Anda di halaman 1dari 11

BAB 8

Penerapan Governance di Indonesia

Struktur Governance di Indonesia


Struktur corporate governance di Indonesia ditandai dengan banyaknya ditemukan
perusahaan, baik yang privat maupun telah go-public, diatur dan dimiliki oleh keluarga
pendiri. Fenomena ini mengindikasi minimnya pemisahan antara kepemilikan (ownership)
dan pengendalian (control) dalam perusahaan sebagaimana lazim ditemukan pada
perusahaan modern. Pada kenyataannya, pemilik mayoritas dapat mempertahankan kontrol
pada perusahaan mereka, walaupun sebagian kepemilikan perusahaan tersebut sudah dijual
ke publik melalui mekanisme listing di Pasar Modal. Hal ini dilakukan dengan hanya menjual
sebagian kecil porsi saham mereka, biasanya 20% sesuai dengan ketentuan jumlah saham
minimal yang harus dijual. Dengan demikian, berarti bahwa hak kepemilikan dan kontrol
manajemen yang secara mayoritas jika digabungkan, masih dimiliki oleh lingkaran anggota
keluarga dan rekan bisnis yang dipercayai (trusted business associated).

Kondisi demikian juga diperkuat dengan keberadaan pasar modal yang relatif kecil, tidak
berkembang serta tidak likuid, sehingga mengakibatkan tidak berjalannya mekanisme
disiplin dan pengendalian terhadap manajemen melalui mekanisme pasar sebagai bagian
dari corporate control. Hal ini sejalan dengan pemikiran Patrick (2002) yang menyatakan
bahwa bursa saham Indonesia tidak kuat, tidak efektifnya peraturan institusi pasar modal,
dan kelalaian regulator dalam mendukung penegakan aturan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan tingginya tingkat konsentrasi dan struktur dan struktur kepemilikan
perusahaan di Indonesia di tangan keluarga, maka berbagai keputusan korporasi secara
teknis berada di bawah kendali keluarga sebagai pemilik mayoritas. Dengan demikian,
investor kecil dan umum dengan kepemilikan realtif kecil tidak memiliki kekuatan efektif,
bahkan untuk melindungi diri mereka sendiri dari supermasi pemegang saham mayoritas
yang berada pada posisi yang kuat. Hal ini disebabkan juga karena lemahnya perlindungan
hukum untuk investor kecil tersebut.
Minimnya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol, diikuti dengan tingginya tingkat
konsentrasi kepemilikan, sebagian besar perusahaan di Indonesia juga memiliki afiliasi atau
merupakan bagian dari kelompok bisnis atau konglomerasi, yang juga dimiliki oleh keluarga
(kelompok bisnis keluarga). Patrick (2002) menyatakan bahwa kelompok bisnis di Indonesia
mengendalikan sebagian besar perusahaan yang listing, baik melalui kepemilikan secara
langsung atau melalui kepemilikan berbasis saham piramida (pyramidal ownership) melalui
perusahaan lain. Kepercayaan yang tinggi terhadap sumber pembiayaan eksternal melalui
pinjaman bank juga merupakan ciri umum dari perusahaan di negara ini. Secara teoritis,
bank seharusnya berada pada posisi untuk berperan mendukung implementasi CG secara
signifikan melalui aktivitas monitoring konerja bisnis dan perilaku manajemen perusahaan
klien mereka. Bagaimanapun, setiap kelompok bisnis top di Indonesia mengendalikan
sekurang-kurangnya satu bank, yang menyediakan pembiayaan aktivitas dengan sedikit
otonomi yang disediakan oleh manajer bank untuk membuat keputusan yang berarti dan
bebas. Patrick (2002) lebih lanjut juga menemukan kira-kira setengah dari seluruh bank yang
meminjamkan modal untuk perusahaan merupakan bagian dari kelompoknya sendiri, dan
pinjaman untuk kelompok ini juga melebihi 20 kali tawaran batasan peminjaman maksimum
yang sah. Situasi ini menjelaskan kelemahan implementasi peraturan di Indonesia, yang
pada akhirnya memperngaruhi implementasi CG yang sehat.

Check and balances dalam praktik CG dapat juga ditingkatkan melalui peranan aktif dari
board of director (dewan komisaris di Indonesia) dalam menjalankan fungsi supervisory dan
advisory. Mekanisme pengendalian internal ini dipercaya akan menjadi sebuah mekanisme
yang efisien dan merupakan mekanisme governance low-cost. Hal ini dapat ditingkatkan jika
optimalnya sikap independensi dan profesional dewan komisaris dilengkapi dengan
pengetahuan yang cukup tentang perusahaan. Meskipun demikian, umumnya anggota
dewan komisaris di Indonesia ditunjuk karena memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat
atau karena faktor ikatan kekeluargaan dengan pemegang saham utama. ADB (2000) junga
mengungkapkan bahwa hampir 85% dari companies’s controlling owners di Indonesia
menunjuk anggota keluarganya untuk menjadi bagian dari direksi (ti manajemen) dan/atau
dewan komisaris. Dominasi anggota dewan komisaris yang mempunyai afiliasi dengan
keluarga pemilim di negara berpotensi mengaburkan efektivitas peran pengawasan dalam
mekanisme check and balance sebagai esensi keberadaan CG dalam perusahaan.
Asian Development Bank (2000) menyatakan bahwa kelemahan corporate governance di
negara Asia Timur muncul karena adanya struktur tingkat kepemilikan yang tinggi, intervensi
pemerintah yang excessive, pasar modal yang tidak berkembang dan masih lemahnya
penegakan hukum yang berlaku terhadap perlindungan investor. Dalam kasus Indonesia,
komposisi mata uang dan struktur dari utang luar negeri perusahaan telah menyebabkan
negara ini jatuh ke dalam krisis (Husnan, 2001). Hal ini ditambah lagi dengan lemahnya
struktur peraturan dasar untuk sektor korporasi dan masih kurangnya peraturan dan
kepatuhan akan hukum merupakan masalah utama di negara ini. Selanjutnya, Husnan
(2001) menyimpulkan bahwa selain lemahnya dan belum adanya sistem governance yang
sesuai, kunci permasalahan CG di Indonesia adalah tidak ditemukannya kerangka peraturan
dan hukum yang bersifat memaksa dan sah.

Konteks dan Struktur Governance

Terdapat perbedaan mengenai konteks CG di antara berbagai negara di dunia dan hal
tersebut dapat berubah sewaktu-waktu. Dengan demikian, tidak ada sistem CG yang spesifik
yang paling suitable untuk setiap perusahaan dan semua negara. Seacar umum, setiap
sistem CG dapat diklasifikasikan menjadi sistem yang didominasi pasar (market-dominated)
atau dominasi bank (bank-dominated)1. Sistem governance yang berorientasi pasar
umumnya mengacu pada negara-negara Anglo-Saxon (seperti Amerika dan Inggris) dimana
pasar modal mempunyai peranan yang penting dalam perekonomiannya. Diberbagai negara
ini, pasar untuk corporate control mechanism terletak pada jantung sistem pengendalian,
yang dikenal dengan outsider control system. Diberbagai negara kontinental Eropa dan
Jepang telah mengelompokkan dirinya sebagai negara yang mengaplikasikan sistem
governance yang berorientasi bank. Di negara-negara ini, peranan yang dimainkan oleh
pasar untuk pengendalian corporate hampir tidak signifikan. Istilah insider dominated
control sering digunakan untuk mendeskripsikan sistem ini, yang dirincikan dengan struktur
kepemilikan terkonsentrasi dan relatif stabil pada beberapa pemegang saham2. Menurut
Kuada dan Gullestrup (1998) aspek budaya dalam masyarakat tempat governance tumbuh
dan berkembang juga merupakan penyebab dari perbedaan kedua jenis sistem ini.

Menurut Whitley (1990), dari perspektif sosiologi pola historis dari kewenang negara dan
hubungan bisnis pemerintah telah membentuk struktur dan konsekuensi dari kepemilikan
korporasi dan pengendaliannya. Secara historis, hubungan antara bisnis dan negara di
Indonesia berbalik lagi ke era kemerdekaan, ketika pemerintah terlibat secara langsung
dalam industri sebagai dampak dari adanya nasionalisasi perusahaan milim Belanda
(Husnan, 2001). Sejak masa inilah, pola bisnis dan kerangka hukum untuk berbagai
perusahaan di Indonesia didasarkan atas sistem hukum yang dibangun oleh Belanda. Pada
tahun 1995 pemerintah memperkenalkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang baru3,
melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yang selanjutnya diubah melalui Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Reformasi hukum perseroan ini
diikuti dengan ditetapkannya Undang-Undang Mengenai Kebangkrutan yang baru dan
pendirian Pengadilan Khusus Perdagangan Tahun 1998 (Robins, 2002). Meskipun adanya
undang-undang baru ini, masih banyak ditemukan berbagai praktis bisnis yang diturunkan
dari sistem Hukum Sipil yang diterapkan oleh Belanda (Lindsey, 2002) yang tidak bisa
dilepaskan dengan keberadaan mereka selama 350 tahun kolonialisme di Indonesia.

Pola perkembangan struktur korporasi di Indonesia dapat dijelaskan melalui teori path
dependence4. Teori ini memberikan argumentasi bahwa struktur corporate dalam suatu
perekonomian bergantung (dependence) pada struktur bagaimana ekonomi suatu negara
dimulai. Selanjutnya, berbagai peraturan korporasi akan bergantung pada dirinya sendiri
berdasarkan struktur tersebut. Dalam kaitan ini La Porta et.al (1997) berpendapat bahwa
perbedaan struktur hukum dan enforcement berbagai negara, seperti sejarah asli dari tradisi
hukum yang dianut, menjelaskan adanya perbedaan pertumbuhan keuangan. Hal ini
sebaliknya akan mempengaruhi sistem keuangan negara dan selanjutnya pilihan perusahaan
dalam pembiayaan dengan cara yang berbeda (Berglof, 1990). Berdasarkan argumentasi
tersebut dapat dinyatakan bahwa sistem keuangan suatu negara akan menentukan orientasi
perusahaan khusunya dalam membangun hubungan antara berbagai pihak yang terlibat
dalam kerja sama tersebut.

Indonesia; Stakeholding versus Shareholding

Pada bagian sebelumnya (bagian 6) telah dibahas perspektif utama yang lazim ditemukan
dalam memahami fenomena CG di dalam praktik. Dalam kaitannya dengan implementasi CG
di Indonesia, pernyataan selanjutnya adalah perspektif manakah (antara shareholding
versus stakeholding) yang sesuai untuk digunakan di dalam memahami fenomena CG di
Indonesia? Secara umum kedua perspektif dapat digunakan didalam memahami berbagai
fenomena CG di Indonesia yang relatif spesifik dan berbeda dengan negara lain. Namun
demikian, hal tersebut perlu dilakukan dengan terlebih dahulu memahami karakteristik
setiap perspektif (mainstream) yang ada, terutama menyangkut asumsi dasar yang
digunakan oleh setiap sudut pandang.

Memperhatikan ciri sistem dan model governance yang diadopsi korporasi di Indonesia
berdasrkan undang-undang perseroan lebih mengacu kepada model continental European.
Anggapan ini didasarkan kepada berbagai karakteristik5 yang terkandung dalam perspektif
stakteholding dipercaya akan lebih sesuai dengan model tersebut6. Argumentasi tersebut
berhubungan dengan asumsi dasar yang digunakan oleh perspektif shareholding (i.e
individualism) yang bukan merupakan orientasi nilai utama yang ditemukan dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Berdasrkan indikator orientasi nilai (the value
orientation) versi Trompenaars (1997)7, nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia
cenderung berlawanan dengan nilai masyarakat kapitalistik yang ditemukan di Barat.
Melalui sudut pandang stakeholding diharapkan pemahaman fenomena CG yang terjadi di
Indonesia dapat menemukan nilai yang kompatibel atau sesuai serta tidak kontradiktif
antara konsep dan praktik8.

Namun demikian, pemahaman fenomena CG di Indonesia juga dapat dilakukan dengan


menggunakan perpektif shareholding, walaupun sudut pandang ini memberi penekanan
berlebihan terhadap supremasi pemilik modal (kapitalistik). Seperti studi yang dilakukan
Lukviarman (2004b) menggunakan the agency theory yang berakar dari perspektif
shareholding dalam memahami dan menjelaskan fenomena CG pada perusahaan public di
Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa problem keagenan (agency problem) yang
ditemukan pada berbagai perusahaan publik non-keuangan di Indonesia, berbeda dengan
akar masalah problem keagenan seperti ditemukan dinegara Barat. Jika di negara lain
problema keagenan ditemukan antara pemilik (pricipals) dan manajemen (agents) (lihat
misalnya Kim dan Hoskisson, 1997), dalam kasus Indonesia problema tersebut ditemukan
antara pemilik mayoritas (controlling shareholders) dengan pemilik minoritas (minority
shareholders).
dianalisis menggunakan perspektif yang sama (sahreholding perspective), namun karena
diterapkan pada konteks sistem dan model CG yang berbeda (Anglo-Saxon versus
Continental-European) menghasilkan implikasi problem keagenan yang berbeda. Menurut
Letza, Sun, dan Kirkbride (2004) kondisi demikian sesuai dengan dinamisnya realitas sosial
(terutama corporate practices and sociental mindsets) sehingga validitas suatu perspektif
menjadi sangat relatif dan sangat tergantung pada perkembangan lingkungan sosial dimana
korporasi berada9. Dalam kaitan ini, Letza, Sun, dan Kirkbride (2004, p. 254) selanjutnya
berpendapat sebagai berikut;

“[governance] can not be pre-designed as optimal or “appropriate”. It must emerge


through a dynamic process in which there are continuous interactions between
choice made and their complex context. It is hard to find a reliable structural solution
to the governance issue, especially when working across cultural boundaries and
historical periods.”

Kutipan tersebut memberikan implikasi bahwa tidak terdapat perspektif yang lebih baik
atau superior dibandingkan perspektif lainnya, bahkan tidak terdapat yang optimal maupun
paling sesuai di dalam memahami fenomena governance. Hal ini memberikan implikasi
terhadap kemungkinan munculnya perspektif lain (dalam bentuk CG model) dengan posisi
berada di antara dua kutub perspektif shareholding dan stakeholding. Selanjutnya hal ini
juga berhubungan dengan dinamika dan kompleksitas penerapan konsepsi CG sehingga
upaya generalisasi dalam bentuk a universal CG perpective tidak dapat diterima. Hal ini
disebabkan karena cara pikir demikian cenderung menyederhanakan asumsi dasar dari
kerangka teori yang mendukung setiap perspektif. Argumen ini mengisyaratkan perubahan
cara berpikir (new mode of thinking) berbagai pihak berkepentingan dalam memahami
fenomena CG melewati pemikiran tradisional-konvensional yang relatif statis.

Untuk kasus penerapan di Indonesia, uraian tersebut memberikan implikasi bahwa


reformasi dalam bidang CG harus mempertimbangkan karakteristik spesifik dari praktik
bisnis, hukum yang dianut serta kondisi sosial kemasyarakatan yang hidup dan berkembang.
Tanpa mengakomodasi hal tersebut dalam desain utama (grand desain) reformasi CG di
Indonesia, dikhawatirkan upaya tersebut menjadi kontraproduktif serta menimbulkan
dampak yang mengganggu tercapainya tujuan penerapan CG secara optimal. Hal ini dapat
terjadi jika reformasi CG di Indonesia dilakukan hanya dengan cara mengadopsi (imported)
model dan sistem CG yang dianut oleh negara lain, terutama dalam bentuk adopsi pedoman
best practices dari negara lain. Pada akhirnya masalah yang muncul terjadinya konflik antara
praktik CG yang diadopsi (dan didasarkan pada budaya atau konteks lingkungan negara lain)
dengan seperangkat nilai budaya yang telah lama hidup dan berkembang di Indonesia10.
Sehingga sangat beralasan jika Garrat (2003) mengkhawatirkan pemahaman fenomena
governance yang tidak substantif serta hanya sebatas wacana, dipercaya tidak mampu
memberikan manfaat optimal dalam implementasinya.

Realitas praktikal dari CG mencakup multifaceted phenomenon serta berbeda antarnegara


(country level) dan antarkorporasi (firm level). Sehingga upaya penyerdehanaan
pembahasan konsepsi CG (tanpa mengacu kepada core arguments, core assumptions, dan
philosophies) akan mengaburkan esensi governance yang sehat dalam implementasi.
Perbedaan konteks berupa lingkungan budaya, aspek hukum dan perundang-undangan,
pola bisnis yang dianut secara dominan dalam suatu negara merupakan faktor utama yang
layak dipertimbangkan di dalam mengidentifikasi sistem dan model CG di suatu negara.
Pertimbangan ini terlepas dari pilihan perspektif yang digunakan dalam memahami praktik
CG di negara tersebut. Dengan demikian, efektivitas dari berbagai perangkat governance itu
sendiri, terutama governance best practices, menjadi sangat tergantung pada lingkungan
regulasi dan penegakan hukum di suatu negara.

Karakteristik Corporate Governance di Indonesia

Para ahli sepakat menyatakan bahwa sistem CG yang dianut Indonesia mengikuti pola
continental European system sebagaimana dapat dijelaskan dengan menggunakan teori
path-dependence. Tegasnya, sistem pengelolaan perusahaan di Indonesia sangan
dipengaruhi oleh faktor ketergantungan (path dependencies) pada struktur perusahaan dan
hukum yang diwarisi dari Belanda. Hal ini beralasan karena eksistensi awal perusahaan di
Indonesia dimulai oleh Belanda selama masa kolonialisme mereka, sehingga pihak tersebut
menciptakan kerangka hukum perseroan yang akan menjadi acuan operasionalisasi
perusahaan di Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, problem mendasar dari CG yang dimulai
sejak era Adam Smith, adalah sebagai akibat dari pemisahan antara kepemilikan
(ownership) dan pengendalian (control) entitas korporasi. Konsekuensi pemisahan tersebut,
terutama pada era korporasi modern, menimbulkan konflik kepentingan dari stakeholder
yang dapat mempengaruhi upaya pencapaian tujuan perusahaan. Upaya mereduksi
problema keagenan yang ditimbulkan dari konflik kepentingan dalam perusahaan, dilakukan
melalui seperangkat mekanisme yang bekerja di dalam suatu sistem. Tujuan utama
membentuk mekanisme tersebut adalah agar berfungsi sebagai kekuatan pengendali
(disciplinary forces) agar konflik kepentingan tidak merugikan perusahaan ataupun
stakeholders lainnya yang memiliki kepentingan dengan perusahaan.

Berdasarkan pendekatan no-one-size-fits-all (OECD, 1999), mekanisme pengendalian dalam


sistem CG yang dianut oleh suatu negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
negara lainnya. Misalnya, di berbagai negara Anglo-Saxon yang sistemn keuangannya
berbasi pasar (market-oriented) dapat lebih mengandalkan mekanisme yang pertama
(Moerland, 1995). Alasannya adalah karena hukum pasar (pasar modal, produk, dan tenaga
kerja) akan bekerja mendisiplinkan perusahaan yang tidak mematuhi peraturan CG, di
samping mekanisme internal yang juga bekerja secara baik (properly). Sebaliknya di
berbagai negara berkembang yang umumnya mempunya sistem keuangan berbasis jaringan
(network-oriented), belum dapat sepenuhnya mengandalkan mekanisme pasar sebagai
perangkat pengendalian korporasi. Salah satu alasannya karena mekanisme pasar dan
perangkat pendukungnya belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendisiplinkan 11
perusahaan, sebagaimana halnya kondisi di negara maju. Hal yang sama juga terjadi pada
mekanisme kontrol internal yang relatif tidak efektif, diantaranya karena keberadaan Dewan
Komisaris perseroan belum sepenuhnya independen dan bebas dari intervensi pemilik
saham mayoritas. Secara umum beberapa karakteristik utama CG sistem yang ditemukan di
Indonesia (Lukviarman, 2001), dapat dilihat pada lampitan 3.

Berdasarkan uraian sebelumnya, kendala paling mendasar penerapan CG di Indonesia


berhubungan dengan moral dan etika (lihat kembali bagian 5 tentang governance dan etika
bisnis). Misalnya, perusahaan publik di Indonesia umumnya berpola kepemilikan
terkonsentrasi (Lukviarman, 2003) dengan basis hubungan keluarga (family ownership),
serta pada umumnya bergabung dalam suatu jaringan kelompok bisnis berbasis keluarga
(family business groups). Dengan bercirikan keluarga sebagai pemilik mayoritas perusahaan,
maka kekuatan tawar-menawar pihak ini menjadi sangat kuat. Terlepas dari efektif atau
tidaknya perangkat hukum dan peraturan yang ada dalam membatasi ruang gerak mereka,
tanpa basis moral dan etika yag kuat, peluang untuk mendahulukan kepentingan kelompok
(pemilik mayoritas) dengan mengorbankan kepentingan pihak lain (misalnya pemilik
minoritas, bahkan masyarakat/publik) menjadi sangat besar. Fenomena sakitnya berbagai
bank di Indonesia beberapa waktu setelah periode krisis 1997-1998, sehingga harus dirawat
BPPN, dapat dijadikan suatu kasus untuk mengamati terjadinya praktik ini.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap kelompok bisnis/konglomerat di Indonesia


paling tidak memiliki atau mempunyai hubungan afiliasi paling tidak dengan satu buah bank
(Patrick, 2002). Secara teoritis, sebagai lembaga yang mendasarkan aktivitasnya pada asas
kepercayaan, bank berfungsi sebgaia mediator dalam memfasilitasi kepentingan para
deposan/debitur dengan kreditur. Namun dalam kasus ini, kepercayaan dimaksud
“dimanfaatkan” oleh pemilik mayoritas kelompok bisnis di mana lembaga perbankan ini
terafiliasi, dengan menjadikan lembaga perbankan tersebut sebagai ‘kasir’ atau ‘sapi
perahan’ (cash flow) bagi kepentingan mereka. Dengan memanfaatkan momentum
deregulasi perbankan, para konglomerat12 ini melakukan berbagai praktik curang dengan
cara menyerap dana masyarakat (deposan) untuk kemudian menyalurkannya ke perusahaan
lain yang berada di bawah bendera kelompok bisnis mereka sendiri. Dengan cara inilah para
konglomerat tersebut dapat memperlebar atau melakukan diversifikasi terhadap ‘gurita
bisnis’ mereka, tanpa memperhatikan etika. Ironinya, perilaku ini bahkan berlangsung
ditengah adanya aturan legal formal yang membatasi ruang gerak mereka (BMPK 13). Hal ini
membuktikan bahwa sekuat apapun peraturan yang ada, landasan yang paling penting
adalah seberapa jauh moral dan etika digunakan di dalam proses pengambilan keputusan.

Kendala Implementasi Corporate di Indonesia

Uraian yang telah dibahas bagian sebelumnya bahwa Indonesia memiliki governance system
yang relatif spesifik. Walaupun berbagai pola yang berhubungan dengan sistem tersebut
(seperti perangkat hukum dan struktur perusahaan) masih mengacu kepada pola yang
dianut Belanda, namun penerapan CG di Indonesia berbeda secara signifikan dengan
berbagai negara kontinental Eropa lainnya (Husnan, 2001). Survei yang dilakukan dalam
beberapa tahun terakhir (La Porta, 1998; CLSA, 2001) membuktikan bahwa diantara
sembilan negara di Asia, Indonesia berada di peringkat terakhir dalam masalah kondusifnya
iklim berusaha, terutama menyangkut pelaksanaan dan kepastian hukum. Dibanding
Filipina, yang juga menganut sistem CG berdasarkan hukum berbasis the French Civil-law
tradition, peringkat Indonesia secara rata-rata masih lebih rendah. Implikasinya adalah
bahwa masalah hukum bukan satu-satunya faktor dominan yang berpengaruh dalam
penerapan CG, atau terdapatnya faktor lain yang ikut berinteraksi di dalam sistem CG di
Indonesia yang turut mempengaruhi efektivitas penerapannya14(Lukviarman, 2004b).

Dari sudut legal-formal, Tabalujan (2002a) berpendapat bahwa Indonesia sudah mempunyai
perangkat hukum dan lembaga pendukung yang cukup, bahkan sudah melebihi jumlah yang
seharusnya dibutuhkan. Menurut ahli ini, yang dibutuhkan Indonesia adalah perubahan
yang mendasar terhadap legal culture15, sehingga masyarakat dapat menjadi lebih taat
hukum serta taat asas. Kondisi demikian dibutuhkan agar perangkat hukum dan institusi
pendukungnya dapat berfungsi optimal sesuai tujuan yang ditetapkan. Tabalujan (2002b)
lebih lanjut menjelaskan bahwa salah satu alasan tidak berfungsinya hukum di negara
berkembang, terutama Indonesia, karena hukum yang diadopsi dari negara Barat tersebut
berbenturan dengan budaya lokal/hukum informal dalam kerangka legal culture sebagai
akibat dari tidak diperhatikannya faktor budaya masyarakat Indonesia16. Tabalujan (2002b)
berkeyakinan bahwa budaya lokal seperti patrimonalism17 merupakan elemen penting
budaya masyarakat Indonesia yang berperan dalam memperngaruhi perilaku korporasi dan
CG di Indonesia. Menurut Lukviarman (2004b) implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa
nilai budaya tradisional lebih berperan sebagai aturan yang dominan, dibandingkan dengan
aturan hukum yang terinstitusionalisasi secara legal-formal.

Lebih dominannya pengaruh seperangkat nilai informal dibanding aturan legal-formal, tidak
akan membawa dampak negatif jika keduanya didasrkan pada prinsip dasar moral yang
jelas. Secara umum, semua aturan disusun dengan panduan berdasarkan pada virtueayang
dianggap dapat meningkatkan kemaslahatan umat manusia, atau demi kepentingan publik
(Lukviarman, 2004a). Dengan dasar ini, keduanya mempunya tujuan yang sama; untuk
mejaga agar segala sesuatu dikerjakan secara benar, sesuai dengan tujuannya dan tanpa
merugikan pihak lain. Namun deviasi terjadi di dalam praktik ini, di mana dominasi sikap
oportunistis para pelaku bisnis sebagaimana disinyalir oleh Williamson (1985)
mengakibatkan beberapa pihak memanfaatkan peluang yang menguntungkan mereka
namun dengan merugikan pihak lainnya. Di dalam konteks CG, hal demikian berpotensi
mengganggua keseimbangan sistem, sehingga mekanisme kontrol harus bekerja untuk
melakukan penyesuaian kembali. Namun demikian, karena umumnya mekanisme kontrol
CG yang ada tidak dapat bekerja secara optimal di Indonesia (Lukviarman, 2001), maka
pihak mayoritas yang ‘sangat kuat’ tidak mempunyai ‘kekuatan penyeimbang’. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa karena berbagai pihak yang berhubungan dalam sistem CG tidak
mengikuti aturan main yag ditetapkan, maka sebagaimana metofora ‘papan catur’ umat
manusia Adam Smith, terjadi disorder yang akan merugikan kepentingan bersama (publik).

Anda mungkin juga menyukai