Lautaro Martinez pantas kecewa. Inter Milan tak tampil buruk, tapi Manchestr
Citylah yang akhirnya juara.
Siapapun yang menyaksikan laga final Liga Champions akan sepakat bahwa
Inter Milan sudah melakukan apa yang semestinya dilakukan. Sebagai tim
yang tidak diunggulkan dari City yang terlihat lebih unggul, Inter Milan tak
tampil inferior di Instanmbul.
Dengan gagah berani allenatore Inter Milan, Simone Inzaghi tetap memainkan
formasi andalan 3-5-2. Padahal, ada pandit yang memprediksi bahwa Inter
akan bermain lebih defensif.
Dua striker, dengan Lautaro sebagai motor, baik berteman dengan Edin Dzeko
atau Romelu Lukaku berhasil membuat Manchester City berpikir lebih keras
untuk tetap mengontrol garis pertahanan mereka tak terlalu ke depan.
Selain itu dua sayap Inter, baik Denzel Dumfries dan Federico Dimarco juga
tampil apik bersama tiga gelandang Hakan Calhanoglu, Marcelo Brozovic dan
Nicolo Barella yang tampil spartan, dengan memberikan pressure tinggi
sepanjang pertandingan.
Alhasil, di babak pertama, Inter berhasil menahan imbang tanpa gol. Di luar
gol gelandang City, Rodrigo yang mengubah hasil pertandingan, namun secara
statistik Inter terbilang unggul. Meskipun City tetap menguasai jalannya laga
dengan 58 persen ball possesion, tapi Inter unggul baik di Shots on target atau
off target. Inter melepaskan 5 tendangan ke gawang berbanding 4, dan bahkan
7 tendangan off target berbanding 3 milik City, dengan 4 tendangna sudut
bernading hanya dua milik City.
Ada 2 (dua) hal yang saya ketengahkan. Pertama, kepercayaan diri Pep
Guardiola memainkan formasi 3-2-4-1 dengan John Stones yang
ditransformasi menjadi gelandang box to box.
Maksud saya begini. Ada pilihan aman yang dapat dimainkan oleh Pep, yakni
memainkan formasi 4-3-3. Di pilihan ini, Pep dapat memainkan Kyle Walker
sebagai inverted full back, dibanding mendorong John Stones lebih liar ke
depan.
Di pilihan ini, dipercaya, City dapat lebih aman untuk menghentikan laju dua
sayap milik Inter Milan, tetapi Pep adalah Pep, pelatih yang tak ingin ada di
zona nyaman.
John Stones dimainkan dari awal, dan bersama Bernardo Silva dapat bergerak
liar dari sisi kiri pertahanan Inter Milan, sedangkan Ruben Diaz, Nathan Ake,
dan Manuel Akanji berdiri kokoh dalam kesejajaran.
Jelas efektif, karena di atas kertas, 3-5-2 milik Inzaghi memberi jaminan
kekuatan di lini tengah, tetapi ketika berhadapan dengan 3-4-1-1 milik City,
maka lini tengah tetap dikuasai oleh City, karena Pep menghadirkan 6 orang
gelandang dengan John Stones yang sering bergerak bebas.
Terbilang Jenius, karena gelandang dan bek Inter Milan, di beberapa titik,
terlihat kebingungan membaca pergerakan dari John Stones, Ilkay Gundogan,
Rodrigo, dan fleksibilitas Bernardo Silva dan Kevin De Bruyne.
“Saya tidak bercanda! (Tapi kuncinya) adalah memiliki Messi di masa lalu
(bersama Barcelona) dan memiliki Haaland sekarang. Setiap manajer yang
sukses memiliki manajemen yang baik dan pemain yang hebat”.
Akan tetapi, Pep sebenarnya tahu bahwa menyebut dan menganggap Haaland
sebagai pemain hebat akan menyedot perhatian lawan, dan itu akan
menguntungkan bagi pergerakan pemain lawan.
Rodri memang mesti diwaspadai. Musim lalu saja dia melakukan hampir 3000
umpan, dengan intersepsi bola yang ketat dan pertunjukan distribusi bola
denga level yang tinggi.
Apalagi ketika John Stones dibuat Pep sebagai tambahan pengalih perhatian di
lini tengah, maka Rodri akan mendapat ruang yang lebih luas untuk bergerak.
Inter dihukum atau disakiti karena pergerakan Haaland dan Rodri kali ini.
Hasil yang sempurna bagi Pep Guardiola. Selain treble winner, Pep juga
menuntaskan dahaga gelar bagi The Citizen, yang di Ataturk, Stadium turut
bergembira bersama sang pemilik Shekik Mansour, yang baru secara langsung
menonton pertandingan Manchester City sejak 2010.