BUDAYA
Abstrak
Agama dengan Pancasila dalam perspektif Undang-Undang Dasar 1945, yang
meliputi korelasi antara prinsip Agama dengan rumusan nilai-nilai dalam Pancasila, dan
kedudukan keduanya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Agama menjadi objek kajian
yang begitu kompleks dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara. Terakhir kali
tampak pada pernyataan Yudian Wahyudi (Ketua BPIP) tentang agama sebagai musuh
Pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 yang diposisikan tertinggi dalam hierarki
Peraturan Perundang-undangan merupakan indikator yang tepat dalam mengkaji
hubungan antara Agama dengan Pancasila, khususnya dalam kerangka paradigma hukum
normatif di Indonesia. Pada pokok analisis hasil dan pembahasan, disimpulkan bahwa
yaitu Agama merupakan pendukung eksistensi Pancasila, dan Agama tidak dapat
dipertentangkan atau dibandingkan dengan Pancasila pada konteks kedudukan dan
posisinya dalam kehidupan bernegara dan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hasil
tersebut begitu penting bagi upaya perwujudan tujuan negara, guna melandasi
penyelenggaraan pemerintahan dalam bernegara yang efektif dan efisien, tanpa
mengungkit kembali permasalahan dan perdebatan yang sejatinya telah terselesaikan.
Selain itu juga terdapat muatan materi mengenai etika berpolitik serta muatan
pengimplementasian pancasila berpolitik di Indonesia. Penulisan ini telah menggunakan
pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan menerapkan metode analisis
deskriptif yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara Agama dengan Pancasila
dalam perspektif Undang-Undang Dasar 1945.
Abstract
Religion and Pancasila in the perspective of the 1945 Constitution, which includes
the correlation between the principles of Religion and the formulation of values in
Pancasila, and the position of both in the 1945 Constitution. Religion is the object of a
very complex study in relation to state life. The last time it was seen was Yudian Wahyudi's
statement (Chairman of BPIP) about religion as the enemy of Pancasila. The 1945
Constitution which is positioned highest in the hierarchy of laws and regulations is an
appropriate indicator in examining the relationship between Religion and Pancasila,
especially within the framework of the normative legal paradigm in Indonesia. In the main
analysis of the results and discussion, it is concluded that religion is a supporter of the
existence of Pancasila, and religion cannot be contradicted or compared with Pancasila in
the context of its position and position in state life and in the administration of
government. These results are very important for efforts to realize the goals of the state,
in order to underlie effective and efficient governance in the state, without bringing up
problems and debates that have actually been resolved. In addition, there is also material
content regarding political ethics and the content of implementing Pancasila in politics in
Indonesia. This writing has used a statute approach and applied a descriptive analysis
method which was carried out to analyze the relationship between Religion and Pancasila
in the perspective of the 1945 Constitution.
A. Pendahuluan
Pendiri bangsa kita adalah seorang jenius yang sangat bijaksana dan cakap
membuat pilihan yang tepat atas dasar negara, bukan sebagai negara agama, bukan
sebagai negara sekuler, tetapi berdasarkan karakter negara yang sangat orisinal dan
modern dengan karakter religius. Perumusan konsep tersebut benar-benar berorientasi
dan sesuai dengan karakter negara.
Tidak hanya itu, ia juga berhasil merumuskan berbagai ide politik yang
dikembangkan. Pancasila memberikan suatu arah dan kriteria yang jelas mengenai layak
atau tidaknya suatu sikap dan tindakan yang dilakukan oleh setiap warga negara
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Proses kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari dimensi kehidupan politik Akan
1
Sumarsono, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 35
tetapi, kehidupan politik di setiap negara tentu saja berbeda. Salah satu penyebabnya
adalah faktor perbedaan ideologi. Kehidupan politik di negara yang menganut paham
liberal, tentu saja berbeda dengan yang hidup di negara sosialis atau komunis.
Begitu juga dengan kehidupan politik rakyat Indonesia, pasti berbeda dengan
rakyat bangsa lainnya. Kehidupan politik rakyat Indonesia selalu didasari oleh nilai-nilai
Pancasila. Pancasila merupakan landasan dan tujuan kehidupan politik bangsa kita.
Berkaitan dengan hal tersebut, proses pembangunan politik yang sedang berlangsung di
negara kita sekarang ini harus diarahkan pada proses implementasi sistem politik
demokrasi Pancasila yang handal, yaitu sistem politik yang tidak hanya kuat, tetapi juga
memiliki kualitas kemandirian yang tinggi yang memungkinkannya untuk membangun
atau mengembangkan dirinya secara terus-menerus sesuai dengan tuntutan aspirasi
masyarakatnya dan perubahan zaman.
B. Permasalahan
C. Pemecahan masalah
1. Eksistensi agama dalam pancasila berpolitik di negara Indonesia
Kehadiran negara yang dapat diandalkan keberadaan ideologis. Eksistensi suatu
negara dalam berbagai urusan internal dan eksternal sangat dipengaruhi oleh
ideologinya. Kebijakan suatu negara, dalam hal ini pemerintah, selalu didasarkan pada
ideologi nasionalnya. Lebih dari itu, ideologi suatu bangsa menjadi visi dan pedoman
bagi kehidupan sosial, kebanggaan dan status bagi seluruh warga negara. Dalam
konteks kehidupan politik, Pancasila harus dijadikan sebagai etika politik oleh seluruh
warga negara Indonesia. Kebebasan yang diberikan kepada setiap warga negara
dalam aspek ini harus selalu dilakukan atas dasar nilai-nilai Pancasila, sehingga
tindakan politik setiap warga negara selalu diarahkan pada Pancasila, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Kami berdiri untuk Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, demokrasi yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam
musyawarah delegasi dan keadilan sosial.
Entitas pertama dilambangkan dengan kata “Pancasila”, yang diakui dan
diterapkan sebagai sumber segala informasi hukum di bidang pemerintahan
Indonesia. Keutamaan Pancasila menciptakan persepsi tentang negara Indonesia yang
menjadi acuan mutlak bagi tatanan kehidupan sosial, politik, agama, dan hukum (Bo'a,
2018). 2Definisi yang menjadi Poin utama yang menjadikan Pancasila sebagai standar
tatanan kehidupan adalah sikap yang diperlukan dalam hubungannya dengan negara.
Dalam konteks ini (yaitu negara), Pancasila Apa yang disepakati bersama oleh
masyarakat digunakan sebagai acuan interaksi untuk kepentingan bersama. Dalam
tatanan hukum atau hukum, penekanan ditempatkan pada kedudukan Pancasila
sebagai sumber atau yang disebut sumber ketertiban hukum Sumber dari semua
sumber hukum (Bo'a, 2018). Istilah ini diketahui dari Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Sementara itu, agama sendiri telah menjadi entitas immaterial, yang
2 Bo’a, Fais Yonas. 2018. Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum dalam Sistem Hukum
Indonesia.Jurnal Konstitusi,Volume 15, Nomor 1, Maret.
keberadaannya diterima secara umum tetapi tidak didefinisikan secara jelas sebagai
istilah dalam peraturan hukum. Kemudian berkaitan dengan Kehadiran agama
merupakan landasan yang kuat untuk mewujudkan tujuan bangsa yang berdasarkan
Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai falsafah untuk menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan,kehidupan bermasyarakat dan sebagai dasar Negara yang juga
merupakan paradigma negara, pada hakikatnya mengandung lima prinsip
kebangsaan: Ketuhanan (Teisme), Kemanusiaan (Humanisme), Kebangsaan
(Nasionalisme), Kerakyatan (Demokrasi), dan Keadilan Sosial, atau Sosialisme (Jurdi,
2016).3 Nilai pertama secara langsung mewakili agama sebagai dasar nasional yang
paling penting untuk dipertimbangkan dalam semua tindakan nasional dan dasar yang
paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengakui keberadaan agama
dalam konteks ini,4
Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan sumber nilai terpenting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia (Syafi' AS. 2016).5 Mempertimbangkan kesesuaian
antara setiap tindakan dalam bernegara atau dalam penyelenggaraan pemerintahan
dengan ajaran Agama merupakan tahapan utama yang harus divalidasi atau
diverifikasi terlebih dahulu. Berdasarkan konteks ajaran Agama sebagai landasan
dalam bergerak untuk menyatakan kemerdekaan, ajaran Agama sebagai salah satu
landasan ditetapkannya Dasar Negara sekaligus paradigma bernegara, serta Agama
sebagai indikator yang pertama dalam menentukan tindakan dalam rangka
mewujudkan tujuan negara dan penyelenggaraan pemerintahan, maka dalam konteks
tersebut ajaran Agama yang diterapkan berkedudukan sebagai pendukung eksistensi
Pancasila sebagai Dasar Negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia. Falsafah negara merupakan dasar filosofis bernegara, yang mencerminkan
keinginan, watak, kepribadian, karakter, ciri khas, dan keistimewaan suatu negara
yang dirumuskan sesuai dengan karakter bangsa yang mendirikannya. Karena falsafah
itu merupakan perwujudan dari watak dan keinginan dari suatu bangsa, segala aspek
kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya (Huda, 2016). 6Bangsa
Indonesia sendiri memilih Pancasila sebagai falsafah negara, sehingga dalam
3
Jurdi, Fajlurrahman. 2016. Teori Negara Hukum. Setara Press. Malang
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 27
5
AS, A. Syafi’. 2016. Pengaruh Nilai-Nilai Pancasila dan Ajaran Islam terhadap Tujuan Pendidikan
Nasional.Jurnal Sumbula: Volume I, Nomor I, Januari-Juni.
6
Huda, Ni’matul. 2016. Hukum Tata Negara Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan Kesebelas. Rajawali Pers. Jakarta
bernegara, baik Pemerintah beserta seluruh komponen masyarakatnya dalam
bertindak demi kepentingan pencapaian tujuan negara, harus sesuai dengan prinsip-
prinsip yang dimuat dalam Pancasila yang diwarnai oleh aspirasi-aspirasi
keindonesiaan (Fadjar, 2016). Kecuali Pancasila adalah falsafah negara, seperti pada
pembahasan sebelumnya
Kursi sebagai dasar situasi. Dasar negara itu sendiri adalah asas yang dipakai
sebagai dasar pendirian negara, dasar yang menjadi sumber dan asas hukum.
Kegiatan nasional dan dasar penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai dasar negara
memiliki sifat imperatif/wajib, artinya semua warga negara wajib menaatinya (Syafi'
AS, 2016). Kata “wajib” dalam pernyataan tersebut tidak mengacu pada peraturan
perundang-undangan, sehingga apabila terbukti tidak dipatuhi maka tidak akan
berpengaruh pada pengenaan sanksi. Juga, karena itu bukan peraturan hukum, tidak
ada penegakan (hukuman) segera. Namun, ini tidak berlaku jika secara tegas diatur
oleh undang-undang atau undang-undang dan peraturan lainnya.
2. Materi Muatan Pancasila Dalam Kajian Berpolitik dan Bernegara
Sebagai salah satu cabang etika, etika politik merupakan salah satu bentuk filsafat
praktis. Secara sederhana etika politik dapat diartikan sebagai cabang etika yang
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam menjalankan
kehidupannya. Jadi, etika politik tidak hanya mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia sebagai warga negara saja, melainkan seluruh aktivitas hidupnya.
Hal ini dikarenakan ruang lingkup kehidupan politik yang mencakup bidang
kehidupannya lainnya. Dengan kata lain, etika politik berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia (Magnis-Suseno, 2001:17).7 Secara subtantif, etika politik
tidak dapat dipisahkan dengan subjek etika, yaitu manusia. Oleh karena itu etika
politik berkaitan dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan
bahwa pengertian moral selalu menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika.
Walaupun kedudukan dan sifat manusia selalu berkaitan dengan masyarakat, bangsa
dan negara, etika politik tetap meletakan dasar fundamental manusia sebagai
manusia, bukan sebagai warga masyarakat atau warga negara. Hal in semakin
menegaskan bahwa etika politik mendasarkan suatu kebaikan kepada hakekat
manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya (Magnis-Suseno, 2001:19).
Etika politik mempunyai fungsi yang terbatas dalam masyarakat, yaitu hanya berkutat
7
Magnis-Suseno, Franz. (2001). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Pratama
pada peyediaan alat-alat teoritis yang mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi
politik secara bertanggung jawab. Etika politik tidak berdasarkan emosi, prasangka
dan apriori, melainkan berdasarkan pada aspek rasionalitas, objektivitas dan
argumentasi. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Akan tetapi etika
politik membantu agar pembahasan-pembahasan masalah ideologis dapat dijalankan
secara objektif.8 Etika politik dapat memberikan orientasi dan pegangan normatif bagi
setiap orang yang mau menilai kualitas tatanan dan kehiduoan politik dengan tolok
ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebuah keputusan
politik. Seperti diungkap sebelumnya, bahwa hukum dan kekuasaan merupakan aspek
yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif dan kekuasaan sebagai lembaga penata masyarakat yang
efektif pada dasarnya sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya. Hukum tanpa kekuasaan negara hanya akan menjadi aturan normatif yang
kosong dan tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak mempunyai kemampuan untuk
bertindak. Sedangkan kekuasaan negara tanpa hukum, akan melahirkan suatu bentuk
kekuasaan negara yang absolut, sehingga akan menimbulkan terjadinya penindasan
terhadap manusia. Oleh karena itu, hukum dan kekuasaan membutuhkan suatu
legitimasi atau pengakuan dan pegesahan secara moral dari masyarakat. Dengan kata
lain, hukum harus menunjukkan bahwa dirinya berasal dari nilai-nilai moral yang
berkembang di masyarakat, bukan berasal dari kekuasaan belaka dan merupakan
suatu bentuk keputusan bersama. Begitu juga dengan negara, dalam melaksanakan
kekuasaannya harus berdasarkan pada tatanan normatif yang meupakan kehendak
bersama warga negaranya.
Tantangan era the end of postcolonial society Indonesia adalah bagaimana
mendudukkan kembali Pancasila sebagai dasar negara dalam berbagai dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam dimensi kehidupan politik.
Dalam kerangka itu pengkajian tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadi bagian tidak terpisahkan dalam upaya
mendudukkan kembali Pancasila pada peran dan fungsinya semula. Soeprapto (2006)
mengemukakan bahwa upaya untuk mengimplementasikan Pancasila dalam
kehidupan bernegara, pertama-tama harus dipahami konsep, prinsip, dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila, yang menjadi landasan, pendekatan, paradigma, serta
8
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Op. Cit., hal. 20
tujuan yang ingin dicapai dalam implementasi Pancasila dimaksud. Konsep yang
terdapat dalam Pancasila adalah: Konsep tentang hakikat eksistensi manusia, konsep
pluralistik, konsep harmoni atau keselarasan, konsep gotong royong dan
kekeluargaan, konsep integralistik, konsep kerakyatan, konsep kebangsaan. Konsep-
konsep itu merupakan penjabaran dari konsep dasar religiositas, humanitas,
nasionalitas, sovereinitas, dan sosialitas.
Sedangkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila adalah prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sementara itu, nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai-nilai keimanan,
ketakwaan, keadilan, kebebasan, kesetaraan, loyalitas, tenggang rasa, inklusif,
persatuan, kesatuan, kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan melalui
perilaku yang mencerminkan sikap:
1. Mengakui hakekat Tuhan
2. Mengakui hakekat manusia.
3. Mengakui hakekat persatuan
4. Mengakui hakekat kerakyatan
5. Mengakui hakekat keadilan
Demikianlah materi muatan Pancasila yang seyogyanya menjadi bagian dari
pendidikan politik bangsa dalam rangka meneguhkan kembali komitmen kebangsaan
setiap warganegara untuk menjadikan Pancasila sebagai etika dalam kehidupan politik
setiap warga negara.
3. Implementasi Nilai Pancasila Sebagai Etika Berpolitik di Indonesia
Pancasila merupakan dasar etika politik bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap peraturan Pancasila merupakan sumber etika politik yang
harus selalu ditanamkan dan dipraktikkan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia
baik oleh warga negara maupun penguasa. Kehidupan politik yang meliputi berbagai
kegiatan politik, oleh karena itu selalu berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, demokrasi hikmat dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan selalu Jika bertujuan untuk mencapai keadilan
sosial, dapat dikatakan dianggap etis untuk semua orang Indonesia. Dalam
penyelenggaraan dan penyelenggaraan negara, etika politik mensyaratkan
pelaksanaan kekuasaan negara sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas (statutory
legitimacy) yang dijalankan menurut hukum yang berlaku. Dilegalkan dan
dilaksanakan secara demokratis (democratic legitimacy). Hal itu dilakukan atas dasar
prinsip moral (moral justification) (Magnis-Suseno, 2001:115). Pancasila sebagai
sistem filsafat memiliki tiga landasan tersebut. Penyelenggaraan ketatanegaraan, baik
kekuasaan, kebijaksanaan umum, departemen, atau wewenang, harus didasarkan
pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila dengan demikian
menjadi sumber moralitas dalam proses penyelenggaraan negara, terutama dalam
kaitannya dengan legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan
penegakan hukum dianggap bermoral jika selalu berlandaskan Pancasila dan bukan
semata-mata untuk kepentingan penguasa. Oleh karena itu Pancasila merupakan
ukuran moralitas dalam pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum. Provinsi-
provinsi di Indonesia didasarkan pada Satu Ketuhanan. Pernyataan ini merupakan
ekspresi normatif dari satu perintah Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Akan tetapi, pernyataan tersebut bukan merupakan pengesahan oleh
Indonesia untuk menjadi negara teokrasi yang berdasarkan kekuasaan negara dan
penyelenggaraan negara atas dasar legitimasi agama, di mana kekuasaan kepala
negara bersifat mutlak atau absolut. Satu-satunya perintah Tuhan lebih terkait dengan
kebenaran moral. Artinya, jalannya bangsa dan proses penghidupan bangsa tidak
boleh didasarkan pada paham anti Tuhan atau anti agama, dan kehidupan berbangsa
dan bernegara harus selalu didasarkan pada nilai-nilai. dari Tuhan Yang Maha Esa
Oleh karena itu, sila pertama adalah legitimasi moralitas agama bagi masyarakat
Indonesia. Selain berlandaskan Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia juga harus
memiliki kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusiaan yang
adil dan beradab memberikan legitimasi moral kepada kemanusiaan dalam
penyelenggaraan negara.
Bangsa pada dasarnya adalah komunitas kehidupan manusia sebagai ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah dasar kehidupan, perwujudan dan
pemeliharaan bangsa. Oleh karena itu, prinsip-prinsip kemanusiaan memiliki tempat
yang mutlak dalam kehidupan dan hukum negara, dan jaminan hak asasi manusia
harus diberikan kepada setiap warga negara. Akhlak manusia yang shaleh dan
beradab sangat erat kaitannya dengan akhlak Tuhan Yang Maha Esa. Kedua perintah
ini memberikan kebenaran moral agama (perintah Tuhan Yang Maha Esa) dan
pelurusan moral kemanusiaan (perintah umat manusia yang adil dan beradab) dalam
kehidupan dan proses ketatanegaraan, Menjadikan negara Indonesia negara yang
berkuasa (memaksa). Bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari unsur persatuan.
Perintah Persatuan Indonesia menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah satu dalam
hal ideologi, politik, ekonomi, masyarakat, budaya dan keamanan. Proses
penyelenggaraan negara harus selalu didasarkan pada prinsip persatuan, dengan
kebijakan yang ditetapkan oleh otoritas yang bertujuan untuk memperkuat persatuan
dan kesatuan nasional, bukan memecah belah bangsa. Persatuan Indonesia adalah
perwujudan nasionalisme Indonesia yang dijiwai ketuhanan dan kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang
berpikiran sempit (xenophobia), tetapi nasionalisme yang selalu menghargai negara
lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta
keturunan. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyaratan/ perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa
Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan
dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan legitimasi
demokrasi bagi penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dalam proses
penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus
dikembalikan kepada rakyat. Oleh karena itu, tindakan politik yang sebenarnya dari
eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta konsep pengambilan keputusan, kontrol dan
partisipasi harus didasarkan pada legitimasi rakyat. Kewajiban keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia adalah menjamin legitimasi hukum (legitimacy) dalam
kehidupan dan penyelenggaraan negara. Indonesia merupakan negara hukum yang
selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan
hidup pemerintahan untuk menjamin agar semua warga negara Indonesia
diperlakukan secara adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, maka kehidupan dan
penyelenggaraan negara harus selalu berlandaskan hukum yang ada.9
Pelanggaran terhadap asas keadilan dalam kehidupan berbangsa dapat
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa, merusak tatanan
kehidupan berbangsa, dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap peraturan Pancasila harus dijadikan sebagai tolak ukur bagi
seluruh penyelenggara negara dan masyarakat Indonesia.10 Nilai-nilai tersebut harus
9
J.A.B. Jongeneel, Hukum Kemerdekaan I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hal. 10
10
H.A. Widjaja, Etika Politik & Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara, 2014), hal. 18
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga pada akhirnya akan
muncul pemerintahan yang beretika dan manusia yang bermoral.
Berikut adalah gambaran etika politik yang terbagi dalam sosialiasi politik manifes dan
sosialisasi politik laten
Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik ditandai oleh tingkat pengetahuan yang tinggi
dan aktif terlibat dalam sistem politik. Dengan meningkatkan Sosialisasi budaya politik,
diharapkan masyarakat Indonesia dapat berkembang menjadi masyarakat dengan budaya
politik partisipan dengan moral baik.
E. Flowchart
PANCASILA
ETIKA
BERPOLITIK
KEHIDUPAN
Bagan ini memuat penjelasan sebagaimana Segala cara ditempuh untuk meraih
kekuasaan meski mengorbankan rakyat dan dengan ongkos sosial yang tidak sedikit.
Agama, etnisitas, dan ideologi menjadi komoditi yang laku untuk melanggengkan
perseteruan dan upaya merebut kekuasaan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat hidup
di bawah garis kemiskinan. Pemerintah seakan tidak peduli ketika dihadapkan dengan
banyaknya pengangguran, rendahnya derajat kesehatan dan kualitas sumber daya
manusia. Aspirasi masyarakat seperti upaya penegakan supremasi hukum, perbaikan
ekonomi, penegakan hak asasi manusia masih jauh dari kenyataan. Krisis dan konflik
berkepanjangan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu lapisan masyarakat saja, tetapi oleh
segenap komponen bangsa, baik elit politik maupun masyarakat umum.
F. Penutup
Simpulan
Saran
Melakukan pelatihan guru tentang keberagaman agama dan budaya agar mereka
dapat mengajar dengan sensitivitas terhadap perbedaan.
3. Kerjasama dengan Komunitas Agama dan Budaya
E. Daftar Pustaka
AS, A. Syafi’. 2016. Pengaruh Nilai-Nilai Pancasila dan Ajaran Islam terhadap
Tujuan Pendidikan Nasional.Jurnal Sumbula: Volume I, Nomor I, Januari-Juni.
Bauto, Laode Monto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama).Jurnal Pendidikan
Ilmu Sosial (JPIS), Volume 23, No. 2, Desember.
Bo’a, Fais Yonas. 2018. Pancasila Sebagai Sumber Segala Sumber Hukum dalam
Sistem Hukum Indonesia.Jurnal Konstitusi,Volume 15, Nomor 1, Maret.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Op. Cit., hal. 20
H.A. Widjaja, Etika Politik & Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara,
2014), hal. 18
Huda, Ni’matul. 2016. Hukum Tata Negara Indonesia. Edisi Revisi, Cetakan
Kesebelas. Rajawali Pers. Jakarta
J.A.B. Jongeneel, Hukum Kemerdekaan I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), hal.
10
Jurdi, Fajlurrahman. 2016. Teori Negara Hukum. Setara Press. Malang.
Kamaruddin. 2013. Dimensi Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Perspektif
HAM Islam.Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia (In Right) Volume 3,
Nomor I.
Kantaprawira, Rusadi. (1987). Aplikasi Pendekatan Sistem dalam Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Bunda Karya.
Magnis-Suseno, Franz. (2001). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal. 27
Octavian, Wendy Anugrah. 2018. Urgensi Memahami dan Mengimplementasikan
Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-Hari sebagai Sebuah Bangsa.
Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, Volume 5, Nomor 2, Oktober.
Ruslan Somantri, Gumilar. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial Politik
Indonesia Modern. Dalam Irfan Nasution dan Ronny Agustinus (eds).
Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Jakarta:
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (PPD).
Shaleh, Ali Ismail dan Fifiana Wisnaeni. 2019. Hubungan Agama dan Negara
Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia.Volume 1, Nomor 2,
Mei
Soeprapto. (2006). “Implementasi Pancasila Dasar Negara dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara”. Makalah disampaikan dalam Semiloka
Pengembangan Buku Pembudayaan Nilai Dasar Pancasila – UUD 1945.
Ditjen Dikdasmen di Cisarua Bogor.
Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Biodata Penulis
Demikian Biodata saya sampaikan, semoga artikel dapat segera dimuat, terima kasih.
WILLIAM PRASETYO