Anda di halaman 1dari 17

Peran Organisasi Agama Zending dan Muhammadiyah Dalam Kesehatan

Masyarakat Yogyakarta (1900-1930)

Dinda Nabila (20/456025/SA/20283)


Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada

Abstrak
Kesehatan merupakan salah satu aspek yang memegang peran penting
dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20. Pada masa ini, terlihat
beberapa kemajuan di bidang kesehatan telah dilakukan secara masif oleh
pemerintah kolonial Belanda. Peningkatan aspek kesehatan memang
bukan perkara yang mudah. Pemerintah kolonial Belanda sudah memulai
merancang sistem kesehatan di tanah Jawa sejak pertengahan abad ke-19.
Namun, segala upaya yang telah dilakukan hanya untuk kepentingan
militer Belanda. Kemajuan kesehatan saat itu seakan sia-sia karena tidak
mampu menjangkau masyarakat kecil yang juga membutuhkan fasilitas
dan pelayanan kesehatan. Keadaan ini mendorong organisasi agama untuk
turut terjun dalam dunia kesehatan. Gerakan Zending dan Muhammadiyah
merupakan contoh garda terdepan dalam meningkatkan aspek kesehatan
masyarakat. Zending membangun banyak fasilitas kesehatan dengan
program zending dan missie. Di lain sisi, hanya dalam kurun waktu 10
tahun yaitu dari 1920 hingga 1930, Muhammadiyah melalui organisasi
PKO telah mendirikan poliklinik kesehatan (1923), rumah miskin (1923),
dan rumah yatim (1930). Tulisan ini akan membahas tentang faktor,
perkembangan, dan pengaruh kedua organisasi agama tersebut dalam
peningkatan kesehatan masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta.
Kata kunci: PKO, muhammadiyah, zending, sejarah kesehatan masyarakat

A. Introduction
Abad ke-20 merupakan gerbang baru bagi masyarakat pribumi. Tidak
hanya terlihat dari kemajuan organisasi, pendidikan, dan pergerakan nasional,
tetapi juga peningkatan dalam bidang kesehatan. Meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama, masyarakat pribumi akhirnya mendapat ruang akses kesehatan
yang layak. Dibutuhkan serangkaian proses yang panjang untuk menuju fase ini,
mengingat kesehatan yang menjadi fokus utama pemerintah kolonial Belanda

1
hanya ditujukan bagi kepentingan militer.1 Hadirnya organisasi agama yang mau
merintis dan meningkatkan kesehatan masyarakat pribumi telah mejadi
terobosan yang luar biasa. Muhammadiyah dan Zending hadir dengan membawa
semangat untuk kesehatan masyarakat. Kedua organisasi ini juga ingin
menegakkan keadilan dalam akses pelayanan kesehatan.

Kesehatan di Hindia Belanda mulai diperhatikan sejak pertengahan abad


ke-19 dengan ditandai oleh beberapa kebijakan pemerintah kolonial tentang
dunia medis. Setidaknya terdapat dua alasan dari pemerintah kolonial untuk
memperhatikan aspek kesehatan, yaitu munculnya wabah dan minimnya tenaga
medis untuk mengatasi penyakit hingga ke daerah. Atas usul Dokter Williem
Bosh, Kepala Dinas Kesehatan Umum Hindia Belanda, akhirnya dibentuk
sekolah Dokter Jawa dengan nama resmi School ter Opleiding van Inlandsche
Geneeskundingen pada 1 Januari 1851. 2 Pada perkembangannya, pemerintah
kolonial terus mempromosikan kesehatan terutama sejak tahun 1900-an. 3
Namun sekitar tahun 1920-an, renggangnya hubungan kolonial dengan para
intelektual dan politik pribumi telah menyebabkan pemerintah kolonial tidak
terlalu serius dalam memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat pribumi.

Keberlanjutan dari program kesehatan pemerintah kolonial adalah


kebijakan berupa anggaran kesehatan pemerintah pada tahun 1912 hingga 1940
yang jumlahnya berkisar 2,5 hingga 5 persen.4 Perbaikan dunia kesehatan juga
terjadi saat dibentuknya dewan khusus kesehatan Volksraad yang anggotanya
tidak hanya para pejabat kolonial, tetapi juga pribumi khususnya yang memiliki
latar belakang kesehatan. Hal ini ditujukan agar pribumi tetap bisa mengkritik

1
Baha’Uddin, “Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-
20”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 7, No. 1, 2004, hlm. 101-102.
2
Candradimuka Dokter Jawa, https://historia.id/sains/articles/candradimuka-dokter-jawa-
PRgLk/page/1 (diakses pada 10 Desember 2021)
3
Warwick Anderson dan Hans Pols, “Scientific Patriotism: Medical Science and National Self-
Fashioning in Southeast Asia”, JSTOR, Vol. 54, No. 1, 2012, hlm. 97.
4
Vivek Neelakantan, “The Indonesianization of Social Medicine”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol.
10, No. 1, 2013, hlm. 75.

2
kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Meski demikian,
kritik yang disampaikan sering kali tidak memberi perubahan yang signifikan.

Salah satu tokoh nasionalis Indonesia yang kerap menyuarakan kritik


terhadap Dewan Rakyat Volksraad adalah Abdoel Moeis. Ia adalah tokoh
pergerakan yang aktif sebagai wakil Sarekat Islam (SI) di Volksraad. 5 Hal yang
sering Abdoel Muis sampaikan adalah tentang ruang gerak masyarakat pribumi
yang terbatas pada bidang kesehatan. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa
kesehatan masyarakat pada awal abad ke-20 memang lebih baik dari masa awal
kolonial. Namun, ketidakmerataan dan kategorisasi yang dilakukan pemerintah
kolonial telah membuat masyarakat kehilangan layanan akses kesehatan yang
memadai.

Apabila aspek ekonomi, sosial, dan politik memegang peran penting


sehingga direncanakan secara matang oleh pemerintah kolonial, tetapi aspek
kesehatan justru sebaliknya. Meskipun eksistensinya pada abad ke-20 cenderung
berhasil, hampir sebagian besar keberhasilannya didasarkan pada peristiwa yang
tidak terencana. Hal ini dapat diketahui dari kebijakan-kebijakan kesehatan
pemerintah kolonial yang ditetapkan setelah adanya suatu peristiwa, misalnya
adanya beberapa penyakit. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemerintah
kolonial sebetulnya tidak berniat untuk memajukan kesehatan rakyat pribumi.
Alih-alih memberi kesempatan untuk berobat ke rumah sakit pemerintah,
pemerintah kolonial justru membiarkan rakyat pribumi untuk berobat secara
tradisional ke dukun. Hal ini karena dukun masih disegani dan memiliki
pengaruh yang besar bagi masyarakat.6

Kemajuan kesehatan kolonial juga bertujuan untuk merendahkan posisi


dukun di mata masyarakat. Dukun dianggap sebagai penyembuh yang
mempraktikkan takhayul tetapi dengan kombinasi pengetahan magis dan

5
Sejarah Wafatnya Abdoel Muis Tanggal 17 Juni 1959, https://tirto.id/sejarah-wafatnya-abdul-
moeis-tanggal-17-juni-1959-ggXN (diakses pada 10 Desember 2021)
6
Christina S.I., Perawatan Kebidanan: Sejarah Kebidanan dan Perawatan Sebelum Melahirkan
(Jakarta: Bhatara, 1993), hlm. 26.

3
empiris.7 Selain itu, dukun juga dipandang sebagai tokoh yang tua, kotor, dan
takhayul yang jauh berbeda dengan identitas barat yang ilmiah dan modern 8
Pandangan ini membuat hubungan tenaga kesehatan kolonial dengan para dukun
menjadi renggang. Akibat dari kerenggangan ini adalah minimnya ilmu
pengetahuan para tenaga kesehatan kolonial tentang seluk beluk penyakit
masyarakat Hindia Belanda. Mereka hanya fokus pada peningkatan kesehatan
yang didatangkan dari Eropa

Tiga dekade awal di abad ke-20 telah menjadi momentum bagi kemajuan
kesehatan kolonial Belanda. Ini ditandai dari serangkaian pembangunan fasilitas
kesehatan. Sebelumnya, aspek kesehatan di Hindia Belanda masih terbatas pada
persediaan poliklinik yang hanya mampu menangani penyakit ringan. Seiring
berjalannya waktu, poliklinik berkembang menjadi rumah sakit yang meningkat
hampir sepuluh kali lipat, yaitu pada tahun sejumlah 32 rumah sakit pada tahun
1910 menjadi 310 rumah sakit pada tahun 1930.9 Selain itu peningkatan juga
terjadi pada Pegawa Negeri Sipil, dari yang sebelumya hanya 78 menjadi 79
(Koloniaal Verslag, 1911). Namun, peningkatan yang signifikan ini hanya
digunakan untuk kepentingan kolonial.

Melihat kemajuan aspek kesehatan kolonial, Zending dan Muhammadiyah


menganggapnya sebagai suatu kesia-siaan. Pembangunan kesehatan yang kian
masif pada kenyataannya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat kecil. Keadaan
ini mendorong organisasi keagamaan turut memprakarsai berdirinya rumah sakit
bagi masyarakat. Zending dan Muhammadiyah merupakan contoh dari organiasi
agama yang menanggapi aspek kesehatan secara serius. Meskipun keduanya
memiliki aliran yang berbeda, tetapi tujuannya tetaplah sama. Terdapat banyak
pembahasan mengenai kiprah Zending atau pun Muhammadiyah, tetapi masih
sedikit yang memberi fokus pada persinggungan di antara keduanya. Oleh

7
Liesbeth Hesselink, Healers On The Colonial Market: Native doctors and midwives in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 16-17.
8
Nur Janti, “Midwives and Dukun Beranak, the Choices for Handling Childbrith”, Jurnal Lembaran
Sejarah, Vol. 16, No. 2, 2020, hlm. 167.
9
Frank Ochsendorf, “Colonial Corporate Social Responsibility: Company Healthcare in Java, East
Sumatra and Belitung, 1910-1940”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 14, No. 1, 2018, 84.

4
karena itu, tulisan ini akan memberi sedikit gambaran mengenai perjalanan
Zending dan Muhammadiyah untuk memajukan kesehatan masyarakat pribumi.

Pergerakan Zending dan Muhammadiyah dalam memajukan kesehatan


khususnya di Yogyakarta terlihat dalam De Indische Courant, sebuah koran
milik Belanda tertanggal 16 Juni 1926. 10 Koran ini memberitakan tentang
kesempatan untuk Zending dan Muhammadiyah untuk memberi pidato saat
penyambutan kedatangan J.E. Jasper sebagai residen baru di Yogyakarta.
Melihat peristiwa ini, tentu dapat disimpulkan bahwa Zending dan
Muhammadiyah telah memiliki peran penting dalam perjalanan keagamaan dan
medis sejak tahun 1920-an. Pembahasan ini difokuskan pada faktor,
perkembangan, dan pengaruh kedua organisasi agama tersebut dalam
peningkatan kesehatan masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta. Dengan
menggunakan metode penelitian sejarah, tulisan ini diharapkan dapat memberi
pemaparan tentang studi kasus yang mampu memberi manfaat bagi banyak
pihak.

B. Politik Etis Sebagai Tonggak Kemajuan Kesehatan


Penerapan sistem Cultuurstelsel pada tahun 1830 hingga 1870 telah
membuat masyarakat menderita, salah satunya karena produksi beras yang kian
menurun. Kelaparan pun terjadi dimana-mana yang diikuti dengan penyakit
mematikan seperti pes, malaria, dan influenza. Penderitaan yang dialami
masyarakat pribumi masih bertambah saat diberlakukannya politik liberal. 11
Keadaan ini membuat para penguasa swasta semakin leluasa dalam
menanamkan pengaruh di Hindia Belanda 12 Mereka banyak membangun
industri dan perkebunan yang memperkerjakan masyarakat pribumi dengan upah

10
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.197.
11
Politik liberal adalah kebijakan yang memberi kesempatan bagi pengusaha Barat dan asing/swasta
untuk memanfaatkan sumber daya alam di Indonesia.
12
M. C. Ricklefs, Sejarah indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991),
hlm. 189.

5
yang minim. Keadaan ini menggambarkan bahwa pribumi sebagai pemilik tanah,
tetapi justru menjadi buruh di tanahnya sendiri. 13

Kemajuan bidang kesehatan merupakan salah satu dampak dari


berlakunya Politik Etis di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mulai
menerapkan kebijakan politik balas budi dengan dalih untuk memberi
kesejahteraan bagi masyarakat kecil. 14 Namun pada kenyataannya, kebijakan
ini hanya memuat janji dan mendorong terbentuknya pola eksploitasi baru
terhadap masyarakat pribumi yang hanya akan menguntungkan perekonomian
kolonial. Politik Etis diresmikan langsung oleh Ratu Wilhelmina dalam Orasi
Kerajaan tahunan yang memiliki fokus pada irigasi, transmigrasi, dan
pendidikan.15 Ketiga aspek ini lah yang akan memberi pengaruh pada kemajuan
aspek kesehatan. Pidato yang disampaikan pada tanggal 17 September 1901 ini
disebut sebagai panggilan moral Pemerintah Belanda bagi pribumi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya kolonial dalam meningkatkan


perekonomian dalam lingkup Politik Etis adalah dengan memaksimalkan sektor
perkebunan. Pada saat yang sama, Hindia Belanda mengalami beberapa wabah
penyakit seperti pes, kolera, dan malaria. Selain itu, pertumbuhan penduduk
yang masif telah membuat pemerintah kolonial harus menetapkan strategi baru
di bidang kesehatan. Meskipun pembangunan aspek kesehatan telah dilakukan
secara signifikan sejak tahun 1900, tetapi ini masih belum sebanding dengan
jumlah penduduk. Tercatat jumlah penduduk Jawa pada tahun 1900 mencapai
28,4 juta jiwa, pada tahun 1920 mencapai 34,4 juta jiwa, dan pada tahun 1930
mencapai 40,9 juta jiwa. 16 Keadaan ini membuat pemerintah kolonial mulai
memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat semata-mata agar para pekerja
pribumi dapat terus bekerja lebih keras dan mampu meningkatkan

13
Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 22.
14
J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study in Plural Economy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1944), hlm.362-363.
15
Liesbeth Hesselink, Healers On The Colonial Market: Native doctors and midwives in the Dutch
East Indies (Leiden: KITLV Press, 2011), hlm. 272.
16
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 336.

6
17
produktivitas. Selain itu, perkembangan penduduk di Yogyakarta juga
mengalami perkembangan yang signifikan yang dapat dilihat dalam tabel:

Tabel 1
Jumlah Penduduk Yogyakarta Tahun 1905-1920

No Tahun Jumlah Penduduk Berdasarkan Tempat Total


Asal
Eropa Pribumi Pendatang Asia
1 1905 2.342 1.110.814 5.549 1.118.705
2 1917 4.198 1.358.598 11.372 1.374.168
3 1920 4.885 1.270.594 7.336 1.282.815

Sumber: Volkstelling 1920, Vol. II: Uitkomsten der in de maand November 1920
gehouden Volkstelling, hlm. 3.

Beberapa upaya yang dilakukan yaitu imunisasi, kampanye anti malaria,


dan perbaikan kesehatan secara umum. Perubahan bentuk dan tata ruang rumah
juga dilakukan untuk menghindari serangan wabah pes. Dibalik upaya tersebut,
pemenuhan fasilitas kesehatan medis masih belum memadai. Tercatat hanya ada
1.030 dokter pada tahun 1930 yang berarti setiap satu dokter harus menangani
setiap 62,5 ribu penduduk di Jawa. 18 Melihat situasi yang serba kekurangan,
Zending dan Muhammadiyah hadir dengan misi kesejahteraan umat untuk
menangani permasalahan kesehatan yang ada. Bahkan, pemerintah kolonial
Belanda memberi subsidi kepada rumah sakit yang baru berdiri baik rumah sakit
pemerintah atau swasta. Layanan kesehatan swasta kemudian dibagi menjadi
dua yaitu yang dikelola oleh perkebunan dan dikelola oleh lembaga keagamaan.
Dalam bidang keagamaan, kehadiran Zending dan Muhammadiyah pada
kenyataannya mampu memperingan beban yang harus ditanggung oleh kolonial.

17
Baha’Uddin, “Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan Awal Abad ke-
20”, Jurnal Lembaran Sejarah, Vol. 7, No. 1, 2004, hlm. 118.
18
Ibid., 337.

7
C. Permasalahan Kesehatan Masyarakat di Yogyakarta
Telah diketahui bahwa aspek kesehatan mengalami perkembangan sejak
memasuki abad ke-20. Meski demikian, pemerataan kesehatan belum terjadi
bagi masyarakat pribumi. Kesehatan saat itu seakan berupa labelling dan hanya
ditujukan bagi pihak-pihak penting. Di sisi lain, masyarakat pribumi dihadapkan
dengan situasi yang kian memburuk yang dapat dilihat dari bencana alam, gagal
panen, dan penyakit baru lainnya. 19 Penyakit yang memberi perubahan besar
dalam kurun waktu ini adalah wabah penyakit pes. Pes dapat masuk ke
Yogyakarta karena disini merupakan kota penghubung antar wilayah yang
membawa truk-truk pembawa bahan makanan. Saat musim hujan, keberadaan
tikus sebagai penyebab pes dapat melahirkan 10 ekor anak hanya dalam wakti
lima minggu.20

Gambar 1 Laporan Perkembangbiakan Populasi


Tikus Sumber: Arsip Paku Alam no. 3997.

19
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari Kebangkitan hingga
Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 11.
20
Edwin Wahyuni, Skripsi: “Pemberantasan Wabah Penyakit di Gunungkidul 1950-1964”
(Yogyakarta: UNY, 2011), hlm. 42.

8
Permasalahan kesehatan selain pes adalah malaria. Penyakit ini berasal
dari hirupan udara yang kotor dan tersebar di seluruh wilayah tropis. Yogyakarta
memiliki banyak daerah genangan air payau yang menyebabkan sarang nyamuk
ada dimana-mana. Gejala malaria biasanya berlangsung dari 10 hari hingga 4
minggu dengan ciri-ciri demam, sakit kepala, diare, anemia, dan lainnya. 21
Keadaan ini membuat pemerintah kolonial membentuk Biro Pusat Malaria pada
tahun 1924, melakukan vaksinasi, penyediaan air bersih, dan sosialisasi pada
masyarakat.22 Selain itu, PKO dan Zending juga turut disibukkan oleh penyakit
malaria ini.

D. Sejarah dan Peran Penolong Kesengsaraan Oemom Muhammadiyah Bagi


Kesehatan Masyarakat Yogyakarta
Salah satu program Muhammadiyah yang berdampak besar bagi
kesejahteraan masyarakat adalah pemberdayaan kesehatan yang direalisasikan
dalam pembentukan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). PKO resmi
berdiri pada tanggal 18 Juni 1920 pada saat rapat Anggota Istimewa
Muhammadiyah yang kemudian dipimpin oleh murid KH. Ahmad Dahlan
bernama Haji Soedjak.23 Cita-cita Muhammadiyah yang mendirikan PKO bukan
hanya disebabkan karena politik etis atau gerakan kesehatan Zending yang telah
ada terlebih dahulu. Namun, Muhammadiyah juga memiliki tujuan yang
didasarkan pada ajaran Al-Qur’an yang tertuang dalam Surat Al-Maun. Isi surat
ini adalah harapan agar mendorong Muhammadiyah untuk mendirikan rumah
sakit dan memberi fasilitas kesehatan yang baik.

21
Parasit Plasmodium Penyebab Penyakit Malaria yang Berbahaya,
https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/09/181500823/parasit-plasmodium-penyebab-
penyakit-malaria-yang-berbahaya (diakses pada 18 Desember 2021)
22
Baha’ Uddin, Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah,
(Yogyakarta: UGM: 2000), hlm. 117-118.
23
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.197.

9
Gambar 2 Suasana Poliklinik Muhammadiyah di Notoprajan Tahun 1924
Sumber: Yayasan K.H. Ahmad Dahlan

Realisasi dari tujuan Muhammadiyah di bidang kesehatan ini adalah


terbentuknya cabang PKO yaitu sebuah poliklinik di Notoprajan, Yogyakarta
pada bulan Februari 1923. Disini, kaderisasi Muhammadiyah mulai terjun
langsung di masyarakat. Berdasarkan foto di atas, poliklinik di Notoprajan masih
terbilang sederhana. Terlihat seorang dokter sedang memeriksa pasien dengan
peralatan yang telah disediakan. Tidak hanya memberi pelayanan kesehatan,
tetapi juga sebagai jembatan syiar memperkenalkan agama Islam. Dalam naskah
asli majalah berjudul Soewara Moehammadijah, Terbit Tiap Tiap Tanggal 1
Hari Boelan Belanda yang terbit pada tahun 1924, disebutkan bahwa poliklinik
PKO memiliki pimpinan sekaligus dokter yang bernama Dokter Somowidagdo.
Pada awal pendirian, poliklinik ini tidak langsung ramai pengunjung. Namun,
setelah beberapa bulan atau sekitar bulan April sampai Juni terdapat kurang lebih
30 pengunjung atau pasien yang datang.24
Keberadaan PKO Muhammadiyah telah membantu untuk memenuhi
kekurangan tenaga medis di Yogyakarta. Kebermanfaatan ini tidak lepas dari
usaha Hoofdbestuur Muhammadiyah yang memberi masukan kas sebesar f 50
secara rutin. Penggunaan kas ini untuk keperluan pembelian obat dan
penyediaan makanan untuk pasien dan membayar punggawa dokter. PKO tidak

24
Soewara Moehammadijah, Terbit Tiap Tiap Tanggal 1 Hari Boelan Belanda,
http://mpi.muhammadiyah.or.id/id/artikel-penampilan-majalah-suara-muhammadiyah-19231924-
detail-1209.html (diakses pada tanggal 6 Oktober 2021)

10
memiliki dokter yang perlu dibayar setiap bulannya karena mendapat bantuan
tenaga dokter gratis yaitu dr. Mas Soemowidigdo dan Mas Slamet.25 Kondisi
keuangan di klinik PKO memang bisa dibilang terbatas. Oleh karenanya, Haji
Soedjak terus melakukan penyesuaian dan mengusahakan derma baik dari
masyarakat atau anggota Muhammadiyah. Usaha lain pun dicoba oleh
Muhammadiyah seperti membuka tempat makan dan galang dana.
Perjalanan PKO yang masih terus menyesuaikan administrasi berupa
pamasukan dan pengeluaran ternyata tetap menjalankan tujuan utama dengan
baik. Pertumbuhan PKO dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat
tergolong tinggi. Hal ini dapat diketahui dari laporan Soerabaijasch Handelsblad
bahwa PKO telah membantu 470 pasien yang dirawat selama 6.357 hari. Jumlah
ini terus meningkat seperti pada tahun 1930, jumlah pasien mencapai 675 pasien
yang dirawat selama 7.905 hari. Banyaknya pasien yang dirawat di setiap cabang
ini membuat PKO akhirnya mampu mendirikan poliklinik baru di Kota Gede
dan Imogiti pada tahun 1929. 26
Perbaikan Poliklinik PKO terus dilakukan setiap tahunnya. Salah satu
poliklinik yang dipimpin oleh dr. Sampoerno bahkan mendapat subsidi dari
pemerintah kolonial sejumlah f 5.400, dari Keraton Yogyakarta sebesar f
3.023,53, dari biaya perawatan sebesar f. 2.345, dan pendapatan dari donasi
sebesar f. 500. Perbaikan pelayanan kesehatan dan kondisi keuangan ini tentu
berdampak pada meningkatnya jumlah kesehatan masyarakat. Hal ini juga
membantu pemerintah kolonial karena tidak perlu mengeluarkan banyak dana
untuk membangun pelayanan kesehatan dari awal. Peran baik PKO ini mendapat
respon baik dari pemerintah kolonial yang dapat dilihat dari kerja sama diantara
keduanya. Pada beberapa cabang PKO, pemerintah kolonial memberi donasi
berupa uang dan bantuan tenaga medis kolonial.

25
Ghifari Yuristiadhi, “Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di Yoggyakarta
Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat Sipil (1920-1931)”, Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman Afkaruna, Vol. 11, No. 2, 2015, hlm.203.
26
Ibid., 205.

11
E. Sejarah dan Peran Gerakan Zending Bagi Kesehatan Masyarakat
Yogyakarta
Perkembangan kesehatan di Jawa, termasuk di Yogyakarta tidak lepas
dari peran besar Zending. Mulanya, Zending memiliki tugas sebagai jembatan
Injil untuk menyebarkan ajaran Kristen. Terdapat beberapa cara yang Zending
lakukan yaitu pendekatan sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Seiring
berjalannya waktu, pengaruh Zending di bidang kesehatan ini semakin
menumbuhkan jemaat Kristen di Yogyakarta. Kiprah Zending yang juga disebut
sebagai Zending Gereformeerde Amsterdam ini tidak lepas dari pengaruh politik
etis. Ketika pemerintah kolonial gencar menyuarakan tentang pendidikan,
Zending juga turut mengembangkan aspek pendidikan yang diikuti dengan
pendidikan agama Injil dan pendidikan kesehatan. Meskipun memiliki pengaruh
yang besar dalam kesehatan, Zending mengalami konflik internal yang akhirnya
membuat Zending harus terpecah di beberapa daerah dengan visi misi yang
berbeda.27
Pada awalnya, terdapat tiga partai agama yang ada di Hindia Belanda
pada masa Politik Etis yaitu Partai Roma Katolik, Parta Anti Revolusioner, dan
Partai Kristen Historis. 28 Mereka meminta izin kepada pemerintah untuk
melakukan kegiatan misi keagamaan yang pada akhirnya terbentuk politik
zending atau missie. Seiring berjalannya waktu, mereka tidak hanya fokus pada
keagamaan, tetapi juga mulai mendirikan rumah sakit dan poliklinik. Hal ini
terlihat dari dibangunnya poliklinik di daerah Bintaran pada tahun 1897 yang
diinisiasi oleh dr. J.G. Scheurer, seorang pendeta sekaligus dokter.29 Ia mendapat
tugas dari Gereja Gereformeerd Amsterdam untuk menyebarkan perkabaran Injil
di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Langkah ini diterima baik oleh masyarakat
karena sikap Zending yang terbuka, tidak membeda-bedakan ras, dan agama.30

27
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 4.
28
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), hlm. 36-37.
29
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 22.
30
Salma Istia Nahar, Skripsi: “Sejarah, Perkembangan Rumah Sakit Umum Daerah Blora Tahun
1907-1997” (Surakarta: UNS, 1997), hlm. 5.

12
Selain itu, para petugas kesehatan Zending juga bersikap ramah dan memberi
kesan menyenangkan kepada para pasien. Meskipun memiliki misi penyebaran
agama, tetapi mereka tetap memiliki batasan agar tidak mengganggu kesehatan
pasien.

Gambar 4 Foto Perawat Pribumi di RS Gambar 3 Foto dokter Groot dan


Petronella Pelayan RS Petronella

Sumber: Tim Penyusun. Het Zendingsziekenhuis Sumber: Tim Penyusun. Het


Petronella en zijn 22 neveninrichting in woord Zendingsziekenhuis Petronella en zijn 22
en beeld, (Yogyakarta: Kolff-Buning, 1936), neveninrichting in woord en beeld,
hlm. 13-41. (Yogyakarta: Kolff-Buning, 1936), hlm.
13-41.

Gambar 5 Jumlah Pasien Rumah Sakit Petronella 1920-1936 Sumber: Tim


Penyusun Het Zendingsziekenhuis Petronella en zijn 22 neveninrichting in
woord en beeld (Yogyakarta: Kolff-Buning, 1936), hlm. 53

Poliklinik Bintaran sering disebut sebagai “Rumah Sakit Toeloeng” atau


“Dokter Toeloeng” oleh masyarakat setempat. Setelah beberapa bulan berdiri,

13
poliklinik ini tercatat telah membantu pasien yang meningkat secara stabil.
Melihat banyaknya pasien, dr. J.G. Scheurer berpikir untuk mendirikan rumah
sakit baru yang mampu menampung banyak pasien. Pemikiran ini akhirnya
disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lalu didirikanlah rumah sakit di
daerah Gondokusuman dengan tanah seluas 28.410 meter persegi yang bernama
Petronella. 31 Bangunan rumah sakit ini sudah cukup baik yaitu terdiri dari 3
bangsal pasien pria, 2 bangsal pasien wanita, 1 kamar tunggu dan pengobatan,
dan 1 kamar operasi. Meskipun masih berupa bangunan semi-permanen yang
terlihat dari bangunan dinding di bawah dan bambu di atas, tetapi rumah sakit
Petronella telah memberi ruang yang nyaman bagi pasien saat itu. Selain itu,
Rumah Sakit Petronella dilengkapi dengan penerangan dari lampu pompa dan
lampu minyak tanah.32
Peran dokter Scheurer dalam penanganan penyakit di Yogyakarta dapat
dilihat saat terjadi wabah penyakit pes yang mulai muncul sejak tahun 1911. Saat
itu, ia menulis sebuah artikel yang berisi cara penanganan atau pencegahan
penyakit pes yang kemudian dimuat di beberapa surat kabar Hindia Belanda.
Tentu hal ini memberi respon yang positif dari masyarakat. Kebaikan dokter
Scheurer ini terdengar oleh pemerintah, sehingga ia diberi bantuan untuk
pelayanan rumah sakit sebesar ƒ. 3.000 per tahun.33
Keberadaan Rumah Sakit Petronella tidak hanya difokuskan pada
pelayanan kesehatan masyarakat saja, tetapi juga pendidikan keperawatan yang
ditujukan sebagai tenaga medis di daerah lain. Murid yang diajar memiliki latar
belakang yang beragam, ada yang berasal dari Jawa atau luar Jawa. Selain itu,
sistem pengajaran selama kurang lebih 8 jam sehari dinilai efektif, terlebih
pengajaran dilakukan ada yang menggunakan bahasa Indonesia dan Belanda.
Usaha mencetak tenaga medis ini didukung dengan sumbangan finansial dan
material dari perkumpulan dr. Scheurer’s Hospital di Belanda. Beberapa

31
Sugiarti Siswandi, Rumah Sakit Bethesda dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: R.S. Bethesda
Yogyakarta, 1989), hlm. 22.
32
Ibid., 30.
33
Langgeng Sulistiyo Budi, “Fasilitas Perkotaan Pada Awal Abad ke-20: Rumah Sakit dan Sekolah
di Yogyakarta”, dalam Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, hlm.
180.

14
diantaranya adalah obat-obatan, perban, jas dokter, dan lainnya.34 Hal ini tentu
membuat Rumah Sakit Petronella terbantu dan semakin meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.

F. Kesimpulan
Kehadiran dan perkembangan organisasi agama di Yogyakarta telah
memberi peran yang besar bagi bidang kesehatan secara umum. Seperti yang
telah diketahui bersama bahwa antara tahun 1900 sampai 1930, terdapat
beberapa hal yang menyangkut tentang kesehatan masyarakat. Mereka
membutuhkan pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi kemajuan dunia medis
hanya digunakan pemerintah kolonial sebagai instrumen untuk tujuan ekonomi.
Muhammadiyah dan Zending hadir sebagai pelopor guna mengatasi masalah
yang ada. Keduanya memberi kontribusi yang sama-sama mengutamakan
kepentingan rakyat. Meskipun kedua organisasi ini memulai langkah awal pada
waktu yang berbeda, tetapi keduanya memiliki persinggungan dalam penerapan
kesehatan yang lebih baik. Hubungan pun tetap terjaga dengan baik, tidak ada
persaingan terlebih permusuhan dalam memberi pertolongan. Meski Zending
dan Muhammadiyah juga memiliki visi-misi penyebaran agama, tapi mereka
mampu memberi ruang yang berbeda dalam menyebarkan nilai agama masing-
masing. Kerukunan yang dijalin juga tampak dari respon pemerintah kolonial
yang tak segan-segan membantu perihal dana atau pun tenaga medis bagi
Zending dan Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya, kedua
organisasi ini tetap maju di jalan masing-masing hingga saat ini.

34
Alfian Wulanadha, Skripsi: “Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta 1901-
1942” (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 6.

15
Daftar Pustaka

Sumber Arsip:
Volkstelling 1920.
Arsip Pakualam, no. 3997.
Sumber Buku:
Furnivall, J. S. (1944). Netherlands India: A Study in Plural Economy . Cambridge:
Cambridge University Press.
Hesselink, L. (2011). Healers On The Colonial Market: Native doctors and
midwives in the Dutch East Indies . Leiden: KITLV Press.
I, C. S. (1993). Perawatan Kebidanan: Sejarah Kebidanan dan Perawatan Sebelum
Melahirkan . Bhatara, 26.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia Jilid
V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, C. M. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Ricklefs, M. C. (1991). Sejarah indonesia Modern . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Siswandi, S. (1989). Rumah Sakit Bethesda dari Masa ke Masa. Yogyakarta: R.S.
Bethesda Yogyakarta.
Utomo, C. B. (1995). Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: dari
Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sumber Skripsi:
Wulanadha, A. 2014. Perkembangan Fasilitas Kesehatan Zending di Yogyakarta
1901-1942. Skripsi. Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta.
Nahar, Salma Istia. 1997. Sejarah Perkembangan RSUD Blora Tahun 1907-1997.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Ani, Novita Astry. 2019. Rumah Sakit Dokter Scheurer Klaten Tahun 1927-1942.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Wahyuni, Edwin. 2011. Pemberantasan Wabah Penyakit di Gunung Kidul 1950-
1964. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

16
Sumber Jurnal:
Anderson, W., & Pols, H. (2012). Scientific Patriotism: Medical Science and
National Self-Fashioning in Southeast Asia. JSTOR, 93-113.
Janti, N. (2020). Midwives and Dukun Beranak, the Choices for Handling
Childbirth. Jurnal Lembaran Sejarah, 165-182.
Neelakantan, V. (2013). The Indonesianization of Social Medicine. Jurnal
Lembaran Sejarah , 75-86.
Ochsendorf, F. (2018). Colonial Corporate Social Responsibility: Company
Healthcare in Java, East Sumatra and Belitung, . Jurnal Lembaran Sejarah ,
83-97.
'Uddin, B. (2000). Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial.
Lembaran Sejarah , 117.
'Uddin, B. (2004). Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit di Jawa pada Abad ke-19 dan
Awal Abad ke-20. Jurnal Lembaran Sejarah, 101-124.
Yuristiadhi, G. (2015). Aktivisme Hoofdbestuur Muhammadiyah Bagian PKO di
Yoggyakarta Sebagai Representasi Gerakan Pelayanan Sosial Masyarakat
Sipil (1920-1931)”, . Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna, 195-219.
Tim Penyusun. 1936. Rumah-Sakit Zending “Petronella”; pekerjaan di rumah sakit
zending “petronella” dengan 22 cabangnya. Terj. Widjaja. Yogyakarta:
Bethesda.
Sumber Websites:
Firdausi, A. F. (2017, November 27). Historia. Retrieved from historia.id:
https://historia.id/sains/articles/candradimuka-dokter-jawa-PRgLk/page/1
Hadi, A. (2021, Juni 17). Tirto. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-
wafatnya-abdul-moeis-tanggal-17-juni-1959-ggXN
Lukyani, L. (2021, Desember 9). Kompas. Retrieved from kompas.com:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/09/181500823/parasit-
plasmodium-penyebab-penyakit-malaria-yang-berbahaya

17

Anda mungkin juga menyukai