Anda di halaman 1dari 2

RELASI ROMANTIS AGAMA-SAINS

Oleh :
Robingun Suyud El Syam
Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo

Relasi antara agama dan sains-ilmu pengetahuan ditafsir berbeda-beda. Oleh sementara
kalangan, keduanya tidak dapat disatukan. Lantaran memiliki basis kebenaran yang berbeda.
Agama, memiliki sifat kebenaran yang tidak dapat diukur panca inderawi. Sedangkan kebenaran
sains dapat dibuktikan secara rigid. Sehingga, kebenaran sains diterima oleh semua orang
ketimbang sifat kebenaran yang dimiliki oleh agama. Oleh kalangan ini, keduanya tidak perlu
disatukan dan dihubung-hubungkan lantaran pada dasarnya memiliki jalan kebenaran yang
berbeda.

Sebaliknya, sebagian pihak lain berujar, agama dan sains memiliki kebenaran yang
menyatu, integral. Dalam konteks ini, sains harus menuruti kebenaran agama. Lantaran, agama
merupakan hal sakral langsung dari Tuhan, Sang Pencipta sains. Ditilik mendalam, kebenaran
sains sekadar kebenaran semu yang terus memerlukan pembaruan-pembaruan setiap saat.
Apalagi, sifat kebenaran sains, hampir-hampir selalu menegasikan atau berubah dari kebenaran
sains di periode sebelumnya. Tentu hal ini bertolakbelakang dengan sifat kebenaran agama yang
bersifat ajeg-baku.

Perdebatan di antara dua kubu seperti di atas senantiasa terus terjadi. Maka dari itu,
beberapa kalangan lain mencoba mencari jalan tengah. Di mana mereka ini menyatakan,
walaupun asasi kebenaran keduanya berbeda, tetapi ada beberapa kesamaan. Mestinya, sifat
kebenaran agama-sains bersifat saling melengkapi. Dan, tidak bisa dihadap-hadapkan. Kalangan
terakhir ini lebih menekankan pentingnya agama menjadi sandaran etis oleh para saintis/ilmuwan
dalam bereksplorasi.

Kita bisa melihat tamsil laku kelompok terakhir ini pada potret kejayaan Islam abad 8-14
M. Terutama sekali, kala Khalifah Al-Ma'mun membangun laboratorium besar pengetahuan
bernama Bayt al-Hikmah. Di situlah, khalifah mengumpulkan para cendekia untuk mempelajari
segala rupa pengetahuan, terutama yang bersifat sains-kealaman. Dari sini, muncul banyak
ilmuwan muslim yang berhasil merumuskan aneka ilmu pengetahuan. Sejarah mencatat, mereka
merupakan muslim yang taat. Bahkan, mereka menjadikan Alquran dan Hadits sebagai sumber
sains yang harus terus digali, diteliti.

Fenomena di atas justru meneguhkan tesis bahwa piranti agama dapat dijadikan spirit
sekaligus gudang pengetahuan untuk selanjutnya dijadikan rujukan riset para saintis muslim. Dari
aneka karya mereka, kita bisa mengambil simpulan sekiranya agama dan sains dapat saling
melengkapi, saling berkait. Celakanya, belakangan ini, sebagian kaum beragama justru
melontarkan argumen bahwa bentuk bumi kita adalah datar seperti cakram. Celakanya lagi,
mereka menggunakan dalil-dalil agama untuk mendukung "kebenaran" pendapatnya. Tak pelak,
pada momen ini, posisi agama mendadak terperosok ke lubang besar. Alhasil, agama menjadi
olok-olokan lantaran menyelisihi kebenaran sains kontemporer.

Sebagai perimbangan, ini juga menjewer kalangan saintis modern yang menempatkan
sains adalah segala-galanya. Padahal, diakui atau tidak, kemajuan ilmu pengetahuan justru
menyebabkan kecemasan dan hilangnya kemanusiaan. Penemuan energi nuklir untuk
persenjataan, misalnya. Pun, ditambah eksploitasi sumber daya alam sebagai penopang
infrastruktur sains justru mengakibatkan keserakahan manusia dan kerusakan lingkungan (baca:
ekonomi liberal dan kapistalistik). Maka, di sinilah seyogianya peran agama memang ditekankan
sebagai basis etis. agama harus mengembalikan kodrat dan fungsi sains, yakni untuk keadaban
manusia dan kelestarian bumi.

Anda mungkin juga menyukai