Oleh:
ABSTRAK
Muhammad Husni Thamrin adalah salah seorang tokoh besar di masa pergerakan
nasional Indonesia yang berjuang dengan cara kooperatif dengan pemerintah
kolonial Belanda. Tindakan kooperatif yang dilakukan oleh Muhammad Husni
Thamrin bukan berarti dia tidak memiliki jiwa nasionalis, melainkan sebagai jalan
yang dipilih dan ditempuh oleh beliau. Muhammad Husni Thamrin mewakili
dirinya sebagai seorang tokoh Betawi yang hadir mewakili golongannya di masa-
masa awal pergerakan nasional. Keinginan dari Muhammad Husni Thamrin untuk
bisa mewakili suara rakyat telah ada sejak beliau belum terjun ke ranah politik.
Hingga ketika mendapat kesempatan untuk menjadi wakill rakyat di Volksraad,
Muhammad Husni Thamrin tetap terus menyuarakan kesejahteraan untuk rakyat.
Pemikiran politik yang dipupuk sejak masih muda inilah yang nantinya
menjadikan nama seorang Muhammad Husni Thamrin terus diingat hingga kini
dengan banyaknya jalan-jalan di berbagai kota menggunakan nama beliau dan
mendapat nama kesayangan “Abang Betawi” sebagai bentuk mengenang jasa-jasa
beliau untuk memperjuangkan nasib rakyat .
1
I. Pendahuluan
Di awal abad ke-20, muncul kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda
yang diawali dari gagasan C. Th. Van Deventer dengan mengungkapkan
gagasannya yaitu Politik Etis. Pendidikan tahun 1900 merupakan kelanjutan
dari pendidikan pada jaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
(Fajar, 2014: 2). Politik etis yang dijalankan banyak memberikan dampak yang
cukup berpengaruh, khususnya bagi rakyat Indonesia sendiri. Hak-hak seperti
mendapatkan pendidikan yang layak dirasakan oleh Bangsa Indonesia.
Meskipun pada penerapannya, hanya pada kalangan elit yang dapat merasakan
pendidikan. Akan tetapi, melalui kebijakan politik etis juga banyak berdiri
sekolah-sekolah dari tingkat rendah, menengah hingga kejuruan.
Melalui kebijakan politik etis dengan tiga point utama yaitu: irigasi,
transmigrasi, dan edukasi banyak terjadi perubahan yang cukup signifikkan
dalam berbagai aspek. Meskipun, banyak terjadi penyimpangan dari tujuan
awal, politik etis telah membawa banyak pengaruh khususnya di bidang
edukasi. Munculnya tokoh-tokoh nasionalis Indonesia adalah bentuk hasil
nyata yang kemudian turut memiliki andil besar dalam sistem pendidikan dan
politik di Indonesia. Dari andil mereka, pendidikan di Indonesia mengalami
perkembangan yang pesat hingga pada tahun 1940-an. Dalam kebijakan politik
etis di bidang edukasi, muncullah salah satu tokoh nasionalis Indonesia yaitu
Muhammad Husni Thamrin. Beliau dengan niat tulus menyuarakan keadaan di
dalam institusi-institusi pemerintah kolonial Belanda (Volksraad) dan juga
banyak berpartisipasi dalam organisasi kala itu demi kesejahteraan rakyat.
3
kemudian melanjutkan sekolah di Instituut Bosch suatu sekolah dasar Belanda
swasta (Kutojo & Sofwan, 2014: 7). Di sekolah, Husni Thamrin dikenal
sebagai anak yang rajin dan pintar. Ia selalu mendapat nilai yang bagus di
berbagai pelajaran. Bahkan Husni Thamrin pintar berbahasa Belanda
ketimbang sinyo Belanda sendiri. Ia juga tidak pernah merasa rendah diri
terhadap anak-anak Belanda. Disamping mengikuti pendidikan sekolah, Husni
Thamrin juga belajar mengaji Al Qur’an pada sore hari.
Pendidikan Husni Thamrin pun berlanjut ketika memasuki tingkat yang
lebih tinggi yaitu ke Koning Willem III. Sekolah yang setingkat dengan HBS
(Hogere Burger School) ini berasal dari situasi yang mengingat pada
pertengahan abad ke-19 telah banyak berdiri sekolah dasar. Akhirnya,
Pemerintah Belanda di Indonesia mengajukan usul kepada Pemerintah
Kerajaan Belanda dan mencoba mendirikan sekolah lanjutan bagi anak-anak
golongan Eropa, khususnya Belanda (Depdikbud, 1993: 62). Husni Thamrin
yang dimasa kecilnya juga akrab dipanggil dengan nama Matseni tidak sampai
menyelasaikan pendidikannya di tingkat tersebut. Hal ini bukanlah tindakan
secara terpaksa oleh karena ketidakmampuannya, melainkan keinginan Husni
Thamrin untuk dengan segera terjun ke masyarakat dengan pembicaraan yang
dalam dengan ayahnya (Gonggong, 1992: 9). Ayahnya pun akhirnya
memasukkan Husni Thamrin untuk magang (calon pegawai) di kantor
Kepatihan Betawi. Kemudian pindah ke Karesidenan Betawi, namun dari dua
tempat ini Husni Thamrin merasa tidak betah bekerja.
Di masa muda, Husni Thamrin sudah sangat memperhatikan keadaan
masyarakat sekitarnya. Hal ini yang menjadi dasar dari keinginan beliau untuk
terjun ke masyrakat dengan ketertarikannya dengan Dewan Kota. Dalam
pemikirannya, Dewan Kota yang baik adalah yang dapat berbuat banyak
kepada rakyat dan membela nasib rakyat dan juga tujuannya yaitu untuk
kebaikan Pemeritah dan rakyat (Kutojo & Sofwan, 2014: 11). Sementara itu,
bertepatan dengan adanya usaha untuk menyempurnakan peran dari Dewan
Kota. Tidak hanya dari kalangan pemimpin Indonesia, tokoh dari Bangsa
Belanda pun ikut turut berperan diantaranya adalah Van der Zee. Husni
Thamrin seakan begitu terinspirasi dengan usaha yang dilakukan Van der Zee
4
dengan tuntutannya agar anggota Dewan Rakyat tidak lagi ditunjuk oleh
Pemerintah. Pertemuan dengan Van der Zee bermula ketika Husni Thamrin
melanjutkan pekerjaannya di KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).
Ketika itu juga Van der Zee adalah seorang tokoh politik yang sosialis dan
merupakan salah satu bagian dari Gemeenteraad Kota Betawi (Batavia).
Setelah pertemuan pertama antara mereka, Husni Thamrin pun sering
berdiskusi yang tujuannya saling menyampaikan ide-ide kemasyarakatan
masing-masing. Masa-masa ini menjadi titik perubahan hidup Husni Thamrin
untuk kemudian menjadi seorang pemimpin di dalam pergerakan nasional.
5
bersifat kedaerahan hanyalah bertujuan untuk bergerak di bidang usaha-usaha
perbaikan dan kegiatan-kegiatan di bidang sosial dan kebudayaan (Gonggong,
1992: 25). Husni Thamrin bergabung dengan organisasi ini karena merasa
sesuai dengan cita-cita dan tujuan perjuangannya. Tidak berselang lama dari
berdirinya organisasi ini, Husni Thamrin didapuk menjadi pimpinan dan
membawa Kaum Betawi makin berkembang pesat. Di dalam organisasi Kaum
Betawi inilah, Husni Thamrin bertemu dengan tokoh Jakarta lainnya yaitu
Muhammad Naseri (Kutojo & Sofwan, 2014:19). Husni Thamrin dapat
memperluas pengetahuan politiknya dan seluk-beluk kebudayaan Betawi dari
Muhammad Naseri.
6
25). Husni Thamrin bersama dengan Kusumo Utojo diutus untuk mengunjungi
perkebunan di Sumatera yang menjadi tempat dengan keadaan terburuk.
Mereka secara langsung melihat penderitaan para kuli-kuli kontrak akibat
Poenale Sanctie. Husni Thamrin memanfaatkan kesempatan berada di tanah
Sumatera untuk mendidik rakyat dengan dasar-dasar kebangsaan Indonesia.
Dengan melakukan pidato dalam rapat umum di Padang dan di Medan, Husni
Thamrin berusaha untuk membentuk jiwa-jiwa kebangsaan di kalangan
pemimpin dan rakyat Indonesia.
Perjuangan mereka terus berlanjut hingga kembali ke Batavia, Husni
Thamrin mengemukakan keburukan-keburukan yang di timbulkan oleh
Poenale Sanctie. Hasilnya sangatlah positif, Pidato-pidato Husni Thamrin di
Dewan Rakyat mendapat tanggapan luas hingga ke Amerika dan Eropa. Koran-
koran di negara tersebut mengecam tindakan yang dilakukan pemerintah
Hindia Belanda, hingga memunculkan kebijakan untuk memboikot tembakau
Deli dan melarang perusahaan-perusahaan rokok di Amerika mengimpor dari
Deli jika Poenale Sanctie tetap berjalan. Alhasil, hukum Poenale Sanctie lama-
kelamaan melemah dan perlakuan terhadap pekerja perkebunan mulai
membaik. Perjuangan Husni Thamrin pun terus berlanjut hingga sampai
membentuk Fraksi Nasional di dalam Dewan Rakyat. Bertujuan untuk
menyatukan langkah dan perjuangan, kepemimpinan dari diri seorang Husni
Thamrin pun makin menonjol meskipun dirinya belum lama berada di dalam
Dewan Rakyat.
7
Thamrin dibawa untuk bergabung dengan “Permufakatan Perhimpunan-
perhimpunan Politik Kebangasaan Indonesia” (PPPKI). PPPKI adalah
penggabungan organisasi-organisasi yang dilatarbelakangi kebangsaan dan
didirikan pada tanggal 17 Desember 1927 di Bandung (Kutojo & Sofwan,
2014: 34). Anggota dari perkumpulan ini terdiri dari: Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Sarekat Islam (PSI), Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatera,
Indonesische Studie Club dan Kaum Betawi. Kaum nasionalis dari segala
aliran dengan cepat menyambut pembentukan PPPKI yang dipandangnya
sebagai imbangan kekuatan menghadapi pemerintah (Suhartono, 1994: 77).
Perjuangan di dalam PPPKI tidaklah mudah, sebab sering terjadi perbedaaan
pandangan antara kelompok moderat dan radikal dalam menjalankan
perjuangannya. Sering terjadi pula perbedaan pendapat antara kelompok
agamis (PSI) dan kelompok nasionalis sekuler (PNI). Perpecahan di dalam
PPPKI muncul ketika pada kongres di Surabaya pada awal bulan 1931.
8
2014: 36). Husni Thamrin pun akhirnya berkenalan dengan para pemimpin
Jepang ini dan dijabarkannya cita-cita pergerakan kebangsaan Indonesia.
Berlanjut pada tanggal 4 September 1934, Mr. Manuel Louis Quezon selaku
senat Filipina datang berkunjung ke Indonesia. Momen ini pun dimanfaatkan
V.I.A. untuk bertemu dengan pimpinan Filipina ini dengan mengadakan
jamuan kehormatan. Dalam pertemuan tesebut, Husni Thamrin bertemu dengan
Quezon dan akhirnya mereka bersahabat dan komunikasi berlanjut seterusnya
antara mereka.
9
Keadaan yang begitu terhimpit memaksa agar arah pergerakan berubah
menjadi secara parlementer. Menerima dan duduk di dalam dewan rakyat
dilakukan oleh Dr. Sutomo, Moh. Yamin, Husni Thamrin dan tokoh-tokoh
lainnya dengan tetap membawa idealisme tinggi dan semangat untuk tetap
mengkomunikasikan cita-cita kebangsaan. Berdirinya PBI dibawah inisiatif Dr.
Sutomo menghadirkan semangat baru dalam pergerakan nasional meskipun
partai ini banyak dikritik dan disebut tidak dapat mengungguli kelompok
nonkooperasi yang berpengaruh di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berdirinya
Parindra sebagai hasil dari fusi antara PBI dan Budi Utomo menjadi kekuatan
partai sayap kanan pergerakan kebangsaan. Bergabung pula di dalam Parindra
yaitu: Sarikat Selebes, Sarikat Sumatera, Sarikat Ambon, perkumpulan Kaum
Betawi dan Tirtayasa yang terus melanjutkan politik kooperasi moderatnya
(Suhartono, 1994: 90).
Perjuangan terus berlanjut, Husni Thamrin yang kala itu masih di dalam
organisasi Parindra berinisiatif untuk membentuk suatu perkumpulan baru.
Berawal dari hasil rapat di Surabaya, Parindra mencoba membentuk
perkumpulan yang bernama Nationale Concentratie (Persatuan Nasional).
Semangat membentuk Persatuan Nasional yang nantinya akan berubah nama
menjadi GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) juga disebabkan kegagalan
dari Petisi Sutarjo dan peran PPPKI sebagai organisasi penyatuan kekuatan
pergerakan tidak dapat menyusun kekuatan baru. GAPI berdiri pada tanggal 21
10
Mei 1939 dengan tujuan mempersatukan partai politik Indonesia, menuju
tercapainya cita-cita bangsa Indonesia (Kutojo & Sofwan, 2014: 45). Pucuk
pimpinan pun terdiri dari Abikusno (PSII), Amir Syarifuddin (Gerindo), dan
Husni Thamrin (Parindra). Konferensi GAPI pertama diadakan 19-20
September 1939 dengan mengundang seluruh partai-partai politik dan
organisasi-organisasi lainnya menghasilkan keputusan bahwa Indonesia
memerlukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan ini lebih dikenal
dengan nama “Indonesia Berparlemen”. Di tahun yang sama pula, Jabatan
Husni Thamrin telah menjadi Wakil Ketua di Volksraad. Serangan-serangan
kepada pemerintah Hindia Belanda makin tajam dilakukan oleh Husni
Thamrin. Hingga rakyat memberikan julukan sebagai bentuk kecintaan kepada
Husni Thamrin dengan gelar “Abang Betawi”. Tuntutan dari GAPI
tentang”Indonesia Berparlemen” terus digalakkan dan tentu saja menemui
perlawanan dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda. Tuntuttan tersebut
terus bertahan hingga fase ketika situasi Perang Dunia II dimulai dan negeri
Belanda diserang oleh Jerman. Hal ini menjadikan pemerintah Hindia Belanda
menyatakan Indonesia berada pada status “Staat Oorlog van Beleg” (keadaan
darurat).
12
lain, termasuk Indonesia yang kala itu masih dijajah oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Husni Thamrin berpendapat di dalam sidang Volksraad, Juli 1934
bahwa di tanah Indonesia perlu adanya industri yang berguna untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri dan bertujuan membendung perdagangan Jepang yang
hampir sama dengan Cina dengan menawarkan harga yang lebih murah dan
menjual barang-barang dagangannya tidak hanya di satu tempat.
Dari kedua pandangan dalam dua latar kasus yang berbeda, telah cukup
menggambarkan bahwa Husni Thamrin adalah sosok yang memiliki keluasan
cakrawala berpikir dan secara tidak langsung menunjukkan pula kedudukannya
sebagai seorang pemimpin bangsa yang berkaliber pemimpin nasional dan
tidak hanya sekadar pemimpin Kaum Betawi (Gonggong, 1992: 161).
VI. Kesimpulan
Husni Thamrin adalah sosok tokoh pergerakan nasional yang memiliki
peranan yang bisa dibilang unik. Dia adalah seorang pemimpin yang
mengambil langkah kooperasi di sepanjang karier politiknya. Hal itu
mengartikan bahwa dia bekerja di dalam institusi-institusi pemerintahan
penjajahan Belanda. Dia menggunakan kedudukannya yang ia peroleh sebagai
“alat” perjuangannya. Tentu hal semacam ini nampak jelas ketika kita mencoba
untuk melihat dan mengkuti perjalanan hidupnya dan pandangan-pandangan
yang ia kemukakan di dalam sidang-sidang Dewan Kota maupun Volksraad
sejak ia menjadi anggota di dalam kedua lembaga tersebut.
Sikap politiknya telah melahirkan pandangan bahwa sosok Husni Thamrin
adalah tokoh politik Indonesia yang disegani baik dari lawan-lawannya
maupun kawan-kawan politiknya. Sikap yang saling menghargai ditunjukkan
di dalam kalangan kaum pergerakan, tanpa memandang jalur perjuangan yang
mereka tempuh (Kooperasi dan non-kooperasi). Hingga masa-masa akhir
perjuangannya, Husni Thamrin tetap memiliki semangat untuk mengungkapkan
pemikiran-pemikirannya meskipun dirinya maupun organisasi politiknya
(Parindra) dilarang untuk melakukan kegiatan politik.
Atas sikap perjuangan inilah, pemerintah Hindia Belanda terpaksa
melakukan tindakan dengan melakukan penggeledahan ke rumah-rumah para
tokoh pergerakan nasional kala itu. Rumah Husni Thamrin pun tidak luput dari
13
kegiatan penggeledahan. Husni Thamrin beserta dengan keluarganya dikenakan
status tahanan rumah. Hingga waktu Husni Thamrin sedang dalam keadaan
sakit, statu penahanan tetap berlaku. Kemarahan dan kejengkelan Husni
Thamrin kepada pemerintah Hindia Belanda semakin memuncak ketika ia
mengetahu bahwa dirinya dilarang untuk dijenguk oleh keluarganya sendiri dan
kawan-kawan seperjuangannya (Kutojo & Sofwan, 2014: 49). Ditambah pula
dengan isteri dan anak-anaknya yang tidak diizinkan oleh polisi untuk keluar
rumah.
Penahanan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap Husnti
Thamrin menimbulkan kecaman di mana-mana. Bahkan di dalam Volksraad,
muncul protes atas penahanan tersebut. Kaum pergerakan terus berusaha sekuat
tenaga untuk membebaskan Husni Thamrin, namun usaha itu tidak berhasil.
Hingga usaha untuk mengunjungi rumah Husni Thamrin pun tetap tidak
diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam keadaan seperti itu, Husni
Thamrin masih dapat mengirimkan pesan-pesan kepada teman-teman
seperjuangannya meskipun dengan sembunyi-sembunyi. Surat itu berisi pesan
supaya tetap bekerja keras dalam lapangan politik sosial dan ekonomi untuk
kepentingan perjuangan Indonesia (Kutojo & Sofwan, 2014: 50).
Hingga tibalah waktu pada tanggal 11 Januari 1941, Husni Thamrin
kembali ke pangkuan Sang Illahi untuk selama-lamanya setelah menderita
penyakit yang cukup lama. Wafatya Husni Thamrin tentulah bentuk kehilangan
yang sangat besar bagi bangsa Indonesia waktu itu, dalam arti kata bahwa
bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpinnya yang cerdas,
berwibawa, dan berjuang untuk kemerdekaan bangsanya, bangsa Indonesia
(Gonggong, 1992: 165). Jasa-jasa seorang Husni Thamrin akan selalu dikenang
oleh bangsa Indonesia, dengan namanya yang diabadikan dengan memberikan
nama jalan”protokol” di Ibukota Jakarta. Jakarta sebagai kota kelahiran Husni
Thamrin yang kala itu belum menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia dan
juga telah ikut diperjuangkan oleh Husni Thamrin semasa hidupnya.
Daftar Referensi
14
Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan
Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.
Kutojo, Sutrisno dan Drs. Mardanas Sofwan. 2014. Riwayat Hidup dan
Perjuangan Muhammad Husni Thamrin. Bandung: Angkasa Offset
Artikel Ilmiah:
Heru, Fajar Shidiq Sofyan dan dkk. 2014. SISTEM PENDIDIKAN KOLONIAL
BELANDA DI INDONESIA TAHUN 1900 – 1942. Jember: Universitas Negeri
Jember.
15