Anda di halaman 1dari 21

Medan Perang Kurukshetra dalam 

Diri

Kejahatan dan Kebaikan dalam Diri

Pertempuran di medan perang Kurukshetra bukan hanya peristiwa historis yang terjadi sekitar
tahun 3.000 SM, akan tetapi juga perang yang sedang berlangsung terjadi tiap hari, setiap hari
dalam kehidupan kita. (Krishna, Anand. (2012). Musings on the Bhagavad Gita: From
Confusion to Courage, Artikel dalam The Bali Times)

Pada Zaman Treta Yuga, masa terjadinya kisah Ramayana, kaum raksasa yang selalu ingin
menang sendiri hidup terpisah dalam suatu kelompok, maka lebih gampang menjaga masyarakat
yang baik, dan lebih mudah membasmi kelompok yang jahat. Pada Zaman Dvapara Yuga,
mereka yang baik maupun yang jahat bercampur di tengah masyarakat. Untuk membasmi
kejahatan, masyarakat perlu dipilah, ikut Koalisi Korawa atau ikut Koalisi Pandawa, dan setelah
itu baru yang jahat dapat dimusnahkan. Pada masa kini, baik sifat jahat maupun sifat buruk ada
dalam diri setiap manusia. Untuk membasmi kejahatan dengan cara lama, maka seluruh manusia
akan ikut terbunuh. Dalam masa kini, kedamaian masyarakat akan sulit tercapai sebelum terjadi
kedamaian dalam diri setiap manusia.

Wujud Kasar dan Wujud Halus dari Segala Sesuatu

Dalam Sandeha Nivarini, Sai Baba menyampaikan bahwa Sthula-rupa dan Sukshma-rupa, wujud
kasar dan wujud halus, bukan hanya karakteristik pikiran saja. Wujud kasar dan wujud halus
adalah karakteristik dari segala sesuatu, bahkan, semua nama dan rupa. Wujud kasar hanya untuk
memahami wujud halus. Wujud halus dari matahari pun ada, tanpa wujud halus matahari,
bagaimana bisa ada kemegahan, cahaya, kebijaksanaan dan penerangan dalam diri? Wujud halus
langit adalah hati, wujud halus matahari adalah buddhi, intelegensia yang menerangi langit.
Cahaya dari buddhi seterang cahaya matahari.  Wujud halus bulan adalah kasih. Sinarnya yang
lembut menyenangkan langit hati.

Perang fisik antara Pandawa dan Korawa pun mempunyai “wujud halus” perang di dalam diri.
Pandawa dan Korawa sedang melakukan “perang halus” setiap hari. Dalam wujud perang halus
ini, kualitas jahat diwakili oleh Korawa sedangkan kualitas baik diwakili oleh Pandawa. Sathya,
Dharma , Santhi, Prema dan Ahimsa adalah wujud halus dari Pandawa. Kualitas jahat amat
banyak dan membentuk gerombolan adalah wujud halus dari Korawa. Mereka bertempur untuk
menguasai kerajaan hati. Mereka adalah ajnani dan sujnani, karakter tidak bijaksana dan
karakter bijaksana. Penguasa yang tidak bijaksana yang buta adalah Dhristarastra sedangkan
Pandu adalah ayah dari karakter bijaksana. Jutaan emosi, pikiran dan perasaan adalah para
prajurit. Panca indera adalah kereta perangnya. Wujud halus Sri Krishna adalah “saksi” yang
dipahami sebagai atma. Dia adalah sais dari kereta jiwa.
Hastinapura adalah kota dari tulang-belulang, atau tubuh kita. Kota ini mempunyai 9 gerbang.
Korawa dan Pandawa lahir dan berkembang di kota tersebut. Dalam diri kita, mereka saling
waspada dan benci satu sama lain. Perang ini terjadi pada semua orang sampai saat ini.
Mungkinkah perang ini berakhir? Mungkin, ketika manusia melampaui karakter baik dan buruk
sehingga akan tercapai kedamaian.

Melampaui Ilusi atau Maya dengan Menemukan Jatidiri

Raja-raja penguasa mengobarkan perang karena mereka yakin dengan diri mereka. Ilusi atau
maya adalah persoalan yang mendorong pribadi-pribadi untuk berperang. Ketika kita pause,
berhenti sejenak dari ilusi, maka perang tidak akan berkobar. Bila kita dapat melepaskan diri dari
ilusi atau maya, bila kita bisa melepaskan perasaan “aku” dan “milikku”, dan maka kita akan
memperoleh kedamaian. Dengan menemukan Jatidiri maka ilusi atau maya terlampaui.

Berikut ini adalah artikel Bapak Anand Krishna “Nyanyian Ilahi 2” dalam situs
http://www.aumkar.org

LAMPAUI KEGELISAHAN DENGAN MENEMUKAN JATIDIRI!

Krishna: Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan; kau berperang demi keadilan,
untuk menegakkan Kebajikan. Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini. Bangkitlah
demi bangsa, negeri, dan Ibu Pertiwi.

Arjuna: Dan, untuk itu aku harus memerangi keluarga sendiri? Krishna, aku bingung, tunjukkan
jalan kepadaku.

Krishna: Kau berbicara seperti seorang bijak, namun menangisi sesuatu yang tak patut kau
tangisi. Seorang bijak sadar bahwa kelahiran dan kematian, dua-duanya
tak langgeng.
Jiwa yang bersemayam dalam diri setiap insan, sesungguhnya tak pernah lahir dan tak pernah
mati. Badan yang mengalami kelahiran dan kematian ibarat baju yang dapat kau tanggalkan
sewaktu-waktu dan menggantinya dengan yang baru. Perubahan adalah Hukum Alam – tak patut
kau tangisi.

Suka dan duka hanyalah perasaan sesaat, disebabkan oleh panca-inderamu sendiri ketika
berhubungan dengan hal-hal di luar diri. Lampauilah perasaan yang tak langgeng itu. (Krishna)

Temukan Kebenaran Mutlak di balik segala pengalaman dan perasaan. Kebenaran Abadi,
Langgeng dan Tak Termusnahkan. Segala yang lain diluar-Nya sesungguhnya tak ada – tak perlu
kau risaukan. Temukan Kebenaran Abadi Itu, Dia Yang Tak Terbunuh dan Tak Membunuh. Dia
Yang Tak Pernah Lahir dan Tak pernah Mati. Dia Yang Melampaui Segala dan Selalu Ada. Kau
akan menyatu dengan-Nya, bila kau menemukan-Nya. Karena, sesungguhnya Ialah yang
bersemayam di dalam dirimu, diriku, diri setiap insan. Maka, saat itu pula kau akan terbebaskan
dari suka, duka, rasa gelisah dan bersalah. Kebenaran Abadi Yang Meliputi Alam Semesta, tak
terbunuh oleh senjata seampuh apapun jua. Tak terbakar oleh api, tak terlarutkan oleh air, dan
tidak menjadi kering karena angin.

Sementara itu, wujud-wujud yang terlihat olehmu muncul dan lenyap secara bergantian.
“Keberadaan” muncul dari “Ketiadaan” dan lenyap kembali dalam “Ketiadaan”. Jiwa tak
berubah dan tak pernah mati; hanyalah badan yang terus-menerus mengalami kelahiran dan
kematian. Apa yang harus kau tangisi?

Badanmu lahir dalam keluarga para Satria, ia memiliki tugas untuk membela negara dan bangsa.
Bila kau melarikan diri dari tanggungjawabmu, kelak sejarah akan menyebutmu pengecut. Bila
kau gugur di medan perang, kau akan mati syuhda, namamu tercatat sebagai pahlawan. Dan, bila
kau menang, rakyat ikut merayakan menangnya Kebajikan atas kebatilan. Sesungguhnya kau tak
perlu memikirkan kemenangan dan kekalahan. Lakukan tugasmu dengan baik.

Berkaryalah demi kewajibanmu. Janganlah membiarkan pikiranmu bercabang, bulatkan


tekadmu, dan dengan keteguhan hati, tentukan sendiri jalan apa yang terbaik bagi dirimu.
(krishna)

Berkaryalah demi tugas dan kewajiban, bukan demi surga, apa lagi kenikmatan dunia. Janganlah
kau merisaukan hasil akhir, tak perlu memikirkan kemenangan maupun kegagalan. Dengan jiwa
seimbang, dan tak terikat pada pengalaman suka maupun duka, berkaryalah dengan penuh
semangat! Bebaskan pikiranmu dari pengaruh luar; dari pendapat orang tentang dirimu, dan apa
yang kau lakukan. Ikuti suara hatimu, nuranimu.

Arjuna: Bagaimana Krishna, bagaimana mendengarkan suara hati?

Krishna: Bebas dari segala macam keinginan dan pengaruh pikiran, kau akan mendengarkan
dengan jelas suara hatimu – itulah Pencerahan! Saat itu, kau tak tergoyahkan lagi oleh
pengalaman duka, dan tidak pula mengejar pengalaman suka. Rasa cemas dan amarah pun
terlampaui seketika.

Ia yang tercerahkan tidak menjadi girang karena memperoleh sesuatu; tidak pula kecewa bila
tidak memperolehnya. Dirinya selalu puas, dalam segala keadaan. Pengendalian Diri yang
sampurna membuatnya tidak terpengaruh oleh pemicu-pemicu di luar. Ia senantiasa sadar akan
Jati-Dirinya.

Keterlibatan panca-indera dengan pemicu-pemicu di luar menimbulkan kerinduan, kemudian


muncul keinginan. Dan, bila keinginan tak terpenuhi, timbul rasa kecewa, amarah. Manusia tak
mampu lagi membedakan tindakan yang tepat dari yang tidak tepat.

Seorang bijak yang tercerahkan terkendali panca-inderanya, maka ia dapat hidup di tengah
keramaian dunia, dan tak terpicu oleh hal-hal diluar diri. Demikian dengan keseimbangan diri, ia
menggapai kesadaran yang lebih tinggi. Jiwanya damai, dan ia pun memperoleh Kebahagiaan
Kekal Sejati.

Pengendalian Diri menjernihkan pandangan manusia, ia menggapai kesempunaan hidup. Saat


ajal tiba, tak ada lagi kekhawatiran baginya, ia menyatu kembali dengan Yang Maha Kuasa.

Situs artikel terkait

http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/

http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

Desember 2013

Kaliya, Mengendalikan Insting Hewani Dalam Diri Manusia

Pada suatu hari Krishna dan teman-temannya menggembala sapi-sapi ke arah Sungai Yamuna.
Balarama kali ini tidak menemani mereka. Krishna dan temannya bermain-main di tepi hutan
dan karena hari sangat panas, beberapa teman Krishna kehausan dan pamit mencari minum ke
Sungai Yamuna. Akan tetapi kali ini mereka salah jalan dan masuk ke daerah bahaya di Danau
Madu. Di dasar Danau Madu tinggallah ular cobra raksasa berkepala lima bernama Kaliya yang
hidup bersama  beberapa istrinya. Kaliya mengeluarkan racun yang berbahaya yang memenuhi
danau tersebut dan bahkan sedikit demi sedikit air dari danau sudah mulai mencemari Sungai
Yamuna. Sungai Yamuna mengalir ke hilir melalui Kota Mathura tempat Kamsa dan di hilirnya
lagi melalui Kota Hastinapura. Semua tanaman disekitar danau terkena polusi dan pada kering.
Burung-burung yang melintasi danau pun pada jatuh terkena uap beracun yang berada di atas
danau.

Setelah lama menunggu teman-teman mereka yang pergi ke sungai dan tidak balik, Krishna dan
teman-temannya mengikuti jejak teman-teman mereka dan sampailah mereka di danau Madu.
Krishna melihat teman-teman mereka pingsan dan segera meminta teman-temannya
memindahkan mereka menjauhi danau. Krishna segera memanjat Pohon Kadamba di tepi danau.
Pohon besar yang kering tanpa daun tersebut tetap bertahan hidup. Teman-teman Krishna
melihat Krishna sampai di pucuk pohon dan segera meloncat ke dalam danau. Semua teman-
temannya khawatir akan keselamatan Krishna, dan ada yang lari ke desa memanggil Nanda,
Yashoda dan orang-orang tua para gembala. Cukup lama Krishna berada di dasar dan tiba-tiba
muncul di permukaan danau diserang oleh Kaliya. Dan terjadilah perkelahian yang seru. Krishna
sangat lincah dan tahan uap beracun yang dikeluarkan oleh Kaliya. Pada akhirnya Krishna
menari-nari di atas lima kepala Kaliya. Kaliya kelelahan dan dari mulutnya keluar darah karena
telah kehabisan racun berbisanya. Kaliya sadar bahwa bila Krishna ingin membunuhnya, maka
dia akan mati dengan mudah. Para istrinya keluar dan mohon pengampunan dari Krishna. Nanda,
Yashoda dan para gembala bersorak sorai melihat Krishna menari-nari berlompatan di atas lima
kepala Kaliya. Akhirnya Krishna berkata, “Kaliya, kau kumaafkan, akan tetapi segera pergi dari
danau ini bersama istrimu ke tempat tinggalmu di Pulau Ramanaka. Kau tak perlu takut Garuda
mengejarmu, melihat bekas tapak kakiku di kepalamu, Garuda akan melepaskanmu. Hiduplah
yang baik, karena semua racunmu telah habis…….

Dalam Buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan
Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan….. bahwa Kaliya
adalah Kalaa Yavan, Si Hitam yang berasal dari Yunani yang berupaya melemahkan kerajaan-
kerajaan di India dengan  meracuni Sungai Yamuna, dengan jalan masuk ke daerah pedalaman
dan membuang racunnya sedikit demi sedikit. Dan, setelah Kaliya ditaklukkan dia lapor kepada
Raja Yunani sehingga selama dua abad negara yang ekspansionis pada masanya tersebut tidak
mengganggu India………

Sebagian Master memaknai Kaliya yang berkepala lima sebagi bahaya yang mengendap dalam
pikiran manusia. Di danau pikiran manusia ada ular cobra raksasa beracun dengan lima kepala
terus mengintai, menunggu kelalaian manusia. Kelima kepala ular cobra raksasa tersebut adalah 
amarah, keinginan, keserakahan, keterikatan dan keangkuhan. Ketika manusia selalu ingat pada
Tuhan dengan penuh penghayatan, maka ular cobra berkepala lima akan keluar dari kedalaman
danau pikiran dan nampak di permukaan. Kemudian ular cobra tersebut dapat dibuat menjadi
tenang…….. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki
Pintu Gerbang Kebenaran”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000
disampaikan…….. Tobat berasal dari suku kata taubah yang berarti “kembali”. Kembali pada
diri sendiri, kembali meniti jalan ke dalam diri. Bertobat berarti “sadar kembali.” Dan, untuk
meniti jalan ke dalam diri, untuk sadar kembali, dibutuhkan energi yang luar biasa. Sementara
ini, seluruh energi kita habis terserap oleh perjalanan di luar diri. Rumi mengingatkan kita:
Jangan pikir engkau bisa melakukan apa saja, kemudian bertobat dan selesai sudah perkaranya.
Kalaupun taubah diterjemahkan sebagai “penyesalan”; yang menyesal haruslah hati, jiwa. Bukan
mulut. Di atas segalanya, “penyesalan” berarti “kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama.”………….. Renungkan sebentar: Kesalahan-kesalahan yang kita buat mungkin itu-
itu juga. Lagi-lagi kita jatuh di dalam lubang yang sama. Dalam hal membuat kesalahan pun
rasanya manusia sangat tidak kreatif. Karena, sesungguhnya tidak banyak kesalahan yang dapat
anda buat. Pendorongnya, pemicunya pun tidak terlalu banyak. Keinginan, amarah, keserakahan,
keterikatan dan keangkuhan ya Panca-Provokator-itulah yang mendorong kita untuk berbuat
salah. Yang kita sebut nabi, atau avatar, atau mesias, atau buddha telah menguasai kelima-
limanya. Kita belum. Lalu, setelah menguasai kelima-limanya tidak berarti mereka tidak pernah
berkeinginan atau marah. Mereka pun masih punya keinginan-setidaknya untuk berbagi
kesadaran dengan kita. Mereka pun bisa marah kalau kita tidak sadar-sadar juga, padahal sudah
berulang kali kupingnya dijewer. Keserakahan dan keterikatan mereka malah menjadi berkah
bagi kita semua. Sampai mereka harus menurunkan kesadaran diri untuk menyapa kita, untuk
membimbing kita, untuk menuntun kita. Kenapa? Karena mereka ingin memeluk kita semua.
Keserakahan kita sebatas mengejar harta dan tahta; keserakahan mereka tak terbatas. Mereka
mengejar alam semesta dengan segala isinya. Mereka ingin memeluk dunia, karena “tali
persaudaraan “, karena “ikatan-persahabatan” yang mereka ciptakan sendiri. Keangkuhan dalam
diri mereka merupakan manifestasi Kesadaran Diri. Ketika Muhammad menyatakan dirinya
sebagai Nabi, dia tidak angkuh. Ketika Yesus menyatakan dirinya sebagai Putra Allah, dia pun
sesungguhnya tidak angkuh. Ketika Siddhartha menyatakan bahwa dirinya Buddha, sudah
terjaga, dia pun tidak angkuh. Ketika Krishna mengatakan bahwa dirinya adalah “Manifestasi
Dia yang Tak Pernah Bermanifestasi, dia pun tidak angkuh. Keakuan kita lain – Ke-”Aku”-an
mereka lain. Yang tidak menyadarinya akan membatui Muhammad, akan menyalibkan Yesus,
akan meracuni Siddhartha, akan mencaci-maki Krishna.

Setiap Master selalu memberi jiwa pada sebuah Purana dengan memfokuskan pada hal tertentu,
sehingga kita tidak perlu heran bahwa pada Garuda Purana, yang paling jago adalah Garuda,
pada Wisnu Purana yang paling hebat adalah Wisnu. Sebuah Purana diharapkan dapat
menyentuh diri kita yang terdalam dan membangkitkan keyakinan kita untuk melakoni sebuah
pemahaman dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Master memberi jiwa baru pada kisah lama
tersebut. Oleh karena itu ada juga seorang Master yang berpendapat bahwa kisah Kaliya ini pada
dasarnya terfokus pada racun iri dalam diri manusia. Kaliya diusir Garuda dari Pulau Ramanaka
dan bersembunyi di Danau Madu dimana Garuda tak berani mengejarnya. Kemudian dari Danau
Madu, Kaliya mulai menyebarkan racun. Rasa iri ini diungkapkan sebagai racun. Krishna datang
ke dunia untuk membersihkan sifat iri dalam diri kita. Kita juga ingat bahwa kala para dewa dan
para asura bersama-sama mengaduk samudera susu, yang pertama kali keluar adalah racun dan
amerta adalah yang terakhir keluar. Setiap kebaikan tentu ada racun yang menyertainya.

Dalam buku “Life Workbook Melangkah dalam Pencerahan, Kendala dalam Perjalanan,
dan Cara Mengatasinya”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan……..
Bila tidak tercerna dengan baik, apa yang kita makan justru menjadi racun dan merusak seluruh
jaringan di dalam tubuh. Proses pencernaan itulah yang mengubah makanan menjadi energi
dengan “by product” ampas yang harus dibuang. Pengetahuan yang diperoleh dari Guru pun
menghasilkan ampas pikiran dan perasaan lama yang harus dibuang jauh-jauh. Pikiran dan
perasaan itu adalah bagian dari masa lalu yang harus keluar dari sistem kita. Satu virus yang
bersarang di dalam komputer kita merusak seluruh data yang ada di dalamnya. Satu pikiran lama
cukup untuk merusak seluruh program baru yang diterima dari guru. Buku ini adalah tentang
virus-virus yang dapat bersarang dan merusak jaringan batin kita, sehingga apa saya yang kita
terima dari guru ikut menjadi rusak. Kita tidak bisa lagi membedakan mana yang baik, mana
yang tidak baik; mana yang berguna, mana yang tidak. Dalam keadaan itu, rasa kita betul-betul
mati. Pikiran menjadi kacau. Dalam keadaan mati rasa serta kekacauan pikiran itu, tak seorang
pun dapat menolong kita. Seluruh program dengan segala macam datanya harus dihapus semua
… kemudian diisi dengan program baru. Dan, kita mulai input data baru pula……..

Dikisahkan, adalah seorang resi dari dinasti Bhrigu bernama Vedasira akan melakukan tapa di
pegunungan Vindhya. Pada saat itu seseorang resi bernama Asosira juga tiba di tempat yang
sama dan ingin bertapa di daerah tersebut juga. Vedasira berkata, “Mengapa Anda  memilih
tempat yang sudah dipilih olehku, bukankah banyak tempat lainnya yang bisa Anda pilih?”.
Asosira kemudian menjawab, “Semua tempat adalah milik Narayana. Jauh sebelum Anda
datang, sudah ada resi lain bertapa di sini. Berpikir sebagai pemilik adalah bodoh. Bodoh,
gampang marah dan mendesis seperti ular. Karena kau merasa mempunyai tempat tinggal yang
orang lain tidak boleh masuk, maka kukutuk menjadi ular yang tidak mempunyai tempat tinggal,
kau akan ketakutan dikejar oleh Garuda.” Vedasira kemudian membalas, “Wahai resi yang
kurang cerdas yang gampang mengutuk karena kesalahan sepele, kau seperti para pengembara
tanpa tujuan pasti, dan hanya tertarik pada kepuasan indra. Perilaku Anda seperti burung gagak
dan kau akan lahir menjadi gagak!”……… Kedua resi yang suka mengutuk tersebut kemudian
merasa menyesal, hanya karena debat sepele membuat mereka menderita di kehidupan
mendatang. Wisnu kemudian datang menghibur mereka, “Seperti seseorang yang tidak
mempertimbangkan tangan kanan atau tangan kiri yang lebih penting, Aku menghormati kalian
berdua sebagai bhakta-bhakta-Ku. Wahai Resi Vedasira, meskipun kau akan terlahir sebagai ular
yang takut kepada Garuda. Kau akan bersembunyikan diri di Danau Madu di dekat Sungai
Yamuna, karena pada zaman dahulu Resi Saubari pernah berkata bahwa burung apa pun
termasuk Garuda akan mati kala masuk ke Danau Madu. Akan tetapi pada zaman Dwapara
Yuga, kepala-kepalamu akan dicap oleh tapak kaki Krishna dan Garuda akan menghormati cap
tersebut, dia akan melepaskanmu dari kejarannya. Wahai Resi Asosira, sebagai burung gagak,
pengetahuanmu akan meningkat tanpa batas, Engkau akan mempunyai kesempurnaan yoga dan
mengetahui masa lalu, masa kini dan masa depan. Kau akan disebut Kaka Bhusandi, burung
gagak bijaksana dalam zaman Treta Yuga!”  Dan Wisnu menghilang……. Dalam kitab Vasistha
Yoga terdapat kisah tentang Gagak Bijaksana yang menguasai kesempurnaan yoga tersebut……

Keinginan, amarah, keserakahan, keterikatan dan keangkuhan yang merupakan sifat-sifat hewani
harus dikendalikan. Dalam buku “Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo”,
Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2006 disampaikan…….. Nafsu tidak pernah mati,
maka harus dikendalikan; mesti ditarik dari dunia dan keduniawian, kemudian diarahkan ke
Allah dan keilahian. Proses pengarahan nafsu kepada Tuhan dan ketuhanan itulah spiritualitas.
Itulah meditasi. Dalam bahasa-bahasa Timur Tengah itu disebut taubah, atau membelok,
kembali. Maksudnya: kembali pada diri sendiri, karena itulah kerajaan-Nya; di sanalah Ia
bersemayam……..

Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”, Anand
Krishna dkk, One Earth Media, 2005 disampaikan tentang kaitan nafsu dengan insting-insting
hewani dalam diri manusia……..  Dorongan nafsu serta keinginan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar kita, insting-insting hewani kita, berasal dari Lymbic. Saat ini, hidup kita masih
didominasi oleh insting-insting hewani. Seolah kita hidup semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Berarti kita baru beda penampilan dari binatang. Insting kita
masih sama. Mereka memiliki insting hewani dan berpenampilan seperti hewan. Kita memiliki
insting hewani, tapi berpenampilan seperti manusia. Boleh dibilang kita adalah binatang, hewan
berkedok manusia. Kita baru berpura-pura menjadi manusia………. Manusia memiliki bagian
otak yang disebut Neo Cortex. Neo berarti “baru”, dan bagian ini memang “baru” dimiliki oleh
hewan “jenis manusia”. Setidaknya dalam bentuk yang jauh lebih sempurna dari hewan. Neo
Cortex inilah yang menciptakan sistem nilai dan bertanggung jawab pula atas pengembangan
intelektualitas kita. Terdorong oleh Lymbic, hewan hidup secara alami. Kebutuhan mereka pun
seolah terjatah. Berdasarkan kebutuhan, Lymbic mendorong mereka untuk makan dan minum
secukupnya………. Intelenjensia binatang masih sangat rendah. la baru mampu memahami,
“apa” yang harus dimakannya, apa yang tidak; “siapa” yang harus dikawininya, siapa tidak. Dan,
pilihan mereka masih sederhana sekali, antara jantan dan betina. Seekor binatang jantan mencari
betina, dan betina mencari jantan. Kriterianya hanya satu: Lawan Jenis, itu saja. Kebutuhan
insting itu kita penuhi sebatas kemampuan dan kekuatan kita. Bila tidak mampu, ya makan apa
saja, minum apa saja, tidur di atas tikar saja. Tetapi, bila mampu, kita mencari makanan dan
minuman yang lezat, ranjang yang empuk dan seterusnya. Selama kita tidak mampu, tidak
memiliki cukup sarana, nafsu kita “seolah” masih terkendali. Insting-insting hewani kita “terasa”
terkendali.  Padahal sama sekali tidak demikian. Coba diberi kesempatan menjadi pemimpin,
menjadi penguasa  lalu lihat apa yang terjadi!? Insting-insting hewani di dalam diri, nafsu,
semuanya bergejolak. Semuanya mengajukan tuntutan mereka masing-masing……… Bila kita
hidup semata-mata untuk memenuhi kebutuhan insting, maka sesungguhnya kita masih animal,
binatang. Taruhlah binatang plus, karena kita sudah berbadan seperti manusia. Juga karena kita
sudah memiliki mind yang cukup berkembang, mind yang dapat menciptakan. Kita mampu
menghiasi, memoles insting-insting kita. Kita bisa mengelabui orang lain. Sehingga binatang di
dalam diri kita menjadi lebih buas, lebih bengis dan lebih ganas dari binatang beneran. Kebuasan
binatang masih terbatas, kebuasan kita tak terbatas karena ketakterbatasan kemampuan mind
kita. Manusia juga merupakan satu-satunya jenis makhluk yang hidup di bumi ini dan mampu
berkembang terus. Pohon Kenari sepuluh juta tahun yang lalu seperti itu, sekarang pun sama.
Tidak terjadi perubahan apa. Anjing pun demikian, dari dulu begitu, sekarang pun sama. Lain
halnya dengan manusia. Dulu ia hanya bisa membuat kapak dari batu. Sekarang bisa membuat
pesawat tempur. Dulu ia tinggal di dalam gua, sekarang di dalam rumah. Dulu rumahnya biasa,
sekarang mewah. Species manusia berkembang terus, berevolusi terus. Dengan Lymbic yang
masih hewani pun, kita tetap berkembang. Hasilnya: Animal Plus, Binatang Plus. Perkembangan
diri kita masih belum holistik, belum menyeluruh. Hewan di dalam diri barangkali menjadi
sedikit lebih jinak, tetapi belum menjelma menjadi manusia. Hanya segelintir saja di antara kita
yang berhasil memanusiakan dirinya………

Demikian pandangan Bapak Anand Krishna untuk memberdayakan putra-putri bangsa. Agar
setiap putra-putri bangsa dapat melaksanakan “Self Empowerment”.  Sayang ada beberapa
kelompok yang tidak menyukai pandangan-pandangan Beliau dan berupaya mendiskreditkan
nama Beliau. Silakan lihat…….

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Dalam buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa”, Anand
Krishna dkk, One Earth Media, 2005 disampaikan uraian tentang manusia yang sudah dapat
mengendalikan insting-insting hewani, diri manusia tersebut sudah tidak personal, akan tetapi
menjadi transpersonal…….. Dalam diri mereka insting-insting hewani sudah mereda, tidak
menggebu-gebu lagi. la masih harus tetap makan, minum, tidur, bahkan melakukan hubungan
seks. Tetapi tidak “terbawa”, oleh semua itu. Tidak “larut” di dalamnya. Mereka tidak lagi
memikirkan diri dan kelompok, tetapi memikirkan kepentingan yang lebih luas. Bagi mereka
“keutuhan serta persatuan bangsa” hanyalah anak tangga pertama untuk mewujudkan “kesatuan
dan persatuan dunia” – bahkan untuk mencapai Yang Tunggal! Hewan berpikir, manusia pun
berpikir. Hewan memikirkan makan, minum, tidur dan seks. Itulah kodratnya. Bila manusia pun
memikirkan makan, minum, tidur dan seks saja, maka la masih hewan, masih sub-human,
manusia kelas rendah, manusia kelas hewan. Manusia yang sudah berkembang kemanusiaannya,
yang sudah tidak terkendali oleh insting-insting hewaninya, sudah pasti memikirkan kepentingan
luas, bukan lagi kepentingan diri dan kelompok. Inilah kodrat manusia. Sekarang ini kita baru
menjalani kodrat binatang. Para pemimpin, pejabat, bahkan yang menganggap diri “rohaniwan”,
tapi masih memikirkan dirinya saja atau memikirkan kepentingan kelompoknya saja,
sesungguhnya masih terkendali oleh insting hewani. Bila aku memaksa orang lain untuk
menerima pendapatku atau melihat kebenaran dari sudut pandangku, maka aku pun masih
terkendali oleh insting hewan.

Dan Brahma Pun Ditaklukkan Krishna, Dan Di Atas Langit


Pun Masih Ada Langit
Resi Sukhabrahma berkata kepada Raja Parikesit, “Setelah kematian Aghasura, para gopal kecil,
para penggembala kecil bercerita kepada orang tua mereka setelah satu tahun berlalu!” Raja
Parikesit tak dapat menahan diri dan bertanya, “Wahai Guru, bagaimana mungkin anak-anak
kecil bisa menahan rahasia selama satu tahun? Para Gopal memang patuh pada Krishna, akan
tetapi bagaimana mungkin menjaga kerahasiaan selama satu tahun?” Resi Sukahabrahma
tersenyum dan melanjutkan kisahnya………

Setelah pembunuhan Aghasura, Krishna mengajak teman-temannya pergi ke tepi Sungai


Yamuna dan di bawah sebuah pohon yang rindang mereka duduk melingkar dan Krishna berada
di tengah-tengah lingkaran. Semua mengeluarkan bekal makanan dari rumah yang disiapkan oleh
ibunya masing-masing dan mulai makan sambil bersenda-gurau. Dasar anak-anak yang polos,
peristiwa besar yang mereka alami terlupakan saat mereka makan dan bersenda-gurau. Mereka
tidak usah belajar “the Power of Now”, hidup total dalam kekinian, karena bersama Krishna,
mereka memang hidup dalam kekinian, tidak terfokus pada masa lalu dan tidak terfokus
bagaimana nanti pulang ke rumah, sekarang mereka menikmati makan dan bersenda-gurau.

Krishna sedang melatih para temannya untuk melampaui mind, tadinya yang ada di kepala
banyak teman-temannya adalah pertempuran Krishna dengan Aghasura, tetapi hal tersebut tidak
boleh terjadi terlalu lama, masih banyak pelajaran baru yang akan diberikan. Dan dengan begitu
cepat para gembala kecil melupakan peristiwa besar dengan senda-gurau, sehingga mereka dapat
hidup lagi dalam kekinian. Teringat pada sesuatu boleh, tetapi tidak baik menghabiskan memori
otak dengan hanya berpikir pada sesuatu tersebut. Tindakan Krishna tersebut selaras dengan
pengetahuan modern. Dalam Buku “Neo Psyhic Awareness”, Anand Krishna, Gramedia
Pustaka Utama, 2005 disampaikan bahwa otak kita terlalu banyak diisi memori yang tidak perlu
yang hanya menghabiskan memori……… Sesungguhnya, saat ini pun otak kita sudah bekerja,
sudah berfungi 100%. Memang, baru sebagian kecil dari kapasitasnya yang digunakan sehari-
hari. Sisanya cuma untuk menyimpan data-data lama. Makin besar persentase yang digunakan
dalam keseharian, walau hampir tak pernah melebihi 10%, membuat manusia makin cerdas,
inteligen, makin sharp, makin tajam. Manusia seperti itulah yang menolak perbudakan. Manusia
seperti itulah yang berkeinginan untuk hidup bebas merdeka. Manusia seperti itulah yang tidak
mau lagi dikuasai oleh tradisi lama yang sudah usang, oleh doktrin dan dogma yang sudah tidak
sesuai dengan martabat dan kesadaran manusia masa kini………. Mungkinkah kita
menggunakan lebih besar persentase otak untuk keseharian? Mungkin, sangat mungkin, tetapi
untuk itu kita harus menciptakan space. Persis seperti komputer, memori harus dibersihkan dulu.
Program-program yang tidak terpakai harus di-delete, dihapus….. Ciptakan “ruang”! Saat ini
jiwa kita penuh; pikiran kita penuh; otak kita penuh; hati kita penuh. Ya, penuh dengan memori
lama, data yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Beban pada jiwa kita sudah melampaui batas.
Dalam keadaan seperti itu, bagaimana mengisinya dengan sesuatu yang baru? Otak yang penuh
tidak dapat berpikir lagi. Ini yang terjadi pada kaum teroris. Otak mereka diisi dengan segala
macam memori tentang masa lalu, sehingga mereka tidak dapat hidup dalam kekinian. Mereka
tidak dapat berpikir tentang sesuatu yang mereka anggap lain dari isi kepala mereka. Barangkali
hati mereka juga terbebani dengan rasa benci, amarah dan mereka tidak dapat merasakan sesuatu
yang indah, karena bagi mereka segala sesuatu yang mereka anggap lain dari otak mereka tidak
punya keindahan. Jiwa mereka diprogram untuk merusak, bukan untuk mencipta dan
membangun. Para “pencipta” mereka menyadari betul hal ini. Sedemikian penuhnya mereka
diisi, sehingga tidak ada lagi informasi baru yang dapat menembus diri mereka. Untuk
memperoleh, atau lebih tepatnya, memasuki Alam Kesadaran Psikis, beban pikiran dan jiwa
harus dikurangi. Bersihkan otakmu dari segala macam indoktrinasi………

Demikian pandangan Bapak Anand Krishna untuk memberdayakan diri putra-putri bangsa.
Sayang ada beberapa kelompok yang tidak menyukai pandangan Beliau yang universal dan
berupaya untuk mendiskreditkan namanya. Silakan lihat….

http://www.freeanandkrishna.com/in/

Selagi mereka makan, ada anak yang berteriak, “Mana sapi-sapi kita kok tidak nampak?”
Krishna berkata agar teman-temannya tenang-tenang saja melanjutkan makan, dia akan mencari
dan mengembalikan anak-anak sapi tersebut. Krishna mencari anak-anak sapi di sekitar tempat
tersebut, tetapi tidak ketemu dan kemudian kembali ke tempat anak-anak yang sedang makan
dan mereka juga lenyap. Tiba-tiba Krishna kecil tersenyum, saat dia membunuh Aghasura, para
dewa menyaksikan peristiwa tersebut dan bersorak-sorai di kahyangan. Brahma muncul karena
ada keramaian dan merasa kagum dengan keberanian Krishna kecil. Brahma kemudian ingin
menguji Krishna, maka ketika mereka makan, anak-anak sapi-sapinya disembunyikan olehnya.
Saat Krishna kecil sedang mencari anak-anak sapi, para Gopala kecil juga disembunyikan
olehnya juga. Anak-anak sapi dan penggembalanya dikumpulkan Brahma dalam satu goa.
Krishna tahu bahwa ini adalah pekerjaan Brahma.

Krishna kemudian mengeluarkan mayanya, Krishna yang satu mewujud menjadi anak-anak sapi,
para penggembala kecil dan juga peralatan para penggembala, semuanya lengkap persis seperti
semula. Krishna kecil memimpin para gembala dan anak-anak sapi yang sebetulnya adalah
wujud dari Krishna kembali ke rumah orang tua mereka masing-masing. Pesta topeng tersebut
berjalan selama satu tahun. Para orang tua merasa sangat sayang kepada putra-putranya, para
induk sapi merasa sangat sayang kepada anak-anak sapinya.Semua rumput, semua jalan setapak,
semua pohon, semua buah-buahan yang dimakan anak-anak merasa sangat berbahagia. Semua
air yang diminum, semua baju yang dipakai anak-anak merasa berbahagia yang tak terkatakan.
Beruntunglah semua makhluk di Brindavan yang dapat melayani Krishna…….. Nama Krishna
memang bisa bermakna Dia Yang Menawan atau juga Dia Yang Selalu Berada Dalam
Kebahagiaan dan Menganugerahkan Kebahagiaan………

Pada suatu hari tatkala, Krishna dan Balarama sedang menggembala anak-anak sapi di bukit
Govardhana, sejumlah induk sapi melihat mereka dan induk-induk sapi tersebut berlari
melupakan para gembalanya ingin menyusui anak-anak sapinya. Para gembala yang kaget
kemudian mengikuti sapi-sapi tersebut dan melihat putra-putra kecil mereka sedang
menggembalakan anak-anak sapi mereka. Para gembala mendatang putra-putra mereka, dan
terjadilah adegan kasih sayang antara para orang tua dengan para putranya, dan para sapi dengan
para anak sapinya. Balarama menjadi tersadarkan, “Ini pasti perbuatan Krishna!” Balarama
mengambil kesimpulan demikian, karena dia melihat para gembala kecil dan para anak-anak sapi
adalah Krishna sendiri. Krishna kemudian menyampaikan kejadian sebenarnya kepada
Balarama…….

Para Gopi dan Gopala dalam kelahiran sebelumnya di zaman Krta Yuga adalah para resi yang
bisa melihat Tuhan (darshan). Dalam Treta Yuga, mereka adalah para kera yang membantu Sri
Rama yang bisa melihat (darshan) dan berbicara dengan Tuhan (Sambhashan). Sedang dalam
Dwapara Yuga mereka adalah para Gopi dan Gopala yang dapat melihat (darshan), berbicara
(sambhashan) dan menyentuh Tuhan (sparshan).

Dikisahkan setelah Brahma menyembunyikan anak-anak sapi dan para gembala kecil, dia balik
ke Satyaloka. Akan tetapi para penjaga rumahnya melarangnya masuk. Brahma marah dan
berkata bahwa ia adalah Brahma pemilik Satyaloka. Para penjaga menjawab bahwa Brahma
memang mirip dengan pemilik rumah, akan tetapi sang pemilik rumah sudah berada di dalam
rumahnya. Brahma penasaran dan menengok ke dalam rumah, dan dia melihat Brahma sedang
bercengkerama dengan Saraswati yang sedang memainkan vina. Brahma kemudian pergi ke
Brindavan dan melihat adegan kasih sayang antara para anak-anak sapi dengan induk-induk
sapinya dan para gembala kecil dengan orang tuanya. Brahma kaget, “ Tidak mungkin terjadi!
Anak-anak sapi dan para gembala kecil sedang tidur di goa tempat aku menyembunyikan
mereka!” Brahma bergegas menuju goa dan melihat anak-anak sapi dan para gembala kecil
sedang tidur. Brahma segera kembali ke bukit Govardhana dan melihat anak-anak sapi dan para
gembala kecil di sana……..

Krishna merasa sudah cukup mempermainkan Brahma, dan kemudian Brahma dapat melihat
bahwa yang ada di Govardhana sebagai anak-anak sapi dan para gembala kecil adalah Krishna
sendiri.  Brahma takluk, jatuh di kaki Krishna dan mohon maaf atas senda-guraunya. Krishna
memaafkan Brahma dan menyuruh Brahma segera kembali ke Satyaloka. Brahma Sang Pencipta
Alam pun tunduk dan tidak mengetahui seberapa besar kekuatan Krishna, Dia Yang Tak Dapat
Diserupakan Dengan Apa Pun Juga. Bagi Brahma pun, Tuhan adalah misteri………. Masihkah
kita angkuh dan merasa diri kita paling benar saat menjelaskan tentang Tuhan? Tuhan yang bisa
dijelaskan adalah Tuhan hasil konsep pikiran kita……… Dia tak dapat diserupakan dengan apa
pun juga, “tan kena kinaya ngapa”, kata para leluhur.

Krishna, kemudian mengumpulkan anak-anak sapi dan para gembala kecil dan kembali ke rumah
mereka masing-masing. Para gembala kecil teman Krishna pulang ke rumah dan menceritakan
pengalaman mereka yang melihat Krishna membunuh Aghasura. Mereka tidak pernah sadar
bahwa mereka telah setahun meninggalkan Brindavan……….

Raja Parikesit tertegun. Dan, dari matanya menetes butiran-butiran air mata keharuan, dia
langsung meletakkan kepalanya di tanah dan air matanya deras mengalir membasahi tanah. Sang
raja bersyukur telah mendengarkan kisah yang menyentuh kalbu dari Sang Guru. Dan, Resi
Sukhabrahma pun terlelap dalam pikiran tentang Tuhan…………

Dalam buku “Surah Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern”, Anand Krishna,
Gramedia Pustaka Utama, 2000 disampaikan……. Biarkan saya bicara. Biarkan saya
memberikan pandangan saya tentang apa yang Anda sebut “wahyu”. Anda tidak perlu
sependapat, tidak perlu menerimanya. Silakan menolak saya. Tetapi 50 tahun kemudian, generasi
penerus Anda, cucu dan cicit Anda akan menerima pandangan ini. Saya sedang bicara 50 tahun
sebelum waktunya, karena sudah tidak tahan lagi melihat ketololan manusia. Tolol tetapi
angkuh! Sepertinya la sudah hebat. Sepertinya ia adalah makhluk terpilih. Tidak ada yang
melebihi dia. Jika pandangan Anda tidak berubah, Tuhan yang Anda sembah, Allah yang Anda
puja, tidak dapat disebut Maha Pengasih dan Maha Penyayang lagi. Jelas-jelas la pilih kasih.
Sekarang terserah Anda, mau Anda apa? Memperluas wawasan, pandangan dan pemahaman
tentang Tuhan, atau menyatakan bahwa la tidak Maha Pengasih, la tidak Maha Penyayang. la
Mengasihi manusia di atas segala makhluknya yang lain……….

“Wahyu” adalah getaran-getaran Ilahi. Seperti siaran radio. Gelombang radio ada di mana-mana.
Siaran dari setiap setasiun dari seluruh dunia berada dalam ruangan di mana anda berada saat ini.
Bahkan, berada dalam setiap ruangan, di setiap tempat, di manapun anda pernah ada, dan akan
berada. Untuk menerima siaran-siaran itu, yang dibutuhkan adalah sebuah receiver, alat
penerima-radio. Nah, sekarang tergantung betapa canggihnya alat penerima anda. Semakin
canggih radio yang anda miliki, semakin banyak siaran yang dapat anda terima. Anehnya,
semakin pendek gelombang radio, semakin luas jangkauannya. Short wave bisa menerima siaran
dari manca-negara, tetapi FM dan AM hanya bisa menerima siaran dalam negeri……..

Sesuai dengan gambaran itu, mari kembali kepada apa yang kita sebut “wahyu”. “Wahyu”
adalah Getaran-Getaran Ilahi yang bergelombang amat sangat pendek. Semakin dalam anda
meniti diri sendiri, semakin jelas penerimaan anda. Karena itu, mereka yang sibuk mengejar ilmu
pengetahuan dari luar diri – yang “bergelombang panjang” – tidak pernah menerima wahyu.
Yang menerima siapa? Muhammad, seorang yatim piatu, seorang pedagang yang buta huruf.
Siapa lagi? Seorang Yesus, seorang Isa-anak tukang kayu! Siddhartha harus meninggalkan
istana, melepaskan segala macam atribut luaran, untuk menerimanya. Krishna adalah seorang
gembala sapi. Merekalah para penerima wahyu. Mereka ini meniti jalan ke dalam diri. Mereka
menemukannya dalam diri sendiri……

Perbedaan yang terlihat antara Al-Qur’an dan Veda, antara Dhammapada dan Zend Avesta,
antara Taurat dan Guru Granth, disebabkan oleh “alat penerima”. Apalagi dalam hal ini, setiap
“alat penerima” adalah manusia dengan berbagai budaya yang berbeda! “Alat penerima” wahyu
di Timur Tengah berbeda sedikit dari “alat penerima” di India. Begitu pula dengan “alat
penerima” di Cina, tentu saja berbeda dari “alat-alat penerima” yang lain. Setiap “alat penerima”
dipengaruhi oleh budaya setempat. Nabi Muhammad dipengaruhi oleh budaya Arab. Buddha
dipengaruhi oleh budaya India. Lao Tze dipengaruhi oleh budaya Cina. Musa dipengaruhi oleh
budaya Mesir. Getaran-Getaran Ilahi atau “wahyu” yang diterima oleh masing-masing “alat
penerima” oleh masing-masing nabi, avatar, mesias, dan buddha diterjemahkan dalam bahasa
setempat. Juga dikaitkan dengan kondisi setempat, dengan kejadian-kejadian kontemporer. Itu
sebabnya, setiap kitab suci-apakah itu Al-Qur’an, Veda, Dhammapada, Injil, Zend-Avesta,
Taurat, Zabur, Guru Granth selain mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal, juga
mengandung ayat-ayat yang bersifat sangat kontekstual…….

Vasudeva Dan Devaki, Kisah Masa Lalu Orang Tua Yang


Melahirkan Avatara
Parikesit berterima kasih kepada Resi Shuka atas kisah-kisah tentang leluhur para Pandawa. Dan,
Parikesit kemudian mohon sang resi menceritakan tentang Sri Krishna, Sang Avatara Agung dan
Balarama yang konon adalah wujud dari Ananta, Sesha yang selalu bersama Narayana. Resi
Shuka kemudian merenung tentang Vasudeva dan Devaki, orang tua Sri Krishna dan pikiran
Resi Shuka terfokus pada Narayana yang telah mengambil suatu wujud untuk membersihkan
racun yang sedang mencekik dunia. Air mata sang resi mengalir, mengingat kebesaran Narayana.
Bila sebelumnya sang resi berkisah tentang dinasti Purawa atau Korawa, keturunan Puru putra
Yayati, maka kisah tentang dinasti Yadawa, keturunan Yadu putra Yayati telah
menggetarkannya. Resi Shuka berkata, “Dia tak berwujud, dan tak dapat diserupakan dengan apa
pun juga. Akan tetapi bila Dia ingin mewujud, siapa yang dapat menolaknya? Ilmu manusia tak
dapat mencapai Dia. Manakala terjadi penurunan dharma, dan adharma merajalela, Dia
memutuskan untuk dilahirkan di dunia untuk membersihkan para raja yang mabuk kuasa. Para
raja lalim tersebut adalah para asura dalam wujud manusia.”

Di Kerajaan Mathura, Raja Kamsa merusak tatanan yang ada dengan mengurung sang
Ayahanda, bekas raja Ugrasena. Raja Kamsa berkoalisi dengan Raja Jarasandha, mertuanya
untuk menguasai dunia dengan kekuatan mereka. Di kerajaan besar Hastinapura  juga terjadi
intrik-intrik perebutan kekuasaan yang didalangi  Shakuni untuk menyingkirkan Pandu dan
menjadikan Drestarastra yang buta sebagai maharaja dan putranya sebagai putra mahkota. Di
setiap kerajaan di dunia hampir terjadi hal yang sama.

Kekacauan dunia ditandai dengan para penguasa dan para manusia yang mengandalkan pikiran
dan nafsu mereka. Tindakan mereka mengesampingkan hati nurani, membuat tindakan yang
tidak selaras dengan alam.  Ketidakselarasan dengan alam, merusak keseimbangan alam semesta
dan melukai hati Bunda Bumi. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena”,
Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007disampaikan……… Ketakselarasan dengan
alam membuat kita tidak nyaman, sakit. Ketakselarasan pula yang menyebabkan kelahiran dan
kematian. Keselarasan akan membuat kita kekal, abadi – bebas dari kelahiran dan kematian.
Keselarasan kita dengan alam adalah Rencana Allah bagi kita – Kehendak Ilahi. Ketakselarasan
kita dengan alam adalah buatan kita. Lalu, apakah kita dapat berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan Rencana Allah, dengan Kehendak Ilahi? Apakah kita dapat melakukan sesuatu yang
kemudian menjauhkan kita dari Allah? Jawabannya “Tidak”. Tetapi kenyataannya di lapangan,
fakta di depan mata berbicara yang lain. Ternyata kita memang jauh dari Allah, setidaknya
kejauhan itu “terasa”. Ternyata tindakan kita memang tidak selaras dengan alam. Apa yang
terjadi? Apa yang membuat kita merasa jauh? Apa yang menjadi penyebab ketakselarasan kita
dengan alam? Keterikatan pada materi menimbulkan keinginan dan ketakselarasan dengan alam.
Kemudian berbagai macam masalah pun muncul………

Raja Parikesit berterima kasih ketika Resi Shuka mulai menceritakan tentang  Purnaavatara Sri
Krishna. “Guru, sejak kecil kami sangat terkesan oleh Sri Krishna. Sejak dalam kandungan
hamba telah diselamatkan oleh Sri Krishna yang melindungi kami dari senjata Bramastra dari
Asvatama yang ingin memusnahkan seluruh keturunan Pandawa. Kami lah satu-satunya
keturunan pandawa yang masih tersisa setelah semua saudara-saudara hamba dibunuh oleh
Aswatama. Sejak kecil hamba selalu mencari Sri Krishna, mata hamba memperhatikan semua
orang yang baru kami kenal. Kami selalu mengadakan pariksha, meneliti, sehingga kami diberi
nama Parikhsit……. Wahai Guru selama peperangan Bharatayuda di Kurukshetra, Sri Krishna
adalah rakit yang membawa nenek moyang kami menyeberangi sungai. Sungai yang mempunyai
tepian Bhisma dan Drona pada kedua sisinya. Sungai tersebut terdiri dari pasukan yang tak
terukur dipimpin oleh Jayadhrata. Karna adalah ombak perkasa yang mencoba menenggelamkan
Pandawa. Salya adalah ikan hiu yang bersembunyi di dalam sungai ditemani Asvatama dan
Vikarna. Duryudana adalah pusaran air yang menghisap segala yang berada di atas permukaan
sungai. Sungai seperti itulah yang diseberangi Pandawa sebab pelindungnya adalah Sri Krisna.”

Resi Shuka berkata, “Baiklah wahai raja, pada suatu ketika Bunda Bumi terbebani oleh terlalu
banyaknya orang yang bertindak penuh kebodohan sehingga adharma merajalela. Bunda Bumi
tidak bisa lagi menahan rasa sakit dan segera mewujud sebagai induk sapi dan pergi kepada
Brahma, melaporkan bahwa para raja dan ksatriya telah mengotori bumi dan hanya Narayana
yang dapat menolongnya. Brahma, Shiwa bersama para dewa memusatkan kesadaran pada
Narayana. Dan mereka seakan-akan mendengar sabda Narayana…….. Panas memang sedang
membakar bumi. Aku memutuskan untuk mengambil nama dan rupa. Aku akan ada di bumi
sampai gangguan terselesaikan. Selama waktu itu, aku ingin kalian para dewa untuk lahir juga di
muka bumi. Aku akan dilahirkan sebagai putra Vasudewa dan Devaki. Sedangkan Adhisesa yang
tak dapat dipisahkan denganku akan dilahirkan sebagai kakakku……… Dewi Mahamaya yang
kuasanya menenggelamkan seluruh dunia dalam ilusi juga akan dilahirkan. Semua penduduk
surga dilahirkan bersama Narayana untuk membersihkan bumi. Bunda bumi terhibur karena
dunia akan segera bebas dari rasa sakitnya.  Para ksatria yang baik akan dipandu avatara dan para
dewa untuk mengalahkan adharma. Para ksatria akan menghadapi adharma dan menegakkan
kebenaran di muka bumi, bukan mengasingkan diri dari dunia mencari ketenangan diri. Bukan
mencari ketenangan diri yang semu.”

Dalam buku “Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih
Kejayaan”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 disampaikan………. Mereka yang
mencari Kebenaran dengan memisahkan diri dari dunia barangkali belum memahami arti
Kebenaran. Kebenaran itu Maha Ada; Kebenaran itu Maha Hadir;  Kebenaran itu Maha
Meliputi…..… dan dunia ini pula berada dalam liputan-Nya, termasuk cacing-cacing di bawah
tanah dan bintang terjauh di langit sana. Mau memisahkan diri dari dunia dengan cara apa ? Mau
berpisah dari semesta dengan cara apa? Kita semua berurusan dengan dunia ini, dengan alam
semesta…..… dengan bebatuan dan pepohonan, dengan hewan-hewan berkaki empat, berkaki
dua, bahkan bersel tunggal di darat dan di dalam air, serta dengan burung-burung yang terbang di
angkasa. Siapapun dijahati, sesungguhnya aku juga dijahati. Dan, membiarkan aku dijahati,
merupakan kejahatan pula……..

Kurang lebih 3.200 tahun SM, Ahakura dari keturunan Yadu mendirikan kerajaan kecil di tepi
sungai Yamuna. Mathura adalah ibukotanya. Kerajaan Mathura meluas karena menanami hutan
yang tidak produktif dengan tanaman produktif dan membatasi lahan untuk pembangunan
sehingga kelestarian alam terjaga. Setelah Ahakura meninggal, Ugrasena bersama-sama Devaka
dua bersaudara putra Ahakura memerintah kerajaan ini. Pemimpin kerajaan  Mathura tak mau
disebut Raja tetapi Daas, Pelayan. Mathura tidak diperintah raja tetapi oleh dwitunggal Ugrasena
dan Devaka dan mereka adalah Mathura Daas. Ugrasena mempunyai putra bernama Kamsa,
sedang Devaka mempunyai putri bernama Devaki. Mereka bermain bersama, belajar bersama,
layaknya saudara kandung. Devaka akhirnya meninggal. Dan Ugrasena segera mencarikan jodoh
bagi Devaki. Dipilihlah Vasudeva yang merupakan keluarga jauh Ugrasena. Vasudeva adalah
sahabat Kamsa.

Resi Shuka melanjutkan, “Devaki adalah yang paling suci di antara wanita. Dalam kehidupan
dahulu, dia dilahirkan dalam keturunan Svayambu Manu, bernama Prsni. Pada saat tersebut,
Vasudewa bernama Sutapa. Mereka diperintahkan untuk melakukan tapa penuh pengabdian. 
Pikiran mereka terfokus pada Narayana. Walaupun suci tetapi mereka berdua masih diliputi ilusi
maya. Mereka tidak minta moksha tetapi ingin melahirkan Narayana yang mewujud sebagai
putra mereka. Mereka masih terlibat dalam kesenangan dunia dalam proses  melahirkan
Narayana. Narayana yang dilahirkan sebagai putra Prsni selanjutnya dikenal sebagai Prsnigarbha
dan menjadi terkenal karena kualitas kesuciannya. Kemudian mereka lahir lagi sebagai Kasyapa
dan Aditi, dan lahirlah putra mereka sebagai Upendra yang terkenal dengan nama Vamana. Sang
penakluk Bali. Ini adalah waktu yang ketiga mereka melahirkan Narayana sebagai Sri Krishna.
Pada saatnya nanti, Sri Krishna akan berkata pada sang bunda, “Jika bunda tidak melihat bentuk
sejatiku, maka bunda akan terlibat lagi dalam maya dan tidak dapat mencapai moksha. Setelah
melihat wujud sejatiku, bunda akan menyadari bahwa aku adalah Brahman. Dan, setelah
kelahiran ini bunda akan moksha……… Demikian wahai raja, awal kisah tentang Devaki dan
Vasudewa.”

Peristiwa adharma yang merajalela selalu berulang, dan akhirnya selalu saja dharma akan
mengungguli adharama. Dalam buku “Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa
Takut dan Meraih Kejayaan”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005
disampaikan………. Bila telah terlihat tanda-tanda seperti: Pertama, kereta tanpa kuda
pancaindra merajalela, dan hidup dikuasai oleh kesadaran rendah. Kedua, berkalung besi kita
terbelenggu karena ulah sendiri, dan terlilit utang karena keserakahan dan ketakmampuan kita
untuk mengendalikan diri. Ketiga, perahu mengarungi di angkasa segala sesuai telah kehilangan
ciri kodratinya. Keempat, sungai kehilangan lubuk, air kehidupan sudah mengering, raga
berkeliaran tanpa roh, penampilan lebih dipentingkan daripada isi; gengsi lebih diutamakan
daripada jati diri. Kelima, pasar kehilangan keramaiannya masyarakat kehilangan dinamikanya
karena kita tak berani menyuarakan kebenaran, selalu takut dan tidak hidup sepenuhnya….. 
Maka ketahuilah bahwa tiba saatnya untuk melampaui rasa takut sebelum ia berhasil
mematahkan semangat kita. Dan saat itu bukanlah di masa depan, atau nanti. Saat itu adalah saat
ini. Here and now, lampaui rasa takut, dan raihlah kemenangan!………
“Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan”, Anand
Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 disampaikan………. Iku tandhane yen wong bakal
nemoni wolak-waliking jaman. Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik. Bolak
balik, upside down…..… Yang kaya menjadi rakus, padahal sudah kaya. Mau apa lagi sih? Yang
miskin malas, padahal sudah melarat. Kenapa tidak bekerja? Kenapa tidak menerima pekerjaan
apa saja, asal tidak perlu menggadaikan jiwamu, daripada menganggur? Bolak-balik, upside
down…..… Para ulama mengajar takhta. Rohaniwan lebih suka main sinetron dan menjadi
penyanyi. Dan, para penyanyi serta pemain sinetron malah berdakwah. Bolak-balik, upside
down…….. Pengusaha menjadi politisi. Sebaliknya, para politisi berdagang. Wakil rakyat dan
pejabat penerima mandat minta dilayani. Rakyat pemberi mandat terpaksa melayani. Bolak-
balik, upside down…..… Kelompok Mayoritas merasa terancam, padahal sudah Mayoritas.
Kelompok minoritas tidak tahu diri dan sering berperilaku tidak tepat. Zaman tidak membuat
orang, orang membuat zaman. Zaman adalah ciptaan kita sendiri, diracik oleh pikiran dan
dikukuhkan oleh perilaku kita sendiri. Janganlah kau menyalahkan zaman. Zaman berbolak-balik
pun karena ulah kita sendiri………..

“Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan”, Anand
Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 juga disampaikan………. Jangka Jayabaya, bagi saya,
bukanlah ramalan yang dibuat di masa lalu tentang masa depan kita, melainkan “Tuntutan waktu
supaya kita hidup dalam kekinian, hidup dengan penuh semangat, berkarya tanpa rasa takut” dan
“kemenangan bagi para satria yang telah menaklukan rasa takut”……… kemenangan bagi kita
semua yang berjiwa satria!. Apa yang kau takuti, wahai satria? Masa lalu yang penuh kekacauan
berlalu sudah. Entah “berapa” masa lalu seperti itu yang telah kau lewati. Jiwamu tak
terpengaruhi oleh kekacauan itu. Kau berada diatas segala kekacauan. Bangkitlah dalam
kesadaranmu, bangkitlah untuk berkarya bagi Ibu Pertiwi dengan penuh semangat. Bangkitlah
untuk mempersembahkan jiwa dan ragamu kepadanya………..

Bapak Anand Krishna mengambil jalur yang jarang ditempuh oleh penafsir Jangka Jayabaya.
Alih-alih menantikan seorang tokoh hebat yang akan memimpin kita, beliau melihat Jayabaya
bicara mengenai kerinduan akan penemuan jatidiri setiap manusia Indonesia. Jangka jayabaya
adalah ajakan untuk mentransformasi diri, mengalahkan ketakutan. Lebih dari sekedar ramalan,
naskah kuno ini memaparkan tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, dengan penuh
semangat, dan berkarya tanpa rasa takut. Karena itu, tak perlu menantikan Herumukti, sebab dia
itu adalah Anda! Sambut kelahirannya dalam diri Anda!

Demikian beberapa pandangan Bapak Anand Krishna yang memberi semangat untuk
memberdayakan diri. sayang beberapa kelompok tidak menyukai pandangan beliau dan berupaya
untuk mendiskreditkan namanya. Silakan lihat…….

http://www.freeanandkrishna.com/in/

kematian krisna
Santiparwa
  Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para
kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah
menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah
tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti
dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena
kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘
Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan
meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja
anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak
terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak
dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari
berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa
mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku


mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya
anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah


itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam
kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya

Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab
MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka
dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna
memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya,
Raja Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman
Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang
mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan
akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan
bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni,
Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum
minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa
pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka
mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan
diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka.
Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang
Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan
memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan
dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang
dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba,
keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan,
melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam
perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai
menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga
menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan
serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang
orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke
pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun
memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar
dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh
nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu
menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan
besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara
Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni,
Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan
mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka
dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak
sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria
macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para
putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur.
Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk
tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki.
Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak
bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil


pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu,
para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang,
kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa
tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain,
dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang
tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah
menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan
Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau
lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat
untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna
memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran
mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan
mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan
kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para
Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan
mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di


Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa
kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu
menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun
ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang
mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka
sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar
mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan
kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri.
Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota
para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan
Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup
sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa
Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.

Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan
kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia
melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama
Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk
bertemu dengannya.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang
menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan
meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut
oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah
pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’.
Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra.
Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.

Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan,
melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia
memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala
yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat
mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk
menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan
Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian
meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau
tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di
pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara
hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan
Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih
bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk
Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa
dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di
dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para
Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk
menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.

Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan
beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.

Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa
kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok.
Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia
sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil
diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa
dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi
Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan
perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:

 Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan
gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu
yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
 Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung
musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu
santainya berburu?
 Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada
dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa
Yadawa tersebut.
 Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada
pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah
metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]

Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:

 Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan
Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna
hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang
tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
 Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara
dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa
yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka.

Anda mungkin juga menyukai