Anda di halaman 1dari 49

1. PROF. DR. IR. M. RAMLI RAHIM, M.ENG.

2. PROF. DR. IR. BAHARUDDIN HAMZAH, ST. M.ARCH., PH.D.


3. DR. IR. NURUL JAMALA BANGSAWAN, MT.
4. DR-ENG. ROSADY MULYADI, ST. MT.
5. DR-ENG. ASNIAWATY KUSNO, ST. MT.
6. IR. MUHAMMAD TAUFIK ISHAK, MT.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
TM 4
SUMBER CAHAYA DAN
LUMINANSI LANGIT

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Radiasi Surya
Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan matahari diterima
permukaan bumi, namun radiasi surya (matahari) merupakan sumber energi utama
untuk proses-proses fisika atmosfer. Proses-proses fisika atmosfer tersebut
menentukan keadaan cuaca dan iklim di atmosfer bumi kita ini.

Radiasi surya, yang merupakan gelombang elektromagnetik, dibangkitkan dari proses


fusi nuklir yang mengubah hidrogen menjadi helium. Permukaan matahari bersuhu
6000 K meskipun bagian dalamnya bersuhu jutaan derajat Kelvin. Dengan suhu
permukaan tersebut, radiasi yang dipancarkan berupa gelombang elektromagnetik
sebesar 73.5 juta watt tiap m2 permukaan matahari. Dengan jarak rata-rata matahari
bumi sejauh 150 juta km (Trewartha, 1968), radiasi yang dipuncak atmosfer rata-rata
sebesar 1360 Wm-2. Sedangkan radiasi surya yang sampai di permukaan bumi
(daratan atau lautan) hanya sekitar setengah dari yang diterima di puncak atmosfer,
karena sebagian akan diserap dan dipantulkan kembali ke angkasa luar oleh atmosfer
khususnya oleh awan. Rata-rata sebesar 30 % radiasi surya yang sampai dibumi
dipantulkan kembali ke angkasa luar (Wallace & Hobbs, 1977).

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Karakteristik Radiasi Surya dan Bumi

Setiap benda di alam yang bersuhu permukaan lebih besar


dari 0°K (atau –273°C) memancarkan radiasi yang
berbanding lurus dengan pangkat empat suhu
permukaannya (Hukum Stefan-Boltzman) pancaran radiasi
ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

F =   T s4 …(1)
Dimana F : Pancaran radiasi (Wm-2)
 : Emisivitas permukaan, bernilai satu untuk benda
hitam (black body radiation), sedangkan untuk benda-benda
alam berkisar 0.9 – 1.0
 : Tetapan Stefan-Boltzman (5.67 10-8 Wm-2)
Ts : Suhu permukaan (K)
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bagan spektrum elektromagenetik (a) dan spektrum dari emisi radiasi benda hitam pada berbagai suhu permukaan (b)

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Penerimaan Radiasi Surya di Permukaan Bumi

Penerimaan radiasi surya dipermukaan bumi sangat


bervariasi menurut tempat dan waktu. Menurut tempat
khususnya disebabkan oleh perbedaan letak lintang serta
keadaan atmosfer terutama awan. Pada skala mikro arah
lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima.
Menurut waktu, perbedaan radiasi terjadi dalam sehari (dari
pagi sampai sore hari) maupun secara musiman (dari hari ke
hari). Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan radiasi surya dipermukaan bumi secara makro.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Jarak antara matahari dan bumi
Bumi mengelilingi matahari (revolusi) dengan lintasan yang
berbentuk elips seperti terlihat pada Gambar 34. Jarak
antara matahari dan bumi terdekat terjadi tanggal 5 Juli
(aphelion) dan terjauh pada tanggal 3-5 Januari (perihelion).
Satu revolusi bumi memerlukan waktu satu tahun atau 365
hari. Namun karena matahari juga bergerak mengelilingi
bintang yang lebih besar, bumi tidak kembali ke titik awalnya
setelah mengelilingi matahari selama setahun. Oleh karena
sebab itu setiap empat tahun diadakan penyesuaian
waktu/tanggal dari 28 hari menjadi 29 hari pada bulan
Februari, yang dikenal dengan tahun kabisat.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Perbedaan jarak antara matahari dan bumi
menyebabkan perbedaan kerapatan fluks (Wm-2
kadang-kadang disebut Intensitas) radiasi surya yang
sampai dipermukaan bumi.
Hal ini dapat dijelaskan dengan persamaan 3. Pada
jarak matahari bumi yang berbeda (R1 dan R2) maka
kerapatan fluks radiasi surya yang diterima bumi
masing-masing sebesar Q1 dan Q2. Persamaan 3
menjelaskan bahwa jumlah energi radiasi yang
dipancarkan oleh permukaan matahari yang dihitung
dari berbagai jarak akan selalu sama, yang
merupakan hasil kali antara kerapatan fluks dengan
luas total yang menerimanya (4R2 = luas bola).
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Radiasi surya yang datang tegak lurus dipermukaan bumi disebut
dengan tatapan surya (solar constant). Nilai tetapan surya ini adalah
1360 Wm-2, dengan variasi antara 1-2 % disebabkan oleh variasi
pancaran radiasi di permukaan matahari.

Lintasan bumi mengelilingi matahari (a) dan tiga posisi matahari terhadap bumi (b). Sumber Trewartha (1968).

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Panjang hari dan sudut datang
Seandainya tidak ada atmosfer maka perbedaan penerimaan radiasi surya di
permukaan bumi pada suatu waktu tertentu disebabkan oleh sudut datang matahari.
Perbedaan tempat menurut letak lintang (latitude) disamping menyebabkan
perbedaan penerimaan kerapatan fluks radiasi surya, juga menyebabkan perbedaan
periode penerimaannya yang disebut panjang hari. Kutub utara dan selatan akan
mengalami panjang hari 24 jam (siang terus menerus) dan 0 jam (malam terus
menerus) masing-masing selama enam bulan dalam setahun. Sudut datang radiasi
surya dan panjang hari tersebut dapat dihitung dengan rumus berikut:

cos z = sin  sin  + cos  cos  cos h (4)


dimana: z : sudut antara garis normal dengan sinar datang (zenith angle)
 : letak lintang (0)
h : sudut waktu (24 jam = 3600)
 : sudut deklinasi surya (0) tergantung oleh waktu/tanggal (No) yang dapat dihitung
dengan:
 = -23.4 cos  (No + 10)/365) (5)
No adalah nomor hari dalam setahun, misalnya No = 1 pada tanggal 1 Januari dan No
= 32 pada tanggal 1 Februari.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Sudut datang sinar surya (zenith angle Z) yang tergantung oleh letak lintang dan waktu
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Lama Penyinaran Matahari

Dalam Kamus Pencahayaan Internasional (CIE Publication No. 50,


1987), nilai relatif dari lama penyinaran matahari (relative sunshine
duration) dijelaskan sebagai rasio dari lama penyinaran matahari yang
terjadi terhadap kemungkinan maksimum lama penyinaran matahari
dalam waktu/periode tertentu dan umumnya nilai tersebut dinyatakan
dalam % dengan simbol (s).
Berkaitan dengan interval waktu peninjauan/ evaluasi dan pengaruh
ketinggian matahari, nilai relatif lama penyinaran matahari
dikelompokkan atas
sy : nilai rata-rata tahunan lama penyinaran matahari (monthly
mean value of sunshine duration)
sm : nilai rata-rata bulanan lama penyinaran matahari (yearly mean
value of sunshine duration)
sh : nilai rata-rata dalam harian/jam lama penyinaran matahari (hourly
mean value of sunshine duration)
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Pengaruh Ketinggian Matahari
Peluang terjadinya ketiga jenis kondisi langit (cerah, berawan dan
mendung) pada suatu tempat akan berkaitan dengan kondisi cuaca
tahunan. Dalam hal ini, nilai rata-rata lama penyinaran matahari
diadopsi sebagai suatu indeks cuaca tahunan. Selanjutnya dengan
memasukkan pertimbangan tentang ketinggian matahari, probabilitas
tahunan terjadinya ketiga jenis kondisi langit (Pcl, Pin, Poc) untuk
masing-masing ketinggian matahari dapat diestimasi berdasarkan nilai
rata-rata tahunan dari lama penyinaran matahari (sy) sebagai fungsi
dari ketinggian matahari (gs). Sebagai penyederhanaan, pengaruh dari
karakteristik cuaca dalam hal ini diabaikan dan hanya
mempertimbangkan komponen kesesuaian pada variasi harian dari nilai
relatif lama penyinaran matahari.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Luminansi Langit
Pencahayaan alami siang hari dimaksudkan untuk mendapatkan
pencahayaan di dalam bangunan pada siang hari dari cahaya alami.
Manfaat cahaya alami adalah dapat memberi lingkungan visual yang
menyenangkan dan nyaman dengan kualitas cahaya yang mirip dengan
kondisi alami di luar bangunan. Disamping itu juga dapat mengurangi
atau meniadakan pencahayaan buatan, sehingga dapat mengurangi
penggunaan energi listrik.
Untuk merancang pencahayaan alami, perlu diketahui ketersediaan
cahaya alami yang diterima di lokasi yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan cahaya alami (siang hari) adalah cahaya matahari
langsung dan cahaya matahari difus/bias. Selanjutnya cahaya matahari
langsung disebut cahaya matahari dan cahaya matahari difus disebut
cahaya langit.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Ketersediaan cahaya alami siang hari dipengaruhi oleh:
Letak geografis, terutama jarak terhadap khatulistiwa atau
derajat lintang, Iklim, terutama kondisi langit yang
dipengaruhi oleh jumlah dan jenis awan yang akan berkaitan
dengan lama penyinaran matahari yang diterima di
permukaan.

Kondisi langit berdasarkan jumlah dan jenis awan, dapat


dikelompokkan menjadi:
Langit yang seluruhnya tertutup awan putih atau abu-abu
putih atau awan tebal sebagian atau seluruhnya (Overcast
Sky).
Langit yang sebagian tertutup awan dengan berbagai jenis
dan jumlah awan (Intermediate Sky).
Langit tanpa awan (Clear Sky).
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Distribusi Luminansi Langit
Pemahaman tentang distribusi luminansi langit sangat diperlukan sebagai suatu
sumber acuan untuk berbagai perhitungan dan prediksi pencahayaan dalam
perancangan pencahayaan, baik dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas
interior/ lingkungan bangunan maupun dalam upaya konservasi energi dari
penggunaan pencahayaan buatan. Hingga saat ini Komisi Pencahayaan International
(CIE - Commission Internationale de l'Eclairage) telah menetapkan dua buah standar
internasional tentang distribusi luminansi langit; masing-masing: Standar Langit
Mendung (Standard Overcast Sky) untuk kondisi langit mendung pada tahun 1955 dan
Standar Langit Biru/Cerah (Standard Clear Sky) untuk kondisi langit cerah pada tahun
1973.
Dalam perkembangan aplikasi, pengamatan dan pengukuran data, kenyataan
menunjukkan bahwa di berbagai belahan bumi ini khususnya di sekitar khatulistiwa
terdapat kondisi langit nyata yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam salah satu
diantara standar distribusi luminansi langit yang telah ditetapkan. Kondisi langit
tersebut adalah 'langit berawan', suatu kondisi langit diantara langit mendung dan
langit cerah yang pada akhirnya dikenalkan dengan istilah Intermediate Sky Condition.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Ilustrasi kondisi langit berawan total

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Ilustrasi kondisi langit cerah

Ilustrasi kondisi langit cerah


LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Ilustrasi kondisi langit berawan

Ilustrasi kondisi langit berawan


LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Z

Surya
P


s 

 N
s
Lrcl(gs,g, z) pada suatu elemen langit P dalam sistim kubah langit yang ditinjau dari lokasi
geografis tertentu O dengan penggunaan simbol-simbol gs, g, z , a, as dan Z (zenit).

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Langit Rata-Rata (Mean Sky)
Nakamura (1983,1986) mengetengahkan luminansi langit rata-rata
(Mean Sky) yang mengkombinasikan tiga jenis kondisi langit, termasuk
langit berawan (intermediate sky) dalam upaya mengestimasi
pencahayaan alami dalam bangunan dan memprediksi komsumsi listrik
untuk pencahayaan buatan (lampu) pada siang hari. Pada tahap awal,
luminansi langit rata-rata disusun dengan dasar perhitungan pada nilai
relatif dan luminansi langit dari masing-masing jenis kondisi langit.
Namun setelah melalui berbagai diskusi internasional dan masukan dari
berbagai ilmuan dan peneliti di bidang pencahayaan, pada akhirnya
luminansi langit rata-rata dihitung dengan dasar: nilai absolut luminasi
langit dari masing-masing jenis kondisi langit, frekuensi kejadiannya
pada posisi georafis tertentu, dan frekuensi keberadaan posisi matahari
dalam sistim kubah langit pada posisi/lokasi tertentu selama jam kerja.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Distribusi Luminansi Langit Rata-rata (Lme) di Jepang

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di China Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Korea

Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Paris Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Jakarta
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Bandung Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Surabaya

Distribusi Luminansi Langit Rata-rata di Makassar


LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Peluang Jenis Kondisi Langit (Cerah, Berawan dan Mendung)

Suatu metode untuk mengestimasi peluang terjadinya ketiga jenis


kondisi langit (probability of occurences of the three skies) telah
dikemukakan oleh Nakamura (1985, 1986, 1987) berdasarkan
penganalisaan dan pengujian data lama penyinaran matahari pada 8
stasiun pengukuran cuaca di Jepang selama tahun 1979 - 1984.
Dari berbagai pengujian melalui pemisahan jenis kondisi langit dengan
berbagai pendekatan matematis, akhirnya perhitungan koefisien dari
bagian detail ditentukan oleh hasil perkalian terkecil.

Dalam hal ini didasarkan pada asumsi bahwa peluang terjadinya kondisi
langit cerah adalah 0% bila nilai rata-rata bulanan lama penyinaran
matahari adalah 0 %. Selanjutnya peluang kondisi langit mendung
menjadi 0 % bila nilai rata-rata bulanan lama penyinaran matahari
sebesar 100 %
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
100

Pcl
80 Pin

Probablity of Occurrence (%)


Poc

60

40

20

0
0 25 50 75 100
1 101
Sunshine Duration (%)

Hubungan antara nilai lama penyinaran matahari


dengan peluang terjadinya ketiga jenis kondisi langit
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Rasio Awan
Rasio awan (Cv, Ce) adalah perbandingan antara nilai luminansi diffus (Evd) dan nilai
luminansi global (Evg) atau perbandingan antara nilai radiasi diffus (Eed) dan nilai
radiasi global (Eeg). Dengan nilai rasio awan, frekuensi terjadinya masing-masing
kondisi langit (cerah, berawan dan mendung) dapat ditetapkan.

Fluktuasi Harian Rasio Awan pada Kondisi

Langit Cerah Langit Berawan Langit Mendung


LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Pengaruh atmosfer bumi
Pada waktu radiasi surya memasuki sistem atmosfer menuju
permukaan bumi (daratan dan lautan), radiasi tersebut akan
dipengaruhi oleh gas-gas aerosol, serta awan yang ada di atmosfer.
Sebagian radiasi akan dipantulkan kembali ke angkasa luar, sebagian
akan diserap dan sisanya diteruskan di permukaan bumi berupa radiasi
langsung (direct) maupun radiasi baur (diffuse). Radiasi langsung
adalah radiasi yang tidak mengalami proses pembauran oleh molekul-
molekul udara, uap dan butir air serta debu di atmosfer seperti yang
terjadi pada radiasi baur. Jumlah kedua bentuk radiasi ini dikenal
dengan radiasi global. Contoh alat pengukur radiasi surya yang
terpasang pada stasiun-stasiun klimatologi (solarimeter atau
radiometer) untuk mengukur radiasi global,

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Evaluasi/Tugas 1
Membuat uraian tentang iklim (teori, aplikasi, pengukuran data,
evaluasi) dalam bentuk (pilihan):
Clipping materi dari buku/jurnal/internet + Simpulan/komentar.
Makalah yang disusun atas: Pendahuluan, Studi Pustaka, Studi
kasus/aplikasi dan Simpulan + Rujukan.
Terjemahan dari Textbook/Jurnal: Terjemahan, Simpulan dan Lampiran
copy materi.
Dibuat di Kertas Ukuran A4 atau dalam CD atau di kirim ke email:
yb8bri@yahoo.com (komputer font 12 Tahoma atau tulis tangan).

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Bacaan
Aydinli, S. et al. (1987): Guide on daylighting on building interiors, Chapter 10: Data
on daylight and solar radiation, Draft.
CIE (1973): Standardization of Luminance Distribution on Clear Skies, Publ. CIE No.
22 (TC-4.2).
CIE Secretariat Committee 3.2 (1955): Proceedings of 13th Session CIE Zurich, Vol.
II, part 3-2.
Gilette, R.et al. (1983): A daylighting computation procedure for use in DOE-2 and
other dynamic building energy analysis programs, Jour. I.E.S., Vol. 12, No. 2, 1983,
pp. 78-85.
Hopkinson, R.G. et al. (1966): Daylighting, London, Heinemann, 1996.
Kittler, R. (1967): Standardization of outdoor conditions for the calculation of daylight
factor with clear skies, Proc. of CIE Int. Conf., Sunlight in Building, Bouwcentrum
International, Rotterdam, pp. 273-285.
Kittler, R. (1984): Some comments and suggestions to the direction of the TC309
activities, TC309 Circular Letter No. 3, Appendix III (CL-3).
Kittler, R. (1985): Luminance distribution characteristics of homogeneous skies; A
measurement and prediction strategy, Light, Res. & Tech., Vol.17, No.4, 1985, pp.
183-188.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Bacaan
Kittler, R. (1986): Luminance models of homogeneous skies for design and energy
performance predictions, Proc. of International Daylighting Conference, Long Beach,
Vol. I, Nov. 1986, pp. 18-22.
Kittler, T. (1987) : The simulation of luminance characteristics, levels and patterns on
the homogeneous skies, Proc. of CIB W 71 Symposium on Building Climatology,
Moscow [TC 309 Circular Letter No. 10 - Appendix I(CL-10)].
Littlefair, P.J. (1981): Luminance distribution of an average sky, Journal of Light. Res.
& Tech., Vo.13 No.4, 1981, pp. 192-193.
Littlefair, P.J. (1982): Designing for daylight availability using the BRE Average
Sky, CIBS National Lighting Conference 1982, pp.40 - 62
Littlefair, P.J. (1983): Modelling real sky daylighting availability with the BRE Average
Sky, Proc. of CIE 20th Session, 1983, Vo.1, D302/1-3.
Littlefair, P.J. (1984): Daylight availability for lighting controls, Proc. of CIBS National
Lighting Conference, Cambridge, 1984.
Matsuura, K. (1988): Luminance distribution of various reference skies, CIE Div. 3 TC
3.09 Technical Report, Complete Draft 1988.
Matsuura, K. et al. (1991): Daylight calculation under all-weather conditions and with
open and close roof, J. Light & Vis. Env., Vol. 15, No. 2, 1991, pp.117-125.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Bacaan
Matsuzawa,T. et al. (1993): New reference sky for the prediction of momentary
daylight environment, Proc. of 2nd Lux Pacifica, Bangkok, pp. C16-C21.
Moon, P. and Spencer, D.E. (1942) : Illumination from a nonuniform sky, Illum. Eng.,
Vol. 37, 1942, pp. 707-726.
illuminance, J.Light & Vis. Env. Vol. 7, No. 1, 1983, pp.23-27.
Nakamura, H. et al. (1983): Composition of mean sky and its application to daylight
prediction, Light and Lighting '83, Proc. of 20th CIE Session Amsterdam, 1983,
D303/1-d303/4.
Nakamura, H. et al. (1986): Inspections of the daylighting interior luminous
environment predicted upon the newly improved mean sky, Proc. 1986 International
Daylighting Conference, Long Beach, Nov. 1986, pp. 115-119.
Nakamura, H. et al. (1987): Mathematical description of the intermediate sky, Proc. of
CIE 21st Session, Vol. I, Pub. CIE No. 71, pp.230-231.
Nakamura, H. et al. (1989): Mean Skies at Various Point In Europe, Proc. of Lux
Europa, Budapest, Hungary, pp. 261-271.
Nakamura, H. et al. (1989): Mean Skies in China, Proc. of 1st Lux Pacifica, Shanghai,
China, pp. 127-132.
Nakamura, H. et al. (1991): Mean Skies in Indonesia and Korea, Proc. of Annual
Meeting of I.E.I.J., Chiba, Japan, pp. 119-120.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Bacaan
Nakamura, H. et al. (1991): Mean Skies in Indonesia and Korea, Proc. of Annual
Meeting of I.E.I.J., Chiba, Japan, pp. 119-120.
Nakamura, H., Oki, M. and Hayashi, Y. (1985): Luminance distributi on of
intermediate sky, J.of Light & Vis. Env.,Vol.9, No.1, 1985,pp. 6-13
Nakamura,H. et al. (1986): The mean sky composed depending on the absolute
luminance values of the sky elements and its application to the daylighting
prediction, General Proc. of 1986 International Daylighting Conf., Long Beach U.S.A.,
Nov. 1986, pp. 61-66.
Olgyay, V. 1963. Design with climate (Bioclimatic approach to architectural
regionalism), Princeton Univ. Press, Princeton.
Oliver, J.E. dan Hidore, J.J. 1984. Climatology: An Introduction. Charles E. Merrill
Publ. Comp. A. Bell & Howell Comp. Colombus, Ohio.
Pierpoint, W. (1983): A simple sky model for daylighting calculations, Proc. of Int.
Daylighting Conf., Phoenix, U.S.A., 1983, pp. 47-51. Rahim, M.R. (1991): Mean Skies
in Indonesia, Master Dissertation, Department of Architecture Faculty of Engineering,
Kyushsu University, Fukuoka, Japan, pp. 57-77.
Sugianto. 1998. Bangunan di Indonesia, dengan Iklim Tropis Lembab ditinjau dari
Aspek Fisika Bangunan, Dirjen Dikti - Depdiknas, Jakarta.
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Bahan Bacaan

Tragenza, P.R. (1980): A simple mathematical model of illuminance from a cloud sky,
Light Res.&Tech., Vol. 12, No. 3, 1980, pp. 121-128. Wegner, J. (1975): Berechnung
der mittleren beleuchtungstarke durch tageslicht in Innenraumen auf der Grundlarge
der mittleren leuchtdichteverteilung des Himmels, Dissertation, Tech. Univ., Berlin.
Wegner, J. (1975): Neue grunlarge fur die innenraumbeleuchtung durch tageslicht,
Gesundsheitsingenieur, Vol. 96, No.5, pp.127-131. Winkelmann, F.C. et al (1985):
Daylighting simulation in the DOE-2 building energy analysis program, Jour. Energy
and Buildings, Vol. 8, 1985, pp. 271 - 286.

LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN


DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
Nakamura, H. et al. (1987): Mathematical description of the intermediate sky, Proc. of
CIE 21st Session, Vol. I, Pub. CIE No. 71, pp.230-231.
Nakamura, H. et al. (1989): Mean Skies at Various Point In Europe, Proc. of Lux
Europa, Budapest, Hungary, pp. 261-271.
Nakamura, H. et al. (1989): Mean Skies in China, Proc. of 1st Lux Pacifica, Shanghai,
China, pp. 127-132.
Nakamura, H. et al. (1991): Mean Skies in Indonesia and Korea, Proc. of Annual
Meeting of I.E.I.J., Chiba, Japan, pp. 119-120.
Nakamura, H., Oki, M. and Hayashi, Y. (1985): Luminance distributi on of
intermediate sky, J.of Light & Vis. Env.,Vol.9, No.1, 1985,pp. 6-13
Nakamura,H. et al. (1986): The mean sky composed depending on the absolute
luminance values of the sky elements and its application to the daylighting
prediction, General Proc. of 1986 International Daylighting Conf., Long Beach U.S.A.,
Nov. 1986, pp. 61-66.
Olgyay, V. 1963. Design with climate (Bioclimatic approach to architectural
regionalism), Princeton Univ. Press, Princeton.
Oliver, J.E. dan Hidore, J.J. 1984. Climatology: An Introduction. Charles E. Merrill
Publ. Comp. A. Bell & Howell Comp. Colombus, Ohio.
Pierpoint, W. (1983): A simple sky model for daylighting calculations, Proc. of Int.
Daylighting Conf., Phoenix, U.S.A., 1983, pp. 47-51. Rahim, M.R. (1991): Mean Skies
in Indonesia, Master Dissertation, Department of Architecture Faculty of Engineering,
Kyushsu University,
LABORATORIUM SAINSFukuoka,
DAN TEKNOLOGIJapan,
BANGUNAN pp. 57-77.
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
Sugianto. 1998. Bangunan di Indonesia,
UNIVERSITAS HASANUDDIN –dengan Iklim Tropis Lembab ditinjau dari
MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA
LABORATORIUM SAINS DAN TEKNOLOGI BANGUNAN
DEPARTEMEN ARSITEKTUR – FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN – MAKASSAR, INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai