Anda di halaman 1dari 12

Sosiologi Hukum Bukan Ilmu

Hukum
BY DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI · MARCH 31, 2015
Kesalahan mendasar yang sudah menjadi turun-temurun dari kalangan
sarjana hukum, adalah menganggap sosiologi hukum sebagai bahagian
dari pencabangan ilmu hukum. Eror in opinion ini semakin diperjelas
dengan munculnya pendekatan dalam ilmu hukum yang dikenal dengan
pendekatan hukum empirik. Padahal karakter khas ilmu hukum sudah
asalinya “normatif”. Tak ada satupun landasan teoritik yang bisa
membongkar sifat normatif demikian.[1]
Hal yang berbeda jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
khususnya sosiologi saat kita membuka literatur “Setangkai Bunga Sosiologi”
yang ditulis oleh Selo Sumardjan dan Soeleman Soemardi [2] sudah
dikemukakan di sana, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang bersifat
empirik.
Sampai pada metodologi penelitianpun terjadi kesalahan struktural yang
sudah terlanjur menganggap sosiologi hukum merupakan bagian dari
model penelitian hukum. Ironisnya, dalam beberapa perguruan tinggi
fakultas hukum sudah menjadi kebiasaan untuk memaklumi ada yang
disebut penelitian hukum normatif dan ada juga penelitian hukum empirik.

Dapat dibuktikan di beberapa perguruan tinggi fakultas hukum di Indonesia


bagaian Timur, sepertinya pada Bab III metodologi penelitian menjadi
kewajiban untuk mencantumkan jenis atau tipe penelitian apa yang akan
digunakan bagi penyusun skripsi (tesis dan disertasi), entah menggunakan
tipe penelitian hukum empirik ataukah menggunakan penelitian hukum
normatif.

Sementara kalau kita mau “jujur” dan tidak anti kritik, maka seharusnya
sadar diri untuk menggunakan termin “penelitian hukum saja”,
dibelakangnya tak perlu lagi ada embel-embel “normatif” ataukah “empirik”.
Sebab sudah dari sejak lahirnya ilmu hukum pasti normatif.

Dasar argumentasi dan landasan penalaran yang logik (masuk akal)


andaikan sosiologi hukum ternyata merupakan bagian dari ilmu hukum,
mungkin saja bukan “sosiologi hukum” namanya tetapi “hukum sosiologi”,
dan pastinya tidak seperti itu.

Makanya kalau daam setiap penelitian hukum lalu ternyata si peneliti


(mahasiswa) menggunakan pendekata empirik, kemudian saat di-cross-
check rumusan masalah dari proporsal penelitian ternyata salah satunya
mempertanyakan: bagaimana faktor-faktor nonhukum mempengaruhi UU
ataukah gejala-gejala sosial apa yang mempengaruhi daya keberlakuan
hukumnya? Itu sudah menjadi alasan klasik, oleh karena pendekatan yang
digunakan memang pendekatan yang sifatnya empirik. Sehingga tak pelak
faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi yakni regulasi, sumber
daya aparat penegak hukum, sumber daya finansial, dan kesadaran hukum.
Sekali lagi, periu dipertegas indikator yang dianggap sebagai “faktor-faktor”
itu bukan dalam anasir hukum an sich — das recht an such. Hanya anasir-
anasir ilmu sosial yang hendak memperkuat sifat atas daya keberlakuan
hukum menuju pada pencapainnya dalam tiga tujuan hukum; keadilan,
kemanfaatan dan kepastian.
Ada juga yang biasa mengatakan kalau sesungguhnya ilmu hukum itu
bukan hanya mempelajari dan mengkaji hukum tertulis ataukah UU
semata, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari kenyataan, pengalaman,
jiwa masyarakat (volkgeist), dan hukum tidak tertulis di masyarakat.
Jawabannya, memang benar demikian. Tetapi terlepas dari segala anasir-
anasir tersebut, bukankah yang selalu dikatakan sebagai “kenyataan”,
“pengalaman”, tak ada yang bisa mengubah sifat khas ilmu hukum sebagai
pegangan dan pedoman yang harus dipatuhi. Lihatlah hukum sebagai
sesuatu yang normatif, pada sifatnya yang berlaku; imperatif, mengatur,
mengikat dan memaksa, bukan pada ilmu hukumnya sebagai seperangkat
undang-undang saja.
Inipun sudah pasti berlaku dalam konteks, saat memperdebatkan ilmu
hukum masih terdapat “hukum tidak tertulis” dengan serta-merta ada yang
mengklasifikasikannya sebagai “hukum empiric” padahal sejatinya tidaklah
demikian. Bahwa hukum tidak tertulis pun masih menjadi bagian dari
hukum normatif.

Dalam perdebatan yang lain lagi misalnya, ilmu hukum normatif masih
sering disanggah “bukankah hukum normatif akan selalu berjalan tertatih-
tatih di belakang kenyataan”. Andaikan tiga begawan hukum normatif
ditanyakan hal seperti itu mereka juga akan memberi jawaban; memang
benar hukum akan tertatih-tatih dibelakang dinamisasi masyarakat yang
terus mengalami perubahan. Tetapi begitu terjadi perubahan di dalam
masyarakat, hukum yang distigmatisasi “normative”senantiasa beradaptasi
dengan perkembangan masyarakat melalui rekonseptualisasi hukum.

In casu kalau sudah demikian teks, konteks dan kontekstualisasinya maka


semua paradigma hukum yang diperkenalkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja[3] melalui law and development, Sadjipto Rahardjo[4] melaui
“hukum progresif” hingga Romli Atmasasmita[5] melalui “hukum integratif”
sampai sekarang bukan hal yang ekstrim jika dikatakan bahwa pendapat
ketiga ahli hukum ini sudah menjadi perdebatan di kalangan Barat di akhir
abad ke-20.an. Di kalangan Barat terjadi penelitian dan eskalasi besar-
besaran terhadap berbagai produk hukum.
Sampai pada mereka yang menamakan diri mazhab realisme hukum,
diantaranya Eugen Erlich, Zelsnik, Oliver W. Holmes, Benjamin Natan
Cardozo, Mark Galanter, HC Kelman, dan Lawrence Meir Friedman;
[6] jauh dari awal sudah mempertanyakan daya keberlakuan hukum baik
yang terdapat dalam teks (UU), dalam konteks (putusan-putusan
pengadilan), maupun dalam kontekstualisasinya (sesaat kemudian putusan
hakim mendapat respon(sif) dari semua partisipan hukum).
Tampaknya sebuah keniscayaan harus diterima oleh mereka yang masuk
dalam mazhab realisme hukum, sekuat bagaimanapun memberi tekanan
terhadap setiap bangunan hukum normatif, ilmu hukum tetap akan berada
dalam kajian yang normatif, berlaku untuk semua orang pada apa yang
disebut sebagai ketaatan dan kepatuhan (obey).
Sosiologi hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan ilmu sosiologi pada
khususnya yang sudah terbagi dalam beberapa pencabangan yang sejajar
dengan bidang-bidang sosiologi lainnya, seperti: sosiologi keluarga,
sosiologi industri, sosiologi pedesaan, sosiologi gender, sosiologi
pendidikan, sosiologi agama dan sosiologi perkotaan.

Objek telah sosiologi hukum tidak dapat disamakan dengan objek telah
ilmu hukum. Memang selalu ada yang mempersamakan antara penelitian
hukum dan penelitian ilmu sosial terhadap hukum (pendekatan empirik
terhadap hukum) bahwa kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama
yaitu “hukum”. Namun dibalik kekeliruan penalaran demikian, penelitian
hukum adalah penelitian pada dirinya sendiri, tanpa mengalami
ketergantungan dengan ilmu-ilmu sosial dapat mensimulasi “fakta hukum”
sendiri sebagai “legal issue” untuk melahirkan konseptual atas hukum pada
dirinya sendiri.
Berbeda dengan penelitian ilmu sosial ketika melakukan penelitian
terhadap “segala tetek bengek ilmu hukum”, ilmu-ilmu sosial (seperti
sosiologi, politik, antropologi, dan psikologi) harus menempatkan diri pada
dua sisi. Pertama, pada sisi ilmu sosialnya sendiri yang harus menguasai
segi teoritisnya juga segi terapannya lalu beralih pada sisi
keduanya. Kedua, pada sisi kedua ini terus berlanjut dari sisi pertama,
selain sudah khatam dan terampil pada penguasaan ilmu sosial dari dua
segi tersebut, mau tidak mau harus pula mengetahui setidaknya hukum
dalam kerangka teoritis maupun dalam kerangka praktikal.
Oleh karena itu sebuah kemewahan bagi mereka yang memilih melakukan
penelitian ilmu-ilmu sosial saat mengkaji “ilmu hukum”, hanyalah mereka
yang memiliki kemampuan mempelajari terlebih dahulu dua sudut ilmu
tersebut secara sistematikal dan metodik.

Sumbangsi terbesar ilmu sosial terhadap “disiplin ilmu hukum” harus diakui
member banyak kemajuan untuk pencapaian tujuan hukum yang sarat
nilai. Sebagaimana akar yang menyejarah dalam reliasme hukum “a tool of
social engineering”. Maka muncullah istilah baru dalam studi lapangam
hukum yang disebut “sociological jurisprudent”—- ilmu hukum
sosiologi. Tetapi untuk sudut pandang sociological jusriprudence ini pada
dasarnya juga bukanlah pencabangan ilmu hukum, melainkan hanya
sebagai aspek pengubah hukum yang lazim menjadi dasar bagi perumus
naskah UU dalam membentuk UU, kiranya perundang-undangan tersebut
segera diakukan revisi dengan tujuan mengakomodasi “segala perbuatan,
tindakan, tingka laku, tugas, fungsi, dan kewenangan, agar ada ketentuan
yang melegitimasinya.
Sumber Gambar: sosiologihukum-untar7.blogspot.com

Letak Cabang Sosiologi Hukum


Apakah benar sosiologi hukum merupakan cabang dari ilmu hukum? Dan
kalau jawaban iya, berarti salahlah dalam literatur dari beberapa buku
panduan “Pengantar Sosiologi” yang juga mengklaim kalau sosiologi
hukum merupakan pencabangan dari sosiologi khusus (terapan).

Bukti otentik bagi para pembaca setidaknya sudah pasti akan mengalami
kebingungan ketika mengecek beberapa pendapat dari ahli hukum yang
nyata-nyata dan tegas mengemukakan kalau sosiologi hukum juga sebagai
bagian dari pencabangan ilmu hukum. Diantara ahli hukum yang tergolong
sudah terkemuka membenarkan sosiologi hukum sebagai cabang ilmu
hukum diantaranya: J. van Apeldoorn, W.L.G., Lemaire , J.B.H. Bellefroid,
Ie Oen Hoc,k dan A. Halim Tosa.[7]
Bahkan salah satu pelopor ahli hukum yang selalu menjadi rujukanpun
ternyata masih membenarkan kalau sosiologi hukum dapat dibenarkan
sebagai cabang ilmu hukum. Dia adalah Mewissen[8] yang mendalilkan
bahwa abstraksi teoritikal atas gejala hukum terbagai atas tiga, meliputi:
ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Tampaknya pada abstraksi
teoritikal atas gejala hukum pertamalah yaitu ilmu hukum yang dibagi lagi
menjadi dua (ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik) seolah-oleh
sosiologi hukum masih mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari
cabang sosiologi hukum.
Maka dalam menyikapi kesesatan tersebut, pertanyaan selanjutnya
dimanakah sesungguhnya eksistensi ilmu hukum? Apakah termasuk ilmu
eksakta, ilmu sosial ataukah ilmu humaniora? Saat ini rata-rata orang
masih memperdebatkan kalau ilmu sosial berada dalam dua klasifikasi
ilmu. Dikatakan sebagai ilmu sosial sebab tugas ilmu hukum saat ini bukan
sekedar mencari hal-hal yang normatif dan hal-hal yang filsufis saja,
melainkan lebih dominan menyelesaikan masalah-masalah sokial. Bahkan
ilmu hukum katanya tidak berada dalam ruang hampa tetapi hadir di dalam
masyarakat, sehingga ilmu hukum sudah mestinya ditempatkan di ruang
ilmu sosial. Sementara mereka yang mengatakan kalau ilmu hukum
merupakan ilmu humaniora berargumentasi bahwa ilmu hukum lebih
banyak berurusan dengan masalah-masalah filsafat.

Jika diamati dengan cermat dari dua sudut pandang di atas sepertinya
paling masuk akal alasannya, adalah argumentasi yang dikemukakan oleh
mereka yang meletakkan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu sosial.

Tetapi dalam jangkauan yang lebih dalam, pastinya alasan yang


meletakkan ilmu hukum sebagai ilmu sosial sehingga pada asalinya bisa
melahirkan pencabangan sosiologi hukum. Pertanyaan mendasar yang
harus diajukan kepada mereka yang berkeyakinan demikian: apakah ilmu
hukum dapat mengkaji sosiologi? Sebaliknya lagi, apakah sosiolog dapat
diserahkan secara mandiri kepadanya membentuk perundang-undangan?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu, sangat tidak mungkin hal tersebut
akan terjadi.

Kalau hukum dianggap sebagai bagian dari kenyataan, bukan bahagian


dari logika, bukan bahagian dari penalaran. Berarti kalau dilihat hukum
sebagai kenyataan sosial maka kiranya tidak perlulah ada perskripsi untuk
menjelaskannya. Ingat! Sifat khas dari pada ilmu sosial tidak pernah
mempermasalahkan salah tidaknya sebuah kenyataan, oleh karena
memang sudah demikian adanya. Sementara ilmu hukum sendiri tidak
vakum berhenti di situ pada kenyataan semata, tetapi akan mereduksi
kenyataan sebagai kaidah yang patut dipertahankan ataukah harus
dihilangkan sebagian unsur kaidah primernya karena tidak sesuai dengan
kekekalan nilai kebaikan yang terdapat dalam rasio an sich.
Itulah sebabnya sudah benar ketika Bernard Arief Sidharta [9] dan Philipus
M. Hadjon[10] mengemukakan kalau ilmu hukum bukanlah sekedar hasil
pengamatan saja pada kenyataan yang bisa ditemukan, tetapi seorang
yuris setidak-tidaknya harus menciptakan. Kalaupun digunakan silogisme
deduktif maupun induktif seorang yuris tidak behenti pada tesis dan
antitesa dari bangunana teori yang sudah mapan. Pekerjaan
sesungguhnya bagi yuris adalah memformulasikan apa yang ditemukannya
melalui hasil pemikiran (nalar) sehingga dapat menciptakan kaidah hukum
dalam konsensus sejawat, kesepahaman diantara para ahli.
Berarti kalau demikian masalah klasiknya, hukum bukanlah sesutau yang
real atau berbau empiris semata. Ilmu hukum tetap harus dibingkai dalam
ontologi rasionalisme atau idealisme, bukan dalam wilayah ontologi
empirismi.

Ilmu hukum bukanlah ilmu sosial, ilmu hukum bukanlah sosiologi, ilmu
hukum bukanlah ilmu humaniora. Tetapi yang harus dipahami kalau ilmu
hukum merupakan ilmu sui generis sebagai ilmu terapan. Dikatakan sebagai
ilmu terapan di sini bukan pula dari terapannya ilmu-ilmu sosial, tetapi
terapan dari dirinya sendiri baik melalui penalaran konseptual, penalaran
dari hasil studi perbandingan dan penalaran berdasarkan hasil
penelaahaan kasus-kasus hukum.
Ilmu hukum sejatinya bukanlah mempelajari kenyataan tetapi ilmu hukum
lebih tepat mencari legal issue agar diperoleh saran yang sifatnya perskriptif
guna memberi sumbangsi bagi perumusan perundang-undangan.
Sehingga lebih dapat dibenarkan pendapat Jan Gijsells dan Mark van
Hocke dibandingkan pendapat Mewissen. Jan Gijsells dan Mark van Hocke
mengemukakan dari tiga lapisan ilmu hukum (dogmatik hukum, teori
hukum dan filsafat hukum) hanya ada dua disiplin hukum “murni” ilmu
hukum yaitu dogmatik hukum dan teori hukum. Selanjutnya mereka
menyatakan bahwa filsafat hukum sebagaimana sosiologi hukum, psikologi
hukum, sejarah hukum, logika hukum, termasuk ke dalam disiplin
induknya, yatu filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah dan logika.[11]
Dalam rangka memberi jawaban dari permasalahan dalam makalah ini,
sosiologi hukum bukanlah pencabangan dari ilmu hukum. Tetapi
merupakan pencabangan dari sosiologi. Aguste Comte, Emil Durkheim,
Max Weber, Talcolt Parson, Eugen Erlich, Roscoe Pound mereka adalah
ahli yang dapat dkatakan hasil pemikirannya bermuatan sosiologi hukum,
pendekatan yang mereka gunakan berasal dari teori-teori dasar sosiologi.
Sehingga dapat mengamati tahapan masyarakat dalam membentuk hukum
yang selalu dimaknai terjadi peubahan sosial, terjadi perubahan nilai, dan
terjadi perubahan lembaga-lembaga hukum. Satupun diantara mereka
tidaklah melahirkan ilmu hukum sebagai meta-kaidah menuju penciptaan
norma sebagai nilai dasar hukum, mutlak adanya bersifat perskriptif.

Sosiologi hukum merupakan cabang dari sosiologi itu sendiri.


Sebagaimana Soerjono Soekanto yang selalu dijadikan acuan dalam
penelitian hukum, tampaknya juga mengakui kalau sosiologi hukum
ternyata pencabangan sosiologi. Soerjono Soekanto tegas mengemukakan
“sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum,
sebagaimana halnya dengan sosiologi keluarga, sosiologi industri,
sosiologi politik dan sosiologi ekonomi”.

Pada hakikatnya pendapat Soerjono Soekanto[12] sedikit mengandung


kebenaran, sebab sudah meletakkan eksitensi sosiologi hukum sebagai
bagian dari cabang sosiologi. Cuma kelirunya meletakkan sosiologi hukum
sebagai sosiologi umum. Padahal bagaimana mungkin dapat dikatakan
sosiologi hukum merupakan sosiologi umum, kalau studi pengamatan dari
sosiologi dikhususkan pada ilmu hukum. Dalam hal ini mengamati
evektifitas normanya, perilaku aparat penegak hukum dan reaksi
masyarakat atas UU dan penegak hukum tersebut. Dengan demikian
kelirulah Soerjono Soekanto ketika mengatakan sosiologi hukum sebagai
cabang dari sosiologi umum, padahal tidak ada proses generalisasi untuk
semua lapangan keilmuan.

Sumbangsi Sosiologi Hukum dalam Lapangan Ilmu Hukum


Ilmu hukum adalah studi lapangan normatif, sedangkan sosiologi hukum
merupakan studi atau kajian yang bersifat empirik. Sehingga sosiologi
hukum yang memberikan sumbangsi terhadap ilmu hukum dapat dkatakan
pendekatan empirik terhadap hukum. Tidak mungkin terbalik dengan
menamainya pendekatan hukum empirik.
Dari berbagai penelusuran studi atau literatur sosiologi hukum, sosiologi
hukum lebih dominan melakukan telaah terhadap kenyataan sosial.
Manusia bukan untuk hukum, tetapi hukum untuk manusia. Tentunya
sosiologi hukum memiliki banyak peran untuk disiplin ilmu hukum yang
tertuang dalam bentuk kaidah ataukah norma.

Peter Mahmud Marzuki menguraikannya secara eksplisit, bahwa sosiologi


hukum yang berada dalam lapangan socio-legal. Kendatipun bukan
penelitian hukum tetapi setidaknya data digunakan dalam menganalisis
bebeberapa permasalahan hukum yang dianalogikan juga sebagai
permasalahan sosial. Diantaranya: (1) mencari jawaban atas efektivitas
suatu ketentuan (2) pengaruh faktor nonhukum terhadap peraturan hukum;
(3) peranan suatu institusi tertentu dalam penegakan hukum.[13]
Berdasarkan masalah-masalah yang menjadi sorotan dari sosiologi hukum
yang dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki tersebut, maka dapat
ditarik dua kunci pokok sumbangsi sosiologi hukum dalam lapangan ilmu
hukum, yaitu sebagai ilmu bantu dan sebagai dasar atau pijakan untuk
membangun argumentasi hukum kiranya perlu diadakan perubahan
terhadap regulasi tertentu yang tidak sesuai dengan konteks zaman.

Peranan sosiologi hukum sebagai ilmu bantu dapat mengidentifikasi tidak


efektifnya suatu peraturan berlaku karena faktor-faktor nonhukum seperti
sumber daya dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, akan
membantu bagi kalangan praktisi hukum, terutama perumus perundang-
undangan untuk segera melengkapi kekurangan peraturan tersebut, agar
daya keberlakuannya dapat efektif.

Sosiologi hukum yang memang melakukan kajian dominan terhadap pola


interaksi individu sehingga dapat dikatakan dalam sebuah tempat itu
terdapat masyarakat, dan lahirlah konsepsi empirik terjadi perubahan-
perubahan sosial pada masyarakat bersangkutan yang sudah pasti akan
menjelaskan gejala-gejala sosial yang baru terjadi pada komunitas itu.
Sosiologi hukum sangat berguna bagi penstudi hukum internal
merumuskan kebijakan hukum yang memang baru.

Sebagai contoh, dahulunya cracker yang melakukan tindakan pembobolan


terhadap akun rekening bank tidak dapat dianggap sebagai perbuatan
pidana. Tetapi berkat kerja keras sosiologi hukum mendeskripsikan kondisi
real dari setiap pola interaksi antar individu, muncul pola kejahatan baru
yang tidak terakomdasi melalui UU (KUHP).
Maka berdasarkan hasil penelitian sosiologi hukum itulah para yuris
bekerja sama dengan mereka yang betul-betul paham sosiologi. Sehingga
naskah akademik atas perumusan RUU untuk menjerat pelaku pembobol
Bank tadi dapat di jerat perbuatannya sebagai perbuatan pidana.
Perkembangan selanjutnya sudah tercapai hingga melahirkan kejahatan di
media online dapat terjerat melalui UU No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sedangkan sosiologi hukum sebagai bahan kajian yang sifatnya empirik
dalam memberikan sumbangsi untuk pembaharuan hukum, atau lebih
tepatnya kalau dikatakan reformasi hukum. Berbanding lurus dengan
sumbangsi pertama, sebagai ilmu bantu maka selanjutnya dapat menjadi
kerangka pijakan bagi yuris untuk melakukan reformasi terhadap
perundang-undangan.

Bahwa ada saja hukum tidak dapat diperlakukan sama dengan tempat
yang satu dengan tempat lainnya. Sebagaimana yang pernah
dikemukakan oleh Robert B Seidem “hukum tidak dapat ditransfer begitu
saja dari negara yang satu ke negara lain”.

In casu terhadap permasalahan ini menjadi pemicu sehingga masalah


keagrarian yang dulunya semata-mata hanya mengacu pada KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata berdasarkan hukum Belanda yang diadopsi melalui
asas konkordansi, maka konsep kepemilikan tanah dianut asas perlekatan.
Tampaknya, hasil pekerjaan dari sosiologi hukum meneliti setiap kominitas
di daerah Indonesia, kondisi real menunjukan kalau rata-rata penduduk di
setiap provinsi lebih banyak memeraktikan kebiasaan melakukan
pengelolaan tanah di atas tanah orang lain. Sehingga kondisi faktualnya
lebih cocok Indonesia dalam konsepsi kepemilikan tanah menganut asas
pemisahan horizontal. Yaitu tanah dan bangunan dan/atau benda di
atasnya harus dianggap terpisah. Bukan sebagai satu kesatuan
sebagaimana yang berlaku pada asas perlekatan.

Sehingga muncul ide, gagasan, atau konsepsi hukum yang harus dibangun
di atas landasan hukum yang mengkaidahi asas pemisahan horizontal
tersebut. Itulah dasar filsufis dan sejarah perundang-
undangannya (weetshitorical) melahirkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria yang mengakui asas pemisahan horizontal.

DAFTAR PUSTAKA:
Bernard Arief Sidharta. 2013. Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Damang Averroes Al-Khawarizmi. Mengembalikan Jati Diri Penelitian
Hukum. Gorontalo Post. 16 Oktober 2012.
Jan Gijsells dan Mark van Hocke. 1982. What is Rechtsthorie?. Kluwer.
Rechtsewetenschappen: Antreppen..
Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni. .
Munir Fuady. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama.
Philipus M. Hadjon. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakrta: Gadjah Mada
University Press.
Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta; Genta
Publishing Sadjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. 1965. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Soerjono Soekanto. 2011. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers.
http://topihukum.blogspot.com/2013/06/cabang-cabang-ilmu-hukum-menurut-
para.html
[1]Damang Averroes Al-Khawarizmi. Mengembalikan Jati Diri Penelitian
Hukum. Gorontalo Post. 16 Oktober 2012.
[2]Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi. 1965. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 16
[3]Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni. Hlm. 1 s/d. 15.
[4]Sadjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 107
[5]Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta; Genta
Publishing. Hlm. 121.
[6]Munir Fuady. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Hlm 96.
[7]http://topihukum.blogspot.com/2013/06/cabang-cabang-ilmu-hukum-menurut-
para.html
[8]Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama. Hlm.
5.
[9]Bernard Arief Sidharta. 2013. Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing. Hlm. 20.
[10]Philipus M. Hadjon. 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakrta: Gadjah Mada
University Press. Hlm. 9.
[11]Jan Gijsells dan Mark van Hocke. 1982. What is Rechtsthorie?. Kluwer.
Rechtsewetenschappen: Antreppen. Page. 10
[12]Soerjono Soekanto. 2011. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers. Hlm. 12.
[13] Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers. Hlm. 89.

Anda mungkin juga menyukai