Anda di halaman 1dari 87

Mumu Muhajir

Siti Chaakimah
Desi Martika
Penyelesaian Penguasaan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri
Penyelesaian Penguasaan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri

Mumu Muhajir
Siti Chaakimah
Desi Martika

Jakarta
2015
Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan:
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri/ Mumu Muhajir, Siti
Chaakimah, Desi Martika - Jakarta : Epistema Institute, 2015

viii + 77hlm. : ill. : 16 x 24 cm


ISBN 978-602-1304-07-5

Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan:


Panduan Implementasi Perber 4 Menteri

copyrights 2015
All rights reserved

Penulis:
Mumu Muhajir, Siti Chaakimah, Desi Martika

Desain dan tata letak:


Ahmad Taqiyuddin

Rancang sampul:
Ahmad Taqiyuddin

Edisi Pertama: Agustus 2015

Penerbit:
EPISTEMA INSTITUTE
Jalan Jati Padang Raya No. 25
Pasar Minggu, Jakarta 12540
Telepon : +6221 78832167
Faximile : +6221 78830500
E-mail: epistema@epistema.or.id
website: www.epistema.or.id

Buku ini diterbitkan dengan dukungan Rights and Resources


Initiative (RRI), dengan Proyek Nomor 15 EPIS 02.
Menjelang berakhirnya era pemerintahan Presiden

KATA
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) lahir satu peraturan
perundang-undangan yang bisa dianggap sebagai

PENGANTAR
terobosan hukum bagi berlarut-larutnya konflik tenurial
di dalam kawasan hutan. Terobosan hukum itu berupa
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014,
17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan
(selanjutnya Perber 4 Menteri). Peraturan ini membuka ruang satu
penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan dengan nuansa lintas
sektor. Di dalamnya terdapat pilihan penyelesaian konflik yang
terintegratif dengan menyinkronkan berbagai peraturan dan
kewenangan terkait lahan dan hutan. Perber 4 Menteri dianggap bisa
membangun jembatan untuk terbentuknya satu sistem pertanahan
di Indonesia dan sekaligus kawasan hutan yang sah dan legitimate.

Karena sifatnya terobosan hukum, dapat diperkirakan dalam


pelaksanaannya menimbulkan kontroversi atau resistensi. Ada yang
mempertanyakan bentuk formalnya yang peraturan menteri
bersama, ada yang mengaitkannya dengan perbenturannya dengan
peraturan kehutanan dan kekawatiran Perber 4 Menteri dipakai
pihak-pihak tertentu untuk mengurangi luasan kawasan hutan dan
banyak lainnya.

Memang, Perber 4 Menteri ini memberikan ruang yang lebih terbuka


(dan bahkan menyeimbangkan level “pertarungan”) bagi
masyarakat lokal dan adat untuk memperjuangkan klaim hak atas
tanah/wilayah adat di dalam kawasan hutan. Namun Kekawatiran
menyempitnya kawasan hutan karena klaim-klaim itu tidak cukup
beralasan dengan mengingat tata kelola hutan yang buruk.
Sebaliknya, kejelasan hak-hak masyarakat lokal/adat yang selama ini
tertutupi oleh klaim sepihak negara justru dapat membuka jalan ke
arah kawasan hutan yang berlegitimasi kuat.
Buku ini diterbitkan dengan maksud menjadi pegangan bagi fasilitator
masyarakat dan masyarakat dalam memanfaatkan momentum
implementasi Perber 4 Menteri tersebut. Disusun dengan
memperbanyak ilustrasi gambar agar memungkinkan masyarakat
mengembangkan sendiri imajinasinya dalam memanfaatkan
momentum itu. Apa yang dituliskan di dalamnya lebih berupa
menceritakan proses daripada menyodorkan hasil dari proses, atau
dalam pengertian umum, menceritakan cara memancing daripada
menceritakan hasil pancingannya. Buku ini juga lebih banyak menyadur
dan menyerap berbagai pengalaman baik dalam proses implementasi
Perber 4 Menteri atau bukan namun terkait dan memiliki kesamaan
tujuan. Sebagai catatan, sampai buku ini diterbitkan, tidak ada satupun
pemohon yang sudah menjalani proses Perber 4 Menteri sampai tuntas.

Karena isinya banyak saduran dan pengalaman baik dari kegiatan


Epistema maupun pihak lain, akan banyak pihak dan nama yang perlu
diberikan ucapan terima kasih. Untuk keperluan kata pengantar ini,
sedikit nama yang bisa disebutkan antara lain adalah kawan-kawan
Pager Kulon di Pandeglang, Lingkar Studi Pengembangan Pedesaan
(LSPP) Temanggung, Yayasan Betang Borneo di Palangkaraya, Serikat
Petani Merdeka (STAM) di Cilacap, Serikat Petani Lumajang (SPL),
Asosiasi Kepala Desa (AKD) di Lumajang, SD Inpres Kediri, Rimbawan
Muda Indonesia, Bogor. Tidak lupa ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Rights and Resources Initiative yang bermurah hati
mendanai penerbitan buku sederhana ini.

Jakarta, Agustus 2015

Penyusun

Kata Penyelesaian Penguasaan Tanah


Pengantar
vi di Dalam Kawasan Hutan
DAFTAR
Kata Pengantar

Daftar Isi
v

vii
ISI
Bab I - Pendahuluan 1
Latar belakang 3
Mengapa Perber 4 Menteri Penting? 5

Bab II - Kondisi Kawasan Hutan di Indonesia 7


Carut Marut Kawasan Hutan 9
Kasus Barito Selatan 12
Kasus Lebak Banten 14

Bab III - IP4T dan Penyelesaian Konflik 17


Tim IP4T 19
Modifikasi Susunan Tim IP4T 20
Kedudukan Unik Kepala Desa dalam IP4T 22
Tugas Tim IP4T 23
Pemohon IP4T 24
Proses IP4T 25
Proses Verifikasi 29
Bukti Tertulis dan Tidak Tertulis 34

Bab IV - Apa yang bisa dilakukan masyarakat? 41


Jika Tim IP4T Belum Terbentuk 43
Penentuan Kawasan/Desa Prioritas 44
Pengumpulan Data Penggunaan Lahan di Desa 47
Pendanaan oleh Masyarakat dalam Proses IP4T 49
Antisipasi Konflik di Internal 50
Pendampingan Proses Verifikasi Lapangan 51
Jika Masyarakat Adat? 52
Pengawasan Proses IP4T di Tingkat Nasional 54
Memilih Perhutanan Sosial 55
Jaring Pengaman 57

Lampiran 59

Glosarium 73
Bab I
Pendahuluan
Ketidakjelasan penguasaan/pemilikan lahan di dalam kawasan
hutan merupakan faktor penting bagi masih tingginya angka
deforestasi hutan dan kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini

LATAR
terbukti dengan masih tingginya konflik di dalam kawasan hutan.
Masyarakat yang berkonflik tidak bisa mengakses lahan dan

BELAKANG
bahkan kehilangan lahannya akibat ketidakjelasan
penguasaan/pemilikan lahan ini. Kerugian juga dialami oleh pihak
lain yang terlibat: pengusaha dan pemerintah. Pengusaha
kehilangan waktu dan biaya menjalankan operasional
perusahaannya. Pemerintah kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari
masyarakat. Kerugian juga dialami oleh masyarakat luas yang terhalangi dan
tidak bisa menikmati hak atas berfungsinya hutan dengan baik.

PENGUKUHAN Putusan MK 45/PUU-IX/2011:


Kawasan hutan yang memiliki kekuatan hukum
KAWASAN hanya yang sudah ditetapkan.
Tujuan: HUTAN Penunjukan kawasan hutan yang dilakukan selama ini
termasuk perbuatan sewenang-wenang pemerintah

Memberikan kepastian hukum Putusan MK 34/PUU-IX/2011:


atas kawasan hutan (UU 41/1999). Pengukuhan Kawasan Hutan harus
menghormati hak atas tanah yang ada.
Diperjelas dalam PP 44/2004 Putusan MK 35/PUU-X/2012:
dengan memberikan kepastian hukum Kawasan hutan tidak sama dengan
atas status, letak, batas kawasan hutan negara. Kawasan hutan
terdiri dari Hutan Negara,
dan luas kawasan hutan. Hutan Hak (didalamnya ada Hutan Adat)

Dalam tata kelola hutan di Indonesia, persoalan kejelasan


kepemilikan/penguasaan lahan ini menempati prioritas pertama dalam
pengurusan hutan. Proses yang disebut sebagai pengukuhan kawasan hutan,
memungkinkan adanya kejelasan siapa penguasa atau pemilik dari lahan yang ada
di suatu kawasan yang akan dijadikan kawasan hutan, di mana posisi hutannya,
berbatasan dengan apa dan siapa, dan berapa luasnya.

Prosesnya sendiri berjenjang dari proses penunjukan kawasan hutan, penataan


batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Hanya hutan yang sudah melewati 4 tahapan proses pengukuhan kawasan hutan
tersebut yang memiliki kekuatan hukum. Hanya saja, memiliki kekuatan hukum
tidak serta merta menghasilkan kawasan hutan yang memiliki legitimasi. Hal ini

Latar Penyelesaian Penguasaan Tanah


Belakang
3 di Dalam Kawasan Hutan
terjadi karena ada tahapan dalam pengukuhan
kawasan hutan yang tidak dijalankan dengan
baik dan benar, bahkan dalam banyak kasus
tahapannya dilewati, seperti tahapan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang ada di
dalam proses penataan batas kawasan hutan.
Akibatnya adalah konflik.

Padahal dengan pengukuhan kawasan hutan yang baik


dapat dibedakan antara mana kawasan hutan dan non-
kawasan hutan. Di dalam kawasan hutan sendiri
dimungkinkan adanya hak-hak atas tanah atau wilayah
adat. Hanya di atas kawasan hutan negara saja yang bersih
dari hak-hak atas tanah dan wilayah adat.

Dengan pengukuhan kawasan hutan yang baik dapat pula


dipetakan masyarakat yang berhak mendapatkan kompensasi
akibat hilangnya akses dan hilangnya hak atas tanah. Sampai
saat ini tidak pernah ada pelaksanaan penggantian kompensasi
kepada masyarakat yang kehilangan hak atas tanah atau akses
pada lahan ketika ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Dalam proses pengukuhan kawasan hutan sebenarnya dikenal


tahapan penyelesaian konflik dan pilihan penyelesaiannya. Dalam
proses penataan batas, disebutkan (1) jika garis batas melewati lahan
yang ada hak atas tanahnya, maka dikeluarkan dari peta batas kawasan
hutan; (2) jika lahan itu ada di dalam kawasan hutan, maka dienclave dari
kawasan hutan. Jelas sekali penyelesaiannya.

Untuk kawasan hutan yang sudah ditetapkan (ada SK penetapan Kawasan


hutan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan), penyelesaian konfliknya
juga ada dengan mengingat bahwa proses penetapan ini masih menyisakan
adanya klaim dari masyarakat. Opsi penyelesaiannya memang diserahkan
kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian,
penyelesaian konflik tidak terbatas pada kawasan hutan yang ditunjuk atau
sedang ditata batas, tetapi juga pada kawasan hutan yang sudah ditetapkan.

Hanya saja, pelaksanaan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan di atas tidak efektif berjalan di lapangan. Faktor
utamanya adalah penyelesaiannya dilakukan oleh satu instansi saja, tanpa
mengajak pihak lain yang memiliki kompetensi.

Latar Penyelesaian Penguasaan Tanah


Belakang
4 di Dalam Kawasan Hutan
MENGAPA
Terbitnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri,
PERBER 4
MENTERI
Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014,

PENTING ?
PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 Menteri)
membuka ruang satu penyelesaian konflik yang lintas
sektor. Satu opsi penyelesaian yang terintegratif dengan berbagai
kebijakan yang membangun jembatan pada terbangunnya satu
sistem pertanahan (satu institusi mengurus status tanah, satu
institusi mengurus fungsi hutan) dan kawasan hutan tetap yang sah
dan dihormati pihak lain.

Bagaimanapun soal hutan berkaitan dengan soal kebijakan


pertanahan yang sekarang dinaungi oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Kepala BPN. KLHK tidak memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang
menyangkut hubungan orang dengan tanah.

Perber 4 Menteri memberi ruang kepada BPN untuk


mengidentifikasi dan memverifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan lahan di dalam kawasan hutan.
Selama ini BPN seperti terlarang untuk melakukan pendataan
tenurial lahan di dalam kawasan hutan. Padahal sebenarnya tidak
ada aturan yang melarangnya.

Kejelasan status atas lahan tersebut memudahkan Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan penyikapan. Jika
memang terbukti adanya hak pihak ketiga baik berupa hak atas tanah
maupun wilayah adat, maka KLHK mengeluarkannya dari kawasan
hutan (negara): (1) sebagian ditetapkan sebagai hutan hak dan hutan
adat; (2) sebagian lagi (berupa pemukiman, fasum dan fasos, lahan
garapan pertanian, lahan yang tidak berfungsi hutan) dikeluarkan
dari kawasan hutan.

Setelah BPN mendaftarkan hak atas tanah pihak ketiga (baik


individual, kolektif atau Komunal), maka pada lahan tersebut perlu
ada perlindungan tata ruang. Kementerian ATR kembali berperan di
sini untuk menyesuaikan perubahan status itu ke dalam revisi RTRW.

Mengapa Penyelesaian Penguasaan Tanah


Perber 4 Menteri
Penting ? 5 di Dalam Kawasan Hutan
Dengan penyelesaian yang terintegratif ini, maka masyarakat yang mengklaim
lahan di dalam kawasan hutan terlindungi secara hukum. Ini berbeda dengan
praktek dalam banyak kasus pelepasan kawasan hutan, dimana posisi
masyarakat hanya sekedar pemicu terjadinya pelepasan kawasan hutan (dan lalu
mendapatkan lahan yang sangat sedikit) sementara penikmat utama dari
pelepasan kawasan hutan ini adalah para pemodal besar (dengan lahan yang
lebih besar dan lebih baik). Karena itu pula dalam Perber 4 Menteri, pemodal
(pengusaha) tidak menjadi pihak pemohon. Hanya masyarakat, pemerintah dan
badan sosial dan keagamaan yang menjadi pemohon.

Perber 4 Menteri juga berprinsip sejauh mungkin tidak ada penghilangan hak
dan/atau pengusiran. Hal ini terlihat dari adanya opsi penyelesaian berupa
kemitraan dan perhutanan sosial. Opsi ini diberikan kepada masyarakat yang
tidak memiliki klaim atau klaimnya tidak terbukti, namum masyarakat tersebut
secara de facto mempergunakan lahan itu dengan niat baik.

ATA A N S ISTEML
PEN NASIONA
AGRARIA

Lahirnya Perber 4 Menteri


diharapkan mampu menjadi:

a. Pembuka jalan untuk lahirnya


satu Sistem Pertanahan Nasional
b. Pembuka jalan untuk
adanya Hutan Tetap
c. Penyelesaian konflik lintas sektor
dan terintegrasi lengkap dengan
perlindungan hukumnya
d. Pengakuan pada penguasaan de facto
para pihak atas tanah di dalam
Kawasan Hutan (Negara)
e. Prinisip tidak ada yang ditinggalkan
(bahkan masyarakat yang
tidak punya hak pun ada solusinya)

Mengapa Penyelesaian Penguasaan Tanah


Perber 4 Menteri
Penting ? 6 di Dalam Kawasan Hutan
Bab II
Kondisi
Kawasan Hutan
di Indonesia
Data tahun 2014 menunjukkan luas (daratan) kawasan hutan
Indonesia adalah 120.783.631 ha. Angka luas kawasan hutan ini CARUT
MARUT
sebenarnya selalu naik turun tiap tahunnya. Mengapa? Karena
adanya proses yang selalu berjalan tiap tahun yang memastikan

KAWASAN
keberadaan letak, status dan luas kawasan hutan. Proses itu
dinamakan pengukuhan kawasan hutan (penjelasan singkatnya bisa
dilihat di bagian pendahuluan di halaman sebelumnya). Angka 120
juta hektar itu adalah angka kawasan hutan yang ditunjuk. Namanya
ditunjuk berarti belum pasti. Karena siapapun bisa menunjuk.
Supaya sampai pada kepastian maka serangkaian kegiatan perlu
HUTAN
dilakukan: penataan batas, pemetaan dan akhirnya penetapan kawasan hutan. Dan
pada titik itu senjangnya terlihat (lihat bagan di bawah). Proses penataan batas bisa
dikatakan sudah hampir 80%. Tinggal sedikit lagi kawasan hutan yang sama sekali tidak
memiliki batas sementara atau batas definitif. Tapi perhatikan angka penetapan
kawasan hutannya, hanya 62,30% (tahun 2014). Sisanya (berarti yang sudah ditata batas
maupun belum) merupakan kawasan hutan yang kekuatan hukumnya belum pasti.

Panjang Batas Luas


kawasan hutan: Kawasan Hutan:
282.323 km + 120.783.631 ha

Desember
2009
Sisa Tata Batas Luas Penetapan
Target Renstra s/d 2009: s/d Desember 2014:
(2010-2014): 63.117 km 62.056.374, 624 ha
25.000 km (22,36%) (63,30%)
Desember
2014
Realisasi Luas Penetapan
Tata Batas: s/d 2009:
219.206 km 13.819.510,12 ha
(77,64%) (11,29%)

Carut Marut Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan Hutan
9 di Dalam Kawasan Hutan
?
Pertanyaannya kenapa terjadi
seperti itu? Pejabat di Planologi
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Mengapa ada kesenjangan Kehutanan menyatakan ada tiga
antara tata batas yang dilakukan faktor: konflik, pelaksanaan tata
dan penetapan kawasan hutan?
1. Adanya perbedaan persepsi batas tidak berjalan baik dan
tata batas kawasan hutan / konflik tumpeng tindih peraturan
dengan hak-hak pihak ketiga;
2. Pelaksanaan tata batas kurang bagus; perundang-undangan. Di antara
3. Tumpang tindih peraturan perundangan tiga faktor itu, konflik menjadi
penghambat utama.
Akibatnya?
1. Konflik Akibat konflik ini membuat layanan
(bahkan terjadi
di kawasan hutan pemerintah pada masyarakat tidak
yang sudah ditetapkan!) berjalan dengan baik,
2. Terhambatnya layanan pemerintah
3. Ketidakpastian usaha ketidakpastian usaha dan rusaknya
4. Rusaknya hutan hutan. Perhatikan desa-desa yang
berada di dalam kawasan hutan
dimana layanan pemerintah tidak
berjalan optimal. Jalan sulit dibangun, fasilitas umum dan sosial sulit didirikan dan ketika
didirikan perlu melalui birokrasi yang berbelit. Bagi masyarakat sendiri, ketika hak atas
tanah dan sumber daya hutan tidak diakui atau bahkan dihilangkan, maka mereka tidak
memiliki kepentingan untuk menjaga hutan di sekitarnya.

Di sisi lain kita juga melihat bahwa di tengah ketidakpastian hukum atas kawasan
hutannya dan masyarakat yang tidak diakui haknya, Pemerintah justru memberikan
banyak izin kepada pemodal besar di atasnya, sebagian di atas wilayah yang berkonflik
dengan masyarakat. Wilayah yang tadinya ruwet semakin ruwet bertumpang tindih.
Pemberian izin tersebut juga memperlihatkan kesenjangan dalam pemanfaatan sumber
daya hutan. Lebih dari 90% kawasan hutan dikelola oleh swasta sementara hanya 3% saja
yang dikelola oleh masyarakat.

Ironisnya lagi, di atas kawasan hutan yang berkonflik itu banyak pula yang diberikan izin
untuk kegiatan yang bertentangan dengan tujuan pelestarian hutan, seperti pemberian
izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan terbuka. Sudahlah tidak adil
dalam pembagian kue, pemanfaatannya banyak yang bertentangan dengan tata kelola
hutan yang baik.

Kondisi suram itu perlu dilihat konteksnya dalam kelahiran Perber 4 Menteri, yang
merupakan salah satu elemen harapan ke arah perbaikan. Elemen perbaikan lain juga
pelan-pelan muncul, seperti dalam RPJMN 2015-2019 yang antara lain menegaskan
adanya 12,7 juta ha kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat atau dimitrakan
dengan masyarakat.

Carut Marut Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan Hutan
10 di Dalam Kawasan Hutan
Tumpang Tindih
Wilayah Adat
dengan HPH/HTI
WILAYAH
ADAT
Peta Wilayah Adat seluas 3,9 juta hektar,
ada sekitar 3,1 juta hektar overlap
dengan kawasan hutan non-adat (JKPP 2013)

14,7 juta hektare areal penggunaan lahan


yang tumpang tindih antara IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT, perkebunan kelapa sawit,
dan pertambangan (FWI, 2014)

No. Provinsi HP HPK HPT Jumlah


1 Aceh 1.377 0 7.820 9.197
HA 1.311 7.820 9.131
HT 66 66
2 Kalimantan Barat 129.663 281 213.678 343.622
HA 20.212 67 145.283 165.562
HT 109.451 214 68.395 178.060
3 Kalimantan Selatan 28.696 0 1.459 30.155
HA 12.809 12.809
HT 15.887 1.459 17.346
4 Kalimantan Tengah 17.151 3.628 65.140 85.919
HA 11.608 3.628 65.135 80.370
HT 5.544 6 5.549
5 Kalimantan Timur 51.349 826 58.938 111.112
HA 39.692 91 58.295 98.078
HT 11.656 736 643 13.035
6 Maluku 30 5.251 5.281
HA 30 5.251 5.281
7 Maluku Utara 155 7 5.389 5.551
HA 155 7 5.389 5.551
8 Nusa Tenggara Barat 627 627
HT 627 627
9 Papua 9.821 1.556 11.377
HA 9.821 1.556 11.377
10 Papua Barat 2.062 27.624 1.637 31.322
HA 2.062 27.624 1.637 31.322
11 Riau 14.790 22 8.834 23.646
HT 14.790 22 8.834 23.646
12 Sulawesi Selatan 0 0 180 180
HA 30 30
HT 149 149
13 Sulawesi Tengah 2.757 1.234 15.270 19.261
HA 2.751 1.234 14.945 18.929
HT 6 325 332

Jumlah(Ha) 257.820 33.652 385.778 677.250

Carut Marut Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan Hutan
11 di Dalam Kawasan Hutan
s Sementara,
Baru Tata Badtaah ditetapkan
tapi su
sebagai Kawa
san Hutan ! KASUS
BARITO
SELATAN

ober 2013
mentara OktH
atas Se
Dari Berita Aelca
ra Ta ta B
netapan Kaw14asan utan,
o n cat ke Pe Mei 2014
langsung mMenteri Kehutanan pada hak-hak masyarakat
dengan SK elaksanaan penyelesaian ng ditata batas
tidak ada pi dalam Kawasan Hutan yaDefinitif.
yang ada d n Berita Acara Tata Batas
atau bahka

kat
terdapat hak-hak masyara

Kasus Penyelesaian Penguasaan Tanah


Barito
Selatan 12 di Dalam Kawasan Hutan
Kabupaten Barito Selatan pernah hangat dibicarakan pada tahun 2012-2014 ketika
bersedia menjadi kabupaten pelopor untuk dua hal: perbaikan perizinan dan
percepatan pengukuhan kawasan hutan. Karena basis ekonominya masih lahan,
dua kepeloporan itu saling terkait.

2013 dilakukan penataan batas di satu kawasan hutan yang disebut Kawasan
Hutan Lindung Sungai Barito-Sungai Kapuas (HLSBSK) sepanjang kurang lebih 114
km. Penataan batas kawasan HLSBSK ini melewati dan menyentuh sekitar 18 desa
yang berada di sekitarnya. Kenyataannya setidaknya ada 7 desa yang berada di
dalam kawasan hutan (Madara, Muara Talang, Batampang, Batilap, Bintang
Kurung, Tampijak, Danau Masura). Kurangnya sosialisasi tentang fungsi hutan,
tidak pernah hadirnya layanan pemerintah ke tingkat lokal, adalah beberapa
faktor yang membuat masyarakat bereaksi.

Sesuai tahapan dalam penataan batas kawasan hutan, setelah penetapan tata
batas sementara dilakukan pembuatan berita acara tata batas kawasan hutan
sementara dan dilanjutkan dengan penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebelum
kemudian masuk dalam tahapan penetapan tata batas definitif dan akhirnya
ditetapkan. Dalam 4 kali rapat yang diselenggarakan oleh Panitia Tata Batas (PTB),
ketidaksetujuan masyarakat selalu muncul dan akhirnya memang diterangkan
dalam Berita Acara Tata Batas Sementara. Kejadian itu ada di akhir tahun 2013.
Setelah ada Berita Acara Tata Batas Sementara itu seharusnya dilakukan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga.

Proses lanjutan itu tidak pernah dilaksanakan di lapangan. Sementara masyarakat


menunggu kejelasan hak-hak yang berpotensi hilang itu, pada bulan Mei 2014
muncullah SK Menteri Kehutanan Nomor: SK. 392/ Menhut-VII/KUH/2014 tentang
Penetapan Kawasan Hutan Lindung Sungai Barito, Sungai Kapuas seluas
180.400,88 ha di Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah. Tentu saja, dilihat dari sisi manapun SK penetapan HLSBSK ini
janggal adanya. Bahkan dilihat dari urutan pengukuhan kawasan hutan yang
aturannya dibuat sendiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Apa yang terjadi di Barito Selatan ini menjadi fakta kuat bahwa konflik tidak hanya
terjadi di kawasan hutan yang ditunjuk, tetapi juga di kawasan hutan yang
ditetapkan. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa pengukuhan kawasan hutan ala
Orde Baru yang hanya melukis di atas meja, diulang kembali. Lebih dalam dari itu
adalah kejadian ini, mengutip dalil Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
MK 45/PUU-IX/2011, mengulang perbuatan aniaya pemerintah dengan proses
pengukuhan kawasan.

Kasus Penyelesaian Penguasaan Tanah


Barito
Selatan 13 di Dalam Kawasan Hutan
Kasus konflik tenurial di dalam kawasan hutan tidak lengkap KASUS
LEBAK
jika tidak menyitir apa yang terjadi dengan perluasan wilayah
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Kabupaten Lebak.

BANTEN
Pada saat pertama kali ditunjuk pada tahun 1992 sebagai
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 16.380 ha,
ternyata didalamnya sudah termasuk 3 Kecamatan dan 13 Desa
dengan segala fasilitas umum dan bahkan fasilitas
pemerintahan di atasnya. Tidak berhenti di sana, pada tahun 2003,
Taman Nasional tersebut diperluas lagi menjadi 113.357 hektar
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003. Dampak
dari perluasan ini adalah ada 10 Kecamatan dan 44 Desa yang masuk
ke dalam wilayah Taman Nasional. Penunjukan dan perluasan
dilakukan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.

Wilayah Pedesaan dan


Pemukiman Warga,
masuk dalam
penetapan
Kawasan Hutan
Taman Nasional
Gunung Halimun
Salak

Kasus Penyelesaian Penguasaan Tanah


Lebak
Banten 14 di Dalam Kawasan Hutan
Kondisi tersebut mendorong Pemerintah Kabupaten Lebak
mengambil inisiatif dengan mengirimkan surat resmi kepada
Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi KLHK) sebanyak 8 kali.
Tak terhitung berbagai seminar dan lobi yang sudah dikerjakan untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Reaksi wajar dari Pemkab Lebak ini
dilakukan karena memang tidak hanya masyarakat yang dirugikan,
tetapi pemerintah Kabupaten Lebak juga. Akibat perluasan Taman
Nasional itu tidak kurang 44 Gedung Pemerintahan, 21 sarana
kesehatan, 176 sarana pendidikan, 312 sarana keagamaan (Islam)
yang sekarang posisinya berada di dalam kawasan hutan. Sementara
lahan garapan yang tiba-tiba berubah menjadi kawasan hutan seluas
19.036 ha yang terdiri dari 11.898 ha sawah, 5086 ha kebun, 1020 ha
ladang, 5 ha kolam dan 1028 ha hutan hak. Itu merupakan data resmi
dari pemerintah Kabupaten. Perlu juga diingat bahwa di dalam
Taman Nasional itu sendiri sudah lama hidup masyarakat adat
Kasepuhan. Masyarakat adat Kasepuhan ini baru saja mendapatkan
pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Lebak lewat Perda.

Luas TNGH-S di Lebak: wilayah


42.925,15 Ha pedesaan dan
Data penduduk, (meliputi 10 kecamatan pemukiman warga,
dan 44 desa) masuk dalam
fasilitas umum, Kawasan Hutan
fasilitas sosial, Kecamatan yang masuk
Taman Nasional
lahan garapan Gunung
di dalam TNGHS: Halimun Salak
di dalam TNGHS Leuwidamar, Muncang,
Sobang, Cipanas,
Luas Pemukiman : 1.119 Ha Lebakgedong, Cigemblong,
Penduduk Terkena Dampak : 25.629 KK Panggarangan, Cibeber,
(112.664 Orang) Sajira dan Bayah
Gedung Pemerintahan : 44 Buah
Sarana Kesehatan : 21 Buah
Sarana Pendidikan : 176 Buah
Sarana Keagamaan : 312 Buah
Lebakgedong Panggarangan Sobang Cibeber
Unit Industri Kecil : 1.002 Unit
Banjaririgasi Jatake Sobang Sinargalih
Banjarsari Gunung Gede Hariang Gunung Wangun
Luas Lahan Garapan : 19.036 Ha Ciladeun Blok Cirotan Cilebang Situmulya
Terdiri Dari : Lebakgedong Sukajaya Kujangsari
Lebaksangka Cipanas Sindanglaya Cisungsang
Sawah : 11.898 Ha Pasir Haur Cirompang
Lebaksitu Hegarmanah
Kebun : 5.086 Ha Giriharja Sukamaju Cihambali
Ladang : 1.020 Ha Sajira Girilaya Citujah Sukamulya
Kolam : 5 Ha Desa Maraya Luhurjaya Majasari Citorek Selatan
Cipanas Suka Resmi Citorek Barat
Hutan Hak : 1.028 Ha Bayah Blok Gn. Endut Citorek Timur
Cisuren Muncang Citorek Tengah
Karangcombong Leuwidamar Kujangjaya
Cigemblong Pasirnangka Kanekes
Wangun Jaya Leuwicoo
Cikarang kecamatan

Kasus Penyelesaian Penguasaan Tanah


Lebak
Banten 15 di Dalam Kawasan Hutan
Jalan
Sungai
Wilayah Kasepuhan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Hutan Lindung
Hutan Produksi
Hutan Produksi Terbatas

Kecamatan Cibeber
1. Kasepuhan Cisitu (1.367,974 Ha)
2. Kasepuhan Cibedung (2.167,390 Ha)
3. Kasepuhan Citorek (7.534,975 Ha)
4. Kasepuhan Cirompang (646,352 Ha)
Kecamatan Muncang
5. Kasepuhan Karang (338,572 Ha)

Sumber Peta
1. Peta Partisipatif Wilayah Adat Propinsi Banten
2. Peta Indikatif Administrasi BPS 2010
3. WMS Kawasan Hutan Departemen Kehutanan

Sumber gambar: RMI dan JKPP, 2014

Perdanya sendiri dilampiri dengan peta wilayah adat Kasepuhan yang sebagian
besar berada di dalam Taman Nasional. Tercatat ada 9 Kasepuhan induk yang
disebutkan masuk ke dalam kawasan TNGHS (Kasepuhan Citorek, Cisitu,
Cibedug, Cirompang, Karang, Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten;
Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya dan Sinarresmi di Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat). Luas wilayah 9 Kasepuhan ini sekitar 18.055,263 ha berdasarkan
pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI dan AMAN tahun 2014.

Melihat skala potensi kerugian yang massif seperti ini memang agak
mengherankan jika saat perluasaan taman nasional itu tidak ada konsultasi
terlebih dahulu dengan masyarakat dan Pemda Lebak.

Kasus di Lebak ini jika dikaitkan dengan Perber 4 Menteri akan semakin menarik.
Pertama, ini terjadi di taman nasional. Kedua, yang mendapatkan kerugian tidak
hanya masyarakat, tetapi juga pemerintah kabupaten. Perber 4 Menteri sendiri
sudah mengakomodasi pemohon dari individu/kelompok masyarakat dan
pemerintah serta badan sosial. Ketiga, adanya Masyarakat Adat Kasepuhan
dengan wilayah adatnya yang massif itu yang sebagian besar berada di dalam
Taman Nasional. Dan masyarakat adat ini baru saja diakui dengan Perda Pemkab
Lebak tahun 2015.

Kasus Penyelesaian Penguasaan Tanah


Lebak
Banten 16 di Dalam Kawasan Hutan
Bab III
IP4T dan
Penyelesaian
Konflik
Proses penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan melalui Perber 4
Menteri dilakukan melalui proses inventarisasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T).

Pelaksanaan IP4T dimulai dengan pembentukan Tim IP4T, penentuan lokasi


prioritas, sosialisasi, pengumpulan permohonan dari masyarakat, verifikasi TIM
permohonan, rapat internal tim IP4T dan pembuatan rekomendasi.
IP4T
Tim IP4T disusun berdasarkan
lokasi dimana pelaksanaan
IP4T dilangsungkan.

TIM TIM
IP4T
KABUPATEN
IP4T
PROVINSI

KEPALA KANTOR PERTANAHAN KEPALA KANTOR WILAYAH BPN


KABUPATEN/KOTA Bupati/
UNSUR DINAS KABUPATEN/KOTA
YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG KEHUTANAN
WALIKOTA
>> >> gubernur UNSUR DINAS PROVINSI
YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG KEHUTANAN

UNSUR BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN


UNSUR BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN
UNSUR DINAS/BADAN KABUPATEN/KOTA
UNSUR DINAS/BADAN KABUPATEN/KOTA YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG TATA RUANG
YANG MENANGANI URUSAN DI BIDANG TATA RUANG jika lokasi jika lokasi
pelaksanaan IP4T pelaksAnaan IP4T
berada di dua atau
KEPALA KANTOR PERTANAHAN
CAMAT SETEMPAT KABUPATEN/KOTA TERKAIT
berada di dalam
satu kabupaten lebih kabupaten
ATAU PEJABAT YANG DITUNJUK (lintas kabupaten)

CAMAT SETEMPAT
LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT KETUA KETUA ATAU PEJABAT YANG DITUNJUK
ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN SEKRETARIS SEKRETARIS
LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT
ANGGOTA ANGGOTA ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN

Penetapan susunan Tim IP4T tingkat Kabupaten


dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati.

Penetapan Tim IP4T tingkat provinsi


dilakukan dengan Surat Keputusan Gubernur.

Perber tidak mengatur masa tugas Tim IP4T.


TIM IP4T terus bertugas sampai ada pencabutan
SK oleh Bupati/Gubernur.

Tim Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
19 di Dalam Kawasan Hutan
Susunan anggota Tim IP4T yang ditetapkan di dalam Perber 4 MODIFIKASI
SUSUNAN
Menteri memang nampak terbatas. Beberapa kabupaten
melihat bahwa persoalan konflik di dalam kawasan hutan ini

TIM IP4T
kompleks sehingga susunan anggota Tim IP4T yang ditetapkan
oleh Perber 4 Menteri dianggap tidak cukup memadai.

Karena itu susunan anggota Tim IP4T dimodifikasi sedemikian


rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan khas daerahnya namun tetap tidak
menyalahi aturan di dalam Perber 4 Menteri.Modifikasi susunan anggota Tim IP4T
ini sah saja dilakukan dan merupakan diskresi dari Gubernur/Bupati.

Sebagai contoh, modifikasi susunan anggota Tim IP4T dilakukan oleh Kabupaten
Barito Selatan. Dalam SK Bupati Barito Selatan Nomor 130 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah di Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Selatan Tahun 2015
disebutkan susunan anggota Tim IP4T yang jumlahnya lebih banyak dari yang
diatur dalam Perber 4 Menteri. Berikut susunan Tim IP4T Barito Selatan:

TIM INTI IP4T Pengarah


BARITO SELATAN Bupati Barito Selatan
Wakil Bupati Barito Selatan
Koordinator
Sekretaris Daerah Kabupaten Barito Selatan
Ketua
Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Barito Selatan
Sekretaris
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Selatan
Anggota
Kepala Balai Pemantapan Kepala Desa Danau Masura
Kawasan Wilayah XXI Kepala Desa Teluk Telaga
Palangka Raya Kepala Desa Muara Talang
Kepala Bappeda Kabupaten Kepala Desa Bintang Kurung
Barito Selatan Kepala Desa Tampijak
Asisten Administrasi Kepala Desa Teluk Sampudau
Pemerintahan Sekda Kepala Desa Selat Baru
Kabupaten Barito Selatan Kepala Desa Talio
Camat Dusun Selatan Kepala Desa Sungai Jaya
Camat Karau Kuala Kepala Desa Batampang
Camat Dusun Hilir Kepala Desa Teluk Timbau
Camat Jenamas Kepala Desa Batilap
Kepala Desa Sababilah Kepala Dusun Muara Puning
Kepala Desa Lembeng Kepala Dusun Simpang Telo
Kepala Desa Rangga Ilung

Modifikasi Penyelesaian Penguasaan Tanah


Susunan
Tim IP4T 20 di Dalam Kawasan Hutan
TIM PENDAMPING IP4T
BARITO SELATAN
Ketua Tim Pendamping
Asisten Perekonomian, Pembangunan dan Kesra Sekda Kabupaten
Barito Selatan
Anggota
Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kabupaten Barito Selatan
Kepala Bagian Administrasi Perekonomian dan SDA Setda
Kabupaten Barito Selatan
Kepala Bidang Pengembangan Wilayah Sarana dan Prasarana pada
Bappeda Kabupaten Barito Selatan
Kepala Seksi Pemanfaatan Hutan pada Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Barito Selatan
Kepala Sub Bagian SDA dan Lingkungan pada Bagian Administrasi
Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan
Kepala Seksi Pengaturan Penataan Pertanahan pada Kantor BPN
Kabupaten Barito Selatan
Kepala Sub Bidang Pengembangan Wilayah pada Bappeda
Kabupaten Barito Selatan
Kepala Sub Bagian Produk Hukum Daerah pada Bagian Hukum
Setda Kabupaten Barito Selatan

SEKRETARIAT TIM IP4T


BARITO SELATAN
Ketua Sekretariat
Kepala Bidang Perencanaan Hutan pada Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Barito Selatan
Anggota
Kepala Seksi Perpetaan dan Pentatagunaan Kawasan
Hutan pada Dinas Kehutanan dan Pekebunan Kabupaten
Barito Selatan
Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada
Kantor BPN Kabupaten Barito Selatan
Kepala Seksi Survey, Pengukuran, dan Pemetaan pada
Kantor BPN Kabupaten Barito Selatan
Irmatati, SE, Pelaksana pada Bagian Administrasi
Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan
Aris Octavia, S.Hut, Pelaksana pada Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Barito Selatan
Amelia, A.Md, Pelaksana pada Bagian Administrasi
Perekonomian dan SDA Setda Kabupaten Barito Selatan
Silaprionson, Pelaksana pada Dinas Kehutanan dan
Pekebunan Kabupaten Barito Selatan
Eramayuni, S.Hut, Staf Operator Komputer pada Dinas
Kehutanan dan Pekebunan Kabupaten Barito Selatan

Modifikasi Penyelesaian Penguasaan Tanah


Susunan
Tim IP4T 21 di Dalam Kawasan Hutan
KEDUDUKAN
UNIK KEPALA DESA
Kepala Desa memiliki posisi unik dalam Perber
4 Menteri. Kepala Desa berposisi sebagai
anggota Tim IP4T sekaligus menjadi pihak yang
mengajukan permohonan pelaksanaan IP4T di
desanya. Ini disebabkan karena Perber 4
menteri menginginkan proses permohonan
DALAM IP4T
dikerjakan secara kolektif, secara bersama-
sama oleh masing-masing desa.

Kepala Desa dan jajarannya menjadi pihak yang membantu


masyarakat dalam mengumpulkan bukti penguasaan tanahnya di
dalam kawasan hutan. Kepala Desa pula yang membuat sketsa desa
yang berisi keterangan persil-persil tanah yang diajukan oleh para
pemohon. Karena itu Kepala Desa memiliki tanggung jawab besar
memastikan setiap permohonan dari warganya itu memiliki klaim
yang dapat diterima secara hukum. Dan masyarakat perlu
mengawasi dengan ketat Kepala Desanya. Jangan sampai Kepala
Desa memanfaatkan proses IP4T ini hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri.

Hubungan yang baik dengan Kepala Desa akan memastikan


keberhasilan di tingkat awal
pelaksanaan IP4T selanjutnya. Hal
ini bisa dilihat dari Asosiasi Kepala
Desa di Lumajang yang cukup
berhasil mendesakkan agenda
keberadaan Tim IP4T di
Lumajang kepada berbagai
pihak, yang berujung pada
lahirnya SK Bupati
Lumajang tentang
pembentukan Tim IP4T di
Lumajang.

Kedudukan Unik Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kepala Desa
dalam IP4T 22 di Dalam Kawasan Hutan
TUGAS
1. Menerima pendaftaran permohonan IP4T. TIM IP4T
2. Melakukan verifikasi permohonan.
3. Mensosialisasikan kegiatan IP4T pada tanah
yang berada di dalam kawasan hutan kepada
aparat pemerintah tingkat kecamatan dan
kelurahan/desa.
4. Melaksanakan pendataan lapangan.
5. Melakukan analisa data yuridis dan data fisik
bidang-bidang tanah yang berada di dalam
Kawasan Hutan.
6. Menerbitkan hasil analisis berupa rekomendasi
dengan melampirkan Peta IP4T Non Kadastral
dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah
(SP2FBT) yang ditandatangani oleh masing-masing
pemohon serta salinan bukti-bukti penguasaan
tanah lainnya.
7. Menyerahkan hasil analisis sebagaimana dimaksud
pada point 6 kepada Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional/Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota. Tim IP4T
mempergunakan
Ditandatangangi oleh Alat GPS untuk
pemohon, 2 orang atau menentukan batas
lebih saksi, dan diketahui melalui pembuatan
oleh pihak Kelurahan / Peta dengan skala
Desa atau nama lainnya tertentu dan
sudah ada batas
administrasi

Dari urutan tugas Tim IP4T itu nampak bahwa Tim IP4T ini sebenarnya pasif;
dalam arti bersikap menunggu permohonan pelaksanaan IP4T dari masyarakat.

Namun di beberapa kabupaten yang sudah ada Tim IP4T, ternyata Tim IP4T juga
melakukan pendataan untuk membantu masyarakat menyusun permohonan
pelaksanaan IP4T di wilayahnya. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Barito Selatan.
Kegiatan ini dilakukan karena setelah menunggu sekian lama, belum ada
masyarakat (lewat Kepala Desa yang berada di lokasi prioritas) yang mengajukan
permohonan pelaksanaan IP4T. Karena itu Tim IP4T melakukan jemput bola
melakukan pendataan untuk kepentingan memenuhi persyaratan permohonan.

Tugas Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tim IP4T
23 di Dalam Kawasan Hutan
Permohonan IP4T dapat dilakukan oleh siapa saja yang
menguasai, memiliki, menggunakan atau memanfaatkan
lahannya di dalam kawasan hutan, KECUALI PERUSAHAAN. Ini
titik yang menarik dalam Perber 4 Menteri. Perusahaan tidak
menjadi pihak dalam proses IP4T. Ini dengan pemikiran bahwa PEMOHON
IP4T
perusahaan merupakan pihak yang tergantung, utamanya pada
pemerintah yang memberinya izin. Ini berbeda posisinya dengan
masyarakat atau individu yang dapat mengklaim suatu hak atas
tanah. Sehingga sebenarnya yang sedang dipertanyakan klaimnya
adalah negara. Kalaupun hasilnya nanti ternyata terbukti masyarakat berhak atas
lahan di dalam kawasan hutan, maka urusannya adalah antara perusahaan dan
pemerintah.

Pemohon IP4T yang diatur dalam Perber 4 Menteri adalah


(1) orang-perorangan (individu), misalnya ia mempunyai kebun rotan atau karet
yang setiap musim dilakukan pemanenan; kemudian
(2) pemerintah, misalnya kantor desa yang ditempati oleh pemerintah ternyata
berada di dalam kawasan hutan;
(3) badan sosial/ keagamaan, misalnya lembaga yang mengurus masjid,
mengelola lapangan bola, yang sering dipakai bersama-sama ternyata berada
di dalam kawasan hutan; dan
(4) masyarakat hukum adat.

MASYARAKAT individual
ADAT

Masyarakat kelompok
Pemerintah Lokal
pusat
desa

unit di desa
Pemerintah Pemerintah
daerah
daerah

Badan hukum swasta


Pemerintah seperti perusahaan
desa LEMBAGA
pusat KEAGAMAAN

SUBYEK
IP4T
LEMBAGA BADAN
SOSIAL SOSIAL BUKAN
SUBYEK IP4T

Pemohon Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
24 di Dalam Kawasan Hutan
Proses IP4T merupakan proses yang berkesinambungan antar
berbagai pihak yang menjadi anggota di dalam IP4T. Tim IP4T

PROSES
sendiri jika dilihat dari kewenangannya bersifat menunggu, dalam
arti tidak turun ke lapangan untuk mengumpulkan permohonan.

IP4T
1) Tahapan pertama IP4T adalah permohonan yang dilakukan
secara kolektif oleh masyarakat pemohon dan pemerintah
kepala desa. Namun tidak menutup kemungkinan jika Tim
IP4T menjemput bola permohonan yang ada di masyarakat
ketika masyarakat, karena satu dan beberapa hal, tidak aktif
mengajukan. Dalam arti Tim IP4T mengumpulkan dan
mengindentifikasi wilayah yang dikuasai oleh masyarakat di dalam
kawasan hutan.
Berdasarkan permohonan tersebut, Tim IP4T menentukan lokasi
prioritas pelaksanaan IP4T. Lokasi prioritas ini menjadi kerja Tim IP4T
selama 6 bulan. Penentuan lokasi prioritas dapat juga dilakukan
secara “top down” dalam arti Tim IP4T menentukan lokasi prioritas
dan kemudian menunggu atau menjemput bola permohonan
masyarakat.

2) Setelah ada permohonan dari masyarakat lewat Kepala Desa, Tim


IP4T akan memeriksa data yang dimohonkan. Dokumen
permohonan itu sendiri ada template-nya yang disediakan oleh Tim
IP4T (Masyarakat hanya tinggal mengisinya dan menambahkan
dengan persyaratan lainnya).

3) Pemeriksaan permohonan selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan


di lapangan. Satu hal yang wajib ada dalam proses pemeriksaan
lapangan adalah alat navigasi/GPS untuk memeriksa batas lahan
yang dimohonkan. Keharusan adanya alat navigasi ini menjadi
penting karena selain soal persyaratan administratif, juga diharuskan
disertai dengan peta.

4) Setelah pemeriksaan di lapangan, Tim IP4T melakukan pengolahan


dan analisis data fisik dan data yuridis dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Hasil pengolahan data ini yang menjadi
dasar rekomendasi IP4T.

5) Hasil rekomendasi Tim IP4T Provinsi diserahkan kepada Kepala


Kantor Wilayah BPN Provinsi, sedangkan untuk hasil rekomendasi
Tim IP4T Kabupaten/Kota diserahkan kepada Kepala Kantor
Pertanahan.

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
25 di Dalam Kawasan Hutan
6) Selanjutnya, Kepala Kantor Wilayah BPN menyerahkan hasil
rekomendasi kepada Kementerian Kehutanan cq. Ditjen Planologi
Kehutanan ditembuskan kepada Menteri Agraria dan Tata
Ruang/BPN, Menteri Dalam Negeri, Gubernur/ Bupati/ Walikota yang
bersangkutan.

7) Setelah menerima berkas hasil analisis, Kementerian Kehutanan akan


melakukan kajian terhadap laporan hasil analisis Tim IP4T dan
memerintahkan pelaksanaan tata batas kawasan hutan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
berkas hasil analisis.

8) Berdasarkan hasil tata batas kawasan hutan, Direktur Jenderal


Planologi atas nama Menteri Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan
beserta lampiran peta sebagai dasar penerbitan sertipikat hak atas
tanah. Kemudian Menteri Kehutanan Republik Indonesia
menerbitkan Surat Keputusan Perubahan Kawasan Hutan dalam
waktu paling lama 2 (dua)bulan sejak terbitnya Surat Keputusan
Perubahan Batas Kawasan Hutan.

9) Setelah itu, dilakukan revisi terhadap RTRWP/K. Revisi dilakukan 1 kali


dalam 5 tahun sejak ditetapkannya RTRWP/K. Selama proses integrasi
tata ruang pemberian tanda bukti hak dapat dilaksanakan.

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
26 di Dalam Kawasan Hutan
1a 1b PEMERINTAH DESA
DAN MASYARAKAT
BUPATI /
GUBERNUR
MENGUMPULKAN
BUKTI KLAIM
JALUR
MEMBENTUK
TIM IP4T IP4T
TIM IP4T 3
MELAKUKAN 5
VERIFIKASI TIM IP4T
DATA PEMOHON MELAKUKAN
2 TIM IP4T ANALISIS DATA
MENERIMA YURIDIS DAN FISIK
PENDAFTARAN 4
TIM IP4T
MELAKUKAN
PENDATAAN TIM IP4T
LAPANGAN MENYAMPAIKAN
8 KLHK MENGKAJI
DAN MENATA 6 REKOMENDASI
BATAS ULANG KEPADA KANTAH /
KAWASAN HUTAN KANWIL BPN
(14 HARI KERJA) KANTAH/KANWIL
7 MENYAMPAIKAN
REKOMENDASI
PADA KLHK
10
SK PERUBAHAN
9 BATAS KAWASAN PENEGASAN / PENGAKUAN
HUTAN (NEGARA) HAK ATAS TANAH
DAN SK PERUBAHAN ATAU REFORMA AGRARIA /
KAWASAN HUTAN REDISTRIBUSI TANAH ATAU
(NEGARA)
BENTUK MANAJEMEN KOLABORASI
DAN PERHUTANAN SOSIAL
DAN PENGAKUAN MASYARAKAT
REVISI ADAT LEWAT PERDA
11 PERDA
RT/RW

Dari pemaparan urutan kerja ini, ada beberapa tahapan dimana masyarakat bisa
mengawasi dan bahkan terlibat aktif. Misalkan saja dalam proses penentuan
lokasi prioritas. Masyarakat bisa mengajukan usulan kepada Ketua Tim IP4T
(Kantor Pertanahan atau Kakanwil Pertanahan) agar menjadikan desanya
sebagai lokasi prioritas IP4T.

Masyarakat juga bisa terlibat aktif dalam mengawasi kegiatan rapat-rapat Tim
IP4T dalam menyusun rekomendasi.

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
27 di Dalam Kawasan Hutan
TIM IP4T
1 MENERIMA
PENDAFTARAN
6 Bulan
TIM IP4T
MENYAMPAIKAN
HASIL ANALISIS
2 & REKOMENDASI
KEPADA KANTAH /
KANWIL BPN

KANTAH /
DURASI &
3
KANWIL BPN
MENYAMPAIKAN
PROSES
HASIL ANALISIS
KEPADA DIRJEN IP4T
PLANOLOGI

4 DIRJEN
PLANOLOGI
MEMERINTAHKAN Paling lambat
PELAKSANAAN 14 hari setelah
TATA BATAS diterimanya
Penetapan SK KAWASAN hasil analisis
Perubahan HUTAN tim IP4T
Kawasan Hutan
dapat dilaksanakan
sebelum ada DIRJEN
revisi RTRW Tidak
PLANOLOGI ada rangkaian kegiatan
MENERBITKAN batas
SK PERUBAHAN waktu proses & waktu
BATAS KAWASAN
HUTAN
5
MENTERI Paling lambat
REVISI
KEHUTANAN dua bulan
setelah ada PERDA 8c
6 MENERBITKAN
SK PERUBAHAN SK Dirjen Planologi
tentang perubahan
RT/RW
BATAS KAWASAN batas kawasan
HUTAN hutan
PEMBERIAN
HAK ATAS TANAH
OLEH BPN Pemberian
BUPATI / hak atas tanah
7 GUBERNUR 8b ataupun penunjukan
MENERBITKAN pengikutsertaan
SK PENGINTEGRASIAN masyarakat dalam
ATAS SK DIRJEN PLANOLOGI PEMBERIAN SK kehutanan sosial
TENTANG PERUBAHAN PERHUTANAN SOSIAL maupun kehutanan
BATAS KAWASAN HUTAN DAN ATAU KEHUTANAN
SK MENTERI KEHUTANAN KOLABORATIF kolaboratif
TENTANG PERUBAHAN BATAS OLEH MENTERI tetap bisa
KAWASAN HUTAN KEHUTANAN dilakukan
KE DALAM RTRW BAGI MASYARAKAT selama masa
8a revisi RTRW

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


IP4T
28 di Dalam Kawasan Hutan
Setelah Tim IP4T menerima permohonan dari masyarakat, tim
akan mengecek (memverifikasi) kebenarannya di lapangan

PROSES
sambil melakukan pendataan lapangan.

Perber 4 Menteri menerbitkan indikator verifikasi yang cukup

VERIFIKASI
sederhana yang bertumpu pada hukum adat dan sesuai dengan
peraturan perundangan terkait pertanahan. Indikator verifikasi
ini menjadi pegangan TIM IP4T ketika melakukan kajian data
yuridis dan data fisik di lapangan.

Verifikasi
Wilayah
Verifikasi Adat

Permen ATR/BPN 9/2015


Subyek
Masyarakat
Hukum
Adat
Permendagri 52/2014

Surat Keputusan
Walikota / Bupati
/ Gubernur
Surat Keputusan TIM IP4T
Walikota / Bupati
/ Gubernur atau Hak Komunal
Peraturan Daerah didaftarkan
Kota / Kabupaten di Kantor
/ Provinsi Pertanahan
untuk
Panitia Verifikasi mendapatkan
Masyarakat sertifikat
Hukum Adat hak komunal

yang subyeknya
adalah masyarakat
hukum adat dan
wilayah adatnya

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


Verifikasi
29 di Dalam Kawasan Hutan
Setelah penunjukan
kawasan hutan
1) Telah ditetapkan dalam Perda
2) Tercatat pada statistik Desa / Kecamatan
3) Penduduk >10 KK dan terdiri dari <10 rumah
4) Tidak berlaku pada Provinsi yang luas
kawasan Hutannya <30%
Sebelum penunjukan
kawasan hutan
Dibuktikan dengan
sejarah keberadaan

jika klaim terbukti maka


wajib dikeluarkan dari
statusnya sebagai
kawasan hutan

jika pemohonnya
Pemerintah dan
Badan Sosial &
keagamaan
seperti desa, puskesmas
sekolah, rumah ibadah, dsb
Kriteria di dalam Permenhut P52/2012 jo P62/2013

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


Verifikasi
30 di Dalam Kawasan Hutan
TIM IP4T TERBUKTI
MEREKOMENDASIKAN MENGUASAI LAHAN
PENEGASAN HAK LEBIH DARI 20 TAHUN
ATAS LAHAN
YANG DIAJUKAN ATAU LEBIH BERTURU-TURUT

LAHAN
YANG DIAJUKAN TERBUKTI
DIREKOMENDASIKAN MENGUASAI LAHAN
SEBAGAI OBJEK
REFORMA AGRARIA KURANG DARI 20 TAHUN

PEMOHON
DIREKOMENDASIKAN TIDAK
DALAM MANAJEMEN TERBUKTI
KEHUTANAN KOLABORATIF
ATAU PERHUTANAN SOSIAL KLAIMNYA

jika pemohonnya
masyarakat individual

Ingat, dasar verifikasi menurut Perber 4 Menteri berupa


memenuhi kriteria penguasaan / pemilikan / penggunaan /
pemanfaatan lahan selama dua puluh tahun atau kurang dari
dua puluh tahun.

Dasar verifikasi seperti ini membutuhkan satu bukti berupa sejarah


penguasaan tanah (di dalam kawasan hutan) yang detail. Sejarah
penguasaan tanah itu harus didapatkan keterangannya dari mereka yang
mengetahui proses pertama kalinya seseorang menguasai lahan. Jika
tidak mengetahui pertama kalinya, bisa juga sejarahnya berupa
keterangan yang bisa dibuktikan terjadinya peralihan kepemilikan atau
penggunaan atas kawasan tersebut.

Ingat pula, yang menjadi dasar klaim adalah sebidang atau beberapa
bidang lahan. Bukan pembuktian subjeknya. Sehingga yang penting
adalah sejarah penggunaan lahan itu, bukan proses peralihan haknya.

Jikapun dalam proses IP4T, klaim dari seseorang tidak terbukti, maka
Perber 4 Menteri tetap menyediakan alternatif penyelesaiannya berupa
perhutanan sosial. Perber 4 Menteri menghendaki tidak ada lagi
masyarakat yang diusir dari dalam kawasan hutan, apalagi masyarakat
itu sangat membutuhkan sumber daya hutan untuk mencari hidup.

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


Verifikasi
31 di Dalam Kawasan Hutan
Indikator waktu yang dipakai dalam verifikasi ini membutuhkan ketepatan
dalam menuliskan riwayat penguasaan / pemilikan / penggunaan /
pemanfaatan lahan. Riwayat / sejarah penguasaan tanah ini harus detail dan
dapat dipercaya. Karena itu ia membutuhkan dukungan dari orang yang
berbatasan dengan lahannya, orang tua/tokoh masyarakat yang mengetahui
pasti riwayat penguasaan tanah tersebut dan ada penegasan dari kepala desa
setempat.

Batas waktu 20 tahun menentukan: (1) jika memang terbukti penguasaan


lahannya 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, maka yang bersangkutan
mendapatkan penegasan hak; (2) jika penguasaan lahannya kurang dari 20
tahun, maka yang bersangkutan berhak diikutkan dalam program reforma
agraria di dalam kawasan hutan (nantinya yang bersangkutan akan
memperoleh pemberian hak); (3) jika klaim penguasaannya tidak terbukti
atau tidak memiliki klaim namun sudah menguasai lahan di dalam kawasan
hutan, maka yang bersangkutan diikutkan dalam program perhutanan sosial
dan kemitraan.

Verifikasi dengan batas waktu 20 tahun ini hanya berlaku bagi masyarakat
biasa (individual) dan tidak berlaku bagi masyarakat adat.

Kriteria dan indikator verifikasi bagi masyarakat adat ditentukan tersendiri


menurut peraturan yang berlaku. Begitu juga kriteria dan indikator bagi
pemohon dari pemerintah dan badan sosial atau keagamaan

Batas 20 tahun
dihitung sejak
Perber 4 Menteri
diterbitkan
(17 Oktober 2014)

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


Verifikasi
32 di Dalam Kawasan Hutan
Jalur IP4T
Individu
1 TIM IP4T
MENERIMA
PENDAFTARAN
TIM IP4T
MELAKUKAN 2
VERIFIKASI
DATA PEMOHON
4 TIM IP4T
TIM IP4T MELAKUKAN
MELAKUKAN ANALISIS DATA
PENDATAAN YURIDIS DAN FISIK 10
LAPANGAN 3
5c KANTAH / KANWIL
TIDAK
TERBUKTI
MENERBITKAN
KLAIMNYA SERTIFIKAT HAK
5b TERBUKTI ATAS LAHAN
5a TERBUKTI
MENGUASAI
LAHAN
MENGUASAI LAHAN KURANG DARI
LEBIH DARI 20 TAHUN
20 TAHUN ATAU LEBIH
BERTURU-TURUT PEMOHON
DIREKOMENDASIKAN
DALAM MANAJEMEN
KEHUTANAN
6b LAHAN KOLABORATIF ATAU
PERHUTANAN
6c
YANG DIAJUKAN
6a TIM IP4T DIREKOMENDASIKAN
SEBAGAI OBJEK
SOSIAL 9
MEREKOMENDASIKAN REFORMA
PENEGASAN HAK
ATAS LAHAN AGRARIA SK PERUBAHAN
YANG DIAJUKAN
TERSEBUT
BATAS KAWASAN
HUTAN (NEGARA)
DAN SK PERUBAHAN
KAWASAN HUTAN
KLHK MENGKAJI (NEGARA)
TIM IP4T DAN MENATA
MENYAMPAIKAN BATAS ULANG
REKOMENDASI KAWASAN HUTAN Batas 20 tahun
KEPADA KANTAH / (14 HARI KERJA) dihitung sejak
KANWIL BPN Perber 4 Menteri
7 8 diterbitkan
(17 Oktober 2014)

Proses Penyelesaian Penguasaan Tanah


Verifikasi
33 di Dalam Kawasan Hutan
Bukti adalah segala sesuatu yang dapat
menunjukkan lahan tersebut dimiliki atau

BUKTI TERTULIS
dikuasai atau dimanfaatkan atau digunakan oleh
pemohon IP4T.

& TIDAK TERTULIS


Kedudukan bukti sangatlah penting dalam proses
IP4T, agar setiap klaim permohonan yang
diajukan dapat mendukung hak atas tanah yang
dimiliki oleh masyarakat dalam kawasan hutan.

Dalam proses IP4T dikenal 2 (dua) jenis bukti yaitu bukti tertulis
maupun bukti tidak tertulis.

Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik
Bidang Tanah
(sporadik) yang
dibuat oleh warga
Ujung Jaya, Sumur,
Pandeglang, Banten

Proses Identifikasi
Penguasaan Lahan
yang dilakukan
secara kolektif
oleh warga
Legon, Banten

Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik
Bidang Tanah
(sporadik)

Peta penguasaan,
pemilikan,
penggunaan
dan pemanfaatan
tanah di Dusun
Muara Puning
Kabupaten
Barito Selatan

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
34 di Dalam Kawasan Hutan
Pada saat pengajuan permohonan IP4T secara kolektif, masyarakat
besama Lurah/Kepala Desa, wajib melampirkan berkas:

1. Daftar permohonan IP4T secara kolektif yang diketahui oleh


Kepala Desa/Lurah dan Camat;
2. Fotokopi identitas masing-masing pemohon (KTP, KK, kartu
identitas lain);
3. Alas hak/surat keterangan riwayat tanah/SPPT (bagi yang
memiliki);
4. Surat pernyataan sudah memasang tanda batas bidang tanah;
5. Sket bidang tanah dikuasai oleh pemohon yang berada dalam
kawasan hutan.

BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN

TERTULIS

Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah dapat dibagi menjadi


menjadi 2 (dua), yaitu alat bukti untuk pendaftaran Hak Atas Tanah
(HAT) baru dan pendaftaran HAT lama.

Hak atas tanah baru dibuktikan dengan:


a. Apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau
tanah hak pengelolaan dibuktikan dengan Penetapan pemberian
hak oleh Pejabat yang berwenang;
b. Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak pemegang hak milik
kepada penerima hak guna bangunan dan hak pakai;
c. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak
pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;
d. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
e. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta
pemisahan;
f. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
35 di Dalam Kawasan Hutan
BUKTI-BUKTI SEBELUM
PENGUASAAN LAHAN
PENUNJUKAN
TERTULIS KAWASAN HUTAN

1. Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Pengelolaan.

2. Hak Atas Tanah lainnya yang sudah ada klarifikasi dari Lembaga Pertanahan, seperti:

a. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings


Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak
eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik;

b. Grosse Akta Hak Eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings


Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;

c. Surat Tanda Bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja
yang bersangkutan;

d. Sertipikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria


Nomor 9/1959;

e. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dari Pejabat yang berwenang, baik
sebelum ataupun sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang tidak
disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi
semua kewajiban yang disebut didalamnya;

f. Akta Pemindahan Hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda
kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum
berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997;

g. Akta Pemindahan Hak Atas Tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah,
yang tanahnya belum dibukukan;

h. Akta Ikrar Wakaf / Surat Ikrar Wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;

i. Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya
belum dibukukan;

j. Surat Penunjukan atau Pembelian Kaveling Tanah Pengganti Tanah yang


diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;

k. Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir dan Verponding Indonesia


sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961;

l. Surat Keterangan Riwayat Tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan;

m. Lain-Lain Bentuk Alat Pembuktian Tertulis dengan Nama Apapun juga


sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-
ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria.

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
36 di Dalam Kawasan Hutan
BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN
tidak TERTULIS

hak tanggungan.
Apabila bukti kepemilikan tertulis tidak lengkap atau tidak ada, maka
pembuktian dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih
secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-
pendahulunya, dengan syarat:

1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara


terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah,
serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan
masyarakat setempat dan tidak mempunyai hubungan keluarga
dengan yang bersangkutan.

2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama


pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum
adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak
lainnya.

Bukti tidak tertulis ini menjadi penting untuk kawasan yang belum
pernah mendapatkan layanan pendaftaran tanah dari negara. Dapat
dipastikan bahwa mayoritas penggunaan lahan di dalam kawasan hutan
tidak memiliki bukti tertulis. Bisa dimaklumi karena BPN selama ini
memang tidak diperbolehkan melakukan pendaftaran tanah di dalam
kawasan hutan.

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
37 di Dalam Kawasan Hutan
Bukti tidak tertulis bagi masyarakat biasa ini banyak ragamnya,
tergantung kondisi lokal/setempat dan disesuaikan dengan aturan
adat atau kebiasaan masyarakat setempat. Pemohon yang tidak
memiliki bukti tertulis harus menuliskan riwayat tanahnya dengan
jelas dan detail dan mengaitkan penguasaan lahannya itu dengan
aturan adat dan kebiasaan di masyarakat terkait dengan
kepemilikan lahan. Bukti perlu ditunjukan dengan keberadaan
tanaman yang menunjukkan bukti kepemilikan di daerah tersebut
atau tanaman yang memiliki umur sederajat dengan 20 tahun atau
lebih atau bukti-bukti lainnya (seperti bekas rumah, pemakaman
leluhur keluarga dan contoh lainnya).

Bukti tidak tertulis bagi pemohon pemerintah atau badan sosial


keagamaan yang diatur didalam peraturan kehutanan antara lain
berwujud pemukiman, fasum dan fasos. Fasum ini antara lain berupa
jalan, saluran irigasi, jaringan listrik, kantor pemerintahan dan
lainnya. Fasos antara lain berupa lapangan, pemakaman, tempat
ibadah dan lainnya.

BUKTI-BUKTI SEBELUM SEBELUM BUKTI-BUKTI


PENUNJUKAN
PENGUASAAN LAHAN PENUNJUKAN PENGUASAAN LAHAN
tidak TERTULIS KAWASAN HUTAN KAWASAN HUTAN tidak TERTULIS
Permukiman, Fasilitas Umum, Fasilitas Sosial
Ÿ Permukiman dalam Desa/Kampung
Ÿ Fasilitas Umum
Ÿ Fasilitas Sosial dalam Desa / Kampung Dengan syarat:
berdasar pada Sejarah Keberadaannya 1) Telah ditetapkan dalam Perda, dan
2) Tercatat pada statistik desa/ Kecamatan, dan
3) Penduduk >10 KK dan terdiri dari <10 rumah.
4) tidak berlaku pada provinsi yang luas
kawasan Hutannya <30%

Syarat 1 s/d 3 adalah kumulatif.

sebuah beje
(semacam kolam untuk
menjebak/menangkap ikan)
di Teluk Timbau, Kabupaten
Barito Selatan yang dijadikan
bukti tidak tertulis dalam
pengajuan permohonan IP4T
(Courtesy WALHI KALTENG 2015)

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
38 di Dalam Kawasan Hutan
Dari nama proses (yakni IP4T) dan juga ketua Tim IP4T, ada kemungkinan
peraturan dan kebijakan yang dipakai berasal dari BPN. Dari beberapa kali
pertemuan dari BPN ada indikasi kuat beberapa staf BPN hanya melihat bukti
tertulis sebagai bukti utama. Pandangan ini sebenarnya tidak hanya ada di
kalangan staf BPN tetapi juga di pihak lain di anggota Tim IP4T.

Sebagai antisipasi perlu masyarakat perlu memperkuat argumentasi bahwa


(1) Layanan BPN untuk pendaftaran tanah belum menyentuh semua wilayah di
Indonesia.
(2) BPN tidak memberikan layanan pendaftaran tanah yang berada di dalam
kawasan hutan (sehingga pasti akan sulit menemukan, misalnya sertifikat
tanah, di dalam kawasan hutan. Kecuali untuk bukti tertulis yang berasal dari
hak atas tanah lama (dijelaskan di halaman sebelumnya)).

Untuk itulah masyarakat perlu mempersiapkan diri dengan mengidentifikasi


bukti-bukti tidak tertulis yang menunjukkan klaim kuatnya atas lahan tersebut.
Bukti tidak tertulis itu misalnya dapat dilihat dari makam keramat, lokasi keramat,
bentuk penggunaan lahan yang khas, keberadaan pohonan berumur panjang,
dan lain-lain.

Kita ambil contoh di Barito Selatan. Di 18 desa/dusun yang dijadikan lokasi


prioritas terdapat bentuk unik penguasaan masyarakat atas lahan berupa Beje.
Beje merupakan kolam persegi panjang yang dibuat oleh masyarakat yang berada
di daerah pasang surut sungai/danau yang dipergunakan untuk menjebak ikan.
Bentuk dan luas Beje ini bervariasi. Ada yang hanya leber 1 meter dan panjang 3
meter. Ada juga yang panjangnya ratusan meter. Di beberapa desa di Barsel, Beje
bisa menunjukkan kepemilikan seseorang atas lahan disekitarnya. Jelasnya jika si
A memiliki Beje di satu lokasi B, maka Si A ini adalah pemilik dari Lokasi B tadi
(tentu dengan batas-batas yang disepakati dengan yang berbatasan). Tapi di desa
yang lain, Beje ini tidak menunjukkan kepemilikan atas lahan disekitarnya. Jadi
dalam kasus ini si A hanya memiliki lahan seluas Beje tersebut. Apapun kondisinya,
Beje dapat dijadikan bukti sudah adanya penguasaan lahan di dalam kawasan
hutan.

Kasus di Legon Pakis, Pandeglang bisa juga dijadikan contoh. Kalau di daerah ini
bukti tidak tertulisnya bisa dilihat dari keberadaan pohon kelapa yang berjejer
yang sudah berbuah. Kita tahu sendiri bahwa dibutuhkan waktu lebih dari satu
dekade bagi pohon kelapa untuk berbuah.

Di sisi yang lain, keberadaan kebun rotan atau pohon tanggiran (pohon dimana
ada rumah lebah)atau perkebunan buah dapat juga diajukan sebagai salah satu
bukti penguasaan masyarakat atas lahan.

Bukti Tertulis & Penyelesaian Penguasaan Tanah


Tidak Tertulis
39 di Dalam Kawasan Hutan
Bab IV
Apa yang bisa
dilakukan
masyarakat ?
Pembentukan Tim IP4T sangat penting karena tim inilah yang akan
menerima permohonan masyarakat, melakukan verifikasi, analisis JIKA
TIM IP4T
data (hukum dan fisik lapangan) dan mengeluarkan rekomendasi.
Selama belum ada Tim IP4T ini bisa dipastikan pelaksanaan IP4T

BELUM
menurut Perber 4 Menteri tidak akan berjalan.

TERBENTUK
Tapi jangan kawatir, usaha tertentu harus dilakukan agar Tim IP4T
terbentuk di Kabupaten atau provinsi.

Usaha yang bisa dikerjakan bersama-sama


dengan para pendamping masyarakat
adalah:

(1) Kumpulkan nomor kontak pejabat/staf


yang bekerja di instansi yang termasuk
dalam daftar anggota IP4T
(2) Datangi (bersama kawan-kawan dan
organisasi pendamping) dan temui
pejabat terkait di Kantor Pertanahan/
Kanwil Pertanahan setempat. Ajaklah
Pertemuan dengan Asosiasi Kepala Desa
diskusi terkait persiapan pelaksanaan di Lumajang membahas IP4T
(courtesy andree-temanggung)
IP4T.
(3) Bawa data terkait penggunaan lahan di
desa anda; perlihatkan (jangan
berikan) kepada pejabat/staf anggota Tim IP4T dan diskusikan pentingnya
penyelesaian konflik di desa anda
(4) Buat pertemuan kampung dan undang beberapa pejabat yang terkait dengan
pelaksanaan IP4T sebagai narasumber
(5) Buat surat kepada anggota DPRD/DPR/DPD dari wilayah anda untuk meminta
waktu bertemu. Jika undangan bersambut, ajak diskusi dan perlihatkan data
penggunaan lahan dan konflik di desa anda. Ceritakan secara singkat masalah
anda.
(6) Jika memungkinkan, minta waktu bertemu dengan Sekretaris Daerah untuk
bicarakan masalah anda dan perlunya pembentukan Tim IP4T
(7) Jika punya jaringan politik yang bagus, temui langsung bupati/gubernur anda dan
minta mereka bentuk Tim IP4T atau pergunakan
(8) Buat pertemuan dengan teman-teman Media Massa, ajak diskusi soal masalah
anda dan perlihatkan data anda disertai dengan press release.
(9) Buat unjuk rasa di depan kantor bupati/gubernur dengan damai. Lakukan berkali-
kali. Organisasi unjuk rasa dengan cermat dan terukur untuk menghindari hal yang
tidak diinginkan.
(10) Bersabarlah...

Jika Tim IP4T Penyelesaian Penguasaan Tanah


belum terbentuk
43 di Dalam Kawasan Hutan
PENENTUAN
Setelah pembentukan Tim IP4T, baik di tingkat
KAWASAN
/ DESA
kabupaten maupun provinsi, dilakukan kegiatan untuk
konsolidasi internal, termasuk penentuan tim lapangan,
anggaran dan penentuan lokasi prioritas.

Dalam Perber 4 Menteri disebutkan bahwa pelaksanaan PRIORITAS


IP4T dilakukan dalam satu kawasan dengan jangka waktu
selama 6 bulan. Kawasan yang dimaksud ditentukan oleh Tim IP4T
yang dapat berupa satu desa, beberapa desa/kampung. Tergantung
pada penilaian dan anggaran yang tersedia.

Penentuan lokasi prioritas ini sangat penting diperhatikan oleh


masyarakat. Karena di lokasi prioritas ini dipastikan energi dari Tim
IP4T akan dicurahkan. Lagi pula harus diingat: Perber 4 Menteri ini
diterbitkan sebagai diskresi untuk menutupi ketiadaan hukum yang
memungkinkan terjadinya sistem pertanahan yang terintegrasi.

Dengan kata lain, momen dan kesempatan menjadi penting.

Penentuan lokasi prioritas IP4T selama ini dilakukan baik secara top-
down maupun dengan melihat permohonan yang diajukan oleh
masyarakat. Pada titik ini, masyarakat bisa bersifat pasif maupun
aktif. Dalam rangka merebut kesempatan alangkah lebih baiknya jika
masyarakat bersikap aktif dalam menentukan lokasi prioritas ini.

Bagaimana hal itu dilakukan?

1. Masyarakat harus memastikan bahwa Tim IP4T sudah


terbentuk di kabupaten/provinsi setempat. Untuk
mengetahuinya bisa meminta informasi kepada Kantor
Sekda bagian Hukum atau kantor Pertanahan atau Dinas
Kehutanan. Mintalah SK pemebntukan Tim IP4T agar bisa
dilihat susunan anggotanya dan menjadi dasar untuk
nantinya mencari informasi lain.
2. Masyarakat bisa mengumpulkan identitas pengguna lahan
yang berada di dalam kawasan hutan. Pengguna lahan ini
berasal dari desa yang sama (ini agar memudahkan
identifikasi awal). Apa yang diisi dalam form identifikasi awal
itu bisa mencontek form pengajuan permohonan yang ada di
dalam lampiran buku ini.

Penentuan Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan / Desa
Prioritas 44 di Dalam Kawasan Hutan
3. Hasil dari identifikasi sederhana ini kemudian diajukan
kepada Ketua Tim IP4T (Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kakanwil). Dengan tujuan agar meminta di desa
pengusul diadakan kegiatan IP4T di dalam kawasan hutan.
4. Pada proses usulan itu, akan sangat baik jika ada pemetaan
partisipatif yang meliputi seluruh desa dan sudah disepakati
oleh pihak-pihak yang bertetangga. Pemetaan partisipatif
yang detail akan lebih memudahkan Tim IP4T ketika
melakukan verifikasi.
5. Jika lokasi prioritas sudah dilakukan dan bukan berada di
desa pengusul, maka pastikan usulannya ditempatkan dalam
prioritas selanjutnya (Ingat, menurut Perber 4 Menteri,
pelaksanaan IP4T di satu lokasi selama 6 bulan).
6. Selama menunggu dijadikan prioritas selanjutnya itu,
masyarakat bisa menyusun pemetaan partisipatif, jika belum
punya. Atau menyempurnakan pemetaan partisipatif (misal
dengan menambahkan peta penggunaan lahan di
dalamnya), jika masyarakat sudah memilikinya. Kejelasan
penggunaan lahan, apalagi sudah ada kesepakatan di
internal masyarakat sendiri atas batas-batas lahannya,
pastinya akan memudahkan proses IP4T.

Desa Guguk,
Kecamatan Renah Pembarap
Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi

Penentuan Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan / Desa
Prioritas 45 di Dalam Kawasan Hutan
Citra Satelit Lokasi Ip4t
Ujung Kulon, Banten
(courtesy JKPP 2015)
Legon Pakis,

Penentuan Penyelesaian Penguasaan Tanah


Kawasan / Desa
Prioritas 46 di Dalam Kawasan Hutan
Dalam pelaksanaan IP4T, masyarakat berperan
PENGUMPULAN
DATA PENGGUNAAN
sebagai pemohon. Permohonannya dilakukan
secara bersama-sama dan ditujukan kepada Bupati

LAHAN DI DESA
lewat Tim IP4T. Masyarakat bersama-sama dengan
Kepala Desa melakukan pengumpulan data terkait
dengan lahan garapan dan lahan yang diklaim yang
berada di dalam kawasan hutan.

Proses IP4T dalam Perber 4 Menteri berbeda dengan pelaksanaan IP4T yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan/BPN yang biasanya sporadik (sendiri-
sendiri). Proses IP4T dalam Perber 4 Menteri dilakukan secara kolektif per
desa. Kepala Desa dan aparat desa mengambil peranan penting sebagai
pihak yang mengumpulkan permohonan dari warganya.

Dalam Petunjuk Teknis sudah dijelaskan


informasi seperti apa yang ada di dalam
lembar permohonan. Informasi yang harus
ada dalam permohonan berintikan pada nama
pemilik / pengguna lahan, luas lahan, dengan
siapa berbatasan langsung dan sejarah
pemilikan / penggunaan / pemanfaatan lahan.

Perlu juga ditegaskan: permohonan ini


diajukan oleh pemilik, pengguna, pemanfaat
lahan yang berada di dalam kawasan hutan
yang berupa masyarakat biasa maupun
masyarakat adat, pemerintah dan badan sosial
/keagamaan. Tidak ada pemohon dari
perusahaan.

Pemerintah Desa dapat mengajukan dirinya


sebagai pemohon untuk mengklaim tanah-
tanah yang diklaim sebagai aset desa atau
lahan-lahan di sekitar yang diklaim warga Surat Pernyatan enguasaan Fisik
Bidang Tanah (sporadik)
namun belum ad a yang menguasai. di Ujung Jaya, Pandeglang, Banten
Permohonan dari Pemerintah Desa ini akan
memperkuat permohonan lain yang diajukan
oleh masyarakat/kelompok masyarakat.

Pengumpulan Data Penyelesaian Penguasaan Tanah


Penggunaan Lahan
di Desa 47 di Dalam Kawasan Hutan
INGAT !
1. Ingat, dalam proses pengumpulan data/identifikasi
data penguasaan tanah di dalam kawasan hutan ini,
pemohon harus melampirkan bukti: Tertulis dan Tidak
Tertulis. Contoh bukti tertulis dan tidak tertulis bisa
dilihat di Bab tentang Bukti Tertulis dan Tidak tertulis.
2. Ingat juga, dalam proses penyusunan riwayat
penguasaan tanah: sebutkan penguasa tanah saat ini
serta PENDAHULU-PENDAHULUnya
(pemilik/pengguna sebelumnya).
3. Ingat, sebutkan CARA mendapatkan tanah yang
sekarang digarap di dalam kawasan hutan. Misal
apakah lewat warisan, hibah atau jual beli.
4. Surat keterangan penguasaan fisik tanah ini harus
ditandatangani yang bersangkutan dan saksi-saksi.
Kepala Desa akan mengesahkan masing-masing surat
keterangan penguasaan tanah ini.

JANGAN
LUPA
YA !

Pengumpulan Data Penyelesaian Penguasaan Tanah


Penggunaan Lahan
di Desa 48 di Dalam Kawasan Hutan
Ini merupakan pertanyaan yang perlu hati-hati
ditanggapi. Mengingat proses IP4T/Perber 4

PENDANAAN
Menteri, sebagaimana sudah dijelaskan di muka,
merupakan terobosan hukum yang pastinya akan
memunculkan reaksi dan resistensi tertentu dari
pihak-pihak yang terganggu. Setiap iuran yang
ditarik untuk memperlancar proses ini (biarpun OLEH MASYARAKAT
DALAM PROSES IP4T
dengan iuran uang yang sedikit dan sudah
disepakati oleh masyarakat) dapat dijadikan dalih
macam-macam. (Kasus di Lumajang, kejadian ini
dimanfaatkan untuk menghembuskan isu bahwa
“terjadi praktek jual beli lahan” yang menjadi dalih untuk melakukan kriminalisasi
pada tokoh yang menggerakkan IP4T).

Untuk soal ini keberadaan organisasi masyarakat yang solid dan dihormati oleh
masyarakat menjadi penting. Apalagi jika organisasi masyarakat tersebut memang
dibentuk oleh masyarakat itu sendiri dan dipergunakan untuk memfasilitasi
kepentingan masyarakat. Tentu saja soal swadaya ini pasti sudah dibahas di dalam
internal organisasi masyarakat ini.

Padahal iuran ini penting peranannya dalam pelaksanaan IP4T, misalnya pembelian
materai, uang transport dan konsumsi bagi yang membantu proses pendataan.
Intinya, iuran ini hanya untuk kepentingan masyarakat sendiri. Bukan untuk
membayar pihak lain, apalagi petugas IP4T.

Ingat pula: masyarakat tidak diperbolehkan memberikan uang apapun kepada


petugas IP4T yang datang ke desanya. Karena hal itu merupakan perbuatan suap.
Pastikan semua masyarakat mengetahui hal ini. Begitu pula laporkan jika Petugas
IP4T meminta iuran atau menjanjikan proses yang lebih mudah dengan membayar
sejumlah uang.

setiap pengumpulan dana secara swadaya


oleh masyarakat harus melalui persetujuan
bersama seluruh anggota masyarakat
pemohon IP4T, dan penggunaannya harus
transparan agar tidak timbul masalah yang
melemahkan masyarakat dalam
memperjuangkan IP4T

Pendanaan oleh Penyelesaian Penguasaan Tanah


Masyarakat
dalam Proses IP4T 49 di Dalam Kawasan Hutan
Meskipun kebijakan tentang IP4T masih tergolong baru,

ANTISIPASI
dibeberapa wilayah proses penginvetarisasian sudah mulai
dijalankan. Lokasi tersebut tersebar di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Dalam proses pengimplementasian, tidak jarang
ditemukan kendala. Salah satunya adalah konflik yang terjadi
di kalangan internal masyarakat. Konflik ini bisa disebabkan KONFLIK
INTERNAL
karena masalah teknis seperti belum jelasnya batas antar
lahan; maupun konflik kepentingan, seperti perebutan
pengaruh antar pihak.

Tata cara penyelesaian konflik internal dilakukan menurut permasalahan


yang menyebabkan konfik tersebut muncul.

(1) Permasalahan Teknis


Permasalahan teknis adalah permasalahan yang dapat diselesaikan
secara praktikal, misalnya ketika ada permasalahan mengenai
tumpang tindih lahan, maka yang harus dijelaskan adalah batas antar
lahan dari pihak yang bersangkutan. Untuk mencapai batas ini,
diperlukan kesepakatan antar pihak. Caranya adalah dengan
melakukan musyawarah. Musyawarah ini diikuti oleh kedua pihak
yang bersangkutan dan juga pihak yang tidak ada hubungan apapun
dengan kedua pihak bersangkutan tersebut yang berperan sebagai
penengah atau mediator. Karena musyawarah dilakukan dalam
konteks kesepakatan batas wilayah, maka pembicaraan musyawarah
adalah mengenai klaim-klaim yang memunculkan batas-batas masing-
masing pihak. Kemudian mediator tadi melakukan penilaian secara
adil berdasarkan argumen-argumen klaim yang sebelumnya telah
disampaikan oleh masing-masing pihak. Setelah itu, mediator
memutuskan batas yang paling adil yang tidak memberatkan kedua
belah pihak.

(2) Permasalahan Bukan Teknis


Permasalahan bukan teknis adalah permasalahan yang tidak hanya
dapat selesai dengan cara praktikal, perlu ada usaha-usaha lain agar
masalah tersebut selesai. Permasalahan bukan teknis ini misalnya
adalah perebutan pengaruh antar pihak. Perebutan pengaruh ini
dapat terjadi karena pihak terlibat dalam perebutan tersebut memiliki
kepentingan dalam pelaksanaan IP4T. Satu pihak kepentingannya
diuntungkan; pihak lain kepentingannya dirugikan. Untuk
menanggapi hal ini yang harus dilakukan adalah tetap berpegang
pada tahap-tahap pelaksanaan IP4T. Ini akan sulit, tapi jangan
menyerah. Karena badai pasti berlalu.

Antisipasi Penyelesaian Penguasaan Tanah


Konflik
Internal 50 di Dalam Kawasan Hutan
Selain proses pengumpulan data ketika akan PENDAMPINGAN
PROSES VERIFIKASI
mengusulkan pelaksanaan IP4T, masyarakat
juga perlu mengawasi dan kalau perlu terlibat

LAPANGAN
dalam proses verifikasi dan pendataan
lapangan yang dilakukan oleh Tim IP4T. Hasil
dari verifikasi ini menjadi bahan penting
ketika Tim IP4T merapatkan penyusunan
rekomendasi.

Masyarakat perlu mengawasi pelaksanaan verifikasi oleh Tim IP4T.


Tujuannya dua hal, yaitu:
1. Memastikan Tim IP4T bekerja sesuai petunjuk teknis dan
peraturan perundang-undang yang ada serta dengan
informasi di dalam permohonan masyarakat.
2. Memastikan tidak adanya “penyusup” berupa identitas
orang yang tidak dikenal oleh masyarakat di daerah tersebut
yang kemudian masuk menjadi bagian dari IP4T di daerah
tersebut. (Ingat, solusi kedua bagi mereka yang tidak
memenuhi kriteria verifikasi penguasaan lahan selama 20
tahun lebih adalah dengan diberikan hak lewat reforma
agraria. Reforma agraria ini dilakukan negara dan dari
pengalaman yang ada di Jawa (misal Cilacap) jumlah mereka
yang mendapatkan bagian dalam reforma agraria tiba-tiba
membludak melampaui penggarap tanah yang berhak.
Akibatnya adalah luas lahan yang mengecil dan memfasilitasi
jual-beli tanah).

Pada proses ini masyarakat perlu mempersiapkan diri dengan baik.


Keberadaaan organisasi masyarakat yang rapi dan dihormati menjadi
keberuntungan. Organisasi ini misalnya yang nanti akan membagi
peran pengawasan dalam setiap tahapan IP4T. Termasuk mengatur
siapa yang akan mengawasi pelaksanaan rapat Tim IP4T di ibukota
kabupaten (untuk memastikan hasil rekomendasi sesuai dengan
harapan dan fakta yang ada di lapangan).

Pendampingan Penyelesaian Penguasaan Tanah


Proses Verifikasi
Lapangan 51 di Dalam Kawasan Hutan
JIKA
Masyarakat adat termasuk salah satu pemohon dalam proses
IP4T. Hanya saja sampai sekarang tidak ada petunjuk
pelaksanaannya. Dalam Perber 4 Menteri sendiri, posisi

MASYARAKAT
masyarakat adat juga tidak jelas. Misalnya apakah dasar
verifikasinya mengikuti ukuran penguasaan lahan selama 20

ADAT
tahun atau tidak? Atau jika sudah ada SK Bupati/Gubernur
atau Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat, lalu
apa yang harus dilaksanakan selanjutnya, apakah tahapannya
akan mengikuti tahapan IP4T bagi pemohon
individual/kelompok masyarakat? Ketentuan soal ini belum ada penjelasannya.

Namun demikian, proses pengakuan yang sedang berlangsung lewat mekanisme


Perda atau SK Bupati/Gubernur hendaknya tetap dilaksanakan. Apalagi jika dalam
proses penyusunan Perda/SK itu dilakukan proses verifikasi wilayah adat.
Sehingga ketika Perda/SK terbit, sudah jelas pula letak dan luas wilayah adat.
Informasi soal ini tentu akan membantu proses IP4T, terutama jika ada wilayah
adat itu yang berada di dalam kawasan hutan. Jika itu yang terjadi (sebagian atau
seluruh wilayah adat yang diakui dengan Perda/SK Bupati/Gubernur) maka
sebenarnya proses dalam IP4T dapat diajukan acuan untuk proses selanjutnya.

PENETAPAN
MASYARAKAT
ADAT

Identifikasi
Masyarakat Pengajuan ke
Hukum Adat PTUN jika ada
oleh Bupati ketidaksepakatan
melalui atas penetapan
Camat
Ada
Keberatan

Penetapan
Verifikasi dan Masyarakat
validasi oleh Hukum Adat
Panitia Pengumuman dengan
Masyarakat Hasil Verifikasi Tidak ada SK Bupati
Hukum adat dan Validasi Keberatan / SK Bersama
Bupati

Panitia MHA terdiri dari:


• Sekretaris Daerah,
• Kepala SKPD Pemberdayaan
Masyarakat Adat terkait
• Kabag Hukum Pemerintah Daerah
• Camat
• SKPD terkait

Jika Penyelesaian Penguasaan Tanah


Masyarakat
Adat 52 di Dalam Kawasan Hutan
UUD 1945 Pasal 18B :
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya PENGAKUAN KONSTITUSI
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan ATAS KEBERADAAN
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, MASYARAKAT HUKUM ADAT
yang diatur dalam undang-undang.

• memiliki perasaan bersama dalam kelompok


• memiliki pranata pemerintahan adat Unsur-unsur
• memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat pembentuk
• memiliki perangkat norma hukum adat Masyarakat
• terdapat di wilayah tertentu untuk kesatuan masyarakat Hukum Adat
hukum adat yang bersifat teritorial

• keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang


berlaku; dan
• substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
Syarat warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat
Keberadaan yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
Masyarakat manusia.
Hukum Adat • keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik lndonesia
• substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan

Buku yang dipublikasikan


oleh Epistema Institute
tentang bagaimana cara
untuk mendapatkan
pengakuan hak
masyarakat adat melalui
Perda ataupun produk
hukum lainnya.

Jika Penyelesaian Penguasaan Tanah


Masyarakat
Adat 53 di Dalam Kawasan Hutan
PENGAWASAN
Tugas Tim IP4T berakhir ketika rekomendasi
diserahkan kepada Kantah/Kakanwil pertanahan. PROSES IP4T
Selanjutnya tahapannya akan lebih banyak bergulir di
tingkat nasional, yakni proses persetujuan dari DI TINGKAT
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupa
dilepas atau tidak wilayah yang diklaim dari kawasan
hutan serta penetapannyasebagai areal perhutanan
NASIONAL
sosial (jika klaim tidak terbukti).

Pengawasan pada tahapan yang berlangsung di tingkat


kabupaten/provinsi memang dari segi jarak, waktu dan biasa masih
bisa dikerjakan oleh masyarakat pengusul/pemohon. Namun untuk
tahapan yang bergerak ke tahapan nasional ini perlu kiranya
masyarakat pemohon untuk melakukan komunikasi dengan
organisasi atau individu berpengaruh di tingkat nasional yang
memiliki perhatian pada penyelesaian konflik tenurial atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Organisasi atau individu ini perlu diperiksa latar belakang dan rekam
jejaknya dengan teliti oleh masyarakat agar sesuai dengan harapan.
Karena bagaimana pun soal ini dapat dimanfaatkan oleh individu
atau organisasi yang tidak bertanggung jawab untuk sekedar
menaikkan bendera organisasi dan namanya serta berita kecil di
koran nasional. Hanya itu.

Organisasi/individu berpengaruh di tingkat nasional ini dapat


dimintai tolong untuk mengawasi proses yang terjadi di internal
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama di bagian
Planologi Kehutanan. Proses ini diperkirakan tidak akan lebih
transparan dari proses-proses sebelum dan sesudahnya dalam IP4T.
Untuk itu pilihlah organisasi atau individu yang memiliki jaringan
(atau mempunyai hubungan baik) dalam Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.

Pengawasan Proses IP4T Penyelesaian Penguasaan Tanah


di Tingkat Nasional
54 di Dalam Kawasan Hutan
Kita ketahui bersama, bentuk penyelesaian konflik
MEMILIH
PERHUTANAN
tenurial menurut Perber 4 Menteri salah satunya adalah
kemitraan dengan masyarakat dalam mengelola hutan

SOSIAL
dan perhutanan sosial. Ini merupakan bentuk
penyelesaian konfik bagi masyarakat yang klaim atas
lahannya tidak diakomodasi oleh Tim IP4T atau oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dengan ditetapkan sebagai wilayah perhutanan sosial menunjukkan


bahwa kawasan yang tadinya berkonflik berubah statusnya menjadi
kawasan hutan negara. Dan di atas kawasan hutan negara memang
tidak diperkenankan adanya hak atas tanah. Sehingga masyarakat
hanya memiliki akses untuk menggunakan sebagian lahan yang
ditetapkan sebagai lahan untuk perhutanan sosial.

Proses untuk mendapatkan perizinan perhutanan sosial ini memang


berundak dan membutuhkan waktu yang panjang. Sekarang
memang sedang ada proses perbaikan birokrasi dalam mendapatkan
perizinan untuk perhutanan sosial ini. Masyarakat bisa menghubungi
organisasi yang lama berkutat dalam soal perhutanan sosial ini. Jika
tidak ada, masyarakat dapat menghubungi dinas kehutanan di
kabupaten untuk mendapatkan informasi terkait perhutanan sosial.

Memilih Penyelesaian Penguasaan Tanah


Perhutanan
Sosial 55 di Dalam Kawasan Hutan
SK Menteri Kehutanan No 5984/Menhut-vi/BPRPUK/2014
tentang Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan pada
Kawasan Hutan Produksi yang Tidak Dibebani Izin
Untuk Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Beberapa artikel media di indonesia


tentang perlunya Inpres yang
mengatur Perhutanan sosial
agar memperkuat ruang kelola
kawasan hutan oleh masyarakat

Pengawasan Proses IP4T Penyelesaian Penguasaan Tanah


di Tingkat Nasional
56 di Dalam Kawasan Hutan
JARING
IP4T di dalam kawasan hutan merupakan terobosan hukum
untuk kebijakan perlindungan hak-hak masyarakat yang
berada di dalam kawasan hutan. Tentu saja, yang namanya

PENGAMAN
terobosan akan berhadapan dengan kebijakan, peraturan
atau pemikiran yang sudah mapan. Atau mengganggu
kepentingan yang ada. Jika perdebatannya masih dalam
lingkup diskusi dalam ruangan, mungkin masih wajar. Tetapi
keadaan akan berbeda jika persoalannya sudah menyentuh level
kekerasan.

Karena itu, masyarakat yang mendorong IP4T di dalam kawasan hutan


perlu memikirkan dan menyediakan jaring pengaman. Jaring pengaman ini
penting agar dalam proses usulan dan selama dalam tahapan IP4T di dalam
kawasan hutan masyarakat dapat terhindar dari kejadian yang tidak
diinginkan.

1. Hal pertama yang perlu ada di dalam jaring pengaman adalah


memperkuat dan membuka jaringan dengan lembaga atau organisasi
yang memiliki perhatian dan tujuan yang sama. Organisasi ini tidak
terbatas pada mereka yang bekerja di isu agraria atau penyelesaian
konflik, tetapi juga bisa dengan organisasi keagamaan yang dihormati di
sekitar lokasi (atau calon lokasi) pelaksanaan IP4T.

2. Dalam membangun jaring pengaman pula perlu memperkuat ikatan


organisasi atau sosial di desa. Ikatan yang kuat ini penting untuk
menghindari kesalahpahaman atau perbedaan strategi dalam
bertindak. Seringlah diadalakan pertemuan rutin (pengajian atau
pertemuan RT) atau jagongan (pertemuan informal) sambil
menginformasikan seluk beluk Perber 4 Menteri dan IP4T.

3. Menghubungi lembaga bantuan hukum setempat (misalnya LBH)


sebagai antisipasi jika ada masalah terkait dengan hukum. Dapat pula
meminta bantuan pengacara yang dapat dipercaya.

4. Membuka komunikasi dengan media massa agar ketika diperlukan


masyarakat dapat memanfaatkan media massa untuk
menginformasikan posisi dan tujuan dilakukannya IP4T di wilayahnya.
Misalnya untuk menginformasikan mengapa IP4T di dalam kawasan
hutan dilakukan di wilayahnya.

Jaring Penyelesaian Penguasaan Tanah


pengaman
57 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran
Lampiran 1
Formulir Permohonan
Inventarisasi Pengusaan Tanah
Dalam Kawasan Hutan

Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah


61 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran 2
Contoh Sketsa Bidang Tanah
Permohonan Inventarisasi
Pengusaan Tanah Dalam Kawasan Hutan

Lampiran
62
di Dalam Kawasan Hutan
Penyelesaian Penguasaan Tanah
Lampiran 3
Contoh Blangko Identifikasi Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan, dan Pemilikan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan

Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah


63 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran 4
Daftar Subyek Inventarisasi
Penguasaan Pemilikan Penggunaan
dan pemanfaatan Tanah (IP4T)

Lampiran
65
di Dalam Kawasan Hutan
Penyelesaian Penguasaan Tanah
Lampiran 5
Surat Pernyataan Pengusaan
Fisik Bidang Tanah (Sporadik)

Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah


66 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah
67 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran 6
Berita Acara IP4T

Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah


68 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah
69 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah
70 di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran Penyelesaian Penguasaan Tanah
71 di Dalam Kawasan Hutan
Glosarium
Data Fisik
Keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan di atasnya.

Data Yuridis
Keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.

Hak Atas Tanah


Hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan
atau memperoleh manfaat dari tanah yang dihakinya. Hak atas tanah diantaranya
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dll.

Hak Ulayat
Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu
atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehiduannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah


(IP4T)
Kegiatan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah, yang diolah dengan sistem informasi geografis, sehingga menghasilkan
peta dan informasi mengenai penguasaan tanah oleh pemohon.

Pemanfaatan Tanah
Kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah fisik penggunaan
tanahnya.

Pemberian Hak Atas Tanah


Penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara.

Pemilikan Tanah
Hubungan hukum orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum yang
dilengkapi dengan bukti kepemilikan baik yang sudah terdaftar (sertipikat hak
atas tanah) maupun yang belum terdaftar.

Glosarium Penyelesaian Penguasaan Tanah


75 di Dalam Kawasan Hutan
Penataan Batas Kawasan Hutan
Kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman,
inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas,
pengukuran dan pemetaan serta pembuatan Berita Acara Tata Batas.

Penegasan Hak
Proses pemberian hak atas tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap dan alat
bukti tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang
bersangkutan.

Penetapan Kawasan Hutan


Suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas
suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

Pengakuan hak
Proses pemberian hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi
telah dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun.

Pengakuan hak masyarakat adat


Pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat
sepanjang kenyataannya masih ada.

Penggunaan Tanah
Wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
kegiatan manusia.

Penguasaan Tanah
Hubungan hukum antara orang perorangan, kelompok orang atau badan hukum
dengan tanah.

Pengukuhan Kawasan Hutan


Rangkaian kegiatan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan
kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status,
letak, batas dan luas kawasan hutan.

Penunjukan Kawasan Hutan


Penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.

Glosarium Penyelesaian Penguasaan Tanah


76 di Dalam Kawasan Hutan
Perencanaan Kehutanan
Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan
dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk
memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan

Rekomendasi Tim IP4T


Hasil analisis penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pada
kawasan hutan yang dibuat oleh Tim IP4T. Hasil Rekomendasi ini diserahkan
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kakanwil Pertanahan untuk nantinya
diserahkan kembali kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)


Perangkat daerah yang bertanggung jawa atas pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah.

Tanah Ulayat Masyarakat Adat


Bidang tanah yang di atasnya terdapat kewenangan yang menurut hukum adat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat
untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.

Trayek Batas
Uraian arah penataan batas yang memuat jarak dan azimuth dari titik ke titik ukur
dan di lapangan ditandai dengan rintis batas dan patok batas atau tanda-tanda
lainnya.

Glosarium Penyelesaian Penguasaan Tanah


77 di Dalam Kawasan Hutan
Perber 4 Menteri ini memberikan ruang yang lebih terbuka (dan
bahkan menyeimbangkan level “pertarungan”) bagi masyarakat
lokal dan adat untuk memperjuangkan klaim hak atas tanah/wilayah
adat di dalam kawasan hutan. Namun Kekawatiran menyempitnya
kawasan hutan karena klaim-klaim itu tidak cukup beralasan dengan
mengingat tata kelola hutan yang buruk. Sebaliknya, kejelasan hak-
hak masyarakat lokal/adat yang selama ini tertutupi oleh klaim
sepihak negara justru dapat membuka jalan ke arah kawasan hutan
yang berlegitimasi kuat.

Buku ini diterbitkan dengan maksud menjadi pegangan bagi


masyarakat dalam memanfaatkan momentum implementasi Perber
4 Menteri tersebut. Disusun dengan memperbanyak ilustrasi
gambar agar memungkinkan masyarakat mengembangkan sendiri
imajinasinya dalam memanfaatkan momentum itu. Apa yang
dituliskan di dalamnya lebih berupa menceritakan proses daripada
menyodorkan hasil dari proses, atau dalam pengertian umum,
menceritakan cara memancing daripada menceritakan hasil
pancingannya. Buku ini juga lebih banyak menyadur dan menyerap
berbagai pengalaman baik dalam proses implementasi Perber 4
Menteri atau bukan namun terkait dan memiliki kesamaan tujuan.
Sebagai catatan, sampai buku ini diterbitkan, tidak ada satupun
pemohon yang sudah menjalani proses Perber 4 Menteri sampai
tuntas.

EPISTEMA INSTITUTE
Jalan Jati Padang Raya No. 25.
Pasar Minggu, Jakarta 12540
Telepon : +6221 78832167
Faximile : +6221 78830500
E-mail: epistema@epistema.or.id
website: www.epistema.or.id

Anda mungkin juga menyukai