Anda di halaman 1dari 12

Tugas

Teknologi Pra Perlakuan Bahan Lignoselulosa

PRETREATMENT BIOMASSA LIGNOSELULOSA UNTUK


PRODUKSI BIOETANOL

Oleh:
Syaiful Amri

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEHUTANAN


TEKNOLOGI HASIL HUTAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018

1
PENDAHULUAN
Krisis ketersediaan bahan bakar minyak (fosil) selalu menjadi ancaman baik
disebabkan oleh cadangan yang semakin sedikit, konflik militer-politik-perdagangan
terkait perebutan sumberdaya minyak yang mengkibatkan kenaikan harga dan perang,
serta dampak pemakaian minyak bumi terhadap perubahan iklim global. Terjadi
interaksi berbagai faktor yang menyebabkan situasi krisis ditunjukkan adanya kenaikan
konsumsi bahan bakar minyak, dan terjadinya krisis politik, sehingga kecenderungan
kenaikan harga minyak tak terelakkan (Sanchez dan Cardona, 2008).
Untuk mengatasi krisis bahan bakar minyak bumi diperlukan upaya khusus agar
dapat mensubtitusinya melalui berbagai sumber terutama dari bahan baku terbarukan
dan ramah lingkungan. Menurut Cardona dan Sanchez (2008), etanol merupakan bahan
bakar terbarukan yang diharapkan dapat menekan dampak negatif pada lingkungan
akibat pemakaian dari bahan bakar fosil. Bioetanol adalah alkohol hasil aktivitas
fermentasi jenis karbohidrat seperti gula, pati dan lignoselulosa oleh mikrobia.
Penggunaan mikroba sebagai penghasil enzim diharapkan mampu menghasilkan
teknologi yang ramah lingkungan, efektif dan efisien (Walker, 2010). Substitusi
premium dengan bioetanol sebagai bahan bakar transportasi secara tidak langsung akan
mengurangi emisi karbondioksida. Hal ini dimungkinkan karena meningkatnya produksi
bioetanol akan mendorong penanaman tanaman sehingga emisi karbondioksida yang
dihasilkan akan terfiksasi melalui proses fotosintesis dari tanaman penghasil biomassa
(Millan, 1997). Menurut Periyasami et al., (2009), pembakaran bioetanol menghasilkan
emisi senyawa organik volatil yang relatif sedikit, karbon monooksida dan nitrogen
oksida. Peluang keracunan dari bioetanol jauh lebih rendah dibanding bahan bakar fosil.
Tanaman merupakan pemanen energi surya yang dapat dikonversi menjadi
pangan, pakan, maupun bentuk energi lain khususnya bahan bakar nabati. Bahan bakar
nabati merupakan bentuk energi terbarukan, yang umumnya dikelompokkan menjadi
dua yaitu sebagai subtitusi bensin dan minyak diesel. Menurut Walter dan Ensinas
(2010) dan Patrascu et al., (2009), bahan baku untuk produksi bioetanol secara biologis
dapat dikelompokkan menjadi :

2
1) Gula. Konversi gula menjadi etanol dilakukan melalui fermentasi langsung.
Proses ini terjadi pada produksi etanol dari tebu, bit, sorgum manis, atau berasal dari
limbah pemurnian gula seperti molase. 2) Pati. Konversi pati menjadi etanol dilakukan
melalui hidrolisa pati untuk membentuk gula. Proses ini terjadi pada produksi etanol dari
jagung, gandum, singkong, yang dimulai dari hidrolisa gula terfermentasi. 3) Selulosa.
Konversi selulosa menjadi etanol dikenal sebagai proses produksi generasi ke dua, yang
dilakukan dengan cara konversi bagas atau bahan berkayu menjadi gula dengan
penambahan asam atau hidrolisis enzimatik.

Bioetanol
Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan
tumbuhan) disamping Biodiesel. Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi
glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Bioetanol merupakan bahan
bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium. Untuk
pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin
dan bioetanol.
Bioetanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi
bensin, namun juga mampu menurunkan emisi CO2. Dalam hal prestasi mobil, bioetanol
dan gasohol (kombinasi bioetanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin. Pada dasarnya
pembakaran bioetanol tidak menciptakan CO2 netto ke lingkungan karena zat yang sama
diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sabagai bahan baku bioetanol. Bioetanol bisa
didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, gandum, singkong, padi, lobak, gandum
hitam.
Supply sebagai pencampur minyak fosil beberapa tahun belakangan ini
menandakan dimulainya bahan bakar hijau (green transport fuels). Produk minyak yang
sangat ramah lingkungan ini lebih populer disebut dengan gasohol. Gasohol diharapkan
mampu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan meningkatkan kesejahteraan
jutaan petani yang menanam tanaman untuk bahan baku etanol.
Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak
berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan

3
sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman
beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah obat rekreasi yang paling tua. Etanol
termasuk dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris
C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat
menjadi EtOH, dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C 2H5). Etanol yang
bersumber dari bahan alam yang bersifat terbarukan dapat disebut dengan bio-etanol.
Adapun skema untuk pengolahan bioetanol menggunakan bahan biomassa lignoselulosa
dapat dilihat pada gambar 1.

biomassa
lignoselulosa

pretreatment

hidrolisis
fermentasi
destilasi

bioetanol

Gambar 1. Skema pembuatan bioetanol dari bahan biomassa lignoselulosa

Kendala Hidrolisis Holoselulosa


Biomassa lignoselulosa terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa sering juga disebut dengan
holoselulosa. Holoselulosa adalah polimer gula. Bagian lignoselulosa yang bisa
difermentasi menjadi bioetanol hanya holoselulosa setelah dihidrolisis menjadi
monomer gula penyusunnya. Lignin adalah polimer dari gugus aromatik dan bukan
merupakan polimer gula. Lignin dan monomernya tidak bisa difermentasi menjadi
bioetanol.
Hidrolisis holoselulosa menjadi gula monomernya adalah langkah awal dalam
proses produksi bioetanol. Permasalahanya adalah menghidrolisis holoselulosa di dalam

4
lignoselulosa tidak selalu mudah. Kecernaan (digestibilitas) biomassa lignoselulosa asli
adalah sangat rendah. Sebagai contoh, hasil hidrolisis enzymatik tandan kosong kelapa
sawit (TKKS) hanya <4% dari kandungan selulosanya (Isroi 2013). Artinya dari satu kg
TKKS yang mengandung 39% selulosa hanya diperoleh gula sebanyak 15.6 gr saja. Jika
hasil gula ini difermentasi menjadi etanol, maka hanya diperoleh etanol sebanyak 8 gr.
Hasil ini sangat-sangat tidak menarik secara ekonomi.
Padahal potensi biomassa lignoselulosa sangatlah besar. Sebagai contoh untuk
TKKS; kandungan 39% selulosa dalam TKKS bisa menghasilkan 19.89% bioetanol.
Sedangkan kandungan 23% hemiselulosa bisa dihasilkan bioetanol sebesar 18.17%. Jadi
jika dijumlahkan akan bisa dihasilkan sebanyak 38.06%. Ini artinya dari setiap 1 kg bisa
diperoleh 380,06 g bioetanol. Jumlah ini sangat banyak, apalagi jika dikalikan dengan
volume TKKS yang tersedia.
Faktor-faktor yang menghambat hidrolisis biomassa lignoselulosa juga disebut
sebagai ‘Biomass Recalcitrance’ (Himmel 2008). Sulitnya holoselulosa dihidrolisis
menjadi gula monomernya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah komposisi dan
struktur lignoselulosa. Selulosa dilindungi oleh hemiselulosa dan lignin (Gambar 1). Jika
diibaratkan sebuah kabel, selulosa adalah bagian dari serabut elemen kabel. Serabut
elemen ini dilindungi secara kuat oleh selaput pelindung, yaitu hemiselulosa, dan
dilindungi lagi oleh lapisan lignin. Hemilselulosa merupakan polimer gula yang relatif
lebih mudah dihirolisis daripada selulosa. Sedangkan, lignin adalah senyawa komplek
yang sangat sulit untuk dipecah, baik secara kimia, fisika maupun biologi. Lignin
tersusun dari unit phenylptopan dan terdiri dari tiga unit yaitu: unit guaiacyl (G),
syringyl (S), dan p-hydroxyphenyl-alcohol (P). Semakin banyak kandungan lignin dan
hemiselulosa di dalam biomassa akan semakin menyulitkan selulosa untuk dihidrolisis.

5
Gambar 2. Gambar skematik struktur biomassa lignoselulosa (Isroi et al. 2011).
Kendala berikutnya adalah suprastruktur dari selulosa. Selulosa merupakan polimer
glukosa yang tidak bercabang. Banyaknya monomer glukosa yang mementuk rantai
selulosa disebut dengan derajat polimerisasi yang berkisar antara beberapa ribu hingga
puluhan ribu. Sebagai contoh, polimer selulosa kayu memiliki derajat polimerisasi
kurang lebih 1500, sedangkan katun memiliki derajat polimerisasi hingga 15000.
Semakin tinggi derajat polimerisasi selulosa akan semakin sulit selulosa tersebut
dihirolisis (Alvira et al.,2010).
Beberapa rantai selulosa akan saling berikatan melalui ikatan hidrogen menjadi
untaian serabut yang disebut dengan mikrofibril. Beberapa mikrofibril akan bergabung
dan saling berikatan menjadi satu membentuk makrofibril. Ikatan antara rantai selulosa
membentuk bagian yang disebut dengan area kristalin. Selulosa di area ini sangat kuat
ikatannya dan sulit untuk dihidrolisis. Perbandingan antara area kristalin dan area yang
amorf disebut derajat kristalisasi selulosa. Semakin tinggi derajat kristalisasi selulosa,
semakin sulit selulsosa tersebut dihidrolisis (Al-Zuhair 2008).
Beberapa biomassa lignoselulosa memiliki struktur khusus yang melindungi dari
proses degradasi dan dekomposisi. TKKS memiliki struktur yang disebut dengan silica
bodies (Law et al., 2007). Silica bodies (tubuh silika) ini berbentuk seperti bola bergerigi
yang mengelilingi serabut TKKS (Gambar 2).Tubuh silika ini ibaratnya paku-paku kecil
yang menancap kuat di sekeliling permukaan serabut TKKS. Faktor –faktor lain yang
menghambat hidrolisis selulosa antara lain adalah luas permukaan, ukuran partikel,
volume pori-pori, dan beberapa kelompok asetil yang terikat pada selulosa (Anderson
and Akin 2008).

6
Gambar 3. Tubuh silika (silica bodies) yang menyelubungi permukaan serabut TKKS (Isroi
2013).
 
Pretreatment Biomassa Lignoselulosa
Biomassa lignoselulosa memerlukan perlakuan awal (pretreatment) sebelum bisa
dihidrolisis menjadi gula dan difermentasi menjadi bioetanol. Pretreatment ini bertujuan
untuk memecah pelindung lignin, merubah struktur lignoselulosa, dan membuat selulosa
dan/atau hemiselulosa menjadi lebih mudah dihirolisis (Mosier et al. 2005). Perhatikan
pada Gambar 3 di bawah ini. Setelah pretreatment struktur lignin dan hemiselulosa akan
pecah. Bagian kristalin selulosa akan merenggang dan menjadi berkurang
kristalinitasnya.

Gambar 3. Efek pretreatment terhadap stuktur biomassa lignoselulosa (Mosier et al. 2005)

7
Pretreatment bisa dilakukan dengan metode fisika, kimia, biologi, atau pun
kombinasi dari metode-metode itu. Berbagai macam metode dan teknik pretreatment
telah dicoba pada biomassa yang berbeda-beda. Hasilnya bervariasi untuk setiap metode
maupun jenis biomassa lignoselulosa. Setiap metode pretreatment juga memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Beberapa metode pretreatment yang telah
dilaporkan dalam literature diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa metode pretreatment biomassa lignoselulosa
Perubahan pada
Prinsip Proses/Metode Referensi
biomassa
Milling:
 ball milling
 two-rol milling (Taherzadeh &
 hammer milling  mengurangi Karimi, 2007)
 colloid milling ukuran (Sun & Cheng, 2002)
 vibrotory ball milling partikel (Zhu, et al.,, 2005)
Irradiation:  meningkatkan (Thomsen et al.,
Pretreatment  gamma-ray luas 2008)
mekanik atau  electron beam permukaan (Ahring et al.,, 1996)
fisik      microwave yang kontak (Hendriks & Zeeman,
Lainnya: dengan enzim 2009)
 hydrothermal  mengurangi (Eggeman & Elander,
 uap bertekanan tinggi kristalisasi 2005)
 expansi selulosa (Ohgren et al.,, 2006)
 extrusi (Kabel et al.,, 2007)
 pirolisis
 air panas
Pretreatment kimia Explosion:  meningkatkan (Sun & Cheng, 2002)
dan fisiko-kimia  eksplosi uap panas area (Taherzadeh &
 ammonia fiber explotion pemukaan Karimi, 2008)
(AFEX) yang mudah (Eggeman & Elander,
 eksplosi CO2 diakses 2005)
 eksplosi SO2  delignifikasi (Eklund et al., 1995)
Alkali: sebagian atau (Negro et al., 2003)
 sodium hidroksida hampir (Bower et al., 2008)
 ammonia keseluruhan (Cara et al., 2008)
 ammonium sulfat  menurunkan (Kim & Hong, 2001)
 ammonia recycle kristalisasi (Mosier, et al., 2005)
percolation (ARP) selulosa (Saha & Cotta, 2008)
 kapur (lime)  menurunkan (Shimizu et al., 1998)
Asam: derajat (Sun & Chen, 2008)
 asam sulfat polimerisasi (Sun & Chen, 2008b)

8
 asam fosfat
 asam hidroklorat
 asam parasetat
Gas:
 Clorin dioksida (Sun & Cheng, 2005)
 Nitrogen dioksida (Zhang et al., 2008)
 Sulfur dioksida (Kim & Lee, 2002)
 hidrolisis
Agen Oksidasi: (Zhao et al., 2008)
hemiselulosa
 Hidrogen peroksida (Lloyd & Wayman,
sebagian atau
 oksidasi basah 2005)
keseluruhan
 Ozone (Ahring et al., 1996)
Pelarut untuk ekstraksi lignin: (Silverstein et al.,
 ekstrasi etanol-air 2007)
 ekstrasi benzene-air
 ekstraksi etilen glikol
 ekstraksi butanol-air
 agen pemekar (swelling)
(Taniguchi et al.,
2005)
 Jamur Pelapuk Putih
Biologi   (Shi et al., 2008)
 Aktinomicetes
(Keller et al., 2003)
(Kirk & Chang, 1981)
 
 
Target Pretreatment Bioassa Lignoselulosa
Pretreatment merupakan tahapan yang banyak memakan biaya dan berpengaruh
besar terhadap biaya keseluruhan proses (Chen and Qiu 2010). Sebagai contoh,
pretreatment yang berhasil dapat mengurangi jumlah enzyme yang diperlukan dalam
proses hidrolisis. Biomassa lignoselulosa memiliki karaktaristik yang berbeda-beda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi digestibilitas juga berbeda-beda untuk setiap
biomassa lignoselulosa. Tidak ada satu metode pretreatment yang sesuai untuk semua
biomassa. Demikian pula metode pretreatment yang berhasil diterapkan untuk satu
biomassa belum tentu berhasil diterapkan pada biomassa yang lain. Pencarian metode
pretreatment yang tepat dan ekonomis untuk jenis biomassa tertentu sangat diperlukan.
Target pretreatment biomassa lignoselulosa adalah meningkatkan digestibilitas
holoselulosa setinggi-tingginya. Patokannya adalah potensi gula masimal yang bisa
dihasilkan oleh biomassa lignoselulosa. Sebagai contoh, potensi glukosa yang bisa

9
dihasilkan oleh TKKS adalah sebanyak 39% x 0.51 = 43.29%. Digestibilitas dinyatakan
dalam persen (%) dan dihitung dari banyaknya gula yang dihasilkan dibagi dengan gula
total dalam biomassa dan dikalikan dengan 100%. Semakin tinggi nilai digestibilitas
artinya semakin banyak gula yang bisa dihasilkan. Digestibilitas tidak mungkin bisa
mencapai 100%. Menurut saya, pretreatment yang bisa menghasilkan digestibilitas
>85% sudah cukup baik.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan metode pretreatment
adalah faktor ekonomis dari teknologi tersebut. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan
pretreatment + kebutuhan biaya hingga dihasilkan produk harus lebih rendah daripada
nilai jual produk tersebut. Nilai jual ini bisa sangat relatif, tergantung pada kondisi
perekonomian pada saat itu. Teknologi yang pada saat ini belum ekonomis,
kemungkinan akan menjadi ekonomis pada masa-masa yang akan datang.
Teknologi pretreatment yang dikembangkan juga harus relatif mudah dan bisa
dilakukan dalam skala yang besar. Banyak metode pretreatment yang telah dilaporkan di
jurnal-jurnal ilmiah. Sebagian besar, metode tersebut baru dilaksanakan pada skala
laboratorium. Peningkatan skala pretreatment ke skala yang lebih besar membutuhkan
penelitian yang lebih cermat dan belum tentu akan sama hasilnya dengan skala kecil.
Problem-problem yang belum muncul pada skala laboratorium akan muncul pada saat
scaling-up. Kemudahan sebuah metode pretreatment dilakukan dalam skala yang besar
merupakan salah satu target dari pengembangan metode pretreatment biomassa
lignoselulosa.
Salah satu alasan pemanfaatan biomassa lignoselulosa adalah biomassa
lignoselulosa dianggap lebih ramah lingkungan dan re-newable. Metode pretreatment
yang dikembangkan sebaiknya juga ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah
yang berbahaya bagi lingkungan.
 

10
Penutup
Indonesia memiliki potensi biomassa lignoselulosa yang sangat besar. Apabila
potensi besar ini bisa diwujudkan menjadi produk bioetanol akan mencukupi sebagian
kebutuhan energi bangsa Indonesia. Salah satu kunci untuk mewujudkannya adalah
pengembangan teknologi pretreatment yang sesuai dengan jenis biomassa lignoselulosa
di Indonesia. Jika pengembangan ini berhasil, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia
akan mandiri dan berdaulat di bidang energy, karena tidak tergantung pada sumber
energy dari bahan bakar minyak (BBM). 

Daftar Pustaka
Al-Zuhair S. 2008. The effect of crystallinity of cellulose on the rate of reducing sugars
production by heterogeneous enzymatic hydrolysis. Bioresource Technology
99: 4078-4085.
Alvira P, Tomás-Pejó E, Ballesteros M, Negro MJ. 2010. Pretreatment technologies for
an efficient bioethanol production process based on enzymatic hydrolysis: A
review. Bioresour Technol 101: 4851-4861.
Anderson WF, Akin DE. 2008. Structural and chemical properties of grass
lignocelluloses related to conversion for biofuels. J Ind Microbiol Biotechnol
35: 355–366.
Cardona, C.A. and O.J. Sanchez. 2007. Fuel ethanol production : process design trends
and integration opportunities. Bioresource Technology 98: 2415-2457.
Chen H, Qiu W. 2010. Key technologies for bioethanol production from lignocellulose.
Biotechnology Advances 28: 556-562.
Fessenden, J, S & Fessenden, R, J. 1994. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid I. Erlangga ;
Jakarta.Himmel ME. 2008. Biomass Recalcitrance: Deconstructing the Plant
Cell Wall for Bioenergy. Edition 1.: Wiley, John & Sons, Incorporated.
Isroi. 2013. Peningkatan Digestibilitas dan Perubahan Struktur Tandan Kosong Kelapa
Sawit oleh Pleurotus floridanus dengan Penambahan Mn dan Cu. Dissertation.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Isroi, Millati R, Syamsiah S, Niklasson C, Cahyanto MN, Lundquist K, Taherzadeh MJ.
2011. Biological pretreatment of lignocelluloses with white-rot fungi and its
applications: A review. BioResources 6: 5224-5259.

11
Law KN, Daud WRW, Ghazali A. 2007. Morphological and chemical nature of fiber
strands of oil palm empty-fruit-bunch (OPEFB). BioResources 2: 351-362.
Millan, J.D. 1997. Bioetanol production: status dan prospects. Renewable Eng. 10: 295 –
302.Mosier N, Wyman C, Dale B, Elander R, Lee YY, Holtzapple M, Ladisch
M. 2005. Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic
biomass. Bioresour Technol 96: 673-686.
Periyasamy, S., S. Venkatachalam., S. Ramasamy., V. Srinivasan. 2009. Production of
Bio-ethanol from Sugar Molasses. Modern Applied Science. 3 (8)
http://www.ccsenet.org/journal.html.
Sanchez, O.J. and C.A Cardona. 2008. Trend in Biotechnologycal Production of Fuel
Ethanol from Different Feedstocks. Bioresource Technology 99: 5270-5295.
Taherzadeh, MJ; Karimi, K. Acid-based hydrolysis processes for ethanol from
lignocellulosic materials: A review. BioResources 2007, 2, 472–499
Walker, G.M. 2010. Bioethanol: Science and Technology of Fuel Alcohol. Graeme M.
Walker & Ventus Publishing ApS. 8-10 pp.
Walter, A. and A.V. Ensinas. 2010. Combined Production of Second-generation
Biofuels And Electricity From Sugarcane Residues. Journal of Energy 35: 874 -
879.

12

Anda mungkin juga menyukai