Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?

Di dalam kurikulum yang berlaku sekarang ini – Kurikulum 2013 – disebutkan adanya
pendidikan karakter. Sekelompok orang mengatakan dengan nada skeptis bahwa pendidikan
karakter itu hanya sekadar tempelan. Seperti apa wujud nyata pendidikan karakter itu? Mari
kita mencoba untuk membahasnya.
Kegagalan lembaga pendidikan
Pertanyaan mendasarnya adalah: Perlukah pendidikan karakter? Untuk menjawabnya, mari
kita lihat sejumlah keadaan di tanah air. Kita menyaksikan fenomena tawuran sering terjadi di
antara para siswa di banyak kota di Indonesia. Aksi kekerasan dan kebrutalan semakin
merajalela. Paparan pornografi dan penyalahgunaan narkoba semakin marak. Siswa berani
memukul guru, bahkan sampai guru meninggal dunia. Dan astaga! Bocah SD jatuh ke dalam
pelukan pelacur tua di Jawa Timur. Dan masih banyak lagi.
Hal-hal yang memprihatinkan ini menandakan gagalnya institusi pendidikan di Indonesia
dalam memberikan pendidikan karakter bagi para siswa.
Sejatinya, keluarga merupakan peletak dasar utama pendidikan karakter, karena siswa lebih
banyak meluangkan waktunya dalam keluarga ketimbang di sekolah. Dengan demikian, guru
perlu bekerja sama dengan orang tua siswa, karena pendidikan di sekolah dan di rumah itu
harus sinkron satu dengan yang lain.
Tak pelak, guru dan orang tua harus menjadi suri teladan yang baik bagi setiap siswa.
Bayangkan, bila seorang guru berniat menanamkan karakter disiplin kepada siswa agar tidak
datang terlambat, misalnya, tetapi guru itu sendiri sering datang terlambat.
Bila ini terjadi, jangan berharap siswa mau memperhatikan nasihat atau masukan dari guru
yang bersangkutan, karena siswa telah kehilangan kepercayaan terhadap gurunya sendiri. Jadi
kunci utamanya adalah kepercayaan siswa terhadap guru.
Apa sih sebenarnya pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah pendidikan yang
diberikan untuk menyiapkan keterampilan siswa guna menghadapi kenyataan-kenyataan di
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bagaimana membawa diri dalam pergaulan, bagaimana
harus berbicara santun, bagaimana harus bertoleransi kepada orang lain, bagaimana
menyikapi kenaikan harga bahan bakar, listrik, dan lain sebagainya.
Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya menjadi pribadi yang berintelektualitas
tinggi sekaligus memiliki perilaku yang baik dan menghormati orang lain? Prestasi akademis
sering diutamakan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sukses dalam kehidupan itu tidak
selalu bergantung pada kemampuan akademis seseorang.
Bermacam pendapat
Ada pihak yang menyatakan bahwa pendidikan karakter itu adalah membuat siswa
melakukan apa yang diperintahkan oleh guru. Hal semacam ini membawa kita kepada
pembebanan suatu sanksi dan sistem ’hadiah dan hukuman’ yang hanya berdaya guna untuk
sementara saja. Pemberian ’hadiah dan hukuman’ tak memberikan dampak yang menolok
bagi perubahan karakter dalam jangka panjang
Di samping itu, sistem ini hanya membuat siswa menjadi pengekor gurunya dan tidak terlatih
untuk mengeksplorasi pengalaman hidup lebih jauh. Eksplorasi memungkinkan siswa
mengalami sendiri berbagai tantangan dan kesulitan yang membentuk mereka menjadi
pribadi yang tekun, tangguh, dan mandiri. Dan setiap siswa itu adalah pribadi yang unik.
Karenanya, janganlah kita mencoba membuatnya menjadi copy cat guru. Tugas guru – seperti
yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara – adalah tut wuri handayani (dari belakang ikut
memberikan dorongan dan arahan). Guru perlu menekan atau mengurangi ego-nya dalam
mempraktikkan pendidikan karakter. Guru dan siswa perlu sama-sama mengasah
keterampilan dalam mengembangkan karakter yang baik.
Berdasarkan studi Dr. Marvin Berkowitz – seorang pakar pendidikan karakter dari University
of Missouri, St. Lois – ternyata pendidikan karakter memiliki pengaruh besar terhadap
peningkatan motivasi siswa untuk meraih prestasi. Pada kelas-kelas tertentu terdapat
penurunan drastis perilaku negatif siswa yang menghambat keberhasilan akademis. Hal ini
muncul, karena salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan
kepribadian yang berintegritas terhadap nilai dan aturan yang ada. Bila siswa berintegritas,
maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri untuk menghadapi hambatan dalam
belajar.
Wujud nyata
Jika ditanya tentang apa dan bagaimana wujud pendidikan karakter itu, maka penulis selalu
merujuk pada pendidikan karakter di sejumlah SD di Jepang.
Setiap jam makan siang, para siswa sudah berbaris rapi di ruang makan, lalu memberikan
hormat kepada juru masak. Seusai makan, mereka membersihkan sendiri seluruh peralatan
makan mereka, lalu mengepel lantai. Ya, mengepel lantai secara beregu. Sebuah contoh nyata
bagaimana pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak usia dini. Benar-benar melatih siswa
untuk berdisiplin, mandiri, dan mengerti tanggung jawab.
Pendidikan karakter itu mencakup ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap
(attitude), dan tindakan (action). Harus mampu memberikan ’asupan’ bukan hanya bagi raga,
tetapi sekaligus juga bagi jiwa berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau
benar-salah. Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter harus dilakukan dengan
mengacu kepada grand design tersebut.
Itu sebabnya dalam pelajaran Agama, misalnya, jangan hanya ditekankan aspek berdoa dan
ibadah saja, melainkan juga bagaimana menerapkan secara nyata ajaran agama dalam
kehidupan sosial di tengah masyarakat yang majemuk.
Pesan dalam story telling, menurut hemat penulis, merupakan salah satu cara ampuh untuk
menyampaikan pendidikan karakter kepada para siswa. Para siswa dapat secara bergantian
membawakan story telling dalam acara di dalam kelas maupun acara-acara penting yang
diselenggarakan oleh pihak sekolah, misalnya HUT sekolah dan peringatan hari raya tertentu.
Di sini pesan pentingnya tidaklah secara masif diindoktrinasikan kepada para siswa, namun
nilai-nilai moral yang baik dapat tertanam ke dalam hati dan pikiran mereka secara ’lembut’.
Inilah yang disebut sebagai pendekatan soft-selling dalam komunikasi pemasaran. Lembut itu
kuat.
Martin Luther King mengatakan bahwa kecerdasan plus karakter… itu adalah tujuan akhir
pendidikan yang sebenarnya (Intelligence plus character… that is the goal of true education).
Jika tokoh besar kaliber dunia – yang memiliki rekam jejak karakter positif – telah
mengatakan betapa pentingnya peran pendidikan karakter, masihkah kita ragu-ragu untuk
menerapkannya?

Tantangan – terutama bagi para guru – memang berat. Akan tetapi, janganlah pendidikan karakter
membuat kita keder dalam menerapkannya di tengah zaman yang penuh dengan gejolak negatif.

Pendidikan karakter merupakan kunci membangun peradaban bangsa yang memanusiakan manusia.

Anda mungkin juga menyukai