Anda di halaman 1dari 87

KISAH ISLAMI

👉Kisah Nabi Muhammad SAW

Tangisan Rasulullah di Padang Mahsyar, Memohon Syafaat Untuk Umatnya

"Tuhanku, Penguasaku, Penghuluku, aku tidak meminta untuk diriku. Sesungguhnya aku meminta untuk umatku dari-Mu."

Pernahkah terbayang olehmu, seorang lelaki mulia, yang hidup di tengah kematian demi kematian orang yang dicintainya. Ia diasingkan
kaumnya, terusir dari tanah airnya. Ia dihina, disakiti, tapi tinggi tangannya terangkat memohon "Ya Allah, jika mereka tidak menerima da'wah,
jadikanlah anak keturunan mereka kelak orang-orang yang menyembah-Mu."

Pernahkah terbayang olehmu, seorang lelaki mulia... Yang harus menggantungkan batu di perutnya demi menahan lapar. Ia akan makan di
lantai layaknya seorang budak, padahal raja-raja dan para kaisar memandang penuh iri pada kekokohan masyarakat dan kesetiaan pengikutnya.
Ia, Lelaki Mulia itu, Muhammad Bin Abdullah, Rasulullah SAW.

Pernah suatu ketika Beliau SAW bersabda: "Setiap Nabi memiliki satu do'a yang tidak akan tertolak. Dan aku menyimpannya untuk umatku di
padang Mahsyar nanti." Duhai.. betapa Ia begitu mencintai umatnya, kita. Bahkan saat sedang menahan dahsyatnya sakaratul maut, yang Ia
khawatirkan hanya umatnya.

Disebutkan dalam sebuah hadist, dari Abbas Ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang pertama kali dibangkitkan dari kubur di hari
kiamat nanti adalah Muhammad SAW." Jibril akan datang padanya dengan membawa buraq, Israfil datang membawa bendera dan mahkota,
Izrail datang dengan membawa pakaian-pakaian syurga.

Israfil bersuara "Wahai Roh yang baik, kembalilah ke tubuh yang baik, maka kubur terbelah dua." Pada seruan yang kedua pula, kubur mulai
terbongkar. Pada seruan yang ketiga, ketika Rasulullah SAW berdiri, beliau membuang tanah di atas kepala dan janggutnya. Beliau melihat
kanan dan kiri, didapati tiada lagi bangunan. Rasulullah SAW menangis sehingga mengalir air matanya ke pipi.

Beliau SAW bersabda "Kekasihku Jibril, gembirakanlah aku"

Jibril berkata "Lihatlah apa yang ada di hadapanmu."

Rasulullah bersabda "Bukan seperti itu pertanyaanku."

Jibril kembali berkata "Adakah kau tidak melihat bendera kepujian yang terpasang di atasnya."
Rasulullah SAW bersabda "Bukan itu maksud pertanyaanku, aku bertanya kepadamu akan umatku. Dimana perjanjian mereka? Niscaya akan
kuatlah pertolongan pada hari ini. Aku akan mensyafa'atkan umatku."

Jibril menyeru "Wahai sekalian makhluk, datanglah kamu semua ketempat perhimpunan yang telah disediakan oleh Allah Ta'ala." Umat-umat
datang dalam keadaan satu-satu kumpulan. Setiap kali Nabi Muhammad SAW berjumpa satu umat, Beliau SAW akan bertanya, "Di mana
umatku?". Jibril berkata "Wahai Muhammad, umatmu adalah umat yang terakhir."

Apabila Nabi Isa As datang, Jibril menyeru "Tempatmu!" maka Nabi Isa dan Jibril menangis.

Nabi Muhammad SAW berkata "Mengapa kamu berdua menangis?"

Jibril berkata "Bagaimana keadaan umatmu, Muhammad?". Nabi Muhammad kembali bertanya "Di mana Umatku?" Jibril berkata "Mereka
semua telah datang, mereka berjalan lambat dan perlahan. Saat mendengar cerita demikian, Nabi Muhammad SAW menangis lalu bertanya
"Wahai Jibril, bagaimana keadaan umatku yang berbuat dosa?", Jibril menjawab "Lihatlah mereka wahai Muhammad SAW."

Nabi Muhammad SAW bertemu umatnya yang berdosa, mereka menangis serta memikul beban di atas belakang mereka sambil menyeru
"Wahai Muhammad!" Nabi Muhammad SAW bersabda "Wahai Umatku!", mereka berkumpul di sisinya sambil menangis.

Allah Ta'ala berfirman di dalam keadaan Dia amat mengetahui sesuatu yang tersembunyi, "Di mana umat Muhammad SAW?". Jibril berkata
"Mereka adalah sebaik-baik umat." Allah SWT berfirman "Wahai Jibril, katakanlah pada kekasih-Ku Muhammad SAW bahwa umatnya akan
datang ditayangkan di hadapan-Ku." Jibril kembali dalam keadaan menangis lalu berkata: "Wahai Muhammad, umatmu telah datang untuk
ditayangkan kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW berpaling ke arah umatnya lalu berkata "Sesunggguhnya kamu telah dipanggil untuk
dihadapkan kepada Allah SWT."

Allah SWT berfirman: "Hari ini, Kami akan membalas setiap jiwa dengan apa yang telah mereka usahakan. Hari ini aku akan memuliakan sesiapa
yang mentaati-Ku dan aku akan mengazab sesiapa yang durhaka terhadap-Ku."

Suara jeritan dan tangisan semakin kuat. Nabi Muhammad SAW menyeru "Tuhanku, Penguasaku, Penghuluku, aku tidak meminta untuk diriku.
Sesungguhnya aku meminta untuk umatku dari-Mu."

Ketika itu juga neraka jahanam berseru "Siapakah yang memberi syafa'at pada umatnya?" neraka pun berseru "Wahai Tuhanku, Penguasaku,
Penghuluku. Selamatkanlah Muhammad dan umatnya dari siksa. Selamatkan mereka dari kepanasanku, bara apiku, penyiksaanku dan azabku,
sesungguhnya mereka adalah umat yang lemah, mereka tidak akan sabar dengan penyiksaan.

Nabi Muhammad lebih-lebih lagi sedih. Air matanya telah hilang dan kering dari pipinya. Sekali, Rasulullah SAW sujud di hadapan arsy Allah Swt.
Dan sekali lagi beliau ruku untuk memberi syafa'at bagi umatnya. Para Nabi melihat keluh kesah dan tangisannya, mereka berkata "Maha Suci
Allah, hamba yang paling dimuliakan Allah ini begitu mengambil berat keadaan umatnya."
Fatimah bertanya, "Di mana kelak aku hendak mendapatimu di hari kiamat, wahai ayahku?"

Rasulullah menjawab, "Kamu akan menjumpaiku di sebuah telaga, ketika aku sedang memberi minum umatku. Tatkala Nabi Muhammad
sedang mencari mimbar Rasulullah untuk mendapat syafa'at pada hari kiamat. Mariam, Aisyah, Khadijah dan Fatimah sedang duduk, ketika
Mariam melihat umat Nabi Muhammad, dia berkata "Ini Umat Nabi Muhammad, mereka telah sesat dari Nabi mereka." Rasulullah mendengar
perkataan Mariam, semakin sedih. Nabi Adam berkata kepada Nabi Muhammad SAW "Ini umatmu wahai Muhammad, mereka berkeliling
mencarimu untuk meminta syafa'at."

Nabi Muhammad menjerit dari atas mimbar lalu bersabda "Marilah kepadaku wahai umatku, wahai siapa yang beriman dan tidak melihatku.
Aku tidak pernah lari dari kamu melainkan aku senantiasa memohon kepada Allah untukmu." Umat Nabi Muhammad berkumpul di sisinya.

Ketika di atas sirat, Nabi Muhammad bersabda kepada malaikat Malik: "Wahai Malik, dengan kebenaran Allah Ta'ala ke atasmu, palingkanlah
wajahmu dari umatku sehingga mereka dapat melintas. Jika tidak hati mereka akan gemetar apabila melihatmu." Nabi Muhammad berhenti di
atas sirat, setiap kali ia melihat ada umatnya yang bergayut dan hampir terjatuh, Beliau akan menarik tangannya dan membangunkannya
kembali, Beliau bersabda "Tuhan, selamatkanlah mereka... Selamatkanlah mereka!". 3

Betapa Cintanya Rasulullah SAW pada kita. MasyaAllah....

Kisah Rasulullah SAW dan Kain Sarung

Suatu ketika, Rasulullah SAW berjalan menuju kesuatu tempat. Dilihatlah oleh seorang perempuan bahwa kain sarung yang Rasulullah SAW
pakai sudah lusuh dan tua. Perempuan tersebut pun merasa sayang dan iba dengan keadaan pakaian Rasulullah SAW.

Sewaktu perempuan tersebut sudah sampai di rumahnya, lalu menjahit khusus sebuah kain sarung untuk diserahkan kepada Rasulullah SAW.
Setelah semua siap, lalu perempuan itu menjumpai Rasulullah SAW dan menyerahkan kain sarung yang telah dijahitnya itu.

"Ini sarung khusus saya buat untukmu wahai Rasul, terimalah ini." Kata perempuan itu. Lalu Rasululah SAW menerimanya karena memang
Rasul membutuhkannya.

Ketika mau pergi ke masjid, Rasulullah menggatikan Sarungnya yang lama dan memakai sarung yang baru itu.

Melihat sarung yang digunakan Rasulullah SAW oleh seorang sahabat, memuji sarung yang digunakan nabi itu. "Bagus dan indah sekali
sarungmu wahai Rasul, dari mana engkau mendapatkananya?" Puji sahabatnya.

Mendengar ucapan sahabatnya, Rasulullah paham betul maksudnya itu dan meminta kepada sahabatnya itu untuk menunggu sejenak. Lalu
nabi masuk ke dalam rumahnya, melepaskan kain sarung yang baru dan menggunakan kembali kain sarung yang lama itu.
Lalu nabi keluar dan menyerahkannya sarung yang baru kepada sahabat itu. Sahabat yang lain yang tau kejadian ini kecewa kepada tingkah
sahabat yang meminta itu, "Untuk apa kamu minta kepada nabi, padahal nabi membutuhkannya, engkau tau nabi tidak menolak apabila
engkau memintanya?" Tanya sahabat kepadanya.

"Iya betul, saya memintanya dan saya tau nabi tidak menolak, tapi saya tidak ingin memakainya." Jawabnya.

"Sahabat yang lain kaget, kenapa engkau meminta jika tidak untuk memakainya?" Ditanya oleh sahabat itu, lalu dijawab. "Iya, saya meminta
dan menyimpan untuk kain kafanku ketika aku mati kelak. Aku ingin mengambil berkah dari Rasulullah, lewat pakaian yang sudah dipakai oleh
Rasulullah SAW."

Sungguh indah akhlaknya nabi, sungguh mulia perilakunya, sungguh dermawan meski tidak punya lebih untuk memberi.

Kisah ini adalah, hanya secuil kisah keagungan dari sejuta kisah yang ada pada baginda Rasulullah SAW. Hati siapa yang tidak akan jatuh cinta
pada manusia agung dan mulia ini, melainkan buta pikiran dan mata hatinya.

Semoga yang membaca kisah ini, bisa menambah rasa mahabbah kita kepada junjungan Rasulullah SAW.

Jangan lupa, raih amal saleh, bagikan kisah ini kepada yang lain.

Kisah Kerinduan Anak Kecil Bertemu Rasulullah SAW

Peluh bercucuran di dahi kecil kedua dua anak yang sedang berkerja ini. Mereka adalah kakak beradik, mereka sedang bekerja menimba air
ditengah terik matahari yang panas menyengat, semenjak ayahnya meninggal seminggu yang lalu, mereka rela membanting tulang bekerja
kepada seorang Yahudi yang kaya raya tapi kikir dan kejam, demi membantu ibunya.

Mereka terlahir ditengah-tengah kondisi keluarga yang amat miskin. Keduanya berwajah tampan dengan rambutnya yang ikal. Sang adik kondisi
tubuhnya lebih lemah dan sakit-sakitan. Wajahnya yang cengkung tampak memerah oleh panasnya udara padang pasir di siang dibawah panas
terik.

Ubaid sang kakak berhenti menimba dan berkata pada adiknya, ”Zaid, beristirahatlah sejenak, biar aku yang melakukan sendiri.”

Zaid tersenyum di antara wajahnya yang lelah. Dia menggelengkan kepala. "Tidak. nanti Tuan kita marah-marah lagi seperti kemarin.”

Ubaid berusaha memujuk adiknya, "Tuan kita sedang pergi pasar. Lagipun kamu kan sudah berkerja keras dari pagi tadi.Beristirahatlah,
pekerjaan ini sebentar lagi selesai.”
Akhirnya Zaid mau beristirahat. Dia berteduh dibawah sebatang pohon kurma. Tubuhnya memang selalu sakit-sakit sejak ia lahir. Untung Ubaid
adalah kakak yang baik dan sayang kepadanya. Angin berhembus pelan dan Zaid yang kelelahan itu pun tertidur tanpa terasa.

Tiba-tiba datanglah seorang lelaki gemuk menaiki keledai yang kuat. Namanya Raban, dia seorang Yahudi yang kaya raya. Dialah tuan kepada
Ubaid dan Zaid. Sifatnya kikir dan jahat, begitu melihat Zaid sedang tertidur, ia langsung naik angin. Dibentaknya ke telinga Zaid kuat-kuat. "Jadi
selama ini kerja kau hanya bermalas-malasan dan tidur saja seharian, hari ini kamu tidak akan dapat upah!”

Zaid kesakitan kerana dipukul bertalu-talu, oleh kerena tidak sanggup melihat adiknya diperlakukan sebegitu, Ubaid segera berlari mendekati
Zaid. ”Jangan sakiti adikku Tuan Raban yang baik,” katanya menghiba

”Dia pemalas, dan memang sepatutnya aku pukul, kalau begini terus boleh gulung tikar aku dibuatnya!” hardik si Raban.

”Kalau Tuan mau memukul, pukulah saya sebagai gantinya.” jawab Ubaid. Tiba-tiba melayanglah tamparan keras di pipi Ubaid. Kemudian Raban
mengeluarkan uang dan melemparkan ke tanah. ”Nah kau pemalas!” Mereka memungut uang tersebut dan bergegas pulang.

Zaid terisak-isak. Ia sangat menyesal karena sampai tertidur. Ia kasihan melihat Ubaid, tapi ia lebih menyesal lagi, karena uang yang dibawanya
pulang untuk ibunya sangat sedikit. Ah.. andai Ayah mereka belum meninggal, kehidupan mereka tidak akan sesulit ini. Namun mereka masih
merasa bangga, kerana mereka mempunyai ibu yang sangat bijaksana. Betapapun sedih hatinya melihat nasib anak-anaknya, ia selalu
tersenyum dan selalu membuat mereka bahagia, dan tidak bosan-bosannya senantiasa mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya Allah selalu
bersama orang-orang yang sabar.

Setiap malam tiba mereka merasakan suatu kesepian yang panjang, mereka merasa malam-malam berikutnya pastilah akan berlalu seperti ini
terus.

Namun ternyata Allah tidak berlama-lama membiarkan mereka dalam kesedihan. Kerana pada suatu malam datanglah tamu yang ternyata
Paman Atib, adik kandung ibu mereka. Paman Atib itu seorang pemuda yangg gagah dan terpelajar. Dia singgah untuk menjenguk kakak dan
anak-anak saudaranya.

Kedatangan pamannya membawa kebahagiaan tersendiri, persis seperti cahaya bulan yang masuk dari celah-celah jendela ke rumah mereka.
Selama beberapa hari mereka tidak perlu bekerja terlalu berat, karena Paman Atib bekerja membantu untuk memenuhi keperluan mereka
sehari-hari.

Yang membahagiakan mereka berdua adalah dikala setelah selesai sholat Isya kerana Paman Atib selalu bercerita tentang Rasulullah. Paman
Atib memang pernah mengunjungi Madinah dan beberapa kali bertemu Nabi Muhammad Saw. Ubaid dan Zaid sangat bahagia sekali jika
Pamannya bercerita mengenai Rasulullah.

Saat larut malam ketika semua mahluk terlelap, Zaid kecil terbangun. Sayup-sayup terdengar suara Paman Atib sedang melaksanakan sholat
tahajud. Perlahan Zaid pun bangkit dan pergi ke sumur. Dibasuhnya tubuh yang kurus dengan air wudlu. ”Subhanallah,” ucapnya sambil
mengagumi langit malam yang gemerlap. Teringat ia akan syair musafir yang pernah lewat hendak menuju Madinah, yang didendangkan
dengan penuh rasa cinta.
Yaa... Muhammad...

Ini aku musafir yang dalam kesusahan ...

Berjalan jauh harungi batu-batu tandus.

Tertatih-tatih menuju tempatmu berdo’a.

Lihatlah kakiku melepuh.

Rasanya sakit, Yaa...Muhammad...

Kau lihat bajuku koyak dan keringatku kering.

Betapa aku menderita, Ya... Muhammad...

Kuketuk pintu rumahmu dengan rasa malu

Kutakut aku terlalu hina untukmu

Bukalah pintumu untukku Yaa.. Muhammad...

Engkaulah sahabat dan Ayah orang-orang yang menderita.

Bukakan pintu dan kutatap wajahmu, sambil melepas tangis rindu..

Tersenyumlah padaku dan katakan ”Wahai hamba Allah...

Ini adalah rumah kasih sayangmu... Selamat datang dalam genggaman Persaudaraan Iman dan Cinta."

Perlahan Zaid berdiri disamping Paman Atid dan kemudian melakukan sholat Tahajud. Selesai sholat mereka berdua duduk menghadap jendela
sambil menikmati cahaya bulan yang mempesona.

”Paman..” panggil Zaid dengan nada sayu .

Paman Atib menoleh ke arah anak saudaranya itu. ”Ada apa Zaid?” tanyanya sambil tersenyum.

”Benarkah Paman besok akan pergi?” tanya Zaid sambil tetap menatap bulan. Paman Atib terdiam sejenak. "Ya... Zaid, Paman harus pergi...”
jawabnya kemudian.

”Pergi kemana?” tanya Zaid.

”Ke Madinah....” jawab Paman Atib.

Zaid menoleh dan menatap wajah pamannya dalam-dalam.

"Paman akan bertemu Rasulullah?” tanyanya perlahan.

Paman Atib tersenyum dan mengangguk. ”Insya ALLAH...” jawabnya.

”Apakah Rasulullah seorang yang kaya raya, Paman ?” tanya Zaid.


”Rasulullah adalah seorang Nabi, bukan seorang raja, Zaid,” jawab Paman Atib.

”Beliau tidur diatas tikar yang serupa dengan yang kita pakai. Beliau memakai pakaian seperti yang kita pakai. Beliau juga memakan makanan
seperti yang kita makan, yaitu beberapa butir kurma dan segelas air. Sesekali beliau minum susu kambing itupun hadiah dari para tetangganya”.

Zaid termenung. Tadinya dia berharap bahwa Nabi akan lebih kaya daripada Raban. Tetapi kini dia tercenung. Kerana kekayaan Nabi tidak lebih
dari keluarganya sendiri, bagaimana mungkin seorang yang tidak kaya bisa ditaati semua orang?, bukanlah Raban yang kaya itu tinggal
mengatakan sesuatu maka semua keinginannya akan terkabul.

"Kalau Nabi bukan orang kaya, bagaimana Beliau bisa membantu kita, rakyat yang miskin ini, Paman?” tanya Zaid keheranan.

Paman Atib tersenyum. ”Nabi kita punya kasih sayang, wahai Zaid. Dengan kasih sayang itulah Nabi menolong semua umatnya,” kata Paman
Atib dengan lembut.

"Bila beliau ada sedikit uang, akan dibagi-bagikannya kepada para fakir miskin. Beliau juga mengajarkan pada orang kaya, agar senantiasa
membantu saudara-saudara mereka yang kesusahan. Kasih sayang Nabi tidak terbatas, wahai Zaid. Kasih sayang Nabi meliputi seluruh alam.”

Zaid tercenung. ”Subhanallah....” ucapnya sayu.

”Bila seseorang memberi kasih sayang, ia akan di beri kasih sayang pula oleh Allah dan orang-orang lain,” kata paman Atib.

Zaid termenung lagi. Walaupun Raban kaya, tetapi ia tidak disayangi orang karena sifatnya yang kejam. Kekayaan Raban tidak ada artinya
dibandingkan kekayaan kasih sayang Nabi.

"Paman, kalau kasih sayang Nabi seluas alam ini, berarti Nabi juga menyayangi anak-anak ?” tanya Zaid penuh harap.

Paman Atib meraih Zaid dan mendudukkannya di pangkuan. ” Bila Rasulullah bertemu anak-anak, Beliau selalu menyapa mereka dan
mengajaknya tertawa,” kata Paman Atib. ”Beliau sering mengajak mereka berlomba lari dan memarahi orang dewasa yang berlaku jahat
kepada anak-anak.”

Tanpa terasa air mata Zaid mula berlinang. ”Benarkah didunia ini ada orang sebaik itu ?” pikirnya dalam hati. Perlahan timbul rasa rindu di hati
Zaid. Lalu Paman Atib berkata lagi, ”Tetapi yang lebih besar dari semua itu adalah pengorbanan Beliau di jalan Allah. Tahukah engkau Zaid,
ketika Rasulullah berdakwah seorang diri ke kota Thaif, Beliau malah dilempari batu oleh orang-orang bodoh itu sambil bersorak ?”

Zaid melompat dari pangkuan Atib dan bertanya dengan wajah tegang. "Dilempari batu ? lalu apa yang terjadi wahai Paman ? Apa yang
terjadi ?”
”Tubuh dan kaki beliau terluka, sehingga sepanjang jalan kota Thaif berciciran dan bercak-bercak darah suci yang mengalir dari luka itu....”
jawab Paman Atib dengan murung. Tubuh Zaid terasa lemas, kepalanya tertunduk seraya jatuh berlutut. ”Subhanallah...Subhanallah....”
bisiknya tersendat. Mendadak ia mengenggam tangan Paman Atib erat-erat. Kemudian dia mendongakkan kepala dan memandang wajah
Paman Atib lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, namun sorot matanya penuh dengan kemarahan.

"Paman...” ujarnya tersendat-sendat. "Bersumpahlah dengan nama Allah yang Maha Perkasa, bahawa Paman akan menghunus pedang dan
saya akan menyiapkan persiapannya. Lalu kita hancurkan kota orang-orang kafir itu sampai Allah memberi kemenangan, atau kita mati syahid.”

Paman Atib membalas tatapan Zaid, sementara kedua tangannya memegang bahu Zaid erat-erat. Paman Atib menggeleng-gelengkan kepalanya
perlahan. ”Zaidku...” katanya dengan penuh rasa kasih sayang. ”Rasulullah adalah Suri Tauladan dan ikutan setiap Muslim, bukankah begitu?”
Zaid mengangguk perlahan, sementara air matanya makin menggenang sehingga wajah Paman Atib pun terlihat suram olehnya.

"Tahukah engkau wahai Zaidku, apa yang dilakukan Rasulullah setelah menerima perlakuan demikian kejam ? tahukah engkau ?” tanya Paman
Atib lagi. Zaid menggeleng disertai air matanya yang mulai mencair dan meleleh dipipinya.

"Apakah Rasulullah akan memohon agar Allah menghukum orang-orang itu? Padahal setiap do’a Beliau akan dikabulkan Allah. Apakah
Rasulullah akan memohon agar kota Thaif dihancurkan?” tanya Paman Atib bersungguh-sungguh.

"Malaikat Jibril datang pada Baginda dan memohon izin untuk diangkat gunung di sebalik kota thaif itu untuk dilemparkan ke kota itu. Tetapi
dihalang Baginda. Baginda tidak sampai hati melihatnya. Lalu disapu darah yang mengalir di kakinya tadi.”

"Ternyata tidak wahai Zaid, tidak. Rasulullah malah memohon agar Allah memaafkan mereka semua." Zaid semakin tersedu-sedu karena
terharu. Tak pernah didengarnya ada manusia sebaik dan seagung itu.

Paman Atib memeluk Zaid kecil didekapnya ke dadanya. Ia mengelus punggung Zaid sambil berbisik, "Dan setelah bertahun-tahun berlalu,
akhirnya orang-orang Thaif memeluk Islam. Orang yang dulu melempari Nabi dengan batu, kini telah menjadi saudara kita. Saudara dalam Iman
dan cinta. Semua itu berkat cinta dan kesabaran Nabi terhadap sesamanya. Dan kita harus meneladani Beliau. Kamu paham kan Zaidku ?”

Zaid mengangguk dalam tangisnya. Hatinya semakin terjerat rindu dengan manusia seagung itu. "Paman...” katanya dengan suara serak.
"Ajaklah aku bersamamu. Aku ingin menjaga Rasulullah agar tak ada orang yang dapat mencelakainya lagi.”

”Zaid,” kata Paman Atib lagi. ”Kamu masih kecil dan perjalanan ke Madinah sangat jauh. Lagipula yang harus kau jaga disini adalah ibumu,
ingatlah itu.”

Zaid menggeleng-gelengkan kepala. ”Kak Ubaid dapat menjaga ibu disini. Lagipula aku tidak takut perjalanan jauh, wahai Paman. Biar kecil
begini tubuhku tetapi aku masih kuat asalkan dapat berjumpa Rasulullah...” Tak ada yang bisa memujuk Zaid untuk tetap tinggal.
Kerinduannya untuk bertemu Rasulullah sudah sedemikian besarnya sehingga menyesakkan dada. Ibu Zaid yang bijaksana itupun rela
melepaskan kepergian Zaid. Ia melihat sorot mata Zaid begitu kuat untuk bertemu dan menjaga Rasulullah. Karena sang Ibu sedar, meskipun
Zaid masih kecil, gunung sekalipun tak akan mampu menghalangi semangatnya.

Akhirnya berangkatlah Zaid bersama Paman Atib ke Madinah. Selama perjalanan Zaid tidak pernah bermalas-malasan. Ia membantu mencari
kayu bakar dan membuat makanan. Ia juga membantu memasang tali kekang unta dan menurunkan barang-barangnya. Pokoknya ia senang
sekali. Siapa yang rajin, ia akan bahagia, begitu selalu dikatakan ayahnya sebelum meninggal.

Tak terasa setelah berhari-hari mereka melakukan perjalan berat, sampailah mereka dipinggir kota Madinah. Hati Zaid begitu berbunga-bunga.

"Besok aku akan bertemu Rasulullah,” pikirnya dengan hati berdebar-debar karena senang. Malam itu Zaid tidak bisa tidur. Ia ingin matahari
segera terbit. Tetapi semua ia rasakan berputar terlalu lama.

Keesokan harinya mereka memasuki Madinah. Namun suasana Madinah diliputi awan mendung. Dimana-mana terlihat kesedihan. Kaum
wanita maupun laki-laki terlihat terisak-isak, dan wajah mereka menampakkan kesedihan yang menggambarkan seakan-akan ada sesuatu
kejadian yang sulit dipercaya.

Bertanyalah Paman Atib kepada mereka ”Wahai saudaraku ada apa gerangan, kenapa seisi Madinah terlihat berduka ?”

”Nabi telah wafat ...”

”Innalillahi wainnailaihi roji’un...”

Dada Zaid tiba-tiba terasa sesak. Seorang Nabi sekaligus ayah mereka, seorang pemimpin sekaligus sahabat mereka telah tiada. Siapa tak kan
sedih. Bahkan pelepah-pelepah kurmapun merunduk sementara angin pun tidak bertiup. Seluruh alam benar-benar berduka.

Zaid tak dapat menahan rindu, berita tersebut seakan langsung membuatnya lemas. Tiba-tiba semua perjalanan jauh yang tak terasa itu datang
kembali. Tiba-tiba semua penyakit yang diderita dulu kini mencengkeram kembali.

Malam itu Zaid jatuh sakit. Tubuhnya menggigil kedinginan. Paman Atib berjaga semalaman. Akan tetapi menjelang subuh panas badan Zaid
turun. Zaid meminta Pamannya membawanya keluar halaman.

"Aku ingin melihat bintang,” katanya lirih. Didokongnya tubuh Zaid yang terbungkus selimut keluar jendela. Dibawanya Zaid hingga ke sebuah
bukit, supaya Zaid dapat memandang bintang sepuasnya.

"Paman,” ucap Zaid sayu.


"Setelah ayah meninggal, seorang Tabib yang baik hati pernah memeriksa tubuhku yang sakit-sakitan ini. Kata tabib hidupku hanya tinggal
beberapa bulan lagi. Yang tahu hal ini hanya Kak Ubaid. Ibu tidak kami beritahu karena takut Beliau sedih...” ia menghela nafasnya dalam-
dalam.

"Selama perjalanan aku berusaha menahan semua sakit agar bisa bertemu Rasulullah, tetapi Allah berkehendak agar kami bertemu ditempat
yang lebih indah dari dunia ini. Be... betul kan, Paman ?” Paman Atib mengangguk perlahan sambil mendekap tubuh Zaid.

Sayup-sayup terdengar suara syair musafir,.

Tiada lagi indah bintang-bintang di langit...

Kerana bintang yang terindah telah tiada....

Tiada lagi sejuk cahaya bulan...

Karena cahaya tersejuk telah tiada...

Yaa... Muhammad...

Penuh rindu kudatangi kota ini...

Namun Kau biarkan aku sendiri....

Menunggu didunia fana ini...

Yaa... Muhammad...

Kalaupun tak kujumpai Engkau disini

Janganlah Kau palingkan wajah dariku...

Bila kita bertemu suatu saat...

Di akhirat nanti....

Zaid tersenyum. Sorot matanya perlahan-lahan terkatup, dan tertutup selamanya. Ia telah kembali kepangkuan Allah SWT, sang Maha Pencipta.
”Innalillahi wainnailahi roji’un, selamat jalan Zaidku. Sampaikan salam Paman buat Rasulullah...” bisik Paman Atib penuh kehibaan

Angin malam berhembus perlahan seolah-olah berkata, "Alangkah berbahagianya orang-orang beriman. Mereka bersaudara didunia dan
bersaudara di akhirat...”

Tangisan Rasulullah melihat 9 kelompok Wanita Disiksa

Kecintaan Nabi terhadap umatnya, sungguh sangat besar dan luar biasa. Kesedihan dan air mata yang selalu saja membasahi wajah Rasulullah
yang agung.
Hari demi hari, waktu demi waktu selalu hanya memikirkan nasib ummatnya. Bahkan kerisauannya berlanjut hingga hari kiamat nanti.
Subhanallah. Betapa Agung akhlak Rasul kita ini.

Hingga Suatu ketika Ali bin Abi Thalib bersama istrinya, Fathimah az Zahrah, mengunjungi Nabi SAW, tetapi beliau tampak sedang menangis
penuh kesedihan. Melihat keadaan mertuanya itu, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat engkau menangis?”

Nabi SAW bersabda, “Pada malam aku diisra’kan ke langit, aku melihat umatku dari para wanita yang sedang mengalami berbagai macam
siksaan yang pedih di neraka. Dan saat ini aku teringat dengan keadaan mereka itu sehingga aku menangis!!”

Ali bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, siksaan seperti apakah yang diperlihatkan kepada engkau terhadap wanita-wanita itu?”

Masih dengan wajah yang diliputi kesedihan, Nabi SAW menyebutkan satu persatu keadaan 9 kelompok wanita-wanita yang mengalami
penyiksaan tersebut. Sebagai sesama wanita, Fathimah merasa terenyuh (terhanyut dalam kepedihan) dengan azab yang menimpa kaumnya
itu, kemudian ia berkata, “Wahai ayahku, pelipur lara hatiku, beritahukanlah kepadaku, apakah yang dilakukan oleh para wanita tersebut??”

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Fathimah, sekelompok wanita yang disiksa dengan cara digantung dengan rambutnya, dan otaknya dalam
keadaan mendidih. Selama hidup di dunia mereka ini tidak pernah menyembunyikan (menutup) rambutnya dari laki-laki lain, yang bukan suami
atau mahramnya. Dan ia tidak pernah bertaubat sampai akhir hidupnya!!”

Kemudian Nabi SAW menjelaskan lebih lanjut. Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan lidahnya, tangannya
dikeluarkan (dibelenggu) di punggungnya, kemudian dituangkan aspal panas di tenggorokannya. Selama hidup di dunia, mereka ini sangat
senang menyakiti hati suaminya dengan lidahnya. Mereka ini mati sebelum meminta maaf kepada suaminya dan bertaubat kepada Allah, dan
suaminya dalam keadaan tidak ridho (tidak memaafkan) kepadanya.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua payudaranya dari belakang punggungnya, kemudian dituangkan zaqqum
(buah atau kayu berduri di neraka) pada tenggorokannya. Selama hidup di dunia mereka ini senang menyusui anak-anak orang lain, tanpa
perintah suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua tangan dan dua kakinya terikat pada (di atas) ubun-ubunnya, sementara
ular-ular dan kalajengking memakan dan menggerogoti dirinya. Selama hidup di dunia mereka ini sering keluar rumah tanpa ijin suaminya, dan
juga tidak mau mandi (jinabat) setelah haid dan nifas. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dinyalakan api di bagian bawah tubuhnya (seolah-olah mereka dimasak atau dipanggang),
kemudian mereka itu memakan jasadnya sendiri (yang telah matang). Selama hidup di dunia mereka ini senang berhias (mempercantik) diri
untuk laki-laki lain, dan suka menggunjing (ghibah, Jawa:ngerasani) orang lain. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-
dosanya itu.
Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dijadikan hitam legam, dan mereka memotong-motong tubuhnya dengan gunting api,
kemudian memakan usus-ususnya sendiri. Selama hidup di dunia mereka ini senang menunjukkan (memamerkan) tubuhnya, sehingga orang-
orang bisa melihat perhiasannya (kelebihan atau keelokan tubuhnya), dan akhirnya kaum laki-laki jadi tertarik kepadanya. Dan mereka ini mati
sebelum bertaubat kepada Allah atas dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dimasukkan ke dalam peti api, dalam keadaan tuli, bisu dan buta, kemudian otaknya keluar
(mengalir) lewat hidungnya. Bau tubuhnya lebih busuk daripada orang yang berpenyakit kusta dan lepra. Selama hidup di dunia mereka ini
sebenarnya mampu melaksanakan shalat dan puasa, tetapi mereka tidak mau melaksanakan keduanya, tidak berwudhu, dan juga tidak mandi
jinabat. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dirubah seperti babi hutan, dan badannya seperti badan himar (keledai), dan sejuta
macam siksaan ditimpakan kepadanya. Selama hidup di dunia mereka ini sangat senang berdusta dan mengadu domba sesamanya. Dan mereka
ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara tubuhnya dirubah seperti anjing, kemudian ular-ular dan kalajengking masuk melalui mulut dan
kemaluannya, serta keluar dari duburnya. Sementara itu satu malaikat memukul kepalanya dengan pemukul dari api. Selama hidup di dunia
mereka ini senang membuat fitnah dan menyebarkannya, serta seringkali membuat jengkel suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat
kepada Allah atas dosa-dosanya itu, dan suaminya-pun tidak ridha kepadanya.

Mendengar penuturan Nabi SAW tersebut, Fathimah ikut menangis, sedih bercampur takut, kemudian memohon perlindungan Allah untuk
tidak terjatuh pada dosa-dosa tersebut.

Wahai Saudaraku Kaum wanita, Mulailah untuk berfikir dari sekarang. Jauhkan dirimu dari perbuatan hal-hal yang telah dirisaukan oleh baginda
Nabi kita. Karena itu pasti akan terjadi. Mulailah memperbaiki diri, karena jika telah mati tanpa sempat bertaubat maka penyesalanlah yang
akan terjadi, dan tak akan pernah bisa mengulangnya kembali.

Semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita yang membacanya. Amin...

Besarnya Cinta Rasul pada Ummatnya

Ketika sangkakala Malaikat Israfil ditiup, maka kiamat pun terjadi. Pada saat itu orang-orang berlari tunggang-langgang karena ketakutan,
sampai-sampai wanita yang hamil pun akan melupakan bayi yang dikandungnya.

Ketika huru-hara kiamat terjadi, maka setiap makhluk yang ada di bumi akan binasa, bahkan para setan pun mencoba lari dari kejaran malaikat
maut, namun malaikat maut dengan mudah mencabut nyawa setan-setan.

Ketika semua makhluk sudah binasa, maka yang tersisa hanyalah malaikat. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk
mencabut nyawa para malaikat seperti Jibril, Israfil, Mikail, malaikat-malaikat penyangga Arsy Allah, dan malaikat-malaikat lainnya.
Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawanya sendiri. Dengan demikian, hanya Allah satu-satunya Yang
Tetap Hidup.

Saat semua makhluk sudah binasa dan keadaan diliputi kehampaan selama beberapa waktu lamanya, kemudian Allah akan menghidupkan
Israfil, Mikail, Jibril, dan malaikat-malaikat yang menyangga singgasana Allah. Dia akan memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala sekali
lagi untuk memulai penghisaban.

Allah mengirim Jibril dan Mikail dengan kunci surga untuk membuka makam dari seorang manusia yang paling mulia di dunia. Jadi mereka
datang dengan misi spesial untuk membuka makam Nabi Muhammad S.A.W. di Madinah.

Setelah bangkit dari tidur panjangnya, Rasulullah S.A.W. bertanya “Hari apa ini? Apa yang telah terjadi?”

Jibril A.S. menjawab “Sekarang adalah hari dimana amalan manusia akan dihisab.”

Kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Rasulullah S.A.W. adalah “Bagaimana keadaan umatku?”

Subhanallah, dia menanyakan tentang umatnya! Dia tidak menanyakan dirinya, istri, atau anak-anaknya, namun dia bertanya tentang umatnya,
karena dia tahu bahwa umat Islam membutuhkannya pada hari itu.

Saudara/saudariku sesama Muslim, apakah kalian mencintai Rasulullah S.A.W.? Karena demi Allah, Rasulullah sungguh mencintai kalian.

Sebagai catatan, ada sebuah hadist yang disabdakan Rasulullah berkenaan dengan kita. Hadist ini tertera dalam kitab Kanzul Ummal, hadits
lemah menurut Ibnu Katsir.

Suatu ketika berkumpullah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabat-sahabatnya yang mulia. Di sana hadir pula sahabat paling setia,
Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian terucap dari mulut baginda yang sangat mulia: “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan
ikhwanku (saudara-saudaraku).”

Suasana di majelis itu hening sejenak. Semua yang hadir diam seolah sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi sayidina Abu Bakar, itulah
pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihinya melontarkan pengakuan demikian.

“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?”Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan
teka-teki yang mulai memenuhi pikiran.

“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku.” Suara Rasulullah bernada rendah.
“Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.

Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersabda,

“Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak
dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan
beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” (Tertera dalam kitab
Kanzul Ummal, hadits lemah menurut Ibnu Katsir)

Kesimpulan dari hadist di atas adalah Rasulullah S.A.W. menganggap kita sebagai kekasihnya. Apakah kita juga mencintainya sebagaimana dia
mencintai kita? Karena pada hari penghisaban saudara/saudari Muslim-ku, dia akan menanyakan tentang kita.

Tangisan Nabi pada Umatnya yang Menjadi Penghuni Neraka

Suatu keistimewaan yang paling luar biasa didalam diri Rasulullah SAW adalah air mata beliau selalu saja mengalir hanya untuk memikirkan
ummatnya semata. Beliau tidak pernah lepas dari kerisauan keadaan ummatnya.

Suatu ketika para sahabat mendapati Nabi SAW dalam keadaan yang tidak biasanya. Selama beberapa hari beliau tampak bersedih dan
menyendiri saja di dalam rumah, tidak keluar kecuali saat shalat berjamaah, itupun beliau tidak bercakap-cakap dengan siapapun. Ketika shalat
itu Nabi SAW sangat merendahkan diri kepada Allah dan menangis, seolah-olah ada beban begitu berat yang beliau rasakan. Setelah itu pulang
dan menyendiri, lagi-lagi sambil menangis. Para sahabat jadi ikut bersedih tanpa tahu apa yang sedang mengganggu pikiran beliau.

Pada hari ketiga, Abu Bakar datang ke rumah Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu
Rasulullah SAW?”

Tidak ada jawaban, Nabi SAW hanya diam sehingga (sahabat) pembantu beliau yang menjaga pintu juga tidak berani menjawab dan tidak
membukakan pintu. Setelah tiga kali salam tidak ada jawaban, Abu Bakar berlalu pulang sambil menangis tersedu-sedu.

Tidak berapa lama datang Umar bin Khaththab dan berdiri di pintu rumah Nabi SAW. Ia berkata, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah,
apakah saya bisa bertemu Rasulullah SAW?”

Seperti yang terjadi pada Abu Bakar, tidak ada jawaban, sehingga Umar juga pulang dengan menangis tersedu-sedu.

Kemudian datanglah sahabat Salman al Farisi, ia juga berdiri di depan pintu mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah,
apakah saya bisa bertemu junjunganku, Rasulullah SAW?”
Seperti pada Abu Bakar dan Umar, tidak ada jawaban sehingga Salman menangis sedih beberapa lamanya, bahkan hingga ia jatuh tanpa
menyadarinya. Ia bangkit lagi dan berjalan menuju rumah Fathimah, Salman berkata, “Assalaamu’alaika, wahai putri Rasulullah!”

Tampaknya sang suami, Ali bin Thalib sedang tidak ada di rumah sehingga Fathimah hanya menjawab salamnya tetapi tidak membukakan pintu.
Karena itu Salman berkata lagi, “Wahai putri Rasulullah, sesungguhnya Rasulullah dalam beberapa hari ini sedang menyendiri. Beliau tidak
keluar rumah kecuali untuk kepentingan shalat, dan itupun beliau tidak berkata-kata sedikitpun. Beliau juga tidak mengijinkan siapa saja untuk
masuk ke rumah beliau!”

Mendengar pemberitahuan Salman ini, Fathimah segera mengenakan pakaian panjang dan pergi ke rumah Rasulullah SAW. Di depan pintu ia
berkata, “Assalaamu’alaika ya Rasulullah, saya adalah Fathimah!!”

Saat itu Nabi SAW sedang sujud dan menangis. Beliau bangkit kemudian bersabda, “Ada apa Fathimah? Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu
untuk Fathimah!!”

Pintu dibukakan dan Fathimah masuk, seketika itu ia menangis tersedu-sedu melihat keadaan Nabi SAW. Beliau tampak sangat lemah dan pucat
pasi, wajahnya sembab karena terlalu sedih dan banyak menangis. Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa
ayah??”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Fathimah, tiga hari yang lalu Jibril datang dan menceritakan tentang neraka….!!”

Rasulullah SAW menceritakan bagaimana Malaikat Jibril menggambarkan keadaan Neraka,sehingga mereka berdua menangis penuh ketakutan,
takut akan ‘makar’ Allah. Setelah tangisan mereka agak reda, Jibril menjelaskan lagi bahwa neraka itu mempunyai tujuh pintu, yang masing-
masing pintu seluas jarak 70 tahun perjalanan. Pintu yang di bawah lebih panas 70 kali daripada pintu di atasnya.

Nabi SAW bertanya, “Siapakah penghuni pintu-pintu itu?”

Jibril menjelaskan bahwa pintu yang pertama dan yang terbawah sekaligus yang paling panas bernama Hawiyah. Penghuninya adalah kaum
munafik, kaum dari Nabi Isa AS yang ingkar setelah diturunkannya hidangan dari langit untuk mereka, dan untuk Fir’aun dan para pengikutnya.

Pintu kedua yang di atasnya bernama Jahim, dihuni oleh orang-orang yang musyrik.

Pintu ke tiga adalah Saqar, dihuni oleh orang-orang Shabi’in.

Pintu ke empat bernama Ladha, dihuni oleh Iblis dan para pengikutnya termasuk kaum Majusi.
Pintu ke lima bernama Huthamah, dihuni oleh orang-orang Yahudi.

Pintu ke enam bernama Sa’ir, dihuni oleh orang-orang Nashrani….

Sampai di situ tiba-tiba Malaikat Jibril terdiam, sementara Nabi SAW menunggu penjelasan lebih lanjut. Merasa aneh dengan diamnya Jibril,
Nabi SAW bersabda, “Mengapa engkau memberitahukan penghuni pintu neraka yang ke tujuh??”

Malaikat Jibril tampak segan untuk berbicara, tetapi pandangan mata Nabi SAW tampak ‘memaksa’ untuk mengetahuinya, sehingga Jibril
berkata, “Pintu ke tujuh dihuni umat-umatmu yang melakukan dosa besar, dan tidak bertaubat hingga ia meninggal!!”

Mendengar perkataan Jibril yang terakhir, seketika wajah Nabi SAW pucat pasi dan beliau pingsan. Jibril meletakkan kepala beliau di
pangkuannya. Setelah sadar, Nabi SAW bersabda, “Betapa besar cobaanku, betapa sedihnya hatiku, jadi ada umatku sebagai penghuni neraka?”

Jibril berkata, “Benar, umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar dan belum bertaubat!!”

Setelah menceritakan hal itu, Fathimah makin terhanyut dan tangisannya makin tersedu. Nabi SAW berkata, “Sejak saat itulah aku teramat
sedih dan selalu menangis. Aku banyak bersujud dan merendahkan diri kepada Allah, agar siksa bagi umatku tersebut diringankan oleh Allah!!”

Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah mereka itu masuk ke neraka?”

Nabi SAW bersabda, “Mereka digiring malaikat menuju neraka. Wajah mereka tidak hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka juga tidak
disumbat. Mereka juga tidak dirantai atau dibelenggu sebagaimana penghuni neraka lainnya…”

Fathimah bertanya lagi, “Bagaimana keadaannya ketika mereka digiring ke neraka??”

Beliau bersabda, “Orang laki-laki ditarik pada jenggotnya, sedangkan yang perempuan ditarik pada rambut ubun-ubunnya…” 1

Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa ada di antara mereka yang masih muda, ketika ditarik jenggotnya, mereka berkata, “Betapa
sayangnya kemudaan dan ketampananku!!”

Sedangkan kaum wanita yang ditarik rambut ubun-ubunnya, mereka berkata, “Alangkah malunya aku!!”
Ketika malaikat yang menggiring ke neraka bertemu malaikat Malik, malaikat penjaga neraka, Malik berkata, “Siapakah mereka ini? Aku tidak
pernah menemukan orang yang disiksa seperti keadaan mereka ini. Wajahnya tidak hitam, matanya tidak biru, mulutnya tidak disumbat,
mereka juga tidak digiring dalam golongan syaitan yang dibelenggu atau diikat pada lehernya!!”

Malaikat yang menggiring itu berkata, “Demikianlah keadaannya kami diperintahkan membawa mereka kepadamu!!”

Malaikat Malik berkata, “Wahai orang-orang yang celaka, siapakah sebenarnya kalian semua ini??”

Mereka menjawab bahwa mereka adalah ummat Nabi Muhammad yang Ahli Al qur’an berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji, berjihad,
menunaikan zakat, menyantuni anak yatim, mandi saat jibanat dan shalat lima waktu, tetapi mereka mendapat siksaan Allah. Nauzu Billah 7

Akhirnya Fathimahpun makin sedih mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, dan menemani Nabi SAW munajat kepada Allah agar umat-umat
beliau yang menempati pintu ke tujuh dari neraka itu mendapat keringanan siksaan, dan akhirnya dapat dibebaskan dari neraka.

Rasulullah SAW dan Pengemis Yahudi Buta

Terdapatlah seorang pengemis Yahudi buta yang setiap hari menempati salah satu sudut pasar di Kota Madinah. Bukan cuma mengemis, Ia juga
berseru kepada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar tersebut, "Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu
penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya."

Teriakannya yang keras tak terlewatkan oleh seorang pun yang berjalan di dekatnya. Setiap kali ada yang terdengar langkah kaki orang
melewatinya, pengemis buta itu selalu mengumpat Rasulullah Muhammad SAW, dan mengatakan Muhammad adalah tukang sihir, orang gila
dan sebagainya.

Pengemis Yahudi buta itu hampir setiap hari di temani oleh seseorang di sampingnya. Orang tersebut dengan lemah lembut dan kasih sayang
menyuapi pengemis yang hampir tidak pernah berhenti untuk menghina dan merendahkan Muhammad SAW. Orang tersebut hanya terdiam
saat teriakan makian dan hinaan itu keluar dari mulut Yahudi buta tersebut. Ia terus menyuapi makanan ke mulut pengemis itu hingga habis.

Sampai pada suatu hari, si Pengemis Yahudi Buta tidak lagi ditemani lagi oleh orang yang menyuapinya. Kemudian datanglah orang lain yang
membawakan nasi bungkus untuknya dan menawarkan diri untuk menyuapinya.

Orang lain yang menawarkan diri untuk menyuapi pengemis buta yang tidak berhenti merendahkan Muhammad SAW tersebut adalah sahabat
terbaik Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq. Hati dan kepala Abu Bakar mendidih mendengar sumpah serapah pengemis Yahudi tersebut.

Namun Abu Bakar menahan diri dan berusaha dengan lemah lembut menawarkan diri untuk memberi makan kepada pengemis buta tersebut.
Namun bukan rasa terimakasih yang di dapat oleh Abu Bakar, jusru penyangkalan dan hardikan keras dari pengemis tersebut.
"Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan," hardik si pengemis buta.

"Aku orang yang biasa," kata Abu Bakar.

"Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak
susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku." Begitulah penyangkalan si
pengemis buta kepada Abu Bakar.

Mendengar perkataan pengemis buta tersebut, Abu Bakar tak kuasa membendung rasa harunya. Air matanya tumpah tak tertahankan,
dadanya turun naik, Beliau menangis sampai terisak-isak.

Salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad SAW itupun berkata, "Memang, benar, Aku bukan orang yang biasa datang membawa makanan
dan memberimu suapan atas makanan itu. Aku memang tidak bisa selemah lembut orang itu."

"Ketahuilah bahwa Aku adalah salah satu sahabat orang yang setiap hari menyuapimu tersebut. Orang yang dulu biasa ke sini dan memberimu
makan dan menyuapimu telah wafat. Aku hanya ingin melanjutkan amalan yang ditinggalkan orang tersebut, karena Aku tidak ingin
melewatkan satu pun amalannya setelah kepergiannya."

Si pengemis buta Yahudi tersebut terdiam sejenak dan bertanya kepada Abu Bakar siapa orang yang selama ini memberinya makan dan juga
menyuapinya.

"Ketahuilah, bahwa Ia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Orang yang setiap hari kau hinakan dan kau rendahkan di
depan orang banyak di pasar ini," jawab Abu Bakar kepada pengemis buta itu.

Si pengemis Yahudi yang buta itu tertegun. Tak ada kata kata yang keluar dari mulutnya, namun tampak bibirnya bergetar. Air mata pengemis
buta itu perlahan jatuh membasahi pipinya yang mulai berkeriput.

Si pengemis buta tersadar, betapa orang yang selama ini ia hinakan justru memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia
justru malah merasa lebih hina dari apapun yang ada di dunia ini.

"Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan saat Muhammad ada di sampingku sedang menyuapi aku. Tapi dia tidak pernah
memarahiku. Dia malah dengan sabar melembutkan makanan yang di masukkan ke dalam mulutku. Dia begitu mulia." Kata pengemis buta
dalam tangisnya.

Pada saat itu juga, Si Pengemis Yahudi buta bersaksi di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, mengucapkan dua kalimat syahadat 'La ilaha illallah.
Muhammadar Rasulullah.' Si Pengemis buta memilih memeluk Islam setelah cacian dan sumpah serapahnya kepada Muhammad SAW dibalas
dengan kasih sayang oleh Nabi Akhir Zaman tersebut.
Akhlak mulia Rasulullah yang Menyentuh Hati

Datang seorang miskin kepada Rasulullah saw dengan membawa hadiah semangkuk buah anggur. Rasul pun menerima hadiah itu dan mulai
memakannya.Biasanya, Rasulullah selalu memberi makanan kepada para sahabat jika ada yang memberi sedekah dan beliau sendiri tidak ikut
makan. Sementara jika ada yang memberi hadiah, Rasul juga memberi kepada para sahabat dan beliau pun ikut makan.

Namun kali ini berbeda, beliau memakan buah pertama lalu tersenyum kepada orang tersebut. Beliau mengambil buah kedua lalu tersenyum
kembali. Orang yang memberi anggur itu serasa terbang bahagia karena melihat Rasulullah menyukai hadiahnya. Sementara para sahabat
melihat beliau dengan penuh rasa heran. Tak biasanya Rasulullah makan sendirian.

Satu per satu anggur itu diambil oleh Rasulullah dengan selalu tersenyum, hingga semangkuk anggur itu habis tak bersisa. Para sahabat semakin
heran dan orang miskin itu pulang dengan hati penuh bahagia.

Lalu seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengajak kami ikut makan bersamamu?"

Rasul pun tersenyum dan menjawab,"Kalian telah melihat bagaimana wajah bahagia orang itu dengan memberiku semangkuk anggur. Dan
ketika aku memakan anggur itu, kutemukan rasanya masam. Dan aku takut jika mengajak kalian ikut makan denganku, akan ada yang
menunjukkan sesuatu yang tidak enak hingga merusak kebahagiaan orang itu."

Rasulullah SAW dan baju koyak

Kalau pakaian beliau terkoyak atau robek, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam menambal dan menjahitnyanya sendiri tanpa perlu menyuruh
isterinya. Beliau juga memerah susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.

Setiap kali beliau pulang ke rumah, bila dilihat tidak ada makanan yang sudah masak untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyingsing
lengan bajunya untuk membantu istrinya di dapur.

Sayyidatina ‘Aisyah rodliyallahu 'anhaa menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga.

Jika mendengar adzan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pulang kembali sesudah selesai sholat.

Pernah Rasulullah pulang pada waktu pagi. Tentulah beliau amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tidak ada apa pun yang ada untuk di buat
sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayyidatina ‘Aisyah rodliyallahu 'anhaa belum ke pasar. Maka beliau shollallahu 'alaihi wasallam
bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?” (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang berarti ‘Wahai yang kemerah-
merahan)

Aisyah rodliyallahu 'anhaa menjawab dengan merasa agak serba salah, “Belum ada apa-apa Yaa Rasulallah.”
Rasulullah lantas berkata, ”Kalau begitu saya puasa saja hari ini.” tanpa sedikitpun tergambar rasa kesal di wajahnya.

Pernah Rasulullah bersabda, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.”

Subhaanallaah....Prihatin, sabar dan tawadhuknya Rasulullah sebagai kepala keluarga.

Pada suatu ketika Rasulullah menjadi imam sholat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan beliau antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat
sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi kemerutuk seolah-olah sendi-sendi pada tubuh beliau yang mulia itu bergeser antara satu sama lain.
Sahabat Umar yang tidak tahan melihat keadaan beliau itu langsung bertanya setelah selesai sholat :

“Yaa Rasulallah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah anda sakit yaa Rasulallah?”

“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, saya sehat dan segar” jawab beliau.

“Yaa Rasulallah… mengapa setiap kali baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh baginda?Kami
yakin anda sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Akhirnya Rasulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi
batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

“Yaa Rasulallah! Adakah bila baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami akan mendapatkannya buat baginda?”

Lalu beliau menjawab dengan lembut dan senyum, ”Tidak para sahabatku. saya tahu, apa pun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi
apakah yang akan saya jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila saya sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini
sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

Subhanallaah...betapa cintanya beliau kepada umatnya.....sedang cinta kita kepada beliau??? apakah kita sering ingat pada beliau??? apakah
kita sering membaca sholawat untuk beliau??? apakah akhlak Rasulullah yang begitu lembut, santun, pemaaf, ikhlas dan tawadlu' serta selalu
menyentuh hati telah kita teladani???

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.

Hanya diam dan bersabar saat kain surbannya diambil dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya.
Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut
perbuatan itu.

Kecintaannya yang tinggi terhadap ALLAH TA'ALA dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam yang tinggi menjadikan
beliau seorang yang tawadlu' yang tidak ingin dimuliakan.

Anugerah kemuliaan dari ALLAH tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam kesendirian.

Ketika pintu Surga telah terbuka, seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus
beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan
jiwanya yang tinggi.

Bila ditanya oleh Sayyidatina ‘Aisyah rodliyallahu 'anhaa, “Yaa Rasulallah, bukankah anda telah dijamin Surga? Mengapa anda masih bersusah
payah begini?”

Jawab baginda dengan lunak, “Yaa ‘Aisyah, bukankah saya ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya saya ingin menjadi hamba-Nya yang
bersyukur.”

Rasulullah benar-benar sosok hamba yang sangat bersyukur kepada-Nya, beliau mensyukuri semua anugerah yang beliau terima dengan ibadah
yang sungguh-sungguh....Subhaanallaah.....

Renungan untuk kita, bagaimana ibadah kita, sudahkah sungguh-sungguh sebagaimana Rasulullah??? atau masih jauh dari rasa sungguh-
sungguh??? ataukah masih merasa berat atau merasa terbebani dengan ibadah-ibadah yang Allah wajibkan pada kita??? jawabannya ada di
hati kita masing-masing....bila kita mau berfikir memang nikmat Allah pada kita banyak sehingga tidak mungkin kita menghitungnya, tapi sayang
banyak manusia yang tidak mau memikirkan dan merenungkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan-Nya, terutama nikmat IMAN dan
ISLAM.

Allah telah berfirman dalam QS. Al-Qolam ayat 4 yang terjemahnya "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak (berbudi
pekerti) yang agung"

Demikian sedikit apa yang ana bisa sampaikan tentang agungnya dan mulianya Rasulullah, tidak lupa ana sampaikan terima kasih kepada siapa
yang menyempatkan waktu membaca artikel sederhana ini.

Sungguh besar kepeduliaan Rasulullah saw dalam menjaga perasaan orang lain. Apalagi yang mampu kita ucapkan ketika melihat akhlak dan
budi pekerti beliau, sungguh benar Firman Allah swt yang artinya,

"Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur."(QS.Al-Qalam:4)


Rasulullah SAW dan Tukang Batu

Diriwayatkan pada saat itu Rasulullah baru tiba dari Tabuk, peperangan dengan bangsa Romawi yang kerap menebar ancaman pada kaum
muslimin. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan
ada uzur.

Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan
buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

Sang manusia Agung itupun bertanya, "Kenapa tanganmu kasar sekali?"

Si tukang batu menjawab, "Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya
saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar."

Rasulullah adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena
mencari nafkah yang halal, Rasulpun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,

"Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada", 'inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.

Rasulullahl tidak pernah mencium tangan para Pemimpin Quraisy, tangan para Pemimpin Khabilah, Raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya
putrinya Fatimah Az Zahra dan tukang batu itulah yang pernah dicium oleh Rasulullah. Padahal tangan tukang batu yang dicium oleh Rasulullah
justru tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, kapalan, karena membelah batu dan karena kerja keras.

Suatu ketika seorang laki-laki melintas di hadapan Rasulullah. Orang itu di kenal sebagai pekerja yang giat dan tangkas. Para sahabat kemudian
berkata, "Wahai Rasulullah, andai bekerja seperti dilakukan orang itu dapat digolongkan jihad di jalan Allah (Fi sabilillah), maka alangkah
baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah; kalau
ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri
agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah." (HR Thabrani)

Orang-orang yang pasif dan malas bekerja, sesungguhnya tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan sebagian dari harga dirinya, yang
lebih jauh mengakibatkan kehidupannya menjadi mundur. Rasulullah amat prihatin terhadap para pemalas.

"Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung". (QS. Al-Jumu'ah 10).

"Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini". (QS Nuh19-20)
"Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni". (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

"Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni". (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)

"Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah
Daud, selalu makan dan hasil usahanya". (HR. Bukhari)

"Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat". Maka para sahabat pun bertanya: "Apakah
yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Bersusah payah dalam mencari nafkah." (HR. Bukhari)

"Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, maka sama dengan pejuang dijaIan Allah 'Azza Wa Jalla". (HR. Ahmad)

Nabi Muhammad dan Seorang Badui

Ketika nabi Muhammad SAW sedang tawaf di Kaabah, baginda mendengar seseorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir: "Ya Karim! Ya
Karim!"

Rasulullah SAW meniru zikirnya "Ya Karim! Ya Karim!"

Orang itu berhenti di satu sudut Kaabah dan menyebutnya lagi "Ya Karim! Ya Karim!" Rasulullah yang berada di belakangnya menyebutnya lagi
"Ya Karim! Ya Karim!"

Orang itu berasa dirinya di perolok-olokkan, lalu menoleh ke belakang dan dilihatnya seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah yang belum
pernah di lihatnya.

Orang itu berkata, "Wahai orang tampan, apakah engkau sengaja mengejek-ngejekku, karena aku ini orang badui? Kalaulah bukan karena
ketampanan dan kegagahanmu akan kulaporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah."

Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata: "Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?"

"Belum," jawab orang itu.

"Jadi bagaimana kamu beriman kepadanya?" tanya Rasulullah SAW.


"Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya walaupun saya
belum pernah bertemu dengannya," jawab orang Arab badwi itu.

Rasulullah SAW pun berkata kepadanya: "Wahai orang Arab, ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat."

Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya lalu berkata, "Tuan ini Nabi Muhammad?" "Ya," jawab Nabi
SAW.

Dengan segera orang itu tunduk dan mencium kedua-dua kaki Rasulullah SAW.

Melihat hal itu Rasulullah SAW menarik tubuh orang Arab badwi itu seraya berkata, "Wahai orang Arab, janganlah berbuat seperti itu.
Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutus aku bukan untuk menjadi
seorang yang takabur, yang minta dihormati atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman dan membawa
berita menakutkan bagi yang mengingkarinya."

Ketika itulah turun Malaikat Jibril untuk membawa berita dari langit, dia berkata, "Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam
kepadamu dan berfirman: "Katakan kepada orang Arab itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan
menghisabnya di Hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar."

Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Orang Arab itu pula berkata, "Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan
membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan denganNya."

Orang Arab badwi berkata lagi, "Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran
magfirahNya. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa luasnya pengampunanNya. Jika Dia
memperhitungkan kebakhilan hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa dermawanNya."

Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah SAW pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu
sehingga air mata meleleh membasahi janggutnya.

Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata, "Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman:
"Berhentilah engkau daripada menangis, sesungguhnya karena tangisanmu, penjaga Arasy lupa bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia
bergoncang. Sekarang katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan menghitung kemaksiatannya.
Allah sudah mengampunkan semua kesalahannya dan akan menjadi temanmu di syurga nanti."

Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita itu dan menangis karena tidak berdaya menahan rasa terharu.
Kisah Sedih Rasulullah SAW Menjelang Wafat

Pada hari esoknya iaitu pada hari senin, Allah mewahyukan kepada Malaikat Maut supaya dia turun menemui Rasulullah saw dengan
berpakaian sebaik-baiknya. Dan Allah menyuruh Malaikat Maut mencabut nyawa Rasulullah saw dengan lemah lembut. Seandainya Rasulullah
menyuruhnya masuk, maka dia dibolehkan masuk. Tetapi jika Rasulullah saw tidak mengizinkannya, dia tidak boleh masuk dan hendaklah dia
kembali sahaja.

Maka turunlah Malaikat Maut untuk menunaikan perintah Allah SWT. Dia menyamar sebagai seorang biasa. Setelah sampai di depan pintu
tempat kediaman Rasulullah saw,

Malaikat Maut itupun berkata: "Assalamualaikum wahai ahli rumah kenabian, sumber wahyu dan risalah!"

Fatimah pun keluar menemuinya dan berkata kepada tamunya itu: "Wahai Abdullah (hamba Allah), Rasulullah sekarang dalam keadaan sakit."

Kemudian Malaikat Maut itu memberi salam lagi: "Assalamualaikum, bolehkah saya masuk?"

Akhirnya Rasulullah saw mendengar suara Malaikat Maut itu, lalu baginda bertanya kepada puterinya Fatimah: "Siapakah yang ada di muka
pintu itu?"

Fatimah menjawab: "Seorang lelaki memanggil baginda. Saya katakan kepadanya bahawa baginda dalam keadaan sakit. Kemudian dia
memanggil sekali lagi dengan suara yang menggetarkan sukma."

Rasulullah saw bersabda: "Tahukah kamu siapakah dia?"

Fatimah menjawab: "Tidak wahai baginda."

Lalu Rasulullah saw menjelaskan: "Wahai Fatimah, dia adalah pengusir kelazatan, pemutus keinginan, pemisah jemaah dan yang meramaikan
kubur.

Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Masuklah, wahai Malaikat Maut."

Maka masuklah Malaikat Maut itu sambil mengucapkan: "Assalamualaika ya Rasulullah."

Rasulullah saw pun menjawab: "Waalaikassalam ya Malaikat Maut. Engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?"
Malaikat Maut menjawab: "Saya datang untuk ziarah sekaligus mencabut nyawa. Jika tuan izinkan akan saya lakukan. Jika tidak, saya akan
pulang."

Rasulullah saw bertanya: "Wahai Malaikat Maut, di mana engkau tinggalkan kecintaanku Jibril?"

Jawab Malaikat Maut: "Saya tinggal dia di langit dunia."

Baru sahaja Malaikat Maut selesai bicara, tiba-tiba Jibril a.s. datang lalu duduk di samping Rasulullah saw.

Maka bersabdalah Rasulullah saw: "Wahai Jibril, tidakkah engkau mengetahui bahawa ajalku telah dekat?"

Jibril menjawab: "Ya, wahai kekasih Allah."

KETIKA SAKARATUL MAUT:

Seterusnya Rasulullah saw bersabda: "Beritahu kepadaku wahai Jibril, apakah yang telah disediakan Allah untukku di sisinya?"

Jibril pun menjawab: "Bahawasanya pintu-pintu langit telah dibuka, sedangkan malaikat-malaikat telah berbaris untuk menyambut rohmu."

Baginda saw bersabda: "Segala puji dan syukur bagi Tuhanku. Wahai Jibril, apa lagi yang telah disediakan Allah untukku?"

Jibril menjawab lagi: "Bahawasanya pintu-pintu Syurga telah dibuka, dan bidadari-bidadari telah berhias, sungai-sungai telah mengalir, dan
buah-buahnya telah ranum, semuanya menanti kedatangan rohmu."

Baginda saw bersabda lagi: "Segala puji dan syukur untuk Tuhanku. Beritahu lagi wahai Jibril, apa lagi yang disediakan Allah untukku?"

Jibril menjawab: "Aku memberikan berita gembira untuk tuan. Tuanlah yang pertama-tama diizinkan sebagai pemberi syafaat pada hari kiamat
nanti."

Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Segala puji dan syukur aku panjatkan untuk Tuhanku. Wahai Jibril beritahu kepadaku lagi tentang khabar
yang menggembirakan aku."
Jibril a.s. bertanya: "Wahai kekasih Allah, apa sebenarnya yang ingin tuan tanyakan?"

Rasulullah saw menjawab: "Tentang kegelisahanku. Apakah yang akan diperolehi oleh orang-orang yang membaca Al-Quran sesudahku?
Apakah yang akan diperolehi orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan sesudahku? Apakah yang akan diperolehi orang-orang yang
berziarah ke Baitul Haram sesudahku?"

Jibril menjawab: "Saya membawa khabar gembira untuk baginda. Sesungguhnya Allah telah berfirman: Aku telah mengharamkan Syurga bagi
semua Nabi dan umat, sampai engkau dan umatmu memasukinya terlebih dahulu."

Maka berkatalah Rasulullah saw: "Sekarang, tenanglah hati dan perasaanku. Wahai Malaikat Maut dekatlah kepadaku."

Lalu Malaikat Maut pun mendekati Rasulullah saw.

Ali r.a. bertanya: "Wahai Rasulullah saw, siapakah yang akan memandikan baginda dan siapakah yang akan mengafaninya?"

Rasulullah menjawab: "Adapun yang memandikan aku adalah engkau wahai Ali, sedangkan Ibnu Abbas menyiramkan airnya dan Jibril akan
membawa hanuth (minyak wangi) dari dalam Syurga."

Kemudian Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah saw. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: "Wahai Jibril,
alangkah pedihnya maut."

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Jibril a.s. memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah saw bertanya: "Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku?"

Jibril menjawab: "Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?"

Akhirnya roh yang mulia itupun meninggalkan jasad Rasulullah saw.

Rasulullah Waktu Berdakwah di Thaif


Siksaan Quraisy terhadap Rasulullah saw semakin menjadi-jadi. Jiwa Nabi saw berada dalam bahaya. Karena itu, beliau mengambil sebuah
keputusan sulit: pergi ke Thâ’if. Rasulullala saw tak ingin syiar Islam terhenti hanya karena kekejian yang semakin tak terkendali dari kaum
Quraisy. Inilah kali pertama Rasulullah saw berdakwah di luar Makkah.

Thâ’if berjarak 60 mil dari Makkah. Nabi saw pergi ke Thâ’if bersama Zaid bin Hâritsah. Mereka berjalan kaki tanpa menunggangi unta.
Tujuannya agar Quraisy tak mencurigai perjalanan yang memakan waktu empat hari itu. Setelah melewati perjalanan yang berat dan
melelahkan, Rasulullah saw tiba di Thâ’if. Peluh membasahi tubuh Rasul saw. Hari-hari penuh perjuangan mulai dilalui Nabi saw dan Zaid.

Al-’ Udwâni, seorang periwayat yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah saw, menuturkan, “Aku melihat Rasulullah di Pasar ‘Ukâzh.
Beliau menancapkan tongkatnya seperti ini dan menyandarkan tubuhnya pada tongkat itu. Beliau menyeru orang-orang pada kalimat La Ilaaha
Illa Allah Muhammad Rasulullah.”

Lalu, lanjut ‘Udwâni, Nabi saw membaca firman Allah swt berikut.

Demi langit dan yang datang pada malam hari. (QS. ath-Thariq [86]: 1).

"Ketika berbicara, suara beliau memancarkan keagungan, pandangan matanya tajam, pidatonya berwibawa, dan nasihatnya menyentuh kalbu,”
kata ‘Udwâni.

Rasulullah saw berada di Thâ’if selama 15 malam. Selama itu, Nabi saw mengunjungi sejumlah pasar dan tempat pertemuan. Setiap kali
berjumpa dengan orang, beliau mengucap salam dan menyeru untuk mengikrarkan kalimat La Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.

Jika bertemu orang-orang Yahudi, nabi Muhammad saw langsung mengenalkan ajaran yang dibawanya. Saat bertemu orang-orang Nasrani,
Nabi saw melakukan hal yang sama. Begitu pula saat bertemu orang-orang musyrik.

Rasulullah SAW dihujani Batu

Suatu saat, Rasulullah saw bertemu dengan penduduk Thâ’if. Beliau langsung menawarkan agama Islam kepada mereka, tapi ajakan tulus itu
ditolak mentah-mentah.

“Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” kata salah satu di antara mereka.

Rasulullah saw tak memaksa mereka.

“Jika kalian menolak memberikan perlindungan dan masuk Islam, janganlah kalian mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk
minta pertolongan.”
Di luar dugaan, permintaan itu juga ditolak penduduk Thâ’if. Akhirnya, Nabi saw mengajukan permohonan terakhir.

“Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” ujar Nabi saw dengan lembut.

“Demi Allah, engkau tidak akan bisa keluar sampai engkau dilempari dengan batu. Agar engkau tidak akan pernah kembali lagi ke sini,
selamanya,” teriak mereka.

Dengan cepat, penduduk Thâ’if membentuk dua barisan. Sejurus kemudian, mereka membungkukkan badan untuk mengambil batu. Tangan
mereka kini telah penuh dengan batu keras. Jumlahnya banyak. Setiap orang telah siap melempari Rasulullah saw dengan batu yang
tergenggam di tangan.

Untuk beberapa saat, Nabi saw dan Zaid bin Hâritsah tak bergerak. Mereka tak menduga dengan situasi yang berubah cepat. Batu-batu mulai
dilontarkan. Nabi saw dan Zaid berusaha lari.

Batu-batu itu beterbangan menuju tubuh Nabi saw dan Zaid. Keduanya terus berusaha menyelamatkan diri mencari tempat persembunyian,
tetapi mereka kalah cepat. Batu-batu itu silih berganti mendarat di kepala dan sekujur tubuh mereka. Nabi saw tak dapat lagi mengelak. Zaid
berusaha menggunakan tubuhnya untuk melindungi Rasulullah saw, tetapi sia-sia saja. Batu itu datang bak hujan deras yang turun dan langit,
menghujam tubuh beliau tak kenal henti.

Nabi Bersama Cucu Tercintanya, Hasan dan Husain

Rasulullah mencontohkan betapa kasih sayang terhadap keluarga dan anak kecil adalah sikap yang harus diutamakan. Sikap Nabi ini juga
mencerminkan kepekaannya tentang menghargai keterbatasan seseorang, baik dalam hal kondisi fisik, daya tangkap, ataupun tingkat
pengetahuan. Keluhuran akhlak Nabi terpancar justru saat segenap keputusannya tersebut menjadi prioritas, melebihi ritus keberagamaan.

Pernah suatu kali jamaah shalat Jum'at dikagetkan dengan tindakan Nabi Muhammad SAW di sela-sela khotbahnya. Rasulullah mendadak turun
dari mimbar lantaran kedua cucunya yang masih kecil, Hasan dan Husain, menangis.

Nabi segera menghampiri Hasan dan Husain yang saat itu sedang ikut di masjid dan berusaha menenangkan keduanya. Melalui bahasa isyarat
dan kelembutan hatinya, tangisan mereka mereda, dan beliau pun melanjutkan khotbahnya hingga selesai. Tak pernah Nabi membaca khotbah
lebih panjang dari shalatnya.

Peristiwa lain tentang "tingkah usil" kedua cucu mungilnya ini juga terjadi saat Rasulullah sedang mengerjakan shalat sunnah dua rakaat. Ketika
sujud berlangsung, tiba-tiba Hasan memanjat punggung Nabi. Hasan kecil memukuli tubuh kakeknya itu selayak menunggang kuda yang mesti
berpacu cepat.
Sebetulnya Nabi sudah cukup lama menempelkan dahinya di atas lantai. Tapi tingkah Hasan membuat manusia mulia ini memperpanjang
sujudnya lebih lama lagi. Hasan puas bermain kuda-kudaan.

Hasan akhirnya turun. Nabi mulai berniat mengangkat tubuhnya. Sekali lagi punggungnya tertahan. Husain tiba-tiba melompat ke atas
punggung dan menirukan aksi kakaknya, Hasan. Artinya, Nabi mesti menambah waktu lagi untuk menunda duduk tasyahud. Baru ketika kedua
cucunya turun, Rasulullah melanjutkan gerakan sembahyangnya.

Kisah - kisah yang indah bukan?

Ketika kita membaca kisah perjalanan hidup Rasulullah, banyak sekali kisah beliau yang sangat inspiratif dan mengharukan, bagaimana kasih
sayang beliau pada keluarga, para sahabat maupun pada para pengikutnya. Semua kisah perjalanan hidupnya mampu menguras air matak.
Salah satunya adalah kisah kasih sayang beliau terhadap kedua cucunya Hasan dan Husein.

Suatu saat Husein kecil mendatangi bundanya, Sayiddah Fathimah, sembari menangis ia berkata....

"bundaku, Kakek (Muhammad SAW) lebih mencintai kakakku Hasan"

"Mengapa duhai anakku" ujar Fathimah penuh kelembutan.

"Kakek sering mencium bibir Hasan dan hanya mencium leherku"

Segera Fathimah membawa Husein pada Nabi Muhammad Saw, dan menceritakan keluhan Husein....

Sembari menatap tajam dan lama, Rasul mulia pun berkata...

" Anakku Fatimah, Hasan selalu ku kecup bibirnya, lantaran ia akan mati diracun oleh orang terdekatnya, dan seluruh isi perutnya akan terburai
keluar lewat mulutnya, sedangkan engkau....", Rasul menatap Husein lama sekali, Rasul tak bisa meneruskan ucapannya, dan pingsan beberapa
saat, setelah siuman beliau kembali menatap tajam sambil terus menangis berguncang dadanya, lantas bertutur...

"Sedangkan engkau, Husein, sering kucium lehermu karena engkau akan syahid dengan leher terputus...."

Allahumma Sholli 'ala Muhammad...

Adzan Terakhir Bilal Setelah Wafatnya Rasulullah

Sejak Rasulullah wafat, Bilal meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak lagi melantukan Adzan di puncak Masjid Nabawi di Madinah. Bahkan
permintaan Khalifah Abu Bakar ketika itu, yang kembali memintanya untuk menjadi muadzin tidak bisa Ia penuhi.

Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata : "Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan
muadzin siapa-siapa lagi."
Khalifah Abu Bakar pun bisa memahami kesedihan Bilal dan tak lagi memintanya untuk kembali menjadi muadzin di Masjid Nabawi,
melantunkan Adzan panggilan umat muslim untuk menunaikan shalat fardhu.

Kesedihan Bilal akibat wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung
dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria.

Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara
lembutnya Rasulullah menegur Bilal : "Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti
ini?"

Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat
untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.

Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya membuncah, cintanya kepada Rasulullah begitu besar. Cinta
yang tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.

Pada saat yang bersamaan, tampak dua pemuda mendekati Bilal. Kedua pemuda tersebut adalah Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Masih
dengan berurai air mata, Bilal tua memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.

Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah, juga turut haru melihat pemandangan tersebut. Kemudian salah satu cucu Rasulullah itupun
membuat sebuah permintaan kepada Bilal.

"Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami."

Umar bin Khattab juga ikut memohon kepada Bilal untuk kembali mengumandangkan Adzan di Masjid Nabawi, walaupun hanya satu kali saja.
Bilal akhirnya mengabulkan permintaan cucu Rasulullah dan Khalifah Umar Bin Khattab.

Saat tiba waktu shalat, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat Ia biasa kumandangkan Adzan seperti pada masa Rasulullah masih hidup.
Bilal pun mulai mengumandangkan Adzan.

Saat lafadz "Allahu Akbar" Ia kumandangkan, seketika itu juga seluruh Madinah terasa senyap. Segala aktifitas dan perdagangan terhenti.
Semua orang sontak terkejut, suara lantunan Adzan yang dirindukan bertahun-tahun tersebut kembali terdengar dengan merdunya.

Kemudian saat Bilal melafadzkan "Asyhadu an laa ilaha illallah", penduduk Kota Madinah berhamburan dari tempat mereka tinggal, berlarian
menuju Masjid Nabawi. Bahkan dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara Adzan yang
dirindukan tersebut.
Puncaknya saat Bilal mengumandangkan "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah", seisi Kota Madinah pecah oleh tangis dan ratapan pilu,
teringat kepada masa indah saat Rasulullah masih hidup dan menjadi imam shalat berjamaah.

Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar paling keras. Bahkan Bilal yang mengumandangkan Adzan tersebut tersedu-sedu dalam tangis,
lidahnya tercekat, air matanya tak henti-hentinya mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan Adzannya, Ia terus terisak tak mampu lagi
berteriak melanjutkan panggilan mulia tersebut.

Hari itu Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka. Hari itu, Bilal melantukan adzan pertama dan
terakhirnya semenjak kepergian Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkannya.

...

Maha Suci Allah, kisah diatas telah mengaduk-aduk cinta dan kerinduan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kisah yang mampu membuat
kita meneteskan airmata tanda cinta dan rindu kepada Baginda Nabi. Semoga kita bisa mendapatkan syafaat dari Rasulullah dan bisa bertemu
dengan Rasul saat hari berbangkit.

👉Kisah teladan

Tidak Berputus Asa Dari Rahmat Allah

Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh
sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah
masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk
menanyakan hal itu.

Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya,
“Apakah kesalahanmu itu?”

Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”

“Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu
adalah neraka!!”

Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan
‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum
benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah
yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus
bagaimana?
Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di
tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang
rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa
menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke KotaA
(kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke
kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”

Lelaki itu segera berangkat ke kotayang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat
untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing
merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”

Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”

Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’
bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana
yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”

Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada
Kotamaksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.

Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak
untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh
hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.

💥Karena Tidak Menunaikan Zakat

Sekelompok tabiin (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabiin lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum
sempat berbincang, Abu Sinan berkata, “Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!”

Mereka segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah
meninggal dan dimakamkan. Paratabiin itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kematian
itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??”

Lelaki itu berkata, “Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!”

Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, “Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??”
Ia berkata, “Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah
kuburan sambil mendoakannya Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : …aach, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini,
padahal aku benar-benar telah berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat….”

Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, “Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi
kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari
api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi
tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya….!!”

Ia menunjukkan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, “Aku segera menutup kembali kuburnya, dan terus
menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya….!!”

Mereka berkata, “Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??”

Ia berkata, “Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!”

Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al Qiryabi berkata, “Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT :

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali
Imran 180)… Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba….”

Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu
Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, “…. Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi
kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!”

Abu Dzarr berkata, “Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan
orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran). Bukankah Allah telah
berfirman : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya)
bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad)
sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS al An’am 104)….!!”

💥Keadilan Lebih Baik Daripada Keindahan

Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)-nya kepada rakyatnya. Ia
hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau
sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi.
Salah satu kisahnya adalah ketika Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia melakukan penggusuran dan
pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual. Berbagai
upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi wanita itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, “Saya tidak akan menjual
walau akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu
melakukannya, maka terserah saja!!”

Parapelaksana pembangunan perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana menggusur gubug reot wanita tua itu,
karena posisinya memang tepat di tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata, “Jangan lakukan itu, biarkan saja
gubug itu di tempatnya, tetapi tetap laksanakan perluasan pembangunan!!”

Pembangunan terus dilaksanakan, hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. Ketika telah selesai dan tamu-tamu
datang untuk menghadiri undangan Kisra Abu Sirwan dalam suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, “Alangkah indahnya istana
ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!”

Mendengar komentar-komentar seperti itu, Anu Sirwan berkata, “Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi lurus, dan
keindahannya semakin sempurna!!”

Walau secara penampilan memang ‘kurang indah’, tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan ‘keindahan’-nya menjadi
sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa didzalimi dengan sikap sang penguasa.

Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Rumawi pada masa khalifah Umar bin
Khaththab. Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash),
tetapi seorang wanita Qibhti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr
bin Ash tetap memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qibhti itu agar pembangunan masjidnya segera selesai.

Wanita Qibthi yang merasa didzalimi oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan persoalannya kepada
khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan tembikar, dan menulis dengan pedangnya, “Kita lebih berhak (wajib) berbuat
keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!”

Umar memerintahkan wanita Qibhti itu menyerahkan ‘surat’ pecahan tembikar itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Ia juga memberikan
perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu, agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. Ketika Amr bin Ash
menerima ‘surat’ dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas kepalanya, sambil menangis memohon ampunan
kepada Allah. Ia memerintahkan para pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita Qibhti itu, dan membelokkan
bangunan masjid, sehingga bentuknya membengkong.

💥Ketika Manusia Mengabaikan

Sudah menjadi ‘hukum sosial’ bahwa seseorang yang perbuatannya jelek dan sering menjadi gangguan bagi masyarakat, ia tidak akan
diperdulikan lingkungannya ketika ia mengalami kesulitan atau bahkan meninggal. Padahal yang namanya manusia, tidak selalu dan selamanya
seluruh catatannya hitam kelam, bisa jadi ada yang baik dan bermanfaat walau hanya sepele. Tetapi hal yang kecil dan sepele itulah yang
kadang mengundang rahmat dan ampunan Allah.
Pernah terjadi di Bashrah, seorang pemabuk yang sangat buruk moralnya meninggal dunia. Istrinya memberitahukan hal itu kepada para
tetangganya, tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan dan tidak mau merawatnya. Karena itu ia memanggil empat orang buruh upahan
untuk merawat jenazahnya dan kemudian membawanya ke mushalla. Tetapi sesampainya di sana tidak ada seorangpun yang hadir untuk
menyalatkannya. Beberapa orang yang mengetahui hanya melihat dan membiarkannya setelah tahu siapa gerangan jenazah itu. Empat buruh
itupun tidak bisa melaksanakan shalat jenazah. Karena tidak tahu harus bagaimana, istrinya itu memerintahkan orang-orang upahan itu untuk
membawanya ke pinggiran hutan dan menguburkannya di sana.

Tidak jauh dari hutan tersebut ada sebuah bukit, yang di sanaada seseorang yang saleh dan sangat zuhud menyendiri untuk beribadah kepada
Allah. Ia tidak pernah turun dan berkumpul di masyarakat kecuali untuk shalat Jum’at. Entah bagaimana asal-muasalnya, tiba-tiba orang itu
turun gunung dan mendatangi jenazah sang pemabuk yang tengah digali kuburannya itu, dan ia menyalatkannya. Setelah itu ia duduk
menunggu untuk memakamkannya.

Peristiwa turunnya sang saleh dan zahid dari ‘pertapaaanya’ di atas bukit itu menjadi berita menggemparkan bagi masyarakat sekitarnya.
Mereka merasa takjub dan keheranan sehingga datang berduyun-duyun ke pinggiran hutan tersebut. Salah satu dari tokoh masyarakat tersebut
menghampiri orang saleh tersebut dan berkata, “Wahai Tuan, mengapa engkau menyalatkan jenazah orang ini sedangkan ia orang yang sangat
buruk dan banyak sekali berbuat dosa kepada Allah??”

Orang saleh itu berkata, “Aku diperintahkan (tentunya melalui ilham) turun ke tempat ini karena ada jenazah seseorang yang telah diampuni
oleh Allah, sedangkan tidak seorangpun di sana kecuali hanya istrinya!!”

Orang-orang jadi keheranan mendengar jawaban tersebut, bertahun-tahun mereka tinggal bersama orang itu dan sama sekali tidak pernah
melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan olehnya. Sang zahid tampaknya mengetahui kebingungan masyarakat, karena itu ia
memanggil istrinya dan berkata, “Bagaimana sebenarnya keadaan dan perilaku suamimu itu??”

Sang istri berkata, “Seperti yang diketahui banyak orang, sepanjang hari ia hanya sibuk minum-minuman keras (khamr) di kedai-kedai.
Pulangnya di malam hari dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri. Seringkali ketika ia tersadar di waktu fajar, ia mandi dan wudhu
kemudian shalat subuh. Tetapi di pagi harinya ia kembali ke kedai-kedai untuk minum khamr seperti biasanya. Hanya saja di rumah kami tidak
pernah kosong dari satu atau dua orang anak yatim, yang ia sangat menyayanginya melebihi anaknya sendiri. Dan di waktu sadarnya, ia selalu
bermunajat sambil menangis sesenggukan : Ya Allah, di bagian jahanam yang manakah akan Engkau tempatkan penjahat (yakni dirinya sendiri)
ini??”

Sang zahid berkata, “Sungguh Maha Luas Kasih Sayang Allah, mungkin karena sangat sedikitnya kebaikan yang dilakukannya sehingga merasa
rendah dan hina di hadapan Allah. Dan juga kesabarannya menanggung kehinaan dan cibiran sinis dari lingkungannya, yang mengundang
rahmat dan ampunan Allah!!”

Mendengar penjelasan itu, anggota masyarakat yang hadir segera ikut menyalatkan jenazah pemabuk tersebut, dan ikut serta
menguburkannya.

💥Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya


Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. Setelah beberapa
tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam.
Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, “Siapa??”

Ia berkata, “Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!”

Tanpa membukakan pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, “Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi ke
sini….”

Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia
tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam
umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.

Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak
membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil ‘menggendong’ kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan
dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, “Pergilah, semoga Allah memberkahi dirimu!!”

Harimau itu berlalu pergi dengan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai
maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai ‘karamah’ bisa memerintah binatang buas.

Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri
memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya
diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan
perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaaannya. Karena itu
ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.

Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia
memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai ‘karamah’ yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap
istrinya yang begitu buruk.

Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk
pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, “Siapa??”

Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun sebelumnya. Ia berkata, “Aku adalah saudara suamimu,
datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!”

💥Tidak Bersekutu Dalam Kedzaliman


Suatu ketika dua orang ulama dari kalangan Tabiin (atau mungkin Tabiit-tabiin), Ibnu Thawus dan Malik bin Anas dipanggil untuk menghadap
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Khalifah ke dua dari Daulah Bani Abbasiah ini terkenal dengan kekejamannya dalam menegakkan
kekuasaannya, tetapi pada waktu itu ilmu-ilmu keislaman juga mulai berkembang dengan pesatnya, baik itu Fikih, Hadits, Tafsir, dan lain-
lainnya. Sebenarnya dua ulama itu kurang senang dengan panggilan tersebut, tetapi mengingat kekejamannya, mereka berdua mendatanginya
juga.

Mereka masuk ke majelis al Manshur, dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Ternyata saat itu sang khalifah tengah
bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap menerima perintah. Al Manshur
tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada Ibnu Thawus, “Ceritakan kepadaku sesuatu tentang ayahmu!!”

Tanpa rasa takut dan tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, lalu
memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!”

Tentu saja Ibnu Thawus sangat tahu apa yang dikatakannya, dan resikonya karena dikatakan di hadapan penguasa yang sangat terkenal
kekejamannya. Tetapi seperti yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar adalah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di
hadapan penguasa yang dzalim. Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang ‘menyusun’ madzab Maliki dan kitab hadist yang pertama al
Muwaththa’) juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus.
Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya agar tidak terpercik darah Ibnu Thawus.

Tetapi beberapa saat berlalu, ternyata Al Manshur hanya diam terpekur, kemudian berkata lagi, “Wahai Ibnu Thawus, berilah aku nasehat!!”

“Baiklah,” Kata Ibnu Thawus lagi, “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah SWT :

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan
yang tinggi,

yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan
kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat
banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya),
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi!!”

Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. Kalau tadi Ibnu Thawus ‘mengancam’ sang khalifah dengan hadist Nabi SAW, kini
meningkatkan ‘ancamannya’ dengan Firman-firman Allah yang tercantum dalam QS Al Fajr ayat 6-14. Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan
jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh, dan darahnya akan memercik pada dirinya.

Tetapi seperti sebelumnya, khalifah Al Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi,
bahkan mencela ‘kebijakan tangan besi’ yang telah dilakukannya. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, “Wahai
Thawus berikanlah (pinjamilah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!”
Mungkin maksud Al Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka
sang khalifah berkata, “Apa yang menghalangimu untuk memberikan tinta itu kepadaku??”

Walau nilai atau harga tinta tidaklah seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya
alasan sendiri. Ia berkata, “Aku khawatir kamu menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka aku bersekutu (terlibat) denganmu dalam
kemaksiatan itu!!”

Al Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak bisa atau tidak berani bersikap kejam kepadanya.
Ia berkata, “Pergilah kalian dariku!!”

Maka Ibnu Thawus berkata, “Itulah yang memang kami harapkan!!”

💥Keberkahan Dari Penguasa Yang Adil

Suatu masa sebelum diutusnya Nabi SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena
asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan
minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan. Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja karena saat
itu tidak memakai pakaian kebesarannya.

Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk
menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja
untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan (PAD) yang sangat lumayan
bagi kerajaan.

Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetespun, maka ia berseru,
“Wahai ibu, sepertinya raja mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!!”

Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata seperti itu??”

Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!!”

Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya!!”

Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada
dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan??”
Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan keinginannya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang
kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh hasil
yang melimpah seperti sebelumnya. Maka ia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan
susunya lagi!!”

Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan sang raja yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, sang raja berpamitan dan
mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan
anak penghuni gubug sederhana itu ke kotakerajaan. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.

Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat ‘dirasani’nya
(dibicarakan, dighibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa
mengetahui hal itu??”

Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi
kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan
buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”

💥Api Dunia Dan Api Neraka

Ketika Nabi Adam AS diturunkan ke bumi, beliau tidak lagi memperoleh makanan secara mudah seperti di surga. Beliau harus bekerja keras
untuk memperoleh buah-buahan atau daging untuk dimakan. Ketika beliau memperoleh binatang buruan dan menyembelihnya, ternyata tidak
bisa langsung dimakan begitu saja karena masih mentah dan tentunya tidak enak. Karena itu beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan api
untuk memasak.

Maka Allah SWT mengutus Malaikat Jibril meminta sedikit api kepada Malaikat Malik di neraka, untuk keperluan Nabi Adam tersebut. Malik
berkata, “Wahai Jibril, berapa banyak engkau menginginkan api??”

Jibril berkata, “Aku menginginkan api neraka itu seukuran buah kurma!!”

Malik berkata, “Jika aku memberikan api neraka itu seukuran buah kurma, maka tujuh langit dan seluruh bumi akan hancur meleleh karena
panasnya!!”

Jibril berkata, “Kalau begitu berikan saja kepadaku separuh buah kurma saja!!”

Malik berkata lagi, “Jika aku memberikan seperti apa yang engkau inginkan, maka langit tidak akan menurunkan air hujan setetespun, dan
semua air di bumi akan mengering sehingga tidak ada satupun tumbuhan yang hidup!!”
Malaikat Jibril jadi kebingungan, sebanyak apa api neraka yang ‘aman’ untuk kehidupan di bumi?? Karena itu ia berdoa, “Ya Allah, sebanyak apa
api neraka yang harus aku ambil untuk kebutuhan Adam di bumi??”

Allah berfirman, “Ambilkan api dari neraka sebesar zarrah (satuan terkecil, atom)!!”

Maka Jibril meminta api neraka kepada Malik sebesar zarrah dan membawanya ke bumi. Tetapi setibanya di bumi, Jibril merasakan api yang
sebesar zarrah itu masih terlalu panas, maka beliau mencelupkan (membasuhnya) sebanyak tujuhpuluh kali ke dalam tujuhpuluh sungai yang
berbeda. Baru setelah itu beliau membawanya kepada Nabi Adam, dan meletakkannya di atas gunung yang tinggi.

Tetapi begitu api tersebut diletakkan, gunung tersebut hancur berantakan. Tanah, batuan, besi dan semua saja yang ada di sekitar api itu
menjadi bara yang sangat panas, dan mengeluarkan asap. Bahkan api yang sebesar zarrah itu terus masuk menembus bumi, dan hal itu
membuat Jibril khawatir. Karena itu ia segera mengambil api tersebut dan membawanya kembali ke neraka. Bara terbakar yang ditinggalkan
itulah yang sampai sekarang ini menjadi sumber api dunia, termasuk yang menjadi magma-magma di semua gunung berapi di bumi ini.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana panasnya api neraka tersebut. Kalau bara api dunia itu umumnya berwarna merah, maka bara api neraka itu
berwarna hitam kelam, seperti hitamnya gelap malam. Nabi SAW pernah menanyakan tentang keadaan api neraka itu, maka Malaikat Jibril
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menciptakan neraka, lalu menyalakan api neraka itu selama seribu tahun sehingga (baranya) berwarna
merah. Kemudian (Allah) menyalakannya (menambah panasnya) selama seribu tahun lagi sehingga (baranya) berwarna putih, dan (Dia)
menyalakannya (menambah panasnya) selama seribu tahun lagi sehingga (baranya) berwarna hitam. Maka neraka itu hitam kelam seperti
hitamnya malam yang sangat gelap pekat, tidak pernah tenang kobaran apinya dan tidak pernah padam (berkurang) bara apinya!!”

💥Kecintaan Hamba Allah Yang Sebenarnya

Junaid bin Muhammad al Baghdadi, atau lebih dikenal sebagai Junaid al Baghdadi adalah seorang ulama sufi yang dianggap sebagai para
penghulu kaum auliya di jamannya, yakni pada abad ke 2 hijriah atau abad 9 masehi. Sejak masih kecil ia telah mendalami dan mempraktekkan
kehidupan sufi di bawah bimbingan guru, yang juga pamannya sendiri, Sariy as Saqthi.

Suatu malam menjelang subuh, ketika tidur di rumah paman dan gurunya tersebut, Sariy as Saqthi membangunkannya dan berkata, “Wahai
Junaid, bangunlah karena engkau akan memperoleh pelajaran sangat berharga malam ini…!!”

Kemudian Sariy as Saqthi menceritakan kalau ia bermimpi seolah-olah berhadapan dengan Allah, dan berkata kepadanya, “Wahai Sariy, ketika
Aku menjadikan mahluk, maka mereka semua mengaku cinta kepada-Ku. Tetapi ketika Aku menciptakan dunia, maka larilah dari Aku sembilan
dari sepuluh (90%-nya) kepada dunia, tinggallah satu dari sepuluh (10%-nya) saja yang tetap mengaku cinta kepada Aku…..!!”

Sariy melanjutkan ceritanya kepada Junaid, bahwa Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh
persennya. Kemudian Allah menciptakan surga, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk mengejar kenikmatan surga, tinggal satu
dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seratus dari seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah, tidak tergiur surga
dan kenikmatannya.
Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya (seper-seratus dari seluruh
mahluk). Kemudian Allah menciptakan neraka, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari pedihnya siksa neraka, tinggal
satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-seribu dari seluruh mahluk) yang tetap berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak takut
akan neraka dan kepedihan siksaan di dalamnya, tetapi hanya takut kepada Allah, yang dilandasi rasa cinta.

Allah menghadapkan Diri-Nya kepada hamba yang mencintai-Nya itu, yang tinggal sepuluh persen dari sisanya (seper-seribu dari seluruh
mahluk). Kemudian Allah menciptakan atau menurunkan bala atau musibah, maka larilah sembilan dari sepuluh (90%-nya) untuk menghindari
atau sibuk menghadapi musibah tersebut, tinggal satu dari sepuluh (10%-nya, atau seper-sepuluhribu dari seluruh mahluk) yang tetap
berkhidmat dan mengaku tetap mencintai Allah. Tidak mau disibukkan dengan bala tersebut, dan menerimanya dengan tawakal yang dilandasi
rasa cinta kepada Allah.

Maka Allah menghadapkan diri-Nya pada mereka yang tetap mengaku mencintai-Nya, yang tinggal seper-sepuluh ribu dari seluruh mahluk, dan
berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian ini tidak tergiur dengan dunia, tidak terpikat dengan kenikmatan surga, tidak takut dengan siksaan
neraka, dan tidak juga lari dari kepedihan bala musibah, apakah sebenarnya yang kalian inginkan??”

Tentu saja sebenarnya Allah telah mengetahui jawaban atau keinginan mereka, dan mereka itu memang hamba-hamba Allah yang ma’rifat
(sangat mengenal) kepada-Nya. Maka mereka berkata, “Ya Allah, Engkau sangat mengetahui apa yang tersimpan pada hati kami!!”

Allah berfirman lagi, “Kalau memang demikian, maka Aku akan menuangkan bala ujian kepada kalian, yang bukit yang sangat besar-pun tidak
akan mampu menanggungnya, apakah kalian akan sabar??”

Mereka yang memang hanya mencintai Allah itu berkata, “Ya Allah, apabila memang Engkau yang menguji, maka terserah kepada Engkau….!!”

Di akhir mimpinya itu, Allah berkata, “Wahai Sariy, mereka itulah hamba-hamba-Ku yang sebenarnya!!”

💥Ketika Nabi Khidr Menjadi Budak

Suatu ketika Nabi Khidr AS berjalan di pasar dan bertemu dengan seorang budak mukatab. Melihat penampilannya yang saleh, walau tidak
mengenalnya sebagai Nabi Khidr, budak itu berkata, “Bersedekahlah padaku, semoga Allah memberkahi engkau!!”

Tanpa memperkenalkan diri atau membuka identitas dirinya, Nabi Khidr berkata, “Aku percaya bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan
terjadi, tetapi aku tidak memiliki sesuatu apapun yang bisa kuberikan kepadamu!!”

Sang budak berkata, “Aku meminta kepadamu bi-wajhillah, bersedekalah kepadaku, karena aku melihat wajahmu sebagai orang yang baik
(saleh), karena itu aku mengharap berkah darimu!!”

Beliau berkata, “Aku beriman kepada Allah, tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang bisa kuberikan kepadamu, kecuali jika engkau ingin menjual
diriku sebagai budak!!”
Budak itu terpana memandang Nabi Khidr seolah tidak percaya, dirinya sendiri sebagai budak, bagaimana mungkin bisa menjual orang merdeka
sebagai budak? Kemudian ia berkata, “Apakah hal itu boleh dilakukan??”

Beliau berkata, “Engkau telah meminta kepadaku dengan atas nama Allah Yang Maha Agung, dan aku tidak bisa mengecewakan engkau demi
Wajah Tuhanku. Juallah aku, dan pergunakanlah hasilnya untuk memenuhi kebutuhanmu!!”

Budak tersebut adalah budak mukatab, atau disebut juga budak kitabah, yakni yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan jika bisa
membayar harganya walau dengan mengangsur. Ia juga tidak dibebani pekerjaan tuannya, dan bebas berusaha untuk memperoleh uang
penebusan dirinya.

Mendengar penuturan Nabi Khidr tersebut sang budak sangat gembira. Ia segera membawa beliau ke tempat penjualan budak, dan terjual
seharga empatratus dirham, cukup untuk membayar pembebasan dirinya. Tinggallah Nabi Khidr bersama ‘tuannya’ yang membelinya, tetapi
selama beberapa hari lamanya beliau tidak diperintahkan apa-apa. Tampaknya orang yang membeli beliau itu orang yang baik, ia tidak tega
‘membebani’ beliau dengan pekerjaan karena beliau kelihatan sangat lemah dan berusai sangat tua.

Nabi Khidr merasa tidak enak karena orang itu telah membayar mahal tetapi tidak memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya. Suatu ketika
tuannya itu akan pergi untuk suatu keperluan, beliau berkata, “Anda telah membeli diriku sebagai budak, maka perintahkanlah pada diriku
untuk mengerjakan sesuatu!!”

Orang itu, yang juga tidak mengetahui kalau budak yang dibelinya adalah Nabi Khidr, berkata, “Aku khawatir akan memberatkan dirimu, engkau
tampak telah sangat tua dan lemah!!”

Beliau berkata, “Tidak ada sesuatu yang memberatkan diriku!!”

“Baiklah kalau engkau memaksa, “Kata orang itu, “Pindahkanlah batu-batu di halaman ini ke belakang!!”

Di halaman rumah orang itu memang banyak berserak batu-batu yang cukup besar, yang membutuhkan beberapa hari untuk dipindahkan ke
belakang rumahnya. Jika dipindahkan dalam satu hari, membutuhkan setidaknya enam orang yang cukup kuat dan kekar. Belum setengah hari,
orang itu telah kembali ke rumah dan batu-batu itu telah dipindahkan semuanya ke belakang. Orang itu berkata kepada Nabi Khidr, “Baik sekali
pekerjaanmu, sungguh engkau mempunyai kekuatan yang tidak kusangka-sangka!!”

Suatu ketika orang itu memanggil Nabi Khidr dan berkata, “Aku akan pergi beberapa hari lamanya, jagalah keluargaku dengan baik!!”

Beliau berkata, “Baiklah, tetapi perintahkanlah pula aku mengerjakan sesuatu!!”

Orang itu berkata, “Aku khawatir akan memberatkan dirimu!!”


Beliau berkata lagi, “Tidak ada sesuatu yang akan memberatkan diriku!!”

Orang itu terdiam sejenak, ia sungguh tidak tega memberi beban pekerjaan kepada orang yang telah tampak sangat tua tersebut, tetapi karena
memaksa, ia berkata, “Jika demikian, buatlah batu bata, aku akan membuat rumah setelah pulang dari perjalanan ini!!”

Tentu saja pekerjaan yang amat mudah bagi Nabi Khidr, bahkan lebih dari itupun beliau bisa melakukannya, karena beliau memang dikarunia
Allah berbagai macam karamah. Beberapa hari berlalu, orang itu pulang kembali tetapi ia tidak menemukan tumpukan batu bata, sebaliknya ia
melihat suatu rumah cukup megah, sesuai dengan yang direncanakannya, pada tempat yang disiapkannya. Ia tidak mengerti, padahal ia tidak
pernah menceritakan gambaran rumah yang ingin dibangunnya kepada siapapun.

Orang itu segera menemui Nabi Khidr di tempatnya, dan berkata, “Aku akan bertanya kepadamu bi-wajhillah, siapakah sebenarnya engkau
ini!!”

Nabi Khidr berkata, “Engkau telah bertanya kepadaku dengan kata bi-wajhillah, dan kata bi-wajhillah itulah yang menjadikan aku sebagai budak.
Aku sesungguhnya Khidr yang namanya telah sering engkau dengar ……!!”

Kemudian Nabi Khidr menceritakan peristiwa yang beliau alami sehingga menjadi budak, dan beliau menutup ceritanya dengan berkata,
“Barang siapa yang diminta dengan perkataan bi-wajhillah, lalu menolak permintaan orang itu padahal ia mampu memberi, maka pada hari
kiamat ia akan datang dengan jasad tanpa daging, dan nafasnya akan terengah-engah tanpa henti!!”

Perasaan orang itu bercampur baur antara senang, takut, haru, khawatir, dan berbagai perasaan lainnya. Siapakah orang saleh di masa itu yang
tidak ingin bertemu dengan Nabi Khidr? Siapapun pasti menginginkannya, dan tanpa menyadarinya ia telah tinggal bersama beliau selama
berhari-hari. Ia berkata, “Aku beriman kepada Allah, dan aku telah menyusahkan dirimu, wahai Nabiyallah, andaikata aku tahu tidak perlu
terjadi peristiwa seperti ini!!”

Nabi Khidr berkata, “Tidak mengapa, engkau adalah orang yang baik!!”

Orang itu berkata, “Wahai Nabiyallah, silahkanlah engkau mengatur rumah dan keluargaku sesuka engkau, atau bila ingin bebas dari
perbudakan ini, aku akan memerdekakan!!”

Nabi Khidr berkata, “Aku ingin engkau memerdekakan aku, agar aku bisa bebas beribadah kepada Allah!!”

Maka orang itu memerdekakan beliau tanpa syarat apapun, dan Nabi Khidr berkata, “Maha Terpuji Engkau, ya Allah, yang telah mengikat aku
dalam perbudakan, kemudian menyelamatkan aku darinya. Ya Allah, semoga Engkau menjadikan kami sebagai orang-orang yang berakhlak baik
dan membantu saudara-saudara kami lainnya mencapai surga.”
💥Upaya Terakhir Syaitan Menyesatkan Manusia

Sudah menjadi kehendak Allah sejak zaman azali bahwa iblis dan bala tentaranya para syaitan menjadi musuh manusia. Musuh dalam arti
hakiki, yang akan menyengsarakan manusia dalam kehidupan yang sebenarnya, kehidupan akhirat yang kekal abadi. Tetapi dalam kehidupan
dunia yang sementara ini, jika kita tidak waspada dan hati-hati, bisa jadi syaitan menjadi teman dan sahabat-sahabat kita yang sangat
membantu, mendukung dan memudahkan kehidupan kita sehari-harinya. Baik syaitan dari kalangan jin ataupun manusia, baik dengan jalan
yang nyata ataupun yang ghaib. Tidak tanggung-tanggung, upaya syaitan untuk menyesatkan ini dilakukan hingga titik terakhir kehidupan
manusia, yakni ketika sakaratul maut.

Ketika manusia sedang menghadapi sakaratul maut, salah satu kesulitan atau kesakitan yang dihadapi adalah rasa haus yang tidak tertahankan
sehingga seolah-olah membakar hati, tidak hanya rasa haus secara fisik, tetapi bisa juga yang bersifat ghaib. Mungkin orang-orang yang
menjaga di sekitarnya telah memberinya minuman, tetapi rasa haus tidak serta-merta hilang. Dalam keadaan seperti inilah biasanya syaitan
datang membawa minuman yang tampak sangat menggoda dan menyegarkan, khususnya terhadap kaum muslimin, terlebih kaum mukminin
yang keimanannya sangat kuat. Sungguh mereka (para syaitan) itu sangat tidak rela jika seseorang itu meninggal dengan memperoleh
keridhaan Allah.

Pada puncak kehausan yang seolah tidak tertahankan itu, syaitan akan datang dengan satu gelas minuman yang sangat segar, dan ia berdiri di
sisi kepala seorang mukmin. Sang mukmin yang tidak menyadari kalau ia adalah syaitan, akan berkata, “Berilah aku air itu!!”

Syaitan berkata, “Baiklah, tetapi katakan terlebih dahulu bahwa dunia ini tidak ada yang menciptakan, maka aku akan memberikan air ini
kepadamu!!”

Dalam riwayat lain disebutkan, syaitan akan berkata, “Tinggalkanlah agamamu ini, dan katakan bahwa Tuhan itu ada dua, maka engkau akan
selamat dari kepedihan sakaratul maut ini!!”

Jika ia mempunyai keimanan yang cukup kokoh, ia akan menyadari kalau sosok pembawa air itu adalah syaitan, maka ia akan berpaling. Tetapi
syaitan tidak berhenti dan putus asa, ia akan berdiri di arah kakinya dengan penampilan yang lain, masih dengan membawa minuman yang
amat segar menggoda. Sang mukmin yang masih dilanda kehausan akan berkata kepadanya, “Berilah aku minuman itu!!”

Syaitan dalam penampilan lain itu berkata, “Baiklah, tetapi katakanlah bahwa Muhammad (Rasulullah SAW) itu adalah seorang pendusta, maka
aku akan memberikan air ini kepadamu!!”

Setelah mendengar jawaban seperti itu, sang mukmin akan menyadari kalau syaitan tidak akan berhenti menggodanya hingga terlepas
imannya. Maka ia akan bersabar dalam kehausan yang seakan membakar hati itu dan tidak akan meminta lagi. Ia akan menyibukkan diri dengan
mengingat Allah memohon pertolongan dan keselamatan dari sisi-Nya.

Suatu kisah tentang seorang guru dan ulama yang sangat zuhud bernama Abu Zakaria, ketika sedang sakaratul beberapa orang sahabat dan
muridnya menunggui beliau. Ketika Abu Zakaria tampak dalam kepayahan, seorang sahabatnya mengajarkan kalimat thayyibah, “Katakanlah :
Laa ilaaha illallaah!!”
Tetapi di luar dugaan, Abu Zakaria memalingkan wajahnya. Sahabat di sisi lainnya juga berkata, “Katakanlah Laa ilaaha illallaah!!”

Lagi-lagi Abu Zakaria memalingkan wajah, bahkan ketika untuk ke tiga kalinya mereka memintanya membaca kalimat Thayyibah, Abu Zakaria
berkata, “Aku tidak akan mengucapkan kalimat itu!!”

Setelah itu ia jatuh pingsan. Para sahabat dan murid-muridnya menangis sedih melihat keadaan itu, sungguh mereka tidak mengerti mengapa
hal itu bisa terjadi? Tetapi satu jam kemudian Abu Zakaria siuman dalam keadaan yang lebih segar. Ia berkata kepada sahabatnya, “Apakah tadi
kalian mengucapkan sesuatu kepadaku??”

“Benar, tiga kali kami meminta engkau membaca syahadat, tetapi dua kali engkau berpaling dan ke tiga kalinya engkau berkata : Aku tidak akan
mengucapkannya!! Karena itulah kami jadi bersedih!!”

Abu Zakaria berkata, “Sikap dan perkataanku itu bukanlah kutujukan kepada kalian…”

Kemudian Abu Zakaria menceritakan kalau Iblis telah mendatanginya dengan membawa semangkuk air yang tampak sangat segar, sementara ia
merasa sangat hausnya. Iblis berdiri di sisi kanannya sambil menggerakkan mangkuknya sehingga kesegaran air itu makin menggoda, dan
berkata, “Tidakkah engkau membutuhkan air??”

Ia tidak menjawab, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa haus, dan tertariknya dengan kesegaran air itu, maka iblis berkata lagi,
“Katakanlah bahwa Isa adalah anak Allah!!”

Abu Zakaria berpaling dari iblis, yang saat itu bersamaan dengan sahabatnya yang meminta ia mengucap kalimat thayyibah untuk pertama
kalinya. Tetapi iblis masih menghampiri dari arah yang lain, dan berdiri di dekat kakinya sambil mengatakan seperti sebelumnya. Maka ia
berpaling lagi, yang bersamaan dengan sahabatnya yang memintanya membaca kalimat Thayyibah untuk ke dua kalinya. Belum putus asa juga,
iblis menghampiri lebih dekat dengan bujuk rayunya yang memikat, mengiming-iminginya dengan minuman yang begitu segarnya, sambil
berkata, “Katakanlah bahwa Allah itu tidak ada!!”

Maka dengan tegas Abu Zakaria berkata, “Aku tidak akan mengatakannya!!”

Saat yang bersamaan, sahabatnya sedang meminta dia mengucapkan kalimat thayyibah itu untuk yang ke tiga kalinya.

Abu Zakaria mengakhiri penjelasannya, “Seketika itu mangkok yang dibawa iblis jatuh dan pecah berantakan, kemudian ia lari terbirit-birit.
Tetapi rasa haus itu begitu menggigit dan tidak tertahankan sehingga aku jatuh pingsan. Jadi, sikap dan perkataanku itu bukan untuk kalian,
tetapi untuk menolak iblis. Dan sekarang kalian saksikan semua : Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammad ar rasuulullaah!!”

Setelah itu tubuh Abu Zakaria melemah, dan ia meninggal dunia dalam keadaan khusnul khotimah.
💥Nabi Idris As Menyiasati Malaikat Izrail

Menurut sebagian riwayat, Nabi Idris AS belum pernah mengalami kematian ketika hidupnya di dunia seperti halnya Nabi Isa AS, hanya saja
mempunyai kisah dan keadaan yang berbeda. Tentang Nabi Isa dalam versi kita kaum muslimin, ketika pasukan kaum Yahudi berhasil
menemukan tempat persembunyian Nabi Isa dan para sahabat beliau kaum Hawariyyun, Allah SWT mengangkat beliau ke langit, kemudian
Allah menyerupakan wajah Yudas Iskariot menyerupai wajah Nabi Isa. Murid beliau yang satu ini berkhianat dan menunjukkan persembunyian
beliau kepada kaumYahudi karena iming-iming harta kekayaan. Yudas Iskariot inilah yang ditangkap, disalib, kemudian dibunuh oleh orang-
orang Yahudi karena memang ‘memiliki’ wajah Nabi Isa.

Sedang tentang Nabi Idris, semuanya berawal dari malaikat maut yang ingin bersahabat dengan beliau. Keinginan dan kerinduan Izrail itu
muncul karena setiap hari (pada waktu ashar) dan malamnya (pada waktu subuh) ia melihat begitu indah dan cemerlangnya amal-amal Nabi
Idris yang diangkat ke langit. Maka Izrail memohon kepada Allah merealisasikan keinginannya itu, dan Allah mengabulkannya. Maka Izrail
menjelma menjadi manusia dan turun ke bumi.

Nabi Idris AS mempunyai amalan berpuasa setiap harinya sepanjang masa, dan berdiri untuk shalat sepanjang malam setelah waktu
berbukanya, hingga matahari terbit. Izrail dalam bentuk manusia datang bertamu, setelah mengucap salam dan diijinkan untuk masuk, ia
langsung duduk di sebelah Nabi Idris. Beliau berkata, “Apakah engkau mempunyai keperluan dengan aku?”

Tentu saja Nabi Idris tidak mengetahui kalau tamunya itu adalah malaikat maut, disangkanya hanya manusia biasa seperti kebanyakan tamu
beliau. Izrail berkata, “Tidak, aku hanya ingin menemani engkau jika diijinkan!!”

Nabi Idris mengijinkannya dan beliau meneruskan aktivitas pekerjaan. Sebagian riwayat menyebutkan, pekerjaan beliau adalah seorang
penjahit.

Setelah tiba waktu berbuka, datang malaikat dengan membawa hidangan surga. Nabi Idris menghadapi hidangan itu sambil berkata kepada
tamunya, “Marilah makan bersamaku!!”

Tentu saja Izrail tidak memerlukan makanan-makanan itu, maka ia menolak dan mempersilahkan Nabi Idris berbuka dan makan sendirian saja.
Usai berbuka, beliau langsung meneruskan beribadah seperti biasanya, berdiri untuk shalat sepanjang malam itu, sementara Izrail tetap duduk
tempatnya seperti sebelumnya. Ketika matahari terbit dan Nabi Idris mengakhiri ibadah shalatnya, ia keheranan karena tamunya itu masih saja
duduk menemaninya tanpa banyak perubahan seperti sebelumnya. Keheranan yang tidak perlu andai saja beliau tahu kalau tamunya itu
seorang malaikat.

Pada pagi hari seperti itu biasanya Nabi Idris mulai bekerja menjahit, tetapi karena hari itu mempunyai tamu yang dalam sehari-semalam ini
hanya duduk menemaninya, beliau berkata, “Wahai Tuan, apakah tuan bersedia berjalan-jalan bersamaku sehingga engkau merasa senang?”

Izrail berkata, “Baiklah!!”

Mereka berdua berjalan, hingga ketika sampai pada suatu ladang, Izrail berkata, “Apakah engkau mengijinkan aku mengambil beberapa tangkai
dari tanaman ini untuk makanan kita berdua??”
“Subkhanallah,” Kata Nabi Idris, “Kemarin aku mengajak makan tetapi engkau menolak makanan yang jelas halalnya, tetapi hari ini engkau ingin
makan dari yang haram!!”

Malaikat Izrail hanya tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Mereka terus berjalan hingga empat hari
lamanya, dan setiap kali masuk waktu berbuka, datang malaikat membawa hidangan untuk Nabi Idris. Setiap kali beliau mengajak makan
hidangan surga itu, tentu saja Malaikat Izrail menolak.

Akhirnya Nabi Idris menyadari kalau tamunya ini bukanlah manusia biasa, beliau berkata, “Sebenarnya siapakah tuan ini?”

Izrail berkata, “Saya adalah malaikat maut??”

Nabi Idris terkejut mendengarnya, dan berkata, “Jadi engkau yang mencabut nyawa??”

“Ya,” Jawab Izrail.

Beliau berkata lagi, “Engkau selalu berada di sisiku sejak empat hari yang lalu, apakah engkau juga mencabut nyawa seseorang (selama itu)??”

Izrail menjawab, “Ya, bahkan banyak sekali aku mencabut nyawa!!”

Beliau berkata, “Bagaimana engkau melakukannya??”

Izrail berkata, “Ruh-ruh semua mahluk itu ada di depanku, sebagaimana sebuah hidangan makanan. Mudah sekali aku meraih dan
mengambilnya (yang telah tiba waktunya), seperti halnya engkau mengambil makanan di depanmu!!”

Nabi Idris manggut-manggut tanda mengerti, walau mungkin beliau tidak melihat langsung bagaimana Malaikat Maut mencabut nyawa
seseorang, pada saat yang sama sedang berjalan bersama dirinya selama empat hari terakhir. Beliau berkata lagi, “Apakah maksud
kedatangamu kepadaku, sekedar berkunjung atau untuk mencabut nyawaku??”

Izrail berkata, “Aku datang sekedar berziarah kepadamu dengan seizin Allah SWT!!”

Sejenak Nabi Idris terdiam seperti memikirkan sesuatu, kemudian berkata, “Wahai Malaikat Maut, kebetulan sekali, sesungguhnya aku
mempunyai hajat (keperluan) kepadamu!!”
“Apa hajatmu kepadaku??”

“Hajatku kepadamu adalah, hendaklah engkau mencabut nyawaku, dan aku memohon kepada Allah agar Dia menghidupkan aku lagi, sehingga
aku bisa makin giat beribadah setelah aku merasakan sakitnya sakaratul maut!!”

Izrail berkata, “Aku tidak bisa mencabut nyawa seseorang kecuali atas seizin Allah, yakni yang telah sampai pada saat ajalnya. Sedangkan saat
ini belum tiba saat ajalmu!!”

Tetapi sesaat kemudian turun perintah Allah kepada Izrail agar mencabut nyawa Nabi Idris. Maka Izrail memberitahukan perintah Allah tersebut
kepada Nabi Idris, yang dengan senang hati menerimanya. Izrail segera mencabut nyawa Nabi Idris dan beliau meninggal, tetapi setelah itu
Izrail menangis tersedu-sedu karena merasa kehilangan sahabatnya dalam empat hari tersebut. Ia terus menangis dan merendahkan diri
kepada Allah, sambil meminta agar Allah menghidupkan kembali Nabi Idris.

Setelah beberapa waktu lamanya Izrail dirundung kesedihan, Allah menghidupkan kembali Nabi Idris. Tentu saja Izrail sangat gembira, dan ia
berkata, “Bagaimana engkau merasakan sakitnya kematian??”

Nabi Idris berkata, ”Sesungguhnya hewan ketika dikelupas kulitnya (dikuliti) dalam keadaan hidup, maka sakitnya kematian itu seribu kali lebih
sakit daripada itu!!”

Izrail berkata, “Sesungguhnya aku bersikap sangat lembut dan sangat hati-hati ketika mencabut nyawamu, yang belum pernah aku lakukan
sebelumnya kepada siapapun!!”

Nabi Idris berkata lagi, “Aku masih mempunyai hajat kepadamu, sesungguhnya aku ingin melihat neraka jahanam, dan aku berharap bisa makin
giat beribadah kepada Allah setelah melihat siksaan, rantai, belenggu dan berbagai macam azab neraka lainnya!!”

Izrail berkata, “Bagaimana aku bisa membawamu ke neraka jahanam tanpa seizin Allah!!”

Tetapi sesaat kemudian Allah berfirman kepadanya untuk memenuhi permintaan Nabi Idris tersebut. Izrail membawa beliau mengunjungi
jahanam, memperlihatkan berbagai macam siksaan yang dipersiapkan bagi orang-orang yang mendurhakai Allah, seperti rantai dan belenggu
api, ular, kalajengking, aspal, air yang mendidih, zaqqum dan berbagai macam siksaan lainnya. Semua itu membuat Nabi Idris menggigil penuh
ketakutan, setelah itu ia membawa beliau kembali ke tempat semula di dunia.

Kemudian Nabi Idris berkata lagi, “Wahai Malaikat Maut, aku masih mempunyai hajat lainnya kepadamu, yakni bawalah aku ke surga. Jika aku
telah melihat dan merasakan kenikmatan surga, aku akan lebih bersemangat dalam beribadah dan melaksanakan ketaatan kepada Allah!!”

Lagi-lagi Izrail berkata, “Bagaimana mungkin aku membawamu ke surga tanpa seizin Allah!!”
Dan seperti sebelumnya, Allah menurunkan perintah-Nya agar membawa Nabi Idris ke surga seperti permintaannya. Segera saja Izrail
membawa beliau, dan berhenti di pintu surga, yang dari sana telah terlihat berbagai kenikmatan di dalamnya, tetapi tidak membawa beliau
masuk ke dalamnya. Maka Nabi Idris berkata, “Wahai saudaraku, aku telah merasakan sakitnya kematian, merasakan (pengaruh) dahsyatnya
siksa neraka dan keterkejutan melihatnya. Apakah engkau berkenan meminta kepada Allah agar mengizinkan aku memasuki surga, sekedar
minum seteguk airnya, untuk menghilangkan bekas-bekas sakitnya kematian dan dahsyatnya siksaan neraka!!”

Izrail memanjatkan doa kepada Allah sesuai permintaan beliau, dan Allah mengabulkan serta mengizinkannya. Maka Nabi Idris memasuki surga
dan hanya minum seteguk air sesuai janjinya. Tetapi sebelum keluar lagi, beliau meninggalkan terompah beliau di bawah pohon. Setelah berada
di pintu surga lagi bersama Izrail, Nabi Idris berkata, “Wahai Malaikat Maut, terompahku tertinggal di surga, aku akan mengambilnya!!”

Nabi Idris segera masuk ke surga, tetapi beberapa waktu lamanya Izrail menunggu beliau tidak keluar juga, maka ia berkata, “Wahai Idris,
segeralah keluar!!”

Nabi Idris menyahut dari dalam surga, “Wahai Malaikat Maut, aku telah mendengar firman Allah bahwa tidak seorang manusia-pun kecuali
akan merasakan sakitnya kematian, kemudian akan mendatangi neraka dan merasakan (walau hanya sedikit pengaruhnya) beratnya siksaan di
dalamnya. Dan kalau beruntung, dia akan mendatangi surga dan merasakan kenikmatan di dalamnya, dan tidak pernah dikeluarkan lagi.
Sesungguhnya aku telah merasakan seperti itu, dan kini telah masuk ke surga, maka aku tidak akan keluar lagi!!”

Mendengar hujjah (argumentasi) itu Malaikat Izrail jadi ketakutan. Bagaimanapun semua itu terjadi berawal dari ‘keinginannya’ untuk
bersahabat dengan Nabi Idris. Ia takut Allah akan murka kepada dirinya karena sikap Nabi Idris yang tidak mau keluar dari surga, kembali ke
dunia seperti semula. Tetapi kemudian Allah berfirman kepadanya, “Wahai Izrail, biarkanlah dia di sana, sesungguhnya telah menjadi
ketetapan-Ku sejak zaman azali bahwa ia termasuk ahlul jannah!!”

💥Nasehat Murid Nabi Isa As

Pada masa khalifah Umar, wilayah Qadisiyah yang termasuk kota besar di Persia (Iran dan Irak sekarang ini) ditaklukan dan Sa’d bin Abi
Waqqash, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika hidupnya, menjadi Amirnya. Setelah beberapa waktu lamanya,
Umar memerintahkan Sa’d mengirim sahabat Nadhlah bin Muawiyah untuk menaklukan Hulwan, masih termasuk wilayah Persia lainnya.

Dengan 300 orang tentara berkuda, Nadhlah melakukan pengepungan Kota Hulwan beberapa waktu lamanya sehingga mereka menyerah,
menyatakan takluk kepada Madinah. Nadhlah kembali ke Qadisiyah dengan membawa jizyah dan ghanimah yang cukup banyak. Di tengah
perjalanan, mereka singgah di suatu dataran di bawah pegunungan karena telah masuk waktu shalat. Nadhlah berdiri melantunkan adzan,
tetapi di sela-sela jawaban adzan dari anggota pasukannya, terdengar suara lain dari atas gunung yang menimpali suara adzannya, dan mereka
semua mendengarnya cukup jelas.

Ketika ia melantunkan : Allahu Akbar Allahu Akbar (2x), terdengar suara jawaban, “Engkau telah mengagungkan Dzat Yang Maha Besar, wahai
Nadhlah!!”

Ketika ia melantunkan : Asyhadu allaa ilaaha illallaah (2), terdengar suara jawaban, “Itu adalah kalimat ikhlas, wahai Nadhlah!!”
Ketika ia melantunkan : Asyhadu anna muhammadar rasuululaah (2), terdengar suara jawaban, “Wahai Nadhlah, dia (Nabi Muhammad SAW
itu) adalah orang yang diberitahukan Nabi Isa kepada kami!!”

Ketika ia melantunkan : Hayya ‘alash sholaah (2x), terdengar suara jawaban, “Sungguh beruntunglah orang yang mengerjakannya secara
istiqomah!!”

Ketika ia melantunkan : Hayya ‘alal falaah(2x), terdengar suara jawaban, “Sangatlah beruntung orang yang memenuhi ajakan Nabi Muhammad
SAW, itu adalah jaminan bagi umat Muhammad SAW!!”

Ketika ia melantunkan : Allahu Akbar Allahu Akbar, laa ilaaha illallaah , terdengar suara jawaban, “Kamu benar-benar ikhlas wahai Nadhlah,
sungguh Allah akan mengharamkan jasadmu dari api neraka!!”

Selesai adzan mereka sempat dicekam ketakutan oleh suara tersebut, walau perkataan ghaib itu membenarkan keislaman dan apa yang sedang
mereka lakukan. Maka Nadhlah sebagai pimpinan rombongan pasukan itu berkata, “Wahai hamba Allah, siapakah engkau? Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Apakah engkau malaikat, jin atau hamba Allah lainnya?? Engkau telah memperdengarkan
suaramu kepada kami, maka tunjukkanlah bentuk tubuhmu!! Aku adalah tentara Allah, balatentara Rasulullah SAW, dan balatentara Umar bin
Khaththab….!!”

Tiba-tiba muncul seseorang yang sangat tua, berambut dan berjenggot putih, memakai pakaian bulu yang sangat sederhana, dan berkata,
“Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!!”

Nadhlah dan kawan-kawannya berkata, “Wa ‘alaikassalam warahmatullaahi wabarakaatuh, siapakah engkau ini? Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!!”

Orang tua itu berkata, “Aku adalah Zarnab bin Bar’ala, murid dan orang yang sangat dipercaya oleh Nabi Isa. Aku ditempatkan di gunung ini dan
didoakan Nabi Isa panjang umur hingga waktunya beliau turun lagi ke bumi dari langit…!!”

Nadhlah dan kawan-kawannya terheran-heran mendengar perkataannya itu. Kalau melihat begitu tuanya, bisa jadi memang benar
perkataannya itu. Tetapi tampak sekali kalau dia masih sangat kuat dan kokoh di balik penampilan ketuaannya, tidak ada tanda-tanda
kelemahan sama sekali. Orang tua itu berkata lagi, “Karena aku tidak bisa bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, begitu juga dengan Umar
bin Khaththab, maka sampaikanlah salamku kepadanya, dan sampaikanlah ucapanku ini kepadanya….!!”

Zarnab berkata lagi, “Wahai Umar, bekerjalah yang keras, karena sesungguhnya hari kiamat telah sangat dekat. Dan sampaikanlah kepada umat
Muhammad SAW, jika nanti telah terjadi peristiwa-peristiwa di antara mereka, apa-apa yang akan aku sampaikan, hendaklah mereka lari,
hendaknya mereka menghindari sejauh-jauhnya, jangan sampai terjatuh kepada hal-hal itu…”

Peristiwa yang dimaksudkan Zarnab, yang adalah merupakan tanda-tanda makin dekatnya kiamat, dan jangan sampai kita terjatuh dan
terperangkap di dalamnya, adalah :
Jika laki-laki senang dengan laki-laki, dan wanita senang dengan wanita. Maksudnya bersikap homoseksual atau lesbian, seperti yang terjadi
pada kaum Nabi Luth AS.

Jika orang-orang senang bernasab kepada orang yang bukan leluhurnya, nasabnya palsu.

Jika orang yang tua tidak menyayangi yang muda, dan orang-orang muda tidak mau menghormati yang tua.

Jika orang-orang telah meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Jika orang-orang yang pandai (ulama) belajar dan mengajarkan ilmunya semata-mata untuk mencari kekayaan dunia.

Hujan turun di musim kemarau, dan kemarau memanjang hingga di musim hujan.

Anak-anak menjengkelkan orang tua, bersikap kurang ajar dan sedikit sekali orang yang mempunyai budipekerti yang baik (ber-akhlaqul
karimah).

Orang-orang berlomba-lomba mendirikan bangunan dan rumah.

Lebih senang mengikuti (mengumbar) hawa nafsunya, bahkan menjual agama demi keuntungan duniawiah semata.

Menganggap ringan masalah pembunuhan, dan menjual hukum demi kepentingan pribadi.

Senang memutuskan silaturahmi.

;Menghiasi Mushaf-mushaf (Al Qur’an), dan memperindah masjid-masjid.

Suap menyuap dan riba menyebar di mana-mana.

;Orang-orang senang dipuji-puji, termasuk wanitanya, dan mereka (kaum wanita) bepergian kemana-mana dengan berkendaraan sendiri.

Setelah itu Zarnab bin Bar’ala mengucap salam dan berlalu pergi menuju pegunungan darimana dia datang, yang dalam sekejab saja ia hilang
dari pandangan mata.

Usai shalat, Nadhlah segera memerintahkan pasukan segera kembali ke Qadisiyah dan menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Sa’d bin
Abi Waqqash, pemimpinnya. Sa’d sangat tertarik dengan pesan atau nasehat yang diberikan oleh Zarnab, yang sepertinya mirip sekali dengan
pesan atau pengajaran Nabi SAW tentang tanda-tanda akhir zaman yang pernah didengarnya. Ia ingin bisa bertemu dan mendengar langsung
pengajaran itu dari murid Nabi Isa tersebut, maka ia membawa 4.000 orang pasukan yang dipimpinnya menuju dataran di bawah pegunungan
tersebut.

Empatpuluh hari lamanya mereka tinggal di bawah pegunungan itu, dan shalat lima waktu didirikan dengan berjamaah, dengan adzan yang
dikeraskan, termasuk oleh Nadhlah. Tetapi tidak pernah ada jawaban atau suara sahutan seperti yang dialami Nadhlah sebelumnya. Kalau
tidaklah peristiwa itu dialami dan disaksikan langsung oleh 300 orang pasukan berkuda yang mengikutinya, pastilah Nadhlah dianggap hanya
berbohong atau mengigau saja.

Mungkin Peristiwa itu hanya kemuliaan dan keutamaan yang khusus diberikan Allah kepada Nadhlah, sehingga seorang sahabat yang lebih
utama seperti Sa’d bin Abi Waqqash tidak bisa ‘mencontoh’nya. Memang hak prerogatif Allah untuk memberikan keutamaan dan kekhususan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, yang tidak bisa diperoleh walau mungkin kita telah mencontoh amalan istiqomahnya, bahkan dengan
kualitas yang lebih baik. Wallahu A’lam.
💥Ya’juj Dan Ma’juj

Ya’juj dan Ma’juj merupakan salah satu tanda besar akan tibanya hari kiamat, yakni setelah terbunuhnya Dajjal oleh Nabi Isa AS. Namun Ya’juj
dan Ma’juj itu sendiri telah ada jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj merupakan jenis, bangsa atau ras manusia juga yang diturunkan dari salah cucu Nabi
Nuh AS, Sanaf bin Yafits bin Nuh, hanya saja tidak diketahui pasti pada generasi yang ke berapa. Yang jelas, bangsa atau ras Ya’juj dan Ma’juj ini
mempunyai agresivitas tinggi, yang sifatnya sangat merusak dan menganggu kehidupan manusia lainnya. Mereka suka menyerang dan
merampok bangsa-bangsa di sekitarnya, dan bertindak sangat kejamnya, sehingga menjadi momok dan ancaman bagi masyarakat sekitarnya.

‘Rekaman’ paling sahih tentang keberadaan Ya’juj dan Ma’juj ini terdapat dalam QS Al Kahfi ayat 92 hingga 98, yang merupakan bagian dari
kisah Dzul-Qarnain. Sedang munculnya menjelang kiamat, setelah terbebasnya Ya’juj dan Ma’juj ini dari dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain,
disitir dalam QS Al Anbiya ayat 96. Beberapa hadits tentang tanda-tandakiamat, juga menjelaskan tentang keberadaan Ya’juj dan Ma’juj ini.

Dzul-Qarnain, atau dikenal dengan nama Iskandar Zulkarnain, dalam sejarah terkadang dihubungkan (disamakan) dengan nama Iskandar dari
Macedonia atau The Great Alexander, bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi seseorang yang memiliki keutamaan dan prestasi luar biasa
sehingga namanya diabadikan dalam Al Qur’an. Sebagian riwayat menyebutkan ia hidup pada masa Nabi Isa AS, tetapi ada juga yang
menyebutkan sebelumnya, yakni sekitar tahun 300 sebelum Masehi. Ada juga pendapat yang menyebutkan ia hidup sekitar 1500 sebelum
Hijriah, atau 900 sebelum Masehi, Wallahu A’lam.

Allah memberikan kepada Dzul-Qarnain keimanan, kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan, serta pasukan yang sangat kuat. Ia bisa menaklukkan
dan menyatukan wilayah barat (Afrika) hingga wilayah di timur (India), menghapuskan segala macam kedzaliman dan menebarkan keimanan
serta kedamaian di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian Dzul-Qarnain melanjutkan misinya ke arah utara hingga tiba di suatu negeri yang
bergunung-gunung. Ada yang menyebutkan itu di wilayah Turki, atau wilayah Azerbaijan atau Armenia sekarang ini.

Dzul-Qarnain kesulitan melakukan komunikasi dengan penduduk di daerah itu karena mempunyai bahasa yang berbeda, tetapiakhirnya ia
memahami kalau masyarakat di sana sering mengalami gangguan dan ancaman dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang berdiam di antara gunung-
gunung yang menjulang tinggi.

Mereka berkata: "Hai Dzul-Qarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah
kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"

Sejak awal melakukan ‘muhibah’ ke segala penjuru bumi, Dzul-Qarnain mempunyai misi untuk menyebarkan kebaikan dan keamanan semata-
mata karena mengharap keridhoan Allah, tidak karena ambisi kekuasaan, kekayaan dan nama besar. Karena itu ia berkata, “Apa yang telah
dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku
membuatkan dinding antara kamu dan mereka!!”

Dzul-Qarnain mulai menggerakkan pasukannya untuk membuat proyek dinding atau bendungan yang akan menutup akses Ya’juj dan Ma’juj
keluar dari wilayahnya, dengan bantuan penduduk setempat. Ia meminta mereka untuk mengumpukan potongan-potongan besi dan tembaga
sebagai bahan pembuatannya. Sebagian ulama menyebutkan, dinding atau bendungan itu terdiri atas dua lapisan besi setinggi dua gunung
yang mengapitnya, di tengah-tengahnya dituangkan tembaga yang telah dicairkan dengan panas sangat tinggi.
Entah teknologi atau arsitektur apa yang digunakan Dzul-Qarnain dalam merealisasikan bendungan baja tersebut, sehingga begitu kokohnya
hingga dekat datangnya hari kiamat kelak. Tetapi yang jelas, hal itu tidak terlepas dari bimbingan ilham (wahyu) Allah kepadanya. Sikap
tawadhu Dzul-Qarnain tampak sekali ketika dinding atau bendungan itu telah selesai dikerjakan. Ia berkata, “

Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku
itu adalah benar!!"

Sebagian riwayat menyebutkan, tempat tinggal Ya’juj dan Ma’juj itu adalah jurang yang begitu dalam, terkurung oleh dua gunung yang
mendindinginya begitu tinggi, hampir tidak bisa didaki karena begitu licinnya. Di balik gunung-gunung itu hanya batu-batuan yang sangat curam
dan terjal, serta lautan luas yang begitu ganas gelombangnya. Setelah jalan keluarnya tertutup dengan dinding yang dibuat oleh Dzul-Qarnain
itu, praktis Ya’juj dan Ma’juj terisolasi dari dunia luar, bahkan sinar matahari tidak bisa menembus tempat tinggalnya. Namun demikian, dengan
kehendak Allah, mereka tetap bertahan hidup hingga menjelang kiamat kelak, bahkan berkembang biak dengan sangat cepatnya sehingga
jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia.

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW menjelaskan kalau setiap harinya Ya’juj dan Ma’juj itu melakukan penggalian untuk
menembus gunung atau dinding baja tersebut. Setelah seharian penuh melakukan penggalian begitu dalam dan jauhnya, bahkan hampir saja
mereka bisa melihat sinar matahari, salah satu pemimpinnya akan berkata, “Berhenti, kembalilah kamu sekalian, kita lanjutkan besok pagi
untuk menggalinya!!”

Malam harinya Allah mengembalikan lagi dinding gunung atau bendungan itu seperti semula, sehingga pagi harinya mereka harus menggali lagi
dari awal. Ketika mereka telah hampir menembus dan nyaris melihat sinar matahari, lagi-lagi pemimpinnya menghentikan untuk melanjutkan
penggalian keesokan harinya. Pada malam harinya Allah mengembalikan galian mereka seperti semula. Begitulah berulang-ulang hingga hari
kiamat menjelang, dan memang seperti itulah yang dikehendaki Allah, Ya’juj dan Ma’juj akan muncul ketika kiamat benar-benar telah sangat
dekat.

Sebagian ulama berpendapat, ketika kemunculannya menjelang hari kiamat kelak, Ya’juj dan Ma’juj mempunyai bentuk yang sangat berbeda
dengan umumnya manusia sekarang, walau sebenarnya berasal dari ras manusia juga. Mereka terdiri dari tiga bentuk dengan ukuran yang
berbeda. Pertama mirip dengan lebah atau pohon besar (al arzi) dengan ukuran yang sangat besar, yakni 120 hasta atau sekitar 60 meter.
Kedua ukurannya lebih kecil dan berbentuk persegi panjang dengan daun telinga yang sangat lebar. Ketika tidur, satu telinga dipakai untuk alas
dan telinga satunya untuk selimut. Ketiga sangat kecil, tak lebih dari sejengkal saja. Tetapi mereka itu semuanya bercakar, atau kukunya sangat
panjang, dan suaranya seperti auman singa atau gonggongan anjing.

Tentu sulit dijelaskan secara ilmiah bagaimana bisa seperti itu, tetapi kalau mengutip Teori Evolusi Darwin, terlepas bahwa kita tidak boleh
mempercayai pendapatnya bahwa manusia berasal dari jenis primata atau kera, bisa saja Ya’juj dan Ma’juj mengalami evolusi dan menjalani
proses adaptasi sehingga menjadi tiga bentuk dan ukuran yang berbeda seperti itu. Untuk diketahui, Nabi Adam AS diciptakan Allah setinggi 60
hasta atau sekitar 30 meter, tentunya Nabi Nuh AS tidak jauh berbeda dengan beliau. Tetapi apapun bentuk dan ukurannya, benar atau tidak
seperti itu hanyalah Allah saja yang lebih mengetahui, mereka memang ‘disiapkan’ oleh Allah untuk menjadi tanda besar datangnya kiamat.
Dan mereka semua itu hanya akan menjadi penghuni neraka jahanam karena tidak ada satupun yang beriman.

Dalam sebuah hadist cukup panjang tentang tanda-tanda kiamat, dari sahabat Nawwas bin Sim’an, Nabi SAW menceritakan bahwa setelah
membunuh Dajjal dan menyelamatkan kaum muslimin dari fitnahnya, Allah berfirman kepada Nabi Isa AS, “Sesungguhnya Aku akan
mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah Ya’juj dan Ma’juj), karena itu
selamatkanlah mereka (yakni kaum muslimin yang saleh-saleh) ke bukit Thursina…!!”
Maka Nabi Isa membawa kaum muslimin menuju bukit Thursina, dan tak lama setelah itu, atas kehendak Allah, dinding baja yang dibuat Dzul-
Qarnain berhasil ditembus oleh Ya’juj dan Ma’juj, yang dengan cepatnya bergerak ‘membanjiri’ bumi di sekitarnya, seperti digambarkan dalam
QS Al Anbiya ayat 96, “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi...”

Walau dalam bentuk yang tidak lazim seperti manusia, tetapi Ya’juj dan Ma’juj itu juga bersenjata semacam panah. Mereka merusak,
menyerang dan menghancurkan apapun yang mereka temui. Manusia dan binatang-binatang yang telah terbunuh, kecil ataupun besar,
langsung dimakannya mentah-mentah. Bahkan jika ada sesamanya dari Ya’juj dan Ma’juj yang mati, mereka memakannya juga, dan tidak ada
dari mereka yang mati kecuali telah menurunkan (berkembang biak) paling tidak seribu orang. Ketika melalui danau Thabariyah yang begitu
luas dan penuh airnya, mereka meminumnya hingga habis dalam sekejab, bahkan bagian belakang dari pasukan Ya’juj dan Ma’juj ini
mendapatinya dalam keadaan kering, dan berkata, “Tentunya di sini ada air sebelumnya!!”

Hampir seluruh penjuru bumi telah diserang dan dipenuhi oleh Ya’juj dan Ma’juj, kecuali empat tempat, Makkah, Madinah, Baitul Maqdis dan
bukit Thursina. Sama seperti ketika Dajjal menjelajah bumi, empat tempat itu dijaga ketat oleh para malaikat sehingga mereka tidak mampu
memasukinya. Di tempat lainnya, hampir tidak ada manusia yang bertahan hidup, atau kalaupun ada, mereka merasakan kesengsaraan yang
luar biasa. Tidak ada sungai, danau atau sumber air lainnya kecuali telah mengering dihabiskan airnya. Begitu juga hampir tidak ada pepohonan
dan tanam-tanaman, atau sumber makanan lainnya kecuali telah dirusak, dihancurkan atau dihabiskan oleh mereka ini. Bahkan orang-orang
yang bertahan hidup di empat tempat tersebut, termasuk Nabi Isa AS dan para pengikutnya juga mengalami penderitaan yang tidak terperikan
karena terbatasnya makanan. Satu kepala sapi saat itu bisa lebih berharga dari pada seratus dinar (satu dinar adalah uang emas berkadar 22
karat dengan berat hampir 4 gram).

Dalam puncak penderitaan itu, Nabi Isa berdoa kepada Allah agar Ya’juj dan Ma’juj dilenyapkan, dan Allah mengabulkannya. Tiba-tiba mereka
dihinggapi penyakit, semacam ulat yang menggerogoti leher dan mereka jatuh bergelimpangan di tempatnya masing-masing. Riwayat lainnya
menyebutkan, mereka dihantam oleh angin puyuh yang pernah menghancurkan kaum ‘Ad, dan hanya dalam waktu satu jam tidak satupun dari
mereka yang masih hidup.

Nabi Isa dan kaum muslimin lainnya langsung sujud syukur. Tetapi permasalahan belum selesai sampai di situ. Begitu turun dari bukit Thursina,
mereka sangat terganggu dengan adanya bangkai Ya’juj dan Ma’juj yang tidak mungkin mereka kuburkan secara normal karena begitu
banyaknya. Lagi-lagi Nabi Isa berdoa, dan Allah mengirimkan ribuan burung sebesar unta, yang berwarna hitam dan berparuh besar. Dengan
paruhnya, mereka membawa bangkai-bangkai itu ke tempat yang tidak dihuni manusia. Dalam riwayat lainnya, bangkai-bangkai itu dibuang ke
laut untuk makanan ikan-ikan dan penghuni laut lainnya.

Walau bangkainya telah lenyap, tetapi kotoran Ya’juj dan Ma’juj itu masih berserakan di seantero bumi, begitu juga dengan baunya yang
menusuk hidung. Maka Nabi Isa kembali berdoa kepada Allah, dan Allah menurunkan hujan yang begitu derasnya, membersihkan dan
menyucikan bumi seperti sediakala. Tetapi baunya tidak bisa lenyap begitu saja, diperlukan waktu tujuh tahun sampai bau Ya’juj dan Ma’juj itu
benar-benar hilang, terkadang dibantu dengan menyalakan api untuk mengurangi baunya.

Tentang Ya’juj dan Ma’juj ini, ada juga sekelompok ulama yang menganggap bahwa nama itu hanyalah istilah untuk suatu bangsa yang suka
menyerang, mengganggu atau membantai bangsa lainnya. Seperti misalnya pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Hulagu, yang pernah
menghancurkan hampir separuh Asia, termasuk imperium Islam saat itu, berikut simbol-simbol dan buku-buku ilmu pengetahuan. Tetapi
mayoritas ulama menolak pendapat ini, karena jelas-jelas Al Qur’an dan beberapa hadits sahih menjelaskan keberadaannya. Wallahu A’lam.

💥Seorang Yahudi Yang Merindukan Rasulullah Saw


Hari Sabat, atau hari sabtu saat ini, adalah hari besar dimana para pengikuti ajaran Nabi Musa AS (pada masa Nabi SAW dikenal sebagai kaum
Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.

Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat
tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup
para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.

Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa orang pemuka dan pendeta Yahudi melakukan
"indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorangpendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam
Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi
dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.

Pada hari sabtu berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan delapan halaman yang
menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong delapan halaman tersebut dan
membakarnya.

Pada hari sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan
cerita tentang beberapaorang sahabat di sekitar beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya,
tetapi ia berfikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan
tentang sifat sifat dan keadaan Muhammad..!!"

Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang kandungan Taurat seperti itu? Atau memang Allah SWT telah menggiring lelaki Yahudikepada
hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang
keadaan Nabi Muhammad SAW.

Tetapi, tiga kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingin-tahuannya yang besar kepada Nabi SAW.
Bahkan dengan tiga kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau
sangat akrab.

Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, "Siapakah Muhammad ini?"

"Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak
perlu melihat engkau!!"

Tetapi lelaki Yahudi yang telah "melihat" dengan "ilmul yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi
teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan
yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisahilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia
berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk mengunjungi Muhammad…!!"
Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan Nabi SAW di
Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-
nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.

Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman al Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang
diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?"

Salman tidak segera menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehinggamembuat lelaki Yahudi ini terheran-
heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!"

Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu
mengingatkannya kepada beliau dan membuat Salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?"

Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup,
maka ia berbohong. Salman-pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!"

Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu masjid,
lelaki Yahudi ini berseru agak keras, "Assalamu'alaika, ya Muhammad!"

Ia mengira Nabi SAW ada di antara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang
pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata,
"Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah
wafat tiga hari yang lalu?"

Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak
pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat aku
tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan
ayat-ayat Taurat tersebut….(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!"

Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali
berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!"

"Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.

"Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri- ciri beliau!"
Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua
alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar
langkahnya, dan di antara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!!"

"Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Kitab Taurat. Apakah
masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?"

"Masih!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah az Zahrah,
istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.

Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu
kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!!"

"Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam.

"Saya, Salman…" Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.

"Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.

Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat
tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke masjid. Setelah menerima jubah
tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu
sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir
jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.

Lelaki Yahudi ini mencium dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini…!!"

Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit
dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (AshShomad). Dan saya
bersaksi bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah,
jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga..!!"

Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat
keadaan si Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan
memakamkannya di Baqi'.
Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang
dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada NabiSAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan
para sahabat beliau lainnya.

💥Tersembunyinya Kekasih Allah

Abdullah bin Mubarak, salah seorang ulama di masa tabi’in, setelah melaksanakan ibadah haji atau umrah, ia tinggal beberapa waktu lamanya
di Makkah. Ketika itu terjadi masa paceklik karena telah beberapa bulan lamanya tidak terjadi hujan. Maka orang-orang datang ke suatu
lapangan luas untuk melaksanakan shalat istisqo’ (shalat meminta hujan), Abdullah bin Mubarak ikut serta dalam jamaah shalat tersebut.

Usai shalat dan memanjatkan doa kepada Allah, tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan turun. Hingga malam menjelang tidak ada awan
tebal yang datang membawa air untuk menyirami wilayah Makkah dan sekitarnya. Keesokan harinya, mereka mengulang lagi shalat istisqo’
tersebut, tetapi masih juga tidak ada pertanda akan turunnya hujan, termasuk ketika mereka melakukannya untuk ke tiga kalinya pada hari
berikutnya.

Setelah berjamaah shalat Istisqo’ pada hari ketiga itu, Ibnul Mubarak berkata dalam hati, “Aku akan keluar memisahkan diri dari orang-orang ini
dan berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya dan mengabulkan doaku sehingga hujan bisa turun!!”

Ia berjalan diam-diam menuju perbukitan di sekitar Makkah, dan masuk salah satu gua yang berada di sana. Tetapi belum sempat ia berbuat
apa-apa, tiba-tiba masuklah ke dalam gua itu seorang lelaki berkulit hitam, yang tampaknya seorang budak. Entah tidak tahu, pura-pura tidak
tahu atau merasa minder melihat ‘penampilan’ Ibnul Mubarak yang layaknya seorang ulama khusyu dan ‘khos’, budak berkulit hitam itu tidak
menyapa atau memberi salam kepadanya.

Lelaki hitam itu langsung shalat dua rakaat yang tampaknya sederhana dan ringkas. Setelah mengucap salam, ia meletakkan kepalanya di tanah
dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, mereka telah melaksanakan shalat Istisqo’ selama tiga hari, tetapi
Engkau belum berkenan juga menurunkan hujan. Maka demi Keagungan dan Kemuliaan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku hingga
Engkau menurunkan hujan kepada kami!!”

Beberapa waktu lamanya ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang awan hitam bergulung-gulung, kemudian hujan turun dengan derasnya.
Lelaki itu segera mengangkat kepalanya dan keluar gua, berjalan menembus hujan tanpa berkata apa-apa.

Sejenak Ibnul Mubarak tertegun melihat pemandangan itu, dan segera setelah tersadar ia berjalan mengikuti lelaki hitam itu menembus hujan.
Ia terus membuntutinya hingga memasuki sebuah perkampungan, dan lelaki hitam itu memasuki sebuah rumah yang cukup bagus. Ia duduk
diam di depan rumah itu beberapa waktu lamanya, sampai seseorang keluar. Ibnul Mubarak berkata, “Rumah siapakah ini?”

Lelaki itu berkata, “Rumah Tuan Fulan bin Fulan!!”

“Bisakah saya membeli budak dari dirinya?” Kata Ibnul Mubarak lagi.
Lelaki itu berkata, “Bisa dan silahkan masuk!!”

Ibnul Mubarak dipersilahkan duduk dan lelaki itu segera memanggil tuannya. Sang pemilik rumah menemui Ibnul Mubarak sambil membawa
seorang budak yang bagus wajahnya dan tampak cekatan, tetapi ia berkata, “Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau mempunyai
budak lainnya??”

“Baiklah!!” Kata sang pemilik rumah, sambil memerintahkan untuk memanggil budak lainnya.

Satu atau dua orang budak lagi ditunjukkan, tetapi Ibnul Mubarak berkata, “Aku menginginkan yang lainnya, apakah engkau masih
memilikinya?”

Tujuan utama Abdullah bin Mubarak adalah lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua itu. Orang itu berkata, “Saya memang masih memiliki
satu orang lagi budak, tetapi ia sangat tidak pantas bagi tuan!!”

“Mengapa?” Tanya Ibnul Mubarak.

Orang itu berkata, “Karena dia seorang yang pemalas, tuan tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya.”

Ibnul Mubarak berkata, “Bawalah dia kemari, aku ingin melihatnya.”

Budak itu segera didatangkan, dan memang lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua tersebut. Tampak kegembiraan di matanya dan segera ia
berkata, “Aku ridha dengan orang ini, berapa engkau ingin menjualnya!!”

Orang itu berkata, “Saya dahulu membelinya duapuluh dinar, tetapi sekarang tidak laku walau hanya sepuluh dinar!!”

“Saya akan membelinya seharga sepuluh dinar darimu!!” Kata Abdullah bin Mubarak, yang langsung mengeluarkan uang sepuluh dinar dan
memberikannya kepada orang itu.

Ibnul Mubarak membawa budak hitam itu ke tempat tinggalnya. Budak hitam yang selama itu hanya diam saja, tiba-tiba berkata, “Wahai Ibnul
Mubarak, mengapa engkau membeli aku, aku tidak akan mengabdi dan melayani dirimu!!”

Walau sempat menduga sebelumnya karena peristiwa di dalam gua itu, masih juga Ibnul Mubarak terkejut karena budak itu mengetahui dan
menyebut namanya. Padahal ia belum pernah memperkenalkan diri, termasuk kepada pemilik sebelumnya. Tetapi justru hal itu memperkuat
dugaannya sebelumnya, segera saja Ibnul Mubarak berkata, “Bukan seperti itu, justru aku yang akan melayani kamu, siapakah namamu??”
Budak hitam itu berkata, “Para kekasih Allah tentu mengenal kekasih-Nya!!”

Ketika lelaki hitam itu akan beranjak untuk berwudhu, Ibnul Mubarak segera mengambil air untuknya dan mempersiapkan sandal, serta
menunjukkan kamar untuk dirinya. Di dalam kamar lelaki hitam itu shalat dua rakaat. Ibnul Mubarak yang memang sengaja menguping itu,
mendengar dia berdoa setelah shalatnya, layaknya sedang bersyair (berpuisi), “Wahai Tuhan Pemilik Rahasia, rahasia telah menjadi nyata
(terbuka), saya tidak lagi menginginkan kehidupan ini, setelah rahasia hidupku diketahui….!!”

Beberapa waktu lamanya Ibnul Mubarak menunggu, tetapi ia tidak mendengar suara atau gerakan apapun, maka ia masuk ke dalam kamar dan
mendapati lelaki hitam itu telah meninggal. Ia segera mengurus jenazahnya dengan penuh takdzim, hingga memakamkannya. Hanya sedikit
orang saja yang membantu dan mengiringi jenazahnya karena hanya seorang budak hitam yang tampak sangat sepele. Hal itu justru
menggembirakan bagi Ibnul Mubarak karena ia sendiri yang akhirnya banyak berperan dalam mengurus jenazah ‘kekasih Allah’ tersebut.

Malam harinya, Ibnul Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Di sisi kanan beliau ada seorang tua (syaikh) yang wajahnya tampak
bersinar, dan budak hitam itu berada di sisi kiri beliau. Nabi SAW bersabda dalam mimpinya itu, “Mudah-mudahan Allah membalas engkau
dengan kebaikan yang berlimpah karena apa yang telah engkau lakukan itu. Aku tidak melihat adanya bahaya dan kesulitan yang akan engkau
hadapi karena engkau telah berbuat kebaikan kepada kekasihku ini!!”

Beliau menunjuk lelaki hitam tersebut, dan Ibnul Mubarak berkata, “Ya Rasulullah, apakah dia itu kekasihmu?”

“Benar,” Kata Nabi SAW, “Dan dia juga kekasih Khalilul Rahman, Ibrahim AS!!”

Beliau menunjuk lelaki tua di sisi kanan beliau. Dan Ibnul Mubarak tersentak bangun dari tidurnya. Ia segera bangkit berwudhu dan shalat dua
rakaat, kemudian berdoa yang lebih banyak diisinya dengan ucapan syukur kepada Allah.

💥Berkah Shadaqah Di Hari Asyura

Seorang pedagang kurma di Mesir bernama Athiyah bin Khalaf mengalami kesuksesan dan harta bendanya melimpah ruah. Namun dalam
kekayaannya itu ia tetap tekun beribadah dan makin banyak bersedekah di jalan Allah. Karunia Allah yang diterimanya tidaklah menambah
kecuali ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW juga makin meningkat.

Tetapi sepertinya Allah ingin menguji keimanan dan ketakwaan Athiyah lebih lanjut, tiba-tiba saja usahanya mengalami kemunduran, pelan
tetapi pasti ia menjadi bangkrut sehingga tidak memiliki apapun kecuali rumah dan sekedar pakaian yang dipakainya itu. Untuk makan sehari-
harinya ia harus berusaha pada hari itu juga, bahkan tidak jarang ia tidak memperoleh apapun untuk dimakan. Namun dalam keadaan yang
seperti itu, ia tetap bersyukur kepada Allah, karena dengan tidak adanya kesibukan mengurus perniagaannya, ia mempunyai waktu lebih
banyak untuk beribadah kepada Allah.

Pada suatu hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharam, setelah mengerjakan shalat subuh Athiyah langsung beri’tikaf di masjid Amr bin Ash, salah
satu masjid bersejarah di Mesir yang dibangun oleh sahabat Nabi SAW, Amr bin Ash ketika ia menjadi gubernur di sana. Pada hari-hari biasa
masjid ini tidak pernah (tidak boleh) dimasuki oleh kaum wanita (untuk saat itu), tetapi khusus pada hari Asyura mereka (kaum wanita) diijinkan
i’tikaf di sana untuk bisa berdoa dan memperoleh kebaikan (pahala) pada hari mustajabah tersebut. Athiyah mengambil jarak agak jauh dengan
para wanita tersebut.

Setelah merasa cukup i’tikaf dan berdoa, ia keluar dari masjid untuk pulang. Tetapi belum jauh berjalan, ia dihampiri seorang ibu dengan
beberapa anaknya yang juga baru keluar dari masjid. Sang ibu berkata, “Wahai tuan, saya meminta atas nama Allah, tolonglah untuk bisa
memberi makanan pada anak-anak yatim ini. Saya ini seorang syarifah yang belum lama ditinggal wafat suami saya tanpa meninggalkan harta
apapun. Sudah tujuh hari saya berada di sini tanpa mengenal siapapun, dan baru hari ini saya keluar untuk mencari makanan bagi putra-putra
saya ini…!!”

Mendengar permintaan wanita syarifah (keturunan Nabi SAW) itu, Athiyah berkata di dalam hatinya, “Aku tidak mempunyai apapun yang bisa
kuberikan kepada wanita ini, kecuali pakaian yang kupakai ini. Sekiranya aku buka disini untuk kuberikan, maka akan terbuka auratku, tetapi jika
aku menolak permintaannya, bagaimana aku akan mempertanggung-jawabkan sikapku ini kelak di hadapan Rasulullah SAW??”

Sejenak tenggelam dalam kebimbangan, akhirnya Athiyah berkata, “Marilah ikut ke rumahku dan saya akan memberi sesuatu kepada kalian!!”

Mereka berjalan beriringan, dan ketika sampai di depan rumahnya, ia meminta wanita itu menunggu sesaat di depan pintu rumahnya. Setelah
masuk rumah, ia melepas semua pakaian yang dipakainya dan memberikannya kepada waniat syarifah tersebut dari balik pintu, yakni dengan
membuka sedikit pintunya dan mengulurkan tangannya. Ia berkata, “Juallah pakaian ini, dan gunakan uangnya untuk membeli makanan bagi
anak-anakmu!!”

Wanita itu sangat bergembira dengan pemberiannya itu, dan serta merta berdoa, “Semoga Allah memberikan kepada tuan pakaian dan
perhiasan dari surga, dan semoga setelah hari ini, tuan tidak lagi berhajat (memerlukan) kepada orang lain!!”

Athiyah sangat gembira dengan doa wanita tersebut dan mengaminkannya. Ia mencari kain sekedarnya yang masih ada di rumahnya, walau
mungkin tidak sepenuhnya bisa menutup auratnya sehingga ia tidak mungkin keluar rumah lagi. Ia hanya berdzikir dan shalat di dalam
rumahnya, dan menutup pintunya untuk tidak menerima tamu dengan keadaannya seperti itu.

Pada malam harinya, ketika ia tertidur karena terlalu larut dalam dzikirnya, ia bermimpi didatangi oleh seorang wanita yang sangat cantik
layaknya seorang bidadari, tidak pernah ia bertemu dengan wanita secantik itu. Wanita itu, yang ternyata memang seorang bidadari, membawa
sebuah apel, yang kemudian menyerahkan kepadanya. Setelah Athiyah membuka (membelah)-nya, ternyata keluar pakaian dan perhiasan yang
sangat indah dari dalamnya. Sang bidadari memakaikan pakaian dan perhiasan itu kepada Athiyah kemudian ia duduk di pangkuannya.

Antara kaget dan senang, Athiyah bertanya, “Siapakah engkau ini??”

Bidadari itu berkata, “Aku adalah Asyura’, istrimu kelak di surga!!”

Athiyah berkata lagi, “Sepertinya aku tidak mempunyai amalan yang istimewa, dengan amalan apakah aku memperoleh karunia yang sebesar
ini??”
Bidadari itu berkata, “Berkat doa dari wanita janda dan anak-anak yatimnya yang engkau tolong kemarin itu!!”

Seketika itu Athiyah terbangun, ia masih di dalam rumahnya yang gelap dan pakaian (kain)-nya yang seadanya, tetapi bau harum pakaian dan
bidadari dari surga itu masih menyebar di sekelilingnya. Ia sangat gembira dengan mimpi yang begitu nyata dirasakannya. Ia segera berwudhu
dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, “Ya Allah, bila mimpiku itu memang benar dari sisi-Mu, dan Asyuraa’ itu memang istriku di surga,
maka segerakanlah kematianku, ambillah ruhku sekarang juga!!”

Usai berdoa itu, tubuhnya jatuh terkulai ke atas sajadahnya, dan ruhnya terbang ke hadirat Allah SWT dengan mulut tersungging senyum.

💥Waspada Dalam Persahabatan

Syahdan ada empat ekor binatang yang bersahabat di dalam hutan, yakni singa, serigala, ajag dan seekor gagak. Singa yang dianggap sebagai
raja dan memang terkuat, selalu aktif mencari makanan, sedangkan tiga temannya cenderung pasif, kalau tidak bisa dikatakan sebagai malas.
Mereka hanya mengandalkan pembagian atau makanan yang diberikan/disisakan oleh sang singa. Untungnya sang singa cukup bijaksana dan
dermawan kepada sahabat-sahabatnya.

Suatu ketika ada onta yang terlepas dari suatu kafilah dan tersesat masuk hutan, dan ia bertemu dengan sang singa. Sang singa berkata,
“Darimana kamu datang, dan apa yang kamu inginkan??”

Sang unta menceritakan keadaan yang menimpanya dan berkata, “Saat ini saya ingin menemani engkau, wahai sang raja!!”

Sang singa berkata, “Jika engkau memang ingin berteman dengan aku, maka engkau akan tetap bersamaku dalam keadaan aman dan
berkecukupan. Sesungguhnya engkau berada dalam perlindunganku!!”

Kemudian sang singa mengumumkan ke seluruh penduduk hutan tentang jaminan perlindungan yang diberikannya kepada sang unta, sehingga
ia hidup tentram di sana, bahkan ia menjadi anggota baru dalam persahabatan mereka. Hanya saja sang unta tidak tergantung kepada sang
singa dalam hal makanan seperti tiga temannya yang lain, karena ia hanya makan rumput-rumputan saja.

Suatu ketika sang singa terlibat pertarungan dengan seekor gajah, dan ia terluka parah karena terkena gadingnya. Ia mundur dari pertarungan
tersebut dan jatuh tersungkur ketika tiba di sarangnya. Sang singa dalam keadaan sakit selama berhari-hari dan tidak bisa mencari makan.
Mungkin bagi sang singa sendiri tidak terlalu masalah karena pada dasarnya ia memang punya cadangan makanan (lemak) di dalam tubuhnya,
dan bisa bertahan tanpa makan hingga ia pulih kembali. Tetapi bagi tiga orang temannya, serigala, ajag dan gagak tidak demikian, mereka
dalam keadaan kelaparan karena tidak ada mangsa yang ditangkap sang singa. Untuk mencari makan sendiri, mereka cenderung kesulitan
karena tidak terbiasa sebelumnya. Sedangkan bagi unta tidak ada masalah, karena makanannya tidak tergantung pada sang singa.

Suatu ketika tiga hewan sahabat lamanya itu menjenguk sang singa yang sedang ditemani oleh unta. Segera saja singa berkata, “Kalian tentulah
kelaparan dan menjadi lemah, karena aku belum bisa menangkap mangsa untuk kalian!!”
Salah satu dari mereka berkata, “Kami tidak meresahkan diri kami sendiri, tetapi keadaan engkau sebagai raja kami yang kami khawatirkan.
Apalagi kami tidak bisa berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan engkau!!”

Sang singa berkata, “Aku tidak menyangsikan kesetiaan dan persaudaraan kalian. Tetapi jika memungkinkan, keluarlah dan carilah makanan
untuk kalian dan juga untukku!!”

Mereka bertiga keluar dan mendiskusikan permintaan sang singa. Sang serigala berkata, “Apa perduli kita dengan pemakan rumput itu (yakni
unta)!! Marilah kita mendorong (menyarankan) raja kita untuk memangsanya, dan juga untuk makanan kita!!”

“Itu tidak mungkin!!” Kata sang ajag, “Kita tidak mungkin menyarankannya karena raja telah memberikan jaminan perlindungan kepadanya!!”

Sang gagak berkata, “Serahkan urusan itu kepadaku!!”

Ketika unta sedang tidak bersama singa, sang gagak segera menemui singa dan mengajukan usul sang serigala. Singa langsung marah dengan
usulan tersebut, ia berkata, “Tidak pernah kubayangkan engkau akan mengajukan usulan seperti itu, dimanakah rasa setia kawanmu? Tidakkah
engkau tahu, tidak ada perbuatan yang lebih mulia daripada melindungi orang (atau binatang) yang sedang dalam kesusahan, dan mengelakkan
pertumpahan darahnya!!”

Sang gagak kembali kepada dua temannya dalam keadaan lunglai. Mereka bertiga tepekur merenungi nasibnya. Tetapi tiba-tiba sang gagak
berteriak, “Aku punya ide!!”

Kemudian ia membisikkan rencana atau muslihat jahat kepada kedua temannya, dan mereka menyetujuinya. Keesokan harinya mereka
menemui sang singa yang sedang ditemani unta. Sang gagak berkata, “Wahai tuanku raja, saya menyadari bahwa engkau membutuhkan
sesuatu untuk mengembalikan kesehatanmu. Selama ini engkau telah bermurah hati kepadaku, karena itu aku ingin berkorban, menyerahkan
diriku untuk menjadi makananmu!!”

Sang unta memandang gagak dengan mata berbinar, ia begitu kagum dengan ‘kemuliaan’ jiwa gagak yang mau berkurban demi kesehatan
rajanya. Tetapi tiba-tiba sang ajag berkata, “Cukup, tidak mungkin engkau bisa memuaskan sang raja dengan tubuhmu yang begitu kecil. Tetapi
tubuhku akan cukup untuk menjadi makanannya, biarlah aku saja yang berkurban untuk sang raja!!”

Sang unta mengalihkan pandangannya kepada ajag dengan penuh kekaguman, seperti ketika ia memandang gagak sebelumnya. Tetapi
kemudian didengarnya sang serigala berkata, “Tidak mungkin itu dilakukan, semua orang (atau, binatang) tahu bahwa perutmu kotor, penuh
dengan barang busuk dan angin. Lagipula dagingmu sangat busuk. Biarlah aku saja yang berkurban, dagingku ini pantas untuk makanan sang
raja!!”

Kali ini sang unta memandang kepada serigala dengan pandangan yang sama dengan sebelumnya, penuh kekaguman. Ia tidak menyangka
bahwa sebenarnya ia sedang dijebak untuk memasuki jalan kematiannya. Belum sempat ia berkata apa-apa, didengarnya sang gagak berkata,
“Setiap orang (atau binatang) tahu, barang siapa yang ingin bunuh diri, hendaknya ia makan daging serigala. Niscaya dia akan terkena penyakit
diphteria, dan akan segera mati!!”
Sang unta yang telah terkagum-kagum dengan ‘jiwa mulia’ para sahabatnya itu, yang mau mengurbankan diri demi sang raja, tanpa pikir
panjang lagi berkata, “Inilah daging saya, sedap dan mudah dicerna, akan sangat memuaskan bagi sang raja!!”

Sang gagak, ajag dan serigala segera saja berkata, “Engkau benar!! Sungguh suatu persembahan yang perwira, dan kami setuju!!”

Segera saja ketiganya menerkam dan mencabik-cabik tubuh sang unta. Darah mengucur deras, sang unta roboh meregang nyawa dan mati
seketika. Sang singa yang dalam keadaan sangat lemah, tidak mampu mencegah terjadinya peristiwa itu. Ia hanya bisa memandang sedih dan
tidak percaya dengan peristiwa yang terjadi begitu cepatnya. Tampaknya ia harus lebih waspada dalam memilih teman dan sahabatnya di
kemudian hari.

💥Penampilan Kebaikan Yang Bisa Mencelakakan

Seorang guru dan ulama bernama Hariri selalu menjaga akhlak dan tingkah lakunya agar menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang di
sekitarnya. Hal itu menjadikan dirinya terkenal dan dianggap sebagai orang yang terpercaya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap ‘jaim’ Hariri agar
menjadi teladan masyarakat itu hampir saja mencelakakan dirinya.

Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena
khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada ‘pondoknya’ Hariri. Ia beranggapan,
dibawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.

Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam
pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri
Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah
dipupuknya selama ini.

Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, syaikh al Haddad. Setelah menceritakan semua yang
dialaminya, Al Haddad hanya berkata, “Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!”

Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai ‘cacat’ di masyarakat. Tetapi karena
gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam
penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, “Wahai orang yang
saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid’ah dan minum anggur
(khamr)…!!”

Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan
melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, “Apakah artinya tingkah
lakumu ini??”

Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya.
Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat ‘kemaksiatan’ di depan matanya. Tetapi Yusuf bin
Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, “Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang
tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!”

Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu
Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya
saja ia ‘menyembunyikan’ hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang
permasalahannya.

Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih
memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas
nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.

💥Karunia Allah Di Akhirat

Ada seorang lelaki ahli ibadah (abid) telah menghabiskan waktunya selama empatpuluh tahun hanya beribadah kepada Allah tanpa sedikitpun
melakukan kemaksiatan. Bahkan ia tidak pernah berfikir meminta sesuatu kepada Allah dengan ibadahnya itu, karena ia melaksanakannya
benar-benar ikhlas karena Allah. Tetapi di suatu malam, tiba-tiba saja muncul suatu keinginan untuk meminta, dan ia langsung berkata dalam
munajatnya, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bidadari yang telah Engkau sediakan (janjikan) untukku di akhirat kelak!!”

Tiba-tiba dinding mihrabnya (tempat ibadahnya) terbelah dan muncul seorang wanita yang sangat cantik memikat, begitu cantiknya sehingga
akan menjadi fitnah jika wanita ini (yang sebenarnya adalah bidadari) muncul di tengah-tengah masyarakat manusia di dunia ini. Tiba-tiba
wanita itu berkata, “Wahai hamba Allah, engkau mengeluh kepada Tuhanmu sedangkan Dia telah mengetahui keluhanmu (tanpa engkau
mengucapkannya). Dan Tuhanmu telah memenuhi harapanmu dan menghalaukan ujian-ujian untukmu. Dan Allah mengutusku menemuimu
untuk menjinakkan hatimu. Tahukah engkau, bahwa setiap harinya sepanjang malam engkau beribadah, aku berbisik kepadamu. Jika saja
engkau bisa mendengar bisikanku, pastilah malam-malammu menjadi lebih mengasyikkan!!”

Lelaki ahli ibadah itu berkata, “Wahai wanita, siapakah engkau ini??”

Wanita itu berkata, “Aku adalah bidadari yang disediakan Allah untukmu di akhirat kelak!!”

Lelaki itu berkata lagi, “Berapa banyak istriku yang seperti engkau ini??”

“Seratus orang, dan setiap orangnya mempunyai seratus pelayan….!!”

Tampak sekali lelaki ahli ibadah itu terkagum-kagum, kemudian berkata, “Apakah ada orang yang diberi lebih banyak daripada aku ini??”

Bidadari itu tersenyum dan berkata, “Wahai orang yang miskin, tentu saja ada dan banyak sekali!! Pemberian yang diberikan kepadamu ini
adalah pemberian bagi seseorang yang banyak berbuat dosa, kemudian membaca istighfar, dan Allah memberikan ampunan kepadanya. Dan ia
terus menerus membaca istighfar setiap terbenamnya matahari sehingga Allah tak henti-hentinya melimpahkan ampunan kepadanya!!”
Tiba-tiba bidadari itu lenyap dari pandangannya dan dinding mihrabnya kembali seperti sediakala. Lelaki itu makin meningkatkan ibadahnya
kepada Allah dan tidak henti-hentinya membaca istighfar. Karena ternyata keinginannya yang sekali itu telah dianggap sebagai keluhan, dan
menjadikan dirinya ‘sejajar’ dengan orang-orang yang banyak berdosa dan diterima taubatnya oleh Allah, walau selama ini ia tidak banyak
berbuat maksiat.

💥Karena Doa Kedua Orang Tua

Suatu ketika Nabi Sulaiman bin Daud AS memperoleh wahyu Allah, yang memerintahkan agar segera pergi ke suatu pantai karena Allah akan
menunjukkan sesuatu yang ajaib. Maka beliau segera berangkat ke pantai dimaksud dengan seluruh bala tentaranya, baik dari kalangan jin atau
manusia, dan juga sebagian bala tentara lainnya dari kalangan binatang.

Tetapi sesampainya di sana beliau tidak menemukan sesuatu yang aneh atau ajaib, hanya hamparan pantai yang memanjang dan laut yang
terbentang luas seolah tanpa batas. Nabi Sulaiman AS segera memerintahkan salah satu jin untuk menyelam di lautan dan membawa keluar
sesuatu yang tampak ajaib, jika menemukannya. Jin tersebut segera menyelam sedalam yang ia mampu sambil memperhatikan sekelilingnya.
Setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan dan berkata, “Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu,
sampai sekian ribu meter dalamnya, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!”

Nabi Sulaiman tidak puas dengan laporan jin tersebut, Allah SWT telah memfirmankan dan itu pasti adanya, hanya jin itu saja yang mungkin
tidak mampu menemukannya. Karena itu beliau memerintahkan jin Ifrit, yang mempunyai kemampuan jauh lebih hebat dari kebanyakan
bangsa jin, untuk melakukan tugas tersebut.

Jin Ifrit segera menerjunkan diri ke samudra, menjelajah ke segala arah dan sedalam yang ia mampu, dengan kecepatan yang jauh lebih
mengagumkan. Tetapi setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan tanpa membawa apa-apa dan berkata, “Wahai Nabi
Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya (dua kali dalamnya dari yang diselami jin
sebelumnya), tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!”

Lagi-lagi Nabi Sulaiman tidak puas dengan hasil yang dilaporkan Jin Ifrit itu. Karena itu beliau berpaling kepada salah seorang punggawanya,
Ashif bin Barkhiya, seseorang yang sangat ahli dan menguasai Kitab Taurat, bahkan Allah menganugerahinya ilmu secara langsung dari sisi-Nya
(Ilmu Ladunni). Nabi Sulaiman berkata, “Wahai Ashif, bawakanlah (tunjukkanlah) kepadaku, keajaiban apa yang disembunyikan Allah di dalam
lautan ini.”

Tidak seperti dua bangsa jin yang segera menceburkan diri ke samudra dan menyelam, Ashif hanya diam sesaat, kemudian menadahkan
tangannya ke atas dan berdoa kepada Allah. Tidak lama kemudian air laut tersibak dan muncul sebuah kubah besar berwarna putih dengan
pintu di empat penjurunya. Pintu pertama terbuat dari intan permata, pintu kedua dari yaqut, pintu ketiga dari mutiara dan pintu keempat dari
zabarjud yang berwarna hijau. Ashif berkata, “Wahai Nabiyallah, inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepada engkau, ia berada di dasar
lautan dengan kedalaman tiga kali yang diselami jin pertama!!”

Nabi Sulaiman memandang dengan penuh kekaguman kepada kubah putih yang perlahan menepi dengan sendirinya. Kemudian pintu-pintu itu
terbuka dan tidak ada setetes airpun yang membasahi bagian dalam kubah tersebut. Beliau masuk dan menemukan seorang pemuda sedang
beribadah di dalamnya. Beliau mengucap salam dan berkata, “Wahai pemuda, mengapa engkau tinggal di dasar lautan di dalam kubah ini??”
Setelah menjawab salam beliau, pemuda itu menceritakan bahwa dahulunya ia merawat dan melayani kedua orang tuanya yang cacat, ibunya
dalam keadaan buta sedang ayahnya lumpuh, selama hampir tujuhpuluh tahun. Ketika sang ibu akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah, lanjutkan
(panjangkan) umur anakku dalam ketaatan kepada-Mu!!”

Kemudian ketika sang ayah akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah, jadikanlah anakku tetap dalam ketaatan kepada-Mu di tempat yang tidak
dapat diketahui oleh para syaitan!!”

Setelah kewafatan kedua orang tuanya, pemuda itu berjalan-jalan ke tepi pantai dan melihat kubah tersebut yang dalam keadaan terbuka. Ia
masuk karena ingin mengetahui keadaan di dalamnya, tetapi tiba-tiba kubah tersebut tertutup dan dibawa malaikat ke dasar lautan yang
terdalam. Maka ia menghabiskan waktu hanya dengan beribadah kepada Allah di dalam kubah tersebut.

Nabi Sulaiman berkata, “Pada masa siapakah engkau hidup saat itu?”

Pemuda itu berkata, “Masa Nabi Ibrahim AS…”

Berarti pemuda itu telah tinggal di kubah itu selama sekitar 1.400 tahun, tetapi sama sekali tidak tampak ketuaan di wajah pemuda tersebut,
bahkan satu ubanpun tidak tampak di rambutnya.

Nabi Sulaiman berkata lagi, “Bagaimana dengan makan minummu??”

Pemuda itu berkata, “Setiap harinya kubah ini naik ke permukaan, dan seekor burung membawakan makanan dan minuman sebesar kepala
orang dewasa. Saya bisa merasakan semua jenis makanan di dunia ini, yang membuat saya selalu puas dan kenyang, hilang semua rasa haus
dan lapar, panas dan dingin, jemu dan malas, bahkan tidak ada rasa kantuk dan ingin tidur sehingga saya bisa menghabiskan waktu untuk
beribadah kepada Allah…!!”

Nabi Sulaiman memandang pemuda itu penuh kekaguman. Walaupun segala mu’jizat dan kelebihan yang diberikan Allah kepadanya sangat
mengagumkan, tetapi bagi Nabi Sulaiman, apa yang dialami pemuda itu jauh lebih mengagumkan lagi. Apalagi pemuda itu bukan seorang nabi
dan rasul, tetapi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, yang memperoleh kemuliaan (karamah) itu karena doa kedua orang
tuanya.

Nabi Sulaiman berkata, “Maukah engkau tinggal bersama kami??”

Pemuda itu berkata, “Kembalikanlah saya ke tempat semula, dan biarkanlah saya terus beribadah kepada Allah sampai waktu yang dikehendaki
Allah!!”
Nabi Sulaiman keluar dari kubah tersebut dan memerintahkan Ashif untuk mengembalikan kubah itu ke tempatnya semula. Ashif menadahkan
tangan dan berdoa, maka perlahan kubah itu masuk ke dalam air, dan pemandangan kembali seperti semula, hanya hamparan air dan pasir
yang seolah tidak terbatas.

💥Tiga Pelajaran Berharga

Seorang pemburu memasuki hutan untuk mencari binatang yang bisa dipakai untuk makan keluarganya hari itu. Tetapi tidak seperti biasanya, ia
tidak menemukan binatang yang cukup besar, yang bisa mengobati rasa lapar keluarganya. Dalam kebingungannya itu, ia melihat seekor
burung dan berhasil menangkapnya. Lumayan untuk pengganjal perut sambil mencari buruan yang lebih besar, begitu mungkin pemikirannya.

Tetapi tanpa disangkanya, tiba-tiba burung itu berbicara layaknya manusia, “Apa yang engkau inginkan dengan menangkapku ini??”

Pemburu itu berkata, “Aku akan menyembelih dan memakanmu!!”

Burung itu berkata, ”Itu tidak akan menyelesaikan masalah, aku tidak akan bisa mengobati rasa laparmu!! Tetapi aku akan memberikan tiga
pelajaran berharga kepadamu, pertama saat aku ada di tanganmu (masih di tangkap), kedua saat aku berada di atas pohon, dan ketiga saat aku
telah ada di atas bukit.”

Sang pemburu yang memang cukup penasaran dengan adanya burung yang bisa berbicara itu, langsung saja berkata, “Jelaskanlah pelajaran
yang pertama!!”

Sang burung berkata, “Janganlah engkau merasa sedih dan menyesal dengan sesuatu yang telah lepas darimu….!!”

Sejenak sang pemburu merenungi ucapannya itu, kemudian berkata, “Apakah pelajaran yang kedua??”

Sang burung berkata, “Lepaskan dulu aku!!”

Si pemburu segera melepaskannya, dan burung itu hinggap di atas dahan, lalu berkata, “Wahai manusia, janganlah engkau meyakini bahwa
sesuatu itu ada, padahal hakekatnya tidak ada!!”

Kemudian burung itu terbang lebih jauh dan hinggap di bukit. Tanpa diminta burung itu berkata lagi, “Wahai manusia, andaikata engkau jadi
menyembelih diriku, engkau akan menemukan dua intan di paruhku, yang masing-masing beratnya 77,88 gram…!!”

Pemburu itu terkejut mendengar perkataan sang burung, ia sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak mungkin ia menangkapnya lagi karena
burung itu telah cukup jauh di atas bukit. Tetapi, seperti teringat sesuatu, ia berkata, “Wahai burung, apakah pelajaran ketiga yang engkau
janjikan??”
Burung itu tertawa dan berkata, “Wahai manusia, baru saja engkau memperoleh dua pengajaran, dan dalam sesaat ini engkau telah melanggar
(melupakan)nya. Mengapa pula engkau bersedih telah melepaskanku? Dan bagaimana mungkin engkau begitu saja mempercayai ada dua butir
intan di paruhku? Berat tubuhku tidak sampai 77,88 gram, bagaimana bisa ada dua intan masing-masing beratnya 77,88 gram?”

Sang pemburu tampak termangu-mangu mendengarnya, kemudian sang burung berkata lagi, “Itulah gambaran kehidupan dunia, suka atau
tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya engkau harus melepaskannya juga. Begitu juga dengan segala janji keindahan dan kenikmatannya, pada
hakekatnya hanya tipuan semata. Karena itu, berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang engkau tidak akan pernah
terlepas darinya, dan sesuatu yang kenikmatannya akan selalu engkau rasakan tanpa akhir!!”

💥Ketika Malaikat Membantu Manusia

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib baru saja pulang dan berkata kepada istrinya, Fathimah az Zahra, “Wahai wanita yang mulia, apakah kamu
mempunyai makanan untuk suamimu ini??”

Fathimah berkata, “Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan
Salman (al Farisi) memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husain!!”

Begitulah memang keadaan Fathimah az Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau,
mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka
memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-
orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW
pernah bersabda, “Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah az Zahra!!”

Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, “Biar aku saja yang membeli makanan itu!!”

Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan
untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, “Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat
yang selalu menepati janji??”

Tanpa berfikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya
sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW.
Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika ‘mengurangi kadar’ atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan
masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia
‘bergeser’ terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.

Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali
berkata, “Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??”
Fathimah berkata, “Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??”

Ali berkata, “Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!”

Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, “Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!”

Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia
bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, “Wahai Abul Hasan, belilah unta ini!!”

Ali berkata, “Aku tidak mempunyai uang!!”

Si Badui itu berkata lagi, “Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!”

Ali berkata, ‘Berapa??”

“Seratus dirham!!” Kata si Badui itu.

“Baiklah,“ Kata Ali, “Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!”

Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia
menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, “Wahai Abul Hasan,
apakah engkau ingin menjual unta ini?”

Tanpa berfikir panjang, Ali berkata, “Ya!!”

“Berapa??”

“Tigaratus dirham!!” Kata Ali.

“Baiklah, kubeli seharga tigaratus dirham!!”


Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan tigaratus dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira,
segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyun, dan
berkata, “Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??”

Dengan gembira Ali berkata, “Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga seratus dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga
tigaratus dirham!!”

Fathimah berkata, “Aku mendukung sikapmu itu!!”

Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk masjid, Nabi SAW tersenyum
kepadanya dan bersabda, “Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??”

Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!”

Nabi SAW bersabda, “Berbahagialah engkau, Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu
tigaratus dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan limapuluh kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah Malaikat Jibril,
sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!”

Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seijin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan
para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara
kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali
bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya ybs. tidak melakukannya. Hanya saja Allah
memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi’in
bernama Abdullah bin Mubarak. Wallahu A’lam.

💥Berperan Membagikan Rezeki Allah

Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan,
sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq al- Balkhi. Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan
menjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau 810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan
dunia, hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang sufi yang zuhud.

Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah
tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian
serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian
kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan
memeluk agama Islam..
Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan
Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-
berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!”

Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukkan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, “Jika
yang engkau ucapkan itu memang benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri,
mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??”

Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah ‘menonjok’
aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena
perkataannya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan
kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan
hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih
zuhud terhadap dunia.

Tidak hanya satu itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan
segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang
bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, “Apa
yang engkau lakukan ini? Tidakkah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan
sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!”

Tetapi dengan santainya budak itu berkata, “Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya,
ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!”

Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, “Kalau tuannya
budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka,
bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang ‘tuan’-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??”

Suatu ketika ia beribadah haji ke Makkah dan di sana ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh,
daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, “Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk
menempuh jalan ini??”

Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga
Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.

Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya.
Ia berkata, “Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup.
Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini….??”

Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung
lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia
berkata dalam hatinya, “Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya,
yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk
mendatangkan rezeki padaku di manapun aku berada!!”

Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia
perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu…!!”

Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, “Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki
Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih
utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan di antara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi
tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajad dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajad orang-orang yang berbuat
kebaikan (mukhsinin)….!!”

Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan ‘tajrid’, yakni hanya berpasrah kepada rezeki
yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajad tertinggi, bagi
orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia
tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajad tinggi di sisi
Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.

Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!”

Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih
banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajad dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi
SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa’ad dan banyak lagi
sahabat lainnya.

💥Kesabaran Di Jalan Allah

Di masa nabi-nabi terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada seorang rahib yang menghabiskan waktunya hanya untuk
beribadah kepada Allah di biaranya. Begitu gencarnya beribadah sehingga ia mencapai derajad keimanan yang tinggi, beberapa malaikat
diijinkan Allah untuk mengunjunginya pagi dan sore hari, untuk menanyakan keperluannya. Tetapi tidak ada yang dimintanya, kecuali sekedar
makanan dan minuman untuk bisa membuatnya tetap kuat beribadah. Maka Allah menumbuhkan pohon anggur di biaranya, yang buahnya
bisa dipetiknya setiap kali ia membutuhkan. Jika merasa haus, ia cukup menadahkan tangan ke udara, maka akan mengucur air dari udara
untuk minumannya.

Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut ayat 2
dan 3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar
dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya, “Wahai pendeta,
saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh…!!”

Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata, “Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!”

Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi ‘batu ujian’ bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta
dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak
tertahankan. Untuk menarik perhatian dan membangkitkan nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-
lenggok di depannya.

Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata, “Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!”

Wanita itu berkata, “Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!”

Bagaimanapun juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar
keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah,
wanita itu bisa ‘mendengarkan’ perdebatan tersebut.

Akal sehatnya berkata, “Bertaqwalah kepada Allah!!”

Sang nafsu berkata, “Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!”

Akal sehatnya berkata, “Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku
khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku
sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya…!!”

Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang
minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya,
berkata kepada nafsunya, “Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau
memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!”

Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa ‘mengikuti’
percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke
dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang
mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana
digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia
meninggal seketika.
Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya.
Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya.

Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan
membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sanga rahib beserta pengawal dan bala
tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata, “Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu) ??”

Rahib berkata, “Ia ada di dalam biara!!”

Raja berkata, “Suruhlah ia keluar!!”

Rahib berkata, “Ia telah mati!!”

Raja berkata dengan murka, “Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!”

Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih
lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang merupa sebagai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi
mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib. Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah
wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.

Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakkan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang
rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman, “Katakan kepada rahib itu,
janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia
digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga
arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!”

Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang
dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikr dan
istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.

Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat.
Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan
ketakutan. Wanita itu berkata, “Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku….”

Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat, “…kalau kalian
tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!”
Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti yang dikatakan wanita tersebut. Mereka
menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata, “Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji
engkau!!”

Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya,
tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), “Allah telah menegakkan mizan
(timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka
dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan limapuluh bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada
dan bersabar di jalan-Ku!!”

💥Syahidnya Di Atas Sajadah

Manshur bin Ammar, seorang ulama sufi yang tinggal di daerah Marwa, termasuk wilayah Bashrah, suatu ketika melaksanakan ibadah haji.
Dalam perjalanan itu ia singgah dan tinggal di Kufah beberapa waktu lamanya.

Suatu malam ia keluar dari penginapannya dan berjalan menyusuri jalanan yang gelap. Tiba-tiba dari suatu rumah ia mendengar suara
seseorang sedang munajat (berdoa), “Ya Rabbi, demi Keagungan dan Kebesaran-Mu, sungguh aku berbuat maksiat itu bukanlah kumaksudkan
untuk menentang-Mu, dan bukan juga karena kebodohanku (akan hukum-hukum syariat-Mu), tetapi semua itu terjadi karena kesalahanku,
karena kelengahanku, karena aku terlalu mengandalkan Kemurahan-Mu akan menolong keadaanku. Ya Rabbi, betapa bodohnya aku telah
berbuat maksiat ini, tetapi terimalah hujjahku (pengakuan dan alasanku), karena jika tidak, kesedihan yang panjang akan selalu menyiksaku!!”

Ibnu Ammar menunggu beberapa saat lamanya, tetapi tidak terdengar lagi lanjutan munajat itu. Seketika itu ia membaca cukup keras,
sekiranya bisa didengar oleh orang yang munajat tersebut, salah satu ayat Al Qur’an, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu, quu ‘anfusakum wa
ahliikum naaron, wa quuduhannaasu wal hijaaratu, ‘alaihaa malaa-ikatun ghilaazhun syidaadun laa ya’shuunallaaha maa amarahum wa
yaf’aluuna maa yu’maruun…!!”

Ayat tersebut terdapat pada Al Qur’an surat At Tahrim ayat 6, yang artinya adalah : Wah

ai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan (Allah kepada mereka).

Setelah membaca ayat tersebut, Ibnu Ammar mendengar suara jeritan keras serta seruan yang menggetarkan. Tetapi setelah itu ia tidak
mendengar suara apapun, karena itu ia berlalu pergi dan kembali ke penginapannya.

Keesokan harinya Manshur bin Ammar kembali melewati rumah itu, dan ia mendengar suara ratap tangis seorang wanita di dalamnya.
Beberapa orang tampak datang melayat/bertakziah karena ada yang meninggal di dalam rumah tersebut. Ia mendengar beberapa percakapan,
dan wanita yang sedang menangis itu berkata, “Sesungguhnya putraku ini sedang shalat tahajud (qiyamul lail) tadi malam, setelah selesai
bermunajat kepada Allah, tiba-tiba terdengar seseorang di luar rumah yang melantunkan ayat tentang ancaman neraka kepada anakku.
Mendengar ayat tersebut anakku langsung kejang dan ia meninggal. Semoga Allah tidak memberikan pahala kepada orang yang melantunkan
ayat tersebut!!”
Ibnu Ammar sangat terkejut mendengar perkataan tersebut. Ia segera pulang dan menangis penuh penyesalan, tidak disangkanya kalau ayat
yang dilantunkannya itu menyebabkan pemuda, yakni putra sang ibu itu meninggal. Mungkin kalau didiagnosa secara medis sekarang ini bisa
dikatakan terkena serangan jantung. Rasa terkejut dan takut yang begitu mendadak sehingga jantung berhenti berdetak. Ia terus menerus
bertaubat kepada Allah atas ‘kelancangannya’ membacakan ayat sehingga menyebabkan kematian orang lain.

Pada malam harinya, Ibnu Ammar bermimpi bertemu dengan seorang pemuda dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Entah kenapa ia mengenali
pemuda itu adalah yang meninggal karena lantunan Surat At Tahrim ayat 6 yang dibacanya. Padahal ia belum pernah bertemu atau mengenal
dia sebelumnya, seolah ada bisikan ghaib yang memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepada pemuda itu, “Bagaimana Allah
memperlakukan dirimu??”

Pemuda itu berkata, “Allah menganggapku sebagai syuhada’ (mati syahid), sebagaimana para syuhada’ di Perang Badar!!”

Ibnu Ammar menatap pemuda itu penuh ketakjuban, sekaligus keheranan. Ia berkata, “Bagaimana bisa begitu??”

Pemuda itu berkata, “Para syuhada Perang Badar itu ditebas oleh pedang-pedang orang kafir hingga tewas, sedangkan aku tewas ditebas oleh
pedang Allah Yang Maha Pengampun!!”

Segera setelah itu Manshur bin Ammar terbangun, ia tidak lagi bersedih, justru bahagia karena telah menjadi jalan bagi pemuda itu
memperoleh derajad syahid di sisi Allah.

💥Karena Terlalu Mencintai Dunia

Suatu ketika Nabi Isa AS sedang berjalan bersama para sahabat dan penolong beliau, kaum hawariyyun yang jumlahnya duabelas orang, untuk
berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka memasuki suatu desa yang tampak kosong, tetapi anehnya para penduduknya
meninggal bergelimpangan di jalan-jalan dan di halaman rumahnya. Nabi Isa berkata, “Wahai para hawariku, sesungguhnya orang-orang ini
meninggal karena kemarahan (Allah). Seandainya tidak karena hal itu, tentulah mereka masih sempat untuk saling menguburkan satu sama
lainnya!!”

Kaum hawariyyun itu berkata, “Wahai kekasih Allah, kami ingin mengetahui cerita tentang mereka ini!!”

Nabi Isa AS berdoa kepada Allah agar diberitahukan kisah penduduk desa tersebut, maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau, “Apabila
waktu malam telah tiba, panggillah mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilanmu!!”

Pada malam harinya, diikuti para hawariyyun, Nabi Isa naik di tempat yang agak tinggi kemudian beliau berseru, “Wahai penduduk desa!!”

Dan suatu mu’jizat yang memang dianugerahkan Allah kepada Nabi Isa, muncullah dari arah kegelapan desa itu seseorang yang berkata, “Kami
memenuhi panggilanmu, wahai kekasih Allah!!”
Setelah orang itu mendekat, Nabi Isa berkata, “Bagaimana keadaanmu, dan bagaimana pula kisahmu??”

Orang itu berkata, “Kami bermalam dalam keadaan sehat wal afiat, tetapi kami bangun pagi-pagi dalam neraka hawiyah!!”

“Bagaimana hal itu bisa terjadi??” Tanya Nabi Isa.

Orang itu menjelaskan, “Semua itu karena kami terlalu mencintai dunia, dan kami patuh kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat (ahlul
ma’siyah) !!”

Nabi Isa bertanya lagi, “Bagaimana kecintaanmu terhadap dunia??”

Orang itu berkata, “Kami, para penduduk desa ini mencintai dunia sebagaimana seorang anak kecil mencintai ibunya. Jika dunia itu (yakni harta
benda duniawiah) datang, kami merasa sangat gembira. Tetapi jika dunia itu tidak ada, maka kami sedih dan menangis karenanya!!”

Nabi Isa bertanya, “Bagaimana keadaan teman-temanmu? Mengapa ia tidak hadir memenuhi panggilanku?”

Orang itu berkata lagi, “Karena mereka dikendalikan dengan kendali api neraka, di tangan para malaikat yang kasar dan keras!!”

“Tetapi bagaimana engkau bisa menjawab panggilanku dan hadir di sini, sedang engkau ada di antara mereka?” Tanya Nabi Isa lagi.

Orang itu berkata, “Saya memang berada di antara mereka, tetapi saya tidak termasuk di antara mereka (maksudnya, tidak termasuk yang
terlalu mencintai dunia, dan mematuhi orang yang suka berbuat maksiat). Ketika siksaan Allah itu turun kepada mereka, siksaan itu menimpa
saya juga. Karena itu saya hanya tergantung di tepian neraka, tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Tetapi saya tidak tahu, apakah saya akan
selamat atau akhirnya akan jatuh juga ke dalam neraka?? Dan Allah mengijinkan saya untuk datang ke sini ketika engkau memanggil kami!!”

Nabi Isa mengucapkan terima kasih atas penjelasannya, kemudian ia berlalu dan menghilang lagi di kegelapan desanya. Setelah itu Nabi Isa
bersabda kepada para hawariyyun, “Sungguh, makan sepotong roti sya’ir (roti yang kasar dan berkualitas rendah), memakai pakaian bulu hitam
(pakaian yang sangat sederhana saat itu), dan tidur di dekat tempat sampah itu lebih banyak membawa keselamatan dunia dan akhirat!!”

💥Ketika Asy Syibli Dituduh Bakhil

Dalf bin Jahdar Asy Syibli, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bakar Asy Syibli, adalah seorang tokoh dan ulama tasauf yang tinggal
di Baghdad pada abad ke 3-4 hijriah. Suatu ketika ia sedang tafakkur, tiba-tiba ia mendengar seruan dalam hatinya, “Engkau bakhil (kikir)??”
Dengan tegas Asy Syibli menolak tuduhan dalam hatinya itu dan berkata (di dalam hati tentunya), “Aku tidak bakhil!!”

Tetapi suara itu terus-menerus ‘menuduhnya’ seperti itu, “Benar, engkau memang seorang yang bakhil!!”

Karena ia tak mampu menghentikan ‘suara-suara’ tuduhan itu, Asy Syibli ber-azam (berniat dengan tekad sangat kuat) dalam hatinya, “Jika aku
menerima rizqi pada hari ini, aku akan menyedekahkan semuanya untuk orang miskin yang pertama kali aku temui!!”

Seperti kebanyakan ulama sufi pada zamannya, sebenarnya Asy Syibli tidak pernah menumpuk atau mengumpulkan harta, sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat. Ia hidup sangat sederhana dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah. Bahkan
tidak jarang pada malam harinya ia bercelak dicampur dengan garam agar matanya tetap terbuka, agar tidak tertidur, dan makin banyak terisi
dengan ibadah demi ibadah.

Tidak begitu lama kemudian, datang seseorang yang menyedekahkan kepadanya uang sebanyak limapuluh dinar. Dinar adalah uang emas,
dengan kadar sekitar 22 karat dan berat hampir 4 gram. Jadi 50 dinar adalah hampir 200 gram emas berkadar 22 karat. Dengan kurs sekarang
ini, jika harga emas 22 karat adalah Rp 300.000,- per gram, itu berarti sekitar Rp 60 juta. Sesuai dengan yang diniatkannya, ia berjalan
berkeliling untuk mencari seorang miskin, untuk memberikan 50 dinar tersebut.

Asy Syibli bertemu dengan seseorang yang buta dan tampak sangat miskin, dengan pakaian sangat sederhana sedang bercukur. Segera saja ia
menghampirinya, setelah mengucap salam, ia menyerahkan uang itu semuanya, tidak satu dinar-pun ia menyisakan, walau saat itu ia tidak
memiliki apapun, bahkan sekedar untuk makan. Orang yang sedang bercukur itu berkata, “Serahkan saja kepada tukang cukur ini!!” (Yakni,
sebagai ongkos mencukur rambutnya).

Asy Syibli berkata, “Wahai tuan, ini adalah uang-uang dinar, dan jumlahnya 50 dinar!!”

Maksud Asy Syibli adalah terlalu banyak jika semunya itu untuk ongkos cukur, mungkin bisa disimpan sendiri oleh orang miskin dan buta itu,
untuk memenuhi kebutuhannya dan memudahkan kehidupannya. Orang yang sedang bercukur itu mengangkat kepalanya, dan ‘memandang’
kepada Asy Syibli dengan matanya yang buta, kemudian berkata, “Bukankah telah dikatakan kepadamu, bahwa engkau adalah seorang yang
bakhil!!”

Asy Syibli tersentak kaget, tidak disangkanya orang buta itu mengetahui ‘perdebatan’ yang sedang berlangsung dalam hatinya. Dan tidak
disangkanya pula bahwa sedikit ‘rasa sayangnya’ untuk menyerahkan 50 dinar itu kepada tukang cukur sebagai bentuk dari rasa bakhilnya. Ia
berpaling kepada tukang cukur itu, yang keadaannya-pun tampaknya tidak lebih baik daripada orang buta yang sedang dicukurnya. Tetapi
ketika Asy Syibli menyerahkan 50 dinar itu, lagi-lagi ia mendapat ‘tamparan’ untuk yang kedua kalinya. Tukang cukur itu menolaknya dan
berkata, “Wahai tuan, sejak orang buta ini duduk di hadapanku minta dicukur, aku telah berniat kepada Allah, tidak akan menerima bayaran
apapun. Karena itu aku tidak mau menerima uang itu!!”

Asy Syibli berlalu dari dua orang miskin tersebut dengan menangis, sambil terus mengucap istighfar, kemudian ia membuang uang 50 dinar itu
ke laut.
💥Ketakutan Seorang Anak Kecil

Ada seorang syaikh sedang berjalan-jalan di tepian sebuah sungai, ia melihat seorang anak kecil yang belum mencapai usia baligh, sedang
berwudhu sambil menangis. Hal itu menarik perhatiannya, maka ia bertanya, “Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis??”

Anak itu berkata, “Wahai Tuan, aku sedang membaca Al Qur’an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah at Tahrim ayat 6, yang artinya) :

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para
penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan
kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!”

Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, “Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak
patut masuk neraka!!”

Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al Qur’an, bahkan bisa
menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al Qur’an.

Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, “Wahai Tuan, bukankah engkau orang yang
berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu,
baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!”

Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat
menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, “Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka,
bagaimana dengan keadaan kami??”

💥Mengharap Keuntungan Yang Lebih Besar

Seorang ulama dan guru yang saleh, mengisi sebagian waktunya dengan bekerja sebagai pedagang. Suatu ketika ia membeli madu seharga
30.000 dirham untuk mengisi persediaan barang dagangannya yang telah menipis.

Keesokan harinya ternyata harga madu meningkat drastis hingga dua kali lipatnya. Sang penjual jadi menyesal telah melepaskan (menjual) pada
hari sebelumnya itu. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, mana mungkin untuk membatalkan sedangkan uangnya telah ia terima, dan
barang-barangnya telah dibawa oleh sang pembeli, guru yang saleh itu. Sedih dan penyesalan itu begitu menggelayuti pikirannya, sehingga
mengundang perhatian teman-temannya.

Setelah mengetahui permasalahannya, salah seorang temannya yang sangat mengenal akhlak guru yang saleh, sang pembeli madu itu, berkata,
“Besok pagi, datanglah shalat subuh bersama guru yang saleh, pembeli madumu itu, dengan membawa uang 30.000 dirham. Setelah beliau
selesai shalat dan berdoa, mendekatlah dan berkata : Saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!! Itu saja, jangan ditambah dan
dikurangi, insyallah engkau tidak akan mengalami kerugian sedikitpun!!”
Ia menuruti saran temannya. Usai shalat dan berdoa, ia segera menghadap pada sang guru dan berkata, “Wahai Tuan Guru, saya menyesal
telah menjual maduku itu pada tuan!!”

Guru yang saleh itu memandangnya sesaat dan berkata kepada pembantu/pegawainya, “Bangunlah, dan kembalikan madu yang kita beli itu
kepada orang ini!!”

Sang Penjual sangat gembira dan mengembalikan uang 30.000 dirham yang telah diterimanya itu. Salah seorang jamaah yang hadir ada yang
berkata, “Wahai Tuan Guru, sejak kemarin harga madu telah meningkat dua kali lipatnya, mengapa hanya dikembalikan begitu saja??”

Sang Guru berkata, “Mengapa tidak?? Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa mau membatalkan pembeliannya
kepada orang yang menyesal dalam penjualannya, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya pada hari kiamat kelak. Tidakkah sepantasnya
aku membeli maafnya Allah atas dosa-dosaku dengan (calon keuntunganku) 30.000 dirham, sedang sedikitpun aku tidak dirugikan??”

💥Takut Yang Menyelamatkan

Ada seorang lelaki di masa yang lalu (masa sebelum Nabi SAW), ia diberi kelimpahan harta dan anak-anak. Tetapi ia sama sekali tidak pernah
berbuat kebaikan walau tidak sampai kehilangan keimanannya kepada Allah. Ketika kematian hampir menjemputnya, ia baru menyadari betapa
buruknya apa yang telah dilakukannya selama ini. Hampir tidak ada sedikitpun bekal kebaikan yang dimilikinya untuk memasuki alam barzah
(kubur) dan alam akhirat.

Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, “Wahai anak-
anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??”

Mereka berkata, “Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!”

Ia berkata, “Sesungguhnya aku ini tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia
akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain….”

Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, “Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian
melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!”

Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya.

Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, “Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati,
kumpulkanlah kayu bakar yang banyak, dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus
seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangat panas dan berangin!!”
Pada beberapa riwayat lainnya, “…tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!”

Wasiat yang sungguh ‘mengerikan’, dan tidak pantas untuk dilaksanakan, Tetapi karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan
suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya.

Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat ‘kun’ Dia menghidupkan dan
mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, “Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?”

Lelaki itu berkata, “Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!”

Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.

Tentu saja ‘konsep’ penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai ‘kaffarat’ atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang
dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi
kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada ‘kemungkinan’ dosa-dosa itu diampuni,
asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat
beliau.

Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah,
walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah ‘bosan’ menerima taubat seorang hamba, kecuali
jika hamba itu sendiri yang ‘bosan’ bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang
dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin
mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas. Walahu A’lam.

💥Karena Mengabaikan Orang Fakir

Ahmad bin Muhammad bin Husin al Jariri, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya saja Abu Muhammad al Jariri, adalah seorang ulama sufi
yang tinggal di Baghdad. Ia hidup sezaman dengan tokoh sufi lainnya, Junaid al Baghdadi, bahkan menjadi sahabatnya. Ketika Junaid wafat, ia
menduduki (menggantikan) maqam Junaid, yakni pemimpin atau sesepuh tokoh sufi lainnya pada masa itu.

Ketika masih dalam perjalanan pencarian (suluk, tarikat, mengaji hakikat dll), ia pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah
terlupakan. Suatu ketika setelah shalat ashar berlalu, seorang pemuda masuk ke masjid di lokasi pondok (thariqah) Abu Muhammad al Jariri
belajar. Wajah pemuda itu tampak pucat dan rambut terurai tidak beraturan tanpa memakai tutup kepala (kopiah, serban atau sejenisnya). Ia
berwudhu kemudian shalat sunnah dua rakaat, setelah itu ia duduk dengan meletakkan kepalanya di antara (di atas) lututnya dan tangan
ditangkupkan. Saat maghrib tiba, ia berjamaah dengan mereka setelah itu duduk lagi seperti sebelumnya.
Tiba-tiba datang utusan Raja yang mengundang mereka untuk jamuan makan di tempat tinggalnya. Hal itu memang secara rutin dilakukan oleh
sang Raja. Ketika teman-temannya berlalu untuk memenuhi undangan itu, ia sempat membangunkan sang pemuda dan berkata, “Apakah anda
mau ikut bersama kami untuk makan-makan di tempat raja??”

Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata, “Saya tidak ingin ke istana raja, tetapi kalau anda tidak berkeberatan, bawakanlah untukku
asidah (suatu nama makanan) yang hangat!!”

Abu Muhammad mengabaikan permintaan pemuda itu. Dalam hati ia berkata, “Diajak baik-baik tidak mau, tetapi malah meminta dibawakan
sesuatu!! Mungkin ia baru saja belajar tarikat dan belum mengetahui adab (tata krama, sopan santun) yang lazim berlaku!!”

Ketika malam agak larut, barulah mereka pulang dari istana raja dalam keadaan kenyang. Ketika memasuki masjid di pondokannya, Abu
Muhammad melihat pemuda itu masih dalam posisi yang sama ketika ditinggalkannya, mungkin tertidur. Abu Muhammad duduk di sajadahnya,
tetapi belum ia berdzikir, rasa kantuk menguasai dirinya dan ia jatuh tertidur.

Dalam tidurnya itu Abu Muhammad bermimpi, ia melihat suatu rombongan besar berlalu di hadapannya. Tiba-tiba ada seruan, “Itu adalah
rombongan Rasulullah SAW beserta para Nabi dan Rasul!!”

Mendengar seruan itu, ia segera berlari ke arah depan rombongan dan menemui Rasulullah SAW. Ia mengucap salam, tetapi Nabi SAW
berpaling dari dirinya tanpa menjawab salamnya. Beberapa kali ia mengulang salamnya tetapi masih saja beliau berpaling. Abu Muhammad jadi
gemetar ketakutan, dengan tergagap ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dosa saya sehingga engkau berpaling dari saya??”

Nabi SAW menatapnya dengan tajam dan berkata, “Seorang yang fakir dari umatku ingin sesuatu darimu, lalu engkau mengabaikannya!!”

Abu Muhammad tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya. Segera saja ia teringat kepada pemuda yang meminta dibawakan asidah itu. Ia
segera ke tempat pemuda itu, tetapi ternyata tidak ada siapapun di sana. Ia mendengar suara pintu dibuka, yang ternyata adalah pemuda itu
yang hendak keluar masjid. Ia segera mendekatinya dan berkata, “Wahai pemuda, sabarlah barang sejenak. Aku akan segera menyiapkan
untukmu, apa yang engkau inginkan!!”

Pemuda itu menoleh kepadanya dan berkata, “Jika seorang fakir menyampaikan keinginannya kepadamu, engkau tidak mau memenuhinya,
kecuali setelah dimintakan oleh Nabi SAW dan seratus duapuluh empat ribu nabi-nabi lainnya. Kini aku tidak menghajatkan apa-apa lagi
darimu!!”

Pemuda itu melangkah keluar, meninggalkannya dalam keadaan terpana dengan kaki terpaku di tanah. Setelah peristiwa itu, Abu Muhammad
tidak pernah mengabaikan orang lain, sesepele dan sefakir apapun keadaannya, karena takut ia akan diabaikan oleh Rasulullah SAW di yaumul
makhsyar kelak.

💥Kesibukan Malaikat Pada Bulan Ramadhan

Surga selalu dihias dan diberi harum-haruman dari tahun ke tahun karena masuknya bulan Ramadhan. Pada malam pertama Ramadhan itu,
muncullah angin dari bawah Arsy yang disebut al Mutsirah. Karena hembusan al Mutsirah ini, daun-daunan dari pepohonan di surga bergoyang
dan daun-daun pintunya bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian suara yang begitu indahnya. Tidak ada seorang atau mahluk apapun
yang pernah mendengar suara seindah suara itu, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli. Mereka berdiri di tempat
tinggi dan berkata, “Apakah ada orang-orang yang melamar kepada Allah, kemudian Allah akan mengawinkannya dengan kami??”

Tidak ada jawaban dan penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, “Wahai Malaikat Ridwan, malam
apakah ini?”

Malaikat Ridwan berkata, “Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama Bulan Ramadhan!!”

Para bidadari itu berdoa, “Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!”

Maka tidak ada seorangpun yang berpuasa di Bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para
bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga.

Kemudian terdengar seruan Firman Allah, “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini.
Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi,
kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa
merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!”

Para malaikat itu dengan segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam
sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari
kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah
membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan
hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa.

Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, “Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan
mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku
akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya) !!”

Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga
kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan
Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu.

Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, “Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi
permohonannya. Barang siapa yang kembali kepada-Ku (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang
siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya…!!”

Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat untuk turun ke bumi. Jibril
turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka’bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua di antaranya tidak pernah
dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para
malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang
beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka
menjabat tangan dan mengaminkan doa umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar.

Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, “Wahai para malaikat, kembali, kembali!!”

Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan
berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan
kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril
untuk kembali, mereka berkata, “Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin
dari umat Nabi Muhammad ini?’

Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan penuh kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka,
kecuali empat macam manusia…!”

Mereka berkata, “Siapakah empat macam orang itu?”

Jibril berkata, “Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada
orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi, dan kaum musyahin!!”

Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti
semula.

Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin
itu?”

Nabi SAW bersabda, “Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan
sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!”

Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan Malam
Hadiah (Lailatul Jaa-izah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-
negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh
mahluk kecuali jin dan manusia, “Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat
begitu banyak dan mengampuni dosa yang besar!!”

Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, “Wahai para
malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??”
Mereka berkata, “Ya Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!”

Allah berfirman, Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan,
dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!”

💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥

Anda mungkin juga menyukai