Abstrak
1
Intersection of Politics and Religion
Abstract
The purpose of this study is to analyze and describe the phenomenon of the intersection of
politics and religion that occurs in Indonesia. This type of research is literature study by
references from various sources, namely research articles or journals, books, online news
and relevant internet sources according to the study topic being analyzed, namely related to
the intersection of politics and religion. Data analysis techniques are descriptive and
interpretation. The results of the research findings are that politics and religion are parallel
to one another. Politics and religion can collide depending on where religion is positioned
and the political world interferes with the existence of religion. Religion must not be brought
into the political realm and may not become a conversation or debate in the political realm
so that there is no blasphemy by the political elite. The case of religious blasphemy
committed by Governor Ahok where in his political atmosphere he had insulted the holy
verses of the Al-Qur'an, especially Surah Al-Maidah verse 51 which is the holy book of
Muslims for the benefit of his political power. Based on the findings, the value of the text
obtained is that politics and religion must respect each other. Politics and religion can live
side by side and side by side in harmony with a symbiotic mutualism without fighting one
another.
Agama dan politik memiliki wilayah kajian atau kekhasan yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Akan tetapi secara fungsional, politik dan agama sama-sama
mengemban peran sosial sebagai suatu entitas kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa agama sebagai suatu kepercayaan yang dianut oleh
setiap insan manusia sebagai simbol religi yang didalamnya terdapat suatu ajaran-ajaran
sebagai pedoman hidup bagi manusia secara individu maupun dalam sosial masyarakat
sehingga dengan ini dapat dikatakan bahwa Agama menjadi suatu pedoman sebagaii
penjaga aturan secara religius dalam kehidupan manusia. Disisi lain, politik merupakan
suatu hubungan yang berkaitan dengan pemimpin dan kekuasaan dalam suatu
2
pemerintahan dimana didalamnya terkandung regulasi atau kebijakan yang berfungsi
mengatur kehidupan sosial warga masyarakat dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.
Dalam arena perpolitikan Indonesia, antara agama dan politik sering terjadi
ketegangan-ketegangan atau bahkan mengarah ke permusuhan karena terjadinya penistaan
agama yang dilakukan olek oknum pejabat politik yang baik secara sengaja maupun tidak
disengaja melontarkan kata-kata yang dapat merendahkan suatu agama tertentu demi
kepentingan politiknya. Beberapa kejadian terkait kasus persinggungan antara politik dan
agama yaitu kasus penistaan agama khususnya penistaan terhadap agama Islam.
Adanya penistaan agama khususnya penistaan terhadap agama Islam yang dilakukan
oleh oknum pejabat politik demi kepentingan politiknya maka hal ini tentu saja mayoritas
penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadi tidak terima serta menuntut keadilan
yang setinggi-tingginya agar pejabat politik yang melakukan penistaan terhadap agama
Islam agar dapat dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut pada jurnal ini akan menganalisis
mengenai persinggungan antara politik dan agama dimana agama yang difokuskan pada
kajian yaitu agama Islam. Pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah proses terjadinya
persinggungan antara politik dan agama khususnya agama Islam di kancah perpolitikan
Indonesia?. Adapun asumsi utama atau hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu
persinggungan antara politik dan agama khususnya agama islam dapat terjadi ketika oknum
pejabat politik melakukan penistaan terhadap agama Islam demi kepentingan politiknya.
Tinjauan Literatur
Literatur yang digunakan yaitu berdasarkan kajian Mathias Daven (2013)
dengan judul Agama dan Politik – Hubungan yang Ambivalen Dialog Versus
“Benturan Peradaban”?. Berdasarkan kajian diketahui bahwa agama dan politik
merupakan satu kesatuan. Ambivalensi agama terlihat pada konflik politik dimana
3
agama dapat dengan mudah masuk dan menjadi instrumen dalam kondisi krisis
untuk tujuan atau kepentingan politik tertentu. Hal ini mengakibatkan konflik agama
yang disebabkan akibat instrumentalisasi politik politis. Konflik akan semakin
memanas apabila elit politik menggunakan simbol-simbol agama yang
menggambarkan kondisi eksploitasi agama untuk kepentingan politik mereka sendiri.
Metode
Jenis penelitian yaitu studi pustaka atau studi literatur (library research).
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-
laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 2014).
Kajian pustaka berfungsi untuk membangun konsep atau teori yang menjadi
dasar studi dalam penelitian. Selanjutnya Sutrisno Hadi (2001) menambahkan bahwa
studi kepustakaan merupakan langkah yang penting, dimana setelah seorang peneliti
menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang
berkaitan dengan teori topik penelitian.
Teknik analisis data yaitu dengan teknik deskriptif dan interpretasi. Analisis
deskripsi dimaksudkan untuk menguraikan pembahasan secara deskriptif tentang
objek yang sedang diteliti. Analisis deskripsi merupakan salah satu unsur hakiki untuk
menemukan eidos pada suatu fenomena tertentu dalam hal ini yaitu fenomena
persinggungan politik dan agama. Sementara itu, analisis interpretasi mengandaikan
4
peneliti dapat menangkap pemahaman berupa arti, nilai, dan mampu mengungkap
maksud dari fenomena dan persoalan yang sedang diteliti (Bakker & Charris, 1990).
Politik dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Politik dan agama berisi
nilai-nilai serta aturan yang dapat memfungsikan tatanan masyarakat dimana dalam hal ini
politik dan agama dapat terjadi persinggungan tergantung dimana agama diposisikan dan
campur tangannya dunia politik terhadap eksistensi agama.
Ajaran agama menekankan pada keimanan, peribadatan serta moralitas dari suatu
individu, sedangkan politik menekankan pada kekuasaan dan kepemimpinan dalam sistem
pemerintahan. Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah
keyakinan akan entitas spiritual sehingga dalam dunia politik agama tidak boleh dicampur
adukkan demi kepentingan politik. Agama tidak boleh di bawa ke ranah politik serta tidak
boleh menjadi perbincangan ataupun perdebatan dalam ranah politik. Agama cukup
digunakan sebagai keyakinan dan pedoman hidup setiap insan manusia dalam kehidupan
secara individual maupun secara sosial. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam dunia perpolitikan yang berkaitan dengan agama serta
mencegah terjadinya penistaan dan penodaan agama.
Secara khusus area kerja politik sebagai bagian dari pemerintahan terpisah dengan
agama sebagai bagian dari spiritualitas yang ditanamkan dalam lingkungan yang lebih kecil
yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat melalui tempat ibadah seperti masjid,
gereja, kuil, wihara dan tempat ibadah lainnya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran
agama tidak boleh disandingkan dengan politik kepentingan dimana segala sesuatu yang
berhubungan dengan agama hanya diselesaikan pada institusi keagamaan tersebut.
Berbanding terbalik dengan hal itu, setiap kebijakan politik atau segala aktivitas
politik dalam kegiatan pemerintahan harus didasarkan dan menghormati setiap ajaran
agama yang ada di Indonesia. Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat,
5
yaitu memelihara agama. Hal ini mengartikan bahwa jangan sampai kegiatan perpolitikan
atau regulasi sebagai produk politik dapat membahayakan atau berefek samping negatif
terhadap eksistensi suatu agama. Terguncangnya sistem agama dalam suatu pemerintahan
maka akan mengacaukan sistem ketatanegaraan.
Kegiatan perpolitikan dalam pemerintahan dapat dijaga oleh agama dimana dalam
hal ini agama berperan sebagai pengkritik kekuasaan politik yang telah melenceng. Posisi
agama sebagai pembentuk etika dan moral politik yang paling utama sesuai dengan
Pancasila sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Agama sebagai landasan filosofis
seluruh aktivitas perpolitikan.
Agama dapat melawan kekejaman, penyimpangan yang telah dilakukan oleh pejabat
politik karena perbuatan yang tentu saja bertentangan dengan ajaran agama. Berdasarkan
penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat politik, agama dapat melakukan fungsi kritik
sosial sebagai sarana perubahan politik tatanan kekuasaan yang lebih baik.
Berdasarkan teori dari Stephen Tong (2012) mengenai agama dimana ia menyatakan
bahwa agama-agama setidaknya mempunyai lima hal yang sama. Pertama, semua agama
percaya bahwa manusia merupakan makhluk yang berdosa. Tanpa kepercayaan ini, agama
bukanlah agama. Kedua, semua agama percaya bahwa terdapat jalan keluar bagi dosa
manusia. Tanpa jalan keluar ini, manusia akan mati dalam kebinasaan. Ketiga, semua agama
percaya bahwa moralitas merupakan hal yang bernilai meskipun ukurannya tidak sama dan
standarnya berbeda-beda. Keempat, semua agama percaya setelah mati, manusia bukan
lenyap tapi terus ada. Kelima, semua agama percaya ada kuasa supranatural di atas
manusia.
Selanjutnya Agama Islam yang sangat erat hubungannya dalam politik dimana
dalam Islam sendiri Istilah politik dikenal dengan siyasah. Kata siyasah secara harfiah
memiliki arti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan,
6
pengawasan, perekayasaan, dan arti lain-lainnya. Sementara secara istilah siyasah adalah
“pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’ (Dzajuli, 2003). Definisi
politik di atas pada intinya ingin mengambarkan bahwa Politik itu berkaitan dengan
kemahiran, menghimpun kekuatan, meningkatkan kuantitas dan kualitas kekuatan,
mengawasi dan menggunakan untuk mencapai tujuan tertentu di dalam negara dan
institut lainnya karena politik pada akhirnya ingin memenangkan pertarungan untuk
merealisasikan tujuan atau cita-cita politik (Ayi Sofyan, 2012). Stephen Tong (2012) juga
menyatakan bahwa aktivitas politik didasari oleh agama.
Menurut Amirullah (2015) agama Islam tidak bisa dipisahkan dari politik meskipun
Islam bukan agama politik. Meski demikian diskursus mengenai Islam dan politik tidak
berjalan datar tapi terus berkembang menjadi diskursus yang melahirkan banyak
khazanah pemikiran yang kemudian melahirkan perdebatan dan juga perbedaan cara
memahami hubungan Islam dengan politik.
Kasus ini terjadi pada tahun 2016 dimana Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta sedang melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu untuk meninjau Program Budi Daya Kerapu. Ahok mengatakan bahwa meskipun
dalam pemilihan Gubernur pada Februari 2017 semisal ia tidak terpilih menjadi Gubernur
maka program pemberdayaan budi daya kerapu tersebut akan terus berjalan. Selanjutnya
Ahok melontarkan kata-kata yang dalam hal ini telah menistakan agama Islam dengan
menyebut dibodohi oleh Almaidah ayat 51. Dilansir dari Portal Berita BBC News Indonesia
(2016) pernyataan yang dilontarkan Ahok yaitu sebagai berikut:
7
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi
(orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu.
Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka,
dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu.
Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak
Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok”.
Video pernyataan Ahok tersebut yang mengandung penghinaan terhadap ayat Al-
Qur’an yang merupakan kitab suci umat Islam tersebar secara luas dan mengundang
organisasi-organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan organisasi Islam lainnya melaporkan kasus penistaan terhadap agama yang dilakukan
oleh Ahok selaku aktor politik dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta. Majelis Ulama Indonesia
secara tegas telah mengambil sikap bahwa pernyataan Ahok demi kepentingan politisasi
telah menistakan Al-Qur’an dan menghina Ulama.
Akhirnya setelah gelar perkara maka Ahok kemudian ditetapkan oleh Kepolisian
Republik Indonesia sebagai tersangka dan dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan
agama meskipun sebelumnya Ahok telah memberikan klarifikasi bahwa ia tidak bermaksud
melecehkan siapapun khususnya kitab suci umat muslim dimana dalam hal ini Ahok
meminta maaf atas perbuatan yang dilakukan.
8
bahwa Ahok sebagai seorang penganut agama Kristen tidak berhak mengulas ataupun
menafsirka serta membicarakan ayat suci dari kitab selain kitab agamanya.
Berdasarkan realita serta fakta lapangan yang terjadi dimana dalam perjalanan
politik Ahok dalam pilkada Bupati Belitung Timur hingga terpilih sebagai Bupati Belitung
Timur, ia selalu mendapat lawan politik yang sering menggunakan surat al-Maidah ayat 51
sebagai bahan kampanye untuk menolak pemimpin non-Muslim. Hingga saat ia dilantik
menjadi Gubernur DKI Jakarta serta menjelang pilkada DKI 2017 juga banyak lawan politik
yang memakai surat al-Maidah ayat 51 untuk menolak atau tidak memilih pemimpin yang
non-Muslim.
Pernyataan dibohongi pakai surah Al-Maidah ayat 51 yang dilontarkan oleh Ahok
tersebut sudah secara jelas telah menghina Al-Qura’an sebagai kitab suci agama Islam serta
menghina keputusan warga yang tidak memilihnya dalam pemilihan Gubernur 2017
mendatang karena memegang teguh ajaran dalam surah Al-Maidah ayat 51.
Penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dalam suasana perpolitikan jelas
melanggar Pancasila sebagai pedoman dalam bertingkah laku khususnya yaitu pelanggaran
9
terhadap sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
bersinggungan dengan nilai-nilai agama dimana sebagai dasar Negara, Pancasila digunakan
untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan juga negara Indonesia, segala
sesuatu yang hubungannya dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang wajib atau harus berdasarkan Pancasila (Rohmatul Izad,
2017).
Sikap Ahok yang diduga menistakan agama sangat berhubungan dengan nilai
ketuhanan. Pancasila yang menjadi dasar negara sudah menegaskan bahwa kesadaran akan
ketuhanan telah menjadi esensi terdalam dari Bangsa Indonesia. Dengan demikian, apabila
ada seseorang yang telah menistakan agama baik secara sengaja ataupun tidak sengaja,
orang tersebut telah melanggar nilai ketuhanan.
Setiap ajaran agama harus disikapi dengan menghormati ajaran tersebut tanpa
merendahkan apalagi demi kepentingan politik. Hal inilah yang menjadi suatu pertimbangan
bahwa kegiatan perpolitikan tidak boleh mencampur adukakan dengan agama terlebih
dengan menghina agama serta unsur-unsur yang berkaitan dengan agana. Berdasarkan hal
ini dapat dikatakan bahwa ternyata politik juga dapat mengintimidasi, melawan, dan
menghancurkan agama.
Hal ini tentu saja perlu dihindari dan dalam hal ini Pemerintah selaku penguasa
dalam sistem pemerintahan perlu bersikap netral serta menjunjung tinggi hukum yang
10
berlaku sehingga jika terjadinya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh elit politik
sebagai kasus persinggungan antara politik dan agama maka posisi Pemerintah harus
menegakan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Politik dan agama harus saling menghormati. Politik dan agama dapat hidup
berdampingan dan beriringan secara harmonis dengan simbiosis mutualisme tanpa
melakukan perlawanan antara satu dengan yang lainnya dimana politik memberi jaminan
proteksi keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis”
untuk melanggengkan kekuasaan politik. Politik dan agama berhubungan secara sejajar,
saling melengkapi dan saling menguntungkan sehingga perpecahan antara elit politik dan
kalangan pembela agama dapat terelakkan dan keamanan serta kedamaian Negara Republik
Indonesia dapat terciptakan secara sempurna.
Kesimpulan
Jurnal:
11
Irwan Ahmad Akbar. 2019. Dinamika Kasus Penistaan Agama di Indonesia (Polemik
Pemaknaan Ayat-Ayat Penistaan dan UU Penodaan Agama). Jurnal QOF, 1(3), 89-
105
Mathias Daven. (2013). Agama dan Politik – Hubungan yang Ambivalen Dialog Versus
“Benturan Peradaban”?. Jurnal Ledalero, 2(12), 198-2019
Maya Permatasari. (2018). Konstruksi Realitas Dalam Pemberitaan Isu Penistaan Agama
(Analisis Framing Berita Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama Pada
Media Cetak Solopos dan Republika). Publikasi Ilmiah, 1(1), 1-21
Rohmatul Izad. (2017). Fenomena Penistaan Agama dalam Perspektif Islam dan Filsafat
Pancasila (Studi Kasus terhadap Demo Jilid II pada 04 November 2016). Jurnal
Penelitian Agama dan Masyarakat, 191, 171-189
Stephen Tong. (2012). Hubungan Agama dan Politik: Suatu Refleksi Teologis-Kultural.
Societas Dei, 1(1), 8-34
Sylvia Tamale. (2012). Exploring The Contours Of African Sexualities: Religion, Law And
Power. African Human Rights Law Journal, 1(14), 150-177.
Buku:
Bakker, Anton & Ahmad Charris Zubair. (1990). Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
12
Surat Kabar Online:
Reffy Maulana. (2016). Pidato di Kepulauan Seribu dan Hari-hari hingga Ahok menjadi
tersangka. BBC News Indonesia. Diakses 16 Januari 2021, dari
bbc.com/indonesia/indonesia-37996601
13