Anda di halaman 1dari 15

JURNAL TERUNA BHAKTI

ISSN: 2622-5085 (online), 2622-514X (print)


Volume 2, No 2, Pebruari 2020; (118-132)
Available at: http://stakterunabhakti.ac.id/e-journal/index.php/teruna

Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam


Perspektif Iman Kristen

Osian Orjumi Moru


Institut Agama Kristen Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur
osianmoru@gmail.com

Abstract: The relationship between religion and state must be seen in terms of constructive
and contextual relations. This means that the relationship between religion and the state is
built on the basis of a common vision to create complete human life. This article is a
qualitative research literature using a descriptive analysis method about the political and
national situation in Indonesia as a context for finding the relationship between religion
and the state. Religion and the state are both servants of God in bringing prosperity and
justice to all humanity. This framework of thinking has logical consequences in
repositioning the relationship between religion and the state in a more inductive form
based on historical facts and social realities of society. In the end, placing Pancasila as an
empirical reality of Indonesian society was formed in the process of the nation's history.
Pancasila was formed as an effort based on the common awareness of all components of
the nation to harmonize religious values and national values that are different in the
Indonesian-Indonesian framework.
Keywords: Christian politics; country; Pancasila; religion

Abstrak: Hubungan antara agama dan negara harus dilihat dalam kerangka hubungan yang
konstruktif dan kontekstual. Hal ini berarti hubungan antara agama dan negara dibangun
berdasarkan pada kesamaan visi untuk menciptakan kehidupan manusia yang seutuhnya.
Artikel ini merupakan sebuah penelitian kualitatif literatur dengan menggunakan metode
analisis deskriptif tentang keadaan politik dan nasional Indonesia sebagai konteks untuk
mencari hubungan antara agama dan negara. Agama dan negara adalah sama-sama hamba
Tuhan dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan atas seluruh umat manusia.
Kerangka berpikir tersebut membawa konsekuensi logis dalam mereposisi hubungan antara
agama dan negara ke dalam bentuk yang lebih induktif berdasarkan fakta sejarah dan
realita sosial masyarakat. Pada akhirnya menempatkan Pancasila sebagai suatu realita
empiris masyarakat Indonesia yang dibentuk dalam proses perjalanan sejarah bangsa.
Pancasila dibentuk sebagai upaya berdasarkan kesadaran bersama seluruh komponen
bangsa untuk mengharmonisasikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan yang
berbeda-beda dalam kerangka keindonesiaan.
Kata kunci: agama; negara; Pancasila; politik Kristen

1. Pendahuluan
Berbicara soal hubungan antara agama dan negara telah menjadi daya tarik yang begitu
menarik terutama dalam konteks kehidupan berbangsa saat ini. Realita sosial dan politik
yang cenderung memiliki persepsi untuk menyatukan atau memisahkan agama dan negara
terus mengemuka dalam konteks debat-debat publik yang terjadi pada media lokal maupun
internasional dewasa ini. Tidak mengherankan jika ide tentang hubungan antara agama dan
negara cenderung menjadi batu lompatan dalam kontestasi politik yang mengharuskan
tokoh-tokoh politik berpikir keras tentang penempatan agama dalam kerangka kekuasaan

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 118
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

negara. Jika dalam realita kehidupan berbangsa hubungan antara agama dan negara begitu
penting, maka patut dipahami konsep tentang hubungan antara agama dan negara harus
ditelisik secara mendalam dari berbagai sudut yang menempatkan baik itu agama maupun
negara dalam posisi yang seharusnya. Hal ini penting dalam membangun hubungan antara
agama dan negara yang bersifat konstruktif dan produktif dalam berbagai dimensi
kehidupan bermasyakat kita.
Pengalaman sejarah selama berabad-abad menunjukkan bahwa corak hubungan an-
tara agama dan negara selalu dalam dimensi yang saling memengaruhi. Realita ini menun-
jukkan bahwa konsep tentang hubungan agama dan negara harus dilihat dalam kacamata
diskursus yang terjadi secara terus-menerus sesuai dengan konteks perubahan sosial yang
terjadi. Sejarah panjang telah mencatat bahwa pada masa-masa kekuasaan tertentu negara
dapat secara sistematis mengontrol dan memanfaatkan pengaruh agama bagi kepentingan
politik para penguasa, tetapi juga ada masa di mana penguasa negara justru menjadi alat
propaganda dari pengaruh tokoh-tokoh agama.
Misalnya dalam sejarah kekristenan, Konstantinus Agung (312) telah menempatkan
hubungan yang begitu dekat antara agama dan negara. Kecenderungan saling memengaruhi
antara agama dan negara terjadi secara terus menerus pada masa itu. Negara yang semula
mengusai agama (gereja negara) kemudian berkembang menjadi penguasaan agama terha-
dap negara (corpus christianus). Pada masa setelah reformasi gereja, lambat laun agama
berupaya mengambil posisi yang terpisah dari negara. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab
agama (gereja) saat itu terpinggirkan oleh kekuasaan negara dalam berbagai dimensi
publik. Akhirnya agama (gereja) masa itu cenderung mengabaikan dimensi sosialnya terha-
dap pemerintah. Pada konteks Indonesia, hubungan antara agama dan negara kembali
menjadi perdebatan panjang yang menimbulkan berbagai kegaduhan politik dan
keamanan.1 Pengaruh agama yang begitu besar dalam konteks masyarakat cenderung
digunakan seba-gai alat politik yang ampuh dalam menjatuhkan popularitas lawan.2
Permainan isu-isu primodial, sering menjadi senjata yang ampuh dalam meraih
kemenangan dalam perebutan kekua-saan yang kemudian berakibat pada kecenderungan
negara menguasai agama atau sebaliknya.
Pembahasan ini menjadi penting karena hubungan antara negara dan agama dalam
konteks iman Kristen belum terlalu banyak dilakukan dibandingkan dengan perspektif
agama lain, seperti Islam.3 Memang sudah ada beberapa pembahasan mengenai kepedulian

1
Endang Sari, “Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta,” Kritis:
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2, no. 2 (2016): 145–156. Band: Edi Purwanto, “Peran Ekonomi, Politik,
Dan Sosial Dalam Kekerasan Atas Nama Agama,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 4,
no. 1 (2019): 111–126.
2
Cornelis Lay, “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik 13, no. 1 (2009): 1–19.
3
Masykuri Abdillah, “Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik Di Era
Reformasi,” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 13, no. 2 (2013): 247–258.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 119
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

gereja terhadap politik4, seperti mendorong gereja untuk mengajarkan nasionalisme5, atau
tentang merumuskan etika politik dalam perspektif Kristen.6 Namun penelitian tersebut
belum memberikan sebuah sikap yang ideal tentang hubungan agama dan negara dan dapat
digunakan sebagai acuan atau rekomendasi. Penelitian ini mendorong munculnya sebuah
teologi kontekstual tentang hubungan antara agama dan negara.
2. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut kamus
bahasa Indonesia, istilah deskriptif berarti “bersifat menggambarkan apa adanya.”7 Metode
deskriptif adalah jenis metode penelitian atau studi dengan memaparkan, menggambarkan
atau menjelaskan dengan kata-kata secara jelas apa adanya. Beberapa prosedur yang
ditempuh dengan metode deskriptif ini antara lain, mencari data lewat kitab, jurnal,
software e-book, literatur-literatur lain yang berkaitan. Kemudian analisis penelitian
dilakukan bersama dengan pengumpulan data yakni ”proses analisis data kualitatif sebagai
mengubah sifat (transforming) data mencakup tiga proses yaitu: deskripsi, analisis, dan
interpretasi.”8 Penelitian ini, berdasarkan data dan pendekatan analisa datanya, kualitatif.
Penelitian kualitatif menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan
induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan fenomena yang diamati dengan
menggunakan logika ilmiah.9

3. Pembahasan
Mereposisi Hubungan antara Agama dan Negara
Posisi hubungan antara agama dan negara memang menjadi hal yang diperdebatkan dari
waktu ke waktu. Posisi kedudukan agama maupun negara yang tidak pada tempatnya,
menjadi persoalan tersendiri bagi hubungan antara agama dan negara. Saling memengaruhi
bahkan menguasai sering menjadi pemandangan biasa dalam catatan sejarah umat manusia.
Keberpihakan agama maupun negara yang berlebihan satu terhadap yang lain, seringkali
menghilangkan fungsi kontrol sosial dari keduanya. Masa di mana posisi agama yang cen-
derung dominan terhadap negara pada akhirnya membuat negara dalam konteks tertentu
sulit menjalankan peranannya secara mandiri dan independen. Masa di mana negara
cenderung dikontrol secara berlebihan oleh tokoh-tokoh agama dan kepentingan-nya,

4
Harls Evan R. Siahaan, “Memaknai Pentakostalisme Dalam Maksud Politis Lukas: Analisis Kisah
Para Rasul 1:6-8,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 1 (2018): 52–73,
https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/174/140.
5
Harls Evan Siahaan, “Mengajarkan Nasionalisme Lewat Momentum Perayaan Paskah : Refleksi
Kritis Keluaran 12 : 1-51,” Dunamis : Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 1, no. 2 (2017): 140–155,
https://www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/119.
6
Paulus Eko Kristianto, “Dunamis : Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani Merumuskan Etika
Politik Kristen Dalam Era Gangguan Terorisme Di Indonesia,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani 3, no. 2 (2019): 223–240.
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/ daring (dalam jaringan), diunduh hari
Rabu tanggal 14 Agustus 2019.
8
Subagyo, A. B,. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2004), 224.
9
Yudhi Kawangung, Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen, Diskursus Kerukunan Sosial Dalam
Perspektif Masyarakat Kristen Di Indonesia: Rekonsiliasi Pasca Pemilu 2019, Luwuk Banggai, 141-160.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 120
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

membuat negara dijadikan sebagai alat dalam menjalankan misi agama. Negara diperalat
untuk menyukseskan politik praktis tokoh-tokoh agama. Akhirnya negara akan cenderung
berpihak pada satu golongan masyarakat dan mengabaikan golongan yang lainnya.
Di lain sisi, masa di mana posisi negara begitu dominan terhadap agama cenderung
mengakibatkan negara kehilangan keseimbangan sosial-politik. Agama yang seharusnya
menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan negara, cenderung dibungkam oleh kepentingan
ekonomi dan politik. Akibatnya cahaya agama menjadi redup dan kekuasaan negara
menjadi semakin otoriter terhadap masyarakatnya. Masa dimana posisi negara yang me-
manfaatkan jaringan agama demi kepentingan kekuasaan dan politik, membuat terjadinya
ketidakseimbangan sosial. Ketidakseimbangan sosial ini pada akhirnya membuat kekuasan
negara tak terkontrol dan agama menjadi boneka negara. Melihat kedua posisi yang tidak
ideal dalam perjalanan sejarah tersebut maka diperlukan suatu bentuk reposisi agama dan
negara dalam konteks kekinian agar, baik agama maupun negara sama-sama dapat menja-
lankan fungsi dan tugasnya seideal mungkin.
Proses reposisi diperlukan agar baik agama maupun negara tidak melupakan esensi
keberadaannya sebagai perwujudan citra Tuhan di dunia. Reposisi membantu agama dan
negara mengenali secara mendalam panggilan diri dalam konteks suatu masyarakat. Dalam
konteksnya negara dipanggil untuk menjalankan fungsi pokoknya. Fungsi negara tidak saja
memegang otoritas tertinggi atas warganya, tetapi juga mengharuskan negara memberikan
perlindungan sosial, ekonomi, politik dan hukum bagi seluruh warga negara tanpa
diskriminasi.10 Hal ini tidak dapat ditawar-tawar. Negara harus memosisikan dirinya bukan
sebagai raksasa ganas yang mengoyak rasa keadilan sosial warganya, tetapi dapat menja-
min dan mengayomi keberbagaian dan hak dasar tiap warga negara tanpa memandang
suku, agama dan kepercayaan.
Dalam konteks Indonesia, negara dipanggil dalam posisi yang seharusnya menja-
min kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak dasar manusia yang paling
fundamental. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu kelompok atau kepercayaan,
sehingga dominasi negara sebagai hamba Tuhan menghasilkan buah kebebasan tanpa ada-
nya paksaan dan kekerasan. Posisi yang tepat dari negara adalah bagaimana menjamin
keberlangsungan kehidupan warga negara yang saling menghargai, menghormati dan me-
mahami. Indonesia sebagai negara majemuk mengharuskan pemimpin-pemimpin negara
berkontribusi dalam menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Pada titik ini negara
harusnya menghilangkan segala bentuk politisasi agama sehingga kepentingan politik dari
rezim kekuasan tertentu tidak menjadi batu sandungan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada sisi lain, tokoh-tokoh agama juga harus melepaskan diri dari keinginan untuk
memosisikan negara sebagai alat agama tertentu. Agama sebagai lembaga maupun perse-
kutuan harus memosisikan diri bukan sebagai penentu kebijakan negara seperti yang terjadi
dalam berbagai peristiwa sejarah masa lampau, melainkan sebagai alat kontrol kehidupan
10
Piter Randan Bua, David Samiyono, and Tony Christian Tampake, “Misi Gereja Dalam
Mewujudkan Keadilan Sosial: Sebuah Perspektif Dari Sila Kelima Pancasila,” KURIOS (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 2 (2019): 109–124, http://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios/article/view/97/71.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 121
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

bernegara. Panggilan yang paling fundamental dari agama bukan sebagai penguasa atas
negara melainkan menjadi “suara Tuhan” dalam kehidupan sosial masyarakat. Agama ada-
lah kontrol sosial dalam menjamin terbentuknya masyarakat yang teratur.
Di Indonesia agama harus mampu menjaga otoritas negara dalam menjamin masya-
rakat yang sesuai dengan cita-cita konstitusi negara. Pemanfaatan nilai-nilai pokok dari
agama seperti keadilan, kejujuran, solidaritas, gotong royong, musyawarah dan mufakat,
diperlukan dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang serba majemuk. Dalam
konteks negara majemuk seperti Indonesia, agama tidak boleh tunduk dan terpengaruh
pada salah satu kepentingan kelompok penguasa tertentu maupun sebaliknya. Agama harus
menjadi mitra negara dalam mengupayakan terbentuknya nilai-nilai dasar hak asasi
manusia. Diskusi yang kritis antara agama dan negara diperlukan untuk membatasi dan
mengsinkronisasi peran-peran dari tokoh agama maupun tokoh penguasa (negarawan).
Agama dan negara harus mereposisi hubungan yang semula cenderung saling
mendominasi kearah posisi yang saling melengkapi. Baik agama maupun negara memiliki
panggilan yang sama yakni sebagai hamba Allah (konsep Martin Luther) dalam mencip-
takan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Posisi agama dan negara harus ditempatkan
pada prinsip-prinsip dasar yang menjunjung kemanusiaan. Prinsip-prinsip agama harus
didorong menuju ke arah yang seimbang dengan kekuasaan negara. Ini berarti baik agama
maupun negara dipanggil untuk menyukseskan misi Allah dalam dunia yakni terciptanya
perdamaian sosial bagi seluruh umat manusia.
Dalam posisi baru yang seimbang tersebut, negara tidak lagi tunduk kepada
kepentingan salah satu agama atau golongan tertentu, melainkan kepada kepentingan
seluruh umat manusia. Negara dipanggil untuk mewujudkan dan menjamin terciptanya
kemanusian yang seutuhnya. Di lain sisi agama juga tidak tunduk terhadap penguasa atau
rezim tertentu, melainkan mampu bekerjasama secara kritis dengan tokoh-tokoh negarawan
dalam membangun suatu peradaban umat manusia yang berkeadilan sosial. Agama dipang-
gil menjadi alat terang dalam membangun peradaban dunia yang berdasarkan nilai-nilai
ketuhanan. Agama harus menjadi alat yang dipakai Tuhan dalam memastikan terwujudnya
keadilan dan kebenaran untuk seluruh umat manusia. Inilah tugas dan panggilan agama
maupun negara dalam posisi yang seharusnya.
Dalam dunia yang serba modern dan penuh dengan perkembangan teknologi yang
sangat pesat dewasa ini, posisi hubungan antara agama dan negara harus dipahami sebagai
bentu political will masyarakatnya dalam membangun solidaritas mekanis yang berdasar-
kan dorongan kemanusian. Agama dan negara harus ditempatkan pada posisi yang ideal
dalam hubungan yang bersifat konstruktif untuk menjamin terbentuknya nilai-nilai ke-
Ilahian. Falsafa ini dapat membantu baik itu agama maupun negara dapat mengambil peran
maksimal tanpa mengurangi posisi sosial masing-masing. Dukungan yang utuh terhadap
posisi yang tepat dari agama maupun negara dalam konteks masyarakat tertentu diperlukan
dalam upaya serius untuk membangun suatu peradaban baru yang ideal. Agama dan negara
harus berjalan dalam posisi yang seimbang dan beriringan.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 122
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

Rekonstruksi Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Sejarah Indonesia


Persoalan tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan
yang panjang dan kompleks. Sekalipun bangsa ini bukanlah negara agama, keberadaan
agama menjadi sesuatu yang menduduki posisi teramat penting. Peraturan perundang-
undangan di negara ini telah menempatkan agama pada posisi teratas dalam hubungan so-
sial masyarakatnya. Pasal 29 ayat 1, UUD 1945, mengatakan “negara berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa”, yang mana ini juga ditegaskan dalam sila pertama Pancasila,
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Hal ini mengandung konsekuensi logis dimana hubungan
antara agama dan negara selalu berada dalam proses dialektika yang panjang. Dalam
sejarah panjang bangsa ini, terdapat tiga konsep penting tentang hubungan antara agama
dan negara yang selalu diperdebatkan.
Pertama, pilihan negara agama. Pilihan ini menempatkan agama secara formal
dalam sebuah negara. Negara berupaya mengambil ajaran dan kepercayaan salah satu
agama sebagai dasar negaranya. Misalnya negara seperti Arab Saudi, Afganistan dan
Qatar. Di Indonesia sendiri upaya untuk memformalisasi hubungan antara salah satu agama
dengan kekuasaan negara telah berlangsung dalam sejarah yang panjang. Berbagai
pergolakan politik dan keamanan dengan tujuan mendirikan negara agama berlangsung
secara sporadis dalam berbagai bentuk upaya. Mulai dari upaya dengan menggunakan
kekerasan seperti yang dilakukan melalui peristiwa pemberontakan DI/NII (Negara Islam
Indonesia) yang dipimpin Kartosoewirjo sampai perjuangan secara politik yang dilakukan
oleh sekelompok pendukung ideologi Islam pada masa pembentukan weltanschauung atau
dasar negara di lingkungan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) saat itu.
Pada masa awal kemerdekaan, Dr. Rajiman Wedyoningrat selaku ketua BPUPKI
saat itu mempertanyakan tentang pembentukan dasar negara Indonesia. Kelompok pendu-
kung ideologi Islam mengusulkan agar agama Islam menjadi dasar negara sekaligus juga
menjadi agama resmi negara. Konsekuensi logisnya adalah diberlakukannya kewajiban
menjalankan syariat Islam. Usulan tentang dasar negara tersebut, berakibat pada politik
identitas seorang kepala negara yangdiusulkan juga harusberagama Islam. 11 Persoalan ini
terakumulasi secara serius dalam penerbitan Piagam Jakarta. Meski pada akhirnya rumusan
Piagam Jakarta tersebut tidak digunakan sebagai dasar negara, namun usaha secara politik
oleh segelintir orang untuk mengembalikan rumusan rancangan UUD pada masa BPUPKI
terus berlanjut sampai saat ini.
Kedua, negara sekuler. Dalam konsep negara sekuler ini, negara secara tegas
memisahkan pemikiran antara wilayah agama dan wilayah negara. Negara menempatkan
agama sebagai dua wilayah yang terpisah dan berbeda. Tidak ada pencampuran soal urusan
antara agama dan urusan negara. Meskipun demikian, negara tetap berupaya bertangung
jawab dalam menjamin adanya kebebasan beragama dan berkepercayaan warga negara.
Persoalan hubungan antara agama dan negara sebatas bagaimana mengatur kebebasan
beragama tiap warga negara agar tidak saling berbenturan, tetapi persoalan tentang
11
AMW Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1988), 47 – 48.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 123
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

keimanan warga negara menjadi hak individu warga negara tersebut. Fokus utama dari
model negara seperti ini adalah bagaimana menyejahterakan rakyatnya dalam hubungan
dengan hakkonstitusional dan hak sipil warga negara. Negara tidak turut serta dalam
memberikan batasan-batasan soal keimanan warga negara. Negara tidak meletakkan nilai-
nilai agama sebagai dasar dari suatu negara.
Dalam sejarah bangsa Indonesia upaya untuk mendirikan negara sekuler semacam
ini, juga terlihat jelas dalam agenda kolompok-kelompok konservatif sosialis. Timbulnya
partai politik yang berbasis paham sosialis saat itu, diduga memiliki motif kuat untuk
melancarkan terbentuknya negara sekuler. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, upaya-
upaya diatas kemudian terganjal oleh kuatnya gerakan kaum nasionalis dan kelompok
ideologi agama yang berkembang saat itu. Konsep sekularisasi negara mendapat
pertentangan keras dari berbagai golongan terutama kelompok yang mengembangkan
ideologi agama. Awal dari runtuhnya usaha sekularisasi negara di Indonesia saat itu adalah
dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30September PKI, yang juga merupakan awal dari
kebangkitan masa orde baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Ketiga, negara yang didasarkan ideologi Pancasila. Pancasila adalah dasar negara
yang pertama kali dicetuskan oleh Soekarno. Dalam pidatonya di hadapan Dokuritsu Junbi
Cosakai atau BPUPKI, Soekarno menawarkan suatu bentuk negara yang berbeda dari dua
konsepsi diatas. Konsep baru yang ditawarkan oleh Soekarno dalam pidatonya di depan
BPUPKI mencakup lima sila yakni Kebangsaan, Internasionalisme, Demokrasi, Keadilan
dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep tersebut kemudian dirumuskan ulang oleh tim
sembilan menjadi lima pokok pikiran yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun atas
usulan perwakilan Indonesia Timur dan pertimbangan penting yang dimotori oleh Hatta,
maka terbentuklah suatu rumusan akhir dari dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
yang kini dikenal sebagai Pancasila. Pancasila dianggap oleh para pendiri bangsa sebagai
jalan terbaik dalam konsensus bersama dari kepentingan pihak-pihak yang berbeda-beda
saat itu. Buah dari konsensus tersebut berakibat pada terbentuknya negara baru yang
mengakomodir nilai-nilai agama dalam berbagai praktek kehidupan bermasyarakat tanpa
menjadi negara agama.
Lahirnya Pancasila sebagai dasar negara juga menegaskan bahwa negara Indonesia
bukan negara sekuler. Ideologi Pancasila menempatkan negara Indonesia sebagai negara
yang di satu sisi menjamin warga negaranya untuk memilih kepercayaan dan beribadah
menurut imannya12, tetapi juga dilain sisi menghasilkan berbagai produk hukum yang
dilahirkan dari semangat nilai-nilai agama. Dengan munculnya Pancasila, Indonesia lahir
sebagai negara yang berdasarkan kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa” tanpa menekankan
pada dogtrin agama tertentu. Munculnya Pancasila, merupakan landasan bersama seluruh
rakyat Indonesia yang dihasilkan oleh pemikiran kritis para founding father untuk
mempersatukan Indonesia secara kontekstual. Pemikiran yang kontekstual tersebut,
diputuskan atas dasar konsep musyawarah-mufakat dan bukannya adu pengaruh dan

12
Bua, Samiyono, and Tampake, “Misi Gereja Dalam Mewujudkan Keadilan Sosial: Sebuah
Perspektif Dari Sila Kelima Pancasila.”

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 124
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

kekuasaan. Hasil konsensus bersama inilah yang tercermin jelas dalam pidato Ir. Soekarno
saat itu. Ia mengatakan: “...hasil yang dicapai itu sudah melewati pembicaraan dan masak
dan sempurna...” Lebih lanjut pada bagian pidatonya yang lain Soekarno berkata: “Penitia
kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambule yang disusun oleh anggota-
anggota yang terhormat...”13
Pada akhirnya, sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia yang menggumulkan
hubungan antara agama dan negara telah berakhir dengan suatu konsensus bersama yakni
Pancasila. Catatan sejarah inilah yang dapat disebut sebagai Indonesian Wisdom (Kearifan
Bangsa). Catatan sejarah tersebut juga merupakan peringatan terhadap berbagai pihak yang
secara sadar berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Agama.14 Tindakan
tersebut harus dilihat sebagai bentuk nyata dari penghianatan terhadap jasa-jasa para
pahlawan dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Hubungan antara Agama dan Negara Dalam Perspektif Ajaran Kristen
Jika membaca teks-teks Alkitab tentang hubungan antara agama dan negara, maka akan
ditemukan kondisi yang serba kompleks. Dikatkan kompleks sebab dalam catatan teks-teks
tersebut, hubungan antara agama dan negara selalu berada pada posisi yang berbeda-beda
bergantung pada konteks dan situasi yang membentuknya. Misalnya posisi hubungan an-
tara negara dan agama dalam konteks Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma,
Paulus menulis: “setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak
ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada,
ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1). Dalam teks tersebut, Paulus dengan jelas menggam-
barkan pemerintah sebagai pihak yang paling berotoritas sebagai bentuk penetapan
kehendak Allah.
Tulisan Paulus tersebut seolah-oleh menempatkan negara dan pemerintahnya seba-
gai pihak yang paling berkuasa atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jika ditelisik
secara harafiah, maka aroma pengukuhan atas kekuasaan negara dan pemerintah yang tak
terbatas, seolah-oleh dibenarkan oleh kitab suci. Pandangan yang bersifat eksklusif seperti
ini, sungguh berbahayadalam konteks negara majemuk dan demokrasi seperti Indonesia.
Kekuasaan yang tak terbatas dan tak terkontrol akan cenderung menghasilkan penguasa
yang sewenang-wenang kepada rakyatnya. Pandangan tersebut tentu saja perlu dicerahkan
dengan konsep berpikir yang baru. Konsep berpikir yang baru adalah upaya untuk
mendekostruksi teks dan kemudian merekonstruksinya agar terbangun suatu pemahaman
yang menyeluruh dan kontekstual menyangkut teks-teks tersebut.
Jika perhatikan secara saksama dan inklusif, teks tersebut tidak bermaksud untuk
mengukuhkan kekuasaan negara dan pemerintahnya sebagai kekuasaan yang tak terbatas.
Teks tersebut sedang berbicara soal hubungan antara negara dan masyarakat, terkhusus
orang-orang kristen dalam konteks pemerintahan di Roma. Hal tersebut merupakan sejenis

13
Andreas A. Yewangoe, Piagam Djakarta dan Syariat Islam; Urgensi dan Konsekuensinya
(Jakarta: Yayasan Bina Darma dan Nisita, 2003), 71 – 86.
14
Sonny Zaluchu, “Sudut Pandang Etika Kristen Menyikapi Pembangkangan Sipil (Civil
Disobedience),” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 1 (2018): 24.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 125
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

ungkapan etika politik yang ditawarkan oleh Paulus bagi jemaat disana. Ungkapan tersebut
muncul sebab Paulus sendiri memiliki pengalaman pribadi tentang para pejabat tinggi di
Roma yang memiliki sifat bersahabat dan suka memberikan pertolongan. Konteks berpikir
yang demikian, kemudian membawa Paulus pada konsep berpikir yang konstruktif tentang
hubungan antara agama (Kristen di Roma) dengan negara (pemerinah Romawi) saat itu.
Dalam konsep berpikir Paulus, pemerintah yang adalah hamba Allah (ayat 4c)
adalah agen-agen pembawa keadilan. Bagi Paulus pemerintah tidak dirancang untuk ber-
tindak semena-mena kepada rakyat yang dipimpinnya (dalam konsep berpikir Paulus).
Pemerintah adalah penegak hukum dan kebenaran Allah atas umat. Karenanya tidak meng-
herankan dan tidak berlebihan jika Paulus menggunakan suatu etika politik yang menem-
patkan hubungan antara umat (agama) dan pemerintah (negara) dalam konteks kepatuhan.
Bagi Paulus hubungan antara agama dan negara harus ditempatkan dalam konteks
kepatuhan untuk melaksanakan kebaikan. Kepatuhan tersebut dapat tercipta jika umat
Allah dapat menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan yang
bertentangan dengan hukum Allah. Negara diciptakan untuk menjadi agen Allah dalam
menjaga terlaksananya kebaikan dan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
agama. Hal ini berarti, baik negara maupun agama memiliki peranan penting dalam
menjaga panggilan sebagai hamba Allah. Cara berpikir demikian menempatkan agama dan
negara dalam posisi yang saling berhubungan, selaras, konstruktif dan seimbang.
Selain pandangan Paulus di atas, Yesus sendiri juga mengajarkan adanya pemisa-
han yang tegas antara kekuasaan negara dengan agama. Pemisahan tersebut diungkapkan
Yesus dalam Matius 22: 21, “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan
kepada kaisar dan kepada Allah apa yang waajib kamu berikan kepada Allah”. Melalui
pernyataan ini, Yesus membuat garis batas yang seimbang antara wilayah kekuasaan
negara dan agama. Pernyataan ini tidak terlepas dari konteks masyarakat saat itu yang
cenderung menyamakan kaisar dengan dewa. Akibatnya garis batas antara kepentingan
negara dan kepentingan agama diabaikan. Dengan pernyataanNya, Yesus berupaya mena-
rik garis pemisah yang tegas antara kedua wilayah tersebut.
Pandangan Yesus tentang kekuasan negara dan kekuasaan agama adalah pandangan
yang mengupayakan suatu proses harmonisasi antara kekuasan dunia dengan kekuasan
ilahi dalam konteks kehidupan umat. Pandangan Yesus tersebut juga bertujuan untuk
menghindarkan umat dari upaya mencampuradukkan atau mereduksi peranan dari salah
satu wilayah kekuasaan tersebut. Bagi Yesus, baik kekuasaan agama maupun kekuasan
negara harus selalu berada pada jalur yang saling terkoneksi tanpa saling berselisih.
Hubungan yang saling terkoneksi tersebut menempatkan peranan agama sebagai mitra bagi
penguasa negara. Alur linearitas ini harus mendorong kekuasaan agama maupun kekuasaan
negara bersinergi membangun kehidupan umat manusia yang berdasarkan prinsip-prinsip
kemanusiaan dan kebenaran. Bagi Yesus kerajaan sorga bukanlah suatu program politik
yang meniadakan kerajaan di dunia ini. Pada hakikatnya, jawaban Yesus terhadap perta-
nyaan kaum Farisi dan orang-orang Herodian di atas, terkandung dasar-dasar yang
berharga dalam melihat hubungan antara agama dan negara.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 126
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

Yesus dengan tegas menerangkan, bahwa hubungan antara agama dan negara harus
berada dalam kerangka yang ideal. Ideal dalam arti keduanya harus terpisah dan tidak
untuk dicampur-baurkan. Pemerintah duniawi tidak boleh campur tangan secara berlebihan
dalam soal-soal spiritualitas umat, tidak boleh melakukan tekanan terhadap kehidupandan
pikiran rohani rakyatnya; dalam hal itu tidak boleh memaksakan kehendaknyasecara
agresif. Tetapi sebaliknya pula: gereja Kristus bukanlah suatu komunitas atau perkumpulan
orang-orang pembuat keonaran dan berperilaku layaknya para pemberontak terhadap
pemerintah duniawi. Gereja haruslah mengakui dan mendoakan pemerintahnya. Dasar ber-
pikir inilah yang telah dipakai Yesus untuk menggambarkan dan menjelaskan hubungan
yang ideal antara agama dan negara dalam konteks interaksi sosial.
Melihat pandangan Yesus diatas, maka ajaran-ajaran gereja haruslah juga bersum-
ber pada etika berpolitik Yesus tersebut. Gereja harus memandang hubungan antara agama
dan negara berada dalam posisi yang saling mendukung dan saling melengkapi dalam
berbagai sisi kehidupan bersama. Inilah yang disebut sebagai kearifan dalam beragama.
Gagasan Teologi Kontekstual tentang Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Hubungan antara agama dan negara di Indonesia harus dibangun dengan mempertanyakan
gagasan apa yang menjadi dasar dalam membangun relasi kekinian dari kedua kekuatan
tersebut. Perkembangan sejarah yang menempatkan hubungan antara agama dan negara
dalam kerangka yang luas, sering memposisikan baik agama maupun negara pada tempat
yang tidak tepat. Hal ini terjadi sebab pemikiran-pemikiran yang terbangun tentang teologi
dalam agama dan bagaimana relasinya dengan negara tidak dikonstruksi berdasarkan fakta-
faktalokal. Karenanya untuk membangun hubungan yang tepat antara agama dan negara
dalam konteks Indonesia, harus dimulai dari upaya membangun suatu teologi yang
kontekstual.
Stephen B. Bevans mengatakan bahwa suatu teologi barulah menjadi teologi
apabila menjadi teologi yang kontekstual.15 Bagi Stephen, suatu teologi dapat menjadi
kontekstual apabila upaya berteologi tersebut memperhatikan unsur-unsur kebudayaan dan
perubahan sosial. Hal ini berarti upaya bertologi tersebut merupakan sesuatu yang kekinian
sekaligus terpaut pada masa lampau. Berteologi yang demikian merupakan suatu keharu-
san karena dua alasan berupa faktor eksternal dan internal. Ada empat faktor ekternal yang
penting untuk dibahas yakni pertama, ketidakpuasan umum yang dialami dunia pertama
dan dunia ketiga terhadap pendekatan-pendekatan klasik dalam berteologi. Kedua,
Pendekatan teologi yang lama bersifat menindas. Ketiga, sumbangan identitas lokal yang
semakin kuat dalam pengembangan teologi. Keempat, pemahaman terhadap kebudayaan
yang semakin baik akibat pengaruh ilmu-ilmu sosial. Sedangkan dalam faktor internal
terdapat tiga konsep penting yakni pertama, hakikat inkarnasi dari kekristenan. Kedua,
keadaan sekramental dari realitas. Ketiga, pemahaman dari pewahyuan Ilahi. 16 Faktor-

15
Stephen B. Bevans. Models of Conntextual Theology: Faith and Cultures (New York: Orbis Book,
1996), 1 – 10.
16
Ibid., 179 – 181.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 127
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

faktor tersebut menggambarkan upaya berteologi sebagai sesuatu yang diskontinuitas


sekaligus kontinuitas.17
Dari teori tersebut, maka berbagai upaya untuk membangun teologi yang bersifat
khas dalam konteks lokal akan membantu mengkonstruksi kembali hubungan antara agama
dan negara dalam ajaran agama yang bersifat trasformatif. Ajaran agama yang sangat
cenderung bersifat kebarat-baratan atau kearab-araban akan membawa pengaruh pada
munculnya subjektifitas dan superioritas agama yang berakibat pada tidak kondusifnya
hubungan sosial masyarakat suatu negara. Misalnya saja dunia barat yang cenderung
mengembangkan konsep demokrasi barat dalam sistem pemerintahan mereka akan
berbenturan dengan konsep dunia Arab tradisional. Hal ini akan menjadi kompleks jika
kedua pemikiran yang berakar kuat dalam agama-agama yang ada, bertemu dalam konteks
Indonesia yang kenyataan sosial masyarakatnya serba majemuk. Karenanya kekhasan
tenunan (texture) sosial masyarakat Indonesia tidak dapat dicampuradukkan atau diper-
bandingkan secara apple to apple dengan konteks asli agama-agama tersebut. Perlu adanya
upaya serius untuk mentransformasikan pemikiran-pemikiran agama yang lahir pada
konteksnya, dengan membangun suatu bangunan pemikiran baru yang lebih persuasif
dalam konteks lokal keindonesiaan pada masa kini. Jika tidak ada upaya tersebut maka
gesekan dan konflik sosial dalam hubungan antara berbagai agama dan antara agama dan
negara akan terjadi.
Sejarah telah mencatat bahwa gesekan menyangkut hubungan antara agama dan
negara sering terjadi dalam konteks Indonesia. Contohnya saja upaya dari pihak-pihak
tertentu yang ingin menggantikan dasar negara melalui tindakan kekerasan karena diang-
gap tidak sesuai dengan konsep ajaran agama mereka. Hal ini sering kali menjadi bume-
rang tersendiri bagi hubungan antara masyarakat dan hubungan antara agama dan negara.
Ketidakstabilan politik dan keamanan dalam negeri menjadi tantangan berat dalam
membangun suatu negara yang kuat. Jika semua agama yang ada di Indonesia hanya
memiliki penganut-penganut radikal yang berpikiran secara eksklusif, maka keberlang-
sungan negara yang disebut Indonesia akan berada diujung tanduk. Karenanya penting
untuk memastikan bahwa konsep teologi dan ideologi yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat harus menjamin keberlangsungan persatuan dan kesatuan bangsa. Demi tujuan
tersebut, maka ide-ide dogmatis yang keluar dari penganut-penganut agama dalam konteks
Indonesia harus digali dan dipahami dari bumi Indonesia itu sendiri. Inilah yang dimaksud
dengan membangun kontekstualisasi teologi di Indonesia demi menjamin terwujudnya
keberlangsungan dan keseimbangan hubungan antara agama dan negara.
Mengkontekstualisasikan teologi di Indonesia merupakan upaya sistematis untuk
mewujudkan penyataan Allah dalam konteks kemajemukan. Jika ide ini dipetakan dalam
gambar yang sederhana, maka hubungan antara agama dan negara dalam konteks
pemikiran berteologi secara kontekstual di Indonesia harus digambarkan seperti berikut:

17
Ibid., 1.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 128
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

NEGARA
Wilayah Abstrak KONSENSUS
AGAMA

INDONESIA
Wilayah Empirik PANCASILA
Islam/Protestan/
Khatolik/dll

Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa dalam wilayah empirik, Pancasila adalah bentuk
konsensus bersama yang merupakan kristalisasi nilai-nilai agama yang melambangkan
hubungan harmonis dan kontekstual antara satu agama dengan agama lain, antara berbagai
kepercayaan yang berbada-beda, dan hubungan antara agama dengan negara. Pancasila
adalah jalan tengah dalam menjembatani berbagai kepentingan individu maupun kelompok
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan hasil
konsensus penting dari para pendiri bangsa sebagai upaya untuk mentransformasi nilai-
nilai trandisional menjadi nilai-nilai nasional.
Jika demikian, maka berteologi dalam konteks Indonesia, terutama sebagai upaya
mengkonstruksi hubungan antara agama dan negara secara kontekstual, harus dapat dipa-
hami bukan hanya sekedar sebagai alat untuk mencari titik temu antara berbagai kepen-
tingan dalam kerangka suatu negara, melainkan juga sebagai upaya sistematis dalam me-
rangkai kemajemukan bangsa. Pada titik ini, fakta sosial kemajemukan di Indonesia harus
dilihat sebagai kekayaan yang memperkaya hubungan antara agama dan negara. Perbedaan
agama dan keyakinan bukan menjadi cela terciptanya konflik sosial yang menyebabkan
tereduksinya hubungan ideal antara agama dan negara, melainkan perbedaan-perbedaan
tersebut harus tertenun (texture) dalam satu dasar hidup bersama (Pancasila) yang akan
mengokohkan eksistensi negara Indonesia. Dengan dasar pemikiran demikian, maka
Indonesia dapat dikatakan telah menjadi negara yang Injili, syari’at, dan kontekstual secara
teologis. Tidak diperlukan lagi perdebatan-perdebatan dogmatis yang cenderung akan men-
deferensiasikan kehidupan masyarakat Indonesia. Perbedaan agama, kepercayaan dan
dogma telah dipersatukan dalam satu konsensus bersama yakni Pancasila itu sendiri.
Dengan kenyataan demikian yang telah menempatkan Indonesia sebagai negara
yang “injili” dan kontekstual, maka ada beberapa bentuk panggilan orang Kristen dalam
konteks Indonesia yakni: Menjaga eksistensi Pancasila sebagai bentuk konsensus bersama
dan Indonesia sebagai rumah bersama; Mendukung secara aktif berbagai upaya untuk
menjaga kesetaraan masyarakat didepan hukum; Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusia-
an sehingga dapat melepaskan diri dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan; Selalu
memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia; Mengawasi perilaku pemerintah agar
tidak menyimpang dari hakikat keterpanggilannya sebagai abdi Allah yakni mendatangkan
damai sejahtera bagi seluruh ciptaan Tuhan; Memastikan hubungan antara agama dan
negara selalu berada dalam koridor konstitusi; Melepaskan tenunan dogtrinal agama yang
eksklusif dan menggunakan pakaian yang lebih kontekstual dalam kerangka Indonesia.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 129
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

Dengan panggilan tersebut, orang-orang Kristen di Indonesia tidak saja menjadikan


dirinya sebagai warga “Kerajaan Allah” tetapi juga warga negara Indonesia yang ber-
tangung jawab dan berkepribadian. Kompetensi kekeristenan tersebut dapat terwujud
dengan baik dalam kerangka pemikiran kebangsaan jika format keterlibatannya terwujud
secara kontekstual dan kritis. Di sinilah letak pemahaman yang paling mendasar tentang
bagaimana mengusahakan teologi yang kontekstual dalam rangka menata hubungan yang
kondusif dan produktif antara agama dan negara di Indonesia. Agama-agama di Indonesia
harus merumuskan teologi baru dalam lingkaran dialog antara teks kitab suci dan teks
lingkungan sosial. Dengan mendialogkan kedua aspek tersebut maka interaksi multi-
kultural dapat tertenun secara indah dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia. Upaya
serius untuk mewujudkan hal tersebut telah terpatri indah dalam perumusan dasar negara
yang dikenal sebagai Pancasila. Pancasila adalah harapan sekaligus kenyataan tentang
keterhubungan yang harmonis antara agama dan negara. Keterhubungan itu dikonstruksi-
kan berdasarkan pemikiran yang bersifat kontekstual dan ideal.

4. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah:
Pertama, hubungan antara agama dan negara harus dipahami sebagai hubungan
yang bersifat konstruktif dan kontekstual. Hal ini berarti hubungan antara agama dan
negara harus terus didorong untuk saling melengkapi dan membangun kohesifitasnya.
Hubungan antara agama dan negara tidak boleh dipahami sebagai hubungan yang saling
memanfaatkan ataupun saling menjauhi (bersifat distinktif). Kedua, Hubungan antara
agama dan negara juga tidak akan luput dari berbagai perbedaan dan persinggungan yang
terjadi. Agama dan negara adalah dua wilayah yang bersifat otonom sekaligus mekanis.
Otonom sebab masing-masing memiliki paranan yang berbeda-beda, tetapi sekaligus
mekanis karena keduanya diikat oleh solidaritas sosial yang sama. Ketiga, dalam padangan
iman Kristen, baik agama maupun negara merupakan manifestasi dari kehadiran Tuhan di
tengah-tengah umat manusia. Karenanya sebagai hamba Tuhan, baik agama maupun
negara berkewajiban untuk mencerminkan dan menyebarluaskan sifat-sifat Allah itu
sendiri yakni kasih, kebenaran, keadilan, nir-kekerasan, bertangungjawab dan kepedulian.
Baik agama maupun negara merupakan alat Allah dalam menjembatani berbagai perbedaan
umat manusia. Keempat, Dalam konteks Indonesia, hubungan antara agama dan negara
harus dipahami dalam rentetan peristiwa sejarah yang melahirkan dasar negara sebagai
buah dari inklusifitas pimikiran pendiri bangsa. Pancasila sebagai dasar negara adalah
jawaban terhadap kemajemukan bangsa yang telah menjadi hakikat dari keberadaan
Indonesia itu sendiri. Menempatkan pancasila sebagai dasar negara adalah bentuk
konsensus yang paling arif dalam menjembatani hubungan antara agama dan negara secara
kontekstual. Kelima, Hubungan antara agama dan negara di Indonesia harus berkembang
secara kontekstual dalam kerangka pemikiran yang pluralis. Hal ini berarti baik agama
maupun negara didorong untuk memiliki spirit yang sama yakni menghidupkan semangat
persatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Semangat tersebut harus menjadi warisan luhur
bangsa Indonesia yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 130
Osian O. Moru: Mereposisi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Perspektif Iman Kristen

Referensi
Abdillah, Masykuri. “Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi Politik
Di Era Reformasi.” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 13, no. 2 (2013): 247–258.
Althaus, Paul.The Theology of Martin Luther. Philadelphia: Fortress Press, 1966.
Anshari. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Ariarajah Wesley S. The Bible and People of Other Faiths. Hong Kong: WSCF Asia,
1985.
Berkhof dan Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Bevens, B. Stephen. Models of Conntextual Theology: Faith and Culture. New York:
Orbis Book, 1996.
Bua, Piter Randan, David Samiyono, and Tony Christian Tampake. “Misi Gereja Dalam
Mewujudkan Keadilan Sosial: Sebuah Perspektif Dari Sila Kelima Pancasila.”
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 5, no. 2 (2019): 109–
124. http://www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios/article/view/97/71.
Darmaputra, Eka. Pancasila: Identitas dan Modernitas. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1987.
Enss, Paul. Moody Hand Book of Theology. Chicago: Moody Press, 1989.
Griffiths, Michael. Gereja dan Panggilannya Dewasa Ini. Jakarta: 1991.
Hans kung & David tracy. Paradigm Change in Theology. New York: Edinburg, 1989.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/ daring (dalam jaringan),
diunduh hari Rabu tanggal 14 Agustus 2019.
Knitter, Paul F. Introducing Theologies of Religions. New York: Orbis Books, 2002.
Kristianto, Paulus Eko. “Dunamis : Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani Merumuskan
Etika Politik Kristen Dalam Era Gangguan Terorisme Di Indonesia.” DUNAMIS:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 2 (2019): 223–240.
Lay, Cornelis. “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik.” Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik 13, no. 1 (2009): 1–19.
LAI. Alkitab Dengan Kidung Jemaat. Jakarta: Percetakan LAI, 2009.
Marantika, Chris. Principle and Practice of World Missions, Including a Closer Look in an
Islamic Context. Yogyakarta: Iman Press, tt.
Neisel. The Theology of Calvin. London: Lutterworth Press, 1956.
Pranarka. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: CSIS, 1988.
Purwanto, Edi. “Peran Ekonomi, Politik, Dan Sosial Dalam Kekerasan Atas Nama
Agama.” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 4, no. 1 (2019): 111–
126.
Sari, Endang. “Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur
Jakarta.” Kritis: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2, no. 2 (2016): 145–156.
Siahaan, Harls Evan. “Mengajarkan Nasionalisme Lewat Momentum Perayaan Paskah :
Refleksi Kritis Keluaran 12 : 1-51.” Dunamis : Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani 1, no. 2 (2017): 140–155. https://www.sttintheos.ac.id/e-
journal/index.php/dunamis/article/view/119.
Siahaan, Harls Evan R. “Memaknai Pentakostalisme Dalam Maksud Politis Lukas:
Analisis Kisah Para Rasul 1:6-8.” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani 3, no. 1 (2018): 52–73. https://sttintheos.ac.id/e-
journal/index.php/dunamis/article/view/174/140.
Simorangkir Dkk. Mempercakapkan Relasi Agama dan Negara. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Subagyo, A. B,. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2004).

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 131
Jurnal Teruna Bhakti, Volume 2, No 2, Pebruari 2020

Sugirtharajah. Postcolonial Criticism and Biblical Interpretation. Oxford: Oxford


University Press, 2002.
Tim Penyunting. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta Sekretaris Negara RI, 1995.
Timothy. Marthin Luther’s Basic Theological Writings. Minneapolis: Fortress Press, 1989.
Titaley, John, Nilai –Nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan UUD 1945.
Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1999.
Yewangoe, Andreas A. Piagam Djakarata dan Syariat Islam; Urgensi dan
Konsekuensinya. Jakarta: Yayasan Bina Darma dan Nisita, 2003.
Yoder, John. The Politics of Jesus. Michigan: William B. Eerdman Publishing House
Company, 1972.
Yudhi Kawangung, Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen, Diskursus Kerukunan Sosial Dalam
Perspektif Masyarakat Kristen Di Indonesia: Rekonsiliasi Pasca Pemilu 2019,
Luwuk Banggai, 141-160.
Zaluchu, Sonny. “Sudut Pandang Etika Kristen Menyikapi Pembangkangan Sipil (Civil
Disobedience).” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 1 (2018):
24.

Copyright© 2020, Jurnal Teruna Bhakti; e-ISSN 2622-5085, p-ISSN 2622-514X | 132

Anda mungkin juga menyukai