Perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis yang tidak dapat mewujudkan prinsip - prinsip GCG bila tidak didukung oleh fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalamnya. Dalam membenahi fungsi dari sejumlah elemen dalam perusahaan diperlukan model organisasi. Model organisasi merupakan representasi dari suatu organisasi yang membantu seseorang untuk lebih memahami secara jelas dan cepat apa yang diamati dalam organisasi tersebut. Secara lebih rinci, Burke menjelaskan berbagai kegunaan dari model organisasi: (i) model membantu untuk meningkatkan pemahaman tentang perilaku organisasi, (ii) model membantu untuk mengelompokkan data tentang organisasi, (iii) model membantu menginterpretasikan data tentang organisasi, dan (iv) model membantu untuk memberikan bahasa yang umum serta singkat tentang organisasi (Falletta, 2005). Organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka mengacu pada pandangan yang dikemukakan oleh teori organisasi modern yang berkembang sejak tahun 1950-an. Dalam teori ini, organisasi cenderung dipandang sebagai berikut: (i) organisasi merupakan suatu sistem yang terbuka, (ii) di dalam organisasi terjadi transformasi masukan yang menghasilkan keluaran tertentu, masukan diperoleh dari lingkungannya sedangkan keluaran akan diberikan organisasi kepada lingkungannya, (iii) di dalam organisasi terdapat elemen-elemen yang penting yang saling berhubungan satu sama lain, serta (iv) organisasi memiliki tujuan dan batasan tertentu yang membedakan organisasi tersebut dari lingkungannya (Reksohadiprodjo dan Handoko, 2004).
2. Struktur Kepemilikan Korporasi
Struktur kepemilikan korporasi dibagi menjadi beberapa model kepemilikan, diantaranya yaitu: 1) Kepemilikan Tersebar Pada model ini perusahaan memiliki pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang sedikit. Pemegang saham minoritas kurang mengawasi aktivitas perusahaan dan cenderung tidak terlibat dalam pengambilan keputusan atau kebijakan perusahaan. Oleh karena itu, pemegang saham tersebut disebut outsider, dan kepemilikan yang tersebar tersebut disebut sebagai outsider system dan menurut Roche (2005), kepemilikan yang tersebar ini merupakan model dari negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Inggris. Outsider system atau Anglo-American ini merupakan market-based model yang dikarakteristikkan oleh perusahaan yang individualis dan kepemilikan privat, pasar modal yang mapan dan likuid, dengan jumlah pemegang saham yang banyak dan konsentrasi investor yang kecil. Pengendalian perusahaan diwujudkan melalui pasar dan investor luar. Dalam outsider system ini terdapat anggota dewan yang independen untuk mengawasi perilaku manajerial agar tetap terkontrol, sehingga menurut Roche (2005), sistem ini lebih dapat dipertanggungjawabkan, tidak korupsi serta membantu perkembangan pasar modal yang likuid. 2) Kepemilikan yang Terkonsentrasi (Concentrated Ownership) Pada model perusahaan yang seperti ini, terdapat dua kelompok pemegang saham, yaitu pemegang saham mayoritas yang bertindak sebagai pengendali dan pemegang saham minoritas. Menurut Bae et al. (2003) kepemilikan yang terkonsentrasi ini merupakan salah satu ciri dari control based model, selain menekankan pada insider board, pengungkapan yang terbatas,dan ketergantungan pada keuangan atau sistem perbankan keluarga. Karakteristik perusahaan ini banyak dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang (seperti Indonesia, Korea) dan Continental European. Masalah keagenan yang timbul terutama adalah antara pengendali dan pemegang saham minoritas. Masalah keagenan menjadi semakin makin serius karena seringkali perusahaan yang terdaftar di bursa merupakan salah satu unit usaha dari grup sehingga masalah self-dealing yang dapat merugikan pemegang saham minoritas sering terjadi. Karena itu bukan hanya diperlukan adanya peraturan yang mencegah hal ini tetapi juga harus ada mekanisme untuk menegakkan peraturan tersebut. Roche (2005) berpendapat bahwa perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi, mempunyai beberapa keuntungan seperti pemegang saham mayoritas (insider) memiliki kekuatan dan insentif untuk mengawasi manajemen dengan lebih dekat, sehingga dapat meminimalkan timbulnya mismanajemen dan kecurangan.Selain itu, karena kepemilikan mereka yang signifikan dan adanya hak pengendalian, insider cenderung untuk menjaga investasinya dalam perusahaan untuk jangka waktu yang lama. Kelemahan dari sistem ini antara lain, pemegang saham mayoritas dapat berkolusi dengan manajemen untuk mengambil alih aset perusahaan dengan biaya dari pemegang saham minoritas. Ini merupakan risiko yang signifikan bagi pemegang saham minoritas yang tidak dilindungi dengan hukum. Hal yang sama, ketika manajer mengendalikan sejumlah besar saham atau hak suara yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan dewan yang menguntungkan mereka dengan biaya perusahaan. Jadi terdapat masalah keagenan antara pemegang saham minoritas dengan pengendali (pemegang saham mayoritas). Selain itu kemungkinan terjadi masalah keagenan antara pemilik dan kreditur lebih besar daripada tipe perusahaan yang kepemilikannya menyebar. Samad (2004) dalam penelitiannya pada perusahaan-perusahaan di Malaysia menemukan bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi dapat membuat kinerja perusahaan menjadi lebih baik, dan komposisi kepemilikan tersebut merupakan elemen penting untuk memacu kinerja perusahaan yang lebih baik. 3) Kepemilikan Manajerial Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemegang saham bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer bertujuan pada peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan manajer ini dilandasi oleh dua alasan, yaitu: 1) Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat diperoleh penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan pengeluaran (biaya-biaya) 2) Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antar manajer dengan pemegang saham. Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Argumen tersebut mengindikasikan mengenai pentingnya kepemilikan manajerial dalam struktur kepemilikan perusahaan. Kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme corporate governance yang dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Semakin besar kepemilikan saham manajerial dapat mencegah tindakan opportunistic manajer. Hubungan antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan discretionary accruals. Penelitian yang menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhubungan secara negatif dengan discretionary accrual. Hasil penelitian tersebut juga manyatakan bahwa kualitas laba meningkat karena kepemilikan manajerial tinggi. 4) Kepemilikan Institusioanal Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional maupun kepemilikan individual atau campuran keduanya dengan proporsi tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan investor individual, diantaranya yaitu: 1) Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor individual untuk mendapatkan informasi. 2) Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi 3) Investor institusional, secara umum, memiliki realsi bisnis yang lebih kuat dengan manajemen. 4) Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 5) Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat harga Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara kolektif. Dalam waktu yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko saham akan terjual pada harga diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi.
3. Governance: Pemisahan Kepemilikan dan Pengendalian
Terdapat dua konsep dasar pada pemisahan kepentingan dan pengendalian yaitu: 1) Konsep Pertama Pada dasarnya konsep perusahaan modern mulai muncul pada saat perusahaan tersebut dimiliki oleh banyak pihak, tidak lagi dimiliki oleh perorangan ataupun hanya dimiliki beberapa pihak saja. Kebutuhan modal usaha dan pengembangan bisnis mungkin menjadi salah satu alasan mengapa kepemilikan perusahaan dibuka kepada banyak pihak. Pada mulanya pada saat perusahaan masih belum berkembang (tertutup), pemilik masih merangkap juga sebagai manajer perusahaan yang menjalankan usaha sehari-hari. Namun seiring dengan berkembangnya kepemilikan pada banyak pihak (diverse ownership), maka para pemilik perusahaan harus menyerahkan pengendalian perusahaan kepada pihak lain, dalam hal ini management yang akan menjalankan kegiatan sehari-hari. Inilah awal konsep “separation of ownership and control”- pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Pemisahan ini kemudian dikenal dengan teori “agency theory/agency relationship”, dimana terdapat pihak principal yang mendelegasikan kewenangan mengelola perusahaan kepada agent dan untuk bertindak mewakili kepentingan principal. Adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian ini juga menimbulkan permasalahan yang dikenal sebagai “agency problem”, yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen. Pemilik mengharapkan perusahaannya bisa tumbuh dalam jangka panjang, sedangkan manajemen dalam menjalankan tugasnya lebih berorientasi kepada jangka pendek, sesuai dengan kontrak masa kerjanya, dan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi yang dibebankan kepada perusahaan. Secara teoritis, agency theory and agency problem merupakan cikal bakal tumbuhnya ilmu corporate governance. Secara sederhana corporate governance bisa diartikan bagaimana mekanisme perusahaan dikelola dan dijalankan serta mempelajari hubungan antara berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan. Dari sinilah muncul berbagai macam pengaturan terhadap perusahaan yang dikenal sebagai “good corporate governance” untuk melindungi kepentingan shareholders dan stakeholders. 2) Konsep Kedua Dalam konteks ini, konsep “separation of ownership and control” adalah terkait dengan struktur atau kepemilikan perusahaan publik. Kalau dalam konsep pertama lebih bersifat kepada asal mula teori pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam suatu perusahaan, maka dalam makna kedua ini lebih terkait dengan struktur kepemilikan perusahaan publik yang sudah modern dan bersifat komplek. Dalam konsep kedua ini, terdapat dua pengertian fundamental terkait dengan kepemilikan perusahaan, yaitu Ownership Right (OR) dan Control Right (CR). Ownership Right (OR) mengacu kepada besarnya kepemilikan suatu pihak terhadap perusahaan yang diukur dari jumlah uang/modal yang telah diinvestasikan dalam perusahaan, yang sering kita lihat sebagai persentase kepemilikan. Atas dasar investasi ini, maka pemodal berhak mendapatkan Cash Flow Right (CFR) dalam bentuk dividen atas sahamnya. Dalam kerangka pengertian ini, maka Ownership Right (OR) juga sering disebut sebagai Cash Flow Right (CFR). Control Right (CR) mengacu kepada kekuatan mengontrol perusahaan yang tercermin pada kekuatan suara dalam penentuan kebijakan strategis perusahaan dalam sebuat rapat umum pemegang saham, sehinggga Control Right (CR) sering juga disebut sebagai Voting Right (VR). Secara teori, seharusnya cash flow right dan voting right adalah sama dikarenakan saham menganut prinsip one-share-one-vote principle. Artinya persentase kepemilikan suatu pihak yang tercermin dari jumlah nominal investasinya adalah sama dengan persentase suara yang dimiliki pihak tersebut dalam rapat pengambilan keputusan. Ini adalah konsep yang fair, dimana uang yang dikeluarkan untuk investasi dalam perusahaan memberikan hak yang sebanding dalam mengontrol perusahaan melalui kekuatan suara dalam rapat. Namun demikian, terdapat kondisi atau penyimpangan dimana ownership right/cash flow right adalah tidak sama dengan control right/voting right. Yang terjadi adalah control/voting right melebihi dari ownership/cash flow right. Adanya voting right yang lebih besar dari cash flow right mencerminkan ketidakadilan, dimana ada pemegang saham yang memperoleh control (suara) lebih besar dibanding persentase kepemilikan (investasi)-nya. Atau dengan kata lain, investasi sedikit pada perusahaan namun mendapat hak voting yang lebih besar. Penyimpangan inilah yang juga kemudian dikenal sebagai makna lain dari konsep “separation of ownership and control”. Bahwa antara ownership (cash flow right) dan control (voting right) terdapat penyimpangan atau perbedaan (deviation/separation). Terdapat dua sebab yang menyebabkan penyimpangan ini yaitu: 1) Pertama, memang terdapat perbedaan kelas saham (misal adanya saham preferen yang memang menyimpang dari prinsip one-share-one-vote). Biasanya ini terjadi pada perusahaan negara (BUMN), dimana diterbitkan saham preferen dalam bentuk gold shares/kelas A yang dimiliki oleh pemerintah. 2) Kedua, penyimpangan dilakukan melalui pengaturan struktur kepemilikan terhadap suatu perusahaan, yaitu melalui pyramidal structure, cross-holding dan konglomerasi. Sebab kedua inilah yang memang sengaja diciptakan oleh para pemilik/pengendali/family clan, terutama terhadap perusahaan publik melalui pengaturan struktur kepemilikan, untuk memperoleh manfaat voting right yang lebih besar dari cash flow right. Tentunya pihak pemegang saham yang dirugikan adalah pemegang saham lainnya yang berkurang voting right-nya dibandingkan dengan control right-nya. Pemegang saham lainnya disini bisa merupakan pemegang saham publik atau pemegang saham minoritas lainnya.
4. Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Pengendalian
Menurut Grosfeld dan Hashi, (2003) menyatakan bahwa struktur kepemilikan perusahaan, derajat kepemilikan dan identitas pemegang saham mayoritas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap corporate governance dan kinerja perusahaan. Mekanisme corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan control/pengawasan terhadap keputusan tersebut.Mekanisme governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan Seward, 1990). Walsh dan Seward (1990) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme untuk membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan GCG, yaitu mekanisme pengendalian internal perusahaan dan mekanisme pengendalian eksternal berdasarkan pasar. Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko – risiko yang disetujui oleh principal dan agen.Salah satu pilihan mekanisme pengendalian internal untuk menyamakan kepentingan saham dan manajer adalah kontrak insentif jangka panjang (Walsh dan Seward, 1990: Jensen, 1993).Kontrak jangka panjang ini dilakukan dengan memberikan insentif pada manajer apabila nilai perusahaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat, salah satunya dengan cara memberi kepemilikan saham kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976; Fama, 1980).Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan atau meningkatkan pemegang saham karena hal tersebut juga akan meningkatkan kekayaan manajer sendiri. Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar. Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate control), pada saat diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan diri sendiri, kinerja perusahaan akan menurun yang direflesikan oleh nilai saham perusahaan.Pada kondisi tersebut, kelompok manajer lain akan menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan.Dengan demikian bekerjanya market for corporate bias menghambat tindakan menguntungkan manajer sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).
5. Struktur Kepemilikan di Asia, Asia Tenggara dan Indonesia
1) Struktur Kepemilikan di Asia Di kawasan Asia, pada umumnya pemisahan antara kepemilikan dan kepengelolaan perusahaan tidak terlalu berkembang. Bisnis lebih bersifat kekeluargaan sehingga kelompok-kelompok usaha besar yang berkembang selalu dikendalikan oleh anggota keluarga dari hubungan darah atau hubungan perkawinan. Hal tersebut sangat terasa dalam sistem Keiretsu di Jepang, Chebol di Korea, dan Konglomerasi di Indonesia. Dalam sistem Anglo-Saxon, pemisahan antara pemilik dan pengelola perusahaan umumnya cukup tegas. Pemilik modal menyerahkan sepenuhnya pengelolaan perusahaan kepada para professional.Hal tersebut bisa terjadi karena adanya dukungan sistem pasar modal yang kuat sehingga kepemilikan perusahaan bisa dijualbelikan dengan baik. Di Korea, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, kontrol keluarga terhadap perusahaan begitu tinggi. Kontrol para pemilik perusahaan dilakukan melalui struktur piramida dan kepemilikan silang diantara beberapa perusahaan.Model ini nampaknya sangat umum terjadi di semua negara di kawasan Asia Tenggara.Jadi pada dasarnya, pemisahan antara pemilik dan pengelola sangat jarang terjadi di kawasan tersebut.Ditambah lagi, pemisahan antara kontrol dan manajerial juga jarang terjadi karena para pemilik menguasai hak suara dengan model kepemilikan silang yang dipertahankan untuk mempertahankan posisi suara. 2) Struktur Kepemilikan di Asia Tenggara Dalam perkembangan kapitalisme industrial berikutnya, ternyata yang lebih menjadi masalah bukan lagi masalah keagenan tipe pertama, melainkan tipe kedua. Dalam kasus di berbagai Negara di kawasan Asia Tenggara, kepemilikan biasanya memiliki ciri-ciri: 1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan Negara. 2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara (control right) yang melebihi kepemilikan (cash flow right) karena sistem kepemilikan yang bersifat pyramidal, atau karena mereka menempatkan para manajer dari anggota keluarga di perusahaan-perusahaan yang di kontrolnya. 3) Struktur Kepemilikan di Indonesia Peraturan perundang-undangan Indonesia adalah peraturan berdasarkan civil law. Artinya, hukum dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perusahaan adalah Undang- Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Peraturan Bapepam LK sebagai otoritas pengawas pasar modal bagi perusahaan terbuka No. 8 Tahun 1995. UU PT menyebutkan bahwa organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan di perusahaan, misal untuk hal penambahan modal, perubahan modal, pemilihan eksekutif perusahaan, dan lain- lain. Struktur ini juga diterapkan dalam BUMN berbentuk perseroan. Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, perusahaan publik diharuskan mengeluarkan laporan tahunan yang telah diaudit. Laporan tersebut terdiri dari laporan keuangan, laporan manajemen, pernyataan perusahaan terkait dengan tata kelola perusahaan, dan terkait dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Selain itu, informasi terkait dengan kepemilikan saham dan eksekutif perusahaan (direksi dan komisaris) juga harus dipublikasikan, misalnya kebijakan remunerasi perusahaan. Informasi kepemilikan saham yang wajib dipublikasikan adalah kepemilikan saham di atas 5% dan kepemilikan oleh eksekutif perusahaan. Perusahaan tidak wajib mengungkapkan kepemilikan di bawah nilai tersebut karena dianggap tidak material, kecuali untuk kepemilikan Direksi dan Komisaris karena menunjukkan kontrol akan perusahaan. Di Indonesia, struktur kepemilikan biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan negara. Dalam kasus perusahaan keluarga, pemisahan antara kontrol dan kepemilikan sebenarnya tidak terjadi karena biasanya para pengelola perusahaan adalah anggota keluarga dari pemilik perusahaan. 2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara yang melebihi kepemilikan karena sistem kepemilikan yang bersifat pyramidal, atau karena mereka menempatkan para manajer dari anggota keluarga di perusahaan-perusahaan yang dikontrolnya. 3. Kepemilikan bank secara signifikan tidak begitu lazim. Terdapat hubungan antara struktur kepemilikan dengan pemilihan Dewan Pengawas. DAFTAR PUSTAKA Hudanusantara. 2010. Good Corporate Governance. Diakses dari: http://hudanusantara- end.blogspot.com/2010/11/good-corporate-governance_2805.html Pada tanggal 10 Maret 2019 Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Beharvior, Agency Cost and Owership Stucture. Journal of Financial Economics 3. Hal. 305-360. Kompasiana. 2018. Struktur Kepemilikan Perusahaan di Indonesia. Diakses dari: https://www.kompasiana.com/inezlius/551ff41f81331198019dfb7a/praktik-good- corporate-governance-terkait-struktur-kepemilikan-perusahaan-di-indonesia. Pada tanggal 10 Maret 2019 Prasetyantoko, A. 2008. Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sutojo, Siswanto. E. John Aldridge. 2008. Good Corporate Governance Tata Kelola Perusahaan Yang Sehat. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.
Pendekatan sederhana untuk investasi ekuitas: Panduan pengantar investasi ekuitas untuk memahami apa itu investasi ekuitas, bagaimana cara kerjanya, dan apa strategi utamanya
Pendekatan sederhana untuk investasi pasif: Panduan Pengantar Prinsip-prinsip Teoretis dan Operasional Investasi Pasif untuk Membangun Portofolio Malas yang Berkinerja dari Waktu ke Waktu