Penyelesaian Penguasaan Tanah Di Dalam K
Penyelesaian Penguasaan Tanah Di Dalam K
Siti Chaakimah
Desi Martika
Penyelesaian Penguasaan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri
Penyelesaian Penguasaan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri
Mumu Muhajir
Siti Chaakimah
Desi Martika
Jakarta
2015
Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan:
Panduan Implementasi Perber 4 Menteri/ Mumu Muhajir, Siti
Chaakimah, Desi Martika - Jakarta : Epistema Institute, 2015
copyrights 2015
All rights reserved
Penulis:
Mumu Muhajir, Siti Chaakimah, Desi Martika
Rancang sampul:
Ahmad Taqiyuddin
Penerbit:
EPISTEMA INSTITUTE
Jalan Jati Padang Raya No. 25
Pasar Minggu, Jakarta 12540
Telepon : +6221 78832167
Faximile : +6221 78830500
E-mail: epistema@epistema.or.id
website: www.epistema.or.id
KATA
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) lahir satu peraturan
perundang-undangan yang bisa dianggap sebagai
PENGANTAR
terobosan hukum bagi berlarut-larutnya konflik tenurial
di dalam kawasan hutan. Terobosan hukum itu berupa
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014,
17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan
(selanjutnya Perber 4 Menteri). Peraturan ini membuka ruang satu
penyelesaian konflik di dalam kawasan hutan dengan nuansa lintas
sektor. Di dalamnya terdapat pilihan penyelesaian konflik yang
terintegratif dengan menyinkronkan berbagai peraturan dan
kewenangan terkait lahan dan hutan. Perber 4 Menteri dianggap bisa
membangun jembatan untuk terbentuknya satu sistem pertanahan
di Indonesia dan sekaligus kawasan hutan yang sah dan legitimate.
Penyusun
Daftar Isi
v
vii
ISI
Bab I - Pendahuluan 1
Latar belakang 3
Mengapa Perber 4 Menteri Penting? 5
Lampiran 59
Glosarium 73
Bab I
Pendahuluan
Ketidakjelasan penguasaan/pemilikan lahan di dalam kawasan
hutan merupakan faktor penting bagi masih tingginya angka
deforestasi hutan dan kerusakan hutan di Indonesia. Hal ini
LATAR
terbukti dengan masih tingginya konflik di dalam kawasan hutan.
Masyarakat yang berkonflik tidak bisa mengakses lahan dan
BELAKANG
bahkan kehilangan lahannya akibat ketidakjelasan
penguasaan/pemilikan lahan ini. Kerugian juga dialami oleh pihak
lain yang terlibat: pengusaha dan pemerintah. Pengusaha
kehilangan waktu dan biaya menjalankan operasional
perusahaannya. Pemerintah kehilangan kredibilitas dan kepercayaan dari
masyarakat. Kerugian juga dialami oleh masyarakat luas yang terhalangi dan
tidak bisa menikmati hak atas berfungsinya hutan dengan baik.
PENTING ?
PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 Menteri)
membuka ruang satu penyelesaian konflik yang lintas
sektor. Satu opsi penyelesaian yang terintegratif dengan berbagai
kebijakan yang membangun jembatan pada terbangunnya satu
sistem pertanahan (satu institusi mengurus status tanah, satu
institusi mengurus fungsi hutan) dan kawasan hutan tetap yang sah
dan dihormati pihak lain.
Perber 4 Menteri juga berprinsip sejauh mungkin tidak ada penghilangan hak
dan/atau pengusiran. Hal ini terlihat dari adanya opsi penyelesaian berupa
kemitraan dan perhutanan sosial. Opsi ini diberikan kepada masyarakat yang
tidak memiliki klaim atau klaimnya tidak terbukti, namum masyarakat tersebut
secara de facto mempergunakan lahan itu dengan niat baik.
ATA A N S ISTEML
PEN NASIONA
AGRARIA
KAWASAN
keberadaan letak, status dan luas kawasan hutan. Proses itu
dinamakan pengukuhan kawasan hutan (penjelasan singkatnya bisa
dilihat di bagian pendahuluan di halaman sebelumnya). Angka 120
juta hektar itu adalah angka kawasan hutan yang ditunjuk. Namanya
ditunjuk berarti belum pasti. Karena siapapun bisa menunjuk.
Supaya sampai pada kepastian maka serangkaian kegiatan perlu
HUTAN
dilakukan: penataan batas, pemetaan dan akhirnya penetapan kawasan hutan. Dan
pada titik itu senjangnya terlihat (lihat bagan di bawah). Proses penataan batas bisa
dikatakan sudah hampir 80%. Tinggal sedikit lagi kawasan hutan yang sama sekali tidak
memiliki batas sementara atau batas definitif. Tapi perhatikan angka penetapan
kawasan hutannya, hanya 62,30% (tahun 2014). Sisanya (berarti yang sudah ditata batas
maupun belum) merupakan kawasan hutan yang kekuatan hukumnya belum pasti.
Desember
2009
Sisa Tata Batas Luas Penetapan
Target Renstra s/d 2009: s/d Desember 2014:
(2010-2014): 63.117 km 62.056.374, 624 ha
25.000 km (22,36%) (63,30%)
Desember
2014
Realisasi Luas Penetapan
Tata Batas: s/d 2009:
219.206 km 13.819.510,12 ha
(77,64%) (11,29%)
Di sisi lain kita juga melihat bahwa di tengah ketidakpastian hukum atas kawasan
hutannya dan masyarakat yang tidak diakui haknya, Pemerintah justru memberikan
banyak izin kepada pemodal besar di atasnya, sebagian di atas wilayah yang berkonflik
dengan masyarakat. Wilayah yang tadinya ruwet semakin ruwet bertumpang tindih.
Pemberian izin tersebut juga memperlihatkan kesenjangan dalam pemanfaatan sumber
daya hutan. Lebih dari 90% kawasan hutan dikelola oleh swasta sementara hanya 3% saja
yang dikelola oleh masyarakat.
Ironisnya lagi, di atas kawasan hutan yang berkonflik itu banyak pula yang diberikan izin
untuk kegiatan yang bertentangan dengan tujuan pelestarian hutan, seperti pemberian
izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan terbuka. Sudahlah tidak adil
dalam pembagian kue, pemanfaatannya banyak yang bertentangan dengan tata kelola
hutan yang baik.
Kondisi suram itu perlu dilihat konteksnya dalam kelahiran Perber 4 Menteri, yang
merupakan salah satu elemen harapan ke arah perbaikan. Elemen perbaikan lain juga
pelan-pelan muncul, seperti dalam RPJMN 2015-2019 yang antara lain menegaskan
adanya 12,7 juta ha kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat atau dimitrakan
dengan masyarakat.
ober 2013
mentara OktH
atas Se
Dari Berita Aelca
ra Ta ta B
netapan Kaw14asan utan,
o n cat ke Pe Mei 2014
langsung mMenteri Kehutanan pada hak-hak masyarakat
dengan SK elaksanaan penyelesaian ng ditata batas
tidak ada pi dalam Kawasan Hutan yaDefinitif.
yang ada d n Berita Acara Tata Batas
atau bahka
kat
terdapat hak-hak masyara
2013 dilakukan penataan batas di satu kawasan hutan yang disebut Kawasan
Hutan Lindung Sungai Barito-Sungai Kapuas (HLSBSK) sepanjang kurang lebih 114
km. Penataan batas kawasan HLSBSK ini melewati dan menyentuh sekitar 18 desa
yang berada di sekitarnya. Kenyataannya setidaknya ada 7 desa yang berada di
dalam kawasan hutan (Madara, Muara Talang, Batampang, Batilap, Bintang
Kurung, Tampijak, Danau Masura). Kurangnya sosialisasi tentang fungsi hutan,
tidak pernah hadirnya layanan pemerintah ke tingkat lokal, adalah beberapa
faktor yang membuat masyarakat bereaksi.
Sesuai tahapan dalam penataan batas kawasan hutan, setelah penetapan tata
batas sementara dilakukan pembuatan berita acara tata batas kawasan hutan
sementara dan dilanjutkan dengan penyelesaian hak-hak pihak ketiga sebelum
kemudian masuk dalam tahapan penetapan tata batas definitif dan akhirnya
ditetapkan. Dalam 4 kali rapat yang diselenggarakan oleh Panitia Tata Batas (PTB),
ketidaksetujuan masyarakat selalu muncul dan akhirnya memang diterangkan
dalam Berita Acara Tata Batas Sementara. Kejadian itu ada di akhir tahun 2013.
Setelah ada Berita Acara Tata Batas Sementara itu seharusnya dilakukan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga.
Apa yang terjadi di Barito Selatan ini menjadi fakta kuat bahwa konflik tidak hanya
terjadi di kawasan hutan yang ditunjuk, tetapi juga di kawasan hutan yang
ditetapkan. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa pengukuhan kawasan hutan ala
Orde Baru yang hanya melukis di atas meja, diulang kembali. Lebih dalam dari itu
adalah kejadian ini, mengutip dalil Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
MK 45/PUU-IX/2011, mengulang perbuatan aniaya pemerintah dengan proses
pengukuhan kawasan.
BANTEN
Pada saat pertama kali ditunjuk pada tahun 1992 sebagai
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 16.380 ha,
ternyata didalamnya sudah termasuk 3 Kecamatan dan 13 Desa
dengan segala fasilitas umum dan bahkan fasilitas
pemerintahan di atasnya. Tidak berhenti di sana, pada tahun 2003,
Taman Nasional tersebut diperluas lagi menjadi 113.357 hektar
berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003. Dampak
dari perluasan ini adalah ada 10 Kecamatan dan 44 Desa yang masuk
ke dalam wilayah Taman Nasional. Penunjukan dan perluasan
dilakukan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.
Kecamatan Cibeber
1. Kasepuhan Cisitu (1.367,974 Ha)
2. Kasepuhan Cibedung (2.167,390 Ha)
3. Kasepuhan Citorek (7.534,975 Ha)
4. Kasepuhan Cirompang (646,352 Ha)
Kecamatan Muncang
5. Kasepuhan Karang (338,572 Ha)
Sumber Peta
1. Peta Partisipatif Wilayah Adat Propinsi Banten
2. Peta Indikatif Administrasi BPS 2010
3. WMS Kawasan Hutan Departemen Kehutanan
Perdanya sendiri dilampiri dengan peta wilayah adat Kasepuhan yang sebagian
besar berada di dalam Taman Nasional. Tercatat ada 9 Kasepuhan induk yang
disebutkan masuk ke dalam kawasan TNGHS (Kasepuhan Citorek, Cisitu,
Cibedug, Cirompang, Karang, Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten;
Kasepuhan Ciptagelar, Ciptamulya dan Sinarresmi di Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat). Luas wilayah 9 Kasepuhan ini sekitar 18.055,263 ha berdasarkan
pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI dan AMAN tahun 2014.
Melihat skala potensi kerugian yang massif seperti ini memang agak
mengherankan jika saat perluasaan taman nasional itu tidak ada konsultasi
terlebih dahulu dengan masyarakat dan Pemda Lebak.
Kasus di Lebak ini jika dikaitkan dengan Perber 4 Menteri akan semakin menarik.
Pertama, ini terjadi di taman nasional. Kedua, yang mendapatkan kerugian tidak
hanya masyarakat, tetapi juga pemerintah kabupaten. Perber 4 Menteri sendiri
sudah mengakomodasi pemohon dari individu/kelompok masyarakat dan
pemerintah serta badan sosial. Ketiga, adanya Masyarakat Adat Kasepuhan
dengan wilayah adatnya yang massif itu yang sebagian besar berada di dalam
Taman Nasional. Dan masyarakat adat ini baru saja diakui dengan Perda Pemkab
Lebak tahun 2015.
TIM TIM
IP4T
KABUPATEN
IP4T
PROVINSI
CAMAT SETEMPAT
LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT KETUA KETUA ATAU PEJABAT YANG DITUNJUK
ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN SEKRETARIS SEKRETARIS
LURAH/KEPALA DESA SETEMPAT
ANGGOTA ANGGOTA ATAU SEBUTAN LAIN YANG DISAMAKAN
TIM IP4T
kompleks sehingga susunan anggota Tim IP4T yang ditetapkan
oleh Perber 4 Menteri dianggap tidak cukup memadai.
Sebagai contoh, modifikasi susunan anggota Tim IP4T dilakukan oleh Kabupaten
Barito Selatan. Dalam SK Bupati Barito Selatan Nomor 130 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah di Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Selatan Tahun 2015
disebutkan susunan anggota Tim IP4T yang jumlahnya lebih banyak dari yang
diatur dalam Perber 4 Menteri. Berikut susunan Tim IP4T Barito Selatan:
Dari urutan tugas Tim IP4T itu nampak bahwa Tim IP4T ini sebenarnya pasif;
dalam arti bersikap menunggu permohonan pelaksanaan IP4T dari masyarakat.
Namun di beberapa kabupaten yang sudah ada Tim IP4T, ternyata Tim IP4T juga
melakukan pendataan untuk membantu masyarakat menyusun permohonan
pelaksanaan IP4T di wilayahnya. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Barito Selatan.
Kegiatan ini dilakukan karena setelah menunggu sekian lama, belum ada
masyarakat (lewat Kepala Desa yang berada di lokasi prioritas) yang mengajukan
permohonan pelaksanaan IP4T. Karena itu Tim IP4T melakukan jemput bola
melakukan pendataan untuk kepentingan memenuhi persyaratan permohonan.
MASYARAKAT individual
ADAT
Masyarakat kelompok
Pemerintah Lokal
pusat
desa
unit di desa
Pemerintah Pemerintah
daerah
daerah
SUBYEK
IP4T
LEMBAGA BADAN
SOSIAL SOSIAL BUKAN
SUBYEK IP4T
PROSES
sendiri jika dilihat dari kewenangannya bersifat menunggu, dalam
arti tidak turun ke lapangan untuk mengumpulkan permohonan.
IP4T
1) Tahapan pertama IP4T adalah permohonan yang dilakukan
secara kolektif oleh masyarakat pemohon dan pemerintah
kepala desa. Namun tidak menutup kemungkinan jika Tim
IP4T menjemput bola permohonan yang ada di masyarakat
ketika masyarakat, karena satu dan beberapa hal, tidak aktif
mengajukan. Dalam arti Tim IP4T mengumpulkan dan
mengindentifikasi wilayah yang dikuasai oleh masyarakat di dalam
kawasan hutan.
Berdasarkan permohonan tersebut, Tim IP4T menentukan lokasi
prioritas pelaksanaan IP4T. Lokasi prioritas ini menjadi kerja Tim IP4T
selama 6 bulan. Penentuan lokasi prioritas dapat juga dilakukan
secara “top down” dalam arti Tim IP4T menentukan lokasi prioritas
dan kemudian menunggu atau menjemput bola permohonan
masyarakat.
Dari pemaparan urutan kerja ini, ada beberapa tahapan dimana masyarakat bisa
mengawasi dan bahkan terlibat aktif. Misalkan saja dalam proses penentuan
lokasi prioritas. Masyarakat bisa mengajukan usulan kepada Ketua Tim IP4T
(Kantor Pertanahan atau Kakanwil Pertanahan) agar menjadikan desanya
sebagai lokasi prioritas IP4T.
Masyarakat juga bisa terlibat aktif dalam mengawasi kegiatan rapat-rapat Tim
IP4T dalam menyusun rekomendasi.
KANTAH /
DURASI &
3
KANWIL BPN
MENYAMPAIKAN
PROSES
HASIL ANALISIS
KEPADA DIRJEN IP4T
PLANOLOGI
4 DIRJEN
PLANOLOGI
MEMERINTAHKAN Paling lambat
PELAKSANAAN 14 hari setelah
TATA BATAS diterimanya
Penetapan SK KAWASAN hasil analisis
Perubahan HUTAN tim IP4T
Kawasan Hutan
dapat dilaksanakan
sebelum ada DIRJEN
revisi RTRW Tidak
PLANOLOGI ada rangkaian kegiatan
MENERBITKAN batas
SK PERUBAHAN waktu proses & waktu
BATAS KAWASAN
HUTAN
5
MENTERI Paling lambat
REVISI
KEHUTANAN dua bulan
setelah ada PERDA 8c
6 MENERBITKAN
SK PERUBAHAN SK Dirjen Planologi
tentang perubahan
RT/RW
BATAS KAWASAN batas kawasan
HUTAN hutan
PEMBERIAN
HAK ATAS TANAH
OLEH BPN Pemberian
BUPATI / hak atas tanah
7 GUBERNUR 8b ataupun penunjukan
MENERBITKAN pengikutsertaan
SK PENGINTEGRASIAN masyarakat dalam
ATAS SK DIRJEN PLANOLOGI PEMBERIAN SK kehutanan sosial
TENTANG PERUBAHAN PERHUTANAN SOSIAL maupun kehutanan
BATAS KAWASAN HUTAN DAN ATAU KEHUTANAN
SK MENTERI KEHUTANAN KOLABORATIF kolaboratif
TENTANG PERUBAHAN BATAS OLEH MENTERI tetap bisa
KAWASAN HUTAN KEHUTANAN dilakukan
KE DALAM RTRW BAGI MASYARAKAT selama masa
8a revisi RTRW
PROSES
sambil melakukan pendataan lapangan.
VERIFIKASI
sederhana yang bertumpu pada hukum adat dan sesuai dengan
peraturan perundangan terkait pertanahan. Indikator verifikasi
ini menjadi pegangan TIM IP4T ketika melakukan kajian data
yuridis dan data fisik di lapangan.
Verifikasi
Wilayah
Verifikasi Adat
Surat Keputusan
Walikota / Bupati
/ Gubernur
Surat Keputusan TIM IP4T
Walikota / Bupati
/ Gubernur atau Hak Komunal
Peraturan Daerah didaftarkan
Kota / Kabupaten di Kantor
/ Provinsi Pertanahan
untuk
Panitia Verifikasi mendapatkan
Masyarakat sertifikat
Hukum Adat hak komunal
yang subyeknya
adalah masyarakat
hukum adat dan
wilayah adatnya
jika pemohonnya
Pemerintah dan
Badan Sosial &
keagamaan
seperti desa, puskesmas
sekolah, rumah ibadah, dsb
Kriteria di dalam Permenhut P52/2012 jo P62/2013
LAHAN
YANG DIAJUKAN TERBUKTI
DIREKOMENDASIKAN MENGUASAI LAHAN
SEBAGAI OBJEK
REFORMA AGRARIA KURANG DARI 20 TAHUN
PEMOHON
DIREKOMENDASIKAN TIDAK
DALAM MANAJEMEN TERBUKTI
KEHUTANAN KOLABORATIF
ATAU PERHUTANAN SOSIAL KLAIMNYA
jika pemohonnya
masyarakat individual
Ingat pula, yang menjadi dasar klaim adalah sebidang atau beberapa
bidang lahan. Bukan pembuktian subjeknya. Sehingga yang penting
adalah sejarah penggunaan lahan itu, bukan proses peralihan haknya.
Jikapun dalam proses IP4T, klaim dari seseorang tidak terbukti, maka
Perber 4 Menteri tetap menyediakan alternatif penyelesaiannya berupa
perhutanan sosial. Perber 4 Menteri menghendaki tidak ada lagi
masyarakat yang diusir dari dalam kawasan hutan, apalagi masyarakat
itu sangat membutuhkan sumber daya hutan untuk mencari hidup.
Verifikasi dengan batas waktu 20 tahun ini hanya berlaku bagi masyarakat
biasa (individual) dan tidak berlaku bagi masyarakat adat.
Batas 20 tahun
dihitung sejak
Perber 4 Menteri
diterbitkan
(17 Oktober 2014)
BUKTI TERTULIS
dikuasai atau dimanfaatkan atau digunakan oleh
pemohon IP4T.
Dalam proses IP4T dikenal 2 (dua) jenis bukti yaitu bukti tertulis
maupun bukti tidak tertulis.
Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik
Bidang Tanah
(sporadik) yang
dibuat oleh warga
Ujung Jaya, Sumur,
Pandeglang, Banten
Proses Identifikasi
Penguasaan Lahan
yang dilakukan
secara kolektif
oleh warga
Legon, Banten
Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik
Bidang Tanah
(sporadik)
Peta penguasaan,
pemilikan,
penggunaan
dan pemanfaatan
tanah di Dusun
Muara Puning
Kabupaten
Barito Selatan
BUKTI-BUKTI
PENGUASAAN LAHAN
TERTULIS
1. Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Pengelolaan.
2. Hak Atas Tanah lainnya yang sudah ada klarifikasi dari Lembaga Pertanahan, seperti:
c. Surat Tanda Bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja
yang bersangkutan;
e. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dari Pejabat yang berwenang, baik
sebelum ataupun sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang tidak
disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi
semua kewajiban yang disebut didalamnya;
f. Akta Pemindahan Hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda
kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum
berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997;
g. Akta Pemindahan Hak Atas Tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah,
yang tanahnya belum dibukukan;
h. Akta Ikrar Wakaf / Surat Ikrar Wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
i. Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya
belum dibukukan;
l. Surat Keterangan Riwayat Tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan;
hak tanggungan.
Apabila bukti kepemilikan tertulis tidak lengkap atau tidak ada, maka
pembuktian dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih
secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-
pendahulunya, dengan syarat:
Bukti tidak tertulis ini menjadi penting untuk kawasan yang belum
pernah mendapatkan layanan pendaftaran tanah dari negara. Dapat
dipastikan bahwa mayoritas penggunaan lahan di dalam kawasan hutan
tidak memiliki bukti tertulis. Bisa dimaklumi karena BPN selama ini
memang tidak diperbolehkan melakukan pendaftaran tanah di dalam
kawasan hutan.
sebuah beje
(semacam kolam untuk
menjebak/menangkap ikan)
di Teluk Timbau, Kabupaten
Barito Selatan yang dijadikan
bukti tidak tertulis dalam
pengajuan permohonan IP4T
(Courtesy WALHI KALTENG 2015)
Kasus di Legon Pakis, Pandeglang bisa juga dijadikan contoh. Kalau di daerah ini
bukti tidak tertulisnya bisa dilihat dari keberadaan pohon kelapa yang berjejer
yang sudah berbuah. Kita tahu sendiri bahwa dibutuhkan waktu lebih dari satu
dekade bagi pohon kelapa untuk berbuah.
Di sisi yang lain, keberadaan kebun rotan atau pohon tanggiran (pohon dimana
ada rumah lebah)atau perkebunan buah dapat juga diajukan sebagai salah satu
bukti penguasaan masyarakat atas lahan.
BELUM
menurut Perber 4 Menteri tidak akan berjalan.
TERBENTUK
Tapi jangan kawatir, usaha tertentu harus dilakukan agar Tim IP4T
terbentuk di Kabupaten atau provinsi.
Penentuan lokasi prioritas IP4T selama ini dilakukan baik secara top-
down maupun dengan melihat permohonan yang diajukan oleh
masyarakat. Pada titik ini, masyarakat bisa bersifat pasif maupun
aktif. Dalam rangka merebut kesempatan alangkah lebih baiknya jika
masyarakat bersikap aktif dalam menentukan lokasi prioritas ini.
Desa Guguk,
Kecamatan Renah Pembarap
Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi
LAHAN DI DESA
lewat Tim IP4T. Masyarakat bersama-sama dengan
Kepala Desa melakukan pengumpulan data terkait
dengan lahan garapan dan lahan yang diklaim yang
berada di dalam kawasan hutan.
Proses IP4T dalam Perber 4 Menteri berbeda dengan pelaksanaan IP4T yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan/BPN yang biasanya sporadik (sendiri-
sendiri). Proses IP4T dalam Perber 4 Menteri dilakukan secara kolektif per
desa. Kepala Desa dan aparat desa mengambil peranan penting sebagai
pihak yang mengumpulkan permohonan dari warganya.
JANGAN
LUPA
YA !
PENDANAAN
Menteri, sebagaimana sudah dijelaskan di muka,
merupakan terobosan hukum yang pastinya akan
memunculkan reaksi dan resistensi tertentu dari
pihak-pihak yang terganggu. Setiap iuran yang
ditarik untuk memperlancar proses ini (biarpun OLEH MASYARAKAT
DALAM PROSES IP4T
dengan iuran uang yang sedikit dan sudah
disepakati oleh masyarakat) dapat dijadikan dalih
macam-macam. (Kasus di Lumajang, kejadian ini
dimanfaatkan untuk menghembuskan isu bahwa
“terjadi praktek jual beli lahan” yang menjadi dalih untuk melakukan kriminalisasi
pada tokoh yang menggerakkan IP4T).
Untuk soal ini keberadaan organisasi masyarakat yang solid dan dihormati oleh
masyarakat menjadi penting. Apalagi jika organisasi masyarakat tersebut memang
dibentuk oleh masyarakat itu sendiri dan dipergunakan untuk memfasilitasi
kepentingan masyarakat. Tentu saja soal swadaya ini pasti sudah dibahas di dalam
internal organisasi masyarakat ini.
Padahal iuran ini penting peranannya dalam pelaksanaan IP4T, misalnya pembelian
materai, uang transport dan konsumsi bagi yang membantu proses pendataan.
Intinya, iuran ini hanya untuk kepentingan masyarakat sendiri. Bukan untuk
membayar pihak lain, apalagi petugas IP4T.
ANTISIPASI
dibeberapa wilayah proses penginvetarisasian sudah mulai
dijalankan. Lokasi tersebut tersebar di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Dalam proses pengimplementasian, tidak jarang
ditemukan kendala. Salah satunya adalah konflik yang terjadi
di kalangan internal masyarakat. Konflik ini bisa disebabkan KONFLIK
INTERNAL
karena masalah teknis seperti belum jelasnya batas antar
lahan; maupun konflik kepentingan, seperti perebutan
pengaruh antar pihak.
LAPANGAN
dalam proses verifikasi dan pendataan
lapangan yang dilakukan oleh Tim IP4T. Hasil
dari verifikasi ini menjadi bahan penting
ketika Tim IP4T merapatkan penyusunan
rekomendasi.
MASYARAKAT
masyarakat adat juga tidak jelas. Misalnya apakah dasar
verifikasinya mengikuti ukuran penguasaan lahan selama 20
ADAT
tahun atau tidak? Atau jika sudah ada SK Bupati/Gubernur
atau Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat, lalu
apa yang harus dilaksanakan selanjutnya, apakah tahapannya
akan mengikuti tahapan IP4T bagi pemohon
individual/kelompok masyarakat? Ketentuan soal ini belum ada penjelasannya.
PENETAPAN
MASYARAKAT
ADAT
Identifikasi
Masyarakat Pengajuan ke
Hukum Adat PTUN jika ada
oleh Bupati ketidaksepakatan
melalui atas penetapan
Camat
Ada
Keberatan
Penetapan
Verifikasi dan Masyarakat
validasi oleh Hukum Adat
Panitia Pengumuman dengan
Masyarakat Hasil Verifikasi Tidak ada SK Bupati
Hukum adat dan Validasi Keberatan / SK Bersama
Bupati
Organisasi atau individu ini perlu diperiksa latar belakang dan rekam
jejaknya dengan teliti oleh masyarakat agar sesuai dengan harapan.
Karena bagaimana pun soal ini dapat dimanfaatkan oleh individu
atau organisasi yang tidak bertanggung jawab untuk sekedar
menaikkan bendera organisasi dan namanya serta berita kecil di
koran nasional. Hanya itu.
SOSIAL
dan perhutanan sosial. Ini merupakan bentuk
penyelesaian konfik bagi masyarakat yang klaim atas
lahannya tidak diakomodasi oleh Tim IP4T atau oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
PENGAMAN
terobosan akan berhadapan dengan kebijakan, peraturan
atau pemikiran yang sudah mapan. Atau mengganggu
kepentingan yang ada. Jika perdebatannya masih dalam
lingkup diskusi dalam ruangan, mungkin masih wajar. Tetapi
keadaan akan berbeda jika persoalannya sudah menyentuh level
kekerasan.
Lampiran
62
di Dalam Kawasan Hutan
Penyelesaian Penguasaan Tanah
Lampiran 3
Contoh Blangko Identifikasi Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan, dan Pemilikan Tanah
di Dalam Kawasan Hutan
Lampiran
65
di Dalam Kawasan Hutan
Penyelesaian Penguasaan Tanah
Lampiran 5
Surat Pernyataan Pengusaan
Fisik Bidang Tanah (Sporadik)
Data Yuridis
Keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang
didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya.
Hak Ulayat
Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu
atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehiduannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
adat dengan wilayah yang bersangkutan.
Pemanfaatan Tanah
Kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah fisik penggunaan
tanahnya.
Pemilikan Tanah
Hubungan hukum orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum yang
dilengkapi dengan bukti kepemilikan baik yang sudah terdaftar (sertipikat hak
atas tanah) maupun yang belum terdaftar.
Penegasan Hak
Proses pemberian hak atas tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap dan alat
bukti tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang
bersangkutan.
Pengakuan hak
Proses pemberian hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi
telah dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun.
Penggunaan Tanah
Wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
kegiatan manusia.
Penguasaan Tanah
Hubungan hukum antara orang perorangan, kelompok orang atau badan hukum
dengan tanah.
Trayek Batas
Uraian arah penataan batas yang memuat jarak dan azimuth dari titik ke titik ukur
dan di lapangan ditandai dengan rintis batas dan patok batas atau tanda-tanda
lainnya.
EPISTEMA INSTITUTE
Jalan Jati Padang Raya No. 25.
Pasar Minggu, Jakarta 12540
Telepon : +6221 78832167
Faximile : +6221 78830500
E-mail: epistema@epistema.or.id
website: www.epistema.or.id