap penguasa (the Crown). Selain itu dalam
sistem Anglo Saxon, hakim dimungkinkan untuk bikin diskresi; keputusan2nya jadi acuan perkara2 di
masa yang akan datang. Beda dengan French Law. Pada sistem ini, hukum justru ditarik untuk
berpihak pada negara, hakim dilarang bikin diskresi, bikin keputusan harus sesuai dengan undang-
undang. Makanya spirit Civil law atau French Law itu tidak melindungi “property right” individual.
Akibatnya, tidak banyak perusahaan listed di negara2 yang mengadopsi French system. Kebanyakan
perusahaan dimiliki keluarga/individual.
Dongengan keempat orang ini jadi “hit” waktu itu; dan memicu banyak dongengan2 yang
mengeksplorasi hubungan antara law dengan finance atau ekonomi. Memang beberapa tahun
belakangan banyak juga yang mempertanyakan data, metodologi yang dipakai keempatnya (mereka
pakai data dari 49 negara). Biasanya yang mengkritisi ini akademik dari bidang ilmu hukum. Salah
satu kritikan akademik dari bidang hukum berkaitan dengan proses pengumpulan data dan metode
yang dipakai untuk memproses data tsb. Mereka bilang, prosesnya tidak terlalu tepat karena…yang
ndongeng bukan lawyer yang dapat legal training mengenai hukum di Inggris, Jerman, Perancis ,
Amerika; tapi economist (!), jadi nggak terlalu ngerti. Lepas dari tepat tidaknya data dan metodologi
yang dipakai keempat pionir itu (=kalau meleset seberapa salah), banyak yang mengakui dongengan
mereka telah membuka cakrawala baru: memang ada hubungan antara legal origin dengan
perkembangan ekonomi suatu negara. (Teori saling menggugurkan; tapi setidaknya sampai saat ini,
hasil penelitian keempat orang itu masih dianggap valid oleh banyak orang)
(Dikutip dari The economic consequences of legal origins, Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes,
and Andrei Shleifer, hal 79)
Lanjut lagi….Tapi ada juga cerita, sebenarnya Civil law atau French law itu di negeri asalnya
tidak kaku atau rigid; spiritnya sebetulnya mendekati Anglo Saxon. Dongeng itu dikisahkan oleh tiga
orang yang pinter2 dari World Bank. Katanya, French law di negara2 eks kolonisasi sebenarnya lebih
“kaku” bahkan sebenarnya sudah jadi law dengan spirit yang berbeda dengan law di Perancis dan
Jerman. Ketiga orang pendongeng itu mengutip dari dongeng2 hukum: duluuuuu banget sebelum
Revolusi Perancis (1789-1799), French law itu sebenarnya memberi ruang untuk jurisprudensi
(diskresi dari hakim). Tapi setelah ada revolusi Perancis dan Napoleonic Code diberlakukan, hakim itu
hanya melakukan kerjaan “klerikal” atau mekanis saja; tidak boleh mengintepretasikan hukum-
semua sudah ada di buku. Kondisi ini tentu saja tidak bisa bertahan karena situasi terus berubah.
Makanya, pengadilan Perancis mensiasati dengan cara “… build a body of law based to some extent
on earlier French law, nourished by French legal scholarship, but built largely through their own
decisions…” . Sayangnya ketika French law ini diimpor ke negara jajahan, penduduk setempat tidak
dikasi tau apa yang efektif, apa yang tidak efektif, dan bagaimana mengatasinya. Akibatnya banyak
konflik dengan hukum lokal (waktu itu) dan akhirnya negara jajahan cenderung punya hukum yang
kaku seperti yang ditulis di Napoleonic doctrine (padahal di Perancis nya sendiri nggak gitu). (Yang
tertarik dengan dongengan ini bisa refer ke Law and finance: why does legal origin matter? Thorsten
Beck, Asli Demirguc Kunt dan Ross Levine).
Kok Anglo Saxon Law beda sekali dibanding French Law?? Kenapa perbedaan itu terus ada?
Jawabannya bisa didapat atau dilacak dari sejarah kerajaan Inggris dan Perancis. Ada dongeng lain
lagi judulnya Legal origin; yang cerita dua orang pinter dari Harvard Uni namanya Edward L Glaiser
dan Andrei Shleifer. Duluuuu sekali, kata mereka, situasi politik dan keamanan kerajaan Inggris dan
Perancis ndak sama. Antara abad 12-13, kekuasaan raja di Inggris sangat besar, lebih besar dari
kekuasaan pangeran2 (Lords). Akibatnya, kalau ada perselisihan, mereka (pangeran2 atau penguasa
lokal) lebih suka menyelesaikan sendiri daripada melibatkan Raja atau hakim (karena hakim
“mengabdi” pada raja). Sistem juri ini konon diciptakan oleh Henry II (memerintah tahun 1154-1189).
Di masa itu kekuasaan hakim terbatas pada (antara lain): menjaga ketertiban sidang, bikin
pertanyaan (=terkait kasus) yang harus dijawab sama juri (=keputusan ada ditangan juri). Memang
pernah kerajaan Inggris mensubordinasikan sistem juri, setelah perang Mawar dan perang Tudor.
Raja bikin sistem namanya Star Chamber (bukan judul filem; dibentuk masa pemerintahan Henry VII
tahun 1487; disebut “Star Chamber” karena langit2 ruangan sidang di istana Westminter dilukis
bintang2). Sistem ini bikin juri bisa dihukum kalau bikin keputusan yang tidak disukai Raja. Tapi abad
17 sistem ini dibubarkan karena banyak resistensi.
Sebelum abad 12, kerajaan Perancis sebetulnya punya sistem semacam juri. Tapi antara
abad 12-13 kerajaan Perancis terus bergolak (perang di kontinen Eropa selalu melibatkan Perancis).
Kekuasaan Raja2 Perancis tidak sekuat Inggris; Pangeran2 (=penguasa regional) banyak yang bandel
dan terus saling bertikai. Dalam kondisi seperti itu, perselisihan akhirnya lebih banyak diselesaikan
oleh hakim yang “mengabdi” pada raja (dan bisa dipengaruhi raja) daripada juri. Itu sebabnya, pada
sistem ini, dikenal “codification”: hakim tidak perlu mengintepretasikan aturan karena sudah tertulis
dengan detail, (=tidak ada diskresi).
Itu sebabnya, orang2 pinter yang banyak ndongeng mengenai hubungan asal usul hukum
dengan finance bikin teori, kira2 gini: kalau kondisi suatu komunitas/negara itu relatif mapan
(=coercion, corruption, bullying ndak ekstrim), hukum akan “terdelegasikan” ke juri. Tapi kalau
kondisinya jauh dari tertib (misal karena habis perang, atau karena terus2an ada konflik), akhirnya
ada semacam “dictatorship”; hukum ditarik ke penguasa (dalam hal ini hakim).
Lha kalau memang benar investor protection Anglo Saxon Law lebih bagus, kok ada skandal
Enron, kok ada skandal Madoff, subprime mortgage dst yang sampe ancur2an itu?? Bukankah
semuanya “menghancurkan share holders’ value”?? Saya juga suka mikir itu: kalau fraud dipengaruhi
kualitas investor protection dan investor protection dipengaruhi origin of law, apa itu berarti fraud
dipengaruhi origin of law? Kayaknya narik logika begitu itu keblinger. Fraud toh bisa terjadi dimana
saja lepas dari apakah negara menganut Common Law atau Civil Law system. Pada skandal Enron
atau krisis keuangan barusan ini, ada masalah mendasar yaitu “agency problem”. Yang terima
kewenangan mengelola perusahaan atas nama pemegang saham, telah menyalahgunakan
kewenangannya (=ambil resiko berlebihan dst). Kenapa bisa sampe gitu, konon karena “reward
system” yang terlalu mengutamakan keuntungan di atas kertas. Manajer/CEO dikasi bonus
berdasarkan harga saham: makin tinggi harga saham, makin gede bonus. Akhirnya lama2 bukan real
business yang dibikin, tapi manipulasi, gimana caranya supaya harga saham bisa tinggi. (Yang tertarik
bisa lihat dongeng The global history of corporate governance-an introduction Randall K Morck, Lloyd
Steier)
Kembali ke Century dan struktur kepemilikannya itu…: struktur piramid yang dipakai Robert
Tantular cs rawan kejahatan; mungkin bisa disebut “an accident waiting to happen”. Pada kasus bank
Century / Antaboga, tunnelling, menurut saya, dilakukan secara vulgar (dilakukan terang2an melalui
bank Century): mengalihkan uang sebagian nasabah Century/nasabah Antaboga Delta Sekuritas ke
kantong pengendali tidak langsung (dalam hal ini Hartawan Aluwi, Robert Tantular) dengan cara
“jual” reksadana yang tidak terdaftar di Bapepam. Konon sebagian uang nasabah Antaboga Delta
Sekuritas (=nasabah Century??) masuk ke PT Century Mega Investindo, adalagi yang masuk ke
sekretaris Robert Tantular. (Budi PV Tanudjaja tidak banyak disebut2 di berita2. Yang disebut
“buronan” dari Antaboga Delta Sekuritas: Hartawan Aluwi, Anton Tantular dan Hendra Wiyanto. Budi
ini mungkin buron juga atau mungkin ada nama alias-nya(?); karena kalau ada, orangnya pasti sudah
“dipansuskan”)
Padahal kalau dilihat2 dari data Bapepam nama Hartawan Aluwi dan Budi PV Tanudjaja
tidak ada dijajaran Komisaris dan Dewan Direksi Century, tidak ada juga di jajaran pengurus Antaboga
Delta Sekuritas. (Mungkin juga data Bapepam itu tidak update (?) saya dapat yang tahun 2007. Ada
informasi yang lain: Hartawan Aluwi dan Anton itu direktur Antaboga sedangkan Hendra adalah
Komisarisnya). Apapun posisi orang2 itu, yang jelas karena mereka ini pengendali tidak langsung,
mereka dengan leluasa “menjarah” uang nasabah (atau bahkan mungkin menginstruksikan pegawai
Century dan Antaboga untuk menawar2kan produk reksadana boongan itu). Konon Hartawan dapat
853 milyar, Anton Tantular 248 milyar, Robert dapat 276 milyar… (Robert aja yang
“sial”…ketangkep… ).
Dalam kaitannya dengan pengawasan bank/perusahaan keuangan non-bank, kasus Century
dan struktur kepemilikannya jadi masalah tersendiri.Menurut saya, pengawas bank musti lebih
vigilant sama struktur kepemilikan macem begini. Bank2 yang ada distruktur piramid itu bisa2 seperti
“mumi” (atau zombie)…kayaknya masih ada tapi sebetulnya dah dirampok habis2an…. Mungkin
mengawasi bank yang dimiliki keluarga macam Bank Eksekutif (sebelum diakuisisi Recapital Advisor)
itu lebih enak. Kalau dilihat komposisinya kepemilikannya, 80% dimiliki individu keluarga Widjaja,
sekitar 20% dimiliki publik (lepas dari siapa sebenarnya “publik” ini). Saya tidak sedang mengatakan,
mengawasi “family-owned bank” bisa sambil merem2… Keluarga pemegang saham bisa punya
perusahaan non-bank atau non-keuangan yang bikin ulah di bank-nya. Tapi dibandingkan bank yang
ada dalam struktur kepemilikan piramid, bank yang dimiliki langsung oleh individu lebih “terang
benderang” pengendalinya.

Referensi:
https://grundelanbankcentury.wordpress.com/category/tunnelling/
https://www.kompasiana.com/boby-hernawan/552056f98133116f7419f77d/corporate-governance-
sekilas-tentang-tunneling-type-2-agency-problem

Anda mungkin juga menyukai