Anda di halaman 1dari 8

KAPAL PINISI

Kapal pinisi yang merupakan salah satu kapal tradisional kebanggaan Indonesia memiliki
keunikan dalam pembuatannya. Umumnya, seperti kapal-kapal di negara barat, rangka kapal
dibuat lebih dahulu baru dindingnya. Sedangkan pada kapal pinisi, pembuatannya dimulai
dengan dinding dulu baru setelah itu rangkanya.

Aturan peletakan papan-papan teras dan aturan dasar lainnya disusun oleh Ruling, sampai
sekarang dalam pembuatan perahu pinisi aturan Ruling inilah yang menjadi pedoman.
Disamping itu orang Bugis memiliki undang-undang pelayaran dan perdagangan yang disusun
oleh "Ammana Gappa" (namanya diabadikan pada pelayaran ekspedisi Pinisi ke Madagaskar).
Jenis kapal kayu pinisi telah mengambil peran penting dalam sejarah pelayaran Indonesia selama
berabad-abad. Menurut berbagai sumber, jenis kapal yang sama telah ada sebelum tahun 1500-
an, sama seperti kapal Arab.
Meskipun para pembuat kapal ini sering disebut sebagai orang Bugis, namun mereka
dibagi menjadi empat sub suku. Keempatnya adalah Konjo di bagian selatan Sulawesi Selatan
(Ara, Bira dan Tanah Biru), Mandar di Sulawesi Barat sampai bagian utara Makasar, Bugis di
wilayah sekitar Wajo bagian timur Teluk Bone, dan Makassar di wilayah sekitar Kota Makasar.
Diantara semua itu, Konjo adalah yang paling berpengaruh dalam pembuatan kapal pinisi.
Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai P.
Madagaskar di Afrika. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang kedua
datang pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa pemerintahan
Sriwijaya). Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama
Merina.
Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang
berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari, pada tahun 1986 yang lalu. Tahun
1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia, mengikuti
rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi Damar
Segara ke Jepang.
Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Phinisi sudah ada
sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh
Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil
dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh.
Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar
penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk
berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Singkat cerita, Sawerigading berhasil memperistri Puteri We Cudai. Setelah beberapa
lama tinggal di Tiongkok, Sawerigading rindu kepada kampung halamannya. Dengan
menggunakan perahunya yang dulu, ia berlayar ke Luwu. Namun, ketika perahunya akan
memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya hingga pecah.
Pecahan-pecahan perahunya terdampar ke 3 (tiga) tempat di wilayah Kabupaten
Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Oleh masyarakat dari
ketiga kelurahan tersebut, bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadi sebuah
perahu yang megah dan dinamakan Perahu Phinisi.
Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi,
dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut,
terutama di Keluharan Tana Beru.
Ketika berada di Pusat Kerajinan Perahu Pinisi di Tana Beru, para pengunjung akan
berdecak kagum melihat kepiawaian para pengrajinnya membuat Perahu Phinisi. Mereka mampu
membuat perahu yang sangat kokoh dan megah hanya berdasarkan pada pengalaman dan
pengetahuan yang diperoleh dari nenek moyang mereka, tanpa menggunakan gambar atau
kepustakaan tertulis.
Sejarah membuktikan bahwa Perahu Phinisi Nusantara telah berhasil berlayar ke
Vancouver Kanada, Amerika Serikat, pada tahun 1986. Oleh karena kepiawaian para pengrajin
tersebut, Kabupaten Bulukumba dijuluki sebagai Butta Panrita Lopi, yaitu bumi atau tanah para
ahli pembuat Perahu Phinisi.

PROSES PEMBUATAN KAPAL PHINISI


Tanah beru, tanah leluhur para arsitek perahu Pinisi. Di tanah inilah Panrita Lopi melahirkan
karya besar mereka. Menciptakan perahu yang hingga saat ini masih melayari pesisir pantai
nusantara. Dimuali dari awal sejarah Bugis klasik hingga zaman cybernetic perahu Pinisi tetap
anggun meniti arus, membelah ombak menggapai pantai tujuan. Masih segar dalam ingatan
ketika pinisi Amanagappa dengan gagah berlayar ke semenanjung Madagaskar. Juga Hati
Herage dan Damarsagara yang berlayar ke Australia dan Jepang. Seolah ingin memperlihatkan
pada dunia bahwa inilah anak bangsa yang telah menoreh kisah dalam lontara zaman berzaman.
Sejenak, ingin rasanya berada di Bonto Bahari dan menyaksikan kepiawaian pencipta perahu-
perahu handal yang dengan mahir melahirkan karya besar mereka. Sungguh, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa setiap jengkal badan perahu sarat dengan nilai falsafah.

Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah
menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang
dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini
dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal
handal dalam arung samudra.

a. Proses Pencarian Bahan Dasar

Proses pencarian kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan kapal pinisi diawali dengan
penentuan hari baik yang dipandang menguntungkan. Lazimnya, hari ini dipilih pada hari ke
lima dan ketujuh bulan berjalan. Penentuan hari ini didasari oleh nilai filosofi yakni jika hari
kelima maka itu berarti Naparilimai dale’na. Lima dalam bahasa bugis berarti angka lima yang
juga berarti telapak tangan. Naparilimai dale’na dapat dimaknakan dale’ atau rezeki diharapkan
nantinya akan berada ditelapak tangan. Atau dengan makna lain rezeki mudah dicari jika kelak
perahu yang akan dibuat dimanfaatkan untuk mencari rezeki atau keuntungan. JIka dipilih hari
ketujuh, maka itu berarti Natujuangenggi dalle’na. Natujuang dalam bahasa Bugis berarti
diniatkan atau dapat pula berarti didapatkan. Natujuangenggi dalle’na memberi makna
kemudahan dalam memperoleh dalle’ (rezeki) atau apa saja yang menjadi niat dihati maka apa
yang diniatkan itu mudah didapatkan.
b. Pemilihan Pohon atau Kayu Yang Akan Dijadikan Bahan Dasar

Pemilihan kayu juga tidak dapat dilakukan secara serampangan, tapi dengan melalui proses
pemilihan dengan penyelenggaraan ritual tertentu. Biasanya diawali dengan pemotongan ayam
dan permintaan izin agar penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami pohon
tersebut memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan perahu.
Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan sekaligus, tidak boleh berhenti dikerjakan
sebelum pohonnya tumbang. Karenanya, proses pemotongan yang lazimnya menggunakan
gergaji dilakukan oleh laki-laki yang berbadan kuat.

c. Pemotongan Lunas
Pemotongan kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan tersendiri. Kayu bagian ujung yang
dipotong dan tidak dapat dimanfaatkanakan dibuang kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini
juga tidak boleh menyentuh tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara pengantaran ini
lazim disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini melambangkan laki-laki yang melaut
untuk mencari nafkah atau juga dapat diartikan sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan
bagian belakang akan disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti kedatangan
suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.
d. Penentuan Pusat Perahu

Penentuan bagian yang menjadi pusat perahu atau ini lebih menitik beratkan pada nilai filosofis
yang terkandung didalamnya, yakni melambangkan kelahiran bayi perahu. Selanjutnya proses
pengerjaan perahu dilaksanakan dengan dikomandani oleh seorang Ponggawa. Ponggawa ini
pulalah yang bertanggungjawab terhadap proses pembuatan perahu secara teknis hingga selesai.
e. Proses Penyelesaian (Finshing)
Proses selanjutnya adalah menyiapkan teras dan buritan perahu yang menjadi badan perahu.
Proses ini diawali dengan pemasangan lunas perahu yang kemudian dusul dengan pemasangan
linggi depan dan linggi belakang. Barulah kemudian jika selesai disusul pemasangan papan yang
menjadi diding lambung perahu. Secara berurut juga dipasang tulang dan gading perahu. Setelah
proses pemasangan gading ini selesai perahu dipasangi balok-balok dinding dan dek. Jika
semuanya rampung menyusul kamar perahu yang akan dikerjakan. Namun, perlu dijadikan
catatan dalam proses pembuatan dan pemasangan beberapa bagian perahu, juga dikerjakan
perekatan antara bagian yang menjadi komponen perahu. Perekatan ini dilakukan dengan
memanfaatkan kulit pohon Barru dan dempul yang terbuat dari kapur dan minyak kelapa.

Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau
orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki
tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja
yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan
pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara
khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses
pembuatan perahu hingga selesai.
Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut
diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.

“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako


mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan
terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut
disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai
rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.
Dari proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki fungsi dalam
menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :

1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada pada bagian depan kapal.


2. Sombala (layar utama) berukuran besar
3. Tanpasere (layar kecil) berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara (layar bantu depan).
5. Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6. Tarengke (layar bantu di belakang)

Ada 4 suku besar yang memiliki keahlian dan tradisi terhadap Kapal Phinisi
(pinisi) ini yaitu :
 Suku Konjo disekitar daerah Ara, Bira dan Tanah Beru
 Suku Mandar disekitar daerah Sulawesi Barat dan Utara
 Suku Bugis (Bougies) disekitar daerah Wajo dan Teluk Bone
 Suku Makassar disekitar daerah Makassar

Ada dua jenis kapal pinisi


Lamba atau lambo adalah Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang
dilengkapi dengan motor diesel (PLM) atau Kapal Layar Motor (KLM) atau "Motor Driven
Sailing Vessel" atau "Motor Sailor." Penggunaan mesin (diesel/vessel) terjadi sekitar tahun
1970-an ketika kecepatan kapal perlu ditingkatkan dan ketepatan waktu dalam pengantaran
barang ke seluruh Indonesia.
Palari adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari
jenis Lamda.
Kapal Phinisi dibangun dengan cara tradisional yang seksama dengan menggunakan kayu pilihan
yaitu Kayu Besi/Kayu Ullin/Ulin/Ironwood (Eusideroxylon zwageri) dan Bangkirai atau Shorea
spp. (mis. Shorea kunstleri King, Shorea laevis Ridley, Shorea laevifolia Endert) atau Hopea spp.
(mis. Hopea celebica Burck, Hopea semicuneata Sym.). Kayu Bangkirai yang sering digunakan
adalah dari jenis shorea leavifolia.

Anda mungkin juga menyukai