Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)

Nama :
1. Ns. I Putu Febi Semara Jaya, S. Kep.
2. Ns. Ni Made Dwiyanti, S. Kep.
Asal Institusi : Bali International Hospital

IKATAN NERS KARDIOVASKULER INDONESIA (INKAVIN)


JAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) merupakan penyakit jantung yang
dapat mengancam jiwa apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera
karena dapat menyebabkan nekrosis miokardium yang dapat menyebabkan
jantung kehilangan fungsinya. STEMI mempunyai gejala nyeri dada kiri khas
yang berkaitan erat dengan hasil EKG yaitu adanya elevasi segmen ST yang
persisten. Data menunjukkan bahwa mortalitas akibat STEMI sering terjadi
dalam 24-48 jam pasca onset dan 30 hari setelah serangan adalah 30%
(Brunner & Suddarth, 2013). Berdasarkan data WHO 2015, 45% kematian
disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah yaitu 17,7 juta dari
39,5 juta kematian (Riskesdas, 2019). Sedangkan, menurut Jakarta Acute
Syndrome (JAC) Registry pada tahun 2015 jumlah pasien STEMI di
Jakarta mencapai 1.024 orang (Dharma et al., 2016). STEMI merupakan
penyakit kardiovaskuler penyebab kecacatan dan kematian terbesar seluruh
dunia. STEMI menyebabkan kematian 6%-14% dari jumlah total kematian
pasien yang disebabkan oleh SKA (Danchin et al., 2016).
STEMI terjadi karena adanya sumbatan yang disebabkan plak
aterisklerosis secara mendadak pada satu atau lebih arteri koroner dan
menghambat aliran darah ke otot jantung (Rathore et al.,2018). Pada kondisi
awal akan terjadi iskemia miokardium, namun bila tidak dilakukan tindakan
reperfusi segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang bersifat
irreversible. Komplikasi yang biasa terjadi pada penderita STEMI yaitu
adanya remodeling ventrikel yang pada akhirnya akan mengakibatkan shock
kardiogenik, gagal jantung kongestif, serta disritmia ventrikel yang bersifat
lethal aritmia (Carrick et al., 2016).
Diagnosis awal yang cepat dan penanganan yang tepat dapat mencegah
kerusakan miokardial yang besar serta mengurangi komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien sehingga menurunkan risiko kematian. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya, baik secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan primer
(PERKI, 2018). Hasil penelitian Ermiati, Rampengan, & Joseph (2017)
menjelaskan bahwa angka keberhasilan terapi reperfusi relatif tinggi dan
sukses yaitu mencapai 100% untuk terapi intervensi koroner perkutan primer
dan fibrinolitik yang diberikan tepat waktu yaitu kurang dari 30 menit untuk
fibrinolitik dan kurang dari 90 menit untuk intervensi koroner perkutan
primer. Terapi awal seperti suplementasi O2, aspirin, clopidogrel, nitrat dan
morfin untuk mengurangi nyeri dapat diberikan kepada pasien STEMI jika
tidak ada kontraindikasi (Fitriadi & Putra, 2018).
Berdasarkan uraian di atas, kelompok tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan STEMI yang akan melaksanakan terapi
reperfusi baik fibrinolitik maupun tindakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) di Jakarta Heart Center (Rumah Sakit Jantung Jakarta).
Diharapkan asuhan keperawatan ini dapat menjadi acuan serta referensi bagi
rekan sejawat perawat maupun mahasiswa keperawatan dalam penyusunan
asuhan keperawatan pada pasien dengan STEMI yang akan melaksanakan
terapi reperfusi baik fibrinolitik maupun tindakan PCI.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas kelompok ingin membuat asuhan
keperawatan pada pasien dengan STEMI yang akan melaksanakan terapi
reperfusi baik fibrinolitik maupun tindakan PCI di Jakarta Heart Center
(Rumah Sakit Jantung Jakarta).

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
STEMI yang akan melaksanakan terapi reperfusi baik fibrinolitik
maupun tindakan PCI secara komprehensif.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengetahui konsep medis pasien dengan STEMI.
1.3.2.2 Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan
STEMI
1.3.2.3 Menganalisa asuhan keperawatan kasus kelolaan dengan
diagnosa medis STEMI yang akan melaksanakan terapi
reperfusi baik fibrinolitik maupun tindakan PCI.

1.4 Manfaat Penulisan


Asuhan keperawatan yang disusun oleh kelompok mempunyai beberapa
manfaat, antara lain:
1.4.1 Manfaat teoritis
Asuhan keperawatan ini dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang keperawatan kardiovaskuler.
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1 Bagi perawat
Asuhan keperawatan ini akan bermanfaat bagi perawat
utamanya sebagai tambahan ilmu keperawatan kardiovaskuler
baik dalam proses pengkajian, penegakan diagnosis,
perencanaan, implementasi maupun evaluasi keperawatan.
1.4.2.2 Bagi tempat praktik
Sebagai acuan dalam memberikan pelayanan yang optimal
khususnya di bidang keperawatan kardiovaskuler.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI)


2.1.1 Pengertian
STEMI merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang
terjadi karena adanya ruptur plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi
total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemia
miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent dan
adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG serta meningkatnya
biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin (Wahyunadi, Sargowo,
& Suharsono, 2017).
STEMI atau infark miokard terjadi ketika terdapat sumbatan yang
disebabkan plak aterisklerosis secara mendadak pada satu atau lebih arteri
koroner dan menghambat aliran darah ke otot jantung (Rathore et al.,2018).
2.1.2 Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah
terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Terdapat beberapa
faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infark miokard pada
individu. Faktor-faktor risiko ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu faktor
risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah, yakni:
1. Faktor yang tidak dapat diubah
a. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses
yang progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai
lesi mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan
organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada
usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria
meningkat lima kali lipat.
b. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause
kecuali jika terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat.
Setelah menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari hormon
estrogen.
c. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung
koroner (saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum
usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
2. Faktor risiko yang dapat diubah:
a. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan
kejadian penyakit arteri koroner memiliki hubungan yang erat.
Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang
larut dengan air yang memungkinkannya dapat diangkut dalam
sistem peredaran darah. Tiga komponen metabolisme lemak,
kolesterol total, lipoprotein densitas renah (low density lipoprotein)
dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein).
Peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) dihubungkan
dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses
arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol High Density
Lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung
terhadap penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke
hati, mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi.
b. Hipertensi
Hipertensi juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan
penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat
meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri
saat memompa darah. Tekanan darah yang tinggi terus menerus
dapat mengakibatkan suplai kebutuhan oksigen di jantung
meningkat.
c. Merokok
Merokok dapat membuat penyakit koroner semakin
memburuk di akibatkan karena karbondioksida yang terkandung
dalam asap rokok akan lebih mudah mengikat hemoglobin daripada
oksigen, sehingga oksigen yang dikirim ke jantung menjadi
berkurang. Nikotin pada tembakau dapat memicu pelepasan
katekolamin yang mengakibatkan konstriksi pada arteri dan
membuat aliran darah serta oksigen ke jaringan menjadi terganggu.
Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat
mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
d. Diabetes mellitus
Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih
berisiko menderita infark miokard dari pada yang tidak menderita
diabetes. Penderita diabetes mellitus mempunyai prevalensi yang
lebih tinggi mengalami aterosklerosis, karena hiperglikemia dapat
mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat
membentuk thrombus.
e. Stres psikologik
Stres dapat mengakibatkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan (Smeltzer,
Bare, Hankle, & Cheever, 2013).
2.1.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang ada
sebelumnya (Ashar, 2017). STEMI sering ditemui pada orang yang memiliki
satu atau lebih faktor risiko seperti merokok, obesitas, hipertensi,
konsumsi alkohol, penyakit diabetes dan lain-lain. Faktor tersebut disertai
dengan proses kimiawi terbentuknya lipoprotein di tunika intima (lapisan
pembuluh darah bagian dalam) yang bisa memicu interaksi fibrin dan
platelet sehingga menimbulkan cedera endotel pembuluh darah koroner.
Interaksi ini membuat invasi dan akumulasi lipid yang akan membangun
plak fibrosa. Penumpukan plak akan mengakibatkan lesi komplikata yang
dapat menimbulkan tekanan pada pembuluh darah dan apabila ruptur
dapat terjadi trombus. Trombus bisa menyumbat pembuluh darah dan
mengakibatkan aliran darah berkurang sehingga suplai oksigen yang
dibawa oleh darah ke jaringan miokardium berkurang yang berdampak pada
penumpukan asam laktat. Asam laktat meningkat menyebabkan nyeri dan
perubahan pH endokardium yang menyebabkan perubahan elektrofisiologi
endokardium. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan sistem konduksi
jantung sehingga jantung mengalami disritmia. Iskemik yang terjadi selama
lebih dari 30 menit menyebabkan kerusakan otot jantung yang ireversibel
dan
kematian otot jantung yang disebut infark (Aspiani, 2015 dalam Sutrisno,
2017). Infark Miokard Akut terjadi ketika kekurangan oksigen yang
terjadi cukup lama yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga mengakibatkan
kerusakan seluler yang ireversibel. Bagian jantung yang terkena infark
akan berhenti berkontraksi selamanya (nekrosis). Pada penyakit
ini terdapat materi lemak (plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa
tahun di dalam lumen arteri koronari (arteri yang mensuplai darah dan
oksigen pada jantung). Plaque dapat pecah sehingga terbentuknya bekuan
darah pada permukaan plaque. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka
bisa menghambat aliran darah baik total maupun sebagian pada arteri
koroner. Hal ini menyebabkan kegagalan jantung dalam memompa darah
(dekompenasi kordis). Ketika darah tidak lagi dipompa, suplai darah ke
oksigen sistemik menjadi tidak adekuat sehinggamenimbulkan gejala
kelelahan. Selain itu dapat terjadi akumulasi cairan di paru (edema paru)
dengan manifestasi sesak napas (Kasron, 2012 dalam Sutrisno, 2017).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khas dari infark miokard akut adalah nyeri
dada yang dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu, leher, rahang
bahkan ke punggung dan epigastrium (ulu hati). Nyeri yang dirasakan
seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau ditindih barang berat.
Nyeri berlangsung lebih lama dari angina pektoris dan tak responsif
terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang, terutama pada pasien diabetes dan
orangtua, tidak ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai perasaan
mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin, berdebar debar atau sinkope.
Pasien sering tampak ketakutan (Anwar, 2018).
Takikardia, kulit yang pucat, dingin, dan hipotensi ditemukan pada
kasus yang relatif lebih berat, kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang
tampak atau berada di dinding dada pada infark
inferior (Kasron, 2012 dalam (Sutrisno, 2017). Tanda dan gejala infark
miokard akut adalah :
a) Gejala pada epigastrium, misalnya rasa mual, kembung, dan muntah.
b) Adanya gejala awal, misalnya letih, rasa tidak enak pada dada atau
malaise.
c) Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak
mereda, biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian
atas, ini merupakan gejala utama.]
d) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar
ke arah rahang, leher, bahu dan terus ke bawah menuju lengan
(biasanya lengan kiri).
e) Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau
gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan
tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
f) Nyeri sering disertai dengan sesak napas, pucat, dingin, diaforesis
berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual, muntah.
g) Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang
hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (menumpulkan pengalaman nyeri) (Berliani, 2019).
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis infark
miokard akut antara lain:
a. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG atau gambaran aktivitas listrik jantung adalah salah
satu alat yang digunakan untuk diagnosis kelainan kelistrikan
jantung yang menggunakan sandapan ekstremitas dan prekordial yang
digunakan untuk mendiagnosis kelainan kelistrikan jantung yang
mengarah langsung pada kelainan struktural dan fungsional jantung.
Adanya gelombang T tinggi dan simetris merupakan fase awal
perubahan EKG. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan
selanjutnya yang terjadi kemudian adalah adanya gelombang Q/QS
yang menandakan adanya kematian jaringan (Zahrotul, 2018).
b. Pemeriksaan Biomarka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan
biomarka nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk
diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis
jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CKMB.
Peningkatan biomarka jantung hanya menunjukkan adanya
nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner atau nonkoroner)
(PERKI, 2018).
c. Pemeriksaan Non-invasif (Ekokardiografi)
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat bisa
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara menyeluruh dan
berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau
akinesia segmental dinding ventrikel kiri bisa kelihatan saat iskemia
dan menjadi normal saat iskemia menghilang (PERKI, 2018).
d. Pemeriksaan Invasif (Angiografi koroner)
Angiografi koroner menginformasikan mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan penyakit, sehingga disarankan segera dilakukan
bertujuan untuk diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan
diagnosis banding yang tidak jelas (PERKI, 2018).
e. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat selain
biomarka jantung adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel
lipid (PERKI, 2018). Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui
enzim yang didalam jantung berupa sebagai berikut:
1. CPK-MB/CPK (Creatine Phosphokinase), Isoenzim yang
ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak
dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
2. LDH/HBDH (Laktat Dehidrogenase), Meningkat dalam 12-24
jam dan memakan waktu lama untuk kembali normal.
3. AST/SGOT (Serum Glutamic Oxsalotransamine Test), Meningkat
(kurang nyata atau khusus) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak
dalam 24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari (Sutrisno, 2017).
f. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta (PERKI, 2018).
2.1.6 Penatalaksanaan Medik
Tujuan dari terapi STEMI adalah memulihkan kembali aliran darah
miokardium, untuk menyelamatkan jantung dan menurunkan mortalitas
serta menjaga fungsi ventrikel (Fox et al., 2013). Dan strategi dari
manajemen terapi dari STEMI adalah pemulihan cepat dari potensi oklusi
total pada arteri koroner, memperpendek waktu iskemik, dan mengurangi
ukuran infark (Ibanez et al., 2018; Kasper et al., 2016).
1. Tatalaksana Awal
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien
dengan diagnosis kerja kemungkinan sindroma coroner
akut (SKA) atau definitif SKA atas dasar keluhan angina di
ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan/atau marka jantung (sebelum diagnosis
STEMI/NSTEMI ditegakkan) yang dimaksud adalah morfin,
oksigen, nitrat, aspirin, clopidogrel/ticagrelor (disingkat
MONACO/MONATICA), yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan.
1) Tirah baring.
2) Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka
dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami
distres respirasi.
3) Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien
SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan
saturasi O2 arteri.
4) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua
pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap
aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate), dapat
dipilih satu di antara pilihan berikut:
a. Ticagrelor: Dosis awal 180 mg per oral dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali
pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.
b. Clopidogrel: Dosis awal 300 mg per oral dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
6) Nitrat tablet/spray sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat
(Kelas I-C). Jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,
dapat diulang
setiap lima menit sampai maksimal tiga kali pemberian.
Nitrat
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif
dengan terapi
tiga dosis nitrat sublingual (kelas I-C). Nitrat tidak boleh
diberikan
pada pasien hipotensi (tekanan darah sistolik<90
mmHg), laju
jantung <50x/menit, atau infark ventrikel kanan dan
pasien yang
mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam.
7) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-
30 menit,
bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis Nitrat
sublingual.
2. Tatalaksana Lanjut STEMI
Karakteristik utama SKA segmen ST elevasi adalah
angina tipikal
dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang
diagnostik untuk
STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami
peningkatan
marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard
dengan
elevasi segmen ST (STEMI). Oleh karena itu pasien dengan
EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum
hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Terdapat dua modalitas untuk terapi reperfusi pada
STEMI, yakni
secara invasif primary percutaneous coronary intervention
(primary PCI) dan Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) atau
coronary artery bypass graft (CABG), serta farmakologis
(terapi fibrinolitik). Terapi reperfusi segera diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12
jam dengan elevasi segmen ST yang menetap LBBB, RBBB
yang (terduga) baru. Dalam menentukan terapi reperfusi,
tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah
sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu
tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit
atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau
lebih dari
2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan,
jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas PCI.
1) Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Percutaneous Coronary Intervention terdiri dari tiga kata yakni
Percutaneous yang artinya kulit, Coronary pada arteri koroner, dan
Intervention adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka
pengobatan pada kelainan/ penyakit jantung koroner. PCI adalah
intervensi atau tindakan non bedah untuk
membuka/dilatasi/melebarkan arteri koroner yang mengalami
penyempitan agar aliran darah dapat kembali menuju otot jantung
(Davis, 2011). PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan
menggunakan kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh
darah koroner yang menyempit dengan balon atau stent
(Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017).
a. Jenis Percutaneous Coronary Intervention
Pembagian PCI berdasarkan onset adalah sebagai berikut:
a) Primary Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan
yang dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan Onset
gejala kurang dari 12 jam, Keterlambatan door to needle atau
door to balloon tiap 30 menit akan meningkatkan risiko
relatif 1 tahun sebanyak 7.5%. Sehingga segala usaha harus
dilakukan untuk mempercepat reperfusi.
b) Early Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan
yang dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan onset
gejala lebih dari 12 jam.
c) Rescue Percutaneous Coronary Intervention adalah tidakan
yang dilakukan pada Akut Coroner Infark dengan onset
gejala kurang dari 12 jam setelah mengalami kegagalan terapi
fibrinolitik.
d) Percutaneous Coronary Intervention Elektif, strategi ini
dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko
tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi
kriteria berikut ini:
 Nyeri dada tidak berulang.
 Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung.
 Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan
pada jam ke-6 hingga 9).
 Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara
jam ke-6 hingga 9).
 Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible
ischemia).
b. Indikasi Percutaneous Coronary Intervention
1) Acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah
sindrom koroner akut dengan deviasi ST segmen elevasi > 1
mm di ekstrimitas dan > 2 mm di precordial, lead yang
bersebelahan serta peningkatan CKMB lebih dari 25µ/l ,
Troponin T positif > 0,03.
2) Non–ST-elevation acute coronary syndrome (NSTE-ACS)
adalah sindrom koroner akut dengan deviasi ST segmen
depresi > 0,5mm, dapat disertai dengan gelombang T inverse
dan peningkatan CKMB > 25 µ/l, Troponin T positif > 0,03.
3) Unstable angina adalah sindrom koroner akut dengan deviasi
ST segmen depresi > 0,5mm, dapat disertai dengan
gelombang T inversi dan enzim jantung (bio-marker) normal.
4) Stable angina.
5) Anginal equivalent (eg, dyspnea, arrhythmia, or dizziness or
syncope).
6) High risk stress test findings.
c. Kontraindikasi
1) CHF yang tidak terkontrol, BP tinggi, aritmia.
2) Gangguan elekrolit.
3) Infeksi (demam).
4) Gagal ginjal.
5) Perdarahan saluran cerna akut/anemia.
6) Stroke baru (< 1 bulan).
7) Intoksikasi obat-obatan (seperti : Kontras).
8) Pasien yang tidak kooperatif.
9) Usia kehamilan kurang dari 3 bulan.
d. Area Penusukan
Area penusukan pada tindakan PCI terdiri atas:
1) Arteri Femoralis.
2) Arteri Brachialis.
3) Arteri Radialis.
e. Komplikasi
1) Diseksi arteri koroner.
2) Vasospasme arteri koroner.
3) Akut disritmia.
4) Cardiac arrest.
5) Tamponade jantung.
6) Hipotensi.
f. Prosedur Intervensi Percutaneous Coronary Intervention
Tim PCI terdiri dari :
1) Dokter spesialis jantung yang ahli dalam bidang intervensi
non bedah.
2) Perawat:
a) Scrub Nurse (Perawat Scrub): sebagai perawat steril.
b) Circular Nurse (Perawat Sirkuler).
Tugas Circular Nurse:
(1) Menyiapkan pasien.
(2) Memberikan penjelasan tentang prosedur/tindakan
yang akan dilakukan.
(3) Mengobservasi tanda-tanda vital.
(4) Mencatat pemakaian alkes yang terpakai selama
tindakan.
(5) Membantu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh dokter
dan scrub nurse saat tindakan berlangsung.
(6) Stand by untuk menangani saat terjadi kegawatan
jantung.
3) Hemodynamic Nurse (Perawat Hemodinamik).
Tugas perawat hemodinamik:
(1) Serah terima pasien lengkap dengan file sesuai check
list pre angiography.
(2) Menyiapkan macam-macam formulir (Cath/PCI).
(3) Input data pasien.
(4) Map besar untuk arsip laporan hasil cath/ PCI, report
selama tindakan berlangsung (pada map sudah ada
tulisan: nama pasien, umur, dokter, jenis tindakan,
tanggal dan Nomor RM).
(5) Monitoring pressure dan gambaran EKG.
(6) Mencatat semua prosedur dan awal sampai selesai
tindakan, termasuk merekam pressure.
4) Petugas Radiologi.
Prosedur (California Pacific Medical Center, 2008):
1) Perawat/teknisi membawa pasien ke ruang kateterisasi (cath
lab).
2) Perawat memberikan obat melalui IV line untuk membantu
pasien rileks dan nyaman selama prosedur tindakan.
3) Perawat membersihkan dan mensterilkan daerah kecil di
pergelangan lengan atau lipat paha pasien (tergantung daerah
yang akan digunakan). Daerah tersebut kemudian ditutup
dengan kain steril.
4) Dokter akan menginjeksi obat anestesi lokal dilipat paha atau
tangan pasien. Digunakan anestesi lokal karena pasien harus
tetap sadar selama pemeriksaan untuk mengikuti instruksi
dokter.
5) Jarum akan ditusukkan ke dalam arteri yang digunakan
kemudian guide wire akan dimasukkan melalui jarum lalu
jarum dilepas.
6) Sheat kateter akan dimasukkan melalui guide wire, kemudian
sheat kateter dimasukkan melalui pembuluh darah utama
tubuh (aorta) ke muara arteri koroner di jantung. Kebanyakan
pasien tidak merasakan sakit selama pemeriksaan, karena
tidak ada serabut saraf dalam pembuluh darah, maka klien
tidak dapat merasakan gerakan kateter dalam tubuh.
7) Dokter akan menginjeksikan kontras dengan melihat melalui
gambaran X-ray. Pasien mungkin akan merasakan sensasi
panas saat kontras diinjeksikan.
8) Rumus pemberian kontras : 4-6 cc zat kontras x BB pasien :
kreatinin pasien.
9) Pantau keluhan/laporan pasien tentang adanya nyeri dada
atau perasaan tidak nyaman selama posedur.
g. Peran perawat dalam Percutaneous Coronary Intervention
1) Sebelum Tindakan
a) Informed consent.
b) Anjurkan pasien untuk puasa 4-6 jam sebelum tindakan
(elektif PCI).
c) Observasi dan ukur tanda-tanda vital (perubahan EKG,
tekanan darah, HR, RR, dan saturasi O2).
d) Pemeriksaan penunjang
(1) Laboratorium: Cek darah lengkap, GDS, ureum,
creatinin, HBSAg, elektrolit, PT, APTT, BT, dan ACT.
(2) Rontgen thorax.
e) Cek pulsasi perifer (dorsalis pedis) untuk kateterisasi
melalui arteri femoralis.
f) Melakukan Allen Test (jika penusukan melalui arteri
radialis).
g) Obat-obat dilanjutkan sesuai instruksi dokter.
h) Pada pasien dengan nilai creatinin diatas 1,25 mg/dl (nilai
normal 0,72-1,25 mg/dl), lakukan loading cairan
(1cc/kgBB/jam) diberikan pre dan post tindakan PCI.
i) Memberikan penjelasan prosedur tindakan.
j) Pasang IV line tangan kiri.
k) Membersihkan area puncture.
2) Selama Tindakan
a) Kaji keluhan selama prosedur tindakan berlangsung.
b) Melakukan observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit.
c) Memantau hemodinamik.
3) Setelah Tindakan
a) Kaji keluhan setelah tindakan.
b) Observasi TTV secara ketat: setiap 15 menit pada jam
pertama, setiap 30 menit pada jam kedua dan ketiga lalu
setiap jam pada 4 jam berikutnya.
c) Mengobservasi tanda-tanda adanya perdarahan dan
hematoma pada area penusukan.
d) Mengobservasi dan mengukur tanda-tanda vital (tekanan
darah, nadi, respirasi, suhu tubuh, dan saturasi O2).
e) Pemantauan perubahan EKG 12 lead.
f) Mengobservasi hasil laboratorium (peningkatan kreatinin
mengindikasikan gangguan ginjal karena zat kontras,
sedangkan peningkatan CKMB menandakan cedera otot
jantung).
g) Mengobservasi efek alergi zat kontras (seperti menggigil,
kemerahan, gatal, pusing, mual, muntah, urine tidak
keluar, dan sebagainya).
h) Mengobservasi gangguan sirkulasi perifer cek pulsasi
arteri dorsalis pedis, tibialis, radialis. Bila terjadi gangguan
(nadi lemah/tak teraba), beritahu dokter biasanya diberikan
obat antikoagulan bolus atau bisa dilanjutkan dengan
pemberian terus menerus (kontinyu). Observasi
kehangatan daerah ekstremitas kanan dan kiri kemudian
dibandingkan.
i) Mengobservasi adanya tanda-tanda hipovolemi.
j) Memberikan hidrasi sesuai kebutuhan.
k) Memonitor adanya tanda-tanda infeksi meliputi: observasi
daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptik/septik, selalu
menjaga kesterilan area penusukan, observasi adanya
perubahan warna, suhu pada luka tusukan.
l) Berikan pendidikan kesehatan pada pasien :
(1) Anjurkan untuk tidak mengangkat beban lebih dari 5
kg selama satu minggu untuk menghindari
stretching/peregangan pada arteri radialis jika akses
melalui arteri radialis.
(2) Beritahu perawat atau dokter bila terjadi keluhan
berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
(3) Buka elastikon dan ganti dengan tensoplast setelah 12
jam pemasangan elastikon.
(4) Bila ada hematoma dan perdarahan segera hubungi
dokter atau perawat dan langsung ke rumah sakit.
2) Fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting,
terutama pada tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI
pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila primary
PCI tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien yang datang segera
(<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang luas dan risiko
perdarahan rendah, fibrinolitik perlu dipertimbangkan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 120
menit. Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat darurat. Agen
yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik
terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus
diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan
untuk aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI
yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 8 hari.
Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
 Enoxaparin intravena dilanjutkan dengan subkutan (lebih
disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksinasi).
 Heparin tidak terfraksinasi diberikan secara bolus intravena
sesuai berat badan dan infus selama 2 hari. Bila perlu
dilanjutkan dapat menggunakan low molecular weight heparin
(LMWH).
 Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, fondaparinux
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24
jam kemudian.
3) Bedah Pintas Arteri Koroner
Bedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah
sebuah teknik
pembedahan yang bertujuan untuk meningkatkan
aliran
darah menuju jantung. Sesuai dengan American College of
Cardiology (ACC) dan American Heart Assosciation (AHA),
indikasi bedah pintas arteri koroner adalah:
 Stenosis >50% pada pembuluh darah utama koroner
kiri.
 Stenosis >70% pada daerah proksimal pembuluh
darah left anterior descending (LAD) dan circumflex (LCX).
 Sumbatan pada 3 cabang pembuluh darah koroner
pada pasien yang asimtomatik atau pada mereka
dengan keluhan angina yang ringan atau stabil.
 Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk
dengan sumbatan pada 3 cabang pembuluh darah
koroner dan stenosis di daerah proksimal LAD.
 Pasien dengan keluhan angina yang stabil dan
sumbatan di 1 atau 2 pembuluh darah koroner
dengan daerah miocardium viabel yang luas pada
area yang berisiko tinggi.
 Stenosis >70% pada daerah proksimal LAD dengan
fraksi ejeksi <50% atau tanda-tanda iskemik yang
jelas pada evaluasi non-invasif.
 Gejala angina yang berat.
 Iskemia yang progresif pada kasus non-STEMI yang
tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.
 Fungsi ventrikel kiri yang buruk namun dengan
kondisi miokardium yang masih viable pada daerah
defek anatomi yang dapat direvaskularisasi (PERKI,
2018).

2.2 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Percutaneous Coronary


Intervention (PCI)
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah pengumpulan dan analisis informasi
secara sistematis dan berkelanjutan mengenai pasien. Pengkajian
dimulai dengan mengumpulkan data dan menempatkan data ke dalam
format yang terorganisir. Pengumpulan data dapat diperoleh melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, serta
pemeriksaan penunjang lainnya (Mardiani, 2019).
a. Anamnesa
1. Identitas: nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status
pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja,
No. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, sumber informasi,
nama keluarga dekat yang biasa dihubungi, status, alamat, nomor
telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
2. Status kesehatan saat ini dan keluhan utama: nyeri dada, perasaan
sulit bernapas, dan pingsan
3. Riwayat penyakit sekarang pengkajian yang mendukung keluhan
utama dengan memberikan pertanyaan tentang kronologi keluhan
utama. Pengkajian yang diperoleh dengan gejala kongesti
vaskuler pulmonal, yakni munculnya dispnea, ortopnea, batuk,
dan edema pulmonal akut. Tanyakan juga gajala-gejala lain yang
mengganggu pasien.
4. Riwayat kesehatan terdahulu apakah sebelumnya pasien pernah
menderita nyeri dada, hipertensi, DM, dan hiperlipidemia.
Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh pasien pada
masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang
terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa
yang timbul.
5. Riwayat keluarga, menanyakan penyakit yang pernah dialami
oleh keluarga serta bila ada anggota keluarga yang meninggal,
tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada
orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan faktor
risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
6. Pengkajian data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
a) Pola pernafasan, gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea
nocturnal, batuk produktif/tidak produktif, riwayat merokok,
penyakit pernapasan kronis. Tanda: peningkatan frekuensi
pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau krekels,
wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
b) Pola nutrisi, gejala: mual, kehilangan napsu makan,
bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar. Tanda: penurunan turgor
kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat
badan
c) Pola eleminasi, gejala susah buang air besar, produksi
kencing sedikit, kencing keruh, atau kencing berdarah.
d) Aktivitas dan istirahat, gejala: kelemahan, kelelahan, tidak
dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadwal olahraga tak
teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
e) Psiko-sosial-spiritual, gejala: menyangkal gejala penting,
takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada
penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang
keluarga, pekerjaan dan keuangan. Tanda: menolak,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri, gejala:
stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan
koping dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi).
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi
meningkat, dan menarik diri dari keluarga. Cara pandang
terhadap penyakit dikaitkan dengan kepercayaan atau
keyakinan yang dianut.
b. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup
hal-hal berikut:
1) Tingkat kesadaran.
2) Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting).
3) Frekuensi dan irama jantung: disritmia dapat menunjukkan tidak
mencukupinya oksigen ke dalam miokard.
4) Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal
jantung.
5) Tekanan darah: diukur untuk menentukan respons nyeri dan
pengobatan, perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan
menyempit setelah serangan miokard infark, menandakan
ketidakefektifan kontraksi ventrikel.
6) Nadi perifer: kaji frekuensi, irama dan volume.
7) Warna dan suhu kulit.
8) Paru-paru: auskultasi bidang paru pada interval yang teratur
terhadap tanda-tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar
paru).
9) Fungsi gastrointestinal: kaji motilitas usus, trombosis arteri
mesenterika merupakan potensial komplikasi yang fatal.
10) Status volume cairan: amati haluaran urine, periksa adanya
edema, adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi
dengan oliguria.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Angiography coroner.
2) Echocardiogram.
3) EKG.
4) Hasil Laboratorium : DL, CKMB, FH, Mioglobin, CK, LDH,
Bun, SC, Na, K, lipid profile.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun
potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018) Diagnosis yang mungkin
muncul adalah:
1. Pre tindakan PCI
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membrane alveolar-kapiler.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(iskemia).
3) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
5) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
2. Intra tindakan PCI
Risiko perdarahan dengan faktor risiko tindakan PCI.
3. Post tindakan PCI
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
tindakan PCI).
2) Risiko infeksi dengan faktor risiko efek prosedur invasif
(tindakan PCI).
2.2.3 Perencanaan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan
keperawatan yang dilaksanakan untuk menanggulangi masalah dengan
diagnosis keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan
terpenuhinya kebutuhan pasien. Standar luaran keperawatan akan
menjadi acuan bagi perawat dalam menetapkan kondisi atau status
kesehatan seoptimal mungkin yang diharapkan dapat dicapai oleh pasien
setelah pemberian intervensi keperawatan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018).
1. Pre tindakan PCI
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membrane alveolar-kapiler.
 Luaran : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24
jam maka pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil :
1) Dispnea menurun (5)
2) Bunyi napas tambahan menurun (5)
3) Takikardia menurun (5)
4) PCO2 membaik (5)
5) PO2 membaik (5)
6) pH arteri membaik (5)
 Intervensi
1) Pemantauan respirasi
Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan
oleh perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data
untuk memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas.
a) Observasi
(1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas.
(2) Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot,
ataksik).
(3) Auskultasi bunyi napas.
(4) Monitor saturasi oksigen.
(5) Monitor nilai analisa gas darah.
(6) Monitor hasil x-ray thoraks.
b) Terapeutik
(1) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien.
(2) Dokumentasikan hasil pemantauan
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.
(2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
2) Terapi oksigen
Terapi oksigen adalah intervensi yang dilakukan oleh
perawat untuk memberikan tambahan oksigen dalam
rangka mencegah dan mengatasi kekurangan oksigen
jaringan.
a) Observasi
(1) Monitor kecepatan aliran oksigen.
(2) Monitor aliran oksigen secara periodik dan
pastikan fraksi yang diberikan cukup.
(3) Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri,
Analisa gas darah), jika perlu.
(4) Monitor monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelectasis.
(5) Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
b) Terapeutik
(1) Pertahankan kepatenan jalan napas.
(2) Tetap berikan oksigen saat pasien di transportasi
c) Edukasi
(1) Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen dirumah
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
(2) Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur.
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung.
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x
24 jam, maka curah jantung meningkat dengan kriteria hasil:
1) Palpitasi menurun (5)
2) Takikardia menurun (5)
3) Gambaran EKG aritmia menurun (5)
 Intervensi
Perawatan jantung akut
Perawatan jantung akut adalah intervensi yang dilakukan oleh
perawat untuk mengidentifikasi, dan mengelola pasien yang
baru mengalami episode ketidakseimbangan antara
ketersedian dan kebutuhan oksigen miokard.
a) Observasi
(1) Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor
pemicu dan pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala,
durasi, dan frekuensi).
(2) Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi).
(3) Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T.
(4) Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko
aritmia (mis: kalium, magnesium serum).
(5) Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin
T, Troponin I).
(6) Monitor saturasi oksigen.
(7) Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut
(mis: skor TIMI, Killip, Crusade).
b) Terapeutik
(1) Pertahankan tirah baring minimal 12 jam.
(2) Pasang akses intravena.
(3) Puasakan hingga bebas nyeri.
(4) Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas
dan stress.
(5) Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat
dan pemulihan.
(6) Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika
perlu.
(7) Berikan dukungan emosional dan spiritual.
c) Edukasi
(1) Anjurkan segera melaporkan nyeri dada.
(2) Anjurkan menghindari manuver valsava (mis:
mengedan saat BAB atau batuk).
(3) Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien.
(4) Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan
ketakutan.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu.
(2) Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin,
beta blocker, calcium channel blocker).
(3) Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu.
(4) Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu.
(5) Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver
valsava (mis: pelunak tinja, antiemetik).
(6) Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan,
jika perlu.
(7) Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(iskemia).
 Luaran : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24
jam maka nyeri menurun dengan kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Sikap protektif menurun (5)
3) Kesulitan tidur menurun (5)
4) Gelisah menurun (5)
5) Menarik diri menurun (5)
6) Diaforesis menurun (5)
7) Mual dan muntah menurun(5)
8) Frekuensi nadi membaik (5)
9) Pola nafas membaik (5)
10) Tekanan darah membaik(5)
11) Pola tidur membaik (5)
12) Nafsu makan membaik (5)
13) Proses pikir membaik (5)
 Intervensi :
Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan tindakan mengidentifikasi dan
mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan
onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat dan konstan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
a) Observasi
(1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri dan respon nyeri
non verbal.
(2) Identifikasi respon nyeri non verbal.
(3) Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
(4) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
(5) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
(6) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
(7) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan.
(8) Monitor efek samping analgetik.
b) Terapeutik
(1) Berikan teknik non farmakologi.
(2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
(3) Fasilitasi istirahat dan tidur.
c) Edukasi
(1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
(2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
(3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
(4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
(5) Ajarkan teknik nonfarmakologis.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x
24 jam, maka toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria
hasil:
1) Keluhan lelah menurun (5)
2) Frekuensi nadi membaik (5)
 Intervensi
Manajemen energy
Manajemen energy adalah intervensi yang dilakukan oleh
perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola penggunaan
energi untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan
mengoptimalkan proses pemulihan.
a) Observasi
(8) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan.
(9) Monitor kelelahan fisik dan emosional.
(10) Monitor pola dan jam tidur.
(11) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas.
b) Terapeutik
(1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis: cahaya, suara, kunjungan).
(2) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif.
(3) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan.
c) Edukasi
(1) Anjurkan tirah baring.
(2) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap.
(3) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang.
(4) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan.
d) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
5) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x
24 jam, maka tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil:
1) Verbalisasi kebingungan menurun (5)
2) Perilaku gelisah menurun (5)
3) Perilaku tegang menurun (5)
4) Konsentrasi membaik (5)
 Intervensi
Reduksi ansietas
Reduksi ansietas adalah intervensi yang dilakukan oleh
perawat untuk meminimalkan kondisi individu dan
pengalaman subyektif terhadap objek yang tidak jelas dan
spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
a) Observasi
1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis:
kondisi, waktu, stresor).
2) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.
3) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
b) Terapeutik
(1) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan.
(2) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan.
(3) Pahami situasi yang membuat ansietas.
(4) Dengarkan dengan penuh perhatian.
(5) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
(6) Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan.
(7) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan.
(8) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa
yang akan datang.
c) Edukasi
(1) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin
dialami.
(2) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis.
(3) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika
perlu.
(4) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif,
sesuai kebutuhan.
(5) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
(6) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan.
(7) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang
tepat.
(8) Latih teknik relaksasi.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu.
2. Intra tindakan PCI
1) Risiko perdarahan dengan faktor risiko tindakan PCI.
 Luaran : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24
jam diharapkan tingkat perdarahan menurun dengan kriteria
hasil:
1) Kognitif membaik (5)
2) Tekanan darah membaik (5)
3) Denyut nadi apical membaik (5)
4) Suhu tubuh membaik (5)
5) Hemoglobin dan hematocrit membaik (5)
6) Perdarahan paska tindakan menurun (5)
 Intervensi :
Pencegahan perdarahan
Pencegahan perdarahan merupakan tindakan
mengidentifikasi dan menurunkan risiko atau komplikasi
stimulus yang menyebabkan perdarahan atau risiko
perdarahan.
a) Observasi
(1) Monitor tanda dan gejala perdarahan.
(2) Monitor nilai hematocrit dan hemoglobin sebelum
dan sesudah perdarahan.
(3) Monitor tanda-tanda vital.
(4) Monitor koagulasi.
b) Terapeutik
(1) Pertahankan bed rest selama perdarahan.
(2) Batasi tindakan invasif, jika perlu.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan.
(2) Anjurkan segera melapor bila terjadi perdarahan.
(3) Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan.
(2) Kolaborasi pemberian produk darah jika perlu.
3. Post tindakan PCI
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
tindakan PCI).
 Luaran : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24
jam maka nyeri menurun dengan kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Sikap protektif menurun (5)
3) Kesulitan tidur menurun (5)
4) Gelisah menurun (5)
5) Menarik diri menurun (5)
6) Diaforesis menurun (5)
7) Mual dan muntah menurun(5)
8) Frekuensi nadi membaik (5)
9) Pola nafas membaik (5)
10) Tekanan darah membaik(5)
11) Pola tidur membaik (5)
12) Nafsu makan membaik (5)
13) Proses pikir membaik (5)
 Intervensi :
Manajemen nyeri
Manajemen nyeri merupakan tindakan mengidentifikasi dan
mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan
onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat dan konstan.
a) Observasi
(1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri, skala nyeri dan respon nyeri
non verbal.
(2) Identifikasi respon nyeri non verbal.
(3) Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri.
(4) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
(5) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
(6) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
(7) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan.
(8) Monitor efek samping analgetik.
b) Terapeutik
(1) Berikan teknik non farmakologi.
(2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
(3) Fasilitasi istirahat dan tidur.
c) Edukasi
(1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
(2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
(3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
(4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
(5) Ajarkan teknik nonfarmakologis.
d) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
2) Risiko infeksi dengan faktor risiko efek prosedur invasif
(tindakan PCI).
 Luaran : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x
24 jam, maka tingkat infeksi menurun, dengan kriteria hasil:
(1) Demam menurun (5)
(2) Kemerahan menurun (5)
(3) Nyeri menurun (5)
(4) Bengkak menurun (5)
(5) Kadar sel darah putih membaik (5)
 Intervensi
Pencegahan infeksi
Pencegahan infeksi adalah intervensi yang dilakukan oleh
perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko
terserang organisme patogenik.
a) Observasi
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik.
b) Terapeutik
(1) Batasi jumlah pengunjung.
(2) Berikan perawatan kulit pada area edema.
(3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien.
(4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko
tinggi.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
(2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
(3) Ajarkan etika batuk.
(4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka.
(5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
(6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, T. B., 2018. Nyeri Dada. Sumatera Utara. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Tersedia online di
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3548/gizibahri7.p
df?sequence=1&isAllowed=y.
Ashar, A. H., 2017. Analisa Asuhan Keperawatan Pada Pasien STEMI Dengan
Gangguan Rasa Aman Nyaman: Nyeri Akut Di Ruang ICCU RSUD Prof.
DR. Margono Soekarjo Purwokerto.
Berliani, I., 2019. Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Infark Miokard Akut
(STEMI Anterioir) Di Ruang Melati RSUD Bangil. (46-100) Sidoarjo.
Akademi Keperawatan Kerta Cendekia Sidoarjo. Tersedia online di
http://eprints.kertacendekia.ac.id/id/eprint/50/1/KTIINTANBERLIANI.pd
f.
Davis, 2011. Percutaneous Coronary Intervention. Tersedia online di
https://www.emedicine.com/percutaneous_coronary_intervention_pci/pag
e10_em.html.
Carrick, D., Haig, C., Ahmed, N., McEntegart, M., Petrie, M. C., Eteiba, H.Berry,
C, 2016. Myocardial hemorrhage after acute reperfused ST-segment
elevation myocardial infarction: Relation to microvascular obstruction and
prognostic significance. Circulation: Cardiovascular Imaging, 9(1), 1–10.
Tersedia online di https://doi.org/10.1161/CIRCIMAGING.115.004148.
Danchin, N., Lettino, M., Zeymer, U., Widimsky, P., Bardaji, A., Barrabes, J. A.,
Jukema, J. W., 2016. Use, patient selection and outcomes of P2Y12
receptor inhibitor treatment in patients with STEMI based on
contemporary European registries. European Heart Journal -
Cardiovascular Pharmacotherapy, 2(3), 152–167. Tersedia online di
https://doi.org/10.1093/ehjcvp/pvw003.
Dharma, S., Andriantoro, H., Purnawan, I., Dakota, I., Basalamah, F., Hartono,
B., Rao, S. V., 2016. Characteristics, treatment and in-hospital outcomes
of patients with STEMI in a metropolitan area of a developing country: an
initial report of the extended Jakarta Acute Coronary Syndrome registry.
BMJ Open, 6(8), e012193. Tersedia online di
https://doi.org/10.1136/bmjopen-2016-012193.
Fitriadi, B., & Putra, K. (2018). LAPORAN KASUS STEMI Inferior dengan
Bradikardi dan Hipotensi. Jurnal Rs Widodo Ngawi, 45(1), 34–37.
Fox, K., White, H.D., Gersh, B. & Opie, L.H., 2013. Antithrombotic
Agents:
Platelet Inhibitors, Acute Anticoagulants, Fibrinolytics, and
Chronic Anticoagulants. In Drugs For The Heart. Eighth Edition
ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. pp.378-87.

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B, 2017. Buku Ajar Patofisiologi
(Professional Guide to Pathophysiology). Jakarta: EGC.

Ibanez, B. et al., 2018. 2017 ESC Guidelines for the management


of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation. European Heart Journal, 39, pp.119-77.

PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia), 2018. Pedoman


Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat. Tersedia online di
https://www.inaheart.org/storage/guideline/e32f200dd38f1918396184280d
1fb5d2.pdf.
PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
PPNI, 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
Rathore, V., Singh, N. & Mahat, R.K., 2018. Risk Factors for Acute Myocardial
Infarction: A Review. EJMI, 2(1), pp.1-7.
Riskesdas, 2019. Hari Jantung Sedunia (HJS) Tahun 2019: Jantung Sehat, SDM
Unggul.
Sutrisno, R., 2017. Asuhan Keperawatan Tn. S Dan Ny.S Yang Mengalami Akut
Miokard Infark (AMI) Dengan Nyeri Akut Di Ruang ICVCU RSUD Dr.
Moewardi. Sukarta. Universitas Kusuma Husada. Tersedia online di
http://digilib.ukh.ac.id/repo/disk1/30/01-gdl-ridwansutr-1465-1-ktipdf.pdf.

Suzanne C. Smeltzer & Brenda G. Bare, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner&Suddarth Vol. 1. Jakarta: EGC.
Wahyunadi, N. M. D., Sargowo, D., & Suharsono, T., 2017. Perbedaan
Keberhasilan Terapi Fibrinolitik Pada Penderita ST-Elevation Myocardial
Infarction (STEMI) Dengan Diabetes Dan Tidak Diabetes Berdasarkan
Penurunan ST-Elevasi. Jurnal Ilmu Keperawatan, 5(1), 1689–1699.
Zahrotul, U., 2018. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigen pada Tn. T dengan Tn. H dengan Infark Miokard
Akut. Infark Miokard Akut. Poltekkes Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai