Anda di halaman 1dari 45

2.

2 Komunikasi

2.2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah topik yang amat sering diperbicangkan bukan hanya

di kalangan ilmuan komunikasi tetapi juga dikalangan awam, sehingga kata

komunikasi itu sendiri memiliki terlalu banyak arti yang berlainan. Kata

komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin

yaitu communis yang berarti ”sama,” communico, comunicatio, atay

communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama

(communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan

akar dari kata-kata latin lainya yang mirip.

Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna atau suatu

pesan dianut secara sama. Komunikasi adalah “interaksi antara dua makhluk

hidup atau lebih”. Meskipun komunikasi menyangkut perilaku manusia, tidak

semua perilaku manusia itu adalah komunikasi. Menurut Pace dan Faules

perbedaan tersebut sederhana tapi rumit sebagai contoh apakah bernyanyi

sendirian di kamar mandi itu merupakan komunikasi? Akan tetapi sebenarnya

jawaban atas pertanyaan tersebut kembali lagi dengan bagaimana kita

mendefinisikan komunikasi.

Komunikasi pada dasarnya bersifat instrumental dan persuasif kita

berkomunikasi untuk mengajak baik itu orang lain dan sebenarnya bisa juga

berkomunikasi dengan diri sendiri. Ketika kita ingin melakukan suatu hal yang

menjadi dilema bagi kita, kita akan berusaha mempertimbangkan apa tindakan

yang akan dilakukan, hal tersebut juga disebut sebuah komunikasi.


Lebih dalam lagi menurut Ross dalam Pengantar Ilmu Komunikasi

karya Mulyana bahwa Komunikasi adalah sebagai berikut:

Suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan

simbol. Simbol sedemikian rupa sehingga membantu

pendengar membangkitkan makna atau respons dari

pikiranya yang serupa dengan yang dimaksudkan

komunikator. (2001:69)

Intinya apa yang disampaikan oleh Ross adalah adanya respon balik dari

pesan yang disampaikan komunikator agar sama dengan apa yang dimaksud oleh

komunikator. Komunikasi sebenarnya belum ada persetujuan antara ahli-ahli

sebagai definisi yang paling utama dan disetujui oleh para ahli-ahli tersebut.

Komunikasi memiliki banyak versi dari segi definisi. Kemudian, Menurut

Rogers dan Kincaid pada 1981 dalam Pengantar ilmu komunikasi karya

Cangara bahwa:

Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang

atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran

informasi dengan satu sama lain-nya, yang pada

giliranya akan tiba pada saling pengertian yang

mendalam (2006:19)

Berbagai pengertian komunikasi yang dipaparkan oleh para pakar

komunikasi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian


informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi hanya

bisa terjadi bila ada seseorang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan

mempunyai maksud dan tujuan tertentu.

Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar atau

yang salah seperti model atau teori, definisi harus dilihat dari kemanfaatan untuk

menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa

definisi mungkin terlalu sempit, misalnya komunikasi adalah penyampaian pesan

melalui media elektronik atau terlalu luas misalnya komunikasi adalah interaksi

antara dua pihak atau lebih sehingga peserta komunikasi memahami pesan yang

disampaikan.

2.2.2 Unsur-Unsur Komunikasi

Dalam melakukan komunikasi setiap individu berharap tujuan dari

komunikasi itu sendiri dapat tercapai dan untuk mencapainya ada unsur-unsur

yang harus dipahami, menurut Effendy dalam bukunya yang berjudul Dinamika

Komunikasi bahwa dari berbagai pengertian komunikasi yang telah ada tampak

adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan

persyaratan terjadinya komunikasi. Komponen atau unsur-unsur tersebut adalah

sebagai berikut:

Komunikator: Orang yang menyampaikan pesan.

Pesan: Pernyataan yang didukung oleh lambang.

Komunikan: Orang yang menerima pesan.


Media: Sarana atau saluran yang mendukung pesan bila

komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya.

Efek: Dampak sebagai pengaruh dari pesan. (2002:6)

1. Komunikator

Komunikator adalah pihak yang mengirim pesan kepada khlayak atau

komunikan. Karena itu komunikator bisa disebut pengirim, sumber, source,

encoder. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator

memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam mengendalikan

jalannya komunikasi. Oleh karena itu, seorang komunikator harus terampil

berkomunikasi, dan juga kaya ide serta penuh daya kreativitas.

2. Pesan

Dalam Buku Pengantar Ilmu Komunikasi, pesan yang dimaksud dalam

proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada

penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau media

komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi,

nasihat atau propaganda.

Menurut Cangara dalam Pengantar Ilmu Komunikasi adalah sebagai

berikut:

Pesan pada dasarnya bersifat abstrak. Untuk


membuatnya konkret agar dapat dikirim dan
diterima oleh komunikan, manusia dengan akal
budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi
berupa suara, mimik, gerak - gerik, bahas lisan,
dan bahasa tulisan (2006 : 23).
3. Media

Dalam Buku Pengantar Ilmu Komunikasi oleh Cangara, media adalah

alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari

komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang

bahwa dalam komunikasi antar manusia, maka media yang paling dominasi

dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga.

Dalam Pengantar Ilmu komunikasi Cangara dikatakan bahwa :

Pesan - pesan yang diterima selanjutnya oleh panca


indera selanjutnya diproses oleh pikiran manusia
untuk mengontrol dan menentikan sikapnya terhadap
sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan. (2006 :
119)

Sedangkan dalam Buku Pengantar Ilmu Komunikasi karya

Vardiansyah

Media bentuk jamak dari medium medium komunikasi


diartikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih
komunikator untuk menghantarkan pesannya agar
sampai ke komunikan. Jadi, unsur utama dari media
komunikasi adalah pemilihan dan penggunaan alat
perantara yang dilakukan komunikator dengan
sengaja. Artinya, hal ini mengacu kepada pemilihan
dan penggunaan teknologi media komunikasi. (2004 :
24 - 26)

4. Komunikan

Komunikan atau penerima pesan adalah yang menganalisis dan

menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya.


5. Efek

Efek komunikasi diartikan sebagai pengaruh yang ditimbulkan pesan

komunikator dalam diri komunikannya. Terdapat tiga tataran pengaruh dalam diri

komunikan, yaitu kognitif (seseorang menjadi tahu tentang sesuatu), afektif

(sikap seseorang terbentuk, misalnya setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu),

dan konatif (tingkah laku, yang membuat seseorang bertindak melakukan

sesuatu).

Unsur-unsur dari proses komunikasi di atas merupakan faktor penting dalam

komunikasi, bahwa pada setiap unsur tersebut oleh para ahli Ilmu Komunikasi

dijadikan objek ilmiah untuk ditelaah secara khusus. Menurut Mulyana dalam

bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar proses komunikasi

dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Komunikasi verbal: simbol atau pesan verbal adalah

semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau

lebih. Hamper semua rangsangan wicara yang kita

sadari masuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja

yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk

berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa

dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.

2. Komunikasi non verbal: secara sederhana pesan non

verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata

mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan

verbal) dalam suatu seting komunikasi, yang dihasilkan


oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu,

yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim

atau penerima. (2002:37)

Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi tanpa berbicara

komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi, tidak menggunakan kata

dengan ketat dan tidak menyamkan komunikasi nonverbal dengan komunikasi

nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai

komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya

berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal.

2.2.3 Sifat-Sifat Komunikasi

Sifat-sifat komunikasi menurut Effendy dalam bukunya yang berjudul

Ilmu Komunikasi, Teori Dan Praktek adalah sebagai berikut :

1. Tatap Muka (face to face)


Komunikasi yang dilakukan dengan cara bertemu
langsung dengan teman bicara dimana dalam kegiatan
komunikasi ini komunikan dan komunikator saling
bertatap muka. Contoh dari konteks komunikasi tatap
muka ini adalah komunikasi antar personal, komunikasi
kelompok dan komunikasi organisasi.
2. Bermedia (mediate)
Komunikasi yang dilakukan dengan cara menggunakan
suatu media dimana berkaitan erat dengan penguasaan
pengetahuan dan penggunaan teknologi komunikasi.
Contoh dari konteks komunikasi bermedia ini adalah
komunikasi massa dan komunikasi media. (Effendy,
2001:32)
Dari penjelasan diatas kita mengetahui bahwa banyak sifat-sifat

komunikasi. Dengan seiring berkembangnya zaman, setiap individu memiliki

caranya tersendiri untuk berkomunikasi tergantung pada situasi dan kondisinya

2.2.4 Fungsi Komunikasi

1. Komunikasi Sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan

bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, untuk

kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan

ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk

hubungan dengan orang lain.

a. Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita yang diperoleh

lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Konsep diri yang paling

dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya yang

berada di sekitar kita. Termasuk kerabat, mereka itulah yang disebut dengan

significan others.

b. Pernyataan Eksistensi Diri

Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut

aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri.

c. Untuk Keberlangsungan Hidup, Memupuk Hubungan dan Kebahagiaan

Komunikasi dalam bentuk apapun ialah bentuk dasar adaptasi terhadap

lingkungan. Melalui komunikasi pula kita dapat memenuhi kebutuhan emosional


kita dan meningkatkan kesehatan mental kita. Komunikasi sosial mengisyaratkan

bahwa kounikasi dilakukan untuk pemenuhan diri, untuk merasa terhibur, nyaman

dan tentram dengan diri sendiri dan juga orang lain.

1. Komunikasi Ekspresif

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang

dapat dilakukan baik dalam keadaan sendirian ataupun dalam keadaan

berkelompok. Komunikasi ekspresif tidak bertujuan mempengaruhi orang lain,

namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk

menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.

2. Komunikasi Ritual

Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang

biasanya dilakukan secara kolektif.

3. Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum seperti yang

dimaksudkan oleh Mulyana dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu

Komunikasi adalah sebagai berikut:

Menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap


dan keyakinan dan mengubah perilaku atau menggerakkan
tindakan, dan juga untuk menghibur. Bila diringkas, maka
kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat
persuasif). Komunikasi yang bersifat memberitahukan atau
menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasif
dalam arti bahwa pembicara menginginkan pendengarnya
mempercayai fakta atau informasi yang disampaikannya
akurat dan layak untuk diketahui. (2005:5-30)
2.2.5 Proses Komunikasi
Komunikasi dapat berlangsung dengan baik apabila proses komunikasinya

berjalan dengan baik dan lancar. Sebagai suatu proses, komunikasi mempunyai

persamaan dengan bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan, hal-hal yang

berlawanan (kontradiktif), yang sama (selaras, serasi), serta melewati proses

menulis, mendengar danmempertukarkan informasi.

Menurut Effendy proses komunikasi adalah sebagai berikut:

Berlangsungnya penyampaian ide, informasi, opini,


kepercayaan, perasaan dan sebagainya oleh komunikator
kepada komunikan dengan menggunakan lambang,
misalnya bahasa, gambar, warna dan sebagainya yang
mempunyai syarat. (1989:63-64)
Menurut Courtland L. Bovee dan John V. Thill yang dikutip oleh

Purwanto dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Bisnis, proses komunikasi

terdiri atas enam tahap, yaitu:

1. Pengirim mempunyai suatu ide atau gagasan sebelum


proses penyampaian pesan dapat dilakukan, maka
pengirim pesan harus menyiapkan ide atau gagasan apa
yang ingin disampaikan kepada pihak lain atau audiens.
Ide dapat diperoleh dari berbagai sumber yang
terbentang luas dihadapan kita. Dunia ini penuh dengan
berbagai macam informasi, baik yang dapat dilihat,
didengar, dicium, maupun diraba. Ide-ide yang ada
dalam benak kira disaring dan disusun ke dalam suatu
memori yang ada dalam jaringan otak, yang merupakan
gambaran persepsi kita terhadap kenyataan.
2. Pengirim mengubah ide menjadi suatu pesan. Dalam
suatu proses komunikasi, tidak semua ide dapat diterima
atau dimengerti dengan sempurna. Proses komunikasi
dimulai dengan adanya ide dalam pikiran, yang kemudia
diubah ke dalam bentuk pesan-pesan seperti dalam
bentuk kata-kata, ekspresi wajah dan sejenisnya, untuk
kemudian dipindahkan kepada orang lain. Agar ide
dapat diterima dan dimengerti secara sempurna,
pengirim pesan harus memperhatikan beberapa hal,
yaitu subjek (apa yang ingin disampaikan), maksud
(tujuan), audiens, gaya personal dan latar belakang
budaya.
3. Pengirim menyampaikan pesan. Setelah mengubah ide-
ide ke dalam suatu pesan, tahap berikutnya adalah
memindahkan atau menyampaikan pesan melalui
berbagai saluran yang ada kepada si penerima pesan.
4. Penerima menerima pesan. Komunikasi antara seseorang
dengan orang lain akan terjadi, bila pengirim
mengirimkan suatu pesan dan penerima pesan tersebut.
Pesan yang diterima ada kalanya sempurna, namun tidak
jarang hanya sebagian kecil saja.
5. Penerima menafsirkan pesan. Setelah penerima
menerima suatu pesan, tahap berikutnya ialah
bagaiamana ia dapat menafsirakan pesan. Suatu pesan
yang disampaikan pengirim harus mudah dimengerti dan
tersimpan di dalam benak pikiran si penerima pesan.
Selanjutnya, suatu pesan baru dapat ditafsirkan secara
benar bila penerima pesan telah memahami isi pesan
sebagaimana yang dimaksud oleh pengirim pesan.
6. Penerima memberi tanggapan dan mengirim umpan
balik kepada pengirim. Umpan balik (feedback) adalah
penghubung akhir dalam suatu mata rantai komunikasi.
Ia merupakan tanggapan penerima pesan yang
memungkinkan pengirim untuk menilai efektivitas suatu
pesan. Setelah menerima pesan, penerima akan memberi
tanggapan dengan cara tertentu dan memberi sinyal
terhadap pengirim pesan. Umpan balik memegang
peranan penting dalam proses komunikasi, karena ia
memberi kemungkinan bagi pengirim untuk menilai
efektivitas suatu pesan. Di samping itu, adanya umpan
balik dapat menunjukkan adanya faktor-faktor
penghambat komunikasi, misalnya perbedaan latar
belakang, perbedaan penafsiran kata-kata dan perbedaan
reaksi secara emosional. (2003:11-14)
Untuk lebih jelas maka peneliti akan membahas proses komunikasi dengan

peninjauan dari Carl I. Hovland dalam Effendy yang menjelaskan bahwa:

Komunikasi adalah suatu upaya yang sistematis untuk


memutuskan secara tegas asas-asas dan atas dasar tersebut
disampaikan informasi serta bentuk pendapat dan sikap.
(1993:16)
Dari penjelasan tersebut, komunikasi jelas merupakan suatu kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan atau tidak menyatakan suatu gagasan

kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang berupa bahasa,

gambar-gambar atau tanda-tanda yang berarti bersikap umum.

Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu komunikasi Teori dan

Praktek, menjelaskan bahwa proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu:

1. Proses komunikasi secara primer, merupakan proses


penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang
kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer
dalam proses komunikasi meliputi bahasa, kial (gesture),
gambar, warna dan sebagainya. Syarat secara langsung
dapat ‘menerjemahkan’ pikiran atau perasaan
komunikator kepada komunikan.
2. Proses komunikasi sekunder, merupakan proses
penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
kedua setelah menggunakan lambang sebagai media
pertama. Komunikator menggunakan media kedua
dalam berkomunikasi karena komunikan sebagai
sasarannya berada di tempat yang relative jauh atau
dalam jumlah yang banyak. (2002:15)

Pada media primer, lambang yang paling banyak digunakan adalah bahasa.

Bahasa merupakan sarana yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi,

karena hanya dengan bahasa (lisan atau tulisan) kita mampu menerjemahkan

pikiran seseorang kepada orang lain, baik berbentuk ide, informasi atau opini, nisa

dalam bentuk konkret ataupun abstrak. Hal ini bukan hanya suatu hal atau

peristiwa yang sedang terjadi sekarang, tetapi juga pada masa lalu atau waktu

yang akan datang.


Kial (gesture) memang dapat ‘menerjemahkan’ pikiran seseorang sehingga

terekspresi secara fisik, tetapi menggapaikan tangan atau memainkan jemari,

mengedipkan mata atau menggerakkan anggota tubuh lainnya hanya dapat

mengkomunikasikan hal-hal tertentu saja (sangat terbatas). Demikian pula dengan

isyarat yang menggunakan alat, seperti bedug, kentongan, kirine dan lain-lain,

juga warna yang memiliki makna tertentu. Kedua lambang (isyarat warna)

tersebut sangat terbatas kemampuannya dalam mentransmisikan pikiran seseorang

kepada orang lain.

Sementara proses komunikasi sekunder merupakan kelanjutan dari proses

komunikasi primer, yaitu untuk menembus dimensi dan ruang waktu. Maka dalam

menata lambang-lambang memformulasikan isi pesan komunikasi, komunikator

harus mempertimbangkan ciri-ciri atau sifat-sifat media yang akan digunakan.

Penentuan media yang akan digunakan perlu didasari pertimbangan mengenai

siapa komunikan yang akan dituju.

2.2.6 Prinsip-Prinsip Komunikasi


Deddy Mulyana mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Ilmu

komunikasi: Suatu Pengantar, terdapat 12 prinsip komunikasi, yakni:

1. Komunikasi adalah proses simbolik. Salah satu


kebtuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan K.
Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan
lambang. Manusia memang satu-satunya hewan yang
menggunakan lambang dan itulah yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya.
2. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi. Kita
tidak dapat berkomunikasi. Tidak berarti bahwa semua
perilaku adalah komunikasi. Alih-alih, komunikasi
terjadi bila seseorang memberi makan pada perilaku
orang lain atau perilakunya sendiri.
3. Komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan.
Dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi
hubungan disandi secara nonverbal. Dimensi isi
menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang
dikatakan. Sedangkan mengatakannya yang juga
mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta
komunikasi itu.
4. Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat
kesengajaan. Komunikasi dilakukan dalam berbagai
tingkat kesengajaan, dari komunikasi disengaja sama
sekali hingga komunikasi yang benar-benar
direncanakan dan disadari.
5. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu.
Makna pesan juga bergantung pada kontek fisik, ruang,
waktu, sosial dan psikologis.
6. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi.
Komunikasi juga terikat oleh aturan atau tatakrama.
Artinya, orang-orang memilih strategi tertentu
berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan
atau merespon.
7. Komunikasi bersifat sistematik. Setiap individu adalah
system yang hidup. Organ dalam tubuh juga terhubung.
Hal itu juga yang terjadi dalam komunikasi, semua hal
terhubung menjadi satu.
8. Semakin mirip latar belakang sosial budaya, semakin
efektiflah komunikasi. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para
peserta komunikasi.
9. Komnikasi bersifat nonkonsekuinsial. Sebenarnya
komunikasi manusia dalam bentuk dasarnya besifat dua
arah (tatap muka).
10. Komunikasi bersifat prosensual, dimanis dan
transaksional. Komunikasi tidak punya awal dan tidak
punya akhir, melainkan proses yang sinambungan.
11. Komunikasi bersifat irreversible. Sekali megirim pesan
kita tidak bisa mengendalikan pengaruh pesan yang
diberikan.
12. Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan
berbagai masalah. Komunikasi bukanlah panasea (obat
mujarab) untuk menyelesaikan persoala atau konflik,
karena ersebut mungkin berkaitan dengan masalah
structural. (2015:91-127)
2.3 Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang

atau lebih, yang biasanya tidak diatur secara formal. Dalam komunikasi

interpersonal, setiap partisipan menggunakan semua elemen dari proses

komunikasi. Misalnya, masing-masing pihak akan membicarakan latar belakang

dan pengalaman masing-masing dalam percakapan tersebut.

Komunikasi sangat penting bagi semua aspek kehidupan manusia. Dengan

komunikasi manusia dapat mengekspresikan gagasan, perasaan, harapan dan

kesan kepada semua serta memahami gagasan, perasaan dan kesan orang lain.

Komunikasi tidak hanya mendorong perkembangan kemanusiaan yang utuh,

namun juga menciptakan hubungan sosial yang sangat diperlukan dalam

kelompok sosial apapun.

Menurut Effendy komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar

komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif

dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya

yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator

mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga.

Komunikasi memungkinkan terjadinya kerjasama sosial, membuat

kesepakatan-kesepakatan penting dan lain-lain. Individu yang terlibat dalam

komunikasi memiliki latar belakang sosial, budaya dan pengalaman psikologis

yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat mempengaruhi efektifitas sebuah


komunikasi. Sangat penting bagi setiap individu untuk memahami simbol-simbol

yang digunakan dalam komunikasi.

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang melibatkan dua orang

atau lebih. Setiap pihak dapat menjadi pemberi dan pengirim pesan sekaligus pada

waktu bersamaan.

2.3.1 Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pihak-pihak yang melakukan komunikasi berada dalam jarak yang dekat.

Pihak yang dapat dikatakan melakukan komunikasi interpersonal harus

tidak berada dalam jarak jauh melainkan saling berdekatan/face to face.

Apabila salah satu lawan bicara menggunakan media dalam penyampaian

pesan karena perbedaan jarak, itu tidak dapat dikatakan sebagai

komunikasi interpersonal.

2. Pihak-pihak yang berkomunikasi mengirim dan menerima pesan secara

verbal maupun non verbal. Di dalam komunikasi interpersonal feedback

yang diberikan oleh komunikan biasanya secara spontan begitu juga

dengan tanggapan dari komunikator. Dengan respon yang diberikan secara

spontan dapat mengurangi kebohongan salah satu lawan bicara dengan

cara melihat gerak gerik ketika sedang berkomunikasi.

3. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung jawab para peserta

komunikasi. Mutual understanding akan diperoleh dalam komunikasi

interpersonal ini, apabila diantara kedua belah pihak dapat menjalankan


dan menerapkan komunikasi ini dengan melihat syarat-syarat yang berlaku

seperti mengetahui waktu, tempat dan lawan bicara.

4. Kedekatan hubungan pihak-pihak komunikasi akan tercermin pada jenis-

jenis pesan atau respon nonverbal mereka, seperti sentuhan, tatapan mata

yang ekspresif dan jarak fisik yang dekat. Kita dapat membedakan

seberapa dekat hubungan seseorang dengan lawan bicaranya, hal ini dapat

dilihat dari respon yang diberikan. Misalnya kedekatan dalam

berkomunikasi antara sepasang kekasih dengan sepasang persahabatan,

melalui respon nonverbal kita dapat melihat mereka sepasang kekasih atau

hanya teman biasa.

Meskipun setiap orang berhak mengubah topik dalam pembicaraan, akan

tetapi didalam kenyataannya komunikasi antarpersonal bisa saja didominasi oleh

satu pihak misalnya komunikasi dosen-murid didominasi oleh dosen, komunikasi

suami-istri didominasi oleh suami. Didalam komunikasi interpersonal sering kali

kita menganggap pendengaran dan penglihatan sebagai indera primer, padahal

sentuhan dan penciuman juga sama pentingnya dalam menyampaikan pesan-pesan

bersifat intim. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa komunikasi interpersonal sangat

potensial dalam hal membujuk lawan bicara kita.

Komunikasi interpersonal dikatakan lebih efektif dalam hal membujuk

lawan bicara karena tanpa menggunakan media dalam penyampaian pesannya

serta dapat langsung melihat reaksi dari lawan bicara. Komunikasi interpersonal

sering dilakukan oleh semua orang dalam berhubungan dengan masyarakat luas.

2.3.2 Jenis-jenis Komunikasi Interpersonal


Komunikasi interpersonal yaitu kemampuan untuk berkomunikasi dengan

orang lain. Komunikasi ini masih terbagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Komunikasi diadik (Dyadic communication)

Komunikasi diadik adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua orang.

Misalkan anda berkomunikasi dengan seseorang yang anda temui di jalan.

Atau anda sedang menelepon seseorang yang lokasinya jauh dari anda.

2. Komunikasi triadik (Tryadic communication)

Komunikasi triadik adalah komunikasi antarpribadi yang pelaku

komunikasinya terdiri dari tiga orang, yaitu seorang komunikator dan dua

orang komunikan.

Apabila dibandingkan dengan komunikasi triadik, maka komunikasi

diadik lebih efektif, karena komunikator memusatkan perhatiannya kepada

seorang komunikan sepenuhnya, sehingga ia dapat menguasai frame of reference

komunikan sepenuhnya, juga umpan balik yang berlangsung, kedua faktor yang

sangat berpengaruh terhadapa efektif tidaknya proses komunikasi.

2.3.4 Tujuan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal memiliki beberapa tujuan, yaitu :

1. Menemukan Diri Sendiri

Menemukan pribadi atau personal merupakan salah satu tujuan dari

komunikasi interpersonal. Jika terlibat dalam rendezvous interpersonal

dengan orang lain, anda belajar sangat banyak mengenai diri sendiri atau

orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan peluang kepada setiap

orang buat membicarakan apa nan disukai atau seperti apa diri anda.
Mendiskusikan perasaan, tingkah laku, dan pikiran ialah hal nan sangat

menarik. Dengan membicarakan diri sendiri dengan orang lain, anda

berarti memberi sumber balikan nan hebat pada perasaan, pikiran dan

tingkah laku.

2. Menemukan Global Luar

Hanya dengan komunikasi interpersonal, anda mampu mengerti lebih

banyak tentang diri sendiri dan orang lain nan sedang berkomunikasi

dengan anda. Sangat banyak kabar nan bisa diketahui melalui komunikasi

interpersonal. Walaupun banyak informasi nan diketahui berasal dari

media massa, hal ini justru sering didiskusikan nan pada akhirnya didalami

dan dipelajari lewat hubungan interpersonal.

3. Membentuk dan Menjaga Interaksi nan Penuh Arti

Membentuk dan memelihara interaksi dengan orang lain merupakan salah

satu keinginan terbesar dalam hidup. Sebagian besar waktu nan anda

habiskan dalam komunikasi interpersonal digunakan buat membentuk dan

juga memelihara interaksi sosial dengan orang sekitar.

4. Mengubah Sikap dan Tingkah Laku

Pada umumnya, setiap orang menggunakan sebagian waktunya buat

mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan rendezvous

komunikasi interpersonal. Misalnya anda mungkin saja membeli barang

tertentu, melihat film, menulis buku, membaca buku, dan lain-lain. Pada

intinya, setiap orang banyak memanfaatkan waktunya terlibat dalam

komunikasi interpersonal.
5. Untuk Bermain dan Kesenangan

Dalam hal ini bermain meliputi seluruh kegiatan nan memiliki tujuan

primer mencari kesenangan, misalnya berdiskusi, bercerita lucu, dan lain-

lain. Komunikasi interpersonal seperti ini mampu menciptakan

ekuilibrium dalam pikiran nan membutuhkan rileks dari aktifitas rutin.

6. Tujuan Komunikasi Interpersonal nan Terakhir ialah Untuk Membantu

Para pakar kejiwaan, pakar psikologi, para terapi biasanya memakai

komunikasi interpersonal ketiak berhadapan dengan kliennya. Semua

orang pun berfungsi membantu orang di sekitarnya dalam hubungan

interpersonal sehari-hari, misalnya berkonsultasi dengan teman nan

terkena masalah, berkonsultasi tentang pekerjaan, dan lain-lain.

2.4 Komunikasi Kelompok

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama,

yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu

sama lainnya, dan memandang mereka sebagai sebagian dari kelompok tersebut.

Kelompok ini misalnya adalah keluarga, tetangga, kawan-kawan terdekat,

kelompok diskusi, kelompok pemecah masalah, atau suatu komite yang tengah

berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian, komunikasi

kelompok biasanya merujuk kepada komunikasi yang dilakukan kelompok kecil

tersebut (small group communication). Komunikasi kelompok dengan sendirinya

melibatkan juga komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori komunikasi


antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. (Little John dalam

Mulyana, 2004:72-74)

Kelompok adalah sekumpulan orang-orang yang terdiri dari dua atau tiga

orang bahkan lebih. Kelompok memiliki hubungan yang intensif diantara mereka

satu sama lainnya, terutama kelompok primer, intensitas hubungan di antara

mereka merupakan persyaratan utama yang dilakukan oleh orang-orang dalam

kelompok tersebut. Kelompok memiliki tujuan dan aturan-aturan yang dibuat

sendiri dan merupakan kontribusi arus informasi diantara mereka sehingga

mampu menciptakan atribut kelompok sebagai bentuk karakteristik yang khas dan

melekat pada kelompok itu. Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat

mengatur sirkulasi tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna

diantara mereka. Sehingga mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta

kerinduan di antara mereka.

Terminologi tatap muka (face to face) mengandung makna bahwa setiap

anggota kelompok harus dapat melihat dan mendengan anggota lainnya dan juga

harus dapat mengatur umpan balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap

anggotanya. Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu yang

bersifat crowd atau kerumunan orang yang sedang melihat aksi-aksi panggung

semisal noah band atau kerumunan orang yang sedang menonton sepak bola di

televisi.

Wacana menarik dalam konteks face to face ini adalah menyangkut

hubungan-hubungan tatap muka yang menggunakan media komunikasi.

Mengingat kemajuan teknologi saat ini menyebabkan orang hidup terpisah


semakin jauh, namun konten komunikasinya semakin dekat. Dengan demikian

maka tatap muka tersebut berkaitan erat dengan adanya interaksi di antara semua

anggota kelompok.

2.5 Fenomenologi

2.5.1 Sejarah Fenomenologi

Istilah fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abab ke-

20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama

teori tentang penampakan, yang menjadi dasar pengeetahuan empiris

(penampakan yang diterima secara inderawi). Istilah fenomenologi itu sendiri

diperkenalkan oleh johann Heinrich Lambert, pengikut Christian Wolff. Sesudah

itu, filosof Imanuel Kant memulai sesekali menggunakan Istilah fenomenologi

dalam tulisannya, seperti halnya johann Gottlieb Fitchte dan G. W. F. Hegel. Pada

tahun 1899, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi

deskriptif. Dari sinilah awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi

untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

Abad ke-18 tidak saja penting bagi fenomenologi, namun juga untuk dunia

filsafat secara umum. Karena pada abad inilah , pembahasan filsafat modern

dimulai. Di satu sisi ada aliran empirisme yang percaya bahwa pengetahuan

muncul dari pengindraan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa

yang sedang terjadi. Bagi penganut empirisme, sumber pengetahuan yang


memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia hanya bertugas

untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera.

Sedangkan di sisi lain ada aliran rasionalisme yang percaya bahwa

pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia (rasio). Hanya pengetahuan

yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai

pengetahuan ilmiah. Menurut aliran ini, pengalaman hanya dapat dipakai untuk

mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh melalui akal. Akal

tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar.

Kemudian filosof Immanuel Kant muncul dengan menjembatani

keduanya. Menurut Immanuel Kant dalam Fenomenologi Engkus menyebutkan

bahwa fenomena adalah:

Fenomena adalah sebagai sesuatu yang tampak atau


muncul dengan sendirinya (hasil sintesis antara
pengindraan dan bentuk konsep dari objek,
sebagaimana tampak pada dirinya). (2009:4)

Jadi bisa kita simpulkan pula bahwa imanuel kant mengartikan sebuah

pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita. Semenjak pemikiran Immanuel

Kant ini menyebar luas, barulah fenomena menjadi titik awal pembahasan filsafat,

terutama pembahasan mengenai bagaimana sebuah pengetahuan dibangun (abad

18 dan 19).

Dengan demikian sebagai suatu istilah, fenomenologi telah ada sejak

Immanuel Kant mencoba memilah unsur mana yang berasal dari pengamalan

(phenomena), dan mana yang terdapat dalam akal (noumena atau the thing in its
self). Fenomenologi kemudian menjadi pusat dalam tradisi filsafat eropa

sepanjang abad ke-20.

Setelah itu kemudian muncul kembali pendapat dari Franz Brentano yang

meletakan dasar fenomenologi lebih tegas lagi. Dalam tulisannya yang berjudul

Psychology from an Emprical Standpoint (1874). Bretano mendefinisikan

fenomena sebagai sesuatu yang terjadi dalam pikiran. Sedangkan fenomena

mental adalah tindakan yang dilakukan secara sadar. Kemudian ia

membedakan antara fenomena mental dengan fenomena fisik (objek atau persepsi

eksternal yang dimulai dari warna dan bentuk). Jadi bagi Bretano, fenomena fisik

ada karena “kesengajaan”, dalam tindakan sadar (intentional in existence).

Lebih lanjut lagi menurut Bretano yang di kutif Engkus dalam bukunya

fenomenologi¸ pengertian fenomenologi adalah :

Fenomena adalah sesuatu yang masuk ke dalam


“kesadaran” kita, baik dalam bentuk persepsi,
khalayan, keinginan, atau pikiran. (2009:5)

Bila kita bandingkan dengan pemikiran sebelumnya yang diungkapkan

oleh Immanuel Kant, pengertian tentang fenomenologi yang diungkapkan oleh

bretano ini lebih luas. Pengertian fenomenologi ini juga yang mengantarkan pada

sebuah fenomenologi yang lebih hakiki.

Selanjutnya Bretano membedakan antara psikologi deskriptif dengan

psikologi genetis. Psikologi genetis mencari tipe-tipe penyebab dari fenomena

mental, sedangkan fenomenologi deskriptif mendefinisikan dan

mengkasifikasikan beragam tipe fenomena mental, termasuk diantaranya


persepsi, pendapat, dan emosi. Setiap fenomena mental (tindakan sadar) selalu

berhubungan dengan objek tertentu. Hubungan antara kesadaran objek inilah yang

kemudian diistilahkan Bretano dengan fenomenologi tahun 1889.

Pada masa berikutnya, selain bretano dan william james dengan principles

of psycology (1891), berkembang pula teori semantik atau logika dari Bernard

Bolzano dan Edmund Husserl (logika modern), termasuk Gottlob Frege.

Husserl melalui tulisannya yang berjudul Logical Investigations

menggabungkan antar psikologi deskriptif dengan logika. Pemikiran tersebut

memperlihatkan bahwa Husserl terinpirasi oleh pemikiran Bolzano mengenai

logika ideal dan psikologi deskriptif.

Menurut husserl yang dikutif Engkus dalam bukunya Fenomenologi

menjelaskan bahwa :

Fenomena harus dipertimbangkan sebagai muatan


objektif yang disengaja (intentional objects), dan
tindakan sadar subjektif. Jadi fenomenologi
mempelajari kompleksitas kesadaran dan fenomena
yang terhubung dengannya. (2009:6)

Husserl mengistilahkan proses kesadaran yang disengaja dengan noesis,

dan sedangkan istilah noema untuk isi dari kesadaran itu. Noema dari tindakan

sadar disebut Husserl sebagai makna ideal dan objek sebagaimana tampak.

Fenomena (objek sebagaimana tampak) adalah noema. Interpretasi Husserl ini

menjadi dasar dari teori Husserl selanjutnya mengenai kesengajaan (apakah

noema salah satu aspek dari objek, ataukah media dari tujuan).
Singkatnya, fenomenologi husserl adalah gabungan antara psikologi dan

logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi, dan tindakan

sadar. Jadi fenomenologi adalah bentuk lain dari logika.

Dari beberapa perkembangan serta berbagai pendapat mengenai

fenomenologi, ini menjadikan fenomenologi menjadi semakin berkembang, yang

kemudian banyak dikaitkan dengan beberapa keilmuan, salah satunya hubungan

fenomenologi adalah ranah filsafat. Pada umumnnya pembahasan filosfis selalu

melibatkan empat bidang inti, yakni ontologi, epistemologi, etika, dan logika.

Keempat bidang inilah yang menjadi dasar bagi semua ilmu pengetahuan.

a. Fenomenologi dan Ontologi

Ditinjau dari ontologi, fenomenologi mempelajari sifat-sifat alami

kesadaran secara ontologis, fenomenologi akan dibawa kedalam permasalahan

mendasar jiwa dan raga (traditional mind-body problem).

Sebagai pengembangan pembahasan ontologi, fenomenologi Husserl kemudian

mencoba membuat teori pengandaian mengenai “keseluruhan dan bagiannya”

(universals and particulars), hubungan keseluruhan dan bagiannya, dan teori

tentang makna ideal.

b. Fenomenologi dan Epistimologi

Berkenaan dengan epistimologi yang bertugas untuk membantu kita dalam

menemukan pengetahuan , fenomenologi terutama mebantu dalam mendefinisikan

fenomena. Fenomenologi percaya bahwa dalam fenomena-lah pengetahuan itu

berada. Disisi yang lain fenomenologi telah mengklaim dirinya sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan mengenai sifat-sifat alami kesadaraan dan jenis-jenis

khusus pengetahuan orang pertama, melalui bentuk-bentuk intuisi. Menurut

husserll sebagai epistemologi, fenomenologi menggunakan intuisi sebagai sarana

untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan.

Demikianlah pembahasan fenomenologi dihubungkan dengan bidang-

bidang inti dari filsafat. Jelas kiranya penambahan bidang fenomenologi bagi ilmu

sosial masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Namun kedudukan fenomenologi

sebagai sebuah aliran filsafat kiranya tidak perlu diragukan lagi. Apalagi secara

historis, fenomenologi merupakan bagian dari filsafat, sebagaimana halnya

matematika dan logika. Kemampuan fenomenologi dalam memenuhi kriteria ilmu

ditinjau dari bidang-bidang inti filsafat pun, secara tidak langsung telah

mengukuhkan kedudukan fenomenologi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

c. Fenomenologi dan Logika

Seperti yang diterangkan dalam sejarah lahirnya fenomenologi, teori

logika mengenai makna-lah yang membawa husserl kepada “teori kesengajaan”,

yang menjadi jantung fenomenologi. Dalam penjelasannya, fenomenologi

menyebutkan bahwa kesengajaan dan tekanan semantik dari sebuah makna ideal

dan proposisi itu berpusat paada teori logika. Sementara itu, logika yang

terstruktur dapat ditemukan pada bahasa, baik bahasa sehari-hari maupun dalam

bentuk simbol-simbol, seperti logika predikat, matematika, dan bahasa komputer.

d. Fenomenologi dan Etika

Fenomenologi mungkin saja memainkan peran penting dalam bidang etika

dengan menawarkan analisis terhadap kehendak, penelaian, kebahagian dan


perhatian terhadap orang lain (dalam bentuk simpati dan empati). Apabila

menelaah sejarah fenomenologi, akan kita temukan bahwa etika menjadi tujuan

akhir fenomenologi.

2.5.2 Fenomenologi Alfred Schutz

Schutz dengan aneka latar belakangnya memberikan warna tersendiri

dalam tradisi fenomenologi sebagai kajian ilmu komunikasi. Sebagai seorang

ekonom yang suka dengan musik dan tertarik dengan filsafat begitu juga beralih

ke psikologi, sosiologi dan ilmu sosial lainnya terlebih komunikasi membuat

Schutz mengkaji fenomenologi secara lebih komprehensif dan juga mendalam.

Schutz sering dijadikan centre dalam penerapan metodelogi penelitian

kualitatif yang menggunakan studi fenomenologi. Pertama, karena melalui Schutz

lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih

gamblang dan mudah dipahami. Kedua, Schutz merupakan orang pertama yang

menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial.

Dalam mempelajari dan menerapkan fenomenologi sosial ini, Schutz

mengembangkan juga model tindakan manusia (human of action) dengan tiga

dalil umum yaitu :

1. The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)

Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu validitas

tujuan penelitiannya sehingga dapat dianalis bagaimana hubungannya dengan

kenyataan kehidupan sehari-hari. Apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

2. The postulate of logical subjective interpretation (Dalil Interpretasi

Subyektif)
Menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau

pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti harus

memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benar-benar memahami

manusia yang diteliti dalam fenomenologi sosial.

3. The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan)

Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah

(hasil penelitian) agar peneliti bisa memahami tindakan sosial individu.

Kepatuhan terhadap dalil ini akan membiasakan bahwa kontruksi sosial yang

dibentuk konsisten dengan kontruksi yang ada dalam realitas sosial.

Schutz dalam mendirikan fenomenologi sosial-nya telah mengawinkan

fenomenologi transedental-nya Husserl dengan konsep verstehen yang merupakan

buah pemikiran webber.

Jika Husserl hanya memandang filsafat fenomenologi (transedental)

sebagai metode analisis yang digunakan untuk mengkaji ‘sesuatu yang muncul’,

mengkaji fenomena yang terjadi disekitar kita. Tetapi Schutz melihat secara jelas

implikasi sosiologinya didalam analisis ilmu pengetahuan, berbagai gagasan dan

kesadaran. Schutz tidak hanya menjelaskan dunia sosial semata, melainkan

menjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep ilmu pengetahuan serta berbagai

model teoritis dari realitas yang ada.

Dalam pandangan Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di

dalamnya dunia mimpi dan ketidakwarasan. Tetapi realitas yang tertinggi itu

adalah dunia keseharian yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya

sebagai the life world.


Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life

world ini, yaitu pertama, wide-awakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti

sadar sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga,

dalam dunia keseharian orang-orang berinteraksi. Keempat, pengalaman dari

seseorang merupakan totalitas dari pengalaman dia sendiri. Kelima, dunia

intersubyektif dicirikan terjadinya komunikasi dan tindakan sosial. Keenam,

adanya perspektif waktu dalam masyarakat.

Dalam the life world ini terjadi dialektika yang memperjelas konsep ‘dunia

budaya’ dan ‘kebudayaan’. Selain itu pada konsep ini Schutz juga menekankan

adanya stock of knowlodge yang menfokuskan pada pengetahuan yang kita miliki

atau dimiliki seseorang. Stock of knowledge terdiri dari knowledge of skills dan

useful knowledge. Stock of knowledge sebenarnya merujuk pada content (isi),

meaning (makna), intensity (intensitas) dan duration (waktu). Schutz juga sangat

menaruh perhatian pada dunia keseharian dan fokusnya hubungan antara dunia

keseharian itu dengan ilmu (science), khususnya ilmu sosial.

Schutz mengakui fenomenologi sosialnya mengkaji tentang

intersubyektivitas dan pada dasarnya studi mengenai intersubyektivitas adalah

upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti :

1. Bagaimana kita mengetahui motif, keinginan dan makna tindakan orang lain?

2. Bagaimana kita mengetahui makna atas keberadaan orang lain?

3. Bagaimana kita dapat mengerti dan memahami atas segala sesuatu secara

mendalam?

4. Bagaimana hubungan timbal balik itu dapat terjadi?


Realitas intersubyektif yang bersifat sosial memiliki tiga pengertian, yaitu:

1. Adanya hubungan timbal balik atas dasar asumsi bahwa ada orang lain dan

benda-benda yang diketahui oleh semua orang.

2. Ilmu pengetahuan yang intersubyektif itu sebenarnya merupakan bagian ilmu

pengetahuan sosial.

3. Ilmu pengetahuan yang bersifat intersubyektif memiliki sifat distribusi secara

sosial.

Ada beberapa tipifikasi yang dianggap penting dalam kaitan dengan

intersubyektivitas, antara lain :

1. Tipifikasi pengalaman (semua bentuk yang dapat dikenali dan diidentifikasi,

bahkan berbagai obyek yang ada di luar dunia nyata, keberadaannya

didasarkan pada pengetahuan yang bersifat umum).

2. Tipifikasi benda-benda (merupakan sesuatu yang kita tangkap sebagai

‘sesuatu yang mewakili sesuatu’).

3. Tipifikasi dalam kehidupan sosial (yang dimaksudkan sosiolog sebagai

system, role status, role expectation dan institutionalization itu dialami atau

melekat pada diri individu dalam kehidupan sosial).

Schutz mengidentifikasikan empat realitas sosial, dimana masing-masing

merupakan abstraksi dari dunia sosial dan dapat dikenali melalui tingkat imediasi

dan tingkat determinabilitas. Keempat elemen itu diantaranya umwelt, mitwelt,

folgewelt dan vorwelt.

1. Umwelt, merujuk pada pengalaman yang dapat dirasakan langsung di dalam

dunia kehidupan sehari-hari.


2. Mitwelt, merujuk pada pengalaman yang tidak dirasakan dalam dunia

keseharian.

3. Folgewelt, merupakan dunia tempat tinggal para penerus atau generasi yang

akan datang.

4. Vorwelt, dunia tempat tinggal para leluhur, para pendahulu kita.

Schutz juga mengatakan untuk meneliti fenomena sosial, sebaiknya

peneliti merujuk pada empat tipe ideal yang terkait dengan interaksi sosial.

Karena interaksi sosial sebenarnya berasal dari hasil pemikiran diri pribadi yang

berhubungan dengan orang lain atau lingkungan. Sehingga untuk mempelajari

interaksi sosial antara pribadi dalam fenomenologi digunakan empat tipe ideal

berikut ini :

1. The eyewitness (saksi mata), yaitu seseorang yang melaporkan kepada peneliti

sesuatu yang telah diamati di dunia dalam jangkauan orang tersebut.

2. The insider (orang dalam), seseorang yang karena hubungannya dengan

kelompok yang lebih langsung dari peneliti sendiri, lebih mampu melaporkan

suatu peristiwa, atau pendapat orang lain, dengan otoritas berbagai sistem

yang sama relevansinya sebagai anggota lain dari kelompok. Peneliti

menerima informasi orang dalam sebagai ‘benar’ atau sah, setidaknya

sebagian, karena pengetahuannya dalam konteks situasi lebih dalam dari saya.

3. The analyst (analis), seseorang berbagi informasi relevan dengan peneliti,

orang itu telah mengumpulkan informasi dan mengorganisasikannya sesuai

dengan sistem relevansi.


4. The commentator (komentator), Schutz menyampaikan juga empat unsur

pokok fenomenologi social yaitu :

a. Pertama, perhatian terhadap aktor.

b. Kedua, perhatian kepada kenyataan yang penting atau yang pokok dan

kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude).

c. Ketiga, memusatkan perhatian kepada masalah mikro.

d. Keempat, memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses

tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam

masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari.

2.6 Definisi Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari

uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah

semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang

tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo dalam buku

Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, merumuskan bahwa :

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang


terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh
karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme
tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut
teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.
(Notoatmodjo, 2007)
2.6.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo dalam buku

Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku, antara lain :

1. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang


terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagianya.
2. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud
dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-
alat steril dan sebagainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor), yang
terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.6.2 Perilaku Sosial

Perilaku sosial adalah suasana paling ketergantungan yang merupakan

keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku

sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain (Baron & Byrne,

1991 dalam Rusli Ibrahim, 2001). Perilaku itu ditunjukan dengan perasaan,

tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial

seseorang merupakan sikap relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara yang

berbeda-beda.
Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat

membentuk perilaku seseorang, yaitu :

1. Perilaku dan karakteristik orang lain

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki

karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan

orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika

ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh

oleh perilaku seperti itu.

2. Proses kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan

yang menjadi dasar kesadaran seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku

sosialnya.

3. Faktor lingkungan

Latar budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi

seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa berperilaku

sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain

atau berbeda.

2.6.3 Eksistensi Diri

Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo, yang

terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi, atau

hadir (Misiak & Sexton, 2005). Akar atau dasar eksistensi sendiri bermula

pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang tidak pernah
lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian (Rodgers &

Thompson, 2015). Kondisi-kondisi inilah yang mendorong manusia untuk

mewujudkan eksistensi dirinya dengan merealisasikan kemungkinan-

kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang bermakna.

Eksistensi manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh,

yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Sebagaimana diungkapkan

Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008) bahwa eksistensi adalah

makna dari keberadaan manusia yang mengedepankan masalah being-in-the-

world, yaitu diri manusia tidak akan ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada

tanpa makhluk yang mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik

saja, melainkan dunia makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh

sebab itu, tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia

tempat eksistensi manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan

tempat dimana ia merasa bermakna sebagai individu; orang lain

terhadap siapa ia berbicara atau mengungkapkan perasaannya; tempat kerja

dimana ia mengekspresikan kemampuannya dan merasa menjadi manusia;

sekolah dimana ia belajar dan mengekspresikan keberadaannya; dan

seterusnya). Melalui dunianyalah makna eksistensi tampak bagi dirinya dan

orang lain (Abidin, 2002).

Dalam pandangan psikologi eksistensial, dikatakan bahwa eksistensi

merupakan sebuah cara berada manusia, situasinya dalam dunia,

kebebasannya memilih tujuan hidup, serta berusaha memahami arti

kehidupannya sendiri (Chaplin, 2000). Eksistensi diri merupakan segala


kemungkinan yang apabila direalisasikan dapat mengarahkan individu pada

keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi dirinya sendiri, mengambil

tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan menyeleksi

kemungkinan-kemungkinan yang ada disediakan dalam kehidupan (Rodgers &

Thompson, 2015).

Loonstra, Brouwers, & Tomic (2007) mengartikan eksistensi diri

sebagai kesadaran manusia terhadap tujuan hidup dan dengan sepenuhnya

dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara hakiki. Menurut

Abidin (2002), kesadaran manusia pada dasarnya adalah intensionalitas

(selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu) dan dunia manusia pada

dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan) manusia, serta ia hidup

dalam dunia yang telah “diciptakan” atau dimaknakannya. Para eksistensialis

lebih lanjut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai potensi.

untuk menangani beberapa kondisi bawaannya dan membuat hidupnya

menjadi lebih bermakna. Corey (2003) memaparkan potensi manusia sebagai

berikut :

1. Kesadaran. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menyadari

dirinya

dan lingkungannya. Semakin besar kesadarannya, semakin banyak

kemungkinan dan peluang keberhasilan untuk menangani ketakutan dan

kecemasannya.

2. Keautentikan. Orang autentik memiliki ciri-ciri yaitu menyadari

dirinya dan hubungannya dengan lingkunganya, mampu membuat


pilihan dan menyadari bahwa keputusan merupakan konsekuensi yang

tak bisa dihindari, mengambil tanggung jawab untuk membuat pilihan,

mengakui bahwa ketidaksempurnaan kesadaran.

3. Kebebasan dan tanggung jawab. Jika manusia mau mengakui bahwa

dirinya memiliki kebebasan, maka di manapun mereka berada, mereka

mempunyai tanggung jawab.

4. Aktualisasi diri. Eksistensi memandang bahwa manusia mempunyai

kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Manusia yang gagal

mencapai aktualisasi diri, berpotensi dihinggapi perasaan malu,

bersalah dan cemas, serta persepsi hidupnya tak bermakna.

5. Memaknakan hidup. Setiap manusia termotivasi untuk membuat

hidupnya menjadi bermakna. Untuk memaknakan hidupnya, manusia

harus memiliki keinginan untuk hidup, tidak merusak diri dan mau

mencintai diri sendiri serta orang lain bahkan lingkungan fisiknya.

6. Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi diri

adalah cara individu memaknai keberadaan dirinya di dunia melalui

berbagai upaya dengan mengaktualisasikan potensi-potensi yang

dimiliki untuk mencapai keberadaan autentik dan membuat hidupnya

menjadi bermakna.

2.7 Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-

pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi
pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan

penelitian yang akan dilakukan. Kerangka pemikiran juga digunakan sebagai

tempat untuk menjelaskan suatu metode ataupun teori yang digunakan dalam

melakukan suatu penelitian.

Penelitian ini menggunakan teori fenomenologi sebagai kerangka pemikiran

yang akan menjadi tolak ukur dalam membahas dan memecahkan masalah yang

ada dalam penelitian ini.

2.8 Fenomenologi

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang

digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan

oleh Little John bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi

pengalaman manusia.

Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia

disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif

menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah

manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan

makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan

proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan

kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif menuju pemaknaan

Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami

dalam kesadaran. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam


membangun makna dan konsep yang bersikap intersubyektif. Oleh karena itu,

penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan

pengalaman hidup sejumlah orang tetang suatu konsep atau gejala. Natanson

menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang

menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokuss untuk

memahami tindakan sosial.

Jika dikaji lagi Fenomenologi itu berasal dari phenomenon yang berarti

realitas yang tampak. Dan logos yang berarti ilmu. Jadi fenomenologi itu ialah

ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.

Kuswarno dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi: Metode Penelitian

Komunikasi, berpendapat bahwa:

Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana


manusia mengkontruksi makna dan konsep penting dalam
kerangka intersubjektivitas (pemahaman kita melalui dunia
dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain). (2009:2)

Little John dalam bukunya yang berjudul Teori Komunikasi berpendapat

bahwa:

Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif


menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba
memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. (2009:57)

Teori fenomenologi menurut Alfred Schutz mengatakan bahwa

fenomenologi tertarik dengan pengidentifikasian masalah dari dunia pengalaman

inderawi yang bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran

individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi
antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran

bertindak (act) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna,

dimana cara-cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat

mendua dari jarak tersebut.

Menurut Schutz cara mengidentifikasikan makna luar dari arus utama

pengalaman adalah melalui proses tipikasi, yaitu proses pemahaman dan

pemberian makna terhadap tindakan akan membentuk tingkah laku. Dalam hal ini

termasuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan

melihat keserupaannya. Maka dalam arus pengalaman dilihat dari objek tertentu

pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke

tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam.

Maka fenomenologi menjadikan pengalaman sesungguhnya sebagai data

dasar dari realitas, sebagai suatu gerakan dalam berfikir fenomenologi

(phenomenology) dapat diartikan sebagai upaya studi tentang pengetahuan yang

timbul karena rasa ingin tahu. Objeknya berupa gejala atau kejadian yang

dipahami melalui pengalaman secara sadar (concius experience).

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena di

alami kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti sebagaimana fenomena

tersebut bernilai atau diterima secara estetis atau fenomenologi mencoba mencari

pemahaman bagaimana manusia mengkontruksi makna dan konsep-konsep

penting dalam kerangka intersubjektif. Intersubjektif karena pemahaman kita

mengenai dunia di bentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun
makna yang kita ciptakan dapat di telusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas

yang kita lakukan, tapi tetap saja ada peran orang lain di dalamnya.

Fenomenologi menganggap bahwa pengalaman yang aktual sebagai data

tentang realitas yang dipelajari. Kata gejala (phenomenom) yang bentuk jamaknya

adalah phenomena merupakan istilah fenomenologi di bentuk dan dapat diartikan

sebagai suatu tampilan dari objek. Kejadian atau kondisi-kondisi menurut

persepsi. Penelaahan masalah dilaksanakan dengan multi perspektif atau multi

sudut pandang.

Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa teori tersebut berusaha

memperdalam pemahaman pengguna terhadap tujuan mereka dalam

menggunakan mengikuti Fashion Jeans Denim yang saat ini menjadi pilihan

utama para anak muda atau mahasiswa di Kota Bandung. Teori ini berusaha

masuk dalam keseharian dengan sedemikian rupa, sehingga pengguna mengerti

bahwa apa dan bagaimana suatu pemahaman yang dikembangkan oleh teori

fenomenologi yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Asumsi dari fenomenologi menurut Litte John adalah interpretasi dari

pengalaman-pengalaman pribadi seseorang, seperti berikut ini:

Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif


menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba
memahami dunia dengan pengalaman pribadinya
(Littlejohn, 2009:57)

Juga seperti yang dikatakan oleh Alfred Schutz dalam buku Kuswarno

yang berjudul Fenomenologi, bahwa inti dari pemikirannya adalah :


Bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran,
Schutz meletakan hakikat manusia dalam pengalaman
subjektif, terutama ketika mengambil tindakan dan
mengambil sikap terhadap dunia kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini Schutz mengikuti pemikiran Husserl, yaitu
proses pemahaman actual kegiatan kita, dan pemberian
makna terhadapnya, sehingga ter-refleksi dalam tingkah
laku. (Suwarno 2009:18)

Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam

para subyek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian

fenomena dalam studi Fenomenologi adalah pengalaman atau peristiwa yang

masuk ke dalam kesadaran subjek.

Penelitian ini dilaksanakan dengan studi fenomenologi, sesuai yang

dikemukakan oleh Wilson dalam buku Kuswarno yang berjudul Fenomenologi

sebagai berikut :

Praktik fenomenologi adalah dengan cara mengembangkan


kejadian dalam suatu kajian apa yang dihasilkan pekerjaan
peneliti fenomenologi melalui berbagai publikasi. Analisis
fenomenologi terhadap isi budaya media massa misalnya,
menerapkan unsur-unsur melalui pendekatan untuk
menghasilkan pemahaman reflektif keadaan yang saling
mempengaruhi dunia kehidupan audiens dan materi
program. (2009:21)

Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal–hal

yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari

pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman–pengalaman inderawi

yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita.


Gambar 2.1

Bagan Kerangka Pemikiran

FENOMENA THRIFTING DI KALANGAN MAHASISWA KOTA


BANDUNG

Fenomenologi
(Alfred Schutz 1899-1959)
(Phenomenology Theory)

Motif Perilaku Makna

Dilihat dari motif Dilihat dari Dilihat dari para


pecinta fashion perubahan pecinta fashion
memakai barang perilaku pecinta memaknai
Thrifting dalam fashion yang barang Thrifting
kehidupan aktif memakai
sehari-hari. barang Thrifting.

.
(Sumber: Teori Fenomenologi Schutz)

Anda mungkin juga menyukai