Anda di halaman 1dari 15

7 Formasi Sumatra Selatan

Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan


dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De
Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas
Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi
Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok
Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air
Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).

a. Formasi Lahat (LAF)

Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar,
yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas
menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang
terdapat dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya
berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari
tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen
Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan
litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan
yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan
vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini
mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan
“Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.

b. Formasi Talang Akar (TAF)

Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah
digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956).
Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan
batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De
Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan
stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh
dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih
(Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand”
terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar
dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir
konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara,
pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830
meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga
masih menurut Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-
seling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan
batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan
batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung
fosil-fosil Molusca,Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil, diendapkan pada
lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka
kearah cekungan. Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan
formasi ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian
utara cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).

c. Formasi Baturaja (BRF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar.
Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai tersingkap
dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan
kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar antara lain Spiroclypes spp,
Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter
dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan
Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja
Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d. Schilden, 1949; Martin,
1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956)
dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik semen
Baturaja (Van Bemelen, 1932).
d. Formasi Gumai (GUF)

Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan sedimen-
sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya dengan
Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal adalah
selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang
dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt
(1956) Formasi ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap.
Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff,
lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada formasi ini banyak
mengandungGlobigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan
bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung
Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini
adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono
(1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).

e. Formasi Air Benakat (ABF)

Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan
Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini
berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit
atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau
batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini
dijumpaiGlobigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak
dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956)
ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung
pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan,
napal, serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang
gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur
kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550
meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937), terletak diantara Air Benakat dan Air
Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat).
Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang
Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).

f. Formasi Muara Enim (MEF)

Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi ini
dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota
Coklat (Brown Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu,
batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan
batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri
atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan
batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu
terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain
batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa tumbuhan
tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956).
Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan
litoral yang berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi
tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)

g. Formasi Kasai (KAF)

Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian
bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan, kemudian
terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang
lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan
dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa
dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska
air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan
pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan
tebalnya mencapai 35 meter.

2.1 Regional Cekungan Sumatra Selatan


2.1.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan busur belakang (Back Arc Basin)
yang terbentuk akibat interaksi antara lempeng Hindia-Australia dengan lempeng mikro
sunda. Cekungan ini dibagi menjadi 4 (empat) sub cekungan yaitu:
 Sub Cekungan Jambi
 Sub Cekungan Palembang Utara
 Sub Cekungan Palembang Selatan
 Sub Cekungan Palembang Tengah
(Pulonggono, 1984). Cekungan ini terdiri dari sedimen Tersier yang terletak tidak selaras
(unconformity) di atas permukaan metamorfik dan batuan beku Pra-Tersier.

(Lokasi Cekungan Sumatra Selatan)

2.1.2 Kerangka Tektonik Regional Cekungan Sumatra Selatan

Cekungan Sumatera Selatan terletak memanjang berarah NW-SE dibagian


Selatan Pulau Sumatera. Luas cekungan ini sekitar 85.670 Km 2 dan terdiri atas dua
subcekungan, yaitu Subcekungan Jambi dan Subcekungan Palembang. Subcekungan Jambi
berarah NE-SW sedangkan Subcekungan Palembang berarah NNW-SSE, dan diantara
keduanya dipisahkan oleh sesar normal NE-SW. Cekungan Sumatera Selatan ini berbentuk
tidak simetris; di bagian Barat dibatasi oleh Pegunungan Barisan, disebelah Utara dibatasi
oleh Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas sedangkan dibagian Timur dibatasi
oleh pulau-puleu Bangka-Bliton dan disebelah Selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang luas. Perbedaan relief pada batuan
dasar disebabkan oleh pematahan batuan dasar dalam bongkah-bongkah sehingga
menghasilkan bentukan peninggian dan depresi batuan dasar. Relief yang tidak rata serta
reaktifasi dari sesar bongkah tersebut mengontrol sedimentasi dan perlipatan lapisan Tersier
yang ada pada cekungan ini.
(Kerangka Tektonik Paleogene Cekungan Sumatra Selatan (Pulonggono,1984))

2.1.3 Struktur Geologi Cekungan Sumatra Selatan


Cekungan Sumatra Selatan terbentuk sejak akhir Pra Tersier sampai awal Pra Tersier.
Orogenesa pada akhir Kapur-Eosen membagi Cekungan Sumatra Selatan menjadi 4 sub
cekungan, yaitu sub-Cekungan Palembang Tengah dan Sub-Cekungan Palembang Selatan.
Pola Struktur di Cekungan Sumatra Selatan merupakan hasil dari 4 periode Tektonik Utama
yaitu:

1.Upper Jurassic – Lower Cretaceous


Rezim tektonik yang terjadi adalah rezim tektonik kompresi, dimana intrusi,
magmatisme, dan proses metamorfosa pembentuk batuan dasar masih berlangsung. Tegasan
utama pada periode ini berarah N 0300 W ( WNW-ESE) yang mengakibatkan terbentuknya
Sesar Lematang yang berarah N0600 E.

2. Late Cretaceous – Oligocene


Fase yang berkembang pada periode ini adalah rezim tektonik regangan / tarikan
dimana tegasan utamanya berarah N-S. Struktur geologi yang terbentuk adalah sesar-sesar
normal dan pematahan bongkah batuan dasar yang menghasilkan
bentukan Horst (tinggian), Graben (depresi) dan Half Graben. Periode ini merupakan awal
terbentuknya Cekungan Sumatra Selatan dan mulainya pengendapan sedimen Formasi Lahat
dan Talang Akar.

3. Oligocene – Pliocene Basin Fill


Fase tektonik yang terjadi pada daerah ini adalah fase tenang, tidak ada pergerakan
pada dasar cekungan dan sedimen yang terendapkan lebih dulu (Formasi Lahat). Pengisian
cekungan selama fase tenang berlangsung selama awal Oligosen-Pliosen. Sedimen yang
mengisi cekungan selama fase tenang adalah Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja,
Formasi Gumai (Telisa), Formasi Lower Palembang (Air Benakat), Middle Palembang Muara
Enim) dan Upper Palembang (Kasai).

4. Pliocene -Pleistocene Orogeny


Fase Tektonik yang terjadi pada periode ini adalah fase kompresi, sesar-sesar bongkah
dasar cekungan mengalami reaktifasi yang mengakibatkan pengangkatan dan pembentukan
antiklinorium utama di Cekungan sumatra Selatan. Antiklinorium tersebut antara lain
Antiklinorium Muara enim, Antiklinorium Pendopo-Benakat, dan Antiklinorium Palembang
(De Coster 1974).
Antiklinorium Palembang Utara, merupakan antiklinorium yang besar terdiri dari beberapa
antiklin. Batuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Talang Akar dan Batuan dasar Pra-
Tersier. Sisi selatan cenderung menjadi lebih curam daripada sisi utara atau timur laut
(Pulonggono, 1984).

Antiklinorium Pendopo-Limau, terdiri dari dua antiklin paralel, yang merupakan daerah
lapangan minyak terbesar di Sumatra Selatan. Pada sisi baratdaya antiklin kemiringan lebih
curam dan dibatasi oleh sesar, dan ada bagian yang tertutup oleh batas half-graben. Formasi
tertua yang tersingkap di puncak adalah Formasi Gumai.

Antiklinorium Gumai, terdiri dari enam atau lebih antiklin kecil yang saling berhubungan,
kebanyakan jurusnya berarah Timur-Barat, sangat tidak simetri dengan keemiringan curam,
sisi sebelah utara secara lokal mengalami pembalikan (overturned). Formasi tertua yang ada
di permukaan adalah Formasi Lower Palembang atau Air Benakat. Antiklin tersebut sebagai
hasil longsoran gravitasi dari antiklin Pegunungan Gumai. Pulonggono (1984)
menggambarkan antiklinorium Gumai sebagai lapangan minyak kecil yang saling
berhubungan, dihasilkan dari Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim.

Antiklinorium Muara enim, merupakan antiklin yang besar dengan ekspresi permukaan kuat
dan dengan singkapan batuan dasar Pra-Tersier. Di dekat daerah Lahat menunjam ke arah
timur, sisi utara banyak lapisan batubara dengan kemiringan curam dan juga lebih banyak
yang tersesarkan daripada di sisi selatan. Kebalikannya di bagian barat pegunungan Gumai
dapat diamati kemiringan lebih curam di sisi selatan dan sisi utara dengan kemiringan relatif
landai.

2.1.4 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Stratigrafi daerah cekungan Sumatra Selatan secara umum dapat dikenal


satu megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi. Formasi
yang terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi
Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan
selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai),
sedangkan Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan sebelum fase transgresi utama.
Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan menurut De Coster 1974 adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Pra Tersier
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra Selatan.
Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum Mesozoikum, dan
batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa
beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-
Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan
beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum).

2. Formasi Kikim Tuff dan older Lemat atau Lahat


Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang
berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian
dari siklus sedimentasi yang berasal dari Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses
erosi dan disertai aktivitas tektonik pada akhir Kapur-awal Tersier di Cekungan Sumatera
Selatan.

3. Formasi Lemat Muda atau Lahat Muda


Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen
batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuf. Semuanya diendapkan
pada lingkungan kontinen. Sedangkan Anggota Benakat dari Formasi Lemat terbentuk pada
bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu yang berlapis
dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupsir, terdapat lapisan tipis batubara
dan batugamping (stringer), Glauconit; diendapkan pada lingkungan fresh-brackish. Formasi
Lemat secara normal dibatasi oleh bidang ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas
dan bawah formasi. Kontak antara Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang
diintepretasikan sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-Oligosen, dan
Anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga
dengandating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi, lebih dari 2500 kaki (+- 760 M). Pada
Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070 M) pada zona depresi sesar di
bagian tengah cekungan (didapat dari data seismik).

4. Formasi Talang Akar


Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini terletak di
atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau Anggota Basal Batugamping Telisa.
Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau,
batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonan, batubara dan di beberapa tempat
konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada
bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan paraconformable,
sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar dengan Telisa dan Anggota Basal
Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick
dari sumur di daerah palung disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum
sama. Ketebalan dari Formasi Talang Akar bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460-610m).
Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah dan kemungkinan
meliputi N 3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona Foraminifera plangtonik yang ada
pada sumur yang dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf

.5. Formasi Baturaja


Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-
shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.Kontak
pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra Tersier. Komposisi
dari Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan
reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-ratta 200-250 feet
(sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar
1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini
berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.

6. Formasi Telisa (Gumai)


Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke
dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai
karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping
dijumpai pada bagian bawah.
Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan sebagian berada di atas Formasi
Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi tergantung pada posisi dari cekungan, namun
variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini berkisar dari 6000 – 9000 feet ( 1800-2700 m).
Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan menggunakan
foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi terhadap contoh batuan dari
beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera planktonik yang dijumpai dapat
digolongkan ke dalam zona Globigerinoides sicanus, Globogerinotella insueta, dan bagian
bawah zona Orbulina Satiralis Globorotalia peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen
Awal-Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan Laut Terbuka, Neritik.

7. Formasi Lower Palembang (Air Benakat)


Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir
yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang
kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000 kaki
(sekitar 1000 – 1500 m ). Fauna-fauna yang dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini
antara lain Orbulina Universa d’Orbigny, Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides
Subquadratus Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg,Globorotalia Peripronda Blow
& Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &
Banner,Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen Tengah
N12-N13. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.

8. Formasi Middle Palembang (Muara Enim)


Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan
lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembnag di bagian selatan cekungan
berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebgai marker. Jumlah serta ketebalan
lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi
berkisar antara 1500 – 2500 kaki (sekitar 450-750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi
ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampaibrackist (pada bagian dasar), delta plain dan
lingkungan non marine.

9. Formasi Upper Palembang (Kasai)


Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari proses
erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir
tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat
dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.

(Stratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan (De Coaster, 1974))

Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan

Stratigrafi cekungan Sumatera Bagian Selatan menurut pembagian Shell, (1978).

Urutan stratigrafi dari yang tua ke muda adalah sebagai berikut:

1) Formasi Gumai (Tmg)

Formasi ini terdiri atas serpih, dengah sisipan batu pasir halus dan setempat napal dan

batu gamping, berlapis baik. Serpih kelabu-coklat, gampingan, mengandung karbon dan pirit.

Batu pasir, putih kekuningan, gampingan, berbutir halus, tebal 1-3 m, setempat sisipan

batu lempung. Napal terdapat di bagian atas runtunan abu-abu kehitaman, mungkin

mengandung besi dari pirit. Batu gamping, kelabu-putih, padu, terdapat pada bagian atas dari

runtunan pengendapan.

Tebal formasi ini adalah 700 m, dengan lingkungan pengendapan laut dalam (neritik)

terbuka. Kemiringan 10-35° timur laut-barat daya. Berumur Akhir Miosen Awal - Awal

Miosen Tengah.

2) Formasi Air Benakat (Tma)


Formasi ini terdiri atas perselingan antara batu lempung dan batu pasir, dengan sisipan

konglomerat gampingan, napal dan batu lanau. Ke arah bagian atas batu pasir menjadi lebih

dominan dan setempat mengandung batu bara. Batu lempung, kelabu sampai coklat, padu,

setempat, tufan, tebal perlapisan 0,15-0,75 m. Batu pasir, kelabu kehijauan, setempat tufan,

glaukonitan, berbutir sedang-kasar, terpilah baik, menyudut tanggung - membulat, berlapis

baik, tebal 1-3 m. Batu lanau, kelabu kehitaman, seringkali karbonan, dengan sisipan serpih

dan lapisan tipis batu pasir. Konglomerat, gampingan dan aneka bahan, komponen terdiri atas

batu gamping kelabu kecoklatan dan batu pasir dalam massa dasar pasiran yang kasar,

umumnya terpilah baik, tebal lapisan 0,5 m atau lebih. Napal, kelabu, agak padu. Batu pasir

ditemukan di bagian atas dari runtuhan berbutir sedang kasar, glaukonitan dan mengandung

sisa tumbuhan dan sisipan batu bara.

Tebal lapisan Formasi ini 500 meter, diendapkan di lingkungan laut dangkal, menindih

selaras Formasi Gumai. Umur Formasi ini Akhir Miosen Tengah - Awal Miosen Akhir.

3) Formasi Muara Enim (Tmpm)

Formasi ini berumur Miosen Atas, merupakan satuan batuan pembawa batu bara,

kemudian dengan mengacu pada pembagian Shell (1978), pada kondisi yang ideal lengkap

formasi ini dibagi menjadi beberapa anggota, yaitu Muara Enim 1 (M1), Muara Enim 2 (M2),

Muara Enim 3 (M3), dan Muara Enim 4 (M4), dari bawah ke atas adalah sebagai berikut:

 Anggota M1

Merupakan perulangan batu pasir, batu lanau, batu lempung dengan sisipan batu bara. Batu

pasir berwarna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, kompak,

terpilah baik, dengan fragmen kuarsa dominan. Perselingan batu lempung dan batu pasir,

berwarna abu-abu, terdapat nodul-nodul gamping, coklat terang, keras. Sedangkan batu lanau
berwarna abu-abu, kompak, umumnya berselingan dengan batu lempung. Batu bara dijumpai

dua lapisan dengan ketebalan antara 0,5 m sampai 1 m.

 Anggota M2

Merupakan satuan batuan yang terdiri atas batu lempung, batu lempung karbonan, batu pasir,

batu lanau dan batu bara. Batu lempung umumnya berwarna abu-abu gelap, masif, sering

ditemukan struktur sedimen laminasi paralel, jejak tumbuhan serta fragmen batu bara. Batu

lempung karbonan, berwarna abu-abu kecoklatan, umumnya agak lunak dan biasanya

bertindak sebagai batuan pengapit batu bara. Batu pasir berwarna abu-abu terang sampai abu-

abu kehijauan, berbutir halus sampai sedang, membulat sedang, terpilah buruk, mudah

terurai, fragmen kuarsa dominan. Batu lanau berwarna abu-abu kehijauan hingga abu-abu

kecoklatan, kompak, umumnya ditemukan struktur sedimen laminasi paralel. Batu bara yang

ditemukan pada anggota M2 ini berjumlah tiga lapisan dengan tebal antara 0,3 m sampai 6,6

m.

 Anggota M3

Merupakan satuan batuan yang terdiri atas batu pasir, batu lanau, batu lempung, dan batu

bara. Batu pasir berwarna abu-abu, berbutir halus, terpilah baik, mineral kuarsa dominan.

Batu lanau, abu-abu terang kehijauan sampai kecoklatan, kompak, struktur sedimen laminasi

paralel, mengandung jejak tumbuhan. Batu lempung berwarna abu-abu kecoklatan, kompak,

masif, banyak dijumpai jejak tumbuhan. Batu bara yang ditemukan dua lapisan dengan tebal

antara 1,0 m sampai 8,1 m.

 Anggota M4
Terdiri atas batu pasir, batu lanau, batu lempung, dan batu bara. Batu pasir berwarna abu-abu

terang, berbutir halus, terpilah baik, tufan dan mineral kuarsa banyak dijumpai. Batu lanau,

abu-abu terang, kompak, mengandung jejak tumbuhan, struktur tumbuhan, struktur sedimen

laminasi paralel. Batu lempung berwarna abu-abu kecoklatan, lunak, kompak, struktur

sedimen laminasi, pararel dan jejak tumbuhan banyak ditemukan. Batu bara pada anggota M4

ditemukan dua lapisan dengan ketebalan berkisar antara 1,0 m sampai 3,7 m.

4) Formasi Kasai (QTk)

Formasi ini terdiri atas tuf dan tuf berbatu apung dengan sisipan batu lempung tufan dan

batu pasir tufan, setempat konglomeratan dan mengandung kayu terkersikkan sampai

sepanjang 3 m. Tuf, kelabu muda sampai kelabu kecoklatan/kuning, berbutir halus sampai

kasar, menyudut sampai membulat tanggung, padu, umumnya pejal, tidak ada perlapisan

yang jelas, pita-pita oksida besi, perlapisan silang siur pada satuan-satuan yang berbutir kasar.

Tuf berbatu apung kecoklatan-kekuningan, pejal, berbutir halus-kasar, menyudut tanggung,

membulat, panjang berbatu apung 0,5-5 cm. Batu pasir tufan, kelabu sampai coklat kuning,

berbutir halus sampai kasar seringkali teroksidasi. Batu lempung tufan, kekuningan, lunak

tetapi padu. Konglomerat kelabu kekuningan, komponen batu apung, lava dan kuarsa

berukuran 1-3 cm, kemas terbuka-tertutup, massa dasar tufan padu, berbutir sedang.

Formasi ini memiliki ketebalan lebih dari 450 m, diendapkan di lingkungan darat, hasil

kikisan Geantiklin Barisan. Setempat menindih tak selaras Formasi Muaraenim dan ditindih

oleh satuan-satuan Holosen. Berumur Pliosen Akhir- Plistosen Awal.

5) Aluvium
Endapan ini terdiri atas kerakal, pasir, lumpur dan lempung. Diperkirakan umur endapan

ini adalah Holosen.


Di bawah ini adalah tatanan stratigrafi secara regional cekungan Sumatera Selatan oleh

Shell (1978) (Gambar 3.4).

Gambar 3.4
Stratigrafi cekungan Sumatera Selatan (Shell, 1978)

Anda mungkin juga menyukai