Anda di halaman 1dari 17

KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َحمد‬
Perampok Kejam dan Tidak Sopan
Mencuri dan merampok saat itu adalah hal yang biasa. Hanya sebagian kecil saja orang yang
tidak pernah melakukannya. Perampok pun bukan cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga
orang yang dirampok. Perampok biasa menjadikan orang orang yang telah dirampoknya menjadi
tawanan dan budak belian.
Saat itu perilaku bangsa Arab amat kejam, sampai melewati batas perikemanusiaan. Anak-anak
perempuannya sendiri mereka bunuh. Ada yang dikubur hidup hidup ke dalam tanah, ada pula
yang ditaruh dalam tong dan diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai
anak perempuan.
Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika seseorang mati, keluarganya mengikat unta diatas
kuburan dan tidak memberikan makan serta minum sampai si unta mati. Mereka beranggapan
unta itu kelak akan menjadi tunggangan si mati.
Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat kejam. Mereka biasa mengikat musuh pada seekor
kuda dan membiarkan kuda tersebut berlari sehingga orang yang diikat itu mati terseret-seret.
Telinga atau hidung musuh yang kalah dijadikan kalung, serta tengkorak nya dijadikan tempat
minum arak.
Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan santun, Mereka biasa berkeliling Ka'bah tanpa
memakai pakaian.
Begitulah kebiasaan Orang Orang Arab saat itu.
Mereka adalah bangsa yang maju perdagangannya, pandai membuat perkakas, membuat obat,
ahli astronomi, serta mahir bersyair. Namun mereka juga mempunyai kebiasaan buruk.
Memakan Bangkai Binatang
Dalam urusan makan dan minum pun tidak ada yang dilarang. Segala macam binatang boleh
dimakan. Binatang yang sudah mati pun disayat dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga
suka meminum darah, binatang, dan makanan darah yang dibekukan.
Muthalib
Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika melewati Yatsrib, (di kemudian hari
disebut Madinah), Hasyim melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang.
"Siapakah wanita itu?" tanya Hasyim kepada orang-orang Yatsrib.
"Dia adalah Salma binti Amr."
"Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda."
Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah.
Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama. Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan
perniagaannya. Namun, itulah kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah
kembali lagi. Ia meninggal dunia di Palestina.
Salma melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syaibah. Sementara itu,
sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik
Hasyim yang bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai penduduk Mekkah. Orang-orang
Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan.
Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang
tumbuh remaja.
"Aku harus menemuinya," pikir Al Muthalib,
"dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk
melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan aku."
Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia tersentak,
"Anak ini benar-benar mirip Hasyim."
"Mari Nak, ikut Paman ke Mekah," peluk Al Muthalib.
"Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan tetap tinggal di sini," jawab Syaibah
Syaibah
Nama Syaibah diberikan karena ada rambut putih (uban) di kepalanya sejak dia kecil. Selain
Syaibah, Hasyim telah memiliki empat putra dan lima putri yang tinggal di Mekkah.
ABDUL MUTHALIB
"Tidak. Aku tidak akan membiarkannya pergi" jawab Salma.
"Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnya lah yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah
ayahnya".
"Aku juga menyayangi Hasyim", jawab Al Muthalib,
"bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga menyayanginya. mereka pasti akan senang
sekali menyambut kedatangan putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku
timbul kepadanya. Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku.
Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah kerajaan ayahnya dan Mekah
adalah tanah suci yang di cintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke
sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?".
Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putra satu-satunya itu
tetap tinggal di sisinya. Namun, ia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di
Mekkah. Akhirnya, ia pun mengangguk, "Baiklah, kuizinkan ia pergi."
Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu pulang. Syaibah duduk
membonceng unta di belakang pamannya.
Ketika mereka tiba di Mekkah, orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al
Muthalib adalah budaknya.
"Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul Muthalib!" panggil mereka kepada Syaibah.
"Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku, Hasyim!"
Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian sehingga akhirnya nama Syaibah pun
terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬.

KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َحمد‬
Bernadzar
Abdul Muthalib bernadzar, "Kalau saja aku mempunyai 10 anak laki-laki, kemudian setelah
semuanya dewasa, aku tidak memperoleh anak lagi seperti ketika sedang menggali Sumur
Zamzam, maka salah seorang diantara 10 anak itu akan kusembelih di Ka'bah sebagai kurban
untuk Tuhan."
Ternyata takdir memang menentukan demikian. Abdul Muthalib akhirnya mendapat 10 orang
anak laki-laki. Setelah semua anak berangkat dewasa, ia tidak memperoleh anak. Dipanggilnya
kesepuluh orang anak itu, termasuk si bungsu Abdullah yang amat disayangi dan dicintainya.
"Aku pernah bernadzar untuk menyembelih salah seorang di antara kalian jika Tuhan
memberiku 10 orang anak laki-laki."
Kesepuluh anaknya terdiam. Mereka memahami persoalan itu. Mereka juga melihat
kebingungan yang luar biasa di mata ayah mereka yang berkaca-kaca.
"Namun, aku tidak bisa menentukan siapa di antara kalian yang harus kusembelih. Oleh karena,
aku berniat memanggil juru qidh untuk menentukannya."
Di hadapan patung dewa tertinggi Ka'bah, juru qidh (Nanak panah) meminta setiap anak menulis
namanya masing-masing di atas qidh. Kemudian, ia mengocok anak panah tersebut di hadapan
berhala Hubal. Nama anak yang keluar adalah Abdullah.

Melihat itu, serentak orang orang Quraisy datang dan melarangnya melakukan perbuatan itu.
"Batalkan keinginanmu, Abdul Muthalib! Mohon ampunlah kepada Hubal supaya kamu bisa
membatalkan nadzarmu!"
Sanggupkah Abdul Muthalib menyembelih anak kesayangannya, apalagi tidak ada orang yang
menyetujui niatnya itu?
Menemukan Zamzam
Malam harinya, dengan tubuh lelah, Abdul Muthalib tertidur. Tiba-tiba, dalam tidur, dia
bermimpi mendengar suara yang bergema berulang-ulang, "Temukan Sumur Zamzam itu, wahai
Abdul Muthalib! Temukan Sumur Zamzam! Temukan!"
Abdul Muthalib terbangun dengan keyakinan dan semangat baru. Esoknya, dia mengajak Harits
menggali dan menggali lebih giat.
Rasa heran orang-orang Quraisy yang melihatnya berubah menjadi tawa.
"Kasihan Abdul Muthalib, mungkin dia sudah kehilangan akal sehatnya!" kata mereka satu sama
lain.
Suatu saat, ketika mereka sedang menggali di antara berhala Isaf dan Na'ila, air membersit.
"Air! Harits! Lihat, ada air!" seru Abdul Muthalib saking kagetnya.
"Ayo kita gali terus, Ayah! Ayo gali terus!"
Ketika mereka menggali lebih dalam, tampaklah pedang-pedang dan pelana emas yang pernah
ditaruh oleh Mudzaz bin Amr dahulu. Melihat penemuan itu, orang-orang Quraisy datang
berbondong-bondong.
"Abdul Muthalib, mari kita berbagi air dan harta emas itu!" pinta mereka.
"Tidak! Tetapi, marilah kita mengadu nasib di antara aku dan kamu sekalian dengan permainan
qidh (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak
panah itu keluar, dia mendapat bagian. Kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."
Usul ini disetujui. Juru qidh mengundinya di tengah-tengah berhala di depan Ka'bah. Ternyata,
anak panah Quraisy tidak ada yang keluar. Pemenangnya adalah Abdul Muthalib dan Ka'bah.
Oleh karena itu, Abdul Muthalib dapat meneruskan tugasnya mengurus air dan keperluan para
tamu Mekah setelah Sumur Zamzam memancar kembali.
Mengingat beratnya tugas itu. Abdul Muthalib sangat ingin agar dia mempunyai banyak anak
laki-laki yang dapat membantunya.
Pedang dan Pelana Emas
Abdul Muthalib memasang pedang-pedang itu di pintu Ka'bah, sedangkan pelana-pelana emas
ditaruh di dalam rumah suci itu sebagai perhiasan.

KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َحمد‬

Kelahiran Muhammad ‫صلى هللا عليه وسلم‬


Pada hari Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama dengan penyerbuan
Abrahah (tahun gajah), Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan
bulan Agustus tahun 570 Masehi. (Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan
pada tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi).

Aminah mengutus seseorang sambil berkata, "Pergilah kepada Abdul Muthalib dan katakan,
'Sesungguhnya telah lahir bayi untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah '."

Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya
bergemuruh dipenuhi rasa sayang.
"Kehadiranmu mengingatkan aku kepada ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai
pengganti Abdullah."

Dengan penuh rasa syukur, orangtua itu menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka'bah.
Kali ini tidak kepada berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur.

"Aku memberimu nama Muhammad," kata Abdul Muthalib.

Muhammad berarti terpuji, sebuah nama yang tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi
cukup dikenal.

Kemudian, ia memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan


masyarakat Quraisy.

"Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?" tanya seseorang kepada Abdul Muthalib.

"Muhammad."

"Mengapa tidak engkau beri nama dengan nama nenek moyang kita?"

"Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di
bumi," jawab Abdul Muthalib.

Cahaya Aminah

Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya
dan dengan sinar tersebut ia melihat istana-istana Busra di Syam.

Saat itu di kalangan bangsawan Arab sudah berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari
wanita-wanita desa yang bisa menyusui anak-anaknya.

Anak-anak disusukan di pedalaman agar terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan
agar dapat belajar bahasa Arab yang murni di daerah pedesaan.

Tidak lama kemudian ke Mekah datanglah serombongan wanita dari kabilah bani Sa'ad mencari
bayi untuk disusui. Di antara mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu'aib.

"Suamiku," Panggil Halimah "tahun ini sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikit pun hasil
panen di kampung halaman kita. Lihat unta tua kita tidak lagi menghasilkan susu sehingga anak-
anak menangis pada malam hari karena lapar."

"Semoga kita mendapat bayi seorang bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak
untuk menanggulangi kesengsaraan ini," jawab sang suami.

Namun harapan mereka tak terkabul, hampir semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh
teman-teman serombongan mereka. Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka
temui.

"Namanya Muhammad" kata Aminah kepada pasangan tersebut "ia anak yatim tinggal aku dan
kakeknya yang merawatnya." Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza saling
berpandangan.
Mereka enggan menerima anak yatim karena tidak ada Ayah yang dapat memberi mereka upah
yang layak. Pasangan tersebut menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi
bayi dalam dekapannya dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk
menyusui Muhammad, selalu menolaknya karena anak yatim.

Tsuwaibah

Sebelum kedatangan para wanita Bani sa'ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan
Abu Lahab.
Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah.

Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya Muhammad selalu memperlakukan


Tsuwaibah dengan baik.
KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َحمد‬

Halimah

Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah
mendapatkan bayi untuk dibawa pulang dan disusui.

Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya,


"Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku
akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya."

"Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui
anak yatim tersebut."

Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke
dusun mereka. Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena
akhirnya ada yang mengasuh Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua
tahun ke depan.

"Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini," bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air
mata.

Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, "Aku tidak merasa repot membawanya,
seakan-akan tidak bertambah beban."

Kemudian, Halimah menyusui Muhammad.

"Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap," kata Halimah kepada suaminya.

Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu
dengan lahap. Setelah itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap.

"Anak kita tidur dengan lelap," bisik Halimah kepada suaminya, "padahal, sebelumnya kita
hampir tidak bisa tidur karena ia rewel terus sepanjang malam."
Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu.

"Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun," gumam
Harits.

Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang.

"Malam ini benar-benar malam yang indah, " kata Halimah kepada Harits, "bayi kita tertidur
lelap dan kita pun bisa beristirahat dengan perut kenyang."

"Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah."

"Demi Allah, aku pun berharap demikian."

Kebanggaan Rasulullah

Lingkungan di Bani Sa'ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan
bangga, "Aku adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang
menyusui di Bani Sa'ad bin Bakr."

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Keberkahan

Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ.


Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa'ad, terjadi hal yang mengherankan.

"Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?" tanya Halimah.

"Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali," Harits menanggapi, "tetapi, kini ia dapat
berjalan cepat seolah tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat."

Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani
Sa'ad lainnya yang telah berjalan lebih dulu.

"Halimah putri Abu Dhu'aibi!" panggil para wanita itu keheranan, "tunggulah kami! Bukankah
ini keledai yang engkau tunggangi saat kita pergi?"

"Demi Allah, begitulah," balas Halimah, "ini memang keledaiku yang dulu."

"Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!"

Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut.

"Sepetak tanah kita!" bisik Halimah tak percaya.

"Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak
tanah pun yang lebih gersang dari ini!"
"Domba-domba juga!" seru Harits, "domba domba kita jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita
dapat memerah dan meminum susu mereka setiap hari."

Begitulah keberkahan yang mereka terima selama mengasuh Muhammad. Namun, dua tahun
pun berlalu, kini tiba saatnya mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َحمد‬

Muhammad Kembali Ke Dusun

Halimah dan suaminya mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Alangkah bahagianya


Aminah bertemu lagi dengan putra tunggalnya itu.

"Lihat! Kini engkau tumbuh menjadi anak yang tegap dan sehat!" ujar Aminah.

Aminah memandang Halimah dan suaminya dengan mata berbinar-binar penuh rasa
terimakasih," Kalian telah merawat Muhammad dengan baik, bagaimana aku harus
berterimakasih?"

Halimah dan suaminya berpandangan dengan gelisah. Sebenarnya mereka merasa berat berpisah
dengan Muhammad. Mereka amat menyayangi anak itu. Selain itu, sejak Muhammad datang,
kehidupan mereka dipenuhi keberkahan.

"Kami cuma berharap andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami
hingga menjadi besar. Sebab, aku khawatir ia terserang penyakit menular yang kudengar kini
sedang mewabah di Mekah," pinta Halimah.

Aminah menyadari bahwa yang mereka pinta dan katakan ada benarnya, tetapi hatinya bimbang
karena hampir tak sanggup berpisah lagi dengan putranya. Ketika, Abdul Muthalib datang.
Bangga sekali ia melihat pertumbuhan cucunya yang begitu bagus di daerah pedalaman, maka ia
berkata:

"Aku ingin Muhammad kembali ke Dusun Bani Sa'ad sampai ia berusia lima tahun," kata Abdul
Muthalib, "agar ia di situ belajar berkata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa
Arab yang murni dengan fasih pula."

Aminah mengerti bahwa ia harus kembali melepas Muhammad demi masa depan putranya
sendiri.

"Beri aku waktu beberapa hari bersama putraku, setelah itu bolehlah kalian membawanya
kembali," kata Aminah.

Akhirnya, Muhammad pun dibawa kembali ke dusun Bani Sa'ad. Namun, di sana ia mengalami
sebuah peristiwa yang sangat mengguncangkan.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Pembelahan Dada
Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah keluarga Halimah kembali ke pedalaman. Saat itu umur
Muhammad belum lagi genap tiga tahun.
Hari itu, Muhammad kecil ikut menggembalakan kambing bersama saudara-saudaranya. Tiba-
tiba salah seorang putra Halimah datang berlari-lari sambil menangis.

"Ada apa?" Tanya Halimah dan suaminya panik.

"Saudaraku yang dari Quraisy itu! Dia diambil oleh seorang laki-laki berbaju putih. Dia
dibaringkan. Perutnya dibelah sambil dibalik-balikkan!"

Halimah dan Harits segera berlari mencari Muhammad. Mereka menemukan anak itu sedang
sendiri. Wajah Muhammad pucat pasi. Halimah dan suaminya memperhatikan wajah
Muhammad baik-baik.

"Apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya mereka.

"Aku didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan lalu perutku dibedah.
Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari."

Tanpa bertanya lagi Halimah segera membawa Muhammad pulang. Hatinya dipenuhi
kecemasan.

"Aku takut Muhammad didatangi dan digoda oleh jin" kata Halimah kepada suaminya.

"Lebih baik kita membawanya kembali ke Mekah," jawab Harits


KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Percakapan dengan Aminah

Karena kejadian itu, Halimah kembali ke Mekah dan menyerahkan Muhammad kepada ibunya.
Aminah menerima kedatangan mereka dengan rasa heran,

"Mengapa engkau mengantarkannya kepadaku, wahai ibu susuan? Padahal sebelumnya engkau
meminta ia tinggal denganmu?"

"Ya," jawab Halimah,

"Allah telah membesarkan Muhammad. Aku sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku.
Aku merasa takut karena ada banyak kejadian terjadi padanya. Jadi, ia aku kembalikan
kepadamu seperti yang engkau inginkan."

"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Aminah, "berkatalah dengan benar kepadaku."

Halimah terdiam sejenak, lalu bercerita dengan rasa berat, "Ada dua orang berbaju putih
membawanya ke puncak bukit. Mereka membelah dan mengeluarkan sesuatu dari dalam
dadanya."
Setelah berkata demikian, Halimah mengangkat wajahnya memandang Aminah, tetapi ia terkejut
melihat wajah Aminah demikian tenang.

"Apakah engkau takut setanlah yang mengganggunya?" tanya Aminah.

Halimah mengangguk,

"Itulah sebenarnya yang membuatku khawatir sehingga cepat-cepat mengembalikannya


kepadamu."

Aminah menarik napas.

"Demi Allah," katanya,

"Setan tidak akan mendapatkan jalan untuk masuk ke dalam jiwa Muhammad. Sesungguhnya,
anakku akan menjadi orang besar di kemudian hari. Ketika aku mengandungnya, aku melihat
sinar keluar dari perutku. Dengan sinar tersebut aku bisa melihat istana-istana Busra di Syam
menjadi terang-benderang.
Demi Allah, aku belum pernah melihat orang mengandung yang lebih ringan dan lebih mudah
seperti yang kurasakan. Ketika aku melahirkannya, ia meletakkan tangannya di tanah dan
kepalanya menghadap ke langit."

Halimah mendengar semua itu dengan takjub. Aminah menyentuh tangan Halimah dan berkata
lembut,

"Biarkan ia bersamamu dan pulanglah dengan tenang."

Muhammad kecil pun kembali dibawa pulang. Namun, lagi-lagi terjadi sebuah peristiwa yang
akhirnya membuat Halimah benar-benar kawatir dan mengembalikan Muhammad kepada
ibunya.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Orang-Orang Habasyah

"Kak, tunggu!" seru Muhammad sambil berlari menuruni bukit. Saat itu, usia Muhammad sudah
5 tahun. Ia sedang berlari mengejar saudara-saudaranya, yaitu anak-anak Halimah. Mereka
sedang menggembala kambing.

"Ayo Muhammad kejar kami kalau bisa!" ujar Syaima, anak perempuan sulung Halimah sambil
tertawa.

Anak-anak itu terus bermain. Diam-diam, ada beberapa orang Nasrani dari Habasyah sedang
memerhatikan mereka.

"Lihat, Kak! Itu Ibu datang!" seru Muhammad.

Anak-anak menoleh. Mereka memekik senang melihat Halimah datang menjemput.


Namun, wajah Halimah tampak khawatir. Ia mencurigai beberapa bayangan yang sedang
mengintai sambil berbisik-bisik di kejauhan. Hatinya makin berdebar ketika orang-orang
Habasyah itu datang mendekat. Tanpa memedulikan dirinya, mereka langsung mendekati
Muhammad.

"Paman mau apa?" tanya Muhammad.

"Berbaliklah, Nak! Kami ingin melihat punggungmu!" perintah salah seorang dari mereka.

Muhammad membalikkan badan, lalu orang-orang Habasyah itu saling pandang dengan wajah
terkejut. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berbalik ke tempat semula dan kembali berunding
berbisik-bisik.

"Kalian bermainlah lagi, Ibu akan mencari tahu apa yang mereka bicarakan!" kata Halimah
kepada Muhammad dan saudara-saudaranya.

Diam-diam, Halimah mendekati tempat orang-orang Habasyah itu berada dan terkejut
mendengar apa yang mereka katakan,

"Kita harus merampas anak ini dan membawanya kepada raja di negeri kita. Kita telah
mengetahui seluk beluk tentang dia! Ada tanda di punggungnya yang meramalkan anak ini kelak
akan menjadi orang besar."

Diam-diam, Halimah menjauh,

"Aku harus melarikan Muhammad dari mereka sekarang juga!"

Tanda-Tanda Rasul Terakhir pada Injil

Orang-orang Nasrani Habasyah itu tahu bahwa seorang Rasul terakhir akan dibangkitkan dan
mereka diperintahkan mengikutinya seperti yang tertera pada Injil di bagian Kitab Ulangan (18):
15-22,
"Bahwa seorang Nabi di antara kamu, dari antara segala saudaramu dan yang seperti aku ini,
yaitu akan dibangkitkan oleh Tuhan Allah-mu bagi kamu, maka dia haruslah kamu dengar."

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Muhammad Menghilang

Halimah cepat-cepat mengajak Muhammad pergi, namun dari kejauhan orang-orang Habasyah
itu terlihat bergegas mengikuti mereka. Untunglah Halimah mengenal daerah itu dengan baik,
sehingga mereka bisa melepaskan diri dari kejaran orang-orang Habasyah walaupun dengan
susah payah.

Tidak berapa lama kemudian, Halimah berkemas menyiapkan Muhammad untuk segera kembali
ke Mekah.
Sedih sekali Muhammad harus berpisah dengan saudara-saudaranya. Syaima, Unaisah, dan
Abdullah.

"Muhammad, jangan lupakan kami ya?" pinta Syaima dengan mata berkaca-kaca.
Muhammad mengangguk sambil memeluk mereka satu persatu. Kemudian, berangkatlah
Muhammad meninggalkan dusun Bani Sa'ad dengan semua kenangan indah yang tidak akan
pernah hilang dari benaknya seumur hidup.

Halimah mengelus kepala Muhammad penuh sayang,


"Bergembiralah, Muhammad. Engkau akan berjumpa dengan ibu dan kakekmu."

Mekah pada malam hari sangat ramai ketika mereka tiba. Saat melalui kerumunan orang itulah,
Muhammad terpisah dan hilang. Halimah kebingungan. Ia takut orang-orang Habasyah itu diam-
diam masih mengikuti mereka dan mengambil kesempatan ini untuk menculik Muhammad.

Sambil menangis, Halimah mendatangi Abdul Muthalib, "Sungguh, pada malam ini, aku datang
dengan Muhammad, namun ketika aku melewati Mekah Atas, ia menghilang dariku. Demi
Allah, aku tidak tahu di mana kini ia berada."

Setelah memerintahkan orang untuk mencari, Abdul Muthalib berdiri di samping Ka'bah, lalu
berdoa kepada Allah agar Dia mengembalikan Muhammad kepadanya.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬
KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Bertemu Kakek dan Ibunda

Tidak lama kemudian, datanglah seseorang bernama Waraqah bin Naufal dan seorang temannya
dari Quraisy. Keduanya menyerahkan Muhammad kepada Abdul Muthalib,

"Ini anakmu, kami menemukannya di Mekah Atas."

Alangkah lega dan gembiranya Abdul Muthalib.

"Cucuku!" katanya sambil mendekap Muhammad.

Abdul Muthalib memperhatikan cucunya dengan wajah berseri-seri, "Apakah kamu mau kakek
ajak menunggangi unta yang hebat?"

"Mau. Tetapi, mana untanya kek?"

Sambil tertawa, orang tua itu mengangkat Muhammad dan mendudukkannya di atas bahu.

"Kau kini telah menduduki untanya, Nak! Ha....ha....ha...."

"Wah, unta hebatnya kok sudah tua ya Kek?"

"Biar tua, tapi ini unta yang hebat, cucuku! Lihat unta ini mampu mengajakmu berthawaf
mengelilingi Ka'bah."

Abdul Muthalib membawa Muhammad berthawaf di Kabah. Setelah itu ia memintakan


perlindungan Tuhan untuk cucunya itu dan mendoakannya.
"Mari kita menemui ibumu sekarang," ajak Abdul Muthalib.

Alangkah senangnya anak dan ibu itu ketika mereka saling bertemu. Walaupun demikian,
tersisip kesedihan di hati Muhammad ketika ia melepas Halimah As Sa'diyah, ibu susu yang
selama ini telah merawatnya dengan limpahan kasih yang demikian besar.

"Selamat tinggal Muhammad. Jadilah orang besar seperti yang pernah dikatakan ibumu," kata
Halimah sambil beranjak pergi.

Sampai dewasa, Muhammad tidak pernah memutuskan tali silaturahim dengan ibu susunya itu.

Gembala Kambing

Mulai dari hidupnya di Bani Sa'ad sampai masa kecilnya di Mekah, hidup Nabi Muhammad
dilalui sebagai seorang gembala.

Waraqah bin Naufal

Waraqah bin Naufal adalah paman Khodijah


(kelak menjadi istri Muhammad).
Waraqah bin Naufal tidak menyukai berhala. Ia tetap mengikuti ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail, menjadi hamba Allah yang setia.
Ia tidak meminum minuman keras dan tidak berjudi. Ia bermurah hati terhadap orang orang
miskin yang membutuhkan pertolongannya.

Di Bawah Asuhan Kakek

Sejak itu, Abdul Muthalib bertindak sebagai pengasuh cucunya. Ia mengasuh Muhammad
dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih sayangnya.

Abdul Muthalib adalah pemimpin seluruh Quraisy dan seluruh Mekah. Untuk dia, diletakkan
hamparan khusus tempatnya duduk di bawah naungan Ka'bah. Anak-anak beliau, paman-paman
Muhammad, tidak ada yang berani duduk di tempat itu. Mereka duduk di sekeliling hamparan
itu sebagai penghormatan kepada ayah mereka.

Suatu saat, Muhammad kecil yang montok itu duduk di atas hamparan tersebut. Serentak paman-
paman beliau langsung memegang dan menahan Muhammad agar tidak duduk di atas hamparan.
Namun, ketika Abdul Muthalib datang dan melihat kejadian tersebut, berkata:

"Biarkan anakku itu," katanya, "Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang
agung."

Kemudian, Abdul Muthalib duduk di atas hamparan tersebut sambil memangku Muhammad.
Dielus-elusnya punggung Muhammad penuh sayang. Abdul Muthalib bergembira dengan apa
yang dilakukan cucunya itu.

Lebih-lebih lagi, kecintaan kakek kepada cucunya itu timbul ketika Aminah kemudian berniat
membawa Muhammad ke Yatsrib untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara ibunya dari
keluarga Najjar.
Perjalanan ini juga bertujuan menengok makam Abdullah, ayah Muhammad. Sudah lama
Aminah memendam keinginan untuk menengok makam suami tercintanya itu. Kini, ia akan
berangkat dengan ditemani putranya seorang.

Aminah Wafat

Dalam perjalanan itu, Aminah membawa Ummu Aiman, budak perempuan peninggalan
Abdullah. Sesampainya di Yatsrib, mereka disambut oleh saudara-saudara Aminah. Kepada
Muhammad diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan.

Itu adalah saat pertama Muhammad benar-benar merasa dirinya sebagai anak yatim. Apalagi ia
mendengar ibunya bercerita panjang lebar tentang sang ayah tercinta yang setelah beberapa
waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia.

(Di kemudian hari, setelah hijrah, pernah juga Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang kisah perjalanan masa kecil beliau ke Yatsrib
yang saat itu telah berubah nama menjadi Madinah.
Beliau amat terkenang dengan perjalanan bersama ibunya itu, kisah perjalanan penuh cinta pada
Madinah, kisah penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.)

Sesudah cukup sebulan tinggal di Madinah, mereka pun bersiap pulang. Mereka berjalan dengan
menggunakan dua ekor unta yang mereka bawa dari Mekah.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, di sebuah tempat bernama Abwa, Aminah menderita sakit
hingga kemudian meninggal di tempat itu.

"Ibu! Ibu!" panggil Muhammad kepada ibunya yang sudah wafat.

Dalam pelukan Ummu Aiman, dengan air mata meleleh, Muhammad menyaksikan tubuh ibunya
dikuburkan di tempat itu.

Pada usia enam tahun. Muhammad SAW telah menjadi seorang anak yatim piatu.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Abwa

Abwa adalah sebuah dusun yang terletak di antara Madinah dengan Juhfa. Jaraknya 37 km dari
Madinah
KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Abdul Muthalib Wafat

Muhammad dibawa pulang oleh Ummu Aiman. Ia pulang sambil menangis hatinya pilu karena
kini sebatang kara. Muhammad makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang
anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.

Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan
ayahandanya semasa ia dalam kandungan.
Kini, ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana
ayahnya dulu. Muhammad yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai
seorang yatim-piatu.

Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang
dalam. Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad.

Rasa duka Muhammad mungkin agak ringan apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup
lebih lama lagi. Namun, Allah ‫سبحانه و تعال‬
sudah menentukan lain.
Pada usia 80 tahun, sang kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad berusia delapan
tahun. Ia mengiringi jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinangan air mata.

Kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu membekas begitu dalam pada diri Rasulullah,
sehingga di dalam Al Quran pun disebutkan ketika Allah mengingatkan Rasulullah ‫ ﷺ‬akan
nikmat yang dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu,

َ ‫َألَ ْم يَ ِج ْد‬
‫ك يَتِي ًما فَآ َو ٰى‬

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?


Surah Ad-Duha (93:6)

‫ضااًّل فَهَد َٰى‬


َ ‫ك‬
َ ‫َو َو َج َد‬

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Surah Ad-Duha (93:7)

Keluarga Umayyah

Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada
anak-anak Abdul Muthalib yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam,
terhormat, dan berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya.

Kemudian keluarga Umayyah tampil ke depan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak
dulu mereka idam-idamkan, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Diasuh Abu Thalib

Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad.
Ia tidak menunjuk Abbas yang kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya
yang tertua karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin,
Abu Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.

Abu Thalib juga amat menyayangi kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur,
cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih
mendahulukan kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Begitu pun sebaliknya, Muhammad amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki
banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah
berhutang kepada orang lain. Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk
menafkahi keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak
Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan
kambing, dan mencari rumput.

Abu Thalib merasa bahwa Muhammad kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan
dijauhkan dari dosa. Ia yakin, jika mengajak Muhammad berdoa, Tuhan akan mengabulkan
permohonannya. Seperti yang dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru "Wahai Abu
Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan".

Maka, Abu Thalib keluar bersama Muhammad. Ia menempelkan punggung Muhammad ke


dinding Ka'bah dan berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu
menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan di ladang menjadi
gembur.
KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Mengikuti Paman

Hati Muhammad kecil merasa pengap dengan kehidupan di Mekah. Setiap hari, dilihatnya anak-
anak fakir miskin seusianya bekerja bersama-sama dengan bertelanjang tanpa rasa malu.

Muhammad juga melihat setiap malam pintu rumah orang-orang kaya tertutup rapat. Di dalam,
mereka berpesta pora, menyaksikan para penari, dan bermabuk-mabukan sampai pagi sambil
dijaga oleh para budak. Padahal, di tempat lain, ia melihat orang-orang berjuang mencari rezeki
antara hidup dan mati.

Muhammad sering sekali melintas di depan gubuk-gubuk reyot dan rumah-rumah kumuh. Pintu-
pintu mereka juga tertutup rapat, tetapi di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita.
Orang-orang itu jika tidak memiki bahan makanan, besok atau lusa terpaksa menggadaikan anak
gadis, istri atau ibunya untuk dikumpulkan menjadi budak para saudagar demi melepaskan diri
dari lilitan hutang.

Di depan gubuk-gubuk itu, Muhammad melihat para pemuda berkumpul. Pikiran mereka
dipenuhi impian tentang datangnya mukjizat yang akan mampu membebaskan Mekah dari
kebiadaban. Para pemuda itu berkumpul mengelilingi seorang laki-laki yang bercerita tentang
legenda-legenda indah orang-orang terdahulu yang berjuang melawan raja yang sewenang-
wenang.

Suatu saat, pada usia Muhammad 12 tahun, Abu Thalib berniat pergi berdagang ke Syam untuk
mencari nafkah.

"Ajaklah aku, Paman!" pinta Muhammad

"Tetapi, perjalanan padang pasir begitu sulit dan jauh! Aku tidak tega mengajak anak sekecilmu
menempuh kesulitan sedemikian berat!".
Saat itu, hanya Abu Thalib tempat Muhammad berlindung. Ia merasa amat kesepian jika harus
menghadapi kehidupan Mekah seorang diri, tanpa ada paman di sampingnya.

"Kepada siapakah Paman akan meninggalkan aku seorang diri apabila Paman pergi nanti?" tanya
Muhammad begitu mengiba.

Abu Thalib sangat terharu,


"Demi Allah, aku pasti membawanya pergi. Ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak
boleh berpisah dengannya selama-lamanya."

Lihb Si Peramal

Orang-orang Quraisy sering mendatangi Lihb dengan membawa anak-anaknya untuk diramal.

Suatu hari, Lihb melihat Muhammad.

"Kemarilah, hai anak muda!" serunya. Namun, Abu Thalib segera menyembunyikan
Muhammad dan membawanya pergi hingga Lihb berteriak-teriak,

"Celakalah kalian, bawa ke sini anak muda yang aku lihat tadi! Demi Allah, anak ini akan
menjadi orang besar di kemudian hari!"

َ ‫اَللَّهُ َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل ُم َح َّمد‬

Jamuan Buhaira

Berangkatlah rombongan kafilah Quraisy menuju ke Syam 1). Ketika tiba di Busra, mereka
melewati rumah ibadah seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Ia adalah pendeta yang
pandai. Di rumah ibadahnya, selalu ada pendeta dan umat Nasrani yang menuntut ilmu kepada
Buhaira.

Biasanya, Buhaira tidak pernah menggubris rombongan Quraisy yang setiap tahun melintas di
tempat itu. Namun, kali ini ada yang berubah pada diri Buhaira. Ketika rombongan Quraisy,
termasuk Abu Thalib dan Muhammad, singgah di dekat rumah ibadahnya, Buhaira
memerintahkan para pembantunya untuk membuat masakan yang banyak.

Buhaira berbuat begitu karena dari jendela rumah ibadahnya, ia melihat hal yang aneh pada
rombongan Quraisy. Ada awan kecil yang bergerak pelan mengikuti ke mana pun kafilah pergi.
Ada sesuatu atau seorang di dalam kafilah yang dilindungi awan itu dari terik matahari.

Buhaira bergegas mendatangi kafilah yang tengah beristirahat di bawah pepohonan rindang dan
berkata

"Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku telah membuat makanan untuk kalian. Aku ingin kalian
semua, anak kecil, orang dewasa, budak, dan orang merdeka, singgah di rumahku"

Salah seorang Quraisy bertanya,

"Demi Allah, hai Buhaira, alangkah istimewanya apa yang engkau perbuat kepada kami hari ini.
Padahal, kami sering melewati tempat mu ini. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
"Engkau benar," jawab Buhaira,

"dulu aku memang seperti yang engkau katakan. Namun, kalian, semuanya, adalah tamuku kali
ini dan aku ingin menjamu kalian. Aku telah membuat makanan dan kalian semuanya harus ikut
makan."

Dengan senang hati, rombongan Quraisy pun masuk ke rumah Buhaira untuk memenuhi
undangannya. Hanya saja, Muhammad tidak ikut karena ia masih kecil. Ia ditugaskan menjaga
perbekalan kafilah.
______
1) Negeri Syam

Abu Thalib berangkat tahun 582 Masehi ke negeri Syam.


Syam saat itu adalah sebuah negeri yang wilayahnya (sekarang) meliputi Syria, Yordania, dan
Palestina.
Syam berada di bawah pemerintahan Romawi Timur

Anda mungkin juga menyukai