Anda di halaman 1dari 9

25 August 2007

Kita Bisa Mulai dari Angke!

Oleh : Anjar Titoyo

kawasan konservasi Jakarta? Jangan salah, Jakarta juga punya lo. Kawasan konservasi
ini bernama Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Walaupun tidak seluas
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, namun masih memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi. SMMA merupakan kawasan konservasi yang terkecil di
negeri ini. Meski kecil, peranannya ternyata cukup penting bagi kehidupan.

Di sini, kita masih bisa menjumpai berbagai macam kehidupan, baik flora maupun
fauna. Mulai dari monyet ekor panjang atau Macaca fasicularis, berbagai jenis
burung endemik, biawak, ular hingga tumbuhan bakau yang beragam. Semuanya
berpadu menjadi satu bentuk kawasan ekologis yang tanpa disadari ternyata telah
menopang Jakarta, kota yang enggak pernah lepas dari masalah lingkungan.

Tapi sayangnya, meskipun penting banget buat kehidupan, nyatanya masyarakat


Jakarta masih belum memahami dan peduli dengan SMMA. Kerusakan kian hari kian
serius dan mencerminkan kondisi lingkungan Jakarta yang makin parah.

Kerusakan yang paling ekstrem sekali terlihat dari dermaga. Di sana, kita bisa jumpai
Kali Angke yang mengalir melintasi SMMA yang berwarna hitam, penuh sampah,
dan bau busuknya menyengat. Sampai-sampai sebagian pengunjung mual hingga
muntah.

Cobalah mengarungi dan berpetualang di Kali Angke dengan perahu. Kerusakan


lingkungan itu ada di depan mata. Sampah di mana-mana,terkadang menganggu
baling-baling perahu.

Di Jakarta, ribuan ton sampah mengalir setiap harinya dari sungai-sungai. Akhirnya,
lepas ke lautan luas hingga ratusan mil di Teluk Jakarta. Lautan sampah juga akan
dengan mudah dijumpai di Kepulauan Seribu.

Sampah-sampah yang mengalir ke laut itu membuat ekosistem Teluk Jakarta rusak.
Para nelayan Jakartalah yang terkena imbasnya. Mereka terpaksa mencari ikan hingga
ke tengah laut bahkan bisa sampai di luar wilayah Jakarta. Belum lagi hasil tangkapan
mereka yang sudah tercemar yang lagi-lagi menurunkan pendapatan mereka.

Pada musim hujan, di saat debit air tinggi, sampah akan terbawa air sungai masuk ke
SMMA dan akhirnya nyangkut di antara tanaman bakau. Kalau sudah begitu,
biasanya para sukarelawan, aktivis lingkungan dan dibantu masyarakat sekitar mulai
menyingsingkan lengan baju.

Tidak jauh dari SMMA, kita akan jumpai pemukiman-pemukiman kumuh di


sepanjang bantaran kali. Kondisi perekonomian yang serba pas-pasan membuat
mereka memanfaatkan langsung air kali. Mengolah ikan, mencuci, mandi bahkan
mengonsumsinya untuk minum dan memasak!
Padahal, kondisi air kali itu tercemar dan diperparah dengan jajaran WC helikopter.
Namun, bukan cuma limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai,
melainkan juga buangan industri kecil di sekitarnya. Akibatnya, air sungaipun hitam
dengan busa yang menutupi seluruh permukaan sungai.

Masalah lingkungan di Jakarta memang sudah sangat ekstrem. Jangan pernah saling
menyalahkan satu sama lain karena itu buah dari kecongkakan dan kesombongan kita
sendiri sebagai manusia.

Jangan pula bergantung pada saatu elemen masyarakaat atau pemerintah untuk
membenahinya. Itu kewajiban kita bersama sebagai manusia yang berbudi dan
berakhlak mulia.

Langkah terbaik yang bisa dilakukan, yaitu tumbuhkan kepedulian pada lingkungan
dari tiap individu walau sekecil apapun. Kita memang bisa mulai dari mana saja, tapi
kita tak bisa menundanya hingga esok.

Dari Angke kita bisa berbuat, sebelum semuanya terlanjur musnah!

http://fi.oneworld.net/external/?url=http%3A%2F%2Fjakartagreenmonster.com
%2Fa.php%3Fq%3D77%26c%3D2

Jika tak percaya, datang saja ke margasatwa yang berlokasi di Jakarta Utara itu.
Diperkirakan ada 100 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hidup di
kawasan konservasi yang hanya memiliki luas 25,02 hektar ini.

Kawanan monyet ini terbagi dalam empat kelompok. Nah, masing-masing kelompok
ini memiliki wilayah jelajah (breeding area) masing-masing.

Meski tak mengenal hukum seperti kebudayaan manusia, monyet-monyet itu hanya
mencari makan di wilayah jelajahnya saja. Mereka memakan buah pidada dan pucuk
daun pohon nipah.

"Monyet-monyet itu hanya mencari makan di wilayahnya sendiri, " ujar petugas polisi
hutan yang sehari hari bertugas di SMMA, Jati, dalam perbincangan dengan
detikcom, Rabu (5/3/2008).

Idealnya satu kelompok monyet membutuhkan area jelajah 50 hingga 100 hektar.
Namun di SMMA, luas hutan bakau hanya 25,02 Hektar. Alhasil, satu kelompok
hanya mendapatkan jatah 6,27 hektar. Sangat jauh dari kondisi ideal.

Tapi toh, monyet-monyet itu tetap patuh pada areanya sendiri. Mereka tak
menyerobot milik tetangganya atau hak yang lain. Tenggang rasa.
detik.com

Cagar Alam Muara Angke Perlu Uluran Tangan


                                       
   AKHIR Oktober tahun lalu, saya mengunjungi Cagar Alam Muara Angke
   mengikuti rombongan kecil pengurus harian Yayasan Pembinaan Suaka Alam
   dan Margasatwa Indonesia/Indonesian Wildlife Fund (IWF). Ini adalah
   yayasan yang bergerak di bidang konservasi kehidupan liar.
   
   Cagar Alam Muara Angke terletak di pinggir barat muara Kali Angke dan
   termasuk wilayah administrasi Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta
   Utara. Untuk ke kawasan cagar alam ini, kami harus melalui sebuah
   pintu gerbang besar di kawasan Pantai Indah Kapuk dan menelusuri
   sebuah boulevard kecil. Cagar alam ini melebar sampai ke tepi pantai
   Teluk Jakarta dengan luasnya 25,02 hektar.
   
   Keberadaan cagar alam ini sudah lama saya ketahui, sejak menjadi
   peneliti muda dan mulai menelusuri perairan pantai Teluk Jakarta,
   memasuki muara-muara sungai Karang dan Angke pada tahun enam puluhan.
   
   Pada saat itu, setiap kali memasuki muara sungai Angke dengan perahu
   motor dari laut, selalu saya kagumi kerimbunan dan kerapatan
   pohon-pohon bakau yang memagari kawasan cagar alam sepanjang tepi
   pantai muara. Kera-kera berlompatan dan bergayutan, dan di antaranya
   ada yang sedang menggendong anaknya.
   
   Di balik kerimbunan bakau menjulang tinggi beberapa pohon bakau
   Sonneratia yang juga rimbun. Burung-burung kuntul bertengger atau
   berterbangan, bercanda di pepuncak Sonneratia tadi. Di sepanjang cagar
   alam itu, pohon-pohon bakau Rhizophora yang padat menancap kuat pada
   akar-akar tunjangnya dan bersinggungan langsung dengan gelombang laut.
   
   Pada akar-akar yang muncul di permukaan air, kepiting-kepiting grapsid
   merayap cepat dan menghilang di balik akar. Sungguh indah pemandangan
   itu. Keadaan makin indah saat kawasan ini ditetapkan sebagai cagar
   alam pertama kali melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
   Belanda Nomor 24 tanggal 18 Juni 1939.
   
   Terkepung
   
   Tetapi kenangan tadi berbeda sekali dengan kunjungan bulan Oktober
   itu. Setelah memasuki kawasan dan diterima dengan ramah oleh beberapa
   petugas cagar alam, rombongan diantar dengan perahu motor menelusuri
   muara Kali Angke, melihat-lihat dari luar cagar alam tersebut.
   
   Pohon-pohon bakau sudah menjarang. Di mana tersela ruang air, di situ
   berdesakan eceng gondok mengotori tepian kawasan. Gumpalan sampak
   menepi di sela-sela pohon bakau. Pipa besi besar dan panjang mungkin
   bekas alat menyedot pasir laut- tergeletak ditemani bangkai perahu.
   
   Seekor kera duduk termenung melihat jauh ke tepian seberang sungai.
   Rumah-rumah kumuh berderet di sepanjang tepi timur muara dan
   perahu-perahu berdesak-desak menunggu waktu layar. Di belakang deretan
   rumah kumuh, tertata rapi rumah-rumah mewah.
   
   Jika dulu akar-akar bakau bersinggungan langsung dengan gelombang
   laut, sekarang akar-akar itu digayuti sampah. Ke arah darat terbentang
   lahan matang, siap menampung pembangunan pesat yang sedang berjalan
   untuk lebih memperindah Pantai Indah Kapuk.
   
   Cagar Alam Muara Angke bak terkepung. Dari arah laut oleh sederetan
   sampah padat sepanjang pantai, dari muara sungai, oleh sampah, eceng
   gondok, besi tua, ditambah sederetan rumah kumuh dan perahu-perahu
   mangkal, dan dari arah darat oleh hiruk pikuknya pengembang membangun.
   
   Di dalam cagar alam yang saya saksikan bukanlah hutan bakau yang lebat
   tetapi ladang eceng gondok luas. Tumbuhan air bukan bakau terdapat di
   mana-mana. Melalui jembatan papan meranti yang sebagian sudah lapuk,
   ada sebuah rumah jaga atau rumah singgah terbuat dari papan yang sudah
   terendam lantainya.
   
   Sungguh cagar alam ini luar dalam memprihatinkan.
   
   Warisan alam DKI-Jaya
   
   Cagar Alam Muara Angke adalah warisan alam DKI Jakarta dan merupakan
   salah satu kawasan konservasi di Ibu Kota RI. Kawasan serupa adalah
   Cagar Alam Pulau Rambut seluas 45 hektar, Cagar Alam Pulau Bokor yang
   luasnya 18 hektar (keduanya terletak di lepas pantai Teluk Jakarta)
   dan Taman Nasional laut Kepulauan Seribu seluas 108.000 hektar.
   
   Sebagai warisan alam, Cagar Alam Muara Angke merupakan warisan alam
   unik yang tiada duanya di Indonesia. Ia terletak di tepi pantai di
   samping sebuah muara sungai dan bersentuhan langsung dengan sebuah
   kota besar DKI Jakarta. Jadi kawasan ini bersentuhan dengan daratan,
   lautan, sungai, sekaligus masyarakat modern.
   
   Karena itu kehidupan liar di kawasan ini sangat kaya. Keanekaragaman
   hayatinya tinggi dan merupakan percampuran antara biota darat, air
   tawar, air payau dan laut, di samping burung-burung. Cagar alam ini
   tak hanya menjadi pusat kegiatan penelitian, tetapi juga bisa untuk
   pendidikan dan rekreasi lingkungan pantai. Tetapi dalam kondisinya
   sekarang, sulit mengharapkan fungsi itu.
   
   Dalam rencana besar Pemerintah DKI-Jaya untuk menciptakan waterfront
   city dengan mereklamasi pantai Teluk Jakarta sepanjang 32 km dan
   selebar 3 km ke laut, cagar alam ini perlu tetap dipelihara dan
   dilestarikan.
   
   Dibandingkan dengan wilayah yang bakal direklamasi, cagar alam yang
   hanya 25,02 hektar memang tidak ada artinya. Tetapi sebagai cagar
   alam, pelindung hidupan liar pantai khususnya dan perlindungan
   lingkungan umumnya, yang umurnya sudah 57 tahun lebih, maka sejengkal
   lahan kawasan tersebut sangat berarti.
   
   Cagar alam ini tidak dapat diganti dengan membangun kawasan serupa di
   tempat lain, karena sifat alamiahnya akan hilang. Lingkungan cagar
   alam ini dengan sumber daya alam di dalamnya sudah built in dan mapan.
   Andaikata tak ada gangguan lingkungan, kawasan cagar alam beserta
   isinya pasti tumbuh segar dan indah.
   
   Kalau diperhatikan, kepedulian Pemda DKI Jaya terhadap lingkungan
   beberapa tahun terakhir ini sangat tinggi. Ada penanaman "sejuta
   pohon" yang sekarang sudah tiga juta yang ditanam dan dilaksanakannya
   proyek kali bersih (Prokasih). Saya percaya bahwa Cagar Alam Muara
   Angke pun tiba saatnya mendapat perhatian.
   
   Uluran Tangan
   
   Pada Pertemuan Kedua Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman
   Hayatai (Conference of Parties = COP II) yang diselenggarakan di
   Jakarta pada tanggal 6 sampai 17 November 1995, telah dimasukkan ke
   dalam agenda dan dibahas tentang konservasi dan pemanfaatan
   keanekaragaman pesisir dan lautan untuk pertama kalinya. Di antara
   empat rekomendasi dari Badan Penasihat Ilmiah, Teknik dan Teknologi
   atau Subsidiary Body of Scientific, Technical and Technological Advice
   (SBSTTA) disebutkan perlunya penelitian tentang status dan
   kecenderungan keanekaragaman hayati pesisir dan laut serta perlunya
   strategi konservasi di tingkat nasional dan regional. Indonesia
   sebagai salah satu pihak COP II yang mempunyai pantai panjang dan laut
   luas, wajib menindak-lanjuti keputusan tentang keanekaragaman hayati
   pesisir dan laut.
   
   Upaya perbaikan, pemeliharaan dan perlindungan kawasan Cagar Alam
   Muara Angke di mana tersimpan keanekaragaman hayati pesisir yang dalam
   keadaan rawan, betapa pun kecil artinya dilihat dari dimensi nasional,
   apalagi internasional, akan merupakan langkah yang sangat penting
   sebagai tanggung-jawab (commitment) bangsa dalam konservasi
   keanekaragaman hayati pesisir dan laut.
   
   Tiga masalah utama yang perlu dipecahkan adalah: limbah padat seperti
   sampah, besi tua, bangkai kapal, eceng gondok perlu dibersihkan dan
   kesemrawutan lingkungan muara sungai perlu ditata.
   
   Kedua, fasilitas dalam kawasan cagar alam yang rusak berat seperti
   rumah singgah perlu diperbaiki.
   
   Ketiga, kawasan cagar alam yang sudah botak perlu ditanami bakau
   kembali. Apa salahnya kalau juga ada gerakan menanam sejuta bakau di
   kawasan ini?
   
   Semua pihak bertanggung jawab memulihkan kawasan ini. Dari Pemda DKI
   yang "memiliki" langsung, Pemerintah Pusat, para pengembang kawasan
   Pantai Indah Kapuk, Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait dengan
   konservasi, sampai masyarakat sekitar. Cagar Alam Muara Angke butuh
   uluran tangan.
   
   (Kasijan Romimohtarto, Ahli Peneliti Utama LIPI/Anggota Yayasan
   Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia)
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/08/0061.html

Suaka Margasatwa Muara Angke


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah sebuah kawasan konservasi di


wilayah hutan bakau (mangrove) di pesisir utara Jakarta. Secara administratif,
kawasan ini termasuk wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan,
Kotamadya Jakarta Utara. Kawasan yang berdampingan dengan Perumahan Pantai
Indah Kapuk ini, hanya dibatasi Kali Angke dengan permukiman nelayan Muara
Angke. Pada sisi utara SMMA, terdapat hutan lindung Angke-Kapuk yang berada di
dalam wewenang Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

Daftar isi
[sembunyikan]
 1 Sejarah
 2 Tutupan Vegetasi
 3 Keanekaragaman Satwa
 4 Mencapai SMMA
 5 Perijinan

 6 Pranala luar

[sunting] Sejarah

Semula SMMA ditetapkan sebagai cagar alam oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 17 Juni 1939, dengan luas awal 15,04 ha. Kemudian kawasan ini diperluas
sehingga pada sekitar tahun 1960-an tercatat memiliki luas 1.344,62 ha. Dengan
meningkatnya tekanan dan kerusakan lingkungan baik di dalam maupun di sekitar
kawasan Muara Angke, sebagian wilayah cagar alam ini kemudian menjadi rusak.
Sehingga, setelah 60 tahun menyandang status sebagai cagar alam, pada tahun 1998
Pemerintah mengubah status kawasan ini menjadi suaka margasatwa untuk
merehabilitasinya. Perubahan status ini ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No 097/Kpts-II/1998 sebagai Suaka Margasatwa Muara Angke dengan
total luas 25,02 ha.

Meski SMMA merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia, namun peranannya


cukup penting. Bahkan BirdLife International - salah satu organisasi pelestarian
burung di dunia - memasukkan kawasan Muara Angke sebagai salah satu daerah
penting bagi burung (IBA, Important Bird Areas) di Pulau Jawa [1].
[sunting] Tutupan Vegetasi

Kali Angke, batas timur SMMA, jalur lalu-lintas perahu nelayan. Pohon api-api
tumbuh di sepanjang tepiannya

Vegetasi semula di SMMA adalah hutan mangrove pantai utara Jawa, dengan
keanekaragaman jenis yang cukup tinggi. Akan tetapi akibat tingginya tingkat
kerusakan hutan di wilayah ini, saat ini diperkirakan hanya tinggal 10% yang tertutup
oleh vegetasi berpohon-pohon. Sebagian besar telah berubah menjadi rawa terbuka
yang ditumbuhi rumput-rumputan, gelagah (Saccharum spontaneum) dan eceng
gondok (Eichchornia crassipes).

Tercatat sekitar 30 jenis tumbuhan dan 11 di antaranya adalah jenis pohon, yang
hidup di SMMA. Pohon-pohon mangrove itu di antaranya adalah jenis-jenis bakau
(Rhizophora mucronata, R. apiculata), api-api (Avicennia spp.), pidada (Sonneratia
caseolaris), dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha). Beberapa jenis tumbuhan
asosiasi bakau juga dapat ditemukan di kawasan ini seperti ketapang (Terminalia
catappa) dan nipah (Nypa fruticans).

Selain jenis-jenis di atas, terdapat pula beberapa jenis pohon yang ditanam untuk
reboisasi. Misalnya asam Jawa (Tamarindus indica), bintaro (Cerbera manghas),
kormis (Acacia auriculiformis), nyamplung (Calophyllum inophyllum), tanjang
(Bruguiera gymnorrhiza), dan waru laut (Hibiscus tiliaceus).

[sunting] Keanekaragaman Satwa

SMMA merupakan tempat tinggal aneka jenis burung dan pelbagai satwa lain yang
telah sulit ditemukan di wilayah Jakarta lainnya. Jakarta Green Monster mencatat
seluruhnya ada 91 jenis burung, yakni 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan,
yang hidup di wilayah ini. Sekitar 17 jenis di antaranya adalah jenis burung yang
dilindungi.

Jenis burung yang sering dijumpai antara lain adalah pecuk-padi kecil (Phalacrocorax
niger), cangak (Ardeola spp.), kuntul (Egretta spp.), kareo padi (Amaurornis
phoenicurus), mandar batu (Gallinula chloropus), betet biasa (Psittacula alexandri),
merbah cerukcuk (Pycnonotos goiavier), kipasan belang (Rhipidura javanica),
remetuk laut (Gerygone sulphurea) dan lain-lain. Beberapa di antaranya merupakan
burung khas hutan bakau seperti halnya sikatan bakau (Cyornis rufigastra). Selain itu,
SMMA juga menjadi rumah bagi perenjak Jawa (Prinia familiaris).
SMMA juga dihuni oleh beberapa beberapa jenis burung endemik, yang hanya ada di
Pulau Jawa. Misalnya cerek Jawa (Charadrius javanicus) dan bubut Jawa (Centropus
nigrorufus). Bubut Jawa diketahui sebagai salah satu spesies terancam punah di dunia,
dengan penyebaran terbatas di beberapa tempat saja termasuk di SMMA. Burung
terancam punah lainnya yang menghuni kawasan ini ialah bangau bluwok (Mycteria
cinerea). Di Pulau Jawa, bangau jenis ini diketahui hanya berbiak di Pulau Rambut
yang terletak tidak jauh dari Muara Angke.

Di samping jenis-jenis burung, di SMMA juga masih dijumpai kelompok-kelompok


liar monyet kra atau juga biasa disebut monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Mereka hidup berkelompok hingga belasan ekor yang terdiri dari beberapa jantan dan
betina. Makanan utamanya ialah dedaunan muda dan buah-buahan hutan bakau
seperti buah pidada (Sonneratia caseolaris). Monyet ekor panjang memiliki peranan
yang penting di dalam Suaka Margasatwa Muara Angke, karena membantu
penyebaran biji-bijian tumbuhan hutan. Biji-biji yang tak dapat dicerna itu akan
dikeluarkan kembali bersama dengan fesesnya.

Jenis mamalia lain yang dapat ditemukan di SMMA, akan tetapi jarang terlihat,
adalah berang-berang cakar-kecil (Aonyx cinerea). Karnivora kecil pemakan ikan dan
aneka hewan air ini terutama aktif di malam hari (nokturnal).

SMMA juga menjadi tempat hidup berbagai spesies reptilia seperti biawak air
(Varanus salvator), ular sanca kembang (Python reticulatus), ular sendok Jawa alias
kobra Jawa (Naja sputatrix), ular welang (Bungarus fasciatus), ular kadut belang
(Homalopsis buccata), ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular pucuk (Ahaetula
prasina) dan ular bakau (Cerberus rhynchops). Menurut informasi dari warga sekitar,
di SMMA masih ditemukan pula jenis buaya muara (Crocodylus porosus).

[sunting] Mencapai SMMA

Suaka margasatwa ini terletak berbatasan dengan kompleks pemukiman Pantai Indah
Kapuk (PIK). Pintu masuknya berada di seberang kompleks ruko Niaga Mediterania,
di bagian timur PIK.

Untuk menuju SMMA, yang termudah adalah dengan mencapai Mega Mall Pluit
lebih dulu. Pertokoan ini mudah dicapai dengan berbagai kendaraan umum dari arah
Grogol atau Jakarta Kota melalui Jembatan Tiga. Kendaraan dari arah jalan tol dalam
kota Jakarta hendaknya keluar di pintu tol Jembatan Tiga.

Kemudian mengikuti jalan Pluit Indah di muka Mega Mall ke arah barat, dan
dilanjutkan menyeberangi perempatan dengan jembatan memasuki jalan Muara
Karang (Pluit Karang) terus ke arah barat hingga ke ujungnya. Menyeberangi
perempatan agak serong ke kiri (arah barat daya) terletak jalan Mandara Permai, jalan
masuk menuju Pantai Indah Kapuk.

Tidak jauh dari perempatan serong tersebut terdapat gerbang Pantai Indah Kapuk, dan
setelah menyeberang jembatan dan melalui bundaran, di sebelah kanan jalan (sebelah
utara, sekitar 500 meter dari gerbang) adalah Suaka Margasatwa Muara Angke.
Kendaraan dapat diparkir di kompleks ruko Niaga Mediterania, tepat di seberang
pintu masuk Suaka Margasatwa.
Lokasi ini dapat pula dicapai dari arah barat kompleks PIK, yakni dengan memasuki
wilayah PIK lebih dulu dan menuju jalan Pantai Indah Kapuk Utara 2, terus ke arah
timur hingga kompleks ruko Mediterania.

http://id.wikipedia.org/wiki/Suaka_Margasatwa_Muara_Angke

Anda mungkin juga menyukai