Anda di halaman 1dari 4

ENVIRONMENTAL SENSITIVITY DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PERILAKU PELESTARIAN KEARIFAN LOKALPADA


ANAK USIA DINI MASYARAKAT SUKU SASAK
Oleh

Nama Roni Andonia Simanjuntak

Nim: 2110114310011

Kelas : A1

ABSTRAK
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa environmental sensitivity pada
peserta didik dan orang dewasa berperan dalam pembentukan perilaku bijak
terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antaraenvironmental sensitivity dengan perilaku pelestarian kearifan
lokal pada anak usia dini yang diajarkan di keluarga masyarakat suku sasak Desa
Sasak Ende Lombok Nusa Tenggara Barat.
Keywords: environmetantal sensitivity, kearifan lokal, suku sasak, anak usia dini

PENDAHULUAN
Di beberapa komunitas di daerah tertentu, budaya dan tradisi tetap dijaga dan
dipertahankan meskipun ada pengaruh dari perubahan zaman. Kebiasaan ini yang
mewarisi nilai-nilai dan peraturan dari generasi ke generasi disebut sebagai kearifan
lokal (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011). Kearifan lokal memiliki potensi
untuk mendorong keberlanjutan dalam kehidupan karena mengandung nilai-nilai yang
mendorong pelestarian dan pengelolaan alam dan lingkungan dengan bijaksana
(Andi, M, 2010). Perilaku, dalam konteks ini, mencakup semua tindakan yang
dilakukan, baik secara lisan maupun non-verbal, yang dapat diamati oleh orang lain
(Santrock, 2009). Pelestarian kearifan lokal dapat dilihat sebagai perilaku bijak
terhadap lingkungan karena melibatkan perlakuan yang bijak terhadap alam sesuai
dengan norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Kearifan lokal (local
wisdom) terdiri dari dua kata, yaitu "kearifan" (wisdom) dan "lokal" (local). Kata "lokal"
mengacu pada tempat atau wilayah tertentu, sedangkan "wisdom" mengacu pada
kebijaksanaan.
PEMBAHASAN
Masyarakat Suku Sasak di Desa Sasak Ende, Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat, menunjukkan tingkat kesadaran lingkungan yang tinggi, yang mendorong
mereka untuk dengan konsisten menjaga kearifan lokal. Ini tercermin dalam aturan
dan kegiatan sehari-hari mereka. Mereka hidup dalam harmoni keluarga dan terus
memberikan pendidikan kepada anak-anak dan generasi penerus mereka, yang pada
akhirnya membentuk karakter anak-anak.
Indikator pertama yang menggambarkan sensitivitas lingkungan masyarakat dalam
instrumen penelitian ini adalah kemampuan mereka untuk menjelaskan
perkembangan yang dapat berubah seiring waktu sebagai tanggapan terhadap
pengalaman masa lalu. Meskipun mereka mengalami perubahan yang terjadi dengan
perkembangan zaman, mereka tetap mematuhi aturan adat sebagai respons terhadap
perubahan seperti pemerintah daerah setempat menjadikan desa mereka sebagai
destinasi wisata. Meskipun ada pengaruh modernisasi dari wisatawan domestik dan
mancanegara yang berkunjung, anak-anak mereka tetap diajarkan untuk memegang
erat norma dan budaya mereka. Penelitian sebelumnya (Palmeretal., 1998)
mengatakan bahwa sensitivitas lingkungan pada orang dewasa dapat membuat
mereka menjadi contoh bagi orang lain. Pendidikan ini disampaikan oleh orang tua di
setiap keluarga dan juga ada pengajian dan ceramah yang diberikan kepada
masyarakat dan anak-anak setiap hari Jumat oleh tetua adat setempat.

Indikator kedua adalah reaktivitas, yaitu cara mereka merespons pengalaman saat ini.
Sebagian besar masyarakat Suku Sasak di Desa Sasak Ende, Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat, menyadari bahwa semakin banyak wisatawan yang mengunjungi
desa mereka, terutama karena desa ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di
Indonesia. Tanggapan mereka terlihat dari jawaban dalam kuisioner dan umumnya
menunjukkan bahwa mereka tidak keberatan dengan kunjungan tersebut, tetapi
mereka tetap teguh dalam mempertahankan adat dan kondisi lingkungan di tempat
tinggal mereka. Anak-anak Suku Sasak juga menyambut baik kedatangan turis lokal
maupun internasional.

Berkaitan dengan pendidikan kearifan lokal pada anak-anak usia dini, Setiowati
(2012:740) menyatakan bahwa kearifan lokal yang tercermin dalam perilaku budaya
perlu ditanamkan melalui pengenalan budaya setempat, yang mencakup nilai-nilai
seperti sopan santun, kebersamaan, gotong royong, saling tolong-menolong, dan
tenggang rasa. Hal ini sesuai dengan praktik yang telah dilakukan oleh orang tua di
masyarakat Suku Sasak, di mana mereka berupaya melestarikan kearifan lokal dan
mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Penduduk di daerah selatan Lombok
biasanya tinggal di dataran tinggi atau perbukitan yang tidak subur, dan hal ini
dijelaskan kepada anak-anak mereka. Anak-anak dalam keluarga Suku Sasak dapat
menjawab dan menjelaskan dengan baik saat ditanya mengenai hal ini. Mereka juga
tidak memanfaatkan lahan produktif untuk pembangunan fisik karena sadar bahwa
tanah yang subur harus dijaga untuk keberlanjutan mata pencaharian mereka.

Selanjutnya, kotoran sapi digunakan sebagai bahan untuk lantai rumah dan tangga
(Undak-undakan), yang memiliki manfaat sebagai penghangat di malam hari dan
pengusir lalat atau nyamuk. Penggunaan obat pembasmi nyamuk yang merusak
lingkungan seperti yang dibakar atau yang mengandung gas CFC dikurangi. Atap
rumah tradisional Suku Sasak menggunakan daun ilalang, tiang bambu, dan dinding
anyaman bambu, yang merupakan tindakan yang memanfaatkan bahan-bahan alam
tanpa merusak lingkungan. Mereka juga memilih lokasi untuk membangun rumah
secara selektif, menghindari bekas perapian, tempat sampah, dan bekas sumur,
karena mereka menyadari nilai ekologis dari tempat-tempat ini.

Pagar pembatas kampung mereka ditanami dengan pohon-pohon seperti turi, kelor,
jeruk limau, sirih, dan tanaman "apotek hidup" lainnya yang digunakan sebagai bahan
obat-obatan tradisional. Masyarakat Suku Sasak tidak akan membangun rumah yang
berlawanan arah atau berukuran berbeda dengan rumah yang sudah ada
sebelumnya. Mereka menganggap melanggar konsep tersebut sebagai tindakan yang
melawan tabu (maliq lenget). Secara konsep ekologi, hal ini menguntungkan karena
mengurangi penggunaan lahan yang luas untuk pembangunan gedung.

Setiap Jumat, masyarakat Desa Sasak Ende melaksanakan "Jumat Bersih" di mana
mereka membersihkan bersama daerah tempat tinggal mereka. Anak-anak Suku
Sasak diwajibkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini agar terbiasa menjalankan tradisi
setempat. Pada malam hari, ada kegiatan pengajian untuk anak-anak serta
penyuluhan mengenai adat istiadat bagi anak-anak dan masyarakat setempat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan statistik yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara sensitivitas lingkungan dan perilaku
pelestarian kearifan lokal pada anak-anak usia dini di masyarakat Suku Sasak Desa
Sasak Ende, Sekong, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penerapan kearifan lokal dalam
lingkup keluarga mencerminkan bahwa masyarakat Suku Sasak Desa Sasak Ende di
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, salah satunya mengamalkan nilai-nilai
pelestarian lingkungan. Budaya ini telah diajarkan kepada anak-anak secara turun-
temurun, mendorong mereka untuk menjaga warisan budaya dengan tidak
mengeksploitasi alam dan lingkungan secara berlebihan. Dari rangkaian budaya dan
kearifan lokal yang diteruskan secara lisan, contoh nyata, dan berkelanjutan di
kalangan masyarakat Suku Sasak, terbentuklah perilaku pelestarian kearifan lokal
pada anak-anak usia dini dalam keluarga Suku Sasak.

Daftar Pustaka
Andi, M. Suku Sasak Lombok. [online]. https://wisatanusatenggara.word
press.com/wisata-nusa-tenggara- barat/dusun-sade/ [diakses pada 28 April
2017], 2010.

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi.


Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan
dan Pariwisata Kementrian Kebudayaandan Parisiwata Republik Indonesia,
2011.

Palmer, .A. et al. An Overview Of Significant Influences And Formative Experiences


On TheDevelopment Of Adults' Environmental Awareness In Nine Countries,
Environmental EducationResearch. Vol. 4 No. 4, 1998.
Setiowati, Titik. Menumbuhkan Kearifan Lokal pada Anak Usia Dini melalui
Pendidikan Nilai. Jurnal Temu Ilmiah Nasional Guru (TING) IV, 2012.

Anda mungkin juga menyukai