Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KELOMPOK

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Psikologi Industri dan Organisasi

Disusun Oleh : Kelompok 2

Anggota :

1. Aisyah Khoirunnisa 11200700000150

2. Anisa Fitri Sesriani 11200700000064

3. Atika Aulia 11200700000011

4. Evita Juwita 11200700000021

5. Yeni Indria Sari 11200700000072

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF


HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021
PEMBAHASAN

Sebuah organisasi memiliki budayanya masing-masing. Ini menjadi salah satu


pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada
yang sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang
anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasinya harus dapat
menyesuaikan diri jika ia ingin bertahan dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi
menjelaskan bagaimana tugas kerja akan dibagi, dikelompokan dan dikoordinasikan secara
formal. Struktur organisasi menunjukan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap
hubungan diantara fungsi, bagian atau posisi maupun orang-orang yang menunjukan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda dalam suatu organisasi.

1. Apa saja yang dikerjakan dalam organisasi

1. Prestasi Kerja dan Penilaian Kinerja


Evaluasi kinerja pekerjaan karyawan adalah fungsi personel yang vital dan
sangat penting bagi organisasi. Dalam organisasi kerja, pengukuran kinerja
biasanya terjadi dalam konteks penilaian kinerja formal. Penilaian Kinerja adalah
menilai kinerja pekerja yang dibandingkan dengan standar organisasi tertentu
yang telah ditetapkan.
a. Tujuan Penilaian Kinerja
1) Bagi Pekerja
Sarana penguatan (pujian, kenaikan gaji), kemajuan karir (promosi,
peningkatan tanggung jawab), informasi pencapaian tujuan kerja, sumber
umpan balik untuk meningkatkan kinerja, dapat menyebabkan keterlibatan
kerja yang lebih besar.
2) Bagi Supervisor
Dasar pengambilan keputusan personel (promosi, pemecatan, dll.),
penilaian pencapaian tujuan pekerja, kesempatan untuk memberikan
umpan balik yang konstruktif kepada pekerja, kesempatan untuk
berinteraksi dengan bawahan.
3) Bagi Organisasi
Penilaian produktivitas individu dan unit kerja, validasi metode pemilihan
dan penempatan personel, sarana untuk mengenali dan memotivasi
pekerja, sumber informasi untuk kebutuhan pelatihan personel, evaluasi
atau efisiensi atau intervensi organisasi (misalnya, program pelatihan:
perubahan sistem, dll.)
b. Metode Penilaian Kinerja
1) Metode komparatif adalah metode penilaian kinerja yang melibatkan
perbandingan kinerja satu pekerja terhadap pekerja lain.
- Rankings, metode penilaian kinerja yang melibatkan peringkat
supervisi dari yang terbaik hingga yang terburuk.
- Paired comparison, metode penilaian kinerja di mana penilai
membandingkan setiap pekerja dengan pekerja lainnya dalam
kelompok.
- Forced distributions, menugaskan pekerja ke kategori yang ditetapkan
dari kinerja buruk hingga baik dengan batasan tetap tentang berapa
banyak karyawan yang dapat ditugaskan untuk setiap kategori.
2) Metode Individu adalah metode penilaian kinerja di mana seorang
karyawan mengevaluasi diri sendiri tanpa referensi eksplisit ke pekerja
lain.
- Graphic rating scales, metode penilaian kinerja menggunakan skala
yang telah ditentukan untuk menilai pekerja berdasarkan dimensi
pekerjaan yang penting.
- Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS), teknik penilaian kinerja
menggunakan skala penilaian, dengan label yang mencerminkan
contoh insiden perilaku yang buruk, sedang, dan baik.
- Behavioral Observation Scales (BOS), metode penilaian kinerja yang
mengharuskan penilai untuk mengingat seberapa sering seorang
pekerja telah diamati melakukan perilaku kerja utama
- Checklists, metode penilaian kinerja menggunakan serangkaian
pernyataan tentang prestasi kerja.
- Narratives, laporan tertulis-terbuka tentang kinerja seorang pekerja
yang digunakan dalam penilaian kinerja.

2. Keputusan Kepegawaian (Staffing Decisions)


Keputusan kepegawaian adalah keputusan yang terkait dengan perekrutan,
pemilihan, promosi, dan pemisahan karyawan. Perusahaan yang mengikuti praktik
kepegawaian tertentu akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada perusahaan
yang tidak. Praktik kerja berkinerja tinggi mencakup penggunaan analisis
pekerjaan formal, seleksi dari dalam untuk posisi kunci, jumlah pelatihan yang
diterima oleh karyawan, promosi berdasarkan prestasi, dan penggunaan perangkat
penilaian formal untuk seleksi.
Tujuan Pemangku Kepentingan (Stake Holder) dalam Proses Kepegawaian
Dalam membuat keputusan kepegawaian, biasanya fokus pada organisasi itu
sendiri. Namun, beberapa pemangku kepentingan penting lainnya berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan kepegawaian, termasuk manajer lini, rekan kerja,
dan kandidat.
1) Line managers
Indikator yang akurat dan informatif tentang potensi pelamar, proses
seleksi yang cepat dan mudah digunakan, fleksibilitas dan akomodasi
prosedur seleksi, validitas proses seleksi yang dirasakan.
2) Co-workers
Indikator potensial pelamar yang akurat dan informatif, masukan ke dalam
proses pengambilan keputusan seleksi, validitas yang dirasakan dari proses
seleksi.
3) Applicants
Keputusan perekrutan yang tepat, proses seleksi terkait pekerjaan yang
memberi mereka kesempatan untuk menunjukkan potensi mereka (tidak
memihak), perlakuan interpersonal yang jujur dan sensitif, umpan balik
yang tepat waktu dan informatif.

3. Training and Development


Pelatihan (training) adalah pemerolehan keterampilan, konsep, atau sikap
secara sistematis yang menghasilkan peningkatan kinerja di lingkungan lain
(Goldstein & Ford, 2002). Fondasi dasar untuk program pelatihan adalah
pembelajaran, perubahan yang relatif permanen dalam perilaku dan kemampuan
manusia yang dihasilkan oleh pengalaman dan latihan. Psikolog sering
menggunakan model pelatihan yang dimulai dengan penilaian kebutuhan,
kemudian pelatihan dan pengembangan, diikuti dengan evaluasi pelatihan, dan
akhirnya pertimbangan tingkat validitas pelatihan.
Setelah menentukan kebutuhan pelatihan dan tujuan pelatihan, desain
pelatihan dimulai dengan pemahaman tentang bagaimana pembelajaran terjadi.
Karakteristik peserta pelatihan (kesiapan belajar, motivasi belajar) dan
karakteristik desain pelatihan (prinsip pembelajaran, tujuan) mempengaruhi proses
pembelajaran dan hasil belajar.
a. Metode Pelatihan
Pada umumnya, metode pelatihan dikategorikan ke dalam program on-site dan
off-site dan masing-masing kategori tersebut dibagi menjadi beberapa jenis.
1) Metode Pelatihan On-Site
Pendekatan yang melibatkan penugasan peserta pelatihan untuk pekerjaan
dan mendorong mereka untuk mengamati dan belajar dari karyawan yang
lebih berpengalaman.
- Magang (Apprenticeship), program formal yang digunakan untuk
mengajarkan pekerja yang terampil. Program magang yang berhasil
mencakup pemodelan, praktik, umpan balik, dan evaluasi.
- Rotasi Pekerjaan (Job Rotation), pendekatan yang melibatkan
pemindahan karyawan ke berbagai departemen atau area perusahaan
atau ke berbagai pekerjaan dalam satu departemen.
2) Metode Pelatihan Off-Site
- Classroom lectures, Metode pelatihan di mana pelatih
mengomunikasikan melalui kata-kata yang diucapkan dan materi
audiovisual tentang apa yang seharusnya dipelajari oleh peserta
pelatihan; juga biasanya digunakan untuk menyajikan informasi dalam
jumlah besar secara efisien kepada sejumlah besar peserta pelatihan.
- Programmed instruction, Pendekatan di mana peserta pelatihan
diberikan materi instruksional dalam bentuk tertulis atau berbasis
komputer yang secara positif memperkuat mereka saat mereka
mempelajari materi dengan langkah mereka sendiri. Linear
programming adalah jenis instruksi terprogram di mana semua peserta
mengikuti materi yang sama. Sedangkan, branching programming
adalah Jenis instruksi terprogram yang menyediakan pendekatan yang
disesuaikan, memungkinkan setiap pelajar untuk mempraktekkan
materi yang sulit ketika pertama kali disajikan.
- Simulators, alat pengajaran yang dirancang untuk mereproduksi
karakteristik penting dari dunia nyata dalam pengaturan pelatihan yang
menghasilkan pembelajaran dan transfer ke pekerjaan.
b. Analisis Utilitas
Analisis utilitas menggunakan prosedur akuntansi untuk mengukur biaya dan
manfaat program pelatihan. Manfaat program pelatihan didasarkan pada
beberapa faktor, di antaranya:
 Jumlah individu yang dilatih
 Estimasi perbedaan prestasi kerja antara karyawan terlatih dan tidak
terlatih
 Lamanya waktu sebuah program pelatihan diharapkan mempengaruhi
kinerja
 Variabilitas dalam prestasi kerja pada kelompok karyawan yang tidak
terlatih (Noe, 2010)

4. Pengembangan Organisasi (Organizational Development)


Pengembangan Organisasi adalah proses membantu organisasi dalam
mempersiapkan dan mengelola perubahan. Misalnya, ketika generasi baru pekerja
memasuki angkatan kerja dengan berbagai jenis keterampilan dan gagasan
berbeda tentang apa yang mereka inginkan dari pekerjaan mereka, organisasi
harus menyesuaikan diri untuk memanfaatkan keterampilan mereka dan untuk
memenuhi tuntutan mereka. Jika tidak, pekerja yang lebih baik akan
meninggalkan organisasi, atau karyawan yang tidak puas mungkin dapat
memperlambat produktivitas melalui penghentian kerja dan pemogokan yang
mahal.
Teknik Pengembangan Organisasi
Dalam memecahkan masalah organisasi, program pengembangan organisasi
menggunakan berbagai macam teknik yang sudah ada (Fagenson & Burke, 1990;
Cummings & Worley, 2015).
1) Survey Feedback, teknik di mana konsultan bekerja dengan organisasi untuk
mengembangkan dan mengelola instrumen survei untuk mengumpulkan data
yang diumpankan kembali ke anggota organisasi dan digunakan sebagai titik
awal perubahan.
2) T-Groups (sensitivity training), teknik yang menggunakan interaksi kelompok
tidak terstruktur untuk membantu pekerja dalam mencapai wawasan tentang
motivasi dan pola perilaku mereka sendiri dalam berurusan dengan anggota
organisasi lainnya.
3) Team Building, teknik di mana tim pekerja mendiskusikan bagaimana
meningkatkan kinerja tim dengan menganalisis interaksi kelompok.
4) Process Consultation, teknik di mana seorang konsultan membantu organisasi
klien mempelajari masalahnya secara objektif dan belajar untuk
memecahkannya.
5) Management by Objectives (MBO), teknik penetapan tujuan di mana
supervisor dan bawahan bersama-sama menetapkan tujuan kinerja; pada akhir
periode tujuan, pencapaiannya dievaluasi dan tujuan baru ditetapkan.
6) Quality Circles, kelompok kecil karyawan sukarelawan dari area kerja yang
sama yang bertemu secara teratur untuk memecahkan masalah yang
berhubungan dengan pekerjaan.
2. Siapa yang bertanggung jawab dalam Organisasi

Orang yang betanggung jawan dalam sebuah organisasi yaitu seorang Pemimpin
(leader). Menurut George R. Terry (2006: 76) Keberadaan kepemimpinan dalam manajemen
merupakan suatu yang alami dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Beberapa dari anggota
kelompok akan memimpin dan sebagian besar yang lain akan mengikuti. Kondisi ini
didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakanbawahan/staf menginginkan adanya orang lain
yang menentukan, mengarahkan, memotivasi, membimbing dan mengawasi berbagai
aktivitas yang mereka kerjakan. Oleh karena itu sukses dan tidaknya suatu organisasi dalam
mencapai tujuan sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dalam organisasi
tersebut.

Seorang pemimpin tentunya memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang menjadi
kewajiban atau tugasnya dan juga harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya secara
menyeluruh. Selain tanggung jawab seorang pemimpin juga harus memiliki etika dalam
memimpin. Siapapun pasti tidak ingin disebut sebagai pemimpin yang tidak beretika.
Seorang pemimpin harus mengawali dengan membangun kesadaran dirinya bahwa
kepadanya ada penanggung jawaban kepemimpinan.

Penanggungjawaban kepemimpinan ini juga menjelaskan bahwa pemimpin memiliki


tugas, kewenangan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan pertanggung jawaban menyeluruh
atas segala dan semua dalam kepemimpinannya. Penanggungjawaban kepemimpinan yang
ada pada seorang pemimpin menjelaskan bahwa ia sepenuhnya bertanggung jawab atas jatuh
bangunnya kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. Dalam kaitan ini, keberhasilan
ataupun kegagalan kepemimpinan tergantung dan bergantung sepenuhnya pada sang
pemimpin. Penanggung jawaban kepemimpinan seorang pemimpin memberikan otoritas
sebagai landasan kewibawaan kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang bijak dan
bertanggung jawab pasti memiliki kiat untuk menghindari sekaligus mengatasi tabrakan
antara kepentingan pribadi dengan etika dan moralitas kehidupan serta memiliki hati nurani
untuk hidup dalam etika yang tidak melecehkan semua kepercayaan dari para
stakeholdersnya.

Pemimpin bertanggung jawab atas semua yang dilihatnya. Itu berarti, dia juga
bertanggung jawab atas apa yang dilihat oleh organisasinya serta tim yang dipimpinnya. Dia
bertanggung jawab atas hasil-hasil yang dicapainya, baik hasil yang baik maupun hasil yang
buruk. Pemimpin bertanggung jawab untuk memulai komunikasi secara proaktif. Ketika
kesalah pahaman terjadi dan gosip timbul, pemimpin bertanggung jawab untuk meluruskan
dan membangun komunikasi agar kesalah pahaman tidak muncul lagi. Tanggung jawab
kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin
besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan
jika dapat memenuhi peranan tersebut.

Menurut Kartono (2010:80) Tipe kepemimpinan dapat dibagi menjadi berikut :

1. Tipe karismatik.
2. Tipe paternalistis dan maternalistis.
3. Tipe militeristis.
4. Tipe otokratis.
5. Tipe laisser faire.
6. Tipe populistis.
7. Tipe administratif.
8. Tipe demokratis (group developer).

Demikian juga Kartono (2001:29) mendeskripsikan gaya kepemimpinan bahwa :


pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang
unik khas, sehingga tingkah laku dan gayalah yang membedakan dirinya dari orang lain.
Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya.
Masalah kepemimpinan senantiasa aktual untuk dibahas masyarakat umum maupun
para ahli. Menurut Afdhal (2004:25) sampai tahun 2002 terdapat sekitar 2000 judul buku
yang membahas kepemimpinan. Ini dikarenakan dalam kehidupan suatu organisasi kunci
utama ada pada pemimpin, dalam pengertian orang yang melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan. Sebagaimana dikatakan Abeng (2000:23), bahwa “kepemimpinan merupakan
kunci utama”. Sebagai key person dalam suatu organisasi, maka pemimpin harus memiliki
wawasan yang luas dan memiliki visi yang jauh kedepan, yang selanjutnya dikomunikasikan
kepada seluruh jajarannya, mendorong dan memotivasinya, sehingga tujuan organisasi yang
diharapkan dapat dicapai. Dimmock (2008:11) menyimpulkan kepemimpinan paling banyak
dikenal orang adalah adanya interaksi pengaruh antara pimpinan dan bawahan.

Kepemimpinan tidak hanya menghadapi tantangan kesatuan dan keragaman, baik


dalam studi maupun dalam dunia tindakan, kepemimpinan menghadapi masalah penemuan
apa yang sebenarnya sedang terjadi, kemudian menghidupkan jawabannya. Apa yang benar
dan nyata? Apa yang abstrak dan apa yang konkret? Pertanyaanpertanyaan ini berlaku untuk
kepemimpinan itu sendiri (Terry, 2002:35).

Menurut Siagian (2003:76) salah satu pengertian tentang kepemimpinan yang telah
umum diterima, baik oleh para teoritisi maupun oleh para praktisi, ialah bahwa semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan organisasi, ia semakin dituntut
untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai seorang generalis. Sedangkan menurut Timpe
(2003:75) manusia adalah kunci keberhasilan suatu organisasi. Manajemen harus maju ke
depan dalam mendapatkan efektivitas optimum dari para karyawan dalam bentuk efisiensi,
loyalitas, produktivitas, kreativitas dan antusiasme. Sasaran - sasaran ini memerlukan cara-
cara yang lebih enovatif dan produktif untuk memimpin orang.

Berdasarkan Peter Drucker dalam Bisen dan Priya (2010), “Seorang pemimpin yang
efektif adalah seseorang yang dapat membuat orang biasa melakukan hal yang luar biasa,
membuat orang awam mengerjakan sesuatu yang tidak umum. Kepemimpinan adalah proses
di mana seseorang mengarahkan pandangan seseorang sehingga dapat memiliki visi yang
lebih tinggi, meningkatkan standar kerja seseorang sehingga mencapai kinerja yang lebih
tinggi, membangun kepribadian seseorang melampaui batas normal.”

Selain itu, kepemimpinan juga mencakup beberapa hal penting:


1. Memotivasi karyawan – Pemimpin yang baik selalu memotivasi pengikutnya untuk
bekerja keras dan untuk mencapai kesempurnaan.
Mengatasi rintangan – Mereka membuka jalan bagi karyawan. Apabila terdapat
karyawan menghadapi suatu masalah, pemimpin menyediakan sumber daya yang
dibutuhkan sehingga karyawan dapat melanjutkan pekerjaannya.
2. Menjaga integritas – Pemimpin harus menjaga integritas institusional dan identitas
khas dari organisasinya. Mereka mengintegrasikan kebutuhan dari para individu
dengan kelompok sehingga tujuan dapat tercapai dengan mudah.
3. Berperan sebagai arbitrator – Ketika sebuah kelompok menghadapi perbedaan
internal, baik itu bentrokan emosional atau intelektual, pemimpin dapat memecahkan
masalah tersebut. Ia berperan sebagai arbitrator untuk mencegah bercerai-berainya
kelompok tersebut.
4. Pendekatan parental – Pemimpin menunjukkan perhatiannya kepada karyawan.
Menyediakan struktur penghargaan yang layak untuk mendorong kinerja para
karyawannya. Mereka mendelegasikan kewenangan ketika dibutuhkan dan
mengundang karyawan untuk turut berpartisipasi.
Bisen dan Priya (2010) berpendapat bahwa pemimpin diharapkan dapat memainkan
banyak peran. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kualifikasi untuk memandu orang lain
mencapai objektif organisasi dan harus dapat menjaga hubungan interpersonal di dalam
organisasi.

Beberapa kualitas dari pemimpin yang baik adalah:

a) Fleksibilitas;
b) Penguasaan teknis;
c) Antusiasme;
d) Keadilan;
e) Ketegasan;
f) Keramahan;
g) Toleransi dan kesabaran;
h) Persuasif;
i) Intelektual;
j) Perilaku yang stabil;
k) Pengetahuan mengenai hubungan antar manusia; dan
l) Inisiatif.
Hogan (1989) dalam Landy & Conte (2013) berupaya untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang menyebabkan kepemimpinan yang tidak efektif. Hogan tertarik untuk
menginvestigasi para pemimpin tersebut karena berdasarkan riset empiris, banyak karyawan
yang melaporkan bahwa salah satu sumber dari stres dalam pekerjaan mereka adalah karena
kinerja supervisor yang buruk, perilaku yang janggal, atau keduanya.

Beberapa faktor diantaranya :

1) Kurangnya Pelatihan.
Hogan, Raskin, dan Fazzini (1990) dalam Landy & Conte (2013)
menyimpulkan bahwa perilaku pemimpin yang buruk memiliki tiga penyebab.
Pertama adalah kurangnya pelatihan yang diberikan kepada supervisor. The Armed
Forces adalah beberapa dari organisasi yang mewajibkan supervisornya
menyelesaikan pelatihan kepemimpinan sebelum menjalankan perannya sebagai
seorang supervisor. Norma yang terdapat di kebanyakan organisasi adalah mereka
memiliki pilihan untuk mempromosikan karyawan yang ada atau mempekerjakan
karyawan baru dan menempatkannya pada posisi supervisor. Apabila pelatihan
disediakan oleh organisasi, biasanya peran dijalankan setelah adanya promosi,
kemudian supervisor tersebut dapat memulai tugas supervisinya. Konsekuensi serius
dari kurangnya pelatihan dapat dipahami apabila kita membayangkan seorang dokter
melakukan operasi tanpa pelatihan, atau pengendara truk menyetir di jalan raya tanpa
mempelajari bagaimana cara menyetir.
2) Defisiensi kognitif.
Penyebab kedua adalah kepemimpinan yang berakar dari defisiensi kognitif.
Hogan et al. (1990) dalam Landy & Conte (2013) percaya bahwa pemimpin yang
buruk tidak dapat belajar dari pengalaman dan tidak dapat berpikir secara strategis—
mereka secara konsisten membuat kesalahan yang sama dan tidak berpikir ke depan.
Judge et al. (2004) dalam Landy & Conte (2013) mendukung pernyataan ini di mana
ditemukan hubungan signifikan antara kemampuan kognitif dan kinerja pemimpin.
Terdapat sebuah toserba di kota A di mana manajernya tidak pernah memberikan
karyawan jadwal kerja sampai satu atau dua hari sebelum ia datang ke tempat kerja.
Karyawannya sering mengeluh karena jam kerjanya selalu berubah sehingga tidak
dapat memiliki waktu luang dengan keluarga atau sahabat. Namun, manajer di toserba
tersebut terus melakukan caranya tersebut sehingga banyak karyawan yang berhenti.
Delapan tahun kemudian, ia tetap melakukan hal yang sama dan tingkat turnover dari
karyawan tersebut tetap tinggi.

3) Kepribadian.
Ketiga dan yang mungkin paling penting sumber dari kepemimpinan yang
buruk melibatkan kepemimpinan dari pemimpin tersebut. Hogan et al. (1990) dalam
Landy & Conte (2013) percaya bahwa pemimpin yang tidak efektif cenderung merasa
insecure dan mengadopsi tiga tipe kepribadian: paranoid atau pasif-agresif, narsistik,
dan the high-likability floater.Sumber dari perasaan tidak aman (insecurity) dari
seorang pemimpin yang paranoid, pasifagresif atau keduanya adalah karena terdapat
beberapa kejadian di dalam hidup mereka, di mana mereka pernah merasa dikhianati.
Pemimpin tersebut kemudian merasakan kemarahan atau kebencian. Pada
permukaannya, pemimpin ini terlihat menawan, orang-orang yang pendiam, dan
sering memberikan pujian kepada bawahan dan rekan kerjanya. Namun, mereka
membenci kesuksesan orang lain dan berperilaku melawan bawahan dengan perilaku
pasifagresif; pada permukaannya mereka terlihat suportif, tetapi pada saat yang sama
mereka akan “menusuk” orang lain dari belakang.
Tipe pemimpin yang sering merasa insecure dan jarang menyebabkan masalah
dikenal sebagai high-likability floater. Orang tersebut dapat berbaur dengan
kelompok, menunjukkan perilaku yang bersahabat kepada orang lain, dan tidak
pernah menantang ide orang lain. Jadi, ia menjalani hidup dengan dikelilingi oleh
banyak teman, tanpa adanya musuh. Alasan ia tidak memiliki musuh adalah karena ia
tidak pernah melakukan apa pun, tidak pernah menantang orang lain, atau membela
hak dari karyawannya. Pemimpin tersebut akan dipromosikan dan tidak akan dipecat
karena meskipun mereka tidak memiliki kinerja yang baik, mereka sangat disenangi.
Karyawan mereka memiliki moral tinggi, meskipun memiliki kinerja yang rendah.
Narsistik adalah pemimpin yang menangani rasa insecure-nya dengan menunjukkan
kepercayaan diri yang berlebihan. Mereka suka menjadi pusat perhatian,
memamerkan pencapaiannya, dan merasa bahwa setiap kesuksesan organisasi adalah
upaya yang ia hasilkan tanpa memberikan penghargaan kepada karyawan yang lain
yang telah berkontribusi di dalamnya.
Rasch, Shen, Davies, dan Bono (2008) dalam Landy & Conte (2013) mengumpulkan insiden
penting yang menunjukkan perilaku pemimpin yang tidak efektif dan
mengkategorikan perilaku tersebut ke dalam 10 dimensi dasar :
 Melibatkan diri dalam perilaku ilegal dan tidak etis.
 Menghindari konflik dan masalah orang.
 Menunjukkan kontrol emosional yang buruk (misalnya berteriak dan menjerit).
 Mengontrol secara berlebihan (micromanaging).
 Menunjukkan kinerja yang buruk.
 Memiliki perencanaan, pengorganisasian, dan pola komunikasi yang buruk.
 Memulai rumor atau membagikan informasi rahasia.
 Menunda pekerjaan dan tidak memenuhi tenggat waktu pekerjaan.
 Gagal dalam mengakomodir kebutuhan personal dari bawahan.
 Gagal dalam mengelola talenta.
Dilihat dari tingakatan organisasi, manajemen dibagi dalam 3 tingkatan yaitu:

1. Manajemen Puncak (Top Management)


Manajer bertaggungjawab atas pengaruh yang ditimbulkan dari keputusan-
keputusan manajemen keseluruhan dari organisasi. Misal: Direktur, wakil direktur,
direktur utama. Keahlian yang dimiliki para manajer tinggkat puncak adalah
konseptual, artinya keahlian untuk membuat dan mmerumuskan konsep untuk
dilaksanakan oleh tingkatan manajer dibawahnya.
2. Manajemen Menengah (Middle Management)
Manajemen menengah harus memeiliki keahlian interpersonal/manusiawi,
artinya keahlian untuk berkomunikasi, bekerjasama dan memotivasi orang lain.
Manajer bertanggungjawab melaksanakan reana dan memastikan tercapainya suatu
tujuan. Misal : manajer wilayah, kepala divisi, direktur produk.
a. Manajemen Bawah/Lini (Low Management)
Manager bertanggung jawab menyelesaikan rencana-rencana yang telah
ditetapkan oleh para manajer yang lebih tinggi. Pada tingkatan ini juga
memiliki keahlian yaitu keahlian teknis, artinya keahlian yang mencakup
prosedur, teknik, pengetahuan dan keahlian dalam bidang khusus. Misal:
supervisor/pengawas produksi, mandor.
b. Operatives
Menjalankan kegiatan-kegiatan implementatif sesuai yang ditugaskan oleh top
manajemen melalui Middle managers dan First line managers (Para pekerja
teknis)
Perbedaan tingkatan manajemen mempengaruhi fungsi manajemen yang dilakukan, di
mana ada 2 fungsi manajemen yaitu manajemen administratif dan manajemen operatif.

a. Semakin rendah jabatan, maka lebih banyak mengerjakan fungsi manajemen operatif.
b. Semakin tinggi jabatan, lebih banyak menggunakan fungsi administratif.

3. Bagaimana organisasi memperlakukan individu


Menurut Nawawi (2008), organisasi memiliki 4 (empat) unsur pokok yaitu:

1. Manusia. Unsur ini dari segi jumlah terdiri dari dua orang atau lebih.
2. Filsafat. Manusia yang menghimpun diri dalam organisasi, dengan hakekat
kemanusiaannya, menjalani kehidupan bersama berdasarkan filsafat yang sama,
sehingga memungkinkan terwujudnya kerjasama.
3. Proses. Organisasi sebagai perwujudan interaksi antar manusia yang menghasilkan
kerjasama, tidak pernah berhenti selama manusia berhimpun didalamnya. Oleh sebab
itu kerjasama tersebut sebagai kegiatan yang berlangsung sebagai proses.
4. Tujuan. Organisasi didirikan manusia adalah karena kesamaan kepentingan, baik dalam
rangka mewujudkan hakekat kemanusiannya maupun secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhannya.
Ini berarti bahwa dalam setiap organisasi selalu ada atau beberapa orang yang
bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan sejumlah orang yang bekerjasama tadi dengan
segala aktivitasnya. Dalam banyak hal orang yang bertanggung jawab tadi juga harus
mengkoordinasikan aneka ragam kegiatan sekumpulan orang yang lazimnya mempunyai
kepentingan yang berbeda.

Dalam hal ini peran organisasi bagi individu sangat penting begitu pun sebaliknya.
Organisasi memperlakukan individu sesuai dengan porsi kemampuan yang dimiliki individu
tersebut misalnya, seorang manager adalah yang berkuasa di dalam sebuah organisasi maka
organisasi akan memperlakukannya sesuai posisi tersebut dengan cara memberinya
kedudukan, sebagai pemimpin dari bidang lain, diberi perbedaan dalam segi gaji, dan lain-
lain. Perlakuan tersebut juga ikut menyesuaikan bagaimana inti pokok penting dari sebuah
organisasi yang sudah dipaparkan diatas.
Individu mendirikan sebuah organisasi, dan organisasi tersebut berkembang dengan
campur tangan individu juga. Hal tersebut yang menjadikan organisasi dan individu saling
tergantung, individu memperlakukan organisasi dengan cara benar maka sebuah organisasi
tersebut akan berkembang, sebaliknya jika organisasi memperlakukan individu dengan baik
maka individu akan bertahan dengan baik dalam organisasi tersebut.

4. Tema-tema apa saja yang berkaitan dengan organisasi

Tema-tema yang dibahas dalam organisasi yaitu meliputi kelompok, dinamika dan
konflik.

a. Kelompok
Beberapa ahli menggunakan definisi umum mengenai kelompok. Mereka
mendefinisikan kelompok sebagai dua atau lebih dari dua orang yang
mempersepsikan diri sebagai kelompok dan berinteraksi dengan cara tertentu. Gordon
(2001) dalam Aamodt (2016), percaya bahwa untuk dikatakan sebagai kelompok,
kriteria-kriteria di bawah ini harus terlebih dahulu dipenuhi:
a) anggota kelompok yang melihat diri mereka sebagai unit;
b) kelompok harus menyediakan penghargaan kepada anggotanya;
c) segala yang terjadi kepada satu anggota kelompok memengaruhi kelompok
lain;
d) para anggota harus memiliki tujuan yang sama.
b. Dinamika
Definisi singkat dinamika kelompok dikemukakan oleh Jacobs, Harvill dan Manson
(1994); dinamika kelompok adalah kekuatan yang saling mempengaruhi hubungan
timbal balik kelompok dengan interaksi yang terjadi antara anggota kelompok dengan
pemimpin yang diberi pengaruh kuat pada perkembangan kelompok.
Dinamika Kelompok adalah studi tentang hubungan sebab akibat yang ada di
dalam kelompok, tentang perkembangan hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam
kelompok, tentang teknik-teknik untuk mengubah hubungan interpersonal dan attitude
di dalam kelompok (Benyamin B. Wolman, Dictionary of Behavioral Science).
Kemudian berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan pengertian atau hakikat dari Dinamika Kelompok itu sendiri adalah Studi
tentang interaksi dan Interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan
yang lain dengan adanya feed back dinamis atau keteraturan yang jelas dalam
hubungan secara psikologis antar individu sebagai anggota kelompok dengan
memiliki tujuan tertentu
c. Konflik
Ketika individu bekerja sama dalam sebuah kelompok, selalu ada potensi
untuk konflik. Faktanya, sebuah survei membuktikan bahwa 85% karyawan berkata
bahwa mereka mengalami konflik di tempat kerja dan 22% mengatakan mereka
melewatkan pekerjaan dikarenakan adanya konflik (Tyler, 2010; Aamodt, 2016).
Konflik adalah reaksi psikologis dan perilaku terhadap persepsi bahwa orang lain
menjauhkan Anda dari pencapaian tujuan, mengambil hak Anda untuk berperilaku
dengan cara tertentu, atau melanggar ekspektasi dari sebuah hubungan. Sebagai
contoh, Bob berpersepsi bahwa Lakisha mencoba untuk mendapatkan promosi yang
seharusnya menjadi milik Bob (menjauhkannya dari pencapaian tujuan), Andrea
mungkin berpersepsi bahwa Jon mencoba menekannya untuk mempekerjakan
pelamar tertentu (menjauhkan hak dalam berperilaku dengan cara tertentu), atau
Carlos mungkin berpendapat bahwa ketika Jill pergi makan siang dengan rekan kerja
prianya, ia melanggar perjanjian untuk tidak berkencan dengan orang lain
(pelanggaran dari ekspektasi sebuah hubungan).
Penting untuk dicatat bahwa satu dari komponen kunci sebuah konflik adalah
persepsi. Sebagai contoh, dua orang mungkin memiliki tujuan yang sama, tetapi
apabila satu orang berpersepsi bahwa tujuan mereka adalah berbeda, kemungkinan
munculnya konflik meningkat. Jadi, konflik seringnya merupakan hasil dari persepsi
yang salah tentang tujuan orang lain, niat, atau perilaku, dan karena konflik sering
menjadi salah satu atribut dari persepsi yang salah, bagian penting dari resolusi
konflik untuk tiap pihak adalah dengan mendiskusikan persepsi mereka mengenai
situasi tersebut.
Berdasarkan meta-analisis dari De Dreu & Weingart (2003), kita dapat
mengatakan bahwa banyak konflik yang berujung pada menurunnya kinerja tim dan
kepuasan para anggota tim. Ini merupakan konflik disfungsional yang menjauhkan
orang dari kerja sama dengan anggota tim lain, mengurangi produktivitas, dan
meningkatkan level turnover. Konflik disfungsional biasanya terjadi ketika satu atau
kedua pihak merasa kehilangan kontrol disebabkan oleh tindakan dari pihak lain dan
ini memiliki efek yang hebat pada kinerja tim terutama ketika tugas yang dikerjakan
bersifat kompleks. Meskipun mayoritas konflik bersifat disfungsional, terdapat juga
konflik yang bersifat sedang yang dapat menghasilkan kinerja yang lebih tinggi yang
dikenal sebagai konflik fungsional. Tingkat konflik yang sedang dapat menstimulasi
ide-ide baru, meningkatkan kompetisi yang sehat dan bersahabat, dan meningkatkan
efektivitas tim (Jen & Mannix, 2001; Jeong, 2008).

Dibawah ini terdapat penelitian mengenai Kepemimpinan dan Organisasi

1. Hubungan organisasi dengan mahasiswa dalam menciptakan Leadership


Faktor yang sebenarnya dapat mempengaruhi minat seorang mahasiswa untuk
berorganisasi di kampus yaitu ingin menambah pengalaman yang tidak kita dapat di
kelas selama perkuliahan dan ingin memperbanyak teman.
Disinilah kemampuan komunikasi dan emosi (emotional quotient) mahasiswa
akan terlatih dalam menghadapi berbagai persoalan dan konflik yang terjadi. Ada
beberapa manfaat organisasi bagi mahasiswa yaitu Melatih leadership, Belajar
Mengatur Waktu, Memperluas Jaringan atau Networking, Mengasah Kemampuan
Sosial, Problem Solving dan Manajemen Konflik.
2. Analisis peranan leadership dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai
Pemimpin memainkan peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan
amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Budaya perusahaan memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi (kinerja pegawai), selain itu budaya
organisasi adalah instrumen untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber
daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk
menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal.
Hal yang paling mendasar dari budaya organisasi adalah sebagai sistem
kontrol sosial bagi anggota organisasi untuk mengendalikan perilaku yang diharapkan
sesuai tujuan perusahaan sehingga tujuan perusahaan yang telah direncanakan jauh-
jauhari dapat terlaksana. Kinerja pegawai yang tinggi bisa tercapai apablia didukung
dengan adanya leadership dan budaya organisai yang baik pula
3. Pengaruh kepemimpinan pelayan dan budaya organisasi terhadap pengelolaan
konflik
Semakin kuat kepemimpinan pelayan maka pengelolaan konflik akan semakin
tinggi. Begitupula dengan budaya organisasi, semakin kuat budaya organisasi maka
pengelolaan konflik akan semakin tinggi. Secara simultan kepemimpinan pelayan dan
budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan konflik.
4. Pengaruh Komitmen Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Hubungan
Antara Partisipasi Anggaran Dan Kinerja Manajerial
Semakin pemimpin mampu melayani karyawannya dengan cara
mendengarkan para karyawannya, memiliki kerendahan hati, membuat karyawan
merasa dihargai, serta mampu memberikan motivasi atau kekuatan kepada para
karyawannya maka komitmen yang dimiliki karyawan kepada perusahan dimana ia
bekerja juga semakin baik.
Ketika karyawan tersebut memiliki komitmen yang baik untuk perusahaan
dimana ia bekerja maka karyawan tersebut akan berusaha dengan keras untuk
kemajuan organisasi dan memiliki keinginan yang kuat dalam mempertahankan
dirinya sebagai bagian dalam perusahaan sehingga apa yang menjadi tujuan dari
perusahaan tersebut dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Tahir. 2014. Buku Ajar Perilaku Organiasasi. Yogyakarta: Deepublish.
Landy, F. J., Conte, J. M. (2013). Work in 21st Century: An Introduction to Industrial and
Organizational Psychology. (New Jersey: John Wiley & Sons).
Lian, Bukman. (2017). Kepemimpinan dan Kualitas Kinerja Pegawai. CV. Amanah. Penerbit
NoerFikri offset, Palembang.
Pertiwi, Mustika Cahyaning., dkk. Hubungan Organisasi dengan Mahasiswa dalam
Menciptakan Leadership. Hal. 7.
Riggio, R. E. (2018). Introduction to Industrial / Organizational Psychology. (New York:
Routledge).
Rulitawati. (2018). Tanggung jawab dan Otoritas Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.
Jurnal education. Vol (1) No (2): 101-108. Available online at http://jurnal.um-
palembang.ac.id/jaeducation.
Suryadi, Edi. 2010. Analisis peranan leadership dan budaya organisasi terhadap kinerja
pegawai. Jurnal Manajerial. 8(16). Hal. 8.
Muizu, Zusnita & Tisnawati, Ernie. (2017). Manajer dan Perangkat Manajemen Baru.
Pekbis Jurnal, Vol (9) No (2): 151-160.
Wicaksana, Seta. A. (2020). Industri dan Organisasi Pendekatan Integratif dalam
Menghadapi Perubahan. DD Publishing, Riau.
Widyastuti. Tri. 2016. Pengaruh kepemimpinan pelayan dan budaya organisasi terhadap
pengelolaan konflik. Hal. 11.
Windiyani, Dyah Ayu. 2016. Pengaruh Komitmen Organisasi dan Gaya Kepemimpinan
Terhadap Hubungan Antara Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial. Hal. 26.

Anda mungkin juga menyukai