Sosiologi Hukum Bukan Ilmu Hukum
Sosiologi Hukum Bukan Ilmu Hukum
Hukum
BY DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI · MARCH 31, 2015
Kesalahan mendasar yang sudah menjadi turun-temurun dari kalangan
sarjana hukum, adalah menganggap sosiologi hukum sebagai bahagian
dari pencabangan ilmu hukum. Eror in opinion ini semakin diperjelas
dengan munculnya pendekatan dalam ilmu hukum yang dikenal dengan
pendekatan hukum empirik. Padahal karakter khas ilmu hukum sudah
asalinya “normatif”. Tak ada satupun landasan teoritik yang bisa
membongkar sifat normatif demikian.[1]
Hal yang berbeda jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
khususnya sosiologi saat kita membuka literatur “Setangkai Bunga Sosiologi”
yang ditulis oleh Selo Sumardjan dan Soeleman Soemardi [2] sudah
dikemukakan di sana, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang bersifat
empirik.
Sampai pada metodologi penelitianpun terjadi kesalahan struktural yang
sudah terlanjur menganggap sosiologi hukum merupakan bagian dari
model penelitian hukum. Ironisnya, dalam beberapa perguruan tinggi
fakultas hukum sudah menjadi kebiasaan untuk memaklumi ada yang
disebut penelitian hukum normatif dan ada juga penelitian hukum empirik.
Sementara kalau kita mau “jujur” dan tidak anti kritik, maka seharusnya
sadar diri untuk menggunakan termin “penelitian hukum saja”,
dibelakangnya tak perlu lagi ada embel-embel “normatif” ataukah “empirik”.
Sebab sudah dari sejak lahirnya ilmu hukum pasti normatif.
Dalam perdebatan yang lain lagi misalnya, ilmu hukum normatif masih
sering disanggah “bukankah hukum normatif akan selalu berjalan tertatih-
tatih di belakang kenyataan”. Andaikan tiga begawan hukum normatif
ditanyakan hal seperti itu mereka juga akan memberi jawaban; memang
benar hukum akan tertatih-tatih dibelakang dinamisasi masyarakat yang
terus mengalami perubahan. Tetapi begitu terjadi perubahan di dalam
masyarakat, hukum yang distigmatisasi “normative”senantiasa beradaptasi
dengan perkembangan masyarakat melalui rekonseptualisasi hukum.
Objek telah sosiologi hukum tidak dapat disamakan dengan objek telah
ilmu hukum. Memang selalu ada yang mempersamakan antara penelitian
hukum dan penelitian ilmu sosial terhadap hukum (pendekatan empirik
terhadap hukum) bahwa kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama
yaitu “hukum”. Namun dibalik kekeliruan penalaran demikian, penelitian
hukum adalah penelitian pada dirinya sendiri, tanpa mengalami
ketergantungan dengan ilmu-ilmu sosial dapat mensimulasi “fakta hukum”
sendiri sebagai “legal issue” untuk melahirkan konseptual atas hukum pada
dirinya sendiri.
Berbeda dengan penelitian ilmu sosial ketika melakukan penelitian
terhadap “segala tetek bengek ilmu hukum”, ilmu-ilmu sosial (seperti
sosiologi, politik, antropologi, dan psikologi) harus menempatkan diri pada
dua sisi. Pertama, pada sisi ilmu sosialnya sendiri yang harus menguasai
segi teoritisnya juga segi terapannya lalu beralih pada sisi
keduanya. Kedua, pada sisi kedua ini terus berlanjut dari sisi pertama,
selain sudah khatam dan terampil pada penguasaan ilmu sosial dari dua
segi tersebut, mau tidak mau harus pula mengetahui setidaknya hukum
dalam kerangka teoritis maupun dalam kerangka praktikal.
Oleh karena itu sebuah kemewahan bagi mereka yang memilih melakukan
penelitian ilmu-ilmu sosial saat mengkaji “ilmu hukum”, hanyalah mereka
yang memiliki kemampuan mempelajari terlebih dahulu dua sudut ilmu
tersebut secara sistematikal dan metodik.
Sumbangsi terbesar ilmu sosial terhadap “disiplin ilmu hukum” harus diakui
member banyak kemajuan untuk pencapaian tujuan hukum yang sarat
nilai. Sebagaimana akar yang menyejarah dalam reliasme hukum “a tool of
social engineering”. Maka muncullah istilah baru dalam studi lapangam
hukum yang disebut “sociological jurisprudent”—- ilmu hukum
sosiologi. Tetapi untuk sudut pandang sociological jusriprudence ini pada
dasarnya juga bukanlah pencabangan ilmu hukum, melainkan hanya
sebagai aspek pengubah hukum yang lazim menjadi dasar bagi perumus
naskah UU dalam membentuk UU, kiranya perundang-undangan tersebut
segera diakukan revisi dengan tujuan mengakomodasi “segala perbuatan,
tindakan, tingka laku, tugas, fungsi, dan kewenangan, agar ada ketentuan
yang melegitimasinya.
Sumber Gambar: sosiologihukum-untar7.blogspot.com
Bukti otentik bagi para pembaca setidaknya sudah pasti akan mengalami
kebingungan ketika mengecek beberapa pendapat dari ahli hukum yang
nyata-nyata dan tegas mengemukakan kalau sosiologi hukum juga sebagai
bagian dari pencabangan ilmu hukum. Diantara ahli hukum yang tergolong
sudah terkemuka membenarkan sosiologi hukum sebagai cabang ilmu
hukum diantaranya: J. van Apeldoorn, W.L.G., Lemaire , J.B.H. Bellefroid,
Ie Oen Hoc,k dan A. Halim Tosa.[7]
Bahkan salah satu pelopor ahli hukum yang selalu menjadi rujukanpun
ternyata masih membenarkan kalau sosiologi hukum dapat dibenarkan
sebagai cabang ilmu hukum. Dia adalah Mewissen[8] yang mendalilkan
bahwa abstraksi teoritikal atas gejala hukum terbagai atas tiga, meliputi:
ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Tampaknya pada abstraksi
teoritikal atas gejala hukum pertamalah yaitu ilmu hukum yang dibagi lagi
menjadi dua (ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik) seolah-oleh
sosiologi hukum masih mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari
cabang sosiologi hukum.
Maka dalam menyikapi kesesatan tersebut, pertanyaan selanjutnya
dimanakah sesungguhnya eksistensi ilmu hukum? Apakah termasuk ilmu
eksakta, ilmu sosial ataukah ilmu humaniora? Saat ini rata-rata orang
masih memperdebatkan kalau ilmu sosial berada dalam dua klasifikasi
ilmu. Dikatakan sebagai ilmu sosial sebab tugas ilmu hukum saat ini bukan
sekedar mencari hal-hal yang normatif dan hal-hal yang filsufis saja,
melainkan lebih dominan menyelesaikan masalah-masalah sokial. Bahkan
ilmu hukum katanya tidak berada dalam ruang hampa tetapi hadir di dalam
masyarakat, sehingga ilmu hukum sudah mestinya ditempatkan di ruang
ilmu sosial. Sementara mereka yang mengatakan kalau ilmu hukum
merupakan ilmu humaniora berargumentasi bahwa ilmu hukum lebih
banyak berurusan dengan masalah-masalah filsafat.
Jika diamati dengan cermat dari dua sudut pandang di atas sepertinya
paling masuk akal alasannya, adalah argumentasi yang dikemukakan oleh
mereka yang meletakkan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu sosial.
Ilmu hukum bukanlah ilmu sosial, ilmu hukum bukanlah sosiologi, ilmu
hukum bukanlah ilmu humaniora. Tetapi yang harus dipahami kalau ilmu
hukum merupakan ilmu sui generis sebagai ilmu terapan. Dikatakan sebagai
ilmu terapan di sini bukan pula dari terapannya ilmu-ilmu sosial, tetapi
terapan dari dirinya sendiri baik melalui penalaran konseptual, penalaran
dari hasil studi perbandingan dan penalaran berdasarkan hasil
penelaahaan kasus-kasus hukum.
Ilmu hukum sejatinya bukanlah mempelajari kenyataan tetapi ilmu hukum
lebih tepat mencari legal issue agar diperoleh saran yang sifatnya perskriptif
guna memberi sumbangsi bagi perumusan perundang-undangan.
Sehingga lebih dapat dibenarkan pendapat Jan Gijsells dan Mark van
Hocke dibandingkan pendapat Mewissen. Jan Gijsells dan Mark van Hocke
mengemukakan dari tiga lapisan ilmu hukum (dogmatik hukum, teori
hukum dan filsafat hukum) hanya ada dua disiplin hukum “murni” ilmu
hukum yaitu dogmatik hukum dan teori hukum. Selanjutnya mereka
menyatakan bahwa filsafat hukum sebagaimana sosiologi hukum, psikologi
hukum, sejarah hukum, logika hukum, termasuk ke dalam disiplin
induknya, yatu filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah dan logika.[11]
Dalam rangka memberi jawaban dari permasalahan dalam makalah ini,
sosiologi hukum bukanlah pencabangan dari ilmu hukum. Tetapi
merupakan pencabangan dari sosiologi. Aguste Comte, Emil Durkheim,
Max Weber, Talcolt Parson, Eugen Erlich, Roscoe Pound mereka adalah
ahli yang dapat dkatakan hasil pemikirannya bermuatan sosiologi hukum,
pendekatan yang mereka gunakan berasal dari teori-teori dasar sosiologi.
Sehingga dapat mengamati tahapan masyarakat dalam membentuk hukum
yang selalu dimaknai terjadi peubahan sosial, terjadi perubahan nilai, dan
terjadi perubahan lembaga-lembaga hukum. Satupun diantara mereka
tidaklah melahirkan ilmu hukum sebagai meta-kaidah menuju penciptaan
norma sebagai nilai dasar hukum, mutlak adanya bersifat perskriptif.
Bahwa ada saja hukum tidak dapat diperlakukan sama dengan tempat
yang satu dengan tempat lainnya. Sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Robert B Seidem “hukum tidak dapat ditransfer begitu
saja dari negara yang satu ke negara lain”.
Sehingga muncul ide, gagasan, atau konsepsi hukum yang harus dibangun
di atas landasan hukum yang mengkaidahi asas pemisahan horizontal
tersebut. Itulah dasar filsufis dan sejarah perundang-
undangannya (weetshitorical) melahirkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria yang mengakui asas pemisahan horizontal.
DAFTAR PUSTAKA:
Bernard Arief Sidharta. 2013. Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Damang Averroes Al-Khawarizmi. Mengembalikan Jati Diri Penelitian
Hukum. Gorontalo Post. 16 Oktober 2012.
Jan Gijsells dan Mark van Hocke. 1982. What is Rechtsthorie?. Kluwer.
Rechtsewetenschappen: Antreppen..
Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni. .
Munir Fuady. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama.
Philipus M. Hadjon. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakrta: Gadjah Mada
University Press.
Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta; Genta
Publishing Sadjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. 1965. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soerjono Soekanto. 2011. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers.
http://topihukum.blogspot.com/2013/06/cabang-cabang-ilmu-hukum-menurut-
para.html
[1]Damang Averroes Al-Khawarizmi. Mengembalikan Jati Diri Penelitian
Hukum. Gorontalo Post. 16 Oktober 2012.
[2]Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. 1965. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 16
[3]Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni. Hlm. 1 s/d. 15.
[4]Sadjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 107
[5]Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta; Genta
Publishing. Hlm. 121.
[6]Munir Fuady. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Hlm 96.
[7]http://topihukum.blogspot.com/2013/06/cabang-cabang-ilmu-hukum-menurut-
para.html
[8]Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama. Hlm.
5.
[9]Bernard Arief Sidharta. 2013. Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing. Hlm. 20.
[10]Philipus M. Hadjon. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakrta: Gadjah Mada
University Press. Hlm. 9.
[11]Jan Gijsells dan Mark van Hocke. 1982. What is Rechtsthorie?. Kluwer.
Rechtsewetenschappen: Antreppen. Page. 10
[12]Soerjono Soekanto. 2011. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers. Hlm. 12.
[13] Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers. Hlm. 89.