1 Peran Organisasi Agama Zending Dan Muhammadiyah Dalam Kesehatan Masyarakat Yogyakarta (1900-1930)
1 Peran Organisasi Agama Zending Dan Muhammadiyah Dalam Kesehatan Masyarakat Yogyakarta (1900-1930)
Abstrak
Kesehatan merupakan salah satu aspek yang memegang peran penting
dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20. Pada masa ini, terlihat
beberapa kemajuan di bidang kesehatan telah dilakukan secara masif oleh
pemerintah kolonial Belanda. Peningkatan aspek kesehatan memang
bukan perkara yang mudah. Pemerintah kolonial Belanda sudah memulai
merancang sistem kesehatan di tanah Jawa sejak pertengahan abad ke-19.
Namun, segala upaya yang telah dilakukan hanya untuk kepentingan
militer Belanda. Kemajuan kesehatan saat itu seakan sia-sia karena tidak
mampu menjangkau masyarakat kecil yang juga membutuhkan fasilitas
dan pelayanan kesehatan. Keadaan ini mendorong organisasi agama untuk
turut terjun dalam dunia kesehatan. Gerakan Zending dan Muhammadiyah
merupakan contoh garda terdepan dalam meningkatkan aspek kesehatan
masyarakat. Zending membangun banyak fasilitas kesehatan dengan
program zending dan missie. Di lain sisi, hanya dalam kurun waktu 10
tahun yaitu dari 1920 hingga 1930, Muhammadiyah melalui organisasi
PKO telah mendirikan poliklinik kesehatan (1923), rumah miskin (1923),
dan rumah yatim (1930). Tulisan ini akan membahas tentang faktor,
perkembangan, dan pengaruh kedua organisasi agama tersebut dalam
peningkatan kesehatan masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta.
Kata kunci: PKO, muhammadiyah, zending, sejarah kesehatan masyarakat
A. Introduction
Abad ke-20 merupakan gerbang baru bagi masyarakat pribumi. Tidak
hanya terlihat dari kemajuan organisasi, pendidikan, dan pergerakan nasional,
tetapi juga peningkatan dalam bidang kesehatan. Meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama, masyarakat pribumi akhirnya mendapat ruang akses kesehatan
yang layak. Dibutuhkan serangkaian proses yang panjang untuk menuju fase ini,
mengingat kesehatan yang menjadi fokus utama pemerintah kolonial Belanda
1
hanya ditujukan bagi kepentingan militer.1 Hadirnya organisasi agama yang mau
merintis dan meningkatkan kesehatan masyarakat pribumi telah mejadi
terobosan yang luar biasa. Muhammadiyah dan Zending hadir dengan membawa
semangat untuk kesehatan masyarakat. Kedua organisasi ini juga ingin
menegakkan keadilan dalam akses pelayanan kesehatan.
1
Baha’Uddin, “Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-
20”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 7, No. 1, 2004, hlm. 101-102.
2
Candradimuka Dokter Jawa, https://historia.id/sains/articles/candradimuka-dokter-jawa-
PRgLk/page/1 (diakses pada 10 Desember 2021)
3
Warwick Anderson dan Hans Pols, “Scientific Patriotism: Medical Science and National Self-
Fashioning in Southeast Asia”, JSTOR, Vol. 54, No. 1, 2012, hlm. 97.
4
Vivek Neelakantan, “The Indonesianization of Social Medicine”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol.
10, No. 1, 2013, hlm. 75.
2
kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Meski demikian,
kritik yang disampaikan sering kali tidak memberi perubahan yang signifikan.
5
Sejarah Wafatnya Abdoel Muis Tanggal 17 Juni 1959, https://tirto.id/sejarah-wafatnya-abdul-
moeis-tanggal-17-juni-1959-ggXN (diakses pada 10 Desember 2021)
6
Christina S.I., Perawatan Kebidanan: Sejarah Kebidanan dan Perawatan Sebelum Melahirkan
(Jakarta: Bhatara, 1993), hlm. 26.
3
empiris.7 Selain itu, dukun juga dipandang sebagai tokoh yang tua, kotor, dan
takhayul yang jauh berbeda dengan identitas barat yang ilmiah dan modern 8
Pandangan ini membuat hubungan tenaga kesehatan kolonial dengan para dukun
menjadi renggang. Akibat dari kerenggangan ini adalah minimnya ilmu
pengetahuan para tenaga kesehatan kolonial tentang seluk beluk penyakit
masyarakat Hindia Belanda. Mereka hanya fokus pada peningkatan kesehatan
yang didatangkan dari Eropa
Tiga dekade awal di abad ke-20 telah menjadi momentum bagi kemajuan
kesehatan kolonial Belanda. Ini ditandai dari serangkaian pembangunan fasilitas
kesehatan. Sebelumnya, aspek kesehatan di Hindia Belanda masih terbatas pada
persediaan poliklinik yang hanya mampu menangani penyakit ringan. Seiring
berjalannya waktu, poliklinik berkembang menjadi rumah sakit yang meningkat
hampir sepuluh kali lipat, yaitu pada tahun sejumlah 32 rumah sakit pada tahun
1910 menjadi 310 rumah sakit pada tahun 1930.9 Selain itu peningkatan juga
terjadi pada Pegawa Negeri Sipil, dari yang sebelumya hanya 78 menjadi 79
(Koloniaal Verslag, 1911). Namun, peningkatan yang signifikan ini hanya
digunakan untuk kepentingan kolonial.
7
Liesbeth Hesselink, Healers On The Colonial Market: Native doctors and midwives in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 16-17.
8
Nur Janti, “Midwives and Dukun Beranak, the Choices for Handling Childbrith”, Jurnal Lembaran
Sejarah, Vol. 16, No. 2, 2020, hlm. 167.
9
Frank Ochsendorf, “Colonial Corporate Social Responsibility: Company Healthcare in Java, East
Sumatra and Belitung, 1910-1940”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 14, No. 1, 2018, 84.
4
karena itu, tulisan ini akan memberi sedikit gambaran mengenai perjalanan
Zending dan Muhammadiyah untuk memajukan kesehatan masyarakat pribumi.
10
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.197.
11
Politik liberal adalah kebijakan yang memberi kesempatan bagi pengusaha Barat dan asing/swasta
untuk memanfaatkan sumber daya alam di Indonesia.
12
M. C. Ricklefs, Sejarah indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991),
hlm. 189.
5
yang minim. Keadaan ini menggambarkan bahwa pribumi sebagai pemilik tanah,
tetapi justru menjadi buruh di tanahnya sendiri. 13
13
Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 22.
14
J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study in Plural Economy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1944), hlm.362-363.
15
Liesbeth Hesselink, Healers On The Colonial Market: Native doctors and midwives in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 272.
16
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 336.
6
17
produktivitas. Selain itu, perkembangan penduduk di Yogyakarta juga
mengalami perkembangan yang signifikan yang dapat dilihat dalam tabel:
Tabel 1
Jumlah Penduduk Yogyakarta Tahun 1905-1920
Sumber: Volkstelling 1920, Vol. II: Uitkomsten der in de maand November 1920
gehouden Volkstelling, hlm. 3.
17
Baha’Uddin, “Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-
20”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 7, No. 1, 2004, hlm. 118.
18
Ibid., 337.
7
C. Permasalahan Kesehatan Masyarakat di Yogyakarta
Telah diketahui bahwa aspek kesehatan mengalami perkembangan sejak
memasuki abad ke-20. Meski demikian, pemerataan kesehatan belum terjadi
bagi masyarakat pribumi. Kesehatan saat itu seakan berupa labelling dan hanya
ditujukan bagi pihak-pihak penting. Di sisi lain, masyarakat pribumi dihadapkan
dengan situasi yang kian memburuk yang dapat dilihat dari bencana alam, gagal
panen, dan penyakit baru lainnya. 19 Penyakit yang memberi perubahan besar
dalam kurun waktu ini adalah wabah penyakit pes. Pes dapat masuk ke
Yogyakarta karena disini merupakan kota penghubung antar wilayah yang
membawa truk-truk pembawa bahan makanan. Saat musim hujan, keberadaan
tikus sebagai penyebab pes dapat melahirkan 10 ekor anak hanya dalam wakti
lima minggu.20
19
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari Kebangkitan hingga
Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 11.
20
Edwin Wahyuni, Skripsi: “Pemberantasan Wabah Penyakit di Gunungkidul 1950-1964”
(Yogyakarta: UNY, 2011), hlm. 42.
8
Permasalahan kesehatan selain pes adalah malaria. Penyakit ini berasal
dari hirupan udara yang kotor dan tersebar di seluruh wilayah tropis. Yogyakarta
memiliki banyak daerah genangan air payau yang menyebabkan sarang nyamuk
ada dimana-mana. Gejala malaria biasanya berlangsung dari 10 hari hingga 4
minggu dengan ciri-ciri demam, sakit kepala, diare, anemia, dan lainnya. 21
Keadaan ini membuat pemerintah kolonial membentuk Biro Pusat Malaria pada
tahun 1924, melakukan vaksinasi, penyediaan air bersih, dan sosialisasi pada
masyarakat.22 Selain itu, PKO dan Zending juga turut disibukkan oleh penyakit
malaria ini.
21
Parasit Plasmodium Penyebab Penyakit Malaria yang Berbahaya,
https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/09/181500823/parasit-plasmodium-penyebab-
penyakit-malaria-yang-berbahaya (diakses pada 18 Desember 2021)
22
Baha’ Uddin, Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah,
(Yogyakarta: UGM: 2000), hlm. 117-118.
23
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.197.
9
Gambar 2 Suasana Poliklinik Muhammadiyah di Notoprajan Tahun 1924
Sumber: Yayasan K.H. Ahmad Dahlan
24
Soewara Moehammadijah, Terbit Tiap Tiap Tanggal 1 Hari Boelan Belanda,
http://mpi.muhammadiyah.or.id/id/artikel-penampilan-majalah-suara-muhammadiyah-19231924-
detail-1209.html (diakses pada tanggal 6 Oktober 2021)
10
memiliki dokter yang perlu dibayar setiap bulannya karena mendapat bantuan
tenaga dokter gratis yaitu dr. Mas Soemowidigdo dan Mas Slamet.25 Kondisi
keuangan di klinik PKO memang bisa dibilang terbatas. Oleh karenanya, Haji
Soedjak terus melakukan penyesuaian dan mengusahakan derma baik dari
masyarakat atau anggota Muhammadiyah. Usaha lain pun dicoba oleh
Muhammadiyah seperti membuka tempat makan dan galang dana.
Perjalanan PKO yang masih terus menyesuaikan administrasi berupa
pamasukan dan pengeluaran ternyata tetap menjalankan tujuan utama dengan
baik. Pertumbuhan PKO dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat
tergolong tinggi. Hal ini dapat diketahui dari laporan Soerabaijasch Handelsblad
bahwa PKO telah membantu 470 pasien yang dirawat selama 6.357 hari. Jumlah
ini terus meningkat seperti pada tahun 1930, jumlah pasien mencapai 675 pasien
yang dirawat selama 7.905 hari. Banyaknya pasien yang dirawat di setiap cabang
ini membuat PKO akhirnya mampu mendirikan poliklinik baru di Kota Gede
dan Imogiti pada tahun 1929. 26
Perbaikan Poliklinik PKO terus dilakukan setiap tahunnya. Salah satu
poliklinik yang dipimpin oleh dr. Sampoerno bahkan mendapat subsidi dari
pemerintah kolonial sejumlah f 5.400, dari Keraton Yogyakarta sebesar f
3.023,53, dari biaya perawatan sebesar f. 2.345, dan pendapatan dari donasi
sebesar f. 500. Perbaikan pelayanan kesehatan dan kondisi keuangan ini tentu
berdampak pada meningkatnya jumlah kesehatan masyarakat. Hal ini juga
membantu pemerintah kolonial karena tidak perlu mengeluarkan banyak dana
untuk membangun pelayanan kesehatan dari awal. Peran baik PKO ini mendapat
respon baik dari pemerintah kolonial yang dapat dilihat dari kerja sama diantara
keduanya. Pada beberapa cabang PKO, pemerintah kolonial memberi donasi
berupa uang dan bantuan tenaga medis kolonial.
25
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.203.
26
Ibid., 205.
11
E. Sejarah dan Peran Gerakan Zending Bagi Kesehatan Masyarakat
Yogyakarta
Perkembangan kesehatan di Jawa, termasuk di Yogyakarta tidak lepas
dari peran besar Zending. Mulanya, Zending memiliki tugas sebagai jembatan
Injil untuk menyebarkan ajaran Kristen. Terdapat beberapa cara yang Zending
lakukan yaitu pendekatan sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Seiring
berjalannya waktu, pengaruh Zending di bidang kesehatan ini semakin
menumbuhkan jemaat Kristen di Yogyakarta. Kiprah Zending yang juga disebut
sebagai Zending Gereformeerde Amsterdam ini tidak lepas dari pengaruh politik
etis. Ketika pemerintah kolonial gencar menyuarakan tentang pendidikan,
Zending juga turut mengembangkan aspek pendidikan yang diikuti dengan
pendidikan agama Injil dan pendidikan kesehatan. Meskipun memiliki pengaruh
yang besar dalam kesehatan, Zending mengalami konflik internal yang akhirnya
membuat Zending harus terpecah di beberapa daerah dengan visi misi yang
berbeda.27
Pada awalnya, terdapat tiga partai agama yang ada di Hindia Belanda
pada masa Politik Etis yaitu Partai Roma Katolik, Parta Anti Revolusioner, dan
Partai Kristen Historis. 28 Mereka meminta izin kepada pemerintah untuk
melakukan kegiatan misi keagamaan yang pada akhirnya terbentuk politik
zending atau missie. Seiring berjalannya waktu, mereka tidak hanya fokus pada
keagamaan, tetapi juga mulai mendirikan rumah sakit dan poliklinik. Hal ini
terlihat dari dibangunnya poliklinik di daerah Bintaran pada tahun 1897 yang
diinisiasi oleh dr. J.G. Scheurer, seorang pendeta sekaligus dokter.29 Ia mendapat
tugas dari Gereja Gereformeerd Amsterdam untuk menyebarkan perkabaran Injil
di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Langkah ini diterima baik oleh masyarakat
karena sikap Zending yang terbuka, tidak membeda-bedakan ras, dan agama.30
27
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 4.
28
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hlm. 36-37.
29
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 22.
30
Salma Istia Nahar, Skripsi: “Sejarah, Perkembangan Rumah Sakit Umum Daerah Blora Tahun
1907-1997” (Surakarta: UNS, 1997), hlm. 5.
12
Selain itu, para petugas kesehatan Zending juga bersikap ramah dan memberi
kesan menyenangkan kepada para pasien. Meskipun memiliki misi penyebaran
agama, tetapi mereka tetap memiliki batasan agar tidak mengganggu kesehatan
pasien.
13
poliklinik ini tercatat telah membantu pasien yang meningkat secara stabil.
Melihat banyaknya pasien, dr. J.G. Scheurer berpikir untuk mendirikan rumah
sakit baru yang mampu menampung banyak pasien. Pemikiran ini akhirnya
disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lalu didirikanlah rumah sakit di
daerah Gondokusuman dengan tanah seluas 28.410 meter persegi yang bernama
Petronella. 31 Bangunan rumah sakit ini sudah cukup baik yaitu terdiri dari 3
bangsal pasien pria, 2 bangsal pasien wanita, 1 kamar tunggu dan pengobatan,
dan 1 kamar operasi. Meskipun masih berupa bangunan semi-permanen yang
terlihat dari bangunan dinding di bawah dan bambu di atas, tetapi rumah sakit
Petronella telah memberi ruang yang nyaman bagi pasien saat itu. Selain itu,
Rumah Sakit Petronella dilengkapi dengan penerangan dari lampu pompa dan
lampu minyak tanah.32
Peran dokter Scheurer dalam penanganan penyakit di Yogyakarta dapat
dilihat saat terjadi wabah penyakit pes yang mulai muncul sejak tahun 1911. Saat
itu, ia menulis sebuah artikel yang berisi cara penanganan atau pencegahan
penyakit pes yang kemudian dimuat di beberapa surat kabar Hindia Belanda.
Tentu hal ini memberi respon yang positif dari masyarakat. Kebaikan dokter
Scheurer ini terdengar oleh pemerintah, sehingga ia diberi bantuan untuk
pelayanan rumah sakit sebesar ƒ. 3.000 per tahun.33
Keberadaan Rumah Sakit Petronella tidak hanya difokuskan pada
pelayanan kesehatan masyarakat saja, tetapi juga pendidikan keperawatan yang
ditujukan sebagai tenaga medis di daerah lain. Murid yang diajar memiliki latar
belakang yang beragam, ada yang berasal dari Jawa atau luar Jawa. Selain itu,
sistem pengajaran selama kurang lebih 8 jam sehari dinilai efektif, terlebih
pengajaran dilakukan ada yang menggunakan bahasa Indonesia dan Belanda.
Usaha mencetak tenaga medis ini didukung dengan sumbangan finansial dan
material dari perkumpulan dr. Scheurer’s Hospital di Belanda. Beberapa
31
Sugiarti Siswandi, Rumah Sakit Bethesda dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: R.S. Bethesda
Yogyakarta, 1989), hlm. 22.
32
Ibid., 30.
33
Langgeng Sulistiyo Budi, “Fasilitas Perkotaan Pada Awal Abad ke-20: Rumah Sakit dan Sekolah
di Yogyakarta”, dalam Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, hlm.
180.
14
diantaranya adalah obat-obatan, perban, jas dokter, dan lainnya.34 Hal ini tentu
membuat Rumah Sakit Petronella terbantu dan semakin meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.
F. Kesimpulan
Kehadiran dan perkembangan organisasi agama di Yogyakarta telah
memberi peran yang besar bagi bidang kesehatan secara umum. Seperti yang
telah diketahui bersama bahwa antara tahun 1900 sampai 1930, terdapat
beberapa hal yang menyangkut tentang kesehatan masyarakat. Mereka
membutuhkan pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi kemajuan dunia medis
hanya digunakan pemerintah kolonial sebagai instrumen untuk tujuan ekonomi.
Muhammadiyah dan Zending hadir sebagai pelopor guna mengatasi masalah
yang ada. Keduanya memberi kontribusi yang sama-sama mengutamakan
kepentingan rakyat. Meskipun kedua organisasi ini memulai langkah awal pada
waktu yang berbeda, tetapi keduanya memiliki persinggungan dalam penerapan
kesehatan yang lebih baik. Hubungan pun tetap terjaga dengan baik, tidak ada
persaingan terlebih permusuhan dalam memberi pertolongan. Meski Zending
dan Muhammadiyah juga memiliki visi-misi penyebaran agama, tapi mereka
mampu memberi ruang yang berbeda dalam menyebarkan nilai agama masing-
masing. Kerukunan yang dijalin juga tampak dari respon pemerintah kolonial
yang tak segan-segan membantu perihal dana atau pun tenaga medis bagi
Zending dan Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya, kedua
organisasi ini tetap maju di jalan masing-masing hingga saat ini.
34
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 6.
15
Daftar Pustaka
Sumber Arsip:
Volkstelling 1920.
Arsip Pakualam, no. 3997.
Sumber Buku:
Furnivall, J. S. (1944). Netherlands India: A Study in Plural Economy . Cambridge:
Cambridge University Press.
Hesselink, L. (2011). Healers On The Colonial Market: Native doctors and
midwives in the Dutch East Indies . Leiden: KITLV Press.
I, C. S. (1993). Perawatan Kebidanan: Sejarah Kebidanan dan Perawatan Sebelum
Melahirkan . Bhatara, 26.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia Jilid
V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, C. M. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Ricklefs, M. C. (1991). Sejarah indonesia Modern . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Siswandi, S. (1989). Rumah Sakit Bethesda dari Masa ke Masa. Yogyakarta: R.S.
Bethesda Yogyakarta.
Utomo, C. B. (1995). Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari
Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sumber Skripsi:
Wulanadha, A. 2014. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta
1901-1942. Skripsi. Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta.
Nahar, Salma Istia. 1997. Sejarah Perkembangan RSUD Blora Tahun 1907-1997.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Ani, Novita Astry. 2019. Rumah Sakit Dokter Scheurer Klaten Tahun 1927-1942.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Wahyuni, Edwin. 2011. Pemberantasan Wabah Penyakit di Gunung Kidul 1950-
1964. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
16
Sumber Jurnal:
Anderson, W., & Pols, H. (2012). Scientific Patriotism: Medical Science and
National Self-Fashioning in Southeast Asia. JSTOR, 93-113.
Janti, N. (2020). Midwives and Dukun Beranak, the Choices for Handling
Childbirth. Jurnal Lembaran Sejarah, 165-182.
Neelakantan, V. (2013). The Indonesianization of Social Medicine. Jurnal
Lembaran Sejarah , 75-86.
Ochsendorf, F. (2018). Colonial Corporate Social Responsibility: Company
Healthcare in Java, East Sumatra and Belitung, . Jurnal Lembaran Sejarah ,
83-97.
'Uddin, B. (2000). Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial.
Lembaran Sejarah , 117.
'Uddin, B. (2004). Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan
Awal Abad ke-20. Jurnal Lembaran Sejarah, 101-124.
Yuristiadhi, G. (2015). Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di
Yoggyakarta Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat
Sipil (1920-1931)”, . Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna, 195-219.
Tim Penyusun. 1936. Rumah-Sakit Zending “Petronella”; pekerjaan di rumah sakit
zending “petronella” dengan 22 cabangnya. Terj. Widjaja. Yogyakarta:
Bethesda.
Sumber Websites:
Firdausi, A. F. (2017, November 27). Historia. Retrieved from historia.id:
https://historia.id/sains/articles/candradimuka-dokter-jawa-PRgLk/page/1
Hadi, A. (2021, Juni 17). Tirto. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-
wafatnya-abdul-moeis-tanggal-17-juni-1959-ggXN
Lukyani, L. (2021, Desember 9). Kompas. Retrieved from kompas.com:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/09/181500823/parasit-
plasmodium-penyebab-penyakit-malaria-yang-berbahaya
17