PENDAHULUAN
Ikan paus telah menjadi salah satu komoditi perekonomian yang sangat
tinggi. Beberapa jenis ikan paus yang seringkali menjadi target penangkapan untuk
memenuhi permintaan pasar adalah sperm, blue, humpback, fin, right, bowhead,
bryde’s, sei, minke, dan grey.1 Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
aktivitas yang dapat merusak keseimbangan rantai makanan dan berdampak pada
perubahan kestabilan ekosistem laut. Menurut studi yang dimuat dalam jurnal
Frontiers in Ecology and the Environment, paus memegang peranan penting dalam
ekosistem laut yang lebih sehat.2 Paus dapat berperan sebagai reservoir dan vektor
vertikal maupun horizontal untuk nutrisi dan juga sebagai sumber energi dan habitat
detrital di laut dalam. Ketika paus makan di laut dalam, kemudian kembali ke
1
Yusnarida Eka Nizmi dan Lidya Adristhira, Respon Australia Atas Jepang Pasca Mengeluarkan
Kebijakan JARPA II Tahun (2005-2011), Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Riau, Vol. 1 No. 1 (Februari 2014), hal. 1.
2
Bagas Reza Murti, Ketidakefektifan Peran IWC (International Whaling Commision) Dalam Upaya
Penyelamatan Lumba-Lumba Di Taiji, Jepang, UMY Repository, 2016.
1
yang ada dalam urine dan kotoran paus seperti kandungan zat besi dan nitrogen
dapat menjadi penyubur efektif bagi plankton.3 Selain itu, ketika paus melahirkan
di laut dalam, mereka menyumbangkan nutrisi bagi perairan yang tidak jarang
kekurangan sumber daya. Bahkan, plasenta paus dapat menjadi sumber makanan
bagi organisme lain di laut. Ketika paus melakukan migrasi jarak jauh untuk kawin,
saat itu pula mereka membawa nutrisi yang penting untuk kehidupan di perairan. 4
Oleh karena itu, whaling termasuk dalam kategori kejahatan internasional terhadap
Whaling telah dilakukan sejak dahulu oleh nenek moyang Suku Inuit di
Arktik, Suku Basque di Atlantik, dan Bangsa Jepang. Penangkapan paus juga telah
yaitu Suku Viking telah melakukan penangkapan paus sejak abad ke-9 atau ke-10.6
Dari awal abad ke-17 hingga 18, pemburu paus yaitu suku Basque melakukan
penangkapan ikan paus dari Svalbard hingga Pulau Bear. 7 Kemudian, Basque
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Andreas Pramudianto, Peradilan Internasional Dan Diplomasi Dalam Sengketa Lingkungan
Hidup Maritim, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 1, No. 4, 2017, hal. 111-137,
https://doi.org/10.38011/jhli.v4i1.52.
6
William C.G. Burns and Geoffrey Wandesforde-Smith, The International Whaling Commission
and the Future of Cetaceans in a Changing World, Review of European Community and
International Environmental Law, Vol. 2, No. 11 (2002), https://doi.org/10.1111/1467-9388.t01-1-
00317.
7
Ibid.
2
eksploitasi yang berlebihan. Semakin lama industri paus pun semakin berkembang
pasar, maka penangkapan ikan paus semakin sering dilakukan dan berubah menjadi
praktik industri komersial. Produk utama yang dihasilkan dari industri whaling
adalah minyak paus yang dijadikan pelumas serta lilin untuk bahan dasar
pembuatan sabun dan parfum. 8 Tulang ikan paus digunakan dalam pembuatan
korset, cambuk, dan payung, sementara daging paus dikonsumsi oleh manusia dan
menimbulkan masalah kepunahan paus karena paus tidak memiliki daya reproduksi
secara berlebihan sangat dibutuhkan. Salah satu cara untuk mengatur penangkapan
ikan paus dengan aman dan teratur adalah dengan membentuk badan khusus yang
tujuan untuk melindungi populasi ikan paus di seluruh dunia agar tidak terjadi
8
Nancy Shoemaker, Whale Meat in American History, Environmental History, Vol. 2, No. 10, 2005,
hal. 269-294, https://doi.org/10.1093/envhis/10.2.269.
9
Bryan R. Early and Keith A. Preble, Enforcing US Economic Sanctions: Why Whale Hunting
Works, Washington Quarterly, Vol. 1, No. 43, 2020, hal. 159-175.
3
kepunahan populasi paus secara dramatis. Konvensi ini mengatur mengenai
kegiatan komersial maupun saintifik pada penangkapan paus. Hingga saat ini
sebagai tempat diskusi dan proses pengambilan keputusan. IWC memiliki 3 komite
kelompok kerja khusus yaitu Working Group on Whale Killing Methods and
Norwegia sendiri merupakan negara dengan kasus penangkapan ikan paus sangat
tinggi dan menempati posisi kedua setelah Jepang. Dalam menanggapi kasus
10
Addien Mirza Pratama, Efektivitas International Whaling Commission (IWC) Dalam Perburuan
Lumba-Lumba ‘Taiji Drive Hunt’ Di Taiji Jepang 2013-2017, Journal of International Relations,
Vol. 5 No. 2, 2019, hal. 388-394.
11
Ibid.
4
whaling di Norwegia, IWC telah mengeluarkan setidaknya 6 kesepakatan. Namun,
oleh Norwegia bahkan Norwegia masih aktif melanjutkan aktivitas whaling hingga
saat ini.
sebagai Revised Management Procedure (RMP) pada tahun 1994 dan adopsi
moratorium penangkapan ikan paus secara komersial pada tahun 1982, yang
1986.12 Dari kedua kebijakan tersebut, Norwegia menjadi negara yang menentang
sendiri kuota ikan paus yang dapat ditangkap yang mana level penetapannya berada
di bawah ketentuan yaitu 0.6 dari kesepakatan di IWC yaitu 0.72. Level tersebut
menunjukkan bahwa batas kuota yang digunakan oleh Norwegia lebih banyak dari
ketentuan dari IWC. WWF melalui website resminya dalam WWF Position
Statement juga menyatakan bahwa ‘The RMP accepted by the IWC is currently not
being accurately applied by either Norway or Japan.’ Hal tersebut diperjelas oleh
12
M. J. Peterson, Whalers, Cetologists, Environmentalists, and the International Management of
Whaling, International Organization, Vol. 46, No. 1 (1992), hal. 147-186.
5
“Norway sets its catch limits higher than those allowed by the agreed RMP,
by unilaterally adjusting the RMP’s “tuning level”. The RMP's objective is for the
population being exploited to be “around 72% of the initial population” after 100
years, whereas the formula currently applied by Norway would lead to a population
of only 62%.”13
Selain itu, Norwegia juga menjadi negara dengan angka penangkapan paus
negara anggota lain yang cenderung tidak memiliki industri paus menuntut adanya
pembatasan penangkapan ikan paus seiring dengan penurunan populasi ikan paus
‘the temporary hiatus in commercial whaling has been continuing for over 20 years
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa upaya IWC dalam menangani whaling di
13
World Wild Fund for Nature (WWF), WWF Position Statement, 2002, diakses dalam
http://assets.panda.org/downloads/Whales_position.pdf (18/02/2021, 10.00 WIB).
14
Masaru Nishikawa, The Origin of the U.S.-Japan Dispute over the Whaling Moratorium,
Diplomatic History (2020), hal. 315-336, https://doi.org/10.1093/dh/dhz062.
15
Lisa Kobayashi, Lifting the International Whaling Commission’s Moratorium on Commercial
Whaling as the Most Effective Global Regulation of Whaling, Environs 29 (2006), hal. 200.
6
Dari berbagai kesepakatan yang telah dikeluarkan oleh IWC, tidak banyak
whaling hingga saat ini sesuai dengan keinginannya sendiri dan menetapkan aturan
domestik yang tidak jarang menyimpang dari kesepakatan IWC. Dengan demikian,
permintaan pasar terhadap produk paus, maka populasi paus akan terancam
semakin menurun. Meskipun regulasi dari IWC sebagai rezim internasional yang
menangani kasus tersebut telah melarang penangkapan ikan paus untuk kebutuhan
komersial secara total dan berbagai kampanye telah dilakukan, namun beberapa
negara termasuk Norwegia yang merupakan negara anggota IWC itu sendiri masih
melakukan praktik penangkapan ikan paus secara berlebihan. Oleh karena itu,
7
1.2 Rumusan Masalah
paus di Norwegia?
whaling di Norwegia.
Manfaat Teoritis :
8
pengetahuan dalam bidang hubungan internasional pada umumnya dan
Manfaat Praktis :
paus di Norwegia, dan teori efektivitas rezim yang dikemukakan oleh Arild
Underdal.
untuk membedakan penelitian yang akan diteliti oleh penulis dan betapa pentingnya
penelitian ini.
bertujuan untuk mengkaji pengaruh Jepang dan mandat IWC dalam kasus
pada penelitian ini membuktikan bahwa orientasi kekuatan IWC dapat dikendalikan
oleh Jepang melalui kekuatan domestik dan sumber daya yang dimilikinya. Dari
sisi ilmiah, Jepang mampu menguasai sumber daya IWC sehingga Jepang sebagai
dengan alasan kebutuhan saintifik. Penulis juga memaparkan bahwa ICRW sebagai
Mulai dari pendefinisian “whales”, izin perburuan paus tradisional, izin perburuan
paus secara ilmiah, hingga teknis ketika mengambil keputusan pada IWC yang
yang ada yakni paus besar maupun kecil terus mengalami eksploitasi.
to End Commercial Whaling as a Case of Failed Norm Change yang ditulis oleh
16
Merryn Ester Augina, Implementasi Mandat International Whaling Commission (IWC) dalam
Kasus Perlakuan Lumba-Lumba Di Taiji, Jepang, Jurnal Analisis Hubungan International (JAHI),
2015, hal. 1-15.
17
Jennifer L. Bailey, Arrested Development: The Fight to End Commercial Whaling as a Case of
Failed Norm Change, European Journal of International Relations, Vol. 14 (2), 2008, hal. 289-318,
https://doi.org/10.1177/1354066108089244.
10
perubahan norma yang terjadi pada kasus perburuan paus secara komersial. Jurnal
ini menyinggung perdebatan antara D’Amato dan Chapro dalam buku Amerika
sebagai entitas moral dengan memberikan hak pada paus untuk hidup, maka dari
itu suatu negara yang bertanggungjawab, sadar lingkungan, dan manusiawi tidak
akan berburu paus untuk diperdagangkan. Dalam jurnal tersebut secara keseluruhan
membahas adanya norma-norma yang dibuat oleh IWC namun Jepang, Norwegia,
dan Islandia tidak selalu patuh terhadap norma tersebut. Mulanya norma hadir dan
mendapat banyak dukungan sejalan kondisi kritis masa itu, namun mereka berusaha
suatu situasi dan kondisi tertentu seperti Jepang yang hanya di bawah kekuatan
program penelitian dalam melakukan perburuan paus, begitu pula dengan Islandia
yang hanya berhenti di bawah ancaman boikot konsumen yang mengancam ekspor
produk perikanannya.
Penelitian ketiga adalah karya penelitian yang ditulis oleh Dwi Arum Ariani
penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji Animal Care
18
Dwi Arum Ariani, Tanggung Jawab Negara terhadap Tindakan Perburuan Ikan Paus secara
Ilegal Berdasarkan Perspektif International Convention for Regulation of Whaling (ICRW),
(Universitas Brawijaya, 2013), hal. 1-112.
11
and Protection Act 2001, United Nations Convention on the Law of the Sea
mengenai kebijakan tentang perlindungan ikan paus di seluruh dunia dalam kaedah
hukum internasional. Penulis juga menggunakan teori resiko (risk theory) dan teori
IWC dapat melindungi ikan paus dengan cukup baik karena para negara anggota
komite ilmiah. Hasilnya cukup signifikan yang dibuktikan dengan tanggung jawab
ikan paus, meskipun masih ada beberapa negara anggota IWC yang secara
kontroversial melakukan perburuan paus dibawah nama izin khusus. Izin khusus itu
Commission (IWC) dapat dilihat dari keterlibatan Amerika Serikat dalam perannya
12
yang bersedia bertindak secara sepihak dalam membantu dan mendukung tujuan
IWC untuk memelihara populasi ikan paus. 19 IWC sendiri berpotensi memiliki
otoritas dalam mengambil langkah yang diefektifkan menjadi dua hal yakni
memblokir tindakan suatu negara yang keluar dari tanggungan kewajibannya dan
negara serta kelompok kepentingan anti perburuan paus dan negara-negara bersedia
efektif. Amerika Serikat, misalnya, melanjutkan tujuan IWC melalui dua potongan
pasar AS untuk impor ikan dari negara-negara yang melanggar kesepakatan IWC,
Jepang Ditinjau dari International Convention for the Regulation of Whaling yang
19
David D. Caron, The International Whaling Commission and the North Atlantic Marine Mammal
Commission: The Institutional Risks of Coercion in Consensual Structures, American Journal of
International Law (89), No. 1 (1995), hal. 154-174, https://doi.org/10.2307/2203905.
13
ditulis oleh Farah Elsa Nova.20 Jurnal ini berfokus pada penelitian terhadap paus
oleh Jepang yang ditinjau dari International Convention for the Regulation of
Whaling (ICRW). Melalui pendekatan yuridis normatif, penulis pada penelitian ini
sehingga terdapat celah terhadap isi pasal konvensi ICRW terkait pelegalan
perburuan paus untuk kepentingan ilmiah. Hal itu dimanfaatkan oleh beberapa
secara hingga International Court of Justice (ICJ) turut andil dalam mengambil
suara. Pada putusannya, ICJ mulanya menyatakan bahwa Jepang telah melanggar
ketentuan dalam pasal VIII ICRW sehingga Jepang harus menghentikan perburuan
penelitian baru dengan nama JARPA II yang pada akhirnya menimbulkan banyak
yang digunakan adalah mematikan, namun ICJ melihat hal tersebut masih dalam
batas wajar dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ilmiah. Begitu pula dengan
IWC yang melihat program JARPA II Jepang masih dalam hal yang wajar. Seiring
20
Farah Elsa Nova, Program Penelitian Paus Oleh Jepang Ditinjau Dari International Convention
for the Regulation of Whaling, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 21, No. 3 (2020), hal. 417-436,
https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.14197.
14
Jepang melanggar pasal VIII ICRW, ICJ mengeluarkan putusan untuk
masih berupaya untuk melakukan perburuan paus dengan alasan ilmiah melalui
program penelitian barunya yang bernama New Scientific Whale Research Program
and Order yang ditulis oleh Sidney J. Holt. 21 Penulis memaparkan sudut
Whaling Commission (IWC). Pada tahun 1972, PBB mengundang IWC dalam
dalam hal itu Norwegia sebagai salah satu anggota IWC yang aktif dalam
21
S. J. Holt, Whaling and International Law and Order, Marine Pollution Bulletin, 1999, hal. 531-
534, https://doi.org/10.1016/S0025-326X(98)00154-4.
15
mengungkapkan keberatan atas konvensi yang mengikat tersebut. Keberatan
tersebut diungkapkan pula oleh beberapa negara seperti Jepang dan Islandia namun
upaya mereka untuk tetap melakukan perburuan paus mendapat hambatan dari
Amerika Serikat yang mengancam menahan lisensi untuk kapal penangkapan ikan
mereka mencari jalan keluar untuk tetap melakukan perburuan paus di tengah
Jepang 2013-2017 yang ditulis oleh Addien Mirza Pratama.22 Penelitian pada jurnal
ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas IWC yang dapat dikatakan sebagai rezim
tahun 2013 hingga 2017. Hasil penelitian dari jurnal ini menjelaskan bahwa
perilaku negara sangat krusial jika berujung pada tingkat kepatuhan di dalamnya.
antara negara anggota IWC. Dalam implementasi regulasi yang sudah ditetapkan,
IWC ternyata tidak memiliki kapabilitas yang kuat dalam mengontrol konversi
kekuatan tiap negara anggota sehingga IWC dapat dikendalikan oleh negara
anggota yang memiliki sumber daya dan kekuatan domestik yang lebih besar seperti
22
Addien Mirza Pratama, Loc. Cit.
16
Jepang. Hal tersebut menjadikan IWC memiliki dependensi kepada Jepang padahal
yang ditulis oleh Donald K. Anton.23 Jurnal tersebut menjelaskan bahwa IWC telah
tidak lagi terikat dengan ketentuan tersebut. Pada tahun 1984, menanggapi
perburuan paus secara komersial di akhir 1987, namun pada waktu yang berdekatan
Jepang juga menyampaikan bahwa akan tetap mengambil ratusan paus sebagai
bahan penelitian yang mana penangkapan paus dengan tujuan ilmiah telah diatur
berdasarkan pasal VIII ICRW dan terdapat izin khusus di dalamnya yang
dan JARPA II, terhitung mulai tahun 1987 hingga 2005 lebih dari 6.800 paus minke
Antartika diambil oleh Jepang di bawah JARPA, sedangkan JAPRA II dua kali lipat
lebih banyak daripada JARPA dalam mengambil paus minke tahunan hingga 850
paus terhitung mulai 2005. Hal tersebut menuai perselisihan dengan Australia.
Untuk menanggapi hal itu, Australia mendirikan the Australia Whale Sanctuary
23
Donald K. Anton, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan): A Backgrounder, ANU College
of Law Research Paper, No. 10-13 (Juni 2010), hal. 1-15, https://doi.org/10.2139/ssrn.1632722.
17
(AWS) untuk menjerat Jepang berlandaskan perundang-undangan di bawah
mengenai hal itu karena ZEE Australia berdekatan dengan Antartika. Australia
terus mengecam tindakan Jepang karena menurutnya bahan ilmiah hanyalah alasan
Simmonds, dan Barbara Galletti Vernazzani. 24 Jurnal ini membahas tentang IWC
(IWC) telah berdiri sejak 1946 dengan tujuan menangani urusan perpausan di dunia
terkait konservasi yang tepat untuk mengatur stok ikan paus sehingga
memastikan konservasi paus yang lebih luas yang mana mencakup pengamatan
pada paus, sampah laut, polusi kimia dan suara, serta perubahan iklim. Dalam hal
ini, IWC telah berkembang pesat sejak 1990-an dan terus berlanjut. Salah satu
Group on Environmental Concerns pada tahun 1996 dan Komite Konservasi IWC
pada tahun 2003. Melalui penelitian, lokakarya, resolusi dan kolaborasi dengan
24
Andrew J. Wright, et.al., The International Whaling Commission-Beyond Whaling, Frontiers in
Marine Science, Vol. 3 (2016), hal. 1-7, https://doi.org/10.3389/fmars.2016.00158.
18
berbagai pihak, IWC telah memajukan pemahaman tentang berbagai masalah dan
besar akan tetap aktif dalam upaya berkelanjutan untuk menangani masalah
pendekatan empiris dengan bantuan teknik regresi, jurnal ini menjelaskan mengenai
paling signifikan dalam menentukan jumlah ikan paus yang dipanen adalah harga
ikan paus itu sendiri. Dengan demikian, itu menunjukkan bahwa pengaruh utama
dibalik perburuan paus adalah kekuatan pasar. Larangan perburuan paus ternyata
tidak memberikan dampak yang signifikan dalam menentukan jumlah paus yang
dipanen. Hal itu bisa terjadi karena berbagai hal. Salah satunya yakni adanya
pengaruh politik dan campur tangan birokrasi dalam keanggotaan IWC yang
sentral, namun memiliki perbedaan yang cukup jelas pada objek penelitian dan
fokus pembahasannya sehingga penelitian yang akan diteliti oleh penulis memiliki
25
Tea Barndt, Japanese Whaling and The International Whaling Commission, Student Research
Submissions, No. 314 (2020), https://scholar.umw.edu/student_research/314.
19
kebaharuan karena belum pernah di teliti sebelumnya. Penelitian pertama berfokus
pada pengaruh Jepang dan mandat IWC dalam kasus perlakuan lumba-lumba di
Taiji, Jepang. Penelitian kedua berfokus pada kegagalan perubahan norma pada
IWC terkait kasus perburuan paus secara komersial. Penelitian ketiga berfokus pada
tanggung jawab negara terhadap tindakan perburuan paus secara ilegal berdasarkan
Commission yang bersifat konsensual dan koersi. Penelitian kelima berfokus pada
program-program penelitian paus yang dilakukan oleh Jepang yang ditinjau dari
ikan paus di dunia yang tertuang pada International Convention for the Regulation
menangani perburuan lumba-lumba di Taiji, Jepang atau yang biasa dikenal dengan
Taiji Drive Hunt pada tahun 2013-2017. Penelitian kedelapan berfokus pada
dibawah keanggotaan IWC. Penelitian kesembilan berfokus pada IWC itu sendiri
20
secara komersial oleh IWC di Jepang. Sedangkan penelitian ini berfokus pada
Tabel 1.1
Posisi Penelitian
Jenis Penelitian
Judul dan
No. (Metode /Teori Hasil
Nama Peneliti
/Konsep)
1. Jurnal : Pendekatan Dalam implementasinya, IWC
Implementasi neorealisme banyak mendapatkan pengaruh
Mandat dari Jepang akibat kekuatan
International domestik dan sumber daya
Whaling organisasi yang dimilikinya.
Commission Hal itu menyebabkan berbagai
(IWC) dalam ambiguitas mulai dari
Kasus Perlakuan pendefinisian ‘whales’, izin
Lumba-Lumba perburuan paus, hingga teknis
di Taiji, Jepang dalam mengambil keputusan
Penulis : yang seringkali menimbulkan
Merryn Ester pro-kontra. Hasilnya, IWC
Augina hingga saat ini belum dapat
dikatakan berhasil karena
ekploitasi paus terus terjadi.
2. Judul : Arrested Pendekatan siklus Perburuan paus masih menjadi
Development: hidup norma polemik antar negara di dunia,
The Flight to namun populasi paus berhak
End Commercial untuk dipertimbangkan sebagai
Whaling as a entitas moral dengan
Case of Failed memberikan hak hidup. IWC
Norm Change seringkali membuat norma-
Penulis : norma untuk dilakukan oleh
Jennifer L. negara-negara anggotanya
Bailey tetapi masih saja ada yang
mengajukan keberatan seperti
Jepang, Norwegia, dan Islandia.
Mulanya norma hadir dan
mendapat banyak dukungan
sejalan kondisi kritis masa itu,
namun mereka berusaha untuk
membalikkan cengkeraman
secara proteksionis pada IWC
dengan berpindah ke program
21
penelitian sebagai alasan dalam
memburu ikan paus.
3. Judul : - Pendekatan Semakin suatu negara memiliki
Tanggung Jawab yuridis normatif kesadaran untuk
Negara terhadap - Teori Resiko bertanggungjawab terhadap
Tindakan (risk theory) perlindungan populasi ikan
Peburuan Ikan - Teori kesalahan paus, semakin menandakan
Paus secara (fault theory) bahwa implementasi agenda
Ilegal - Metode dan norma IWC telah berjalan
Berdasarkan deskriptif- dengan semestinya. Untuk
Perspektif kualitatif memaksimalkan tugasnya, IWC
International mengadakan pertemuan
Convention for tahunan sehingga pengawasan
Regulation of terhadap negara-negara anggota
Whaling terlaksana dengan baik. IWC
(ICRW) selalu melaporkan negara-
Penulis : Dwi negara yang melakukan
Arum Ariani pelanggaran dan memberikan
gagasan untuk melindungi ikan
paus contohnya melalui
pembetukan komite ilmiah.
Hasilnya cukup signifikan yang
dibuktikan dengan tanggung
jawab beberapa negara yang
berhasil menciptakan Santuary
atau tempat perlindungan ikan
paus.
4. Judul : The - Analisis melalui Perlindungan paus dapat terjadi
International interdependensi apabila organisasi internasional
Whaling dalam suatu yang struktur pengambilan
Commission and kelompok keputusannya berhasil
the North - Analisis melalui diterapkan oleh negara serta
Atlantic Marine pengambilan kelompok kepentingan anti
Mammal kebijakan suatu perburuan paus dan negara-
Commission : negara negara bersedia menggunakan
The Institutional kekuatan, betapapun
Risks of terbatasnya untuk membuat
Coercion in keputusan lebih efektif.
Consensual Amerika Serikat, misalnya,
Structures melanjutkan tujuan IWC
Penulis : David melalui dua potongan
D. Caron perundang-undangannnya
yakni the 1971 Pelly
Amendment dan the 1979
Packwood-Magnuson
Amendment dengan membatasi
22
kegiatan perdagangan dalam
sektor perikanan kepada negara
yang melanggar aturan IWC.
5. Judul : Program Pendekatan yuridis Akibat ambiguitas dalam
Penelitian Paus normatif ICRW, Jepang mengambil
oleh Jepang celah terkait pelegalan
Ditinjau dari perburuan paus untuk
International kepentingan ilmiah. Jepang
Convention for seringkali mengajukan proposal
the Regulation of program penelitian paus alih-
Whaling alih untuk melakukan
Penulis : Farah perburuan paus seperti JARPA
Elsa Nova II pada tahun 2014. Meskipun
mulanya IWC melihat program
itu masih dalam batas wajar,
namun seiring berjalannya
waktu banyak yang menentang
seperti Australia. Menanggapi
hal itu, Jepang menghentikan
JARPA II, namun mengajukan
program penelitian paus
barunya yang bernama New
Scientific Whale Research
Program in the Antarctic
Ocean (NEWREP-A). Jepang
terus berupaya untuk
melakukan perburuan paus,
meskipun dinilai melanggar
ketentuan IWC dalam ICRW.
6. Judul : Whaling - Analisis dengan Sebagai respon atas tindakan
and meninjau perburuan paus, muncul suatu
International ketentuan konvensi yaitu International
Law and Order hukum Convention for the Regulation
Penulis : Sidney internasional of Whaling (ICRW), yang
J. Holt - Analisis melalui menjadi landasan berdirinya
organisasi International Whaling
internasional Commission (IWC). IWC
menjadi suatu organisasi yang
dapat menyampaikan ‘order’
dalam upaya menangani
maraknya perburuan paus
melalui norma yang disepakati
telah bersama oleh negara-
negara anggotanya.
23
7. Judul : Analisis melalui
Jika dilihat dari regulasi yang
Efektivitas organisasi ada, kemudian dikolaborasikan
International internasional dengan implementasi IWC,
Whaling maka belum ditemukan titik
Commission keberhasilan. Hal itu
(IWC) dalam dikarenakan ada disfungsi pada
Perburuan peran IWC dan ambiguitas pada
Lumba-Lumba ICRW sehingga negara
‘Taiji Drive anggotanya sendiri bisa salah
Hunt’ di Taiji tafsir. IWC dianggap tidak
Jepang 2013- memiliki kapabilitas yang
2017 cukup untuk menghadapi
Penulis : Addien konversi kekuatan negara-
Mirza Pratama negara anggotanya yang
dibuktikan dengan adanya
kendali yang kuat dari Jepang
karena memiliki sumber daya
organisasi dan kekuatan
domestik yang besar.
8. Judul : Dispute Analisis dengan Akibat keberatan Jepang
Concerning meninjau terhadap pelarangan perburuan
Japan’s JARPA kepentingan paus oleh IWC, Jepang
II Program of nasional mendapat ancaman dari AS
“Scientific bahwa AS tidak segan-segan
Whaling” menghilangkan Japanese
(Australia v. fishing di Zona Ekonomi
Japan): A. Eksklusif AS. Jepang kemudian
Backgrounder menarik keberatannya dan
Penulis : Donald bersedia menghentikan
K. Anton perburuan paus secara
komersial di akhir 1987, namun
di waktu yang berdekatan
Jepang juga menyampaikan
bahwa akan tetap mengambil
paus sebagai tujuan ilmiah yang
mana izin khusus telah diatur
berdasarkan pasal VIII ICRW.
Di bawah perlindungan JARPA
dan JARPA II, Jepang
melakukan perburuan paus
secara besar-besaran.
Menanggapi hal itu, Australia
yang merupakan negara kontra
terhadap perburuan paus mulai
mendirikan the Australia Whale
Sanctuary (AWS) untuk
24
menjerat Jepang berlandaskan
perundang-undangan di bawah
lindungan AWS itu sendiri di
Zona Ekonomi Eksklusifnya.
9. Judul : The Analisis dengan Dalam upayanya untuk
International memperhitungkan menangani kasus perburuan
Whaling dampak kumulatif paus, IWC memperluas bidang
Commission – minatnya terkait perpausan. Hal
Beyond Whaling itu mencakup pengamatan pada
Penulis : paus melalui penelitian dan
Andrew J. konservasi, juga masalah-
Wright, Mark P. masalah yang berkaitan dengan
Simmonds, dan kelangsungan hidup paus
Barbara Galletti seperti sampah plastik, polusi
Vernazzani kimia dan suara, serta
perubahan iklim. IWC terus
aktif dalam menangani
perpausan agar menciptakan
konservasi berkelanjutan di
dunia.
10. Judul : - Pendekatan Perburuan paus oleh Jepang
Japanese empiris selain merupakan tradisi juga
Whaling and the - Teknik regresi dilatarbelakangi oleh kekuatan
International permintaan pasar. Meskipun
Whaling IWC sudah mengeluarkan
Commission larangan, namun sulit untuk
Penulis : Tea benar-benar
Barndt diimplementasikan. Hal itu
karena adanya pengaruh politik
dan campur tangan Jepang
dalam IWC sehingga
menyebabkan pengawasan
tidak efektif.
11. Judul : Teori Efektivitas Peran IWC dalam menangani
Efektivitas Rezim perburuan paus di Norwegia
Peran Internasional dinilai tidak efektif karena
International berdasarkan teori efektivitas
Whaling rezim internasional, baik
Commission output, outcome, maupun
(IWC) dalam impact yang dihasilkan dari
Menangani analisis peran IWC terhadap
Whaling di perburuan paus di Norwegia
Norwegia tidak terpenuhi atau bernilai
Penulis : Mega negatif. Meskipun IWC telah
Nanda Pratiwi berupaya untuk menengahi
keberatan yang diajukan oleh
25
Norwegia pasca peberlakuan
moratorium tahun 1986, namun
Norwegia tetap tidak patuh
terhadap peraturan yang ada.
Norwegia justru membuat
kebijakan domestiknya di luar
IWC.
tersebut. Efektivitas rezim adalah bentuk keberhasilan dari suatu rezim yang diukur
sesuai dengan fungsinya dalam memecahkan isu yang menjadi latar belakang
perilaku aktor yang terlibat. Bentuk implementasi dan pelaksanaan fungsi rezim
keefektifan rezim itu sendiri sehingga semakin kuat rezim dalam memecahkan
masalah semakin efektif pula rezim tersebut. Menurut Underdal, terdapat dua
26
Arild Underdal, The Concept of Regime ‘Effectiveness,’ Cooperation and Conflict, No. 3,
(September, 1992), hal. 227-240, https://doi.org/10.1177/0010836792027003001.
26
Variabel Dependen
sebab-akibat yang menjadi suatu peristiwa dari output (keluaran), outcome (hasil),
dan impact (dampak), yang merupakan titik awal analisis masalah. 27 Variabel-
variabel itu dapat menjadi tolak ukur variabel dependen. Nilai positif dalam
pengorganisasian, program, dan aturan yang ditetapkan oleh para anggota dalam
pembentukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Output terbagi dalam dua
level yang mana dinilai mencapai level satu apabila tujuan rezim telah terwujud dan
menjadi perjanjian resmi antar anggota, kemudian dinilai mencapai level dua
perubahan suatu kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam tujuan rezim.
terkena dampak dari ketentuan yang berlaku dalam sebuah rezim. Selama masa
rezim berlaku kemudian muncul perilaku yang sesuai dengan tujuan awal
terbentuknya rezim, maka outcome akan bernilai positif. Apabila setelah rezim
27
Ibid.
27
berlaku tidak ada perubahan perilaku yang sesuai dengan tujuan dan sasaran dari
perilaku anggota yang terikat dengan rezim. Impact berkaitan dengan tingkat
keberhasilan dari efektivitas rezim yang ada dalam menangani masalah yang
menjadi dasar dari pemikiran dalam membentuk rezim. Hal itu dapat dilihat dari
ketaatan anggota rezim dalam mengikuti aturan yang telah diatur. Impact akan
bernilai positif jika dianggap memberikan respon yang baik dengan menunjukkan
keberhasilan suatu rezim dalam menangani masalah dan mencapai sasaran yang
menjadi dasar terbentuknya rezim. Sebaliknya, akan bernilai negatif jika tidak
ditentukan dengan menilik fungsi dari output, outcome, dan impact yang ada. Jika
output, outcome, dan impact bernilai positif atau tujuan utama rezim dapat tercapai
maka peran International Whaling Commission (IWC) bernilai efektif. Begitu pula
sebaliknya, jika output, outcome, dan impact bernilai negatif atau tujuan utama
terbentuknya rezim tidak tercapai dengan semestinya maka peran dalam menangani
Variabel Independen
permasalahan dan kapasitas aktor untuk mencari tahu alasan hasil analisis bersifat
28
malign atau benign. Variabel independen mencakup kualitas rezim internasional
diartikan sebagai tidak adanya kesepahaman antar negara anggota dalam sebuah
perspektif yang digunakan dalam menghadapi kalkulasi cost and benefit itu sendiri
negara yang terlibat dalam rezim tersebut berhubungan secara negatif dalam hal
nilai ataupun kepentingan dengan kata lain kepentingan nasional yang berbeda
tertentu akan terus berada pada posisi yang sama dalam setiap dimensi rezim, ketika
erat kaitannya dengan problem malignancy. Semakin besar kapasitas suatu rezim
28
Ibid.
29
dalam menyelesaikan masalah yang malign, semakin besar pula peluang untuk
and energy yang tercipta ketika membangun kerjasama yang solutif. Institutional
antara aktor yang terlibat yang kemudian memunculkan aktor dominan sebagai
pemimpin tetapi memiliki kepatuhan yang kuat. Skill and energy merupakan dua
hal yang digunakan untuk mencari solusi yang kooperatif. Semakin besar skill and
energy yang dimiliki oleh suatu rezim, maka efektivitas rezim akan tercapai. Ada 2
unsur yang membentuk skill and energy yakni instrumental leadership dan
epistemic community.
masalah tersebut, maka akan digunakan komponen level of collaboration atau level
menggunakan 6 skala yang disebut dengan six points ordinalscale untuk mengukur
tingkat koordinasi anggota rezim. Pada skala (0) terdapat musyawarah bersama
tetapi tidak ditemukan ada aksi bersama; skala (1) yaitu adanya koordinasi tindakan
eksplisit; skala (2) adalah muncul koordinasi tindakan berdasarkan peraturan atau
standar yang dirumuskan secara eksplisit tetapi implementasi secara penuh berada
30
di tangan pemerintah nasional dan tidak ada penilaian efektivitas tindakan terpusat
yang dilakukan; skala (3) yaitu adanya koordinasi tindakan yang berdasar pada
aturan atau standar secara eksplisit, implementasi diatur oleh pemerintah nasional
dengan adanya penilaian terpusat; pada skala (4) ditemukan perencanaan yang
terkait efektivitas suatu tindakan; skala (5) yaitu adanya koordinasi melalui
Gambar 1.1
Problem Malignancy:
Incongruity
Asymmetry
Cumulative Cleavages
Regime Effectiveness:
Behavioural
Level of
Change
Collaboration
Technical
Problem Solving Capacity: Optimum
Institutional setting
Distribution of Power
Skill and Energy;
Instrumental leadership and
epistemic communities
rinci permasalahan yang diorganisir oleh IWC sebagai rezim. Jika level koordinasi
dari kualitas kinerja IWC dalam menangani whaling baik ditandai dengan tidak
mekanisme problem solving yang baik maka akan berpengaruh positif terhadap
31
efektivitas peran IWC itu sendiri. Apabila cenderung bersifat malign yang ditandai
29
Prof. Dr. Suryana, Metodologi Penelitian: Metode Praktis Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif
(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010).
30
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin Dan Metodologi (Jakarta: LP3ES,
1990).
32
mempengaruhi keefektivitasan IWC tersebut. Dengan demikian, dapat
ini adalah teknik analisis data kualitatif yang mana penulis menjawab
Dengan begitu, yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah
31
Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif, Journal Equilibrium, Vol. 5, No.3, 2009, hal. 2.
32
Ahmad Rijali, Analisis Data Kualitatif, Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 17, No. 33 (2018),
hal. 94-95, https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i33.2374.
33
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
referensi yang terdiri dari literatur, jurnal, arsip, dokumen, berita, dan
sebagainya. 33 Dalam teknik pengumpulan data ini terdapat dua jenis data
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang
bersifat first handed, atau official (resmi) yang biasa berbentuk dokumen
sekunder adalah data yang bersifat second handed, atau data yang berasal
dari data primer tetapi telah melalui perantara (media, cetakan, pengutipan
terfokus pada sasaran penelitian. Peneliti berfokus pada analisis alasan IWC
33
Mochtar Mas’oed, Loc. Cit.
34
Ibid.
34
hingga tahun 2019 yang mana Norwegia masih menjadi negara anggota
IWC. Selain itu, laporan hasil tangkapan ikan paus yang telah dipublikasi
1.7 Hipotesa
Penulis akan menghubungkan kedua fokus analisis tersebut melalui teori efektivitas
pada hubungan sebab-akibat yang menjadi suatu peristiwa dari output (keluaran),
tersebut tentu memberikan nilai yang positif pula dalam efektivitas peran IWC.
Begitupun sebaliknya nilai negatif akan memberikan nilai yang negatif pula.
maka didapatkan dua hipotesa. Hipotesa pertama yaitu pada analisis menggunakan
35
variabel dependen memberikan hasil yang malign atau negatif. Berbagai output
pada upaya pembatasan penangkapan ikan paus untuk kebutuhan komersial dinilai
outcome yang nampak nyata yakni kurang adanya perubahan perilaku Norwegia
secara signifikan. Hal itu dikarenakan laporan jumlah hasil paus yang diburu oleh
Norwegia tidak juga menurun secara berkala. Output dan outcome yang bernilai
antara Norwegia sebagai negara pro whaling dengan negara lainnya yang menjadi
pihak kontra whaling. Norwegia masih menunjukkan angka perburuan paus yang
secara komersial. Hal itu menjadi bukti bahwa problem solving capacity yang
dimiliki oleh IWC belum cukup kuat dalam mengontrol dan menangani
pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggotanya karena IWC tidak memiliki
power dalam mengikat yang berupa sanksi atau hukuman. Dengan begitu, level of
collaboration IWC dapat dikatakan berada pada skala 3 yaitu terdapat koordinasi
36
1.8 Sistematika Penulisan
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Teori Efektivitas Rezim
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
1.6.2 Teknik Analisis Data
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Batasan Materi
1.6.4.2 Batasan Waktu
1.7 Metodologi Penelitian
1.8 Sistematika Penulisan
Bab II INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC) DAN
KEANGGOTAAN NORWEGIA
2.1 International Whaling Commission (IWC)
2.1.1 Sejarah International Convention for the Regulation
of Whaling (ICRW) sebagai Respon Penurunan
Populasi Paus di Dunia
2.1.2 International Whaling Commission (IWC) sebagai
Implementasi Regulasi Internasional
2.2 Dinamika Whaling di Norwegia dan Keanggotaannya dalam
International Whaling Commission (IWC)
Bab 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
38