Pada periode Jahiliyah bertebaran ideologi menyimpang di dataran masyarakat Arab. Tak terkecuali sebagian mereka yang ditokohkan sekalipun. Maindset mereka sering kali dihantui prasangka apnormal; memercayai hal-hal mistis. Tampaknya mereka terlampau jauh berfantasi sehingga alusinasi menjebak mereka dalam kerangkeng was-was. Oleh karena itu, tidak heran jika pada waktu tertentu mereka seringkali mengurungkan niatnya untuk sekadar beraktifitas. Alasannya sederhana, dalam pandangan mereka waktu tersebut merupakan waktu yang mengantarkan sial dan petaka. Aneh memang! Tidak cukup sampai di situ. Ada juga yang meyakini bahwa burung gagak hitam merupakan petunjuk alam untuk menentukan aktifitas. Persepsi yang beredar di tengah masyarakat Arab, bahwa jika mereka sedang bepergian lalu ada burung gagak hitam terbang di arah kirinya maka harus pulang kembali karena itu pertanda petaka. Begitupun sebaliknya, jika burung gagak hitam itu mengepakkan sayapnya di arah kanan maka itu menandakan kabar baik. Melancong pun berlanjut sesuai rencana. Di antara Ideoligi yang mengakar secara turun temurun di tengah masyarakat Arab adalah bulan Shafar. Menurut mereka, bulan ini merupakan bulan pembawa petaka, meski juga menjadi pintu berkah. Pada bulan ini masyarakat Arab tidak memiliki keberanian meski untuk sekadar keluar rumah. Kemalangan yang akan menimpa mereka jika masih memaksakan diri beraktifitas di luar rumah pada bulan ini. Jika ditelisik secara historis, latar berakang ideologi kolot ini karena pada periode Jahiliyah sering kali musibah menimpa mereka pada bulan Shafar. Pasalnya, bulan ini merupakan waktu bagi mereka untuk melakukan perang yang tentunya luka-luka disekujur tubuh dan atau sampai mati sekalipun sudah menjadi ending peritiwa. Dampaknya, asumsi demikian pun menganga di tengah mereka. Setelah Islam datang, Rasulullah membawa ajaran langit mengikis ideologi ini yang telah mendarah daging begitu lama di tengah masyarakat Arab. Setapak demi setapak Rasulullah memberikan Pemahaman kepada mereka hingga akhirnya Ideologi itu menghilang meski tidak sepenuhnya lenyap. Dalam memberikan pemahaman tadi, sering kali Rasulullah secara praktis dan melakukan percontohan secara langsung. Ambil contoh, Rasulullah menikah dengan ibunda Sayidah Khatijah al-Kubra itu di bulan Shafar. Secara eksplisit beliau hendak mewartakan, bahwa sejatinya bulan ini tidak memiliki dampak apa pun. Bahwa bulan ini tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain yang hanya sebatas waktu dan tidak memberikan imbas sial atau petaka. Lebih lanjut, Rasulullah juga menggelar akad nikah untuk putri tercintanya di bulan Shafar, Sayidah Fatimah az-Zahrah dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dan, ternyata dari akad nikah ini mereka berdua hidup penuh berkah dan tidak ada petaka yang menimpa serta dikaruniai dua putra yang gagah perkasa. Ketika Allah memerintahkan Rasulullah untuk berpindah ke daerah yang lebih tenang; hijrah ke Madinah, beliau melakukannya pada bulan Shafar. Dengan mengajak sahabat karibnya, Sayidina Abu Bakar beliau melakukan perjalanan jauh dari Mekkah dan tiba di Madinah dengan selamat serta diperlakukan sangat ramah oleh penduduk setempat. Guna memperkukuh statement di muka, Allah berfirman dalam al-Quran begini: ْوتَ ِمن88ُوا ْالبُي88ُُورهَا َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَى َوْأت ْأ ِ ْس ْالبِرُّ بَِأ ْن تَ تُوا ْالبُيُوتَ ِم ْن ظُه َ اس َو ْال َحجِّ َولَي ُ ِك ع َِن اَأْل ِهلَّ ِة قُلْ ِه َي َم َواق ِ َّيت لِلن َ َيَ ْسَألُون ََأب َْوابِهَا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189) Dalam ayat ini ditegaskan bahwa bulan itu hanya sebatas waktu yang dapat memberitahu umat manusia dalam beraktifitas dan ibadah. Waktu sebatas agenda dalam beramal kepada Allah. Waktu hanya putaran hidup yang sudah diatur. Tidak lebih! Di lain sisi, Rasulullah pernah bersabda begini: وم َك َما تَفِرُّ ِمنَ اَأل َسد ِ َوفِ َّر ِمنَ ال َمجْ ُذ،صفَ َر َ َ َوالَ هَا َمةَ َوال،َلاَ َع ْد َوى َوالَ ِطيَ َرة “Tidak ada penyakit (menular tanpa seizin Allah), tidak ada pembawa nasib baik-sial (karena burung) dan tidak ada bulan Shafar (pembawa petaka). Larikan engkau dari penyakit judzam seperti lari karena takut pada harimau.” Dan ternyata, di bumi nusantara juga memiliki ideologi yang tidak jauh beda. Dalam keyakinan masyarakat Indonesia tempo dulu, Bulan Shafar atau yang lebih poluler di dataran jawa dengan nama Sappar merupakan bulan petaka. Bulan dimana aktifitas tidak leluasa karena ancaman sial selalu menjadi bayang-bayang. Keyakinan primitif seperti ini terlalu lama tumbuh- subur di negeri pertiwi ini hingga sulit dihapus dari memori mereka. Sebagai langkah awal, upaya para dai tempo dulu melakukan pendekatan tradisi, kultur dan budaya guna memberikan pemahaman kepada masyarakat. Mereka melakukan langkah akulturasi demi menyeimbagi ideologi ini; jenang sappar. Yaitu, kegiatan bagi-bagi bubur dengan berbagai varian untuk mendoktrin mereka mengalahkan rasa was-was akan sial dan petaka hingga akhirnya langkah ini tetap eksis mendtradisi di periode millenial. Dalam pandangan Islam, bagi-bagi bubur atau lain semacamnya sangat dianjurkan. Tidak lain hal semacam ini kecuali bentuk solidaritas antar sesama umat manusia, terlebih kepada mereka yang seiman dan seagama. Lebih jauh lagi, tradisi semacam ini merupakan bentuk permohonan kepada Allah untuk dijauhkan dari segala marabahaya. Simpelnya, para dai tempo dulu dalam meyakinkan umat untuk tidak terlalu jauh memercayai hal-hal mistis itu mengarahkan mereka untuk sibuk melakukan kebaikan dengan berbagi sesama manusia. Masyarakat yang awalnya gunda gulana memikirkan nasib buruk yang akan menimpa mereka menjadi tenang karena disibukkan dengan berbuat baik kepada sesama. Allahu A’lam Bish-Shawab!