Anda di halaman 1dari 6

DOKTRIN BUDAYA LUAR PEMENGARUH NILAI KEBINEKAAN

ANAK MUDA

Ketika membahas kebinekaan, hal yang terlintas di benak banyak orang


pasti mengarah kepada hal yang membangun atau mempertahankan bangsa.
Sayangnya mereka tidak paham sepenuhnya mengenai makna kebinekaan.
Bahkan beberapa orang pun tidak tahu bahwa kebinekaan bisa dinilai dari
seberapa peduli dan pahamnya orang terhadap segala hal yang ada di negaranya.
Kebinekaan atau boneka sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai sebuah keberagaman. Kebinekaan sendiri juga dapat dipahami sebagai
bentuk kesediaan dari seseorang untuk menerima orang lain atau kelompok lain
secara sama sebagai satu kesatuan. Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa
bangsa ini terlahir dari keberagaman. Mulai dari keberagaman ras, agama, suku,
budaya, etnik, bahasa, dan keberagaman lainnya.

Penanaman nilai kebinekaan sejatinya sudah diperkenalkan oleh orang tua


atau guru sejak anak berada di usia sekolah, bahkan sejak anak di usia kurang dari
5 tahun. Sayangnya, banyak anak muda yang saat ini seolah dengan sengaja
melupakan nilai kebinekaan yang telah dipelajarinya sejak dini. Mereka
menganggap bahwa nilai kebinekaan merupakan hal sederhana yang bisa berjalan
begitu saja tanpa perlu dipelajari. Anggapan tersebut bisa dibenarkan, namun tidak
sepenuhnya dibenarkan. Rasa saling menghargai merupakan hal naluriah yang
bisa saja dirasakan siapa saja dan timbul begitu saja, namun rasa tersebut bisa
timbul dalam diri seseorang juga karena adanya pembelajaran. Anggapan ini
akhirnya memunculkan sebuah simbol yang menjadi kunci pemersatu bangsa,
yaitu “Bineka Tunggal Ika” atau berbeda-beda tetapi tetap satu.

Seiring dengan berjalannya waktu, dunia ini pasti mengalami banyak


perubahan di dalamnya. Bukan hanya tentang banyaknya gedung pencakar langit
yang mulai menjulang di jalanan, tetapi juga keberadaan teknologi atau media
digital lainnya. Perkembangan ini memberikan pengaruh besar terhadap manusia
dalam membuka wawasannya. Banyak orang akhirnya bisa mendapatkan
informasi baru mengenai hal yang belum pernah terbayangkah sebelumnya hanya
dengan memanfaatkan teknologi. Kemajuan pesat yang terjadi di dunia nyatanya
mampu memberi pengaruh buruk terhadap pola pikir masyarakat. Bahkan
kemajuan ini mampu mencuci pikiran manusia untuk melupakan hal yang ada di
sekelilingnya.

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, kebinekaan yang ditanamkan


dalam diri seseorang berkaitan dengan rasa saling menghargai tentang perbedaan,
salah satunya budaya. Dari sekian banyak nilai yang terdapat dalam kebinekaan,
kebudayaan menjadi penentu utama atas keberlangsungan bangsa ini. Nilai
kebudayaan bisa saja berkaitan dengan nilai keagamaan, bahasa, maupun adat-
istiadat yang dipegang seseorang. Kebudayaan menjadi simbol maupun unsur atas
sebuah bangsa. Kebudayaan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai sebuah hasil penciptaan akal manusia yang berkaitan dengan
seni, kepercayaan, maupun adat-istiadat. Kebudayaan juga dapat dipahami sebagai
bentuk atas pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial terhadap lingkungan
sekitarnya, yang menjadi pedoman tingkah laku. Ahli juga berpendapat bahwa
kebudayaan merupakan simbol atau tanda yang dipergunakan seseorang untuk
beradaptasi di lingkungan baru, dan mempertahankan hidupnya sebagai makhluk
sosial. Simbol-simbol yang dimaksud meliputi ide atau pengetahuan, perilaku atau
tindakan, serta hal konkret atau empiris lainnya (Ahimsa-Putra, 2014:169).

Anak muda saat ini seolah banyak mendapatkan doktrin dari kebudayaan
luar negeri. Hal ini tentu terjadi akibat akses mudah yang Mereka dapatkan dari
media sosial atau teknologi lainnya. Mereka menganggap bahwa budaya luar jauh
lebih menarik untuk dipelajari dan didalami. Lain halnya dengan budaya
Indonesia yang kerap dianggap biasa saja atau membosankan. Akhirnya, banyak
anak muda yang mulai melupakan budaya dari bangsanya sendiri. Mungkin
beberapa orang hanya tahu mengenai budaya daerahnya tanpa tahu budaya dari
daerah lain. Ketidaktahuan generasi muda terhadap budaya yang berkembang di
negaranya sendiri akhirnya membuat mereka kesulitan dalam beradaptasi di
lingkungan baru. Mereka yang terlalu fokus dengan budaya luar, mulai tidak bisa
mentoleransi adanya budaya lain dalam hidupnya, meski itu merupakan budaya
negaranya sendiri. Bahkan mereka bisa mentoleransi adanya perbedaan budaya
yang berkembang di dunia, namun tidak bisa mentoleransi adanya budaya yang
berkembang di negaranya sendiri.

- Sebagai contoh nyata atas kasus perbedaan budaya ada di Indonesia bisa
dirasakan ketika seseorang memasuki bangku sekolah atau bangku
perkuliahan. Kebanyakan orang memilih untuk melanjutkan
pendidikannya di tempat lain di luar wilayah aslinya. Misalnya saja warga
Nusa Tenggara, orang Sumatra, atau orang Kalimantan memilih berkuliah
di pulau Jawa. Pasti ada banyak sekali hal yang berubah dari kehidupan di
tempat aslinya. Baik itu dari segi kebiasaan, bahasa, tingkah laku, dan
lainnya. Perbedaan itu bisa membuat seseorang mudah beradaptasi, atau
bahkan sulit untuk beradaptasi. Orang kerap menyebutnya dengan culture
shock. Mereka yang seolah mulai lupa atau bahkan tidak pernah mau
mempelajari budaya dari tempat yang akan dikunjunginya, pasti akan
merasa kesulitan untuk menempatkan diri. Bahkan hal serupa juga bisa
terjadi pada warga lokal yang wilayahnya didatangi oleh orang dari
provinsi lain. Ketika dirinya tidak tahu ilmu dasar dari bersosialisasi, pasti
hal tersebut bisa menjadi jalan timbulnya diskriminasi. Dasar ilmu dalam
bersosialisasi adalah memahami tempat kita berada, tempat orang berasal,
dan bagaimana budaya yang dipegang oleh orang tersebut. Hal ini lebih
mengarah pada etika seseorang dalam menanggapi orang baru. Sayangnya
etika ini sudah tidak berlaku saat ini. Keberagaman budaya Indonesia yang
seharusnya bisa menjadi jembatan pemersatu bagi bangsanya seolah tidak
berarti saat ini. Bahkan beberapa anak muda bisa cepat akrab dengan
orang lain karena adanya budaya dari luar negeri. Misalnya saja
pembahasan mengenai K-Pop atau drama Korea yang terkesan lebih
kekinian jika dibandingkan dengan pembahasan mengenai tarian atau adat
suatu daerah.
- Intoleransi atas kebudayaan lokal juga pernah terjadi beberapa kali di
Indonesia. Berdasarkan informasi yang dikutip dari laman tempo.co,
Indonesia sempat mengalami konflik yang dipicu oleh keberagaman
budaya. Budaya bukan hanya tentang bahasa, seni, atau adat istiadat, tetapi
juga etnis. Seperti yang diketahui bersama, bahwa di Indonesia juga
terdapat etnis Tionghoa. Etnis ini sudah hidup, berkembang, dan menjadi
satu kesatuan dengan bangsa ini sejak puluhan tahun silam. Masyarakat
keturunan Indonesia dan Tionghoa kerap disapa dengan Chindo. Meski
sempat melewati fase penjarahan di tahun 1998, namun masyarakat
keturunan Tionghoa sudah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Sayangnya hingga saat ini, masih banyak orang belum bisa menerima
bahwa masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia,
dan etnis mereka bukan merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia.
Meski sudah terbilang sebagai tragedi lama, namun aksi demonstrasi di
tahun 1998 masih menyisakan luka dan ingatan pedih bagi masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Orang-orang tidak bisa menerima masyarakat
Tionghoa maupun kebudayaan Tionghoa dalam kehidupannya, tetapi
mereka seolah bersikap tenang dan dengan senang hati mengakui bahwa
kebudayaan dari negara lain layak berada di sekelilingnya. Konflik antara
masyarakat pribumi dengan masyarakat keturunan Arab-Indonesia jauh
lebih sedikit jika dibandingkan dengan konflik yang terjadi antara
masyarakat pribumi dengan masyarakat China-Indonesia. Orang bisa
menganggap orang keturunan Indonesia-Korea, Indonesia-Jepang, dan
Indonesia dengan negara lainnya sebagai bentuk keanekaragaman
kebudayaan, tetapi tidak negara yang satu ini. Alasannya hanya karena
mereka menyukai budaya atau segala hal yang ada di negara-negara
tersebut.

Dalam upaya perawatan dan penjagaan nilai kebinekaan di kalangan anak


muda, perlu upaya lebih dari pemerintah maupun instansi terkait lainnya untuk
memberikan sosialisasi. Sosialisasi ini tentu setidaknya diharapkan bisa
mengubah cara berpikir generasi muda mengenai pentingnya merawat kebinekaan
dan mengenai pentingnya mengetahui setiap perbedaan yang terlahir di negeri ini.
Tujuan utama atas pembelajaran dan perawatan nilai kebinekaan ini tentu
berkaitan dengan upaya untuk mempertahankan setiap nilai yang ada di negara
ini. Kebinekaan sendiri menjadi gambaran nyata, bahwa bangsa ini tidak hanya
terlahir dari satu atau dua suku, satu atau dua bahasa, satu atau dua ras, tetapi
ratusan bahkan hingga puluhan ribu perbedaan.
Merawat kebinekaan bisa dilakukan dengan beragam cara. Mulai dari
penanaman nilai untuk bisa saling menerima perbedaan, penanaman nilai untuk
lebih mengutamakan kepentingan negara, tidak merendahkan agama, suku,
maupun budaya lain, serta tidak memandang rendah orang yang memang tidak
sejalan dengan kita. Merawat kebinekaan juga bisa dilakukan melalui pengenalan
kebudayaan. Pengenalan kebudayaan ini biasanya dipelajari dalam mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial. Mata pelajaran ini memang terkesan cukup rumit bagi
sebagian orang, karena harus mempelajari banyak hal dalam waktu yang terbatas.
Untuk itu, perlu adanya pengembangan mata pelajaran di bangsi sekolah
mengenai budaya lokal. Pembelajaran budaya lokal ini ditujukan untuk memberi
pemahaman kepada siswa atau anak muda mengenai budaya yang ada di
wilayahnya. Jika pelajaran IPS membahas mengenai budaya Indonesia secara
luas, maka pembelajaran budaya lokal lebih mengedepankan pada pembelajaran
budaya dari wilayahnya. Mereka yang bisa mempelajari budaya lokalnya dengan
baik, tentu bisa menjadikan kebudayaan tersebut sebagai identitas diri. Ketika dia
berada di tempat baru, dirinya pasti akan lebih mudah beradaptasi karena bisa
memegang budaya daerahnya dengan kuat.

Agar anak tidak mudah melupakan setiap hal yang telah dipelajarinya
berkaitan dengan kebudayaan untuk menjunjung nilai kebudayaan, perlu adanya
sosialisasi lebih mendalam atau pembelajaran lebih banyak (bahkan hingga ke
bangku perkuliahan). Orang tua, pemerintah, maupun instansi lainnya harus bisa
bekerja sama untuk melahirkan generasi yang peduli akan bangsanya, peduli akan
keberagaman di bangsanya, dan mencintai keberagaman yang ada di bangsanya.
Berusaha untuk membuat mereka menjadi sosok yang bisa mentoleransi setiap
perbedaan yang ada di sekitarnya. Memberi pemahaman bahwa mempelajari
kebudayaan luar negeri bukan sebuah hal yang salah, tetapi mereka harus lebih
mendahulukan budaya bangsanya, agar kebudayaan yang menjadi cerminan
bangsa dan representasi kebiasaan manusia ini tidak hilang begitu saja.

Penegakan dan pelaksanaan nilai kebinekaan ini akhirnya mengacu pada


pelaksanaan sila ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia”. Bagaimana bangsa ini bisa
terus berdiri jika tidak ada rasa persatuan di dalamnya? Persatuan dan kesatuan
yang seharusnya menjadi kunci bagi keberlangsungan bangsa ini, justru dianggap
remeh oleh calon penerusnya yang tidak bisa memahami sepenuhnya segala hal
yang ada di negaranya. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran dari masing-
masing pribadi, bahwa segala hal yang ada di bangsa ini (khususnya dalam
kaitannya dengan kebudayaan), jauh lebih penting dari segala hal yang ada di
dunia. Anak muda tidak harus menyukainya tapi wajib untuk mengetahuinya. Jika
mereka bisa tertarik dengan budaya luar hanya dengan melihatnya, mereka
seharusnya juga bisa menyukai kebudayaan Indonesia juga dengan melihatnya.
Terlebih budaya Indonesia jauh lebih beragam jika dibandingkan dengan negara-
negara yang kerap dielukan oleh generasi muda Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai