Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KERAGAMAN SOSIAL BUDAYA

DISUSUN OLEH :

Nama anggota:
1. Citra clodya
2. Deden syuhada
3. Diah ayuningtias
4. Doni damara
5. Dhafi Naufal hakim

KELAS VIII C

SMPN 2 BANJARHARJO
Jl. Pramuka No.2, Banjarharjo, Banjarharjo, Kec. Banjarharjo, Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah 52265
BAJU ADAT YOGYAKARTA BLUDRU HITAM

1. Kebaya Yogyakarta / Kebaya Beludru


Salah satu busana ikonis dari Yogyakarta adalah kebaya Beludru. Kebaya
ini seperti kebaya lainnya tetapi dengan gaya ikonis khas Yogyakarta.
Kebaya ini berbeda dari kebaya lainnya karena kebaya ini memakai kain
beledru dan cenderung berwarna hitam. Tetapi bahan dari kain kebaya ini
juga bisa digantikan dengan sutra, katun, dan lainnya. Kebaya ini juga
menggunakan kain jarik, kain khas Yogyakarta. Kebaya Beludru juga
biasanya dipasangkan dengan aksesoris – aksesoris yang cocok dengan
kebaya nya, yaitu:
– Konde untuk tatanan rambut
– Sanggul merah, hijau, dan kuning yang melambangkan tri murti
– Sisir berbentuk gunung yang melambangkan keagungan Tuhan dan
harapan terciptanya sebuah harapan
– Kalung tiga susun yang melambangkan tingkat kehidupan manusia
(lahir,menikah, dan kematian)
– Gelang tanpa ujung pangkal yang melambangkan keabadian
Wayang golek

Wayang golek (Bahasa Sunda: ᮝᮚ ᮀ ᮍᮧᮜᮦᮊ᮪; pengucapan bahasa


Sunda: [wajaŋ ɡolɛk]) merupakan salah satu aliran dari kesenian wayang.
Umumnya wayang ini dipentaskan di wilayah Parahyangan, Jawa
Barat dengan menggunakan Bahasa Sunda.[1] Namun wayang ini juga
dipentaskan di luar wilayah tersebut seperti di Brebes dan Cilacap di Jawa
Tengah.[2][3] Lakon yang dimainkan dalam wayang golek purwa adalah
kisah Mahabharata dan Ramayana.[4] Aliran wayang golek ini diperkirakan
mulai berkembang di Jawa Barat sejak abad ke-19 M, dipelopori oleh
Bupati Bandung Wiranatakusumah III.[5] Pagelarannya di waktu itu
dikhususkan untuk kaum menak (bangsawan), sebelum akhirnya
menyebar luas di kalangan masyarakat Sunda.[5]
Pertunjukan seni wayang golek merupakan seni pertunjukan teater rakyat
yang banyak dipagelarkan. Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara
selamatan atau ruwatan, pertunjukan seni wayang golek juga menjadi
tontonan dan hiburan dalam perhelatan tertentu.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden.
Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga
mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika
zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Keris

Keris merupakan senjata tajam golongan belati yang memiliki ragam fungsi
budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah.
Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena
tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya
berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene),
yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel atau
peperangan,[6] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada
penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman)
dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda
koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Keris telah terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya
Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.
Karapan sapi

Karapan sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut


perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur.
Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari
kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut)
dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek
pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat
berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di
Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan
September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September
atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan
Piala Bergilir Presiden.

Pada bulan November tahun 2013, penyelenggaraan Piala Presiden berganti


nama menjadi Piala Gubernur.[1]
Batik

Batik (Jawa: (Hanacaraka): ꦧꦛꦶꦏ꧀, translit. Bathik) adalah kain Indonesia


bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau
menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses
dengan cara tertentu yang memiliki kekhasan.[1][2] sebagai keseluruhan
teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh
UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya
Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity) sejak 2 Oktober 2009.[3] Sejak saat itu, 2 Oktober ditetapkan
sebagai Hari Batik Nasional.

Teknik seni kain yang mirip batik dapat ditemukan pada berbagai
kebudayaan di dunia seperti di Nigeria, Tiongkok, India, Malaysia, Sri
Lanka dan daerah-daerah lain di Indonesia. Batik pesisir Indonesia dari
pulau Jawa memiliki sejarah akulturasi yang panjang, dengan corak
beragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya, serta paling berkembang
dalam hal pola, teknik, dan kualitas pengerjaan dibandingkan batik dari
daerah lain.

Batik telah dianggap oleh masyarakat sebagai ikon budaya penting di


Indonesia. Masyarakat Indonesia mengenakan batik sebagai busana kasual
dan formal yang dapat digunakan dalam beragam acara.
Angklung

Angklung (Aksara Sunda Baku: ᮃ ᮀᮊ


ᮀ) adalah alat musik multitonal (bernada


ganda) yang berkembang dari masyarakat Sunda. Alat musik ini dibuat dari
bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar
dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar
maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang
diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung
adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-
ujungnya menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama
dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.

Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan


Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.[1] Dan pada
tanggal 16 November 2022, Mesin pencari terbesar, Google memajang
Angklung di laman depan situs sebagai Google Doodle untuk merayakan
Hari Angklung Sedunia.[2]
Tari kecak

Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan


alternatif: Ketjak, Ketjack) adalah dramatari seni khas Bali yang lebih
utama menceritakan mengenai Ramayana dan dimainkan terutama oleh
laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari
laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu
menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah
Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun,
Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya
akan berada pada kondisi tidak sadar,[1] melakukan komunikasi dengan
Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-
harapannya kepada masyarakat.

Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak


seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada
pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti
Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.[butuh rujukan]

Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak
digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada
kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.[butuh rujukan]

Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman
Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan
bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini
saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.[butuh rujukan]
Tari Pendet

pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura,


tempat ibadah umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan
penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring
perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi
"ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-
religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi.
[1]

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk


tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukan yang
memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang,
pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.[butuh rujukan]

Tarian ini diajarkan sekadar dengan mengikuti gerakan dan jarang


dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para
wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam
memberikan contoh yang baik.

Tari Putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang
yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya
ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap
ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-
masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen
lainnya
Tari Saman

merupakan salah satu media untuk menyampaikan pesan atau dakwah.


Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun,
kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.

Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan,


tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili
masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna kepada
para pemain dan penonton.

Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan berkesinambungan,


pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai
pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan,
dipertandingkan antara grup tamu dengan grup sepangkalan (dua grup).
Penilaian dititik beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam
mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.
Gamelan

gamêlan)[1] adalah musik ansambel tradisional di Indonesia yang memiliki


tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada (laras) slendro dan pelog.
Terdiri dari instrumen musik perkusi yang digunakan pada seni musik
karawitan. Instrumen yang paling umum digunakan adalah metalofon
antara lain gangsa, gender, bonang, gong, saron, slenthem dimainkan oleh
wiyaga menggunakan palu (pemukul) dan membranofon berupa kendhang
yang dimainkan dengan tangan. Juga idiofon berupa kemanak dan
metalofon lain adalah beberapa di antara instrumen gamelan yang umum
digunakan. Instrumen lain termasuk xilofon berupa gambang, aerofon
berupa seruling, kordofon berupa rebab, dan kelompok vokal disebut
sinden.[2]

Seperangkat gamelan dikelompokkan menjadi dua, yakni gangsa


pakurmatan dan gangsa ageng. Gangsa pakurmatan dimainkan untuk
mengiringi hajad dalem (upacara adat karaton), jumenengan (upacara
penobatan raja atau ratu), tingalan dalem (peringatan kenaikan takhta raja
atau ratu), garebeg (upacara peristiwa penting), sekaten (upacara
peringatan hari lahir Nabi Muhammad). Gangsa ageng dimainkan sebagai
pengiring pergelaran seni budaya umumnya dipakai untuk mengiringi
beksan (seni tari), wayang (seni pertunjukan), uyon-uyon (upacara
adat/hajatan), dan lain-lain.[3] Saat ini, gamelan banyak digunakan di
pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Sedangkan gamelan yang peredarannya luas dan pelestarian terbanyak


adalah Gamelan Reyog dari Ponorogo. Gamelan Jawa merupakan alat
musik tertua didunia.[4][5]

Anda mungkin juga menyukai