MENINGGAL DUNIA
Oleh:
Astrid Asmy Putri
G1A120081
Dosen Pengampu:
Tia Widia Ekaputri,Hz,S.Si,M.Sc
2. Pembusukan
Dalam pembusukan terjadi dua proses yaitu autolysis dan putrefaction. Pembusukan
adalah proses penghancuran dari jaringan tubuh yang terjadi setelah kematian akibat aktivitas
bakteri dan enzim.Terdapat beberapa cara pembusukan yang terjadi pada mayat, yaitu :
-Autolisis
Penghancuran jaringan adalah hasil dari proses enzim endogenous yang dikenal
sebagai proses autolisis. Terhentinya respirasi aerobik menciptakan karbon dioksida yang
tidak diangkut keluar sel. Hal ini menurunkan pH sel, menghasilkan lingkungan intraseluler
yang asam. Lingkungan asam ini menyebabkan pecahnya membran intraseluler, termasuk di
sekitar lisosom sel, yang mengandung enzim untuk mencerna segala sesuatu mulai dari
protein hingga lemak dan asam nukleat. Setelah membran pecah, enzim ini dilepaskan dan
mulai mencerna sel dari dalam ke luar. Proses ini dikenal sebagai autolisis (atau pencernaan
sendiri).
Laju penyebaran autolitik ke seluruh tubuh tergantung pada jumlah enzim dan jumlah
air yang ada di jaringan. Otak, yang kandungan airnya sangat tinggi, akan terdegradasi lebih
cepat. Namun, penyebaran autolitik paling erat kaitannya dengan suhu lingkungan. Di
lingkungan yang dingin, proses autolitik melambat, sementara kondisi hangat mempercepat
perkembangannya.
-Putrefaction
Putrefaction adalah pembusukan yang disebabkanoleh aktivitas bakteri. Setelah
seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan.
Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar
bakteri berasal dari usus dan traktus respiratorius. Bakteri ini merupakan bakteri anaerobik
yang memproduksi spora, bakteri yang berbentuk coliform, mikrokokus, dan golongan
proteus. Peningkatan kadar organisme anaerobik disebabkan karena peningkatan kadar ion
hidrogen dalam jaringan yang terjadi bersamaan dengan penurunan kadar oksigen.
Rigor mortis mengacu pada keadaan tubuh setelah kematian, di mana otot menjadi
kaku. Ini dimulai setelah sekitar 3 jam, mencapai kekakuan maksimum setelah 12 jam, dan
secara bertahap menghilang hingga sekitar 72 jam setelah kematian. Rigor mortis terjadi
karena perubahan fisiologi otot saat respirasi aerobik berhenti akibatnya tidak terdapat
adenosine trifosfat (ATP) dalam otot.
Pada titik ini, anggota tubuh mayat sulit untuk dipindahkan atau dimanipulasi. Lutut
dan siku akan sedikit tertekuk, dan jaritangan atau kaki bisa tampak bengkok seperti tak
biasanya. Rigor mortis terjadi karena habisnya adenosintrifosfat (ATP) yang dibutuhkan
dalam metabolisme sel otot. ATP sebagai sumber energi bagi otot untuk dapat berkontraksi,
dan untuk dapat memper-tahankan kontraksi, otot memerlukan pasokan ATP yang terus-
menerus. Tanpa berkelanjutan, ATP yang ada pada otot hanya cukup untuk mempertahankan
kontraksi otot selama beberapa detik. Pasokan ATP untuk otot dikelola oleh tiga sistem
metabolik, yaitu sistem fosfagen, sistem glikogen-asam laktat atau glikolisis, dan sistem
aerobik. Pada kondisi optimal, sistem fosfagen dapat memberi pasokan untuk daya otot
maksimal selama 10-15 detik, sistem glikogen-asam laktat dapat memberi pasokan selama
30-40 detik, dan sistem aerob dapat bekerja untuk waktu yang tidak terbatas. Setelah
kontraksi akibat aktifitas, ketiga sistem ini memerlukan waktu untuk memulihkan diri.
Setelah kematian, semua produksi ATP berhenti walau konsumsi tetap terjadi. Dengan
habisnya ATP, filamen aktin dan miosin menjadi terikat secara permanen dan terbentuklah
kaku mayat. Kekakuanakan bertahan hingga terjadinya dekomposisi.
Setelah mencapai keadaan rigor mortis maksimum, otot-otot akan mulai mengendur
karena perubahan kimia yang berkelanjutan dalam sel dan pembusukan jaringan internal.
Proses yang dikenal sebagai 'flacciditas sekunder' ini terjadi selama satu hingga tiga hari dan
dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti suhu. Jika lingkungan dalam keadaan dingin,
proses ini akan sedikit lebih lambat dari biasanya. Selama 'flacciditas sekunder', kulit akan
mulai menyusut, menciptakan ilusi bahwa rambut dan kuku tumbuh. Rigor mortis kemudian
akan menghilang ke arah yang berlawanan — dari jari tangan dan kaki ke wajah — selama
48 jam. Setelah 'flacciditas sekunder' selesai, semua otot tubuh akan kembali lemas.
Livor mortis (post-mortem hypostasis, kebiruan) adalah perubahan warna pada tubuh
setelah kematian akibat pengendapan darah sesuai gaya gravitasi yang tidak lagi dipompa
melalui tubuh oleh jantung. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah
dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed
di mana pembuluh-pembuluh darah kecil afferen dan efferen saling berhubungan.Maka
secara bertahap darah yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-
cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke tempat-tempat yang
terendah yang dapat dicapai. Dikatakan bahwa gravitasi lebih banyak mempengaruhi sel
darah merah tetapi plasma akhirnnya juga mengalir ke bagian terendah yang memberikan
konstribusi pada pembentukan gelembung-gelembung di kulit pada awal proses pembusukan.
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akanterlihat di kulit sebagai perubahan warna
biru kemerahan. Oleh karena pengumpalan darah terjadi secara pasif maka tempat-tempat di
mana mendapat tekanan local akan menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah
tersebut sehingga meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah
tersebut berwarna lebih pucat.