Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan paus telah menjadi salah satu komoditi perekonomian yang sangat

menguntungkan karena banyaknya permintaan pasar dengan harga yang cukup

tinggi. Beberapa jenis ikan paus yang seringkali menjadi target penangkapan untuk

memenuhi permintaan pasar adalah sperm, blue, humpback, fin, right, bowhead,

bryde’s, sei, minke, dan grey.1 Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa

penangkapan ikan paus dapat memberikan peluang bisnis yang menggiurkan.

Penangkapan paus atau yang biasa disebut dengan whaling merupakan

aktivitas yang dapat merusak keseimbangan rantai makanan dan berdampak pada

perubahan kestabilan ekosistem laut. Menurut studi yang dimuat dalam jurnal

Frontiers in Ecology and the Environment, paus memegang peranan penting dalam

ekosistem laut yang lebih sehat.2 Paus dapat berperan sebagai reservoir dan vektor

vertikal maupun horizontal untuk nutrisi dan juga sebagai sumber energi dan habitat

detrital di laut dalam. Ketika paus makan di laut dalam, kemudian kembali ke

permukaan untuk bernafas, paus mencampur lapisan-lapisan air di laut. Substansi

1
Yusnarida Eka Nizmi dan Lidya Adristhira, Respon Australia Atas Jepang Pasca Mengeluarkan
Kebijakan JARPA II Tahun (2005-2011), Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Riau, Vol. 1 No. 1 (Februari 2014), hal. 1.
2
Bagas Reza Murti, Ketidakefektifan Peran IWC (International Whaling Commision) Dalam Upaya
Penyelamatan Lumba-Lumba Di Taiji, Jepang, UMY Repository, 2016.
1
yang ada dalam urine dan kotoran paus seperti kandungan zat besi dan nitrogen

dapat menjadi penyubur efektif bagi plankton.3 Selain itu, ketika paus melahirkan

di laut dalam, mereka menyumbangkan nutrisi bagi perairan yang tidak jarang

kekurangan sumber daya. Bahkan, plasenta paus dapat menjadi sumber makanan

bagi organisme lain di laut. Ketika paus melakukan migrasi jarak jauh untuk kawin,

saat itu pula mereka membawa nutrisi yang penting untuk kehidupan di perairan. 4

Oleh karena itu, whaling termasuk dalam kategori kejahatan internasional terhadap

lingkungan. 5 Terlebih di zaman yang semakin modern, para pemburu semakin

meningkatkan strategi dengan mengembangkan teknik yang lebih efisien untuk

memudahkan proses penangkapan paus.

Whaling telah dilakukan sejak dahulu oleh nenek moyang Suku Inuit di

Arktik, Suku Basque di Atlantik, dan Bangsa Jepang. Penangkapan paus juga telah

lama dilakukan di Norwegia. Berdasarkan catatan sejarah, penduduk Norwegia

yaitu Suku Viking telah melakukan penangkapan paus sejak abad ke-9 atau ke-10.6

Dari awal abad ke-17 hingga 18, pemburu paus yaitu suku Basque melakukan

penangkapan ikan paus dari Svalbard hingga Pulau Bear. 7 Kemudian, Basque

memperbolehkan partisipan lain untuk mengikuti ekspedisinya yang menyebabkan

3
Ibid.
4
Ibid.
5
Andreas Pramudianto, Peradilan Internasional Dan Diplomasi Dalam Sengketa Lingkungan
Hidup Maritim, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 1, No. 4, 2017, hal. 111-137,
https://doi.org/10.38011/jhli.v4i1.52.
6
William C.G. Burns and Geoffrey Wandesforde-Smith, The International Whaling Commission
and the Future of Cetaceans in a Changing World, Review of European Community and
International Environmental Law, Vol. 2, No. 11 (2002), https://doi.org/10.1111/1467-9388.t01-1-
00317.
7
Ibid.
2
eksploitasi yang berlebihan. Semakin lama industri paus pun semakin berkembang

karena semakin banyak peminatnya.

Mulanya masyarakat melakukan penangkapan ikan paus untuk memenuhi

kebutuhan makan dan tradisi kebudayaan. Akibat seiring meningkatnya kebutuhan

pasar, maka penangkapan ikan paus semakin sering dilakukan dan berubah menjadi

praktik industri komersial. Produk utama yang dihasilkan dari industri whaling

adalah minyak paus yang dijadikan pelumas serta lilin untuk bahan dasar

pembuatan sabun dan parfum. 8 Tulang ikan paus digunakan dalam pembuatan

korset, cambuk, dan payung, sementara daging paus dikonsumsi oleh manusia dan

dijadikan makanan hewan peliharaan. Meningkatnya permintaan produk paus

menyebabkan peningkatan aktivitas penangkapan ikan paus. Hal ini dapat

menimbulkan masalah kepunahan paus karena paus tidak memiliki daya reproduksi

yang cepat. 9 Kesadaran untuk menghentikan aktivitas penangkapan ikan paus

secara berlebihan sangat dibutuhkan. Salah satu cara untuk mengatur penangkapan

ikan paus dengan aman dan teratur adalah dengan membentuk badan khusus yang

bergerak untuk melindungi keberadaan populasi ikan paus.

Pada tanggal 2 Desember 1946, sebanyak 16 negara sepakat untuk

menciptakan serta menandatangani konvensi perlindungan ikan paus yang disebut

International Convention for The Regulation of Whaling (ICRW). ICRW memiliki

tujuan untuk melindungi populasi ikan paus di seluruh dunia agar tidak terjadi

8
Nancy Shoemaker, Whale Meat in American History, Environmental History, Vol. 2, No. 10, 2005,
hal. 269-294, https://doi.org/10.1093/envhis/10.2.269.
9
Bryan R. Early and Keith A. Preble, Enforcing US Economic Sanctions: Why Whale Hunting
Works, Washington Quarterly, Vol. 1, No. 43, 2020, hal. 159-175.
3
kepunahan populasi paus secara dramatis. Konvensi ini mengatur mengenai

kegiatan komersial maupun saintifik pada penangkapan paus. Hingga saat ini

terdapat 89 negara anggota yang menyetujui konvensi ICRW.

Untuk menindaklanjuti konvensi ini, kemudian dibentuk suatu rezim

internasional yang bernama International Whaling Commission (IWC) pada tahun

1948. 10 Berbagai negara yang merupakan anggota IWC membuat keputusan

melalui berbagai pertemuan dan komite dengan memanfaatkan sekretariat IWC

sebagai tempat diskusi dan proses pengambilan keputusan. IWC memiliki 3 komite

yaitu Scientific Committee, Finance and Administration Committee, dan

Conservation Committee. 11 IWC juga memiliki 2 sub-komite yaitu aboriginal

subsistence whaling sub-committee dan infractions sub-committee, serta 1

kelompok kerja khusus yaitu Working Group on Whale Killing Methods and

Welfare Issues (WKM & WI). Selanjutnya, International Whaling Commission

(IWC) mulai mengakomodasi beberapa negara anggota untuk merundingkan

persoalan regulasi terkait penangkapan ikan paus melalui pertemunan tahunan.

IWC secara bekelanjutan mengeluarkan resolusi-resolusi untuk menanggapi

permasalahan-permasalahan yang terjadi berdasarkan laporan yang diterima dari

inspektur di tiap negara. Salah satunya, permasalahan whalig di Norwegia.

Norwegia sendiri merupakan negara dengan kasus penangkapan ikan paus sangat

tinggi dan menempati posisi kedua setelah Jepang. Dalam menanggapi kasus

10
Addien Mirza Pratama, Efektivitas International Whaling Commission (IWC) Dalam Perburuan
Lumba-Lumba ‘Taiji Drive Hunt’ Di Taiji Jepang 2013-2017, Journal of International Relations,
Vol. 5 No. 2, 2019, hal. 388-394.
11
Ibid.
4
whaling di Norwegia, IWC telah mengeluarkan setidaknya 6 kesepakatan. Namun,

kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak sepenuhnya mampu diimplementasikan

oleh Norwegia bahkan Norwegia masih aktif melanjutkan aktivitas whaling hingga

saat ini.

Berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut, IWC dalam

perkembangannya ditandai oleh dua perubahan produk hukum utama, yaitu

serangkaian prosedur manajemen pada tahun 1974, yang kemudian disepakati

sebagai Revised Management Procedure (RMP) pada tahun 1994 dan adopsi

moratorium penangkapan ikan paus secara komersial pada tahun 1982, yang

kemudian disepakati sebagai moratorium on zero commercial whaling pada tahun

1986.12 Dari kedua kebijakan tersebut, Norwegia menjadi negara yang menentang

pengadopsian RMP dan moratorium on zero commercial whaling.

Dalam pengimplementasian RMP, Norwegia mengatur dan menetapkan

sendiri kuota ikan paus yang dapat ditangkap yang mana level penetapannya berada

di bawah ketentuan yaitu 0.6 dari kesepakatan di IWC yaitu 0.72. Level tersebut

menunjukkan bahwa batas kuota yang digunakan oleh Norwegia lebih banyak dari

ketentuan dari IWC. WWF melalui website resminya dalam WWF Position

Statement juga menyatakan bahwa ‘The RMP accepted by the IWC is currently not

being accurately applied by either Norway or Japan.’ Hal tersebut diperjelas oleh

WWF dengan pemaparan sebagai berikut:

12
M. J. Peterson, Whalers, Cetologists, Environmentalists, and the International Management of
Whaling, International Organization, Vol. 46, No. 1 (1992), hal. 147-186.

5
“Norway sets its catch limits higher than those allowed by the agreed RMP,

by unilaterally adjusting the RMP’s “tuning level”. The RMP's objective is for the

population being exploited to be “around 72% of the initial population” after 100

years, whereas the formula currently applied by Norway would lead to a population

of only 62%.”13

Selain itu, Norwegia juga menjadi negara dengan angka penangkapan paus

paling banyak sejumlah 14.755 ekor paus di bawah keberatannya pasca

pemberlakuan moratorium on zero commercial whaling. 14 Norwegia menentang

adanya pembatasan whaling secara total untuk kebutuhan komersial karena

menganggap IWC seharusnya bertugas untuk meregulasi suatu aturan, sedangkan

negara anggota lain yang cenderung tidak memiliki industri paus menuntut adanya

pembatasan penangkapan ikan paus seiring dengan penurunan populasi ikan paus

di dunia. Hal itu kemudian mempengaruhi efektivitas kinerja IWC hingga

mengakibatkan kebuntuan tanpa kejelasan berjalannya aturan dalam moratorium

tersebut. Lisa Kobayoshi dalam jurnalnya juga menyampaikan pendapatnya bahwa

‘the temporary hiatus in commercial whaling has been continuing for over 20 years

due to a deadlock caused by the lack of agreement in reversing the moratorium’. 15

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa upaya IWC dalam menangani whaling di

Norwegia bernilai kurang efektif.

13
World Wild Fund for Nature (WWF), WWF Position Statement, 2002, diakses dalam
http://assets.panda.org/downloads/Whales_position.pdf (18/02/2021, 10.00 WIB).
14
Masaru Nishikawa, The Origin of the U.S.-Japan Dispute over the Whaling Moratorium,
Diplomatic History (2020), hal. 315-336, https://doi.org/10.1093/dh/dhz062.
15
Lisa Kobayashi, Lifting the International Whaling Commission’s Moratorium on Commercial
Whaling as the Most Effective Global Regulation of Whaling, Environs 29 (2006), hal. 200.
6
Dari berbagai kesepakatan yang telah dikeluarkan oleh IWC, tidak banyak

yang mampu mengubah perilaku Norwegia untuk konsisten dalam menjalankan

komitmennya di keanggotaan IWC. Norwegia tetap aktif menjalankan aktivitas

whaling hingga saat ini sesuai dengan keinginannya sendiri dan menetapkan aturan

domestik yang tidak jarang menyimpang dari kesepakatan IWC. Dengan demikian,

peneliti memiliki ketertarikan untuk menganalisis lebih jauh dan terperinci

mengenai alasan IWC kurang efektif dalam menangani whaling di Norwegia.

Urgensi penelitian ini menekankan alasan International Whaling

Commission (IWC) kurang efektif dalam menangani kasus penangkapan paus di

Norwegia. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa semakin tinggi

permintaan pasar terhadap produk paus, maka populasi paus akan terancam

semakin menurun. Meskipun regulasi dari IWC sebagai rezim internasional yang

menangani kasus tersebut telah melarang penangkapan ikan paus untuk kebutuhan

komersial secara total dan berbagai kampanye telah dilakukan, namun beberapa

negara termasuk Norwegia yang merupakan negara anggota IWC itu sendiri masih

melakukan praktik penangkapan ikan paus secara berlebihan. Oleh karena itu,

dalam penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas International

Whaling Commission (IWC) dianalisis dengan menggunakan studi kasus

penangkapan ikan paus di Norwegia.

7
1.2 Rumusan Masalah

Melalui penjabaran latar belakang diatas, maka penelitian ini mencoba

untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut : Mengapa International

Whaling Commission (IWC) kurang efektif dalam menangani kasus penangkapan

paus di Norwegia?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

a. Untuk membuktikan efektivitas International Whaling Commission

(IWC) dalam menangani whaling di Norwegia.

b. Untuk memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

International Whaling Commission (IWC) dalam menangani

whaling di Norwegia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai International Whaling Commission (IWC) terutama dalam

menangani kasus whaling di Norwegia untuk mengembangkan ilmu

8
pengetahuan dalam bidang hubungan internasional pada umumnya dan

studi rezim internasional maupun studi lingkungan pada khususnya.

Manfaat Praktis :

Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

mengenai International Convention for The Regulation of Whaling (ICRW)

sebagai landasan berdirinya International Whaling Commission (IWC),

efektivitas peran sebagai rezim internasional yang menangani penangkapan

paus di Norwegia, dan teori efektivitas rezim yang dikemukakan oleh Arild

Underdal.

Bagi prodi hubungan internasional Universitas Muhammadiyah

Malang, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

kajian dan menambah referensi dalam bidang ilmu hubungan internasional

khususnya studi rezim internasional dan studi lingkungan.

1.4 Penelitian Terdahulu

Di dalam sebuah penelitian tentu terdapat beberapa acuan dalam melakukan

penelitian yang berasal dari penelitian-penelitian sebelumnya. Namun begitu,

diantara penelitian-penelitian tersebut walaupun memiliki tema yang sama tetapi

fokus penelitiannya berbeda-beda. Adanya penelitian-penelitian tersebut digunakan

untuk membedakan penelitian yang akan diteliti oleh penulis dan betapa pentingnya

penelitian ini.

Penelitian pertama adalah jurnal berjudul Implementasi Mandat

International Whaling Commission (IWC) dalam Kasus Perlakuan Lumba-Lumba


9
di Taiji, Jepang yang ditulis oleh Merryn Ester Augina. 16 Penelitian pada jurnal ini

bertujuan untuk mengkaji pengaruh Jepang dan mandat IWC dalam kasus

perlakuan lumba-lumba di Taiji, Jepang melalui pendekatan neorealisme. Penulis

pada penelitian ini membuktikan bahwa orientasi kekuatan IWC dapat dikendalikan

oleh Jepang melalui kekuatan domestik dan sumber daya yang dimilikinya. Dari

sisi ilmiah, Jepang mampu menguasai sumber daya IWC sehingga Jepang sebagai

pro whaling dapat membenarkan kegiatan perburuan paus yang dilakukannya

dengan alasan kebutuhan saintifik. Penulis juga memaparkan bahwa ICRW sebagai

regulasi internasional yang melandasi berdirinya IWC memiliki banyak ambiguitas.

Mulai dari pendefinisian “whales”, izin perburuan paus tradisional, izin perburuan

paus secara ilmiah, hingga teknis ketika mengambil keputusan pada IWC yang

mana seringkali memudahkan terjadinya pelegalan pelanggaran. IWC telah

menghadapi permasalahan dalam perkembangan rezimnya sejak awal terbentuk.

Hingga dalam perjalanannya, IWC belum dapat dikatakan berhasil dalam

menciptakan baik konservasi maupun industri paus secara berkelanjutan. Fakta

yang ada yakni paus besar maupun kecil terus mengalami eksploitasi.

Penelitian kedua adalah jurnal berjudul Arrested Development: The Flight

to End Commercial Whaling as a Case of Failed Norm Change yang ditulis oleh

Jennifer L. Bailey. 17 Penulis menggunakan pendekatan siklus hidup norma yang

dikembangkan oleh Finnemore dan Sikkink dalam menjelaskan kegagalan

16
Merryn Ester Augina, Implementasi Mandat International Whaling Commission (IWC) dalam
Kasus Perlakuan Lumba-Lumba Di Taiji, Jepang, Jurnal Analisis Hubungan International (JAHI),
2015, hal. 1-15.
17
Jennifer L. Bailey, Arrested Development: The Fight to End Commercial Whaling as a Case of
Failed Norm Change, European Journal of International Relations, Vol. 14 (2), 2008, hal. 289-318,
https://doi.org/10.1177/1354066108089244.
10
perubahan norma yang terjadi pada kasus perburuan paus secara komersial. Jurnal

ini menyinggung perdebatan antara D’Amato dan Chapro dalam buku Amerika

Jurnal Hukum Internasional bahwa populasi paus berhak untuk dipertimbangkan

sebagai entitas moral dengan memberikan hak pada paus untuk hidup, maka dari

itu suatu negara yang bertanggungjawab, sadar lingkungan, dan manusiawi tidak

akan berburu paus untuk diperdagangkan. Dalam jurnal tersebut secara keseluruhan

membahas adanya norma-norma yang dibuat oleh IWC namun Jepang, Norwegia,

dan Islandia tidak selalu patuh terhadap norma tersebut. Mulanya norma hadir dan

mendapat banyak dukungan sejalan kondisi kritis masa itu, namun mereka berusaha

untuk membalikkan cengkeraman secara proteksionis pada IWC. Dalam rangka

menjaga kepentingan nasionalnya, beberapa negara menarik keberatannya dalam

suatu situasi dan kondisi tertentu seperti Jepang yang hanya di bawah kekuatan

Amerika Serikat tetapi dalam waktu yang berdekatan langsung berpindah ke

program penelitian dalam melakukan perburuan paus, begitu pula dengan Islandia

yang hanya berhenti di bawah ancaman boikot konsumen yang mengancam ekspor

produk perikanannya.

Penelitian ketiga adalah karya penelitian yang ditulis oleh Dwi Arum Ariani

dalam skripsinya yang berjudul Tanggung Jawab Negara terhadap Tindakan

Peburuan Ikan Paus secara Ilegal Berdasarkan Perspektif International Convention

for Regulation of Whaling (ICRW). 18 Kerangka analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji Animal Care

18
Dwi Arum Ariani, Tanggung Jawab Negara terhadap Tindakan Perburuan Ikan Paus secara
Ilegal Berdasarkan Perspektif International Convention for Regulation of Whaling (ICRW),
(Universitas Brawijaya, 2013), hal. 1-112.
11
and Protection Act 2001, United Nations Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS), dan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW)

mengenai kebijakan tentang perlindungan ikan paus di seluruh dunia dalam kaedah

hukum internasional. Penulis juga menggunakan teori resiko (risk theory) dan teori

kesalahan (fault theory) dalam menganalisis tindak perburuan paus secara

komersial di beberapa negara. Penulis memaparkan bahwa dengan adanya ICRW,

IWC dapat melindungi ikan paus dengan cukup baik karena para negara anggota

IWC melakukan pertemuan tahunan guna membahas perlindungan ikan paus

sehingga pengawasan IWC terhadap negara-negara anggota berjalan dengan

semestinya. IWC juga melaporkan negara-negara yang melakukan pelanggaran dan

memberikan gagasan untuk melindungi ikan paus contohnya melalui pembetukan

komite ilmiah. Hasilnya cukup signifikan yang dibuktikan dengan tanggung jawab

beberapa negara yang berhasil menciptakan Santuary atau tempat perlindungan

ikan paus, meskipun masih ada beberapa negara anggota IWC yang secara

kontroversial melakukan perburuan paus dibawah nama izin khusus. Izin khusus itu

sendiri berlandaskan atas pengecualian perburuan paus yang dicantumkan pada

ICRW bahwasannya diperbolehkan melakukan penangkapan paus untuk alasan

ilmiah seperti melakukan research.

Penelitian keempat adalah jurnal berjudul The International Whaling

Commission and the North Atlantic Marine Mammal Commission : The

Institutional Risks of Coercion in Consensual Structures yang ditulis oleh David D.

Caron. Jurnal ini memaparkan bahwa keefektivitasan International Whaling

Commission (IWC) dapat dilihat dari keterlibatan Amerika Serikat dalam perannya
12
yang bersedia bertindak secara sepihak dalam membantu dan mendukung tujuan

IWC untuk memelihara populasi ikan paus. 19 IWC sendiri berpotensi memiliki

otoritas dalam mengambil langkah yang diefektifkan menjadi dua hal yakni

memblokir tindakan suatu negara yang keluar dari tanggungan kewajibannya dan

melakukan pencegahan terhadap ketidakpatuhan suatu negara dalam menjalani

kesepakatan. Perlindungan paus dapat terjadi karena kombinasi antara organisasi

internasional yang struktur pengambilan keputusannya berhasil diterapkan oleh

negara serta kelompok kepentingan anti perburuan paus dan negara-negara bersedia

menggunakan kekuatan, betapapun terbatasnya untuk membuat keputusan lebih

efektif. Amerika Serikat, misalnya, melanjutkan tujuan IWC melalui dua potongan

perundang-undangannnya yakni the 1971 Pelly Amendment dan the 1979

Packwood-Magnuson Amendment. Amandemen Pelly mengharuskan penutupan

pasar AS untuk impor ikan dari negara-negara yang melanggar kesepakatan IWC,

sedangkan dalam amandemen Packwood-Manugson menyatakan bahwa akan

dilakukan penutupan akses untuk menangkap ikan di perairan di bawah yuridiksi

perairan AS bagi negara-negara bagian jika diketahui melakukan pelanggaran

kesepakatan dalam IWC pula. Kedua ancaman ternyata memberikan dampak

efektif meskipun resiko terbatas bagi negara-negara terlibat namun cukup

membantu IWC dalam menjalankan perannya.

Penelitian kelima adalah jurnal berjudul Program Penelitian Paus oleh

Jepang Ditinjau dari International Convention for the Regulation of Whaling yang

19
David D. Caron, The International Whaling Commission and the North Atlantic Marine Mammal
Commission: The Institutional Risks of Coercion in Consensual Structures, American Journal of
International Law (89), No. 1 (1995), hal. 154-174, https://doi.org/10.2307/2203905.
13
ditulis oleh Farah Elsa Nova.20 Jurnal ini berfokus pada penelitian terhadap paus

oleh Jepang yang ditinjau dari International Convention for the Regulation of

Whaling (ICRW). Melalui pendekatan yuridis normatif, penulis pada penelitian ini

memaparkan bahwa ICRW khususnya pasal VIII telah menimbulkan ambiguitas

sehingga terdapat celah terhadap isi pasal konvensi ICRW terkait pelegalan

perburuan paus untuk kepentingan ilmiah. Hal itu dimanfaatkan oleh beberapa

negara pro whaling seperti Jepang. Fenomena tersebut tentu menyebabkan

pertentangan bagi beberapa kalangan yang menentang adanya perburuan paus

secara hingga International Court of Justice (ICJ) turut andil dalam mengambil

suara. Pada putusannya, ICJ mulanya menyatakan bahwa Jepang telah melanggar

ketentuan dalam pasal VIII ICRW sehingga Jepang harus menghentikan perburuan

paus. Namun putusan tersebut tidak membuat Jepang menghentikan perburuan

pausnya. Pada tahun 2014, Jepang mengajukan kembali proposal program

penelitian baru dengan nama JARPA II yang pada akhirnya menimbulkan banyak

pertentangan. Dengan menggunakan pasal 31 Konvensi Wina 1969, ICJ

mengindikasikan bahwa JARPA II secara luas dapat digambarkan sebagai program

penelitian ilmiah meskipun Australia menentang dan menyatakan bahwa metode

yang digunakan adalah mematikan, namun ICJ melihat hal tersebut masih dalam

batas wajar dalam kaitannya dengan tujuan penelitian ilmiah. Begitu pula dengan

IWC yang melihat program JARPA II Jepang masih dalam hal yang wajar. Seiring

berjalannya waktu dengan banyaknya pertentangan yang menyatakan bahwa

20
Farah Elsa Nova, Program Penelitian Paus Oleh Jepang Ditinjau Dari International Convention
for the Regulation of Whaling, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 21, No. 3 (2020), hal. 417-436,
https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.14197.
14
Jepang melanggar pasal VIII ICRW, ICJ mengeluarkan putusan untuk

pemberhentian pelaksanaan program JARPA II. Tidak berhenti disitu, Jepang

masih berupaya untuk melakukan perburuan paus dengan alasan ilmiah melalui

program penelitian barunya yang bernama New Scientific Whale Research Program

in the Antarctic Ocean (NEWREP-A). Jepang terus mengeluarkan program

penelitian paus meskipun dinilai melanggar International Convention for the

Regulation of Whaling (ICRW).

Penelitian keenam adalah jurnal berjudul Whaling and International Law

and Order yang ditulis oleh Sidney J. Holt. 21 Penulis memaparkan sudut

pandangnya terkait hukum internasional dan perburuan paus dengan

menyampaikan perdebatan ‘konfrontasi vs negosiasi’. Jurnal ini membahas

mengenai konvensi, hukum-hukum, maupun perjanjian internasional dalam upaya

penanganan penangkapan ikan paus di dunia. Salah satunya adalah International

Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang merupakan peraturan

penangkapan ikan paus yang mana menjadi landasan berdirinya International

Whaling Commission (IWC). Pada tahun 1972, PBB mengundang IWC dalam

rangka penindaklanjutan Konferensi Lingkungan Manusia di Stockholm terkait

moratorium 10 tahun terhadap perburuan paus sebagai kegiatan komersial dan

dalam hal itu Norwegia sebagai salah satu anggota IWC yang aktif dalam

penangkapan paus mengambil suara. Beberapa negara anggota IWC berhenti

menangkap paus dalam satu dekade tersebut namun Norwegia berbalik

21
S. J. Holt, Whaling and International Law and Order, Marine Pollution Bulletin, 1999, hal. 531-
534, https://doi.org/10.1016/S0025-326X(98)00154-4.
15
mengungkapkan keberatan atas konvensi yang mengikat tersebut. Keberatan

tersebut diungkapkan pula oleh beberapa negara seperti Jepang dan Islandia namun

upaya mereka untuk tetap melakukan perburuan paus mendapat hambatan dari

Amerika Serikat yang mengancam menahan lisensi untuk kapal penangkapan ikan

mereka di di perairan Amerika Serikat. Jurnal ini juga membahas bagaimana

mereka mencari jalan keluar untuk tetap melakukan perburuan paus di tengah

adanya hukum-hukum internasional dan tekanan atas negara lain.

Penelitian ketujuh adalah jurnal berjudul Efektivitas International Whaling

Commission (IWC) dalam Perburuan Lumba-Lumba ‘Taiji Drive Hunt’ di Taiji

Jepang 2013-2017 yang ditulis oleh Addien Mirza Pratama.22 Penelitian pada jurnal

ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas IWC yang dapat dikatakan sebagai rezim

internasional, yang berfokus pada perburuan cetacea khususnya lumba-lumba pada

tahun 2013 hingga 2017. Hasil penelitian dari jurnal ini menjelaskan bahwa

perilaku negara sangat krusial jika berujung pada tingkat kepatuhan di dalamnya.

Adanya disfungsi pada peran IWC dan ketidakjelasan dalam International

Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) menyebabkan salah tafsir di

antara negara anggota IWC. Dalam implementasi regulasi yang sudah ditetapkan,

IWC ternyata tidak memiliki kapabilitas yang kuat dalam mengontrol konversi

kekuatan tiap negara anggota sehingga IWC dapat dikendalikan oleh negara

anggota yang memiliki sumber daya dan kekuatan domestik yang lebih besar seperti

22
Addien Mirza Pratama, Loc. Cit.
16
Jepang. Hal tersebut menjadikan IWC memiliki dependensi kepada Jepang padahal

Jepang merupakan negara pro whaling.

Penelitian kedelapan adalah jurnal berjudul Dispute Concerning Japan’s

JARPA II Program of “Scientific Whaling” (Australia v. Japan): A. Backgrounder

yang ditulis oleh Donald K. Anton.23 Jurnal tersebut menjelaskan bahwa IWC telah

mengadopsi moratorium terkait pelarangan perburuan paus pada tahun 1982,

namun Jepang mengajukan keberatan resmi berdasarkan pasal V sehingga merasa

tidak lagi terikat dengan ketentuan tersebut. Pada tahun 1984, menanggapi

keberatan Jepang, Amerika Serikat mengancam akan menghukum Jepang dengan

menghilangkan Japanese fishing di Zona Ekonomi Eksklusif AS. Dengan adanya

ancaman tersebut, Jepang menarik keberatannya dan bersedia menghentikan

perburuan paus secara komersial di akhir 1987, namun pada waktu yang berdekatan

Jepang juga menyampaikan bahwa akan tetap mengambil ratusan paus sebagai

bahan penelitian yang mana penangkapan paus dengan tujuan ilmiah telah diatur

berdasarkan pasal VIII ICRW dan terdapat izin khusus di dalamnya yang

mengotorisasi perburuan paus untuk tujuan ilmiah. Di bawah perlindungan JARPA

dan JARPA II, terhitung mulai tahun 1987 hingga 2005 lebih dari 6.800 paus minke

Antartika diambil oleh Jepang di bawah JARPA, sedangkan JAPRA II dua kali lipat

lebih banyak daripada JARPA dalam mengambil paus minke tahunan hingga 850

paus terhitung mulai 2005. Hal tersebut menuai perselisihan dengan Australia.

Untuk menanggapi hal itu, Australia mendirikan the Australia Whale Sanctuary

23
Donald K. Anton, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan): A Backgrounder, ANU College
of Law Research Paper, No. 10-13 (Juni 2010), hal. 1-15, https://doi.org/10.2139/ssrn.1632722.
17
(AWS) untuk menjerat Jepang berlandaskan perundang-undangan di bawah

perlindungan AWS itu sendiri di Zona Ekonomi Eksklusifnya. Banyak perdebatan

mengenai hal itu karena ZEE Australia berdekatan dengan Antartika. Australia

terus mengecam tindakan Jepang karena menurutnya bahan ilmiah hanyalah alasan

Jepang semata untuk melakukan perburuan paus secara besar-besaran.

Berlandaskan UU EPBC Australia menjerat pelanggaran yang dilakukan Jepang

yang melakukan pembunuhan paus di Antartika.

Penelitian kesembilan adalah jurnal berjudul The International Whaling

Commission – Beyond Whaling yang ditulis oleh Andrew J. Wright, Mark P.

Simmonds, dan Barbara Galletti Vernazzani. 24 Jurnal ini membahas tentang IWC

dalam melampaui kasus terkait perpausan. International Whaling Commission

(IWC) telah berdiri sejak 1946 dengan tujuan menangani urusan perpausan di dunia

terkait konservasi yang tepat untuk mengatur stok ikan paus sehingga

memungkinkan adanya ketertiban dalam menjalankan industri perburuan paus.

Seiring berjalannnya waktu, IWC telah memperluas bidang minatnya untuk

memastikan konservasi paus yang lebih luas yang mana mencakup pengamatan

pada paus, sampah laut, polusi kimia dan suara, serta perubahan iklim. Dalam hal

ini, IWC telah berkembang pesat sejak 1990-an dan terus berlanjut. Salah satu

momentum penting dalam perkembangannya adalah pendirian Standing Working

Group on Environmental Concerns pada tahun 1996 dan Komite Konservasi IWC

pada tahun 2003. Melalui penelitian, lokakarya, resolusi dan kolaborasi dengan

24
Andrew J. Wright, et.al., The International Whaling Commission-Beyond Whaling, Frontiers in
Marine Science, Vol. 3 (2016), hal. 1-7, https://doi.org/10.3389/fmars.2016.00158.
18
berbagai pihak, IWC telah memajukan pemahaman tentang berbagai masalah dan

cara untuk mengelolanya dengan meningkatkan efektivitas. IWC kemungkinan

besar akan tetap aktif dalam upaya berkelanjutan untuk menangani masalah

perpausan termasuk masalah konservasi dan memastikan kelangsungan hidup

populasi perpausan di seluruh dunia.

Penelitian kesepuluh adalah jurnal berjudul Japanese Whaling and the

International Whaling Commission yang ditulis oleh Tea Barndt. 25 Melalui

pendekatan empiris dengan bantuan teknik regresi, jurnal ini menjelaskan mengenai

pengaruh larangan perburuan paus secara komersial di Jepang. Adapun faktor

paling signifikan dalam menentukan jumlah ikan paus yang dipanen adalah harga

ikan paus itu sendiri. Dengan demikian, itu menunjukkan bahwa pengaruh utama

dibalik perburuan paus adalah kekuatan pasar. Larangan perburuan paus ternyata

tidak memberikan dampak yang signifikan dalam menentukan jumlah paus yang

dipanen. Hal itu bisa terjadi karena berbagai hal. Salah satunya yakni adanya

pengaruh politik dan campur tangan birokrasi dalam keanggotaan IWC yang

menyebabkan pengawasan kurang efektif dalam urusan perburuan paus secara

ilmiah yang dilakukan oleh Jepang.

Secara umum penelitian-penelitian terdahulu diatas dan penelitian ini

memiliki kesamaan yaitu International Whaling Commission (IWC) sebagai tema

sentral, namun memiliki perbedaan yang cukup jelas pada objek penelitian dan

fokus pembahasannya sehingga penelitian yang akan diteliti oleh penulis memiliki

25
Tea Barndt, Japanese Whaling and The International Whaling Commission, Student Research
Submissions, No. 314 (2020), https://scholar.umw.edu/student_research/314.
19
kebaharuan karena belum pernah di teliti sebelumnya. Penelitian pertama berfokus

pada pengaruh Jepang dan mandat IWC dalam kasus perlakuan lumba-lumba di

Taiji, Jepang. Penelitian kedua berfokus pada kegagalan perubahan norma pada

IWC terkait kasus perburuan paus secara komersial. Penelitian ketiga berfokus pada

tanggung jawab negara terhadap tindakan perburuan paus secara ilegal berdasarkan

perspektif International Convention for Regulation of Whaling (ICRW) yang

menjadi landasan berjalannya IWC. Penelitian keempat berfokus pada resiko

International Whaling Commission (IWC) dan North Atlantic Marine Mammal

Commission yang bersifat konsensual dan koersi. Penelitian kelima berfokus pada

program-program penelitian paus yang dilakukan oleh Jepang yang ditinjau dari

International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang menjadi

landasan implementasi IWC. Penelitian keenam berfokus pada konvensi, hukum-

hukum, maupun perjanjian internasional dalam upaya penanganan penangkapan

ikan paus di dunia yang tertuang pada International Convention for the Regulation

of Whaling (ICRW) yang mana menjadi landasan berdirinya International Whaling

Commission (IWC). Penelitian ketujuh berfokus pada efektivitas IWC dalam

menangani perburuan lumba-lumba di Taiji, Jepang atau yang biasa dikenal dengan

Taiji Drive Hunt pada tahun 2013-2017. Penelitian kedelapan berfokus pada

pertentangan antara Jepang dengan Australia terkait program penelitian paus

dibawah keanggotaan IWC. Penelitian kesembilan berfokus pada IWC itu sendiri

dalam menangani masalah perpausan di dunia termasuk konservasi dalam jangka

panjang. Penelitian kesepuluh berfokus pada pengaruh larangan perburuan paus

20
secara komersial oleh IWC di Jepang. Sedangkan penelitian ini berfokus pada

efektivitas peran IWC dalam menangani kasus perburuan paus di Norwegia.

Tabel 1.1

Posisi Penelitian

Jenis Penelitian
Judul dan
No. (Metode /Teori Hasil
Nama Peneliti
/Konsep)
1. Jurnal : Pendekatan Dalam implementasinya, IWC
Implementasi neorealisme banyak mendapatkan pengaruh
Mandat dari Jepang akibat kekuatan
International domestik dan sumber daya
Whaling organisasi yang dimilikinya.
Commission Hal itu menyebabkan berbagai
(IWC) dalam ambiguitas mulai dari
Kasus Perlakuan pendefinisian ‘whales’, izin
Lumba-Lumba perburuan paus, hingga teknis
di Taiji, Jepang dalam mengambil keputusan
Penulis : yang seringkali menimbulkan
Merryn Ester pro-kontra. Hasilnya, IWC
Augina hingga saat ini belum dapat
dikatakan berhasil karena
ekploitasi paus terus terjadi.
2. Judul : Arrested Pendekatan siklus Perburuan paus masih menjadi
Development: hidup norma polemik antar negara di dunia,
The Flight to namun populasi paus berhak
End Commercial untuk dipertimbangkan sebagai
Whaling as a entitas moral dengan
Case of Failed memberikan hak hidup. IWC
Norm Change seringkali membuat norma-
Penulis : norma untuk dilakukan oleh
Jennifer L. negara-negara anggotanya
Bailey tetapi masih saja ada yang
mengajukan keberatan seperti
Jepang, Norwegia, dan Islandia.
Mulanya norma hadir dan
mendapat banyak dukungan
sejalan kondisi kritis masa itu,
namun mereka berusaha untuk
membalikkan cengkeraman
secara proteksionis pada IWC
dengan berpindah ke program

21
penelitian sebagai alasan dalam
memburu ikan paus.
3. Judul : - Pendekatan Semakin suatu negara memiliki
Tanggung Jawab yuridis normatif kesadaran untuk
Negara terhadap - Teori Resiko bertanggungjawab terhadap
Tindakan (risk theory) perlindungan populasi ikan
Peburuan Ikan - Teori kesalahan paus, semakin menandakan
Paus secara (fault theory) bahwa implementasi agenda
Ilegal - Metode dan norma IWC telah berjalan
Berdasarkan deskriptif- dengan semestinya. Untuk
Perspektif kualitatif memaksimalkan tugasnya, IWC
International mengadakan pertemuan
Convention for tahunan sehingga pengawasan
Regulation of terhadap negara-negara anggota
Whaling terlaksana dengan baik. IWC
(ICRW) selalu melaporkan negara-
Penulis : Dwi negara yang melakukan
Arum Ariani pelanggaran dan memberikan
gagasan untuk melindungi ikan
paus contohnya melalui
pembetukan komite ilmiah.
Hasilnya cukup signifikan yang
dibuktikan dengan tanggung
jawab beberapa negara yang
berhasil menciptakan Santuary
atau tempat perlindungan ikan
paus.
4. Judul : The - Analisis melalui Perlindungan paus dapat terjadi
International interdependensi apabila organisasi internasional
Whaling dalam suatu yang struktur pengambilan
Commission and kelompok keputusannya berhasil
the North - Analisis melalui diterapkan oleh negara serta
Atlantic Marine pengambilan kelompok kepentingan anti
Mammal kebijakan suatu perburuan paus dan negara-
Commission : negara negara bersedia menggunakan
The Institutional kekuatan, betapapun
Risks of terbatasnya untuk membuat
Coercion in keputusan lebih efektif.
Consensual Amerika Serikat, misalnya,
Structures melanjutkan tujuan IWC
Penulis : David melalui dua potongan
D. Caron perundang-undangannnya
yakni the 1971 Pelly
Amendment dan the 1979
Packwood-Magnuson
Amendment dengan membatasi
22
kegiatan perdagangan dalam
sektor perikanan kepada negara
yang melanggar aturan IWC.
5. Judul : Program Pendekatan yuridis Akibat ambiguitas dalam
Penelitian Paus normatif ICRW, Jepang mengambil
oleh Jepang celah terkait pelegalan
Ditinjau dari perburuan paus untuk
International kepentingan ilmiah. Jepang
Convention for seringkali mengajukan proposal
the Regulation of program penelitian paus alih-
Whaling alih untuk melakukan
Penulis : Farah perburuan paus seperti JARPA
Elsa Nova II pada tahun 2014. Meskipun
mulanya IWC melihat program
itu masih dalam batas wajar,
namun seiring berjalannya
waktu banyak yang menentang
seperti Australia. Menanggapi
hal itu, Jepang menghentikan
JARPA II, namun mengajukan
program penelitian paus
barunya yang bernama New
Scientific Whale Research
Program in the Antarctic
Ocean (NEWREP-A). Jepang
terus berupaya untuk
melakukan perburuan paus,
meskipun dinilai melanggar
ketentuan IWC dalam ICRW.
6. Judul : Whaling - Analisis dengan Sebagai respon atas tindakan
and meninjau perburuan paus, muncul suatu
International ketentuan konvensi yaitu International
Law and Order hukum Convention for the Regulation
Penulis : Sidney internasional of Whaling (ICRW), yang
J. Holt - Analisis melalui menjadi landasan berdirinya
organisasi International Whaling
internasional Commission (IWC). IWC
menjadi suatu organisasi yang
dapat menyampaikan ‘order’
dalam upaya menangani
maraknya perburuan paus
melalui norma yang disepakati
telah bersama oleh negara-
negara anggotanya.

23
7. Judul : Analisis melalui
Jika dilihat dari regulasi yang
Efektivitas organisasi ada, kemudian dikolaborasikan
International internasional dengan implementasi IWC,
Whaling maka belum ditemukan titik
Commission keberhasilan. Hal itu
(IWC) dalam dikarenakan ada disfungsi pada
Perburuan peran IWC dan ambiguitas pada
Lumba-Lumba ICRW sehingga negara
‘Taiji Drive anggotanya sendiri bisa salah
Hunt’ di Taiji tafsir. IWC dianggap tidak
Jepang 2013- memiliki kapabilitas yang
2017 cukup untuk menghadapi
Penulis : Addien konversi kekuatan negara-
Mirza Pratama negara anggotanya yang
dibuktikan dengan adanya
kendali yang kuat dari Jepang
karena memiliki sumber daya
organisasi dan kekuatan
domestik yang besar.
8. Judul : Dispute Analisis dengan Akibat keberatan Jepang
Concerning meninjau terhadap pelarangan perburuan
Japan’s JARPA kepentingan paus oleh IWC, Jepang
II Program of nasional mendapat ancaman dari AS
“Scientific bahwa AS tidak segan-segan
Whaling” menghilangkan Japanese
(Australia v. fishing di Zona Ekonomi
Japan): A. Eksklusif AS. Jepang kemudian
Backgrounder menarik keberatannya dan
Penulis : Donald bersedia menghentikan
K. Anton perburuan paus secara
komersial di akhir 1987, namun
di waktu yang berdekatan
Jepang juga menyampaikan
bahwa akan tetap mengambil
paus sebagai tujuan ilmiah yang
mana izin khusus telah diatur
berdasarkan pasal VIII ICRW.
Di bawah perlindungan JARPA
dan JARPA II, Jepang
melakukan perburuan paus
secara besar-besaran.
Menanggapi hal itu, Australia
yang merupakan negara kontra
terhadap perburuan paus mulai
mendirikan the Australia Whale
Sanctuary (AWS) untuk
24
menjerat Jepang berlandaskan
perundang-undangan di bawah
lindungan AWS itu sendiri di
Zona Ekonomi Eksklusifnya.
9. Judul : The Analisis dengan Dalam upayanya untuk
International memperhitungkan menangani kasus perburuan
Whaling dampak kumulatif paus, IWC memperluas bidang
Commission – minatnya terkait perpausan. Hal
Beyond Whaling itu mencakup pengamatan pada
Penulis : paus melalui penelitian dan
Andrew J. konservasi, juga masalah-
Wright, Mark P. masalah yang berkaitan dengan
Simmonds, dan kelangsungan hidup paus
Barbara Galletti seperti sampah plastik, polusi
Vernazzani kimia dan suara, serta
perubahan iklim. IWC terus
aktif dalam menangani
perpausan agar menciptakan
konservasi berkelanjutan di
dunia.
10. Judul : - Pendekatan Perburuan paus oleh Jepang
Japanese empiris selain merupakan tradisi juga
Whaling and the - Teknik regresi dilatarbelakangi oleh kekuatan
International permintaan pasar. Meskipun
Whaling IWC sudah mengeluarkan
Commission larangan, namun sulit untuk
Penulis : Tea benar-benar
Barndt diimplementasikan. Hal itu
karena adanya pengaruh politik
dan campur tangan Jepang
dalam IWC sehingga
menyebabkan pengawasan
tidak efektif.
11. Judul : Teori Efektivitas Peran IWC dalam menangani
Efektivitas Rezim perburuan paus di Norwegia
Peran Internasional dinilai tidak efektif karena
International berdasarkan teori efektivitas
Whaling rezim internasional, baik
Commission output, outcome, maupun
(IWC) dalam impact yang dihasilkan dari
Menangani analisis peran IWC terhadap
Whaling di perburuan paus di Norwegia
Norwegia tidak terpenuhi atau bernilai
Penulis : Mega negatif. Meskipun IWC telah
Nanda Pratiwi berupaya untuk menengahi
keberatan yang diajukan oleh
25
Norwegia pasca peberlakuan
moratorium tahun 1986, namun
Norwegia tetap tidak patuh
terhadap peraturan yang ada.
Norwegia justru membuat
kebijakan domestiknya di luar
IWC.

1.5 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan landasan teori yang merujuk

pada nilai-nilai efektivitas rezim internasional sehingga penulis dapat menganalisis

tingkat keefektivitasan International whaling commission (IWC) dalam menangani

whaling di Norwegia dan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektivitasan

tersebut. Efektivitas rezim adalah bentuk keberhasilan dari suatu rezim yang diukur

dari usaha dalam membangun kerjasama dan pengimplementasian rezim yang

sesuai dengan fungsinya dalam memecahkan isu yang menjadi latar belakang

terbentuknya rezim. Implementasi rezim yang dimaksud dicerminkan dari perilaku-

perilaku aktor yang terlibat. Bentuk implementasi dan pelaksanaan fungsi rezim

pada masalah yang diselesaikan menjadi ukuran keberhasilan suatu rezim.

Kekuatan rezim dalam menjalankan fungsinya dapat berpengaruh terhadap

keefektifan rezim itu sendiri sehingga semakin kuat rezim dalam memecahkan

masalah semakin efektif pula rezim tersebut. Menurut Underdal, terdapat dua

variabel yang dapat digunakan untuk menganalisis efektivitas rezim internasional

yaitu variabel independen dan variabel dependen. 26

26
Arild Underdal, The Concept of Regime ‘Effectiveness,’ Cooperation and Conflict, No. 3,
(September, 1992), hal. 227-240, https://doi.org/10.1177/0010836792027003001.
26
Variabel Dependen

Underdal mengukur nilai efektivitas rezim dengan berdasar pada hubungan

sebab-akibat yang menjadi suatu peristiwa dari output (keluaran), outcome (hasil),

dan impact (dampak), yang merupakan titik awal analisis masalah. 27 Variabel-

variabel itu dapat menjadi tolak ukur variabel dependen. Nilai positif dalam

akumulasi variabel-variabel tersebut tentu memberikan nilai yang positif pula

dalam efektivitas suatu rezim internasional.

Output adalah bentuk kesepakatan suatu rezim yang terdiri dari

pengorganisasian, program, dan aturan yang ditetapkan oleh para anggota dalam

rangka mengoprasionalkan ketentuan yang ada sehingga hal-hal yang mulanya

hanya berupa kesepakatan antar pihak dapat diwujudkan dalam proses

pembentukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Output terbagi dalam dua

level yang mana dinilai mencapai level satu apabila tujuan rezim telah terwujud dan

menjadi perjanjian resmi antar anggota, kemudian dinilai mencapai level dua

apabila terdapat langkah-langkah domestik yang dilakukan negara dalam mengikuti

perubahan suatu kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam tujuan rezim.

Outcome merupakan suatu perubahan perilaku pada suatu obyek yang

terkena dampak dari ketentuan yang berlaku dalam sebuah rezim. Selama masa

rezim berlaku kemudian muncul perilaku yang sesuai dengan tujuan awal

terbentuknya rezim, maka outcome akan bernilai positif. Apabila setelah rezim

27
Ibid.
27
berlaku tidak ada perubahan perilaku yang sesuai dengan tujuan dan sasaran dari

terbentuknya rezim maka outcome akan bernilai negatif.

Impact merupakan respon dari adanya implementasi sebuah rezim terkait

perilaku anggota yang terikat dengan rezim. Impact berkaitan dengan tingkat

keberhasilan dari efektivitas rezim yang ada dalam menangani masalah yang

menjadi dasar dari pemikiran dalam membentuk rezim. Hal itu dapat dilihat dari

ketaatan anggota rezim dalam mengikuti aturan yang telah diatur. Impact akan

bernilai positif jika dianggap memberikan respon yang baik dengan menunjukkan

keberhasilan suatu rezim dalam menangani masalah dan mencapai sasaran yang

menjadi dasar terbentuknya rezim. Sebaliknya, akan bernilai negatif jika tidak

memberikan dampak apapun.

Analisis efektivitas peran IWC dalam menangani perburuan paus dapat

ditentukan dengan menilik fungsi dari output, outcome, dan impact yang ada. Jika

output, outcome, dan impact bernilai positif atau tujuan utama rezim dapat tercapai

maka peran International Whaling Commission (IWC) bernilai efektif. Begitu pula

sebaliknya, jika output, outcome, dan impact bernilai negatif atau tujuan utama

terbentuknya rezim tidak tercapai dengan semestinya maka peran dalam menangani

whaling bernilai tidak efektif.

Variabel Independen

Kemudian, Underdal juga menggunakan variabel independen dengan

berdasar pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas berupa tipe

permasalahan dan kapasitas aktor untuk mencari tahu alasan hasil analisis bersifat
28
malign atau benign. Variabel independen mencakup kualitas rezim internasional

dalam menangani suatu permasalahan. Untuk menguraikan variabel independen

tersebut terdapat 3 komponen utama yakni problem malignancy (kerumitan

masalah), problem solving capacity (kapasitas dalam menyelasaikan masalah), dan

level of collaboration (level kolaborasi).

Komponen problem malignancy atau kerumitan masalah mencakup 3 poin

utama yaitu incongruity, asymmetry, dan cumulative cleavages.28 Incongurity dapat

diartikan sebagai tidak adanya kesepahaman antar negara anggota dalam sebuah

rezim internasional. Incongruity dipengaruhi oleh pertimbangan cost and benefit

yang dapat melahirkan bias atas dasar pertimbangan konsekuensi material,

perspektif yang digunakan dalam menghadapi kalkulasi cost and benefit itu sendiri

ataupun keduanya. Asymmetry atau kesenjangan merupakan nilai dimana negara-

negara yang terlibat dalam rezim tersebut berhubungan secara negatif dalam hal

nilai ataupun kepentingan dengan kata lain kepentingan nasional yang berbeda

dapat menggambarkan masalah yang terjadi. Cumulative cleavages diartikan

sebagai perbedaan-perbedaan yang terakumulasi sehingga menimbulkan

perpecahan, yang juga merupakan keadaan dimana negara-negara dalam rezim

tertentu akan terus berada pada posisi yang sama dalam setiap dimensi rezim, ketika

kalah maka negara tersebut akan selalu kalah dan sebaliknya.

Komponen problem solving capacity atau kapasitas penyelesaian masalah

erat kaitannya dengan problem malignancy. Semakin besar kapasitas suatu rezim

28
Ibid.
29
dalam menyelesaikan masalah yang malign, semakin besar pula peluang untuk

menyelesaikan masalah yang kerumitannya tinggi. Problem solving capacity

dipengaruhi oleh tiga determinan utama yaitu institutional setting (pengaturan

kelembagaan), distribution of power (pembagian kekuasaan) antar aktor, serta skill

and energy yang tercipta ketika membangun kerjasama yang solutif. Institutional

setting diartikan sebagai kemampuan rezim dalam mengontrol anggotanya melalui

agenda yang dugunakan sebagai acuan anggota-anggota terkait untuk menjalankan

perannya. Distribution of power merupakan pembagian kekuatan atau kekuasaan di

antara aktor yang terlibat yang kemudian memunculkan aktor dominan sebagai

pemimpin tetapi memiliki kepatuhan yang kuat. Skill and energy merupakan dua

hal yang digunakan untuk mencari solusi yang kooperatif. Semakin besar skill and

energy yang dimiliki oleh suatu rezim, maka efektivitas rezim akan tercapai. Ada 2

unsur yang membentuk skill and energy yakni instrumental leadership dan

epistemic community.

Setelah menganalisis kerumitan masalah dan kapasitas penyelesaian

masalah tersebut, maka akan digunakan komponen level of collaboration atau level

kolaborasi dalam menemukan hasil keefektivitasan sebuah rezim. Underdal

menggunakan 6 skala yang disebut dengan six points ordinalscale untuk mengukur

tingkat koordinasi anggota rezim. Pada skala (0) terdapat musyawarah bersama

tetapi tidak ditemukan ada aksi bersama; skala (1) yaitu adanya koordinasi tindakan

berdasarkan pemahaman masing-masing dengan kata lain tidak tertulis secara

eksplisit; skala (2) adalah muncul koordinasi tindakan berdasarkan peraturan atau

standar yang dirumuskan secara eksplisit tetapi implementasi secara penuh berada
30
di tangan pemerintah nasional dan tidak ada penilaian efektivitas tindakan terpusat

yang dilakukan; skala (3) yaitu adanya koordinasi tindakan yang berdasar pada

aturan atau standar secara eksplisit, implementasi diatur oleh pemerintah nasional

dengan adanya penilaian terpusat; pada skala (4) ditemukan perencanaan yang

terkoordinasi tetapi implementasi hanya pada tingkat nasional, terdapat penilaian

terkait efektivitas suatu tindakan; skala (5) yaitu adanya koordinasi melalui

perencanaan dan implementasi yang terintegrasi sepenuhnya, serta adanya

penilaian efektivitas suatu tindakan.

Gambar 1.1

Kerangka Efektivitas Rezim Internasional

Problem Malignancy:
 Incongruity
 Asymmetry
 Cumulative Cleavages
Regime Effectiveness:
 Behavioural
Level of
Change
Collaboration
 Technical
Problem Solving Capacity: Optimum
 Institutional setting
 Distribution of Power
 Skill and Energy;
Instrumental leadership and
epistemic communities

Dengan adanya bantuan variabel independen, peneliti dapat melihat secara

rinci permasalahan yang diorganisir oleh IWC sebagai rezim. Jika level koordinasi

dari kualitas kinerja IWC dalam menangani whaling baik ditandai dengan tidak

adanya problem malignancy ataupun problem malignancy dapat diatasi dengan

mekanisme problem solving yang baik maka akan berpengaruh positif terhadap

31
efektivitas peran IWC itu sendiri. Apabila cenderung bersifat malign yang ditandai

dengan adanya problem malignancy dan mekanisme problem solving yang

terbilang tidak mampu mengatasi suatu permasalahan, maka akan berpengaruh

negatif terhadap efektivitas peran IWC.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis untuk menganalisis alasan

International Whaling Commission (IWC) dalam menangani whaling di

Norwegia adalah jenis penelitian eksplanatif. Penelitian eksplanatif

merupakan penelitian yang menyoroti hubungan antar variabel dengan

menggunakan kerangka pemikiran terlebih dahulu, kemudian dirumuskan

dalam bentuk hipotesis. 29 Secara sederhana, penelitian eksplanatif dapat

dimaknai sebagai penelitian yang berusaha memaparkan sebab-akibat.30

Dalam hal ini, penulis akan melihat hubungan antara variabel x

dengan variabel y dari penelitian ini yang kemudian akan disimpulkan

dalam sebuah hipotesa antara hubungan kedua variabel tersebut. Variabel x

dalam penelitian ini adalah keefektivitasan IWC dalam menangani whaling

di Norwegia, sedangkan variabel y-nya adalah faktor-faktor yang

29
Prof. Dr. Suryana, Metodologi Penelitian: Metode Praktis Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif
(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010).
30
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin Dan Metodologi (Jakarta: LP3ES,
1990).
32
mempengaruhi keefektivitasan IWC tersebut. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa hipotesa antara hubungan kedua variabel itu adalah

keefektivitasan IWC dalam menangani whaling di Norwegia didorong oleh

beberapa faktor yang akan dipaparkan melalui teori efektivitas rezim.

1.6.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian

ini adalah teknik analisis data kualitatif yang mana penulis menjawab

masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa narasi yang

bersumber dari pengamatan dan pengalian dokumen. Pengertian dari

kualitatif adalah penelitian dengan pengolahan serta perolehan hasil yang

tidak menggunakan data yang bersifat numerik (pengukuran,

perhitungan).31 Menurut Sugiyono penelitian kualitatif mengkaji perspektif

partisipan dengan strategi-strategi yang bersifat interaktif dan fleksibel.

Dengan begitu, yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah

ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam,

rinci, dan tuntas. Analisis data yang menggunakan metode kualitatif

menyatu dengan aktivitas pengumpulan data, reduksi data, penyajian data,


32
dan penyimpulan hasil penelitian. Dengan begitu, penulis dapat

menganalisis data dengan mengumpulkan fakta-fakta secara rinci termasuk

alasan IWC dalam menangani whaling di Norwegia.

31
Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif, Journal Equilibrium, Vol. 5, No.3, 2009, hal. 2.
32
Ahmad Rijali, Analisis Data Kualitatif, Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 17, No. 33 (2018),
hal. 94-95, https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i33.2374.
33
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua pendekatan dalam

teknik pengumpulan data yaitu archive based research (studi kepustakaan)

dan internet based research dengan mengumpulkan berbagai macam

referensi yang terdiri dari literatur, jurnal, arsip, dokumen, berita, dan

sebagainya. 33 Dalam teknik pengumpulan data ini terdapat dua jenis data

yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang

bersifat first handed, atau official (resmi) yang biasa berbentuk dokumen

negara, organisasi, laporan resmi, arsip, dan sebagainya, sedangkan data

sekunder adalah data yang bersifat second handed, atau data yang berasal

dari data primer tetapi telah melalui perantara (media, cetakan, pengutipan

orang kedua) yang tidak diperoleh oleh pihak pertama. 34

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

1.6.4.1 Batasan Materi

Peneliti memberikan batasan materi dalam penelitian ini agar tetap

terfokus pada sasaran penelitian. Peneliti berfokus pada analisis alasan IWC

kurang efektif dalam menangani whaling di Norwegia.

1.6.4.2 Batasan Waktu

Peneliti memberikan batasan waktu dalam penelitian ini mulai dari

terbentuknya International Whaling Commission (IWC) pada tahun 1948

33
Mochtar Mas’oed, Loc. Cit.
34
Ibid.
34
hingga tahun 2019 yang mana Norwegia masih menjadi negara anggota

IWC. Selain itu, laporan hasil tangkapan ikan paus yang telah dipublikasi

oleh IWC terakhir adalah tahun 2019.

1.7 Hipotesa

Di dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis alasan International

Whaling Commission (IWC) kurang efektif dalam menangani whaling di Norwegia.

Penulis akan menghubungkan kedua fokus analisis tersebut melalui teori efektivitas

rezim yang dikemukakan oleh Arild Underdal. Underdal menggunakan dua

variabel untuk menganalisis efektivitas rezim internasional, yaitu variabel

dependen untuk mengukur keefektivitasan IWC dalam menangani whaling di

Norwegia dan variabel independen untuk menganalisis faktor-faktor pendukung

keefektivitasan tersebut. Underdal mengukur variabel dependen dengan berdasar

pada hubungan sebab-akibat yang menjadi suatu peristiwa dari output (keluaran),

outcome (hasil), dan impact (dampak). Sedangkan, variabel independen diuraikan

ke dalam 3 komponen utama yakni problem malignancy (kerumitan masalah),

problem solving capacity (kapasitas dalam menyelasaikan masalah), dan level of

collaboration (level kolaborasi). Nilai positif dalam akumulasi variabel-variabel

tersebut tentu memberikan nilai yang positif pula dalam efektivitas peran IWC.

Begitupun sebaliknya nilai negatif akan memberikan nilai yang negatif pula.

Berdasarkan latar belakang dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan,

maka didapatkan dua hipotesa. Hipotesa pertama yaitu pada analisis menggunakan

35
variabel dependen memberikan hasil yang malign atau negatif. Berbagai output

yang dikeluarkan oleh International Whaling Commission (IWC) yang mengarah

pada upaya pembatasan penangkapan ikan paus untuk kebutuhan komersial dinilai

malign karena kurang berpengaruh pada kebijakan domestik Norwegia. Kemudian

outcome yang nampak nyata yakni kurang adanya perubahan perilaku Norwegia

secara signifikan. Hal itu dikarenakan laporan jumlah hasil paus yang diburu oleh

Norwegia tidak juga menurun secara berkala. Output dan outcome yang bernilai

negatif tersebut tentu memberikan impact yang bernilai negatif pula.

Kemudian, hipotesa kedua yaitu pada analisis melalui variabel independen

menunjukkan bahwa problem malignancy hadir sebagai akibat dari adanya

perbedaan kepentingan nasional yang mana kemudian memunculkan kesenjangan

antara Norwegia sebagai negara pro whaling dengan negara lainnya yang menjadi

pihak kontra whaling. Norwegia masih menunjukkan angka perburuan paus yang

secara komersial. Hal itu menjadi bukti bahwa problem solving capacity yang

dimiliki oleh IWC belum cukup kuat dalam mengontrol dan menangani

pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggotanya karena IWC tidak memiliki

power dalam mengikat yang berupa sanksi atau hukuman. Dengan begitu, level of

collaboration IWC dapat dikatakan berada pada skala 3 yaitu terdapat koordinasi

tindakan berdasarkan peraturan yang ada, implementasi berada di tangan

pemerintah nasional dengan adanya penilaian terpusat.

36
1.8 Sistematika Penulisan

Bab 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Teori Efektivitas Rezim
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
1.6.2 Teknik Analisis Data
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Batasan Materi
1.6.4.2 Batasan Waktu
1.7 Metodologi Penelitian
1.8 Sistematika Penulisan
Bab II INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC) DAN
KEANGGOTAAN NORWEGIA
2.1 International Whaling Commission (IWC)
2.1.1 Sejarah International Convention for the Regulation
of Whaling (ICRW) sebagai Respon Penurunan
Populasi Paus di Dunia
2.1.2 International Whaling Commission (IWC) sebagai
Implementasi Regulasi Internasional
2.2 Dinamika Whaling di Norwegia dan Keanggotaannya dalam
International Whaling Commission (IWC)

2.2.1 Sejarah dan Perkembangan Whaling di


Norwegia
2.2.2 Keanggotaan Norwegia dalam International
Whaling Commission (IWC)
2.3 Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam
Menangani Whaling di Norwegia

Bab III ANALISIS KEEFEKTIVITASAN INTERNATIONAL


WHALING COMMISSION (IWC) DALAM MENANGANI
WHALING DI NORWEGIA
37
3.1 Output (Keluaran)
3.2 Outcome (Hasil)
3.3 Impact (Dampak)

Bab IV ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KETIDAKEFEKTIVITASAN INTERNATIONAL WHALING
COMMISSION (IWC) DALAM MENANGANI WHALING DI
NORWEGIA
4.1 Problem Malignancy (Kerumitan Masalah)
4.2 Problem Solving Capacity (Kapasitas dalam
Menyelesaikan Masalah)
4.3 Level of Collaboration (Level Kolaborasi)

Bab 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

38

Anda mungkin juga menyukai