PENDAHULUAN
1
BAB II
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENGENDALIAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
2.1. Kebijakan
Di Indonesia kasus kesakitan dan kematian akibat PPOK semakin meningkat
setiap tahunnya. PPOK dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko seperti
merokok, pajanan udara yang tercemar gas buang kendaraan, asap industri, dan lain
lain. Merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan kronik seperti PPOK,
asma, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, kanker paru, dan lainnya.
Beban biaya pengobatan yang ditimbulkan oleh PPOK semakin meningkat termasuk
juga hilangnya hari atau waktu produktivitas seseorang dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
Kebijakan pengendalian PPOK mencakup :
1. Mengembangkan dan memperkuat program pengendalian faktor risiko
PPOK khususnya yang didasari pada pendekatan pelayanan
komprehensif, terintegrasi dan didukung partisipasi, pemberdayaan
masyarakat dalam pengendalian PPOK
2. Mengembangkan dan memperkuat deteksi dini faktor risiko dalam
penemuan suspek PPOK
3. Meningkatkan dan memperkuat manajemen, dan kualitas peralatan untuk
deteksi dini faktor risiko PPOK
4. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pencegahan
dan pengendalian faktor risiko PPOK.
5. Mengembangkan kegiatan layanan konseling Upaya Berhenti Merokok
pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dan layanan rujukan berhenti
merokok
6. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans epidemiologi faktor
risiko PPOK berbasis FKTP
7. Mengembangkan dan memperkuat jejaring kerja dan kemitraan untuk
penganggulangan PPOK
8. Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan kemitraan antar kementerian I
lembaga dalam pengendalian faktor risiko PPOK.
2
2.2. Strategi
Berdasarkan kebijakan tersebut diatas, maka diperlukan strategi pencegahan dan
pengendalian PPOK sebagai berikut:
1. Promosi deteksi dini PPOK melalui media sosial, media cetak dan media
online serta bekerjasama dengan lintas program, lintas sektor, tokoh
masyarakat, jejaring kerja puskesmas dan public figure.
2. Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian faktor
risiko PPOK melalui posbindu Penyakit Tidak Menular (PTM).
3. Meningkatkan akses yang berkualitas kepada masyarakat untuk deteksi dini
dan tindak lanjut dini faktor risiko PPOK.
4. Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan melalui Training of Trainer (TOT),
workshop, orientasi dan seminar.
5. Integrasi tatalaksana faktor risiko PPOK kedalam pandu PTM
6. Memperkuat jejaring kerja dan kemitraan pencegahan dan pengendalian
PPOK.
7. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans epidemiologi faktor
risiko PPOK termasuk monitoring dan sistem informasi melalui surveilans
faktor risiko PPOK di masyarakat terkait dengan faktor risiko merokok dan
surveilans FKTP dengan menggunakan Sistem Informasi PPTM.
2.3. Kegiatan
Terkait dengan strategi tersebut diatas maka perlu dikemukakan kegiatan pokok
sebagai berikut:
8. Upaya promotif pencegahan dan pengendalian PPOK di masyarakat
9. Upaya deteksi dini dan diagnosis PPOK secara terintegrasi, berfokus pada
faktor risikonya, melalui "Community Base lntervension and Development",
yang didukung oleh sistim rujukan dan regulasi memadai, dengan kerjasama
lintas profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan, lintas sektor,
pemberdayaan swasta/industri, dan kelompok masyarakat madani.
10. Tatalaksana PPOK yang efektif dan efisien, yang didukung kecukupan
ketersediaan obat, ketenagaan, sarana/prasarana, sistem rujukan, jaminan
pembiayaan dan regulasi memadai, untuk menjamin akses pasien PPOK dan
faktor risiko terhadap tatalaksana pengobatan baik di FKTP, maupun di
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
11. Upaya Manajemen PPOK.
12. Pencatatan dan pelaporan.
3
BAB Ill
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
3.1. Pengertian
PPOK merupakan penyakit paru kronik yang sering dijumpai, dapat dicegah dan
diobati. PPOK ditandai dengan gejala pernapasan yang menetap dan adanya
keterbatasan aliran udara pada saluran napas yang menetap/persisten dan progresif.
PPOK disebabkan inflamasi kronik saluran napas akibat pajanan partikel atau gas
berbahaya. Partikel/gas berbahaya yang tersering adalah rokok.
Eksaserbasi dan komorbid pada PPOK berperan dalam memperberat penyakit.
Dampak dari eksaserbasi diantaranya: perburukan gejala, menurunkan kemampuan
dalam melakukan aktivitas harian, menurunkan status kesehatan dan dapat
mengakibatkan perawatan di Rumah Sakit. Tujuan tatalaksana PPOK selain
mengobati, juga mencegah terjadinya eksaserbasi agar dapat memperlambat
progresifitas penyakit.
4
g. Pertumbuhan dan perkembangan paru-paru. Faktor yang memengaruhi
pertumbuhan paru selama kehamilan dan masa kanak-kanak (berat badan lahir
rendah, infeksi pernapasan, dll).
3.3. Patofisiologi
PPOK merupakan gangguan obstruksi saluran napas yang diakibatkan inflamasi
(peradangan) saluran napas, perubahan struktur paru dan gangguan/disfungsi
bersihan mukus. Proses inflamasi pada PPOK berbeda dengan asma baik penyebab
terjadinya inflamasi, respons inflamasi yang terjadi, sel-sel inflamasi yang berperan,
maupun kerusakan yang ditimbulkannya.
Hambatan (keterbatasan) aliran udara terutama pada saat ekspirasi merupakan
gangguan khas pada PPOK, menyebabkan udara ekspirasi tidak sepenuhnya keluar
tetapi terperangkap dan menimbulkan hiperinflasi paru (paru-paru menjadi lebih
besar oleh karena adanya udara yang terjebak di dalam paru-paru). lnflamasi
sistemik yang terjadi pada PPOK berkontribusi terhadap penyakit lain yang timbul
bersamaan, yang dikenal dengan penyakit penyerta (komorbiditas) pada PPOK,
yaitu penyakit jantung iskemik (koroner), osteoporosis, glaukoma dan katarak,
kaheksia (penurunan berat badan dan massa otot) dan malnutrisi, anemia, disfungsi
otot perifer, dan sindrom metabolik.
3.5. Manifestasi
Sebagian besar PPOK tidak terdiagnosis pada stadium awal tetapi pada stadium
lanjut. Kecurigaan PPOK dapat dikenali melalui:
1. Terdapat pajanan bahan gas berbahaya, terutama asap rokok, dan polusi udara
baik di dalam dan di luar ruangan, serta di tempat kerja.
2. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya usia pertengahan, karena butuh waktu
lama bagi pajanan bahan/gas untuk menyebabkan PPOK.
3. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat, semakin lama semakin
memburuk.
5
4. Terdapat penyempitan (obstruksi) saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversibel.
5. Sering mengalami infeksi saluran napas dan membutuhkan waktu lama untuk
sembuh.
3.6. Diagnosis
6
Diagnosis PPOK ditegakkan melalui:
1. Anamnesis
Gejala : batuk berdahak dan sesak napas.
Gejala berlangsung lama dan semakin memberat. Sesak napas bertambah saat
beraktivitas. Ada riwayat merokok atau pajanan polusi.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada PPOK ringan pemeriksaan fisis dapat normal. Pada PPOK tahap lanjut
dapat ditemukan tanda-tanda hiperinflasi: dada cembung, sela iga melebar,
hipersonor, suara napas melemah, sianosis dan jari tabuh (clubbing finger).
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Penunjang standar (golden standard) untuk diagnosis PPOK adalah
pemeriksaan fungsi/faal paru menggunakan spirometri. Spirometri adalah
pemeriksaan non-invasif untuk menilai keterbatasan aliran udara,
merupakan pemeriksaan yang paling dapat direproduksi dan objektif dan
tersedia di Rumah Sakit. Namun, untuk meningkatkan cakupan deteksi dini
PPOK, maka pemeriksaan spirometri dapat dilaksanakan di fasilitas
kesehatan layanan primer dengan didukung oleh tenaga yang mampu
melakukan manuver dan interpretasi secara benar sehingga kasus PPOK
dapat terdeteksi lebih dini. Diagnosa PPOK ditegakkan jika hasil VEP1
(Volume Ekspirasi Paksa detik 1)/KVP (Kapasitas Vital Paksa) pasca
pemberian bronkodilator <0,70.
b. Pemeriksaan penunjang tambahan: Foto toraks, EKG, Laboratorium kimia
darah.
7
depan (seperti eksaserbasi, rawat inap dan kematian). Penilaian PPOK digunakan
untuk memandu terapi.
Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK berdasarkan hasil
spirometri (lihat Tabel 2) . Penilaian parameter VEP1 pada spirometri harus
dilakukan setelah pemberian bronkodilator inhalasi short-acting untuk menilai
reversibilitas (Uji bronkodilator/Bronchodilator test).
TABEL 2. KLASIFIKASI KEPARAHAN KETERBATASAN ALIRAN UDARA
PADA PPOK, NILAI VEP1 PASCA BRONKODILATOR
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
Pada pasien dengan VEP1/ KVP < 0.70:
GOLD 1 Ringan VEP1 prediksi ≥ 80%
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1< 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1< 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat VEP1< 30% prediksi
Prediksi berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tinggi badan.
Gunakan Tabel Nilai Normal Faal Paru Indonesia - Pneumobile Project Indonesia
Oleh karena dampak PPOK lebih dari sekadar sesak napas, maka saat ini
direkomendasikan penilaian gejala yang lebih komprehensif menggunakan COPD
Assessment Test (CAT™) (lihat TABEL 4).
8
TABEL 4. PENILAIAN DENGAN CATTM
Untuk tiap pernyataan dibawah, silahkan untuk berikan tanda (lingkari)
pada nomor yang sedang anda rasakan.
Hanya boleh dipilih satu nomor pada tiap pernyataan.
Saya tidak pernah batuk 0 1 2 3 4 5 Saya selalu batuk
Tidak ada dahak (riak) sama Dada saya penuh dengan
0 1 2 3 4 5
sekali dahak (riak)
Tidak ada rasa berat (tertekan) Dada saya terasa berat
0 1 2 3 4 5
di dada (tertekan) sekali
Ketika saya jalan mendaki/
Ketika saya jalan mendaki/naik
0 1 2 3 4 5 naik tangga, saya sangat
tangga, saya tidak sesak
sesak
Aktivitas sehari-hari saya di Aktivitas sehari-hari saya
0 1 2 3 4 5
rumah tidak terbatas di rumah sangat terbatas
Saya tidak kuatir keluar Rumah
meskipun saya menderita 0 1 2 3 4 5 Saya sangat kuatir keluar
rumah karena paru saya
penyakit paru
Saya dapat tidur dengan Saya tidak dapat tidur
0 1 2 3 4 5
nyenyak dengan nyenyak
Saya tidak punya tenaga
Saya sangat bertenaga 0 1 2 3 4 5
sama sekali
9
Contoh: seorang pasien memiliki nilai prediksi VEP1 <30%, dengan skor CAT™
sebesar 18 dan mengalami 3 kali eksaserbasi derajat sedang dalam satu tahun
terakhir. Berdasarkan klasifikasi GOLD, pasien tersebut adalah GOLD kelas 4 dan
PPOK grup D.
Hal yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis PPOK, di Puskesmas antara
lain:
1. Anamnesis
a. Keluhan
Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas.
Kadang-kadang disertai mengi.
Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
Rasa berat di dada.
b. Riwayat penyakit.
Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu.
c. Faktor predisposisi.
Usia > 40 tahun.
Riwayat merokok aktif atau pasif.
Terpajan zat berbahaya (polusi udara, debu).
Batuk berulang pada masa kanak-kanak.
Berat badan lahir rendah (BBLR).
2. Pemeriksaan fisis:
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a. Secara umum
Penampilan pink puffer (gambaran khas emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan) atau blue bloater (gambaran khas bronkitis kronik, penderita
gemuk, sianosis).
Pernapasan pursed-lips breathing (bernafas melalui hidung, mengeluarkan
napas melalui mulut secara perlahan dengan kondisi bibir yang mengerucut).
Tampak denyut vena jugularis atau edema tungkai bila telah terjadi gagal
jantung kanan.
10
b. Toraks
lnspeksi : barrel chest (bentuk dada membulat dan menonjol keluar menyerupai
gentong), penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga.
Perkusi : hipersonor pada emfisema
Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal, meningkat, atau melemah.
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau dengan
ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Faal paru dengan pemeriksaan spirometri.
b. Jalan 6 menit atau 400 meter dapat dilakukan. Di Puskesmas dengan sarana
yang terbatas, evaluasi yang digunakan adalah keluhan lelah yang timbul atau
sesak yang bertambah.
c. Pemeriksaan darah Hb dan leukosit.
d. Foto toraks (bila fasilitas ada).
e. Pemeriksaan saturasi oksigen.
11
TABEL 5. DIAGNOSA BANDING PPOK
DIAGNOSA FITUR PENYAKIT
Muncul pada usia menengah; gejala berkembang lambat;
PPOK
adanya riwayat merokok atau pajanan asap rokok
Muncul pada usia muda (biasanya pada masa kanak-
Asma kanak); gejala muncul tiap hari; gejala terasa lebih parah
pada malam/pagi hari; memiliki alergi; keturunan keluarga.
X-Ray pada dada menunjukkan dilatasi pada jantung dan
Gagal Jantung edema pada paru; hasil tes fungsi paru menunjukkan
restriksi volume, bukan limitasi pada saluran pernapasan.
Volume sputum yang besar; biasanya ada bersama infeksi
Bronkiektasis bakteri; CT/X-ray menunjukkan dilatasi pada bronkial dan
penebalan dinding bronkial
Tuberkulosis Terjadi pada semua usia; terdapat microbakterium
Terjadi pada usia muda dan belum pernah merokok;
Bronkitis Obliratif Kemungkinan memiliki riwayat rheumatoid arthritis; muncul
setelah adanya transplan tulang rawan atau paru-paru
Panbronkiolitis Kebanyakan terjadi pada pasien laki-laki dan bukan perokok;
Difusif hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis
3.8. Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, faal paru memburuk dari waktu ke
waktu, bahkan dengan perawatan yang baik. Gejala dan perubahan obstruksi
saluran napas harus dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan komplikasi.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Komplikasi PPOK sebagai berikut :
1. Gagal napas (gagal napas kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik).
2. lnfeksi berulang
Pada PPOK, produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik
imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah.
3. Kor Pulmonale
PPOK yang ditandai oleh P pulmonal pada pemeriksaan EKG, hematokrit > 50%
dapat disertai gagal jantung kanan.
12
13
BAB IV
DETEKSI DINI PPOK
14
4.5. Frekuensi Deteksi Dini
Deteksi dini PPOK dilakukan minimal 1 kali dalam 1 tahun.
Pengisian instrumen kuesioner PUMA untuk deteksi dini dapat dilakukan oleh
tenaga non nakes seperti kader kesehatan dan lainnya. Dalam pengisian Instrumen
kuesioner PUMA harus dilakukan secara terpimpin untuk menghindari kesalahan
dalam skoring nilainya. Untuk kegiatan deteksi dini spirometri, dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang telah dilatih untuk melakukan manuver spirometri dan
interpretasi.
15
Anda berjalan lebih cepat pada jalan yang datar atau ☐ 1: Ya
pada jalan yang sedikit menanjak?
5 Apakah Anda biasanya mempunyai dahak yang ☐ 0: Tidak
berasal dari paru atau kesulitan mengeluarkan dahak ☐ 1: Ya
saat Anda sedang tidak menderita flu?
6 Apakah Anda biasanya batuk saat Anda sedang tidak ☐ 0: Tidak
menderita flu? ☐ 1: Ya
7 Apakah Dokter atau tenaga kesehatan lainnya pernah ☐ 0: Tidak
meminta Anda untuk melakukan pemeriksaan fungsi ☐ 1: Ya
paru dengan alat spirometri atau peakflow meter
(meniup ke dalam suatu alat) untuk mengetahui fungsi
paru anda?
Total Skor
Interpretasi:
Skor < 6 : Risiko rendah PPOK
Skor > 6 : Risiko tinggi PPOK, lakukan pemeriksaan spirometri
Jika hasil wawancara didapatkan nilai > 6 maka Responden dirujuk ke FKTP untuk
melakukan pemeriksaan uji fungsi spirometri untuk penegakan diagnosis.
Spirometri
Hasil pemeriksaan spirometri didokumentasikan menggunakan Form Pemeriksaan
Spirometri (Lampiran 2). Nilai Prediksi berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tinggi
badan mengacu pada Tabel Nilai Normal Faal Paru Indonesia - Pneumobile Project
Indonesia (Lampiran 3).
16
4.8. Penyelenggaraan Deteksi Dini
Deteksi dini dilakukan pada kelompok individu berisiko tinggi dan masyarakat
secara aktif, baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di tatanan masyarakat.
Dengan alur sebagai berikut
Tidak
Ya
Ya
SUSPEK
PPOK
Ya
17
BAB V
TATALAKSANA PPOK
18
TABEL 6. FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN
SAAT AKAN MEMULAI TERAPI ICS
Faktor yang perlu dipertimbangkan saat akan memulai terapi ICS, sebagai terapi
kombinasi bersama 1 atau 2 long-acting bronchoodilator:
MANFAAT ICS BAIK Pertimbangkan ICS Hindari ICS
Riwayat rawat inap Eksaserbasi PPOK Kejadian pneumonia
karena eksaserbasi sedang 1x/tahun berulang
PPOK Kadar eosinofil darah Kadar eosinofil darah
Eksaserbasi PPOK < 300 sel/µL < 100 sel/µL
sedang Riwayat infeksi
≥ 2x/ tahun mikobakteri
Kadar eosinofil darah
≥ 300 sel/µL
Riwayat asma atau
komorbid asma
19
4. Pengobatan Lanjutan PPOK Stabil (setelah pengobatan awal)
Setelah pengobatan awal, perlu dilakukan evaluasi apakah pengobatan
awal memberikan respon yang sesuai. Jika respon tidak sesuai dengan yang
diharapkan perlu dilakukan penyesuaian obat. Penyesuaian obat mengikuti
panduan Pengobatan Lanjutan PPOK stabil (lihat Gambar 4).
* Pertimbangkan jika eos ≥300 atau eos ≥100 DAN ≥2 eksaserbasi sedang/
1 rawat inap
**) Pertimbangkan de-eskalasi (penurunan) ICS atau ganti jika pasien mengalami
pneumonia, indikasi awal tidak sesuai atau kurangnya respon terhadap ICS.
20
TABEL 7. Obat untuk PPOK dalam FORNAS 2021 - 2022
Cairan
Obat Inhalasi Maksimum Peresepan
Inhalasi/Nebulizer
Antikolinergik
21
Obat yang digunakan yaitu SABA plus antibiotik dan/atau kortikosteroid
oral/inhalasi). Derajat berat, pasien memerlukan penanganan di ruang gawat darurat
atau rawat inap. Obat-obatan diberikan secara intravena untuk kemudian bila
memungkinkan dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai setelah kondisi
daruratnya teratasi.
22
eksaserbasi PPOK. GOLD 2019 - 2022 menyatakan budesonide nebulisasi
memberikan manfaat efikasi yang serupa dengan metilprednisolon intravena dan
merupakan alternatif kortikosteroid yang sesuai untuk penanganan eksaserbasi
PPOK.
Dosis budesonide nebulisasi 4-8 mg/hari diberikan dalam 2-4x/pemberian
sampai perbaikan gejala tetapi tidak lebih dari 10 hari. Cara nebulisasi dapat
dilihata pada Teknik Terapi Inhalasi Nebulisasi (Lampiran 5).
3. Antibiotik; Diberikan bila eksaserbasi. Durasi terapi sebaiknya tidak lebih dari
5 – 7 hari.
4. Diuretika; Diberikan pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung
kanan atau kelebihan cairan.
5. Metilxantin; tidak dianjurkan karena profil efek samping yang meningkat.
6. Cairan; Pemberian cairan harus seimbang, PPOK sering disertai kor pulmonale
sehingga pemberian cairan harus berhati hati.
5.2.1. Edukasi
Edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah beratnya PPOK
dengan cara mengunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan
keterbatasan aktivitas pasien, serta mencegah eksaserbasi. Mempertimbangkan
adanya keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya,
seperti keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan, keterbatasan ekonomi dan
sarana kesehatan.
23
pengetahuan mengenai bahaya merokok pasif dan pentingnya menerapkan
lingkungan kerja yang bebas rokok.
2. Kriteria rujukan
Kriteria pasien PPOK dari FKTP ke FKRTL:
1) Untuk memastikan diagnosis dan menentukan derajat PPOK pada
pasien yang diduga PPOK. Pasien diduga PPOK jika total skor
kuesioner PUMA > 6. Jenis pemeriksaan rujukan pada pasien PPOK,
sebagai berikut:
a. Melakukan konsultasi ke dokter spesialis paru atau penyakit dalam.
Penilaian awal/kunjungan awal, kemudian pemeriksaan berkala untuk
menilai perubahan saluran napas. Frekuensi pemeriksaan tergantung pada
berat penyakit dan respon pengobatan.
b. Pemeriksaan penunjang di FKRTL antara lain
Pemeriksaan darah lengkap dengan neutrophil untuk menilai
kecurigaan polisitemia maupun infeksi.
Foto toraks, dilakukan pada awal penilaian/kunjungan pertama,
kemudian pemeriksaan berkala atau diulang bila ada kecurigaan
penyakit komorbid lain seperti: pneumonia, pneumothorax, penyakit
24
jantung, keganasan, penyakit paru kerja, dll.
EKG, dilakukan pada awal diagnosis bila pasien berusia > 40 tahun,
dilakukan pada penderita PPOK dengan kecurigaan komorbid penyakit
jantung, terutama cor pulmonal dan pemeriksaan berkala pada PPOK
dengan komorbid penyakit jantung.
Spirometri dengan tes bronkodilator, dilakukan pada awal penilaian atau
kunjungan pertama, setelah pengobatan awal diberikan bila gejala telah
stabil. Pemeriksaan berkala untuk menilai perubahan fungsi saluran
napas atau lebih sering bergantung berat penyakit dan respon
pengobatan.
Pulse oksimetri, dilakukan pada pasien PPOK eksaserbasi.
Analisa gas darah, pada pasien PPOK eksaserbasi jika diperlukan.
Pemeriksaan mikrobiologi sputum, dilakukan pada pasien PPOK
dengan kecurigaan infeksi.
Bronkoskopi, jika diperlukan
Cardiopulmonary exercise test, 6 minutes walking test (6MWT), 12
minute walking test (12 MWT), incremental shuttle walk test (ISWT),
dilakukan bila dibutuhkan pada pasien PPOK untuk mengetahui tingkat
toleransi olahraga, evaluasi rehabilitasi paru, kecurigaan kelainan
jantung dan yang akan dilakukan tindakan operasi.
25
Sianosi dan Edema perifer.
Bila tersedia pemeriksaan darah lengkap, didapatkan: polisitemia
(HCT >55%), anemia, leukositosis, hiperglikemia
f. PPOK dengan gagal napas akut atau acute on chronic:
Penurunan kesadaran.
Sesak napas.
Sianosis.
Bila tersedia analisa gas darah, didapatkan PaCO2 <60 mmHg
dengan atau tanpa PaCO2 >50 mmHg.
26
BAB VI
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Upaya Pencegahan dan Pengendalian PPOK meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif (Lampiran 5), sebagai berikut:
6.1.2. Sasaran
Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Masyarakat termasuk penyandang PPOK, kelompok risiko PPOK, dan tokoh
masyarakat.
27
6.1.3. Kegiatan
1) Menyusun materi KIE bagi kelompok sasaran.
Materi KIE dikembangkan dengan memperhatikan 3 faktor penyebab PPOK
yaitu perilaku berisiko, faktor genetik dan lingkungan.
2) Melaksanakan penyuluhan atau KIE tentang PPOK melalui berbagai media KIE.
Pelaksanaan penyuluhan atau KIE dilakukan melalui 4 pendekatan yaitu:
a. Komunikasi satu arah melalui media sosial, media elektronik.
b. Komunikasi individu atau interpersonal
c. Komunikasi Kelompok.
d. Komunikasi Massa.
28
6.2. Upaya Preventif
Pendekatan dalam pengendalian PPOK dilaksanakan melalui kerangka kerja
bertahap dengan pendekatan praktis dan fleksibel terdiri dari 3 (tiga) langkah
perencanaan utama dan 3 (tiga) langkah implementasi utama. Tiga langkah
perencanaan utama yaitu:
1. Menilai profil faktor risiko dan besaran masalah kasus PPOK di populasi.
2. Menyusun dan mengadopsi kebijakan pengendalian PPOK yang didasarkan
pada prinsip prinsip: komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat dengan
melibatkan sektor terkait.
3. Mengidentifikasi cara yang paling efektif untuk mengimplementasi kebijakan.
29
5) Penyesuaian aktivbtas.
6.3.2. Obat-obatan
Obat Pelega (bronkodilator), dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi
kecuali pada eksaserbasi dapat digunakan oral atau sistemik. Macam-macam
bronkodilator:
a. Golongan antikolinergik; Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus (maksimal 4x
sehari).
b. Golongan β-2 agonis; Bentuk inhaler untuk mengatasi sesak. Peningkatan
jumlah penggunaan dapat menjadi tanda timbulnya eksaserbasi. Sebaiknya
digunakan obat yang mempunyai masa kerja panjang. Pemberian secara
nebulisasi digunakan saat eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip digunakan untuk eksaserbasi
berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan β-2 agonis; Kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat
kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mudah digunakan.
d. Golongan xantin; Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Dan penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
e. Anti inflamasi, pilihan utama bentuk anti inflamasi spektrum luas, dan
sebaiknya dalam bentuk inhalasi.
f. Ekspektoran dan mukolitik, tidak diberikan secara rutin, hanya pada kondisi
dengan dahak/sputum yang kental atau dominan, terdapat gangguan bersihan
30
mukosilier.
6.4. Rehabilitatif
a. Latihan fisis secara umum untuk kebugaran.
b. Psikososial.
c. Latihan otot pernapasan.
31
BAB VII
PENCATATAN DAN PELAPORAN
7.1. Pencatatan
Pencatatan dapat berupa tulisan, grafik, gambar, dan suara, yang memiliki
kriteria sebagai berikut: sistematis, jelas, resposif, ditulis dengan baik, tepat waktu,
dan mencantumkan tanda tangan serta nama jelas. Manfaat pencatatan adalah:
a. Sebagai bukti kegiatan
b. Memberikan informasi kegiatan
c. Bukti pertanggungjawaban
d. Alat komunikasi
e. Pembuatan laporan
f. Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, serta
g. Bukti hukum.
7.2. Pelaporan
Penyampaian data terpilah dari hasil pencatatan diberikan kepada pihak terkait
sesuai dengan tujuan dan kebutuhan yang telah ditentukan (PMK Nomor 31 Tahun
2019 Tentang SIP pasal 1), bentuk pelaporan adalah:
1. Lisan
a. Tidak Obyektif
b. Hal-hal yang baik saja yg disampaikan
32
c. Tindak lanjut cepat (+).
2. Tertulis
a. Waktu lama
b. Biaya besar
c. Bersifat Objektif (+).
Untuk pencatatan dan pelaporan dalam ASIK, mekanisme dan alur dapat mengikuti
urutan berikut:
1. Login dengan isi Nomor WhatsApp dan klik “Masuk”
2. Pilih Screening PTM untuk memulai pencatatan deteksi dini.
3. Masukkan tanggal dan Puskesmas tempat deteksi dini PTM dilakukan untuk
memulai aktivitas.
4. Klik “Mulai aktivitas”, lalu “Tambah data” untuk mengisi kuesioner.
5. Untuk mulai pencatatan, cari data peserta berdasarkan NIK (lebih disarankan)
atau tanggal lahir.
6. Hasil pencarian akan menampilkan Nama dan NIK peserta.
7. Pilih salah satu peserta dari hasil pencarian.
8. Isi data peserta yang diperlukan dan pastikan sudah lengkap dan sesuai.
33
9. Simpan data peserta. Apabila ada perubahan data, klik tombol kembali di pojok
kiri atas.
10. Lanjutkan pencatatan dengan mengisi informasi terkait riwayat penyakit keluarga
dan pribadi (bisa pilih lebih dari satu), lalu klik “Simpan”.
11. Setelah data riwayat penyakit peserta dan keluarga dilengkapi, lanjutkan
pencatatan faktor risiko. Jawab pertanyaan dan isi informasi yang diperlukan
sesuai kondisi peserta sampai selesai.
12. Setelah data riwayat penyakit peserta dan keluarga dilengkapi, lanjutkan
pencatatan faktor risiko . Jawab pertanyaan dan isi informasi yang diperlukan
sesuai kondisi peserta sampai selesai.
13. Selanjutnya, isi informasi terkait hasil pemeriksaan kesehatan peserta. Pilih form
yang akan diisi, lalu masukkan data peserta sesuai hasil pemeriksaan dan klik
“Simpan”.
14. Setelah semua data terisi, akan muncul ringkasan hasil pencatatan faktor risiko
dan hasil pemeriksaan. Berdasarkan data tersebut, isi informasi terkait diagnosa
dan rujukan ke rumah sakit (jika diperlukan).
15. Klik “Simpan” dan selesai. Ulangi langkah yang sama untuk pencatatan deteksi
dini PTM peserta lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN 1
KUESIONER PUMA UNTUK DETEKSI DINI PPOK
Petunjuk pengisian :
a. Mengisi data dasar seperti Nama, Tanggal wawancara, Puskesmas, Nama petugas
Nama : Tanggal :
Puskesmas : Petugas :
b. Beri tanda silang (X) pada pernyataan yang sesuai. Masing-masing jawaban memiliki
nilai (skor) yang akan diakumulasikan.
36
- Catatan untuk Petugas (Diisi oleh Petugas)
Hitung Indeks Brinkman = ☐ 0:
Lama merokok dalam tahun x Jumlah batang Tidak atau
rokok per hari/20 < 20 bungkus per tahun
Contoh : ☐ 1:
Jumlah merokok/hari = 15 batang 20–30 bungkus per tahun
Lama merokok = 20 tahun
Indeks Brinkman = 15 x 20 = 300,kemudian ☐ 2:
> 30 bungkus per tahun
dibagi 20 = 15 bungkus tahun
c. Jika hasil wawancara didapatkan nilai > 6 maka Responden dirujuk ke FKTP untuk
melakukan pemeriksaan uji fungsi paru menggunakan Spirometri untuk penegakan
diagnosis
Interpretasi :
Skor < 6 : Risiko rendah PPOK
Skor > 6 : Risiko tinggi PPOK, lakukan pemeriksaan spirometri
37
LAMPIRAN 2
FORM PEMERIKSAAN SPIROMETRI
(diisi oleh dokter/petugas pemeriksa)
NILAI
NO PEMERIKSAAN HASIL UJI KENAIKAN
PREDIKSI NORMAL
BRONKODILATOR VEP 1
1 mL
Kapasitas Vital
1 2 mL mL
(KV)
3 mL
% KV (KV / KV
2 % 80%
Prediksi)
1 mL
Kapasitas Vital
3 2 mL mL
Paksa (KVP)
3 mL
% KVP (KVP /
4 80%
KVP Prediksi)
Volume 1 mL mL %
5 Ekspirasi Paksa 2 mL mL mL
Detik 1 (VEP 1) 3 mL mL
% VEP 1 (VEP
6 1 / VEP 1 % 80% %
Prediksi
VEP 1%
7 % 75%
(VEP1/KVP)
1 L/mL L/mL
Arus Puncak
8 2 L/mL L/mL
Ekspirasi (APE)
3 L/mL L/mL
(………........................)
38
LAMPIRAN 3
TABEL FUNGSI PARU (KVP) LAKI-LAKI
39
LAMPIRAN 3
TABEL FUNGSI PARU (KVP) PEREMPUAN
40
LAMPIRAN 4
TEKNIK TERAPI INHALASI NEBULISASI
41
A. INDIKASI
1. Asma Bronkialis
2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
3. Sindroma Obstruksi Post TB
4. Mengeluarkan dahak
B. KONTRAINDIKASI
1. Hipertensi.
2. Takikardia.
3. Riwayat alergi.
4. Trakeostomi.
5. Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris.
6. Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi.
C. PEMILIHAN OBAT
Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi akan selalu disesuaikan dengan
diagnosis atau kelainan yang diderita oleh pasien. Obat yang digunakan berbentuk
solutio (cairan), suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi
inhalasi. Golongan obat yang sering digunakan melalui nebulizer yaitu beta-2
agonis, antikolinergik, kortikosteroid, dan antiobiotik.
D. KOMPLIKASI
1. Henti napas.
2. Spasme bronkus atau iritasi saluran napas.
3. Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting beta-2 agonist)
dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada sistim sekunder penyerapan obat.
Hipokalemi dan disritmia dapat ditemukan pada paslien dengan kelebihan dosis.
1. Buka tutup tabung obat, masukkan cairan obat kedalam alat penguap sesuai dosis
yang telah ditentukan.
2. Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol ON
pada nebulizer. Uap yang keluar dihirup perlahan-lahan dan dalam, inhalasi ini
dilakukan terus menerus sampai obat habis. Hal ini dilakukan berulang-ulang
sampai obat habis (+ 10 – 15 menit)
42
F. INTERPRETASI
G. PERHATIAN
No Langkah
Persiapan alat
1 Mempersiapkan alat sesuai yang dibutuhkan :
- Main unit
- Air hose (selang)
- Nebulizer kit (masker, mouthpiece, cup)
- Obat-obatan
Masker Mouthpiece
2 Memperhatikan jenis alat nebulizer yang akan digunakan (sumber tegangan,
tombol OFF/ON), memastikan masker ataupun mouthpiece terhubung dengan
baik, persiapan
obat)
Pelaksanaan Terapi Inhalasi
1 Cuci tangan sebelum menyiapkan obat.
2 Menghubungkan nebulizer dengan sumber tegangan
3 Menghubungkan air hose, nebulizer dan masker/mouthpiece pada main kit
43
4 Buka tutup cup, masukkan cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis
yang telah ditentukan.
44
LAMPIRAN 5
PENGELOLAAN PPOK di FKTP
Pasien baru dengan gejala PPOK
46