Anda di halaman 1dari 36

Nama Trenggalek diketahui berasal dari kata Terang Ing

Galih. Kalimat tersebut memiliki arti “Terang di Hati”. Menak Sopal adalah
cerita rakyat yang lekat dengan asal-usul dari nama Trenggalek. Ia adalah seorang
tokoh babad alas Trenggalek, putra dari pasangan Dewi Amisayu, putri kadipaten
Trenggalek, dan Menak Sraba.
Dikisahkan dalam cerita legenda tersebut bahwa kata Terang ing Galih diucapkan
oleh Ki Ageng Sinawang selaku pengasuh dari Menak Sopal.
istilah Terang Ing Galih memiliki arti terang di hati atau hati yang jernih. Dengan
begitu, Trenggalek diartikan sebagai daerah yang mendapat karunia melalui hati yang
jernih

sal usul nama Trenggalek berawal dari legenda Menak Sopal.


agi warga Trenggalek, Menak Sopal adalah sosok Bapak Pertanian Trenggalek. Ketika
Trenggalek masih berbentuk rawa-rawa, Menak Sopal membendung Sungai Bagong untuk
menyelesaikan permasalahan kekeringan air yang membuat masyarakat menderita.
Dibangunnya bendungan itu juga bertujuan untuk mengeringkan rawa-rawa sehingga bisa
ditempati sebagai pemukiman oleh lebih banyak orang. Menak Sopal kemudian membuat sungai
untuk mengairi sawah yang sekarang ada di bagian timur Trenggalek.

Dalam buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek”, disebutkan bahwa asal usul nama Trenggalek
berasal dari kata Terang ing Galih, yang artinya terang di hati. Istilah Terang ing Galih berkaitan
dengan Legenda Menak Sopal.
Legenda Menak Sopal
Menak Sopal kecil dirawat oleh Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati. Saat tertidur
lelap di malam hari, bayi Menak Sopal mengeluarkan sinar seperti kunang-kunang. Mengetahui
hal itu, Raden Ayu Saraswati dan Ki Ageng Sinawang percaya sinar itu merupakan pertanda
bahwa Menak Sopal akan menjadi sosok pemuda yang luar biasa.

Ternyata benar dugaan kedua orang tua itu, Menak Sopal tumbuh dewasa menjadi lelaki yang
suka menolong orang lain dan pandai. Menak Sopal bisa dengan cepat menguasai ilmu-ilmu
yang diajarkan oleh Ki Ageng Sinawang. Selain itu, Menak Sopal juga berhasil menguasai ilmu
peninggalan Ki Sabra, yaitu ilmu malih rupa. Jika ilmu itu digunakan, Menak Sopal bisa berubah
wujud menjadi seekor harimau yang besar.

Pada suatu ketika, penduduk desa di sekitar Padepokan Sinawang (tempat tinggal Menak Sopal)
menderita karena kekurangan air. Masalah itu membuat masyarakat sering berkelahi karena
berebut air belik (sumur kecil) di tepi Sungai Bagong. Menak Sopal ingin membantu para
penduduk yang sedang kekurangan air. Kemudian, ia menelusuri kondisi di sekitar Sungai
Bagong.

Setelah beberapa hari menyelidiki Sungai Bagong, Menak Sopal memutuskan untuk
membendung air di Sungai Bagong. Menak Sopal mengumpulkan para pemuda dari desa di
Padepokan Sinawang untuk membangun bendungan. Murid-murid Ki Ageng Sinawang juga
turut membantu membuat bendungan. Bendungan atau Dam Bagong akhirnya bisa selesai tanpa
butuh waktu yang lama.

Akan tetapi, setelah Dam Bagong baru dibangun, tiba-tiba Dam Bagong ambrol. Lantas, Menak
Sopal, para pemuda, dan murid-murid Padepokan Sinawang segera memperbaikinya. Tetapi,
lagi-lagi Dam Bagong ambrol setelah diperbaiki.

Akhirnya, Menak Sopal menggunakan kesaktiannya untuk mengetahui siapa yang mengganggu
pekerjaannya. Melalui mata batinnya, Menak Sopal melihat seekor Buaya Putih besar yang
sedang merusak Dam Bagong dengan sabetan ekornya.
Ilu
strasi sosok Buaya Putih/Foto: Pen History (YouTube)
“Hei, Buaya Putih! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau rusak bendungan itu?” tanya Menak
Sopal dengan kekuatan batinnya.

“Aku merusaknya karena kau tak memberiku makan dulu sebelurn membuat bendungan di
sungai kekuasaanku,” jawab Buaya Putih.

“Apa makanan kau inginkan?” Menak Sopal bertanya lagi.

“Aku ingin makan kepala seekor Gajah Putih. Kalau kau bisa mencarikannya untukku, aku
berjanji tak akan merusak bendungan ini lagi!” kata buaya putih yang kemudian menghilang dari
pandangan mata batin Menak Sopal.

Menak Sopal menyampaikan keinginan Buaya Putih itu kepada para pemuda dan murid-murid
padepokan.

“Kepala Gajah Putih? Hanya Mbok Randa di Desa Krandon yang memelihara gajah berwarna
putih. Tapi apa iya dia mau menyerahkan pada kita untuk kita potong?” kata seorang pemuda.

“Jadi Mbok Randa Krandon memiliki Gajah Putih? Baiklah, aku akan ke sana untuk meminjam
Gajah Putih itu. Serahkan urusan ini padaku. Kalian tunggulah di sini,” ujar Menak Sopal.

Kemudian, Menak Sopal segera berangkat ke Desa Krandon untuk menemui Mbok Randa. Ia
ditemani oleh seorang pemuda yang tahu letak rumah Mbok Randa. Ketika sampai di rumah
Mbok Randa, Menak Sopal menyampaikan keinginannya untuk meminjam Gajah Putih milik
Mbok Randa selama tiga hari.

“Kami meminjam hanya untuk tiga hari saja. Setelah itu kami akan mengembalikannya!” tutur
Menak Sopal.

“Kalau ada apa-apa nanti, siapa yang bertarwang jawab?” tanya Mbok Randa Krandon.

“Yang bertanggung jawab adalah Padepokan Sinawang. Aku adalah murid Ki Ageng
Sinawang!” jawab Menak Sopal.

“Oh, jadi kalian suruhan Ki Ageng Sinawang? Aku kenal baik dengannya. Baik, aku pinjamkan
Gajah Putihku untuk tiga hari. Setelah tiga hari, tolong segera kalian kembalikan!” kata Mbok
Randa.

M
enak Sopal meminjam Gajah Putih milik Mbok Randa/Foto: Cerita Rakyat dari Trenggalek
(Buku)
Menak Sopal kemudian membawa pergi Gajah Putih dari Desa Krandon. Gajah Putih langsung
dibawa ke tempat dibangunnya Dam Bagong. Gajah Putih lalu disembelih. Kepalanya
dilemparkan ke dalam Sungai Bagong.

Setelah itu, Dam Bagong dibangun kernbali. Ketika Dam Bagong selesai, Dam Bagong tidak
ambrol lagi. Dam Bagong segera penuh terisi air. Belik-belik di sepanjang Sungai Bagong
kembali dipenuhi air.
Tiga hari berlalu setelah Menak Sopal meminjam Gajah Putih Milik Mbok Randa. Seharusnya,
Menak Sopal sudah mengembalikan Gajah Putih itu ke Mbok Randa. Akan tetapi, hingga satu
bulan lebih, Gajah Putih itu belum kembali. Akhirnya, Mbok Randa marah. Ia mengumpulkan
seluruh penduduk di Desa Krandon untuk menyerang Padepokan Sinawang.

Di tengah perjalanan menuju Padepokan Sinawang, Mbok Randa tiba-tiba bertemu dengan
Menak Sopal yang sedang keliling desa.

“Kau kan Menak Sopal? Pemuda yang meminjam Gajah Putihku. Ayo mana, sekarang
kembalikan!” hardik Mbok Randa Krandon.

Ilu
strasi sosok Gajah Putih/Foto: Pen History (YouTube)
“Maafkan aku, Mbok Randa. Gajah Putih itu sudah kusembelih. Kepalanya kuberikan pada
Buaya Putih penguasa Sungai Bagong. Buaya itu berjanji, setelah makan kepala Gajah Putih, ia
tak akan merusak bendungan yang kubangun. Sebab, bendungan itu untuk membantu memenuhi
kebutuhan air para penduduk dan petani,” Menak Sopal menerangkan dengan jujur.
Tapi, Mbok Randa tidak percaya dengan kata-kata Menak Sopal. Kemudian, ia menyuruh
penduduk Desa Krandon untuk menghajar Menak Sopal. Menak Sopal tak mau melawan. Ia
memilih berlari menyelamatkan diri.

Penduduk Desa Krandon terus mengejar. Menak Sopal terpojok. Dengan ilmu malih rupanya, ia
berhasil menyelamatkan diri. Ia lalu terjun ke dalam Dam Bagong.

Mbok Randa menyuruh para penduduk Desa Krandon untuk menunggu Menak Sopal muncul
dari Dam Bagong. Mbok Randa pun bergegas pergi ke Padepokan Sinawang. Di sana, Ki Ageng
Sinawang dan Raden Ayu Saraswati menyambut Mbok Randa dengan ramah.

Awalnya, Mbok Randa ingin meminta kembali Gajah Putih miliknya. Ki Ageng Sinawang,
menjelaskan bahwa Gajah Putih itu sudah disembelih dan kepalanya diberikan pada Buaya Putih
di Sungai Bagong.

“Hal itu dilakukan oleh Menak Sopal agar buaya putih itu berhenti merusak bendungan. Bila
bendungan tidak rusak, maka kebutuhan air para penduduk dan petani dapat tercukupi. Tidak
sulit seperti sekarang ini!” jelas Ki Ageng Sinawang.

“Jadi benar apa yang dikatakan Menak Sopal tadi? Aku salah kira. Kukira dia berbohong. Kalau
memang Gajah Putihku digunakan untuk membantu membangun bendungan, aku rela,” ucap
Mbok Randa.

“Terima kasih, Mbok Randa Krandon! Semoga terang ing penggalihmu [terang di hatimu], ini
membawa kemakmuran bagi penduduk di sekitar sini. Nanti, jika daerah ini sudah ramai, akan
kuberi nama Terang ing Galih!” ujar Ki Ageng Sinawang.

“Tapi? Bagaimana dengan pemuda yang bernama Menak Sopal itu? Ia baru saja terjun ke dalam
bendungan,” tanya Mbok Randa.

“Jangan khawatir, Mbok Randa. Ia pasti kembali dengan selamat,” jawab Raden Ayu Saraswati.

Para Pewaris Semangat Menak Sopal


Demikianlah Legenda Menak Sopal, versi buku “Cerita Rakyat Dari Trenggalek” karya Edy
Santosa dan Jarot Setyono. Nama “Terang ing Galih” itu kemudian diyakini sebagai asal usul
nama Trenggalek. Terlepas bagaimana kebenaran asal usul nama Trenggalek, Edy Santosa dan
Jarot Setyono, menyampaikan bahwa Legenda Menak Sopal sangat dikenal oleh masyarakat
Trenggalek hingga hari ini.
Nama Menak Sopal menjadi nama stadion di Kabupaten Trenggalek (Stadion Menak Sopal).
Sosok Gajah Putih juga menjadi logo klub sepak bola Persiga Trenggalek. Selain itu, nama
Menak Sopal juga menjadi nama aplikasi dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Disdukcapil) Trenggalek, yaitu Siminaksopal, singkatan dari Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan Secara Online Paket Lengkap.
Lebih dari itu, Dam Bagong yang dibangun oleh Menak Sopal itu masih ada hingga sekarang,
tepatnya di Kelurahan Ngantru, Kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek. Sungai di Dam
Bagong itu juga tetap mengaliri air untuk sawah petani. Dalam konteks sejarah dan kebudayaan,
semangat untuk mengenang perjuangan Menak Sopal juga diwujudkan dalam tradisi turun-
temurun yang dikenal sebagai Upacara Nyadran di Dam Bagong.

Upacara Nyadran itu tidak dilakukan dengan menyembelih dan memenggal kepala gajah Putih.
Tapi kini masyarakat Trenggalek menyembelih kepala kerbau untuk dilempar ke Sungai
Bagong. Tentunya, kini kepala kerbau itu tidak dimakan oleh Buaya Putih. Akan tetapi, setelah
kepala kerbau dilempar, masyarakat berebut kepala itu dengan suka ria. Bagi yang mendapatkan
kepala kerbau, akan memasaknya dan dimakan bersama-sama temannya.

W
arga Kelurahan Ngantru Trenggalek larung kepala kerbau sebagai wujud rasa syukur/Foto:
Kabar Trenggalek
Tak hanya Dam Bagong, Makam Menak Sopal juga masih ada hingga sekarang. Letak Makam
Menak Sopal tidak jauh dari Dam Bagong. Hingga hari ini, Makam Menak Sopal dikeramatkan
oleh masyarakat Trenggalek. Makam Menak Sopal menjadi tempat ziarah napak tilas perjalanan
sejarah yang dilakukan oleh masyarakat setiap menjelang Hari jadi Trenggalek (31 Agustus,
sesuai keterangan di Prasasti Kamulan).
Legenda Menak Sopal memberi pelajaran kepada masyarakat Trenggalek untuk menghargai
perjuangan para leluhur dalam merawat ruang hidup dan menjaga kelestarian lingkungan.

Masyarakat Trenggalek yang mewarisi semangat perjuangan Menak Sopal tentu akan melakukan
berbagai upaya untuk melestarikan lingkungan demi kelangsungan hidup bersama serta demi
masa depan generasi penerus Trenggalek.

Hari ini, semangat perjuangan Menak Sopal juga diwarisi masyarakat Trenggalek yang sedang
berjuang menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman kerusakan oleh tambang emas. Salah
satu alasan penolakan tambang emas karena masyarakat tak ingin sumber air yang ada di
Trenggalek rusak dan hilang akibat eksploitasi tambang emas.

Bisa dibilang, masyarakat Trenggalek tak ingin mengalami penderitaan yang lebih parah
daripada penderitaan yang pernah dialami para leluhur saat kekurangan air di zaman Menak
Sopal dahulu.

: Tari Turangga Yaksa. Merupakan tarian khas Kabupaten Trenggalek.

Sejarah
Salah satu tokoh terkenal di Trenggalek adalah Dyan Arya Menak Sopal lebih
dikenal dengan nama Menak Sopal, salah seorang bupati atau penguasa
Trenggalek. keterangan resmi mengenai Menak Sopal belum banyak ditulis,
akan tetapi situs berupa makam dapat dijumpai di dusun Bagong, kelurahan
Ngantru, kecamatan Trenggalek. Menak Sopal dikenal sebagai pahlawan
bagi kaum tani di Trenggalek, usahanya untuk membangun sebuah dam atau
waduk beserta saluran irigasi yang menyertainya berkembang menjadi
sebuah legenda yang mengiringi tradisi sedekah bumi yang sampai saat ini
dilaksanakan oleh kaum tani di kelurahan Ngantru pada bulan Sela. konon,
saat membangun waduk tersebut, Menak Sopal dan pengikutnya mengalami
kesulitan karena selalu saja bangunan yang membendung kali Bagong itu
jebol. setelah bertapa beberapa hari akhirnya, Menak Sopal mengetahui jika
penyebab jebolnya bangunan waduk tersebut karena ulah siluman bajul putih
yang menguasai sungai tersebut. setelah bertemu dengan siluman bajul
putih, akhirnya sang siluman bersedia untuk tidak mengganggu pekerjaan
besar Menak Sopal dengan meminta tumbal seekor gajah yang berkulit putih
pula. singkat cerita dengan sedikit tipu muslihat, Menak Sopal berhasil
menyediakan tumbal Gajah Putih kepada Bajul Putih. Untuk diketahui pemilik
Gajah Putih di daerah Wengker hanya ada satu orang yaitu seorang janda di
daerah Ponorogo.
Prasasti Kamulan.

Adapun hari jadi Kabupaten Trenggalek ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 1194 Masehi,
berdasarkan Prasasti Kamulan yang ditemukan di daerah ini. Sedangkan pemerintahan
Kabupaten Trenggalek modern mulai berdiri sejak Perjanjian Gianti tahun 1755 yang membuat
Mataram Islam menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Sejak itu, daerah Kabupaten
Trenggalek masuk dalam wilayah Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1830 atau setelah Perang
Diponegoro, Trenggalek memperoleh bentuknya yang nyata sebagai wilayah administrasi
pemerintahan di bawah Hindia Belanda. Kota Gaplek

Prasasti Kamulan adalah prasasti yang lengkap yang menyebutkan kapan


dibuatnya dan siapa yang memerintahkan membuatnya. Dalam prasasti ini
dicantumkan tahun pembuatannya yakni tahun 1116 Caka (1194 M)
dikeluarkan oleh Raja Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawantara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa atau biasa dikenal dengan
nama Kertajaya.Tanggal 31 Agustus 1194 adalah Hari jadi Kabupaten
Trenggalek yang ditetapkan berdasarkan Prasasti Kamulan.

Pasca Prasasti Kamulan tidak ada data prasasti atau peninggalan yang dapat
digunakan untuk menyusun sejarah terutama di bidang politik dan
pemerintahan. Tetapi pemerintahan Trenggalek terus berjalan dan tetap
menjadi daerah otonomi. Dalam masa pasca Prasasti Kamulan, Trenggalek
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri dengan bukti pengaruh
kebudayaan Kediri. Setelah kekuasaan beralih ke Majapahit maka wilayah
Trengalek berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Terbukti banyak
sekali peninggalan-peninggalan masa Majapahit yang tersebar di Trengalek
yang sebagian besar berupa Lingga – Yoni.

Trenggalek adalah tempat yang jauh (pedalaman) dari Ibu Kota Pusat
Pemerintahan Mataram, Kahuripan, Kediri dan juga Majapahit. Maka lahirlah
kata-kata Trenggale. Treng artinya bagian dalam (pedalaman) atau
jauh. Gale artinya tempat atau menolak. Jadi Trenggale artinya tempat yang
jauh atau pedamalamn tempat menolak mara bahaya. Dari kata Trenggale
lama-lama berubah menjadi Trenggalek atau Trenggalek. Teori lain
mengatakan bahwa kata Trenggalek berasal dari kata Trenggalek. Kata
Trenggaluh dari kata Trenggaluh. Treng dari kata terang artinya terang atau
cemerlang, kata Galuh artinya intan berlian. Jadi Trenggaluh berarti Intan
berlian yang cemerlang. (Lap. Inventarisasi ODCB Kab.Trenggalek, 2016)
Dari jaman Kediri hanya ada beberapa hal yang dapat dicatat, utamanya
pada masa ini munculnya prasasti Kamulan yang terletak di Desa Kamulan
Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek.
Bertolak dari prasasti Kamulan dapatlah diajukan suatu masa lahirnya
Perdikan Kamulan. Di dalam prasasti Kamulan dicantumkan tahun
pembuatannya yaitu tahun 1116 caka atau tahun 1194 masehi. Prasasti tadi
dikeluarkan oleh Raja Sarweswara Trikramawataranindita Srngga Lancana
Dikwijayotunggadewa atau biasa dikenal dengan nama Kertajaya. Raja inilah
yang berhasil mengusir musuh musuhnya dari daerah Katang – katang berkat
bantuan rakyat Kamulan.
Berdasarkan atas prasasti inilah ditetapkan “Hari jadi Kabupaten Trenggalek
pada hari” Rabu Kliwon “tanggal 31 bulan Agustus tahun 1194. Hari dan
tanggal tersebut dijadikan hari jadi atau hari lahirnya Kabupaten Trenggalek .

Bcrtolak dari Prasasti Kamulan dapatlah diajukan suatu masa yakni lahirnya Perdikan Kamulan.
Di dalam Prasasti Kamulan dicantumkan tahun pembuatannva yakni tahun 1116 Caka atau tahun
1194 Masehi. Prasasti tadi dikeluarkan oleh Raja Sri Sarweswara Trikramawa- taranindita
Srengga Lencana Dikwija- yotungadewa atau biasa dikenal dengan nama Kcrtajaya. Raja inilah
yang berhasil mengusir musuh-musuhnya dari daerah Katang-Katang berkat bantuan rakyat
Kamulan. Berdasar atas Prasati inilah ditetapkan “Hari Jadi Kabupaten Trenggalek ” pada hari ”
Rabu Kliwon tanggal 31 Agustus tahun 1194. Hari dan tanggal tersebut dijadikan Hari Jadi atau
Hari lahirnya Kabupaten Trenggalek berdasarkan data sejarah yang ditemui di Trenggalek,
antara ain :

 Pertama, Prasejarah daerah trenggalek menunjukkan bahwa daerah itu telah dihuni manusia tapi
jaman ini bersifat masih nisbi sekali.
 Kedua, Prasasti kampak tidak jelas hari dan tanggalnya kapan Prasasti itu dilaksanakan isinya.
 Kctiga, hanya Prasasti Kamulan yang mcniiliki informasi cukup lengkap.

sehingga mampulah Prasasti Kamulan dijadikan tonggak sejarah lahirnya Kabupaten Trenggalek
secara analitis, historis, yuridis formal yang dapat di pertanggung jawabkan.

Sejarah Kabupaten Trengalek mcmang unik, hal ini tercermin dalam periodisasinya yang pernah
mengalami masa penggabungan.Periode Trenggalek awal yang mengetengahkan perkembangan
dinamika poleksosbud Trengalek kurang lebih 1830 M sampai 1932 yang dilanjutkan dengan
masa Trenggalek revolusi fisik.

isebutkan bahwa istilah Terang ing Galih diucapkan oleh Ki Ageng Sinawang (pengasuh Menak
Sopal), kepada Mbok Randa, yang telah mengikhlaskan Gajah Putih miliknya dikorbankan
untuk Buaya Putih. Buaya Putih menginginkan kepala Gajah Putih sebagai syarat untuk tidak
merusak Dam Bagong yang dibangun Menak Sopal dan masyarakat.

“Kalau Terang ing Galih itu hanya gothak gathik mathuk, seperti kerata basa di bahasa Jawa.
Seperti kuping, kaku njepiping. Gedhang, digeget bar madhang. Sama saja seperti Trenggalek,
Terang ing Galih. Itu tidak bisa melacak asal usul, itu hanya sekedar menciptakan makna baru
bagi nama lama,” ucap Surur.
Asal-usul Trenggalek versi Kota Gaplek, juga dikritik oleh Surur. Versi itu merupakan tafsiran
dari penelitian yang dilakukan Teguh Budiharso, akademisi dari Universitas Mulawarman.
Teguh Budiharso membuat penelitian yang berjudul ‘Meluruskan Sejarah Trenggalek Kota
Gaplek: Studi Heuristik Foklor Panembahan Batoro Katong, Joko Lengkoro Dan Menak Sopal’.

Teguh Budiharso dalam penelitiannya menyatakan, menurut Manuskrip Kraton Kasunanan


Surakarta, nama Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek atau daerah penghasil gaplek
(makanan yang diolah dari ubi ketela pohon atau singkong). Dalam manuskrip itu, disebutkan
nama Galek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah
Wawa (924-928).

“Memang benar kalau Trenggalek itu salah satu daerah penghasil gaplek, tapi keterkaitannya
dengan nama Trenggalek itu saya kira agak jauh. Malah itu hanya othak-athik, karena bingung
juga mau mencarinya kan, akhirnya ya dikait-kaitkan gitu. Meskipun Pak Teguh itu di tulisannya
cukup meyakinkan, tapi menurut saya itu juga belum menggambarkan. Tidak ada kaitannya
nama Trenggalek dengan gaplek,” jelasnya.
Bahkan, dalam Prasasti Kampak (929) maupun Prasasti Kamulan (1194), juga tidak
menyebutkan nama Trenggalek. Meski demikian, secara pribadi, Surur lebih menerima asal-usul
nama Trenggalek dari Trenggale, versi Abdul Hamid Wilis, dalam buku Selayang Pandang
Sejarah Trenggalek, meskipun versi ini juga tafsiran tanpa data pasti yang kuat.
Dalam Kamus Kawi Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito (1977), kata “Treng”
berarti bagian dalam, sedangkan “gale” artinya menolak. Sehingga, menurut Hamid Wilis,
Trenggalek berasal dari kata Trenggale, artinya tempat yang jauh atau pedalaman tempat
menolak marabahaya.
Trenggale juga diartikan tempat evakuasi (pengungsian/persembunyian/pelarian/buronan) serta
tempat konsolidasi untuk menyusun kekuatan kembali. Dari kata Trenggale, lama-lama bergeser
atau mingset menjadi Trenggalek. Tambahan huruf k pada “Trenggalek” ditafsirkan sebagai
paragog atau proses penambahan bunyi pada akhir kata dari huruf e dalam

PETRUK

Petruk biasa disebut Punakawan. Punakawan sendiri berasal dari kata Puna yang berarti
‘paham’ dan Kawan yang berarti teman.

Dalam dunia perwayangan, Punakawan diidentikkan dengan sosok yang mengabdi pada seorang
raja.

Punakawan tidak hanya sekedar menjadi abdi atau suruhan raja saja, namun juga menjadi
kelompok penebar humor, mencairkan suasana hingga memahami apa yang sedang menimpa
majikan atau raja mereka.

Bahkan, punkawan juga dapat menjadi penasehat raja dan ksatria saat lupa diri.

Meskipun Petruk digambargan sebagai tokoh jenaka dalam dunia pewayangan, Petruk juga
dikenal juga sebagai tokoh yang tak dapat disangka-sangka pemikirannya.

Orang menganggap Petruk sebagai seorang abdi yang bodoh dan tak tahu apa-apa.

Petruk seringkali memberikan nasehat bijak, terutama dalam hal kepemimpinan politik saat
negeri kahyangan mengalami kekacauan.

Yuk simak fakta Petruk selengkapnya berikut ini!

masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai adhiluhung dalam memaknai hidup. Nilai


tersebut tercermin dalam dunia pewayangan yang menjadi pedoman hidup bagi
orang Jawa. Salah satu tokoh pewayangan yang dikenal luas adalah Petruk,
tokoh Punakawan. Menurut legenda, Petruk dan Punakawan digubah oleh para Wali
yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa atau disebut Wali Sanga. Dan
merupakan asimilasi budaya Hindu dengan budaya Islam.

Berdasarkan pandangan tersebut, Petruk berasal dari kata Fatruk berasal dari makna
tasawuf ‘Fat-rukkulla maa siwallahi’. Yang artinya, tinggalkan semuanya kecuali
Allah (Tuhan). Karena lidah orang Jawa susah mengucapkannya, maka muncullah
kata Petruk. Namun tidak mengurangi makna filosofis keberadaan sang tokoh.
Kemunculan sosok Petruk pun tersohor di berbagai kalangan masyarakat Jawa, mulai
dari para pejabat hingga orang biasa
Petruk merupakan salah satu tokoh fiksi dalam dunia pewayangan Jawa. Bersama tokoh
lainnya, Gareng, Bagong dan Semar, Petruk disebut dengan Punakawan. Punakawan sendiri
berasal dari kata Puna yang berarti ‘paham’ dan Kawan yang berarti teman. Dalam dunia
perwayangan, Punakawan diidentikkan dengan sosok abdi atau suruhan dari seorang
raja. Punakawan tidak hanya sekedar menjadi abdi atau suruhan raja semata, namun juga
menjadi kelompok penebar humor, mencairkan suasana hingga memahami apa yang sedang
menimpa majikan atau raja mereka. Bahkan punkawan juga dapat menjadi penasehat raja
dan ksatria saat lupa diri.

Layaknya dua kutub dalam kehidupan yakni baik dan buruk, punkawan pun
demikian. Ada punkawan kanan yang disebut Prepat (Gareng, Petruk, Bagong, dan
Semar) berugas membimbing raja mereka kearah yang baik. Punakawan kiri
atau Kiwa adalah Punakawan berawatak angkara murka yang menebar kebencian
seperti Togog dan Bilung. Kedua kelompok Punakawan membuat strategi mereka
dalam mempengaruhi seorang raja atau majikan mereka.

Hal yang lumrah dalam dunia nyata, selalu ada kelompok ‘pembisik’. Akan selalu ada
orang yang berwatak licik guna kepentingan sendiri dan kelompoknya. Namun, disisi
lain ada pula kelompok dengan perawakan jenaka, kurang memiliki prejengan atau
tampang menjadi pemimpin menjadi penasihat dengan membawa hal baik bagi
kepentingan bersama, kepentingan rakyat atau istilah Jawanya yang dipakai dalam
dunia pewayangan adalah sikap ‘Memayu Hayuning Bawono’.

Dibalik atribusinya sebagai tokoh jenaka dalam dunia pewayangan, Petruk bersama
tokoh Punkawan Prepat lain (Gareng, Semar, dan Bagong) dikenal pula sebagai
tokoh yang tak dapat disangka-sangka pemikirannya. Orang menganggap Petruk
sebagai seorang abdi yang bodoh dan tak tahu apa-apa. Petruk seringkali
memberikan petuah bijak, terutama dalam hal kepemimpinan politik saat
negeri kahyangan mengalami gara-gara (kekacauan).

Petruk memang tokoh fiksi, namun Petruk sebagai refleksi dalam ranah kebudayaan
tergolong dalam Cultural Morphology sebagaimana dikemukakan Johan Huizinga
yang dikutip oleh Kuntowijoyo. Cultural Morphology, adalah suatu usaha
melukiskan pola kehidupan, kesenian, dan pikiran secara keseluruhan. Dan Petruk
adalah sebuah gambaran tersebut.

Petuah Ki Petruk Bagi Para Pemimpin


Petruk lahir dari negeri antahberantah dunia pewayangan, bahkan dalam lakon
wayang sendiri kelahirannya tidak dijelaskan secara detail. Petruk menuliskannya
lewat lelakon fiksi melalui dunia pewayangan. Banyak petuah yang ia berikan mulai
dari bertingkah polah seorang pemimpin terhadap rakyatnya hingga urusan remeh-
temeh pun Petruk memahaminya.

Baginya, ‘Kawula Iku Tanpa Wates, Ratu Kuwi Anane Mung Winates’ (Rakyat itu
tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas). Disini Petruk pun melihat
bagaimana hubungan antara rakyat dan penguasa saling mempengaruhi, pemimpin
tidak akan tercipta tanpa adanya rakyat. Petruk juga mengingatkan adanya
pembatasan kekuasaan agar layaknya konstitusi dalam negara demokrasi. Raja juga
harus mendapatkan pengakuan dari rakyatnya (kawula) dan sebisa mungkin
menciptakan susana harmonis guna menciptakan ‘Sabaya Mati Sabaya Mukti’ yakni
sinergi antara rakyat dan pemimpin.

Hal tersebut perlu dilakukan agar raja atau pemimpin tidak ‘Koncatan Wahyu’ atau
ditinggalkan rakyatnya, istilah politisnya adalah kehilangan legitimasi. Hal ini cukup
beralasan, karena legitimasi merupakan faktor yang penting dalam menjalankan
sebuah kekuasaan. Tanpa adanya legitimasi maka jalannya pemerintahan tersebut
dapat kita katakan tidak sah karena tidak didukung oleh masyarakat mayoritas.

Dalam lakon ‘Petruk Dadi Ratu’ terdapat scene dimana Petruk


kehilangan Pethel (Kapak Kecil), alat yang digunakannya untuk memotong kayu
sebagai

wong cilik. Pethel tersebut merupakan citra dan identitas diri Petruk.
Hilangnya pethel Petruk membuat dirinya menjadi seolah kehilangan sesuatu yang
amat penting baginya, ia tidak bisa bebruat banyak tanpanya.

Sebenarnya, scene tersebut merupakan sebuah kritik bagi sebuah entitas bangsa yang
sedang mengalami kehilangan citra dan identitas diri. Bangsa yang kehilangan citra
diri dan identitasnya akan kesulitan menghadapi segala bentuk tantangan
kebangsaan kedepan. Oleh karena itu penting kiranya untuk selalu menjaga citra dan
identitas diri menjadi sebuah bangsa yang ‘Memayu Hayuning Bawono’, terutama
bagi negeri kita yang bergerak menuju arah yang lebih baik.

Untuk menjadi seorang pemimpin terutama pemimpin politik, Petruk


mencontohkannya dengan daun kates (pepaya). Kenapa daun pepaya? bagi sebagian
orang daun pepaya memang pahit, namun daun kates berfungsi sebagai obat
penyembuh penyakit. Begitupula kehidupan dan politik, walaupun kadang hidup itu
pahit tak jarang pula terkadang menghasilkan sebuah kemajuan dan obat bagi bangsa
yang sedang sakit jika dijalankan secara benar dan sinergi antara rakyat dan
pemimpin yang bagi Petruk disebut ‘Manunggal Kawula Gusti’.

Untuk itu, bagi seorang pemimpin dan seorang manusia diperlukan lima “M” sikap
ala Petruk sebagai berikut :

1. Manembah, selalu ingat kepada Sang Pencipta dalam setiap tindakannya


2. Marambah, mampu berada di depan memberi kebaikan.
3. Murakabi, bermanfaat bagi orang banyak.
4. Mapan, memiliki ketahanan fisik dan mental yang tangguh.
5. Mituhu, memiliki loyalitas tinggi pada konstitusi dan norma yang berlaku di
masyarakat
6. Petruk Sang Pembawa Kabar Baik

7. Dari refleksi diatas, setidaknya kita dapat belajar bagaimana menjalani


kehidupan dan menjadi seorang pemimpin ala ajaran Ki Petruk atau Prabu
Belgeduwelbeh di negeri Karang Kedhempel, negeri fiksi pewayangan Jawa.
Intinya, paling tidak ada dua makna besar sebagaimana digambarkan dalam
petuah Petruk. Yakni bagaimana kita hidup untuk saling bersinergi antar
sesama. Kedua adalah bagaimana kita untuk menciptakan suatu tatanan yang
lebih baik dalam menjalani kehidupan.

8. Petruk adalah tokoh penebar rasa perdamaian bagi sesama. Dalam petuahnya,
dia juga pernah menyebutkan bahwa ‘
NULADHANI PARAGA WAYANG PETRUK

Bocah-bocah, sampean kabeh wis tepang paraga wayang kang diarani


Petruk? Ya, ing crita pewayangan Mahabharata dicritakake, Petruk iku
putrane Semar. Petruk nduwe sedulur loro, yaiku Gareng lan Bagong.
Bebarengan karo Semar, gareng, lan Bagong, Petruk kalebu punakawan.
Punakawan dumadi saka tembung Puna kang ateges ‘mangerti/paham’
lan Kawan kang ateges ‘kanca/batur’. Dadi punakawan bisa ditegesi kanca
kang tansah mangerti.
Ing crita pewayangan, Punakawan minangka abdine raja. Minangka
Abdi, Punakawan tansah meruhi lan mangerteni marang apa kang dirasakake
rajane. Nalika sang raja lagi nandhang susah lan duhkita, punakawan kuda
caos panglipur. Ewadene menawa negara lagi ana prahara, punakawan uga
bisa caos pitutur marang sang raja.
Miturut Petruk, ‘Kawula Iku Tanpa Wates, dene Ratu Anane Mung
Winates’. Unen-unen kasebut mengku werdi menawa panguwasane sang
raja iku winates. Panguwasa ora bakal ana tanpa anane rakyat utawa
kawula. Mula, panguawasa kudu bisa nuwuhake kahanan kang ayem
tentrem kanggo mujudake ‘Sabaya pati Sabaya Mukti’ yaiku manunggaling
ing antarane panguwasa lan kawulane.
Supaya dadi panguwasa kang utama, Petruk nggabarake kayadene
godhong kates. Kanggo saperangane wong, godhong kates pancen pahit.
Ananging, sejatine bisa kanggo tamba kang ampuh. Semono uga, tumrap urip
ing donya iki. Kalamangsa kaya-kaya sangsara, ananging menawa dilakoni
kanthi bener lan anane manunggaling ing antarane panguwasa lan kawulane
saengga bisa mujudake ‘Manunggaling Kawula Gusti’.

Mula Petruk aweh wejangan, menawa dadi panguwasa kudu mujudake 5 M,


yaiku:

1. Manembah, karepe kudu tansah eling marang Gusti kang murbeng


dumadi saengga pocapan lan tumindake tansah kajaga
2. Marambah, mengku werdi bisa paring patuladhan apik mring sasama
3. Murakabi, ateges nduweni mupangat mring sasama
4. Mapan, ateges nduweni raga dan mental kang tangguh.
5. Mituhu, ateges ngabekti marang agama, negara, lan masyarakat.

Babad Tulungagung

 Administrator

 23 Jan 2019, 16:24:16 WIB

 Artikel

 Dibaca:10306 Kali

SambungFacebookTwitterWhatsAppPrint

PERGURUAN PACET

Pada jaman pemerintahan Majapahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit,
sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak dapat dikuasai. Sering
disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar
manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru
umumnya juga merupakan mata telinga daripada perguruan negara. Demikian juga
hubungannya dengan perguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal
dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET. Kyai Pacet mengajarkan ngeilmu
Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :

1. Pangeran Kalang dari Tanggulangin.

2. Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.

3. Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.


4. Kyai Kasanbesari tua-tua dari dukuh Tunggul.

5. Kyai Singotaruno dari dukuh Plosokandang.

6. Kyai Sendang Gumuling dari desa Bono.

7. Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).

Pada suatu hari Kyai Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-
muridnya. Pada pertemuan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet
juga menceritakan bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan paguron,
tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu gurunya. Kyai KasanBesari merasa
tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan paguron
sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus trang
oleh sang guru tersebut.

Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Kasanbesari meninggalkan tempat
pesamuan.

Dengan kepergian Kyai Kasanbesari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh
dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk menasehati
Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bonorowo untuk tetap
menjadi murid Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedua muridnya tersebut?
karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam
juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan
tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-muridnya yang lain supaya mereka
mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan
mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua
adalah Pangeran Lembu Peteng.

KYAI KASANBESARI INGIN MEMYNUH KYAI PACET

Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah
terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran
Bedalem dan Pangeran Kalang dalam wawancaranya Pangeran Bedalem mengatakan,
bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia
akan terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan
Kyai Kasanbesari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berotak dan membunuh
gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo
dengan tujuan membunuh Kyai Pacet.

Pada waktu Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke
dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi dengan tanpa diketahui oleh pihak yang
mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam
penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap menerkamnya.
Kyai Kasanbesaridan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang-
langgang. Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet memanggil
Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah
waktu Kyai Pacet sedang bersemadi. Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa ia
tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG”, dan setelah dilihatnya tampaj bahwa Kyiai
Pacet memegang cahaya yang kemudian diberi nama Kyai Gledhug, sedang desa
dimana Kyai bersemedi sampai sekarang bernama Gledhug.

Selesai bersemedi Kyai Pacet segera mengejar kedua oramg yang sedang berlari itu.
Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan ilmu kanuragannya
dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet
mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular
besar. Kedua bintang itu berkelai, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan
berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita
kekalahan oeh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. KyaiKasanbesari terus berlari
melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke
padepokan untuk mengerahkan semua muridnya guna menangkap Kyai Kasanbesari
dan Pangeran Kalang. Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan
dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-
temannya dapat berjumpa dengan Kyaibesari dan Pangeran Kalang. Timbullah
peperangan yang ramai. Akhirnya Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu,
sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pngeran Lembu Peteng.

Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada
waktu itu putera dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di
Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang
bersembunyi di ditu, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara
kandung ayahnya).

Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke Tamansari untuk mencari Pangeran


Kalang. Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore.
Putri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu. Pangeran
Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan asmaranya. Roro
Kembangsore mengimbanginya.

Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langen asmara, maka Pangeran Kalang
yang sedang bersembunyi di Tamansari dapat mengintip dan mengetahui bagaimana
tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam
Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut
kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem setelah mendengar
pelaporan dari adiknya, menjadi sangat larah sekali, terus pergi ke Tamansari.
Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran
Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus
dikejar oleh Pangeran Bedalem.

Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan dir dari peperangan
dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Becak, yaitu
pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama
dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan
kedatangan Kyai Besari kedua anaknya tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.

Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu bermaksud untuk


meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama
Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDERI PARI”. Kyai Becak tidak
meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai
Becak kalah dan mati terbunuh. Besari terus pergi dengan membawa pusaka
Korowelang.

Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat
ayahnya berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain
yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin
bahwa pembunuh ayah mereka adalah Kyai Besari. Segera mereka mengejarnya ke
arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah pertempuran. Banguntulak dan
Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu.
Maka tempat di mana ia mati dinamakan Boyolangu. Sedangkan tempat dimana
Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.

Kyai Besari melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang


sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang
peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya
segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro
Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di
tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng
dapat ditangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya di buang ke dalam sungai. Roro
Kembangsore dapat meloloskan diri.

Punakawan Pangeran Lembu Peteng yang telah mengasuhnya sejak kecil


memberitahukan hal tersebut kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan
utusan,ialah Adipati Trenggalek yang diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu
Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Mojopahit. Dalam perjalanan mereka bertemu
dengan perwira Mojopahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat
tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah
Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan peristiwa terbunuhnya
Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti duduk perkaranya maka Perwira Mojopahit
bersama dengan Pangeran Suka tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu
bersama-sama dengan wadya balanya. Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk
mencarinya, namun jazad dari Pangeran Lembu Peteng tak jua ditemukan. Sungai
dimana jenazah Pngeran Lembu Peteng dibuang, oleh perwira Mojopahit diberi nama
Kali Lembu Peteng.

PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI

Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara
Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya
maka Pangeran Bedalem bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung.
Kedung tersebut lalu diberi nama Kedung Bedalem. Oleh karena Kadipaten Betak
lowong, maka yang diangkat menggantikan Pangeran Bedalem adalah Pangeran
Kalang.

Bala tentara Mojopahit disebar untuk mencri Kyai Besari. Putra Mojopahit yang
bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi pencarian ini kena dirunduk oleh
Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung hinga meninggal dunia. Kedung
ini lalu dinamakan Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa
Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh karena Kyai Besari tidak menyerah maka timbullah
peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka
Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan dukuh Tunggulsari. Karena
kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan
konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat elar Patih Gajah
Mada.

PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA RORO INGGIT


Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawan oleh Rr.
Inggit, adik dari Reta Mursodo janda almarhum pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin
dijadikan istrinya, tetapi menolak dan retno Mursodo tidak menyetujuinya. Pangeran
Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama dengan retno Mursodo meninggalkan Betak
dan melarikan diri ke Plosokandang. Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi
kehilagan jejak, sehingga ia mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa
barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten Betak tetapi tidak mau melapor,
maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

KYAI PLOSOKANDANDANG DIPERSALAHKAN

Salah seorang murid Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno, disebut pula Kyai
Plosokandang, karena berasal dari Plosokandang. Pada suatu hari ia bertemu dengan
dua orang putri dari Kadipaten Betak, yang tak lain adalah Rr, Inggit dan Retno
Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai
Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh retno
Mursodo diceritakan semua, dan karena Kyai Singotaruno tidak berkeberatan
melindunginya, meskipun ia tahu bahawa tindakannya itu membahayakan dirinya.

Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya apakah Kyai Singotaruno


mempunyai tamu yang berasa dari Betak. Kyai Sin gotaruno menjawab bahwa ia tidak
mempunyai tamu seorangpun, tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin melihat ke
belakang. Rr. Inggit dan Retno Mursodo ketika mendengar hal itu segera berkemas dan
melarikan diri ke arah barat. Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah
kepada Kyai Singotaruno. Ia dianggap salah dan dijatuhi hukuman gantung.

RORO INGGIT BUNUH DIRI

Oleh karena Rr, Inggit takut bila sampai di pegang oleh Adipati Kalang, maka ia
berputus asa dan terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Desa tempat Rr. Inggit
bunuh diri oleh Pangeran Kalang dinamakan desa Beji. Adapun Retno Mursodo terus
melarikan ke gunung cilik.

mBOK RORO DADAPAN

Ketika Pangeran Lembu Peteng perang melawan Kyai Besari, Rr.Kembangsore dapat
memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan. Di desa tersebut ia menumpang pada
seorang janda bernama mBok Rondo dadapan. mBok Rondho mempunyai seorang
anak laki-laki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh
kecantika Rr. Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak
dengan halus oleh Rr. Kembangsore. Oleh karena Joko Bodho selalu mendesak maka
pada suatu hari ketika mBok Rondho sedang bepergian , asalkan Joko Bodho mau
menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodho menyetujui
perdyaratan tersebut dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh
mBok Rondho Dadapan.

Rr. Kembangsore juga pergi ke gunung cilik, maka ketika mBok Rondho pulang, ia
mendapati rumah telah dalam keadaan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi ke kesana-
kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya ditemukannya Joko Bodho sedang duduk termenung menghadap ke arah
bart. Dipanggilnya berulang kali tidak mendapat jawaban, karena jengkelnya mBok
rondho lupa dan mengumpat “bocah diceluk kok meneng bae koyo watu”. Seketika itu
juga kaena sabda mBok Rondho, Joko Bodho berubah menjadi batu. mBok Rondho
menyadari atas keterlanjuran kata-katanya, maka ia lalu berharap; “besok kalau ada
ramainya zaman gunung ini saya beri nama gunung Budheg”.

RESI WINADI DI GUNUNG CILIK

Pada suatu hari Adipati Kalang mendengar bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta
wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut
sebetulnya adalah Rr. Kembangsore. Selain menjadi seorang pendeta ia juga menjadi
seorang empu. Resi ini mempunyai dua orang abdi kinasih yang bernama SARWO dan
SARWONO.

Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke kadipaten Betak untuk
mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu
dengan pusaka milik Pangeran Kalang. Cara mengadunya adalah sebagai berikut!
Kalau pusakanya ditikamkan ke sebuah pohon beringindaunnya rontok dan pohonnya
tumbang maka dialah pemenangnya. Selanjutnya, bilamana resi Winadi yang kalah
maka Resi bersedia tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya jika resi yang
menang dan pangeran berkeinginan untuk memiliki pusaka miliknya maka pangeran
harus pergi sendiri ke Gunung cilik dan bila sudah mulai naik harus berjalan jongkok,
tidak boleh memandang wajah sang resi sebelum diperbolehkan.

Setelah cntrik mengerti akan tugas yang diberikan, berangkatlah ia. Kecuali menugasi
Sarwo, Resi Winadi juga memberi tugasSarwono untuk masuk ke tamansari Betak
dengan menyamar untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di tamansari. Adapun
letaknya adalah di bawah batu gilang.
Setelah datang di Betak, cantrik Sarwo menhadap Adipati Kalang dan mengutarakan
maksudnya. Sang Adipati menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa
senjata pusaka ke alun-alun untuk diadu kekuatannya. Pusaka Kadipaten Betak dicoba
terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi
apapun. Sekarang giliran pusaka gunung cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringinpun
langsung rontok dannya dan tumbang pohonnya.

Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut.
Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati Kalang bersedia menyetujuinya. Dengan diantar
oleh cantrik Sarwo, dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah
Pangeran Kalang ke Gunung Cilik.

Di tamansari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat lidi segera
mencari dan menemukan sabut tersebut. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu
pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak-pun banjir dan terendam
oleh air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek

DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK

waktuSarwono sedang menghadap Resi Winadi, datanglah Ibunya Rr. Mursodo. Maka
saling berceritalah tentang riwayatnya masing-masing. Tak lupa disebutkan pula
tentang kematian Rr. Inggit yang dikarenakan Pangeran Kalang. Mereka sangat
gembira karena dapat bertemu kembali. Kemudian datanglah Patih Mojopahit engan
bala tentaranya yang ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya. Pada saat
itu tampak dari kejauhan kedatangan dua orang. Yang seorang datang dengan berjalan
jongkok dan menyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh
cantrik Sarwo. Setelah dekat Sang Resi memerintahkannya supaya memandangnya.
Alangkah malu dan terkejutnya Pangeran Kalang. Karena yang disembah-sembahnya
tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut Pangeran Kalang
melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh tentara Mojopahit.

PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH

Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan
dihujani senjata tajam, sehinga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka.
Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini dinamakan CUWIRI. Meskipun telah
terluka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tetapi tertangkap lagi dan
badannya disembret-sembret oleh anak buah Patih Gajah Mada. Tempat tertangkap
untuk kedua kalinya ini dinamakan desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah diapun
bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh
patih Gajah Mada dinamakan Kali Ngesong. Setelah keadaan aman patih Gajah Mada
kembali ke Majapahit.

Mayat Pangean Kalang yang berada di dalam song lama kelamaan terbawa arus
sampai ke timur sampai ke suatu tempat. Mayat (batang—bhs. Jawa) tersangkut pada
akar pohon yang menjulang ke sungai, sehingga sampai sekarang tempat di mana
ditemukannya mayat tersebut dinamakan desa Batangsaren. Tidak lama kemudian
mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas
pertapaan Rr. Kembangsore hingga sekarang, menjadi tempat pesadranan.

ASAL MULA NAMA TULUNGAGUNG

Sejarah menyatakan bahwa nama TULUNGAGUNG tidaklah timbul dengan tiba-tiba.


Telah banyak musim silih berganti, berikut masa-masa yang dilaluinya, yang semuanya
itu meninggalkan kenangan tersendiri di dalam riwayat terjadinya Kota
TULUNGAGUNG. Apa yang dapat kita kenangkan dari nama TULUNGAGUNG di
dalam riwayat lama, sebenarnya adalah suatu tempat lingkaran yang berpusat di
sekitar alun-alun termasuk desa Kauman dan Kampungdalem.

Tulungagung berasal dari kata TULUNG dan AGUNG. Kata TULUNG mempunyai dua
arti :

Pertama : TULUNG dalam bahasa Sansekerta artinya SUMBER AIR atau dalam
bahasa Jawa dapat dikatakan umbul.

Kedua : TULUNG yang berarti pemberian, pertolongan atau bantuan.

Adapun AGUNG berarti besar.

Jadi lengkapnya TULUNGAGUNG mempunyai arti arti “SUMBER AIR BESAR atau
“PERTOLONGAN BESAR”

Meskipun SUMBER AIR, dan PERTOLONGAN itu berlainan artinya, namun di dalam
sejarah Tulungagung keduanya tidak dapat dipisahkan karena mempunyai hubungan
erat sekali dalam soal asal mula terbentuknya daerah maupun perkembangannya.
Dahulu orang menyebutnya kabupaten Ngrowo, ialah sesuai dengan keadaan
daerahnya yang berupa rawa-rawa. Lalu lintas perhubungan dilakukan melalui sungai,
terutama lewat sungai yang sekarang masih disebut sungai Ngrowo. Oleh sebab itu
tidaklah heran bila letak daerah-daerah yang disebutkan orang-orang dalam sejarah
maupun cerita-cerita rakyat kesemuanya tidak jauh dari sungai letaknya. Misalnya :
Gledhug, Pacet, Waung, Ketandhan, Tawing, dll.

Sebelum dijadikannya kabupaten daerah-daerah tersebut dikuasai oleh para


Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.

Di daerah Nrowo banyak terdapat sumber air. Diantara sumber air yang termasuk
besar sekarang sudah menjadi alun-alun. Tempat di sekitar alun-alun inilah yang
dinamakan Tulunagung yang berarti sumber air yang besar. Dahulu daerah Ngrowo itu
tidak seluas sekarang. Semenjak katumenggungan diubah menjadi kabupaten, maka
diperluaslah daerahnya. Tulungagung menerima wilayah dari kabupaten di sekitarnya
pada abad ke-19. kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut, Kabupaten Ponorogo
menyumbang daerah pegunungan Trenggalek,dan Pacitan memberi daerah Pantai
selatan, seperti Prigi, Ngrayun, Panggul, dan Jombok. Dengan demikian pada zaman
dahulu Tulungagung meliputi daerah Trenggalek juga. Bantuan daerah tersebut
meriupakan bantuan yang sangat besar bagi masyarakat Tulungagung.

Nama-nama Bupati / Kepala Daerah yang pernah memegang PEMERINTAHAN

1. KYAI NGABEHI MANGUNDIRONO

bupati Ngrowo di Kalangbret

2. TONDOWIDJOJO

bupati Ngrowo di Kalangbret

3. R.M. MANGOENNEGORO

bupati Ngrowo di Kalangbret

4. R.M.T. PRINGGODININGRAT

bupati Ngrowo di Tulungagung 1824-1830


5. R.M.T. DJAJANINGRAT

bupati Ngrowo di Tulungagung 1831-1855

6. R.M.A SOEMODININGRAT

bupati Ngrowo di Tulungagung 1856-1864

7. R.T. DJOJOATMOJO

bupati Ngrowo di Tulungagung 1864-1865

8. RMT GONDOKOESOEMO

bupati Ngrowo di Tulungagung 1865-1879

9. RT SOEMODIRJO

bupati Ngrowo di Tulungagung 1879-1882

10. RMT PRINGGOKOESOEMO

bupati Ngrowo di Tulungagung 1882-1895

11. RT PATOWIDJOJO

bupati Ngrowo di Tulungagung 1896-1901

12. RT COKROADINEGORO

bupati Tulungagung 1902-1907

13. RPA SOSRODININGRAT

bupati Tulungagung 1907-1943

14. R. DJANOEISMADI
Kenchoo Tulungagung 1943-1945

15. R. MOEDAJAT

bupati Tulungagung 1945-1947

16. R. MOCHTAR PRABU MANGKUNEGORO

bupati Tulungagung 1947-1950

17. R. MOETOPO

bupati Tulungagung 1951-1958

18. DWIDJOSOEPARTO

kepala daerah Tulungagung 1958-1960

19. KASRAN

bupati Tulungagung 1958-1959

20. R. SOERYOKOESOEMO

Pd. Buoati 1959-1960

21. M. POEGOEH TJOKROSOEMARTO

bupati/kepala daerah 1960-1966

22. R. SOENDARTO

Pd. Bupati/Kep.Daerah 1966-1968

23. LETKOL (U) SOENARDI

bupati/kepala daerah 1968-1973


24. LETKOL INF. MARTAWISOEROSO

bupati/kepala daerah 1973-1978

25. SINGGIH

bupati/kepala daerah 1978-1983

26. DRS.MOH. POERNANTO

bupati/kepala daerah 1983-1987

27. DRS. H. JAIFUDIN SAID

28. IR. HERU CAHYONO, M.Si

Sekarang

maaf bila terdapat kesalahan penulisan nama dan gelar, tolong untuk koreksi

Sumber : http://nirwan1998.wordpress.com/2009/12/03/babad-tulungagung-2/

Teladan sang Puntadewa


31 Jan @Kolom

Puntadewa dalam pewayangan digambarkan sosok manusia yang sabar,


beriman, tekun beribadah, jujur, dan ikhlas. Dengan memiliki kepribadian
yang mulia inilah maka tokoh ini diibaratkan manusia berdarah putih.
Puntadewa merupakan tokoh wayang yang berhati suci, membela kebenaran.
Tidak pernah menyakiti orang lain, dan tidak pernah merasa tersakiti
bila dibully sesamanya.
Karakter baik yang dicontohkan Puntadewa ini selayaknya perlu kita
implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita yang hidup
di negara yang kaya akan keragaman perlu menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa dengan cara saling menghormati, berpikiran positif terhadap orang
lain, serta tidak mudah terprovokasi bujukan negatif. Melakukan ujaran
kebencian antar sesama jelas jauh dari watak Puntadewa.

Puntadewa adalah putra tertua atau putra sulung dari Prabu Pandudewanata (Prabu Pandu) dari Negara
Astina.

Puntadewa lahir dari ibu bernama Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari
negara Mandura.

Puntadewa memiliki dua orang adik kandung Werkudara (Bima) dan Janaka (Arjuna).

Sementara, terdapat dua orang adik kembar dari lain ibu, bernama Nakula dan Sahadewa (Sadewa).

Nakula dan Sadewa adalah adik Puntadewa yang lahir dari ibu Dewi Madrim, putri Prabu
Mandrapati dari negara Mandaraka.

Puntadewa dikisahkan sebagai adalah titisan Batara Darma.

Lantas, seperti apa karakter dan watak Puntadewa yang merupakan putra sulung Pandawa Lima?

Puntadewa memiliki karakter dan watak sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan.

Selain itu, Puntadewa dikenal tekun dalam agamanya, tahu cara membalas budi dan selalu
bertindak adil dan jujur.

Puntadewa juga dikenal pandai bermain catur.

Diceritakan, setelah Pandawa berhasil membangun negara Amarta di hutan


Mertani, Puntadewa dinobatkan sebagai raja negara Amarta bergelar Prabu Darmakusuma.

Selain itu, Puntadewa juga bergelar Prabu Yudhistira.

Sebutan Prabu Yudhistira sering disematkan kepada Puntadewa karena dalam tubuhnya
manunggal arwah Prabu Yudhistira.

Prabu Yudhistira dikisahkan sebagai raja jin negara Martani.

Prabu Puntadewa kemudian menikah dengan Dewi Drupadi, putri Prabu Drupada dengan Dewi
Gandawati dari negara Pancala.

Prabu Puntadewa mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama Kyai Tunggulnaga
dan sebuah tombak bernama Kyai Karawelang.

Dalam perang Baratayuda, Prabu Puntadewa tampil sebagai senapati perang Pandawa.
Puntadewa berhasil menewaskan Prabu Salya, raja negara Mandaraka.

Sesudah berakhirnya perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa menjadi raja negara Astina bergelar
Prabu Kalimataya.

Ing crita Mahabharata wayang Jawa, diterangake menawa Puntadewa (Yudhistira) duwe gaman
arane jimat layang Kalimasada.

Ana sing ngarani yen satemene Kalimasada kuwi Kalimah Syahadat (paseksen Gusti lan Rasul
tumrap muslim). Ana uga sing nafsirake menawa kuwi Limang Sada/Saka (5 Pilar), bisa uga karepe
"paugeran cacahe 5", utawa "tetales 5 prekara" memper Pancasila minangka dhasaring negara. Ya
sumangga. Ora apa-apa. Wong pancen kabeh kuwi sadarma pambudidaya negesi lan merdeni amrih
migunani.

NULADHANI WATAK LAN TUMINDAK PRABU PUNTADEWA

Puntadewa yaiku satriya pambarepe Pandhawa. Panjenengane kagungan


adhik tunggal ibu cacah loro, yaiku Werkudara lan Janaka. Dene, adhine kang
seje ibu yaiku nakula lan sadewa. Minangka putra mbarep, Puntadewa tansah
maringi patuladhan becik marang adhi-adhine. Amarga wateke kang becik lan
bebudene kang utama, mula Puntadewa karan minangka satriya kang
nduweni getih putih. Nyangapa kok nganti diarani mangkono? Ya, amarga
panjenengane tansah sregep ngibadah, sabar, jujur, ikhlas, adil, lan nrima ing
pandum.

Sajroning uripe, Puntadewa tansah nengenake kabecikan. Mrangguli jejibahan


kanthi tanggung jawab lan mrantasi prakara kanthi ati kang wening. Mula,
panjengane ora tau duwe musuh.

Sawise Pandhawa kasil mbabad alas Mertani, banjur Puntadewa diangkat dadi
raja ing negara Ngamarta lan kaparingan gelar Prabu Yudhistira. Nalika dadi
Raja, Prabu Puntadewa tansah ngayomi kawulane. Mula kawulane uga tresna
marang prabu Puntadewa.

Prabu Puntadewa kagungan pusaka kerajaan kang awujud songsong utawa


payung karan Kyai Tunggulnaga lan pusaka awujud tombak karan Kyai
Karawelang. Kajaba iku, Prabu Puntadewa uga kanugrahan pusaka awujud
serat yaiku jimat kalimasada. Ana sing ngarani satemene Kalimasada kuwi
Kalimah Syahadat (paseksen Gusti lan Rasul tumrap muslim). Ana uga sing
nafsirake menawa jimat kalimasada kuwi Limang Sada/Saka (5 Pilar), bisa
uga karepe "paugeran cacahe 5", utawa "tetales 5 prekara" memper Pancasila
minangka dhasaring negara. Kabeh kuwi sadarma pambudidaya negesi lan
merdeni amrih migunani.

Surjan juga disebut pakaian takwa. Oleh karena itu di dalam pakaian
itu terkandung makna filosofi yang cukup dalam, di antaranya bagian
leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang
kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Surjan juga memiliki
dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan.

Surjan adalah salah satu model pakaian adat Jawa yang konon
pertama kali diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Surjan disebut sebagai
'pengagem taqwa' (baju takwa). Surjan berasal dari kata 'sirajan'
yang mempunyai arti pepadhang (pelita). Selain sebagai identitas
budaya, surjan ternyata mempunyai makna dan filosofi spritual
yang dalam. Makna dan arti surjan, berkenaan dengan sifat-sifat
ideal dalam hubungan sesama manusia dan Sang Pencipta
oleh Agung

Sesungguhnya, pakaian adat yang disebut Surjan mempunyai makna filsafat tentang jati diri masyarakat
Jawa. Secara harfiah, filosofi berakar dari kata filsafat. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani, yang
memiliki pengertian cinta kearifan. Menurut Sri Sultan Hamengkubuwana X, filsafat dimaknai sebagai
hasil perenungan jiwa manusia melalui pandangan reflektif yang mendasar, mendalam, dan menyeluruh
sebagai pandangan hidup manusia. Sementara, Rama Zoetmulder mengatakan bahwa filsafat merupakan
sarana untuk mencapai kesempurnaan.
Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat di atas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai
selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga
sekarang ini.

Pakaian takwa sering disebut ‘Surjan‘ (sirajan) yang berarti ‘pepadhang‘ atau pelita. Di dalam
ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan negara dan punggawa kerajaan memiliki jiwa dan
watak satria. Watak ini tidak akan lepas dari sifat-sifat ‘nyawiji‘, bertekad golong-gilig baik
berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia.
Sifat ‘greget‘ (tegas bersemangat), ‘sengguh’ (percaya diri penuh jati/harga diri) dan sifat ‘ora
mingkuh‘ (tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban) adalah sifat dasar dari figur
satria Ngayogyakarta. Sifat-sifat yang ideal ini semakin ditegaskan dengan ‘pengageman takwa‘.
Bentuk pakaian takwa (surjan) adalah, lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing
3 pasang (berjumlah 6), dua kancing di dada kanan kiri, tiga buah kancing tertutup.
Dalam perkembangannya, pihak Keraton Yogyakarta membuat ‘Surjan Ontrokusuma‘ yang bermotif
bunga (kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukanlah kain
polos ataupun lurik buatan dalam negeri. Namun untuk ‘Surjan Ontrokusuma‘ terbuat dari kain sutra
bermotif hiasan berbagai macam bunga. ‘Surjan Ontrokusuma‘ ini hanya khusus sebagai pakaian para
bangsawan Mataram. Ketika dalam lingkungan Keraton baju ini hanya boleh dipakai oleh Sri Sultan saja
ataupun oleh Pangeran Putra Dalem itupun atas perintah dari Sri Sultan sendiri.

Filosofi Surjan
Surjan menurut KRT Jatiningrat Tepas Dwarapura, bangsawan Keraton Yogyakarta berasal dari
istilah ‘sira‘ dan ‘jan‘ yang berarti pelita atau yang memberi terang. Surjan juga disebut pakaian
takwa. Oleh karena itu di dalam pakaian itu terkandung makna-makna filosofi yang cukup
dalam, di antaranya bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang
kesemuanya itu menggambarkan rukun iman.
Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-
kitab, iman kepada Utusan Allah, iman kepada Hari Kiamat, iman kepada Takdir. Selain itu
surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah
simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah dan Wa Ashaduanna
Muhammada Rasulullah.
Ada pula tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak
kelihatan) dari luar. Hal ini menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus
diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu ‘aluamah‘, ‘amarah‘, dan
‘supiyah‘. Terdapat 5 kancing pada bagian lengan panjang kiri dan kanan. Angka 5 lazim
berkaitan dengan rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) dan juga lima priyagung
dalam Islam yakni Nabi Muhammad, kanjeng Sayidina Ngali, Gusti Sri Ayu Patimah, Gusti
Bagus Kasan, dan Gusti Bagus Kusen (penamaan berdasar pengucapan logat Jawa).
Jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya
tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang
terkandung makna filosofi yang dalam. Pakaian takwa ini di dalam lingkungan Keraton
Yogyakarta hanya diperkenankan dipakai oleh raja (sultan) dan para pangeran putra raja saja.

ehingga baju yang digunakan tidak hanya melekat pada tubuh mereka namun juga diresapi
sebagai pengingat tingkah laku yang berbudi luhur.
NILAI FILOSOFIS AGEMAN SURJAN

Bocah-bocah, sampean kabeh wis padha ngerti sing diarani Surjan? Surjan
yaiku salah sawijining ageman Jawa awujud klambi lengen dawa kaya sing
kok gawe meneri dina Kemis minggu ganjil ngana kae. Surjan bisa arupa motif
lurik utawa kembang-kembang. Istilah Surjan dumadi saka tembung ‘sirajan‘
kang ngemu teges pepadhang utawa kang menehi terang.

Surjan diripta/diciptakake dening Sunan Kalijaga. Saliyane minangka


identitas budaya, Surjan pranyata mengku werdi lan filosofi spiritual kang
jero. Surjan uga diarani pengagem taqwa. Nyangapa kaya mangkono. Amarga
ing bageyan gulone ana benik cacahe telung (3) pasang utawa 6 iji kang
nggambarake rukun iman tumrap kaum muslim. Ing bagian dhadha kiwa lan
tengen, ana benik cacahe 2 minangka simbol dua kalimah syahadat. Ing njero
bagean dhadha cedhak weteng, ana benik cacah 3, kang ora ketara disawang
saka njaba. Iki nggambarake 3 nepsu manungsa kang kudu dipeper, yaiku
nepsu aluamah/pepinginan mangan lan ngombe, nepsu amarah, lan nepsu
Supiyah. Ing bagean lengen kiwa lan tengen, ana benik cacahe 5 kang
nggambarake rukun Islam yaiku syahadat, shalat, puasa, zakat, lan haji.

Mula, Cah, saiki sampeyan kabeh ora perlu isin utawa minder yen nyandhang
menganggo klambi Surjan. Malah kepara, sampeyan kudu marem lan
bombong nalika nganggo Surjan amarga pranyata yen Surjan iku ngemu nilai
filosofis kang luhur.

Anda mungkin juga menyukai