Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN PENGADAAN OBAT ARV

HIV/AIDS telah menjadi momok yang menakutkan bagi dunia. Di Indonesia,


jumlah kasus HIV/AIDS terus meningkat. Saat ini di Indonesia diperkirakan
terdapat 170.000-210.000 penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Penyakit ini
hingga kini belum ditemukan obatnya. Obat yang tersedia sekarang, Obat Anti
Retroviral (ARV), tidak dapat menyembuhkan tapi hanya mengurangi jumlah virus
HIV dalam tubuh penderita. Meskipun demikian, Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) masih sangat bergantung pada ARV ini.
Akhir-akhir ini beberapa media mengangkat berita tentang kelangkaan stok
obat HIV/AIDS (ARV) yang diduga mengakibatkan penggunaan obat yang telah
habis masa kadaluarsanya. Sekelompok orang bahkan berunjuk rasa untuk
menyampaikan kondisi yang terjadi di lapangan, bahwa ODHA di beberapa daerah
mendapat obat ARV kadaluarsa. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi beberapa
faktor, tidak hanya dalam hal distribusi, namun juga proses pengadaan dan
penganggarannya yang melibatkan beberapa pihak.
Pengadaan obat ARV masih dipusatkan di Kementerian Kesehatan dan sampai
saat ini disubsidi penuh oleh pemerintah. Distribusinya juga masih dipusatkan dan
dikirimkan langsung ke layanan yang membutuhkan sesuai dengan permintaan
layanan. Pemusatan ini dilakukan untuk memudahkan pemantauaan penggunaan
dan ketersediaan obat di layanan, mengingat karakteristik penyakit dan konsumsi
obat ARV yang spesifik, dimana obat harus dikonsumsi tepat waktu dan seumur
hidup.
Anggaran untuk pengadaan ARV telah dialokasikan dalam APBN dan dana
bantuan dari Global Fund for AIDS, TB and Malaria (GF-ATM) Komponen AIDS.
Anggaran dengan dana APBN tiap tahun semakin meningkat. Tahun 2011,
perbandingannya dengan dana GF-ATM sebesar 70:30. Diharapkan tahun depan
semakin besar lagi dan pada akhirnya kebutuhan ARV dapat dipenuhi seluruhnya
dengan dana APBN.
Proses pengadaan dengan dana APBN dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE), sedangkan anggaran dengan dana GF-ATM melalui prosedur
Voluntary Pooled Procurement (VPP), dimana Kemkes mengajukan kebutuhan ke
central procurement GF-ATM, kemudian mereka akan membeli langsung ke
pabrik obat. Dengan cara ini didapatkan obat bermutu dengan harga paling murah
(memutus mata rantai dagang). Dalam spesifikasi pengadaan obat ARV, selalu
disebutkan bahwa masa kadaluarsa obat minimal 18 bulan sejak obat tersebut
diterima oleh panitia penerimaan barang.

Untuk memudahkan pengawasan dan pelaporan distribusi obat, maka telah


ditetapkan alur distribusi pelaporan dan permintaan obat sebagai berikut : Setiap
bulan RS membuat laporan pemakaian obat dan permintaan obat dengan
menggunakan form laporan bulanan. Jumlah obat yang diminta adalah kebutuhan
untuk 1 bulan dan 2 bulan stok cadangan dengan mempertimbangkan stok akhir.
Sehingga di RS harus tersedia persediaan obat selama 3 bulan. Laporan ditujukan
ke Subdit AIDS & PMS Ditjen PP-PL, tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi. Di
Subdit AIDS & PMS, permintaan tersebut akan direspon dengan melakukan
verifikasi perhitungan obat dan pembuatan Purchase Order (PO) ke Kimia Farma
untuk mengirimkan obat yang diminta ke layanan. Proses ini akan memakan waktu
maksimal 10 hari.

Obat ARV yang tersedia di Indonesia saat ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu :

Lini Pertama. Jenis ini dikonsumsi oleh ODHA yang sudah memenuhi syarat
minum ARV.
Jenis obatnya terdiri dari : zidovudin (AZT) 100mg lamivudin (3TC) 150mg
stavudin (d4T) 30mg efavirens (EFV) 200mg dan 600mg nevirapine (NVP) 200mg
zidovudin (AZT) 100mg + lamivudin (3TC) 150mg stavudin (d4T) 30mg +
lamivudin (3TC) 150mg

Lini Kedua. Jenis ini dikonsumsi oleh ODHA yang sudah resisten dengan ARV
lini pertama. Jenis obatnya terdiri dari : Tenofovir (TDF) 300mg
Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200/50mg Didanosine (ddI) 100mg Abacavir (ABC)
300mg Tenofovir (TDF) 300mg + Emtricitabine (FTC) 200mg
Khusus bagi pasien ODHA kelompok anak, telah disiapkan ARV Pediatric.
ARV ini baru mulai diadakan pada tahun 2008. Sebelumnya, ARV untuk anak
adalah ARV dewasa yang digerus untuk menyesuaikan dengan dosis yang
dibutuhkan. Bentuk sediaan adalah berupa tablet dispersible (mudah larut dalam
air).
Jenis obatnya terdiri dari : lamivudin (3TC) 60mg + stavudin (d4T) 12mg
lamivudin (3TC) 60mg + stavudin (d4T) 12mg + nevirapine (NVP) 100mg .

Guna memangkas waktu pengiriman, saat ini dilakukan desentralisasi


distribusi ARV pada beberapa provinsi yang dianggap mampu, dari segi SDM
maupun infrastrukturnya. Provinsi yang sudah melaksanakan adalah Jawa Timur.
Provinsi yang baru mulai adalah Bali, Papua dan Jawa Barat
Secara singkat, alur pengiriman obat pada provinsi desentralisasi adalah
sebagai berikut: Setiap bulan RS membuat laporan pemakaian obat dan permintaan
obat dengan menggunakan form laporan bulanan.
Jumlah obat yang diminta adalah kebutuhan untuk 1 bulan dan 2 bulan stok
cadangan dengan mempertimbangkan stok akhir.
Sehingga di RS harus tersedia persediaan obat selama 3 bulan.
Laporan ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi. di Dinas Kesehatan Provinsi,
permintaan tersebut akan direspon dengan melakukan verifikasi perhitungan obat
dan pembuatan PO ke Kimia Farma Provinsi untuk mengirimkan obat yang
diminta ke layanan.
Proses ini akan memakan waktu maksimal 5 hari.
Kimia Farma Provinsi setiap 3 bulan mengajukan permintaan stok obat
berdasarkan perhitungan permintaan dari layanan ke Kimia Farma Pusat. Dinas
Kesehatan Provinsi mengirimkan tembusan laporan dari layanan kesehatan ke
Subdit AIDS & PMS Ditjen PP-PL
Setelah diterimanya obat baru, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun
yang di impor melalui mekanisme diatas, Kemkes langsung mendistribusikan ARV
ke seluruh RS rujukan. Ketersediaan obat tergantung kepada laporan pemakaian
dan permintaan obat dari RS rujukan yang telah ditunjuk. Dengan adanya
mekanisme pengawasan dan pola pengadaan serta distribusi ARV tersebut
diharapkan tidak ada lagi pemberian dan penggunaan obat ARV yang telah habis
masa kadaluarsanya.
Yang juga patut ditekankan kepada masyarakat adalah obat ARV hanya
menekan jumlah HIV yang beredar di dalam darah dan tidak menyembuhkan
penyakit. Obat ARV harus diminum setiap hari dengan dosis dan waktu yang
selalu tepat dan terus dikonsumsi seumur hidup. Ketidakpatuhan dalam
mengonsumsi ARV dapat menimbulkan resistens.

Akan tetapi saat ini RSIA Harapan mulia belum dapat mengadakan penyediaan
layanan obat ARV dan sudah dikonfirmasikan dengan dinas kesehatan
kab.Tangerang dibidang P2P (program pengendalian dan pemberantasan penyakit).

Keputusan ini berlaku sejak ditetapkannya tanggal, dengan ketentuan apabila


dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan : Kab Tangerang


Pada Tanggal : 02 Agustus 2023
Direktur RSIA Harapan Mulia

dr. Nurul Hidayah, MKM


NIK. 0/23.04/00620

Anda mungkin juga menyukai