Anggota :
Orang yang betanggung jawan dalam sebuah organisasi yaitu seorang Pemimpin
(leader). Menurut George R. Terry (2006: 76) Keberadaan kepemimpinan dalam manajemen
merupakan suatu yang alami dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Beberapa dari anggota
kelompok akan memimpin dan sebagian besar yang lain akan mengikuti. Kondisi ini
didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakanbawahan/staf menginginkan adanya orang lain
yang menentukan, mengarahkan, memotivasi, membimbing dan mengawasi berbagai
aktivitas yang mereka kerjakan. Oleh karena itu sukses dan tidaknya suatu organisasi dalam
mencapai tujuan sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan dalam organisasi
tersebut.
Seorang pemimpin tentunya memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang menjadi
kewajiban atau tugasnya dan juga harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya secara
menyeluruh. Selain tanggung jawab seorang pemimpin juga harus memiliki etika dalam
memimpin. Siapapun pasti tidak ingin disebut sebagai pemimpin yang tidak beretika.
Seorang pemimpin harus mengawali dengan membangun kesadaran dirinya bahwa
kepadanya ada penanggung jawaban kepemimpinan.
Pemimpin bertanggung jawab atas semua yang dilihatnya. Itu berarti, dia juga
bertanggung jawab atas apa yang dilihat oleh organisasinya serta tim yang dipimpinnya. Dia
bertanggung jawab atas hasil-hasil yang dicapainya, baik hasil yang baik maupun hasil yang
buruk. Pemimpin bertanggung jawab untuk memulai komunikasi secara proaktif. Ketika
kesalah pahaman terjadi dan gosip timbul, pemimpin bertanggung jawab untuk meluruskan
dan membangun komunikasi agar kesalah pahaman tidak muncul lagi. Tanggung jawab
kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin
besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan
jika dapat memenuhi peranan tersebut.
1. Tipe karismatik.
2. Tipe paternalistis dan maternalistis.
3. Tipe militeristis.
4. Tipe otokratis.
5. Tipe laisser faire.
6. Tipe populistis.
7. Tipe administratif.
8. Tipe demokratis (group developer).
Menurut Siagian (2003:76) salah satu pengertian tentang kepemimpinan yang telah
umum diterima, baik oleh para teoritisi maupun oleh para praktisi, ialah bahwa semakin
tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan organisasi, ia semakin dituntut
untuk mampu berpikir dan bertindak sebagai seorang generalis. Sedangkan menurut Timpe
(2003:75) manusia adalah kunci keberhasilan suatu organisasi. Manajemen harus maju ke
depan dalam mendapatkan efektivitas optimum dari para karyawan dalam bentuk efisiensi,
loyalitas, produktivitas, kreativitas dan antusiasme. Sasaran - sasaran ini memerlukan cara-
cara yang lebih enovatif dan produktif untuk memimpin orang.
Berdasarkan Peter Drucker dalam Bisen dan Priya (2010), “Seorang pemimpin yang
efektif adalah seseorang yang dapat membuat orang biasa melakukan hal yang luar biasa,
membuat orang awam mengerjakan sesuatu yang tidak umum. Kepemimpinan adalah proses
di mana seseorang mengarahkan pandangan seseorang sehingga dapat memiliki visi yang
lebih tinggi, meningkatkan standar kerja seseorang sehingga mencapai kinerja yang lebih
tinggi, membangun kepribadian seseorang melampaui batas normal.”
a) Fleksibilitas;
b) Penguasaan teknis;
c) Antusiasme;
d) Keadilan;
e) Ketegasan;
f) Keramahan;
g) Toleransi dan kesabaran;
h) Persuasif;
i) Intelektual;
j) Perilaku yang stabil;
k) Pengetahuan mengenai hubungan antar manusia; dan
l) Inisiatif.
Hogan (1989) dalam Landy & Conte (2013) berupaya untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang menyebabkan kepemimpinan yang tidak efektif. Hogan tertarik untuk
menginvestigasi para pemimpin tersebut karena berdasarkan riset empiris, banyak karyawan
yang melaporkan bahwa salah satu sumber dari stres dalam pekerjaan mereka adalah karena
kinerja supervisor yang buruk, perilaku yang janggal, atau keduanya.
1) Kurangnya Pelatihan.
Hogan, Raskin, dan Fazzini (1990) dalam Landy & Conte (2013)
menyimpulkan bahwa perilaku pemimpin yang buruk memiliki tiga penyebab.
Pertama adalah kurangnya pelatihan yang diberikan kepada supervisor. The Armed
Forces adalah beberapa dari organisasi yang mewajibkan supervisornya
menyelesaikan pelatihan kepemimpinan sebelum menjalankan perannya sebagai
seorang supervisor. Norma yang terdapat di kebanyakan organisasi adalah mereka
memiliki pilihan untuk mempromosikan karyawan yang ada atau mempekerjakan
karyawan baru dan menempatkannya pada posisi supervisor. Apabila pelatihan
disediakan oleh organisasi, biasanya peran dijalankan setelah adanya promosi,
kemudian supervisor tersebut dapat memulai tugas supervisinya. Konsekuensi serius
dari kurangnya pelatihan dapat dipahami apabila kita membayangkan seorang dokter
melakukan operasi tanpa pelatihan, atau pengendara truk menyetir di jalan raya tanpa
mempelajari bagaimana cara menyetir.
2) Defisiensi kognitif.
Penyebab kedua adalah kepemimpinan yang berakar dari defisiensi kognitif.
Hogan et al. (1990) dalam Landy & Conte (2013) percaya bahwa pemimpin yang
buruk tidak dapat belajar dari pengalaman dan tidak dapat berpikir secara strategis—
mereka secara konsisten membuat kesalahan yang sama dan tidak berpikir ke depan.
Judge et al. (2004) dalam Landy & Conte (2013) mendukung pernyataan ini di mana
ditemukan hubungan signifikan antara kemampuan kognitif dan kinerja pemimpin.
Terdapat sebuah toserba di kota A di mana manajernya tidak pernah memberikan
karyawan jadwal kerja sampai satu atau dua hari sebelum ia datang ke tempat kerja.
Karyawannya sering mengeluh karena jam kerjanya selalu berubah sehingga tidak
dapat memiliki waktu luang dengan keluarga atau sahabat. Namun, manajer di toserba
tersebut terus melakukan caranya tersebut sehingga banyak karyawan yang berhenti.
Delapan tahun kemudian, ia tetap melakukan hal yang sama dan tingkat turnover dari
karyawan tersebut tetap tinggi.
3) Kepribadian.
Ketiga dan yang mungkin paling penting sumber dari kepemimpinan yang
buruk melibatkan kepemimpinan dari pemimpin tersebut. Hogan et al. (1990) dalam
Landy & Conte (2013) percaya bahwa pemimpin yang tidak efektif cenderung merasa
insecure dan mengadopsi tiga tipe kepribadian: paranoid atau pasif-agresif, narsistik,
dan the high-likability floater.Sumber dari perasaan tidak aman (insecurity) dari
seorang pemimpin yang paranoid, pasifagresif atau keduanya adalah karena terdapat
beberapa kejadian di dalam hidup mereka, di mana mereka pernah merasa dikhianati.
Pemimpin tersebut kemudian merasakan kemarahan atau kebencian. Pada
permukaannya, pemimpin ini terlihat menawan, orang-orang yang pendiam, dan
sering memberikan pujian kepada bawahan dan rekan kerjanya. Namun, mereka
membenci kesuksesan orang lain dan berperilaku melawan bawahan dengan perilaku
pasifagresif; pada permukaannya mereka terlihat suportif, tetapi pada saat yang sama
mereka akan “menusuk” orang lain dari belakang.
Tipe pemimpin yang sering merasa insecure dan jarang menyebabkan masalah
dikenal sebagai high-likability floater. Orang tersebut dapat berbaur dengan
kelompok, menunjukkan perilaku yang bersahabat kepada orang lain, dan tidak
pernah menantang ide orang lain. Jadi, ia menjalani hidup dengan dikelilingi oleh
banyak teman, tanpa adanya musuh. Alasan ia tidak memiliki musuh adalah karena ia
tidak pernah melakukan apa pun, tidak pernah menantang orang lain, atau membela
hak dari karyawannya. Pemimpin tersebut akan dipromosikan dan tidak akan dipecat
karena meskipun mereka tidak memiliki kinerja yang baik, mereka sangat disenangi.
Karyawan mereka memiliki moral tinggi, meskipun memiliki kinerja yang rendah.
Narsistik adalah pemimpin yang menangani rasa insecure-nya dengan menunjukkan
kepercayaan diri yang berlebihan. Mereka suka menjadi pusat perhatian,
memamerkan pencapaiannya, dan merasa bahwa setiap kesuksesan organisasi adalah
upaya yang ia hasilkan tanpa memberikan penghargaan kepada karyawan yang lain
yang telah berkontribusi di dalamnya.
Rasch, Shen, Davies, dan Bono (2008) dalam Landy & Conte (2013) mengumpulkan insiden
penting yang menunjukkan perilaku pemimpin yang tidak efektif dan
mengkategorikan perilaku tersebut ke dalam 10 dimensi dasar :
Melibatkan diri dalam perilaku ilegal dan tidak etis.
Menghindari konflik dan masalah orang.
Menunjukkan kontrol emosional yang buruk (misalnya berteriak dan menjerit).
Mengontrol secara berlebihan (micromanaging).
Menunjukkan kinerja yang buruk.
Memiliki perencanaan, pengorganisasian, dan pola komunikasi yang buruk.
Memulai rumor atau membagikan informasi rahasia.
Menunda pekerjaan dan tidak memenuhi tenggat waktu pekerjaan.
Gagal dalam mengakomodir kebutuhan personal dari bawahan.
Gagal dalam mengelola talenta.
Dilihat dari tingakatan organisasi, manajemen dibagi dalam 3 tingkatan yaitu:
a. Semakin rendah jabatan, maka lebih banyak mengerjakan fungsi manajemen operatif.
b. Semakin tinggi jabatan, lebih banyak menggunakan fungsi administratif.
1. Manusia. Unsur ini dari segi jumlah terdiri dari dua orang atau lebih.
2. Filsafat. Manusia yang menghimpun diri dalam organisasi, dengan hakekat
kemanusiaannya, menjalani kehidupan bersama berdasarkan filsafat yang sama,
sehingga memungkinkan terwujudnya kerjasama.
3. Proses. Organisasi sebagai perwujudan interaksi antar manusia yang menghasilkan
kerjasama, tidak pernah berhenti selama manusia berhimpun didalamnya. Oleh sebab
itu kerjasama tersebut sebagai kegiatan yang berlangsung sebagai proses.
4. Tujuan. Organisasi didirikan manusia adalah karena kesamaan kepentingan, baik dalam
rangka mewujudkan hakekat kemanusiannya maupun secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhannya.
Ini berarti bahwa dalam setiap organisasi selalu ada atau beberapa orang yang
bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan sejumlah orang yang bekerjasama tadi dengan
segala aktivitasnya. Dalam banyak hal orang yang bertanggung jawab tadi juga harus
mengkoordinasikan aneka ragam kegiatan sekumpulan orang yang lazimnya mempunyai
kepentingan yang berbeda.
Dalam hal ini peran organisasi bagi individu sangat penting begitu pun sebaliknya.
Organisasi memperlakukan individu sesuai dengan porsi kemampuan yang dimiliki individu
tersebut misalnya, seorang manager adalah yang berkuasa di dalam sebuah organisasi maka
organisasi akan memperlakukannya sesuai posisi tersebut dengan cara memberinya
kedudukan, sebagai pemimpin dari bidang lain, diberi perbedaan dalam segi gaji, dan lain-
lain. Perlakuan tersebut juga ikut menyesuaikan bagaimana inti pokok penting dari sebuah
organisasi yang sudah dipaparkan diatas.
Individu mendirikan sebuah organisasi, dan organisasi tersebut berkembang dengan
campur tangan individu juga. Hal tersebut yang menjadikan organisasi dan individu saling
tergantung, individu memperlakukan organisasi dengan cara benar maka sebuah organisasi
tersebut akan berkembang, sebaliknya jika organisasi memperlakukan individu dengan baik
maka individu akan bertahan dengan baik dalam organisasi tersebut.
Tema-tema yang dibahas dalam organisasi yaitu meliputi kelompok, dinamika dan
konflik.
a. Kelompok
Beberapa ahli menggunakan definisi umum mengenai kelompok. Mereka
mendefinisikan kelompok sebagai dua atau lebih dari dua orang yang
mempersepsikan diri sebagai kelompok dan berinteraksi dengan cara tertentu. Gordon
(2001) dalam Aamodt (2016), percaya bahwa untuk dikatakan sebagai kelompok,
kriteria-kriteria di bawah ini harus terlebih dahulu dipenuhi:
a) anggota kelompok yang melihat diri mereka sebagai unit;
b) kelompok harus menyediakan penghargaan kepada anggotanya;
c) segala yang terjadi kepada satu anggota kelompok memengaruhi kelompok
lain;
d) para anggota harus memiliki tujuan yang sama.
b. Dinamika
Definisi singkat dinamika kelompok dikemukakan oleh Jacobs, Harvill dan Manson
(1994); dinamika kelompok adalah kekuatan yang saling mempengaruhi hubungan
timbal balik kelompok dengan interaksi yang terjadi antara anggota kelompok dengan
pemimpin yang diberi pengaruh kuat pada perkembangan kelompok.
Dinamika Kelompok adalah studi tentang hubungan sebab akibat yang ada di
dalam kelompok, tentang perkembangan hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam
kelompok, tentang teknik-teknik untuk mengubah hubungan interpersonal dan attitude
di dalam kelompok (Benyamin B. Wolman, Dictionary of Behavioral Science).
Kemudian berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan pengertian atau hakikat dari Dinamika Kelompok itu sendiri adalah Studi
tentang interaksi dan Interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan
yang lain dengan adanya feed back dinamis atau keteraturan yang jelas dalam
hubungan secara psikologis antar individu sebagai anggota kelompok dengan
memiliki tujuan tertentu
c. Konflik
Ketika individu bekerja sama dalam sebuah kelompok, selalu ada potensi
untuk konflik. Faktanya, sebuah survei membuktikan bahwa 85% karyawan berkata
bahwa mereka mengalami konflik di tempat kerja dan 22% mengatakan mereka
melewatkan pekerjaan dikarenakan adanya konflik (Tyler, 2010; Aamodt, 2016).
Konflik adalah reaksi psikologis dan perilaku terhadap persepsi bahwa orang lain
menjauhkan Anda dari pencapaian tujuan, mengambil hak Anda untuk berperilaku
dengan cara tertentu, atau melanggar ekspektasi dari sebuah hubungan. Sebagai
contoh, Bob berpersepsi bahwa Lakisha mencoba untuk mendapatkan promosi yang
seharusnya menjadi milik Bob (menjauhkannya dari pencapaian tujuan), Andrea
mungkin berpersepsi bahwa Jon mencoba menekannya untuk mempekerjakan
pelamar tertentu (menjauhkan hak dalam berperilaku dengan cara tertentu), atau
Carlos mungkin berpendapat bahwa ketika Jill pergi makan siang dengan rekan kerja
prianya, ia melanggar perjanjian untuk tidak berkencan dengan orang lain
(pelanggaran dari ekspektasi sebuah hubungan).
Penting untuk dicatat bahwa satu dari komponen kunci sebuah konflik adalah
persepsi. Sebagai contoh, dua orang mungkin memiliki tujuan yang sama, tetapi
apabila satu orang berpersepsi bahwa tujuan mereka adalah berbeda, kemungkinan
munculnya konflik meningkat. Jadi, konflik seringnya merupakan hasil dari persepsi
yang salah tentang tujuan orang lain, niat, atau perilaku, dan karena konflik sering
menjadi salah satu atribut dari persepsi yang salah, bagian penting dari resolusi
konflik untuk tiap pihak adalah dengan mendiskusikan persepsi mereka mengenai
situasi tersebut.
Berdasarkan meta-analisis dari De Dreu & Weingart (2003), kita dapat
mengatakan bahwa banyak konflik yang berujung pada menurunnya kinerja tim dan
kepuasan para anggota tim. Ini merupakan konflik disfungsional yang menjauhkan
orang dari kerja sama dengan anggota tim lain, mengurangi produktivitas, dan
meningkatkan level turnover. Konflik disfungsional biasanya terjadi ketika satu atau
kedua pihak merasa kehilangan kontrol disebabkan oleh tindakan dari pihak lain dan
ini memiliki efek yang hebat pada kinerja tim terutama ketika tugas yang dikerjakan
bersifat kompleks. Meskipun mayoritas konflik bersifat disfungsional, terdapat juga
konflik yang bersifat sedang yang dapat menghasilkan kinerja yang lebih tinggi yang
dikenal sebagai konflik fungsional. Tingkat konflik yang sedang dapat menstimulasi
ide-ide baru, meningkatkan kompetisi yang sehat dan bersahabat, dan meningkatkan
efektivitas tim (Jen & Mannix, 2001; Jeong, 2008).