Anda di halaman 1dari 14

1

TANGGUNG JAWAB BIDAN PRAKTIK MANDIRI DALAM PEMBERIAN


INDUKSI (OKSITOSIN) YANG MENYEBABKAN ROBEKAN RAHIM
(RUPTUR UTERI) PADA PROSES PERSALINAN
MENURUTPERMENKES 1464 TAHUN 2010 TENTANG IZIN DAN
PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN DIHUBUNGKAN DENGAN
UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Anggi Agustine Dewi


Mahasiswa Pasca Sarjana Unisba Program Studi Magister Ilmu Hukum
E-mail : agustine.anggi@gmail.com

Abstrak:Bidan merupakan mitra perempuan untuk memberikan dukungan asuhan


kebidanan. Dalam melaksanakan tugas kebidanan ini seorang bidan tidak dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan klien menjadi cacat atau meninggal dunia
setelah ditangani, bisa karena bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai
dengan Standart Operating Procedure (SOP) atau tidak. Dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian menggunakan
deskriptif analisis. Selain itu jenis data dilakukan dengan menggunakan data
sekunder dan primer. Teknik pengambilan data dengan studi pustaka dan
wawancara serta teknik penentuan sampel dengan cara Purposive Sampling. Dari
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tindakan bidan dalam pemberian oksitosin
pada proses persalinan ialah suatu perbuatan diluar kewenangan.
Pertanggungjawaban bidan yang melakukan tindakan diluar kewenangannya ini
dapat diproses melalui penerapan hukum perdata maupun hukum pidana. Secara
implementasi tanggung jawab bidan dalam pemberian oksitosin yang
menyebabkan ruptur uteri pada proses persalinan saat ini memilih menggunakan
cara non litigasi.

Kata Kunci : Bidan, Oksitosin, Ruptur Uteri

Abstract:Midwives is the female partner to provide support for midwifery care. In


carrying out this task a midwife midwifery can’t shy away from the possibility of
the client becomes disabled or dies once addressed, could be because the midwife
had done its job in accordance with the SOP or not. In this study using normative
juridical approach. Specifications research using descriptive analysis. Besides the
type of data is done using secondary and primary data. Data collection technique
to study literature and interview and sampling technique by means of purposive
sampling.From the results of this study concluded that the midwife's actions in
oxytocin during delivery is an act outside the authority. Accountability midwife
who act outside the authority can be processed through the application of civil law
and criminal law.In implementation of the responsibilities of midwives in
oxytocin that causes uterine rupture during delivery currently choose to use a non
litigation.

Keywords: Midwives, Oxytocin, rupture uteri


2

PENDAHULUAN

Menurut Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka


Kematian Ibu (AKI) 228 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi
(AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup dan mengalami peningkatan pada tahun 2012
rata-rata angka kematian ibu (AKI) tercatat mencapai 359 per 100 ribu kelahiran
hidup dan angka kematian bayi (AKB) tercatat mencapai 32 per 1000 kelahiran
hidup. Persentase tertinggi penyebab kematian ibu melahirkan adalah perdarahan
sebanyak 28 %. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan pada proses persalinan
adalah ruptur uteri. Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus (rahim) pada
saat kehamilan atau dalam persalinan. Pemberian oksitosin dalam dosis yang
terlalu tinggi/indikasi yang tidak tepat bisa menyebabkan ruptur uteri. Berbagai
upaya telah dilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian ibu diantaranya
dengan optimalisasi pemanfaatan tenaga kesehatan yang profesional dan
kompeten.

Menurut laporan ke Ikatan Bidan Indonesia (IBI), ada 3 kasus dugaan


malpraktik bidan. 3 kasus tersebut adalah hasil dari Audit Maternal Perinatal
(AMP) Dinas Kesehatan, yang terbukti adanya kesalahan atau kelalaian dari
bidan, karena tidak adanya gugatan dari klien, maka bidan tersebut diberikan
pembinaan oleh dinas kesehatan melalui organisasi profesi. Kasus tersebut paling
banyak adalah tindakan bidan yang melakukan praktik diluar kewenangan
sehingga menimbulkan akibat negatif bagi kliennya. Maka penulis tertarik untuk
meneliti pertanggungjawaban bidan yang melakukan tindakan diluar kewenangan
menurut PERMENKES 1464 tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis


normatif, karena penelitian ini dilakukan dengan cara menghubungkan antara
kaidah-kaidah perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif
dengan pelaksanaan di masyarakat. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yang memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan yang terjadi pada
saat penelitian berlangsung yang tertuju pada analisa perkara pemberian oksitosin
pada proses persalinan yang dilakukan oleh bidan. Sebagai bahan pendukung
penulisan ini, maka diperlukan data baik primer maupun sekunder. data primer
berupa data yang langsung diperoleh dari narasumber yang berkaitan dengan
permasalahan dalam praktik yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh, yang dihubungkan dengan keadaan atau norma yang berupa
peraturan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi yang
berkaitan dengan perkara tindakan bidan dan asas-asas hukum disiplin yang
berkaitan dengan profesi (IBI) yang diterapkan dalam penerapan hukum berupa
putusan dari MKEB (Majelis Kode Etik Bidan).
3

HASIL

Situasi bidan di Indonesia pada tahun 2013 tercatat 300.000 orang dan yang
tercatat di Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebanyak 178.000 orang. Di Provinsi
Jawa Barat sebanyak 18.000 orang dan menurut data dari pengurus IBI (Ikatan
Bidan Indonesia) di kota Bandung sebanyak 1000 orang bidan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu pengurus IBI kota Bandung mengenai jumlah kasus
penyalahgunaan kewenangan pemberian induksi (oksitosin) pada proses
persalinan yang dilakukan oleh bidan di Kota Bandung, pengurus IBI mengatakan
bahwa pada saat ini memang pernah adanya laporan yang diterima oleh organisasi
IBI mengenai tindakan bidan yang melakukan tindakan diluar kewenangannya,
namun pada hal ini organisasi tidak bisa melakukan tindakan terhadap bidan
tersebut karena pada dasarnya laporan bisa dapat dilakukan tindakan apabila
yang bersangkutan dalam hal ini klien mengadukan langsung secara resmi
terhadap organisasi mengenai penyalahgunaan kewenangan tersebut.

Kesulitan yang muncul disini ialah dalam melakukan pertanggungjawaban


biasanya bidan dengan klien tersebut telah melakukan penyelesaian secara
kekeluargaan, sehingga organisasi tidak bisa menindak lebih dalam karena kedua
belah pihak telah mencapai kesepakatan untuk tidak membawa kasusnya ke ranah
hukum. Selain itu data dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Kesehatan
hanya mendapatkan laporan kematian hanya dari tiap-tiap puskesmas mengenai
kematian yang berhubungan dengan ibu dan kematian bayi yang nantinya akan
dilakukan AMP (Audit Maternal Perinatal) yang bertujuan untuk mengetahui
penyebab kematian tersebut, apakah disebabkan oleh kelalaian tenaga kesehatan
atau ada indikasi lain. Jika pada saat dilakukan AMP ternyata ada indikasi
kesalahan tenaga kesehatan maka tenaga kesehatan tersebut akan diberikan sanksi,
mulai dari teguran lisan, teguran tulisan sampai pencabutan izin praktek.

Berikut data AKI dan AKB dari Dinas Kesehatan Kota Bandung Tahun 2013.

Kejadian kematian ibu di Kota Bandung pada tahun 2013 yang terlaporkan
melalui fasilitas kesehatan dan telah dilakukan sebanyak 25 kasus. Penyebab
kematian ibu terbanyak adalah Hipertensi dalam kehamilan 9 kasus, Perdarahan 6
kasus, infeksi 1 kasus, dan lain-lain 9 kasus.
4

Penyebab kematian ibu dari tahun 2009 hingga 2013 dapat dilihat dari grafik
di bawah ini :

Grafik di atas menerangkan penyebab lain-lain menjadi penyebab dominan


kematian ibu dalam beberapa tahun terakhir. Kasus penyebab kematian
Preeklamsi/Eklamsi dan perdarahan (salah satunya kasus ruptur uteri) juga
cenderung meningkat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Jumlah kematian ibu
terbesar di tahun 2013 di Kota Bandung terdapat di Kecamatan Bandung Kulon 4
kasus dan Kecamatan Antapani 3 kasus.
Selain berdasarkan hasil wawancara dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan
Dinas Kesehatan Kota Bandung, peneliti melakukan wawancara dilapangan
dengan masyarakat dan beberapa bidan yang membuka praktik mandiri atas
tindakan tenaga kesehatan yaitu bidan dalam hal ini, bahwa dilapangan ternyata
masih banyak fenomena kasus pemberian induksi (oksitosin) yang menyebabkan
robekan ruptur uteri pada proses persalinan terhadap kliennya.

PEMBAHASAN

1. Tanggung Jawab Bidan Praktik Mandiri Dalam Pemberian Induksi


(Oksitosin) Pada Proses Persalinan

A. Pertanggungjawaban secara perdata


Tanggung jawab di bidang hukum perdata dari seseorang tenaga kesehatan
muncul dalam bentuk tanggung gugat, bahwa bidan dapat digugat dimuka
pengadilan karena perbuatannya. Klien dalam mengajukan gugatan dapat memilih
salah satu dari dua macam dasar gugatan. Gugatan dalam hukum perdata dapat
dilakukan berdasarkan wanprestasi atau berdasarkan perbuatan melawan hukum.

Seperti kasus yang terjadi, bahwa adanya seorang pasien Ny. J dengan kondisi
hamil ketiga datang ke bidan A dan sudah mengaku merasakan mules serta keluar
darah yang bercampur lendir. Bidan melakukan pemeriksaan, hasil pembukaan 7
cm. Setelah dilakukan pemeriksaan, bidan memberikan cairan infus RL 500 cc
atas izin keluarga. Namun karena pembukaan tidak maju, bidan memberikan
5

suntik drip oksitosin ke dalam cairan infus. Namun setelah bayi lahir, terjadi
perdarahan banyak dari vagina dengan keadaan ibu semakin lemah. Setelah
dirujuk kerumah sakit, pasien tersebut didiagnosa ruptur uteri dan akhirnya
meninggal dunia.

Dalam kasus dua menyatakan bahwa adanya seorang pasien bernama Ny. S anak
pertama datang dengan pembukaan 5 cm pada pukul 02.00 WIB. Karena pasien
sangat lemah akhirnya bidan memberikan cairan infus untuk menambah energi.
Pada pukul 07.00 WIB pembukaan tetap sama dan akhirnya bidan pun
memberikan suntikan drip oksitosin. Beberapa saat setelah disuntik drip oksitosin,
pasien semakin mulas tetapi tetap tidak ada kemajuan persalinan sehingga pasien
pun dirujuk ke rumah sakit. Setelah di rumah sakit pasien tersebut mengalami
robekan rahim yang mengakibatkan pasien tersebut harus segera dilakukan
pengangkatan rahim (histerektomi) diruang operasi.

Dalam kasus ketiga, eorang pasien Ny. G hamil anak keempat, riwayat operasi
caesaria 1 kali mengeluh mulas. Saat dilakukan pemeriksaan pembukaan 6 cm,
karena bidan menginginkan pasien lahir cepat, pasien pun dipasang infus dan
memasulan 0,5 IU drip oksitosin untuk merasangsang kontraksi. Beberapa menit
setelah dberikan suntikan oksitosin pasien merasa sangat mulas tetapi tetap
pembukaan tidak maju. Saat dilakukan pemeriksaan DJJ 160 x /menit dinyatakan
fetal distress. Sehingga pasien harus dirujuk kerumah sakit dan dirumah sakit,
bayi Ny. G didiagnosa distresss sehingga harus segera dilakukan operasi caesaria
cyto karena terjadi indikasi ruptur uteri yang membahayakan bayi. Setelah
dilakukan operasi, bayi dinyatakan meninggal dan Ny. G berhasil diselamatkan.

Dalam kasus Bidan A dikenakan perdata karena Bidan A telah melakukan


tindakan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan wanprestasi yang
dilakukan oleh Bidan A adalah bahwa bidan A telah memberikan pelayanan
kesehatan yang tidak patut dan menyalahi tujuan kontrak terapeutik. Kontrak
terapeutik yang dilakukan Bidan A kepada Ny. J dilakukan yaitu Ny. J datang ke
Bidan A untuk meminta pertolongannya, dengan kedatangan Ny. J tersebut berarti
Disana sudah terjadi perjanjian terapeutik dimana bidan akan memberikan upaya
yang maksimal (Inspanning Verbintenis) untuk kesehatan Ny. J, hal ini sesuai
dengan pernyataan Bahder Johan dalam bukunya tentang Hukum Kesehatan dan
pertanggungjawabannya bahwa pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik
dapat dilakukan klien dengan mengajukan rekam medik atau dengan “persetujuan
tindakan medik” yang diberikan oleh klien. Bahkan dalam kontrak terapeutik
adanya kartu berobat atau dengan kedatangan klien menemui tenaga kesehatan
untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Kasus Bidan A dikatakan perbuatan melawan hukum karena terdapat kesalahan
dari Bidan A dalam menjalankan profesinya atau ada kesalahan profesional yang
berkaitan dengan kewajibannya yang timbul karena profesionalnya atau
kewajiban profesional, karena telah melakukan tindakan tidak sesuai dengan
standar profesi (Standar Operating Procedure).
6

B. Pertanggungjawaban secara pidana

Dalam kasus ini bidan A tidak mempertimbangkan sebaik-baiknya tindakan


yang dilakukan dalam mengobati dan merawat kliennya, yaitu tidak
mempertimbangkan kemunginan efek samping dari pemberian oksitosin. Karena
pada halnya pemberian drip oksitosin dalam proses sebelum melahirkan bukan
merupakan kewenangan bidan. Ditambah oksitosin merupakan obat yang kuat,
obat tersebut dapat membunuh dan membuat cacat ibu dengan terjadinya rupture
uteri (robekan rahim). Risiko perdarahan pasca persalinan lebih besar dan
malahan menyebabkan lebih banyak kematian dan cacat janin akibat hipoksia
(kekurangan oksigen) yang disebabkan kontraksi uterus yang berlebihan.

Maka dalam hal ini tindakan bidan A yang melakukan drip oksitosin terhadap
kliennya yang ditambah dari hasil dari tindakannya tersebut membuat kliennya
meninggal dunia ini bisa dikenakan sanksi secara pidana berupa hukum penjara
karena atas kelalaianya mengakibatnya hilangnya nyawa orang lain.

Mengenai penjelasan tersebut diatas juga telah diatur dalam Undang-undang


No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu dalam Pasal 190 ayat 2 dijelaskan :
1. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kese-
hatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga


kesehatan juga diatur di dalam Pasal 84 yaitu :
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengaki-
batkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
2. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.

2. Implementasi Tanggung Jawab Bidan Praktik Mandiri Dalam Pemberian


Induksi (Oksitosin) Pada Proses Persalinan Dihubungkan Dengan Upaya
Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak

Mengenai tanggung jawab bidan dalam pertanggungjawaban atas tindakan


bidan yang bekerja diluar kewenangannya, dalam hal ini khususnya dalam hal
kewenangan pemberian induksi oksitosin pada proses persalinan. Dalam
impelementasinya, bidan bertanggungjawab atas segala bentuk pelayanan yang
telah dilakukan olehnya. Di dalam fenomena yang terjadi di lapangan, bidan
sebenarnya sudah melaksanakan hal- hal apa saja yang harus dilakukan untuk
meningkatkan derajat kesehatan Ibu dan Anak. Bidan mampu mengenali batas-
batas pengetahuan, keterampilan pribadinya dan tidak berupaya melampaui
7

wewenangnya dalam praktik kliniknya. Dan bidan pun akan bertanggungjawab


untuk mengambil keputusan serta konsekuensi dari keputusan tersebut.

Dilihat dari tindakan bidan yang memberikan induksi oksitosin dalam proses
persalinan ini melampaui batasan kewenangannya. Dengan demikian
implementasi penerapan hukum baik secara pidana maupun perdata dan baik
secara litgasi maupun non litigasi harus diterapkan untuk memberi peringatan
terhadap bidan yang melakukan tindakan diluar kewenangannya. Secara
implementasi tanggung jawab pada saat ini, cara non litigasi atau diluar proses
pengadilan lebih banyak dipilih sebagai proses dari cara pertanggungjawaban,
dalam hal non litigasi ini maka kedua belah pihak yaitu klien dan bidan berupaya
untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa, penyelesaian perkara
(terutama perkara perdata) dengan perdamaian itu dirasa akan lebih baik dan
memenuhi rasa keadilan baik mereka yang berperkara, karena hubungan antara
pihak tetap dapat terjalin dengan baik bila dibandingkan perkara diselesaikan
dengan putusan di pengadilan. Selain itu, sengketa bisa selesai sama sekali tanpa
meninggalkan rasa dendam diantara yang berperkara, dengan biaya yang murah
dan penyelesaian cepat. Mengenai penyelesaian yang diluar pengadilan, bisa
ditempuh oleh kedua belah pihak baik dengan melibatkan mediator maupun
dilakukan sendiri secara damai secara mufakat.

Jika kita kaitkan dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak (KIA)
sudah sangat jelas dengan bidan melakukan tindakan pemberian induksi
(oksitosin) akan berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Kesehatan ibu dan
anak adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan
bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Secara garis besar peran bidan dalam
peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak dibedakan menjadi 4, yaitu peran
sebagai pelaksana, kolaborasi, pengelola dan pendidik. Sebagai pelaksana, bidan
bertugas untuk menerapkan manajemen pada setiap asuhan kebidanan dari sejak
awal kehamilan, persalinan dan nifas. Manajemen yang baik meliputi pengkajian
status kesehatan ibu dan anak, menyusun dan melaksanakan tindakan sesuai
dengan masalah yang dihadapi kemudian mengevaluasi hasil tindakan yang
diberikan. Peran penting lainnya adalah berkolaborasi dengan dokter spesialis atau
dokter umum pada kasus- kasus kebidanan. Saat ini, penyebab tersering untuk
kematian ibu adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan dan infeksi. Untuk
itu seharusnya bidan dan dokter harus berkolaborasi untuk memberikan pelayanan
terbaik kepada pasien. Bidan juga berperan dalam tugas rujukan kasus-kasus
tertentu melalui konsultasi kepada dokter spesialis kebidanan dan penyakit
kandungan terutama untuk kasus kehamilan, persalinan dan nifas dengan penyulit.
Untuk itu seharusnya dalam kasus ini, bidan boleh memberikan tindakan
induksi (oksitosin) apabila berkolaborasi dengan dokter dan tindakan tersebut
harus dilakukan di rumah sakit. Peran bidan sangatlah penting dalam upaya
peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia, sehingga apabila bidan
sendiri yang membuat Angka Kematian Ibu meningkat, maka upaya peningkatan
kesehatan ibu dan anak pun akan terus menurun.
8

3. Peran Majelis Pertimbangan Etik Bidan (MPEB) dan Majelis Peradilan


Profesi/ Majelis Pembelaan Anggota (MPA)/ organisasi profesi bidan
dalam menanggulangi tindakan bidan praktik mandiri yang melakukan
pemberian induksi (oksitosin) pada proses persalinan

Apabila bidan melakukan tindakan diluar kewenangannya atau tidak


melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya yang banyak disebut sebagai
(malpraktik) dalam hal ini khususnya dalam hal kewenangan pemberian induksi
oksitosin pada proses persalinan ini, sebaiknya diproses melalui hukum perdata
maupun pidana dan sampai dihadapkan ke muka pengadilan. Dengan demikian
padal hal ini IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah
bidan tersebut telah benar-benar melakukan kesalahan, karena salah satu tujuan
pembentukan MPA dan MPEB adalah untukk memberikan penilaian apakah
seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya telah sesuai dengan kode etik bidan
atau tidak. Salah satu dibentuknya MPA dan MPEB adalah karena bidan dalam
melaksanakan profesinya kadang kala diprotes oleh keluarga klien bahwa si bidan
telah membuat kesalahan yang mendatangkan kerugian bagi klien. Oleh karena itu
bilamana hakim yakin, dapat meminta keterangan ahli lain, dan bahkan
dimungkinkan untuk mengadakan penelitian ulang dengan komposisi personil
yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. Hal ini
dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 180 ayat (1) sampai dengan ayat
(4) KUHAP, sedangkan kemungkinan dapat terjadi kesalahan atau kelalaian dari
keluarga klien itu sendiri seperti pertolongan keluarga sebelum pergi ke bidan.

Pelanggaran dibidang etika akan ditangani oleh MKEB ( Majelis Kehormatan


Etik Bidan), fungsinya adalah menjaga kehormatan dan martabat profesi
kebidanan. Namun yang termasuk kedalam pelanggaran di bidang etika adalah
urusan organisasi intern yang termasuk wewenang Badan Profesi itu sendiri yaitu
IBI (Ikatan Bidan Indonesia), Badan inilah yang dapat menjatuhkan sanksi yang
dapat berupa:

1. Teguran
2. Skorsing
3. Rekomendasi kepala badan profesi untuk pemecatan dari keang-
gotaannya
4. Apabila bidan tersebut hanya melakukan perbuatan yang termasuk
kedalam pelanggaran etika, misalnya dalam prakteknya bidan mem-
beda-bedakan setiap klien berdasarkan pangkat, kedudukan, golongan,
bangsa atau agama. Hal ini melanggar salah satu kode etik bidan pada
Bab 1 tentang kewajiban terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada
butir (1) yang berbunyi :
“setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya”.
9

Sedangkan dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah bahwa


dalam melaksanakan tugas atas dasar kemanusiaan tidak akan membedakan
pangkat, kedudukan, keturunan, golongan, bangsa dan agama. Maka penyelesaian
atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian
sanksi dilakukan berdasarkan peraturan - peraturan yang berlaku didalam
organisasi IBI tersebut.

SIMPULAN

Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa


tanggung jawab Bidan Praktik Mandiri dalam pemberian induksi (oksitosin) yang
menyebabkan robekan rahim (ruptur uteri) pada proses persalinan hanya
mengatur mengenai sanksi secara administratif, pada Pasal 23 yang menjelaskan
bahwa sanksi administratif bisa berupa: teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan
SIPB sementara selama satu tahun, dan pencabutan SIPB selamanya. Sedangkan
untuk aspek hukum perdata dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur litigasi
dan non litigasi yang dimana tuntutannya berupa tuntutan wanprestasi maupun
tuntutan perbuatan melawan hukum. Sedangkan penerapan hukum pidana,
Permenkes 1464 Tahun 2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
berpayung terhadap UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

SARAN

a. Diharapkan Bidan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai


dengan kewenangannya sehingga tidak akan merugikan masyarakat seba-
gai penerima pelayanan kesehatan.
b. Untuk Organisasi Profesi (IBI) agar lebih meningkatkan lagi perannya
dalam pencegahan bidan yang melakukan tindakan diluar kewenangan
dengan melakukan pembinaan maupun pengawasan kepada seluruh bidan
sebelum terjadinya gugatan dari klien
c. Untuk MPEB dan MPA agar lebih mempertimbangkan dan melakukan pe-
nilaian secara obyektif terhadap bidan, sehingga bidan dapat melakukan
tugasnya sesuai dengan prosedur dan etik yang berlaku.
d. Untuk pemerintah, diharapkan dapat segera merealisasikan undang-undang
kebidanan, agar bidan mempunyai pengakuan yang jelas oleh negara dan
mempunyai kekuatan hukum yang jelas dengan dibentuknya undang-un-
dang khusus untuk profesi bidan.
10

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU – BUKU

Achdiat, Chrisdiono M. Pernik-pernik Hukum Kedokteran- Melindungi Pasien


dan Dokter. Jakarta: Widya Medika. 1997

Alexandra Indriyanti Dewi. Etika dan Hukum Kesehatan. Pustaka Book Publisher.
Yogyakarta. 2008

Anjarwati, Ria.dkk.  Konsep Kebidanan, EGC. Jakarta. 2005

Asri Hidayat dan Sujiatini. Asuhan Kebidanan Persalinan. Yogyakarta. Nuha


Medika. 2010

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka


Cipta. Jakarta,2005.

Christian, R, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ


Tubuh, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2003.

Cunningham. Obstetri Williams. EGC. Jakarta.2013.

Cunningham FG (editorial) : Induction of Labor in “William Obstetrics” 22nd ep


536-545, Mc GrawHil : Companies. 2005

DepKes RI. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta. 2001

Djojodirdjo, MA Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita.


Jakarta. ` 1979

Dwana Estiwidani, Niken Meilani, Dkk, Konsep Kebidanan, Fitramaya, 2010.

Emi Nurlaela . Pengalaman Primipara. Fakultas Ilmu Keperawatan UI. 2008

Hanafiah M J. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Jakarta: EGC. 2009

Heni Puji Wahyuningsih dan Asmar Yetty Zein. Etika Profesi Kebidanan. Yo-
gyakarta. Fitramaya. 2005.

Ida Bagus Manuaba. Praktik dan Registrasi Bidan. EGC. Jakarta. 2000

Ikatan Bidan Indonesia. Buku Saku 2 Untuk Bidan. EGC. Jakarta . 2010.
11

Ikatan Bidan Indonesia. 50 Tahun IBI Menyongsong Masa Depan. PP IBI.


Jakarta. 2001

J Guwandi, Dokter, Klien Dan Hukum, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007.

J. Guwandi. Informed Consent. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Jakarta : 2009

Jusuf Hanafiah Dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
EGC. Jakarta. 2008.

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi. Pasca


Sarjana, Medan. 2008.

Komariah. Edisi Revisi Hukum Perdata. Universitas Muhammadiyah Malang.


Malang. 2001

Lexy J Maelong. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.


Bandung, 2000.

Llewellyn, Derek. ( 2002 ). Dasar – Dasar Obstetri dan Ginekologi, edisi 6 (ed-
6) .Jakarta : Hipokrates

Manuaba, I.B.G., I.A. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.
2007

Oxorn, H., Forte, W. Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan.


Yogyakarta : ANDI; YEM. 1990

Purbacaraka. Perihal Kaedah Hukum. Bandung. Citra Aditya. 2010

Pusdiknakes. Asuhan Intrapartum. WHO – JHPIEGO. Jakarta. 2003

Panggabean. Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Upaya Meningkatkan


Kualitas Pelayanan Kedokteran. Varia Peradilan IKAHI. 1997

Prawihardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.


2008

Ria Anjarwati dkk. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: Buku Kedokteran.
EGC. 2006

Safitri Hariyani, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara


Dokter Dengan Klien. Diadit Media. Jakarta. 2005.
12

Saifuddin, Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan


Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2006.

Siti Ismijati Jenic, “ Tanggung Jawab Perdata Di Dalam Pelayanan Medis (Suatu
Tinjauan dari segi Hukum Materi)”, Mimbar Hukum, Volume 18 Nomor 3.
2006

Soedigdomarto MH, Prabowo RP. Ruptura Uteri. Dalam: Prawirohardjo S,

Wiknjosastro H,Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi


Ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2005

Syamsuddi K. Ruptura uteri, Dalam: Pangebean W, Syamsuri K,editor. Bunga


Rampai Obstetri.. Palembang: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2004.

Soewono, Batas Pertanggujawaban Dokter Dalam Malpraktik Medis, Jakarta,


2005.

Soepardan, Suryani. Konsep Kebidanan. EGC. Jakarta. 2007

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1987.

Sofyan dkk. Bidan Menyongsong Masa Depan. PP-IBI. Jakarta. 2006

Subekti. Hukum Perjanjian Cetakan 19. Intermasa. Jakarta : 2002

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi


Revisi IV. PT Rineka Cipta. Jakarta. 1998.

Tiran, Denise. Buku Saku Bidan Ed.10 . EGC. 2005

Varney, Kriebs Jan M, Gegor Carolyn. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4.
Jakarta:EGC. 2007

Veronica Komalwati, Hukum Dan Etika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan,
Jakarta, 1989.

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Bedah Kebidanan.  Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawiroharjo. Jakarta. 2007

Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawiroharjo. Jakarta. 2005

Yanti dan Nurul Eko. Etika Profesi dan Hukum Kebidanan. Pustaka Rihama
13

Yogyakarta. 2010

Yanti. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan Cetakan Pertama. Pustaka


Rihama. Yogyakarta. 2009

Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.


Citra Aditya Bhakti,.Cetakan ke 3 Bandung. 2009.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta 2009.

B. Jurnal dan Makalah

Campbell, O.M.R. The Lancet Survival Series Steering Group: Maternal Survival
2:Strategies for Reducing Maternal Mortality: Getting on With What Works.
2008. Hlm. 1284-1299

Rusman Tumanggor, “Masalah-masalah sosial budaya dalam pembangunan ke-


sehatan di Indonesia”, Jurnal Masyarakat dan Budaya Jakarta, Vol 12 No.2.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan. 2010.

Seneviratne HR. Rajapaksa IR.Safe Motherhood in Worldwide and Midwife


Tasks. International Journal of Gynaecology and Obstetrics. 2009

Silmy. Hubungan Tindakan Induksi dengan Kejadian Ruptur Uteri pada Ibu
Bersalin. FK UNPAD Prodi D3 Kebidanan. Bandung. 2012

Tedi Sudrajat dan Agus Mardianto, Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kese-
hatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan Di Kabupaten Banyumas). Jur-
nal Dinamika Hukum Vol.12 No.2, Mei 2012.

Veiny dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Atonia Uteri Di RSUP


NTB. Media Bina Ilmiah. Mataram. 2012

C. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Buergerlijk Wetboek) diterjemahkan


oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet.34 . Pradnya Paramita. Jakarta :
Psl 1247

UU Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


14

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/


SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan.

Peraturan Menteri Kesehatan No.1464/MENKES/SK/X/2010 Tentang Izin Dan


Penyelenggaraan Praktik Bidan.

D. SUMBER - SUMBER LAIN

Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2002- 2003.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009

Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung 2013

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013

PD IBI (Ikatan Bidan Indonesia) Kota Bandung

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2007.


(http://imamah03.blogdetik.com/2012/01/11/perencanaan-bidan-praktik-mandiri-
bpm/) Diakses pada tanggal 02 Juli 2015

http://muslimafiyah.com/malprakrek-sudah-diatur-islam-sejak-dahulu.html.
Diakses pada tanggal 02 Juli 2015

www.wikipedia.com diakses pada tanggal 02 Juli 2015

Pengertian Etika dan Moral (Dalam Kebidanan). http://kumpulan-segala-


macam.blogspot.com/2008/07/pengertian-etika-dan-moral-dalam.html diak-
ses 02 Februari 2016

__________________, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Malpraktek Bidan


http://repository,usu,ac,id/bitstream/123456789/37057/6/Chapter%20IIII-
V,pdf, Diakses Pada Tanggal 04 Februari 2016

Anda mungkin juga menyukai