Anda di halaman 1dari 77

Program Nasional Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery

Standard Carbon Kendaraan


dan Feebate/Rebate Fiscal Policy
Percepatan Kendaraan Listrik
Usulan Naskah Akademi - Kendaraan Nir Emisi
• Subsidi Kendaraan Listrik yang Tidak Membebani APBN
• Roda 2-3 sebagai polluters terbesar adalah strategic trigger elektrifikasi lalu lintas
jalan raya.

Secara nasional (2019) beban emisi pencemaran udara dari kendaraan bermotor sebesar 39.754,51 ton/hari; dan secara
keseluruhan, sepeda motor merupakan pencemar terbesar (68,80%) diikuti oleh mobil bensin, truk, bus, mobil solar dan roda
tiga. Sementara emisi CO2 kendaraan adalah 699.674,31 ton/hari, secara agregat sepeda motor tetap merupakan penghasil
emisi terbesar (40,83%), diikuti oleh truk, bus, mobil bensin, mobil solar dan kendaraan roda tiga. Penetapan standard Carbon
yang diikuti oleh kebijakan insentif/disinsentif fiskal berupa pengenaan cukai Carbon atas setiap grCO2/km yang diemisikan
oleh kendaraan yang tak memenuhi standard, dan sebaliknya mengganjar subsidi untuk kendaraan yang memenuhi standard
(polluter pay principle), adalah trigger akselerasi penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia tanpa harus membebani APBN.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 1
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Supported by

KEMENTERIAN KOORDINATOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEMENTERIAN ENERGI


BIDANG MARITIM DAN INVESTASI DAN KEHUTANAN DAN SUMBER DAYA MINERAL KEMENTERIAN PERHUBUNGAN

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 2
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Program Unggulan Nasional Kendaraan Listrik

Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy


Percepatan Kendaraan Listrik
Usulan Naskah Akademis - Kendaraan Nir Emisi
• Subsidi Kendaraan Listrik yang Tidak Membebani APBN

Disusun oleh Ahmad Safrudin, Mega Kusumaningkatma, Amalia S Bendang, Alfred Sitorus, Muhammad Agung mengacu pada masukan,
saran, dan analisis ahli terkait dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (Direktorat Jenderal EBTKE, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal MIGAS),
Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan (Badan Kebijakan Fiskal, Ditjen
Bea Cukai), BAPPENAS (Direktorat Transportasi dan Direktorat Lingkungan Hidup), dan aktor non-negara: Universitas Indonesia,
Universitas Trisakti, Institut Teknologi Bandung, Gesits, Volta, Nozomi, U-Bike, PT INKA, PT Trans Jakarta, Bakri Otopart/BYD,
Tesla, MAB, Higer Maju Indonesia, MAN, Scania/PT United Tractor, Hyundai, Nissan, PERKELINDO, GAIKINDO, AISI, Bosh,
Indonesia Battery Corporation, PT PLN Persero, PT Mayasari Bakti, PPD, IESR, ITDP, ICCT, CO -ACTION, Madani, WWF Indonesia,
WRI, Karya Kencana, Traction Energy, Walhi, YLKI, dan pemangku kepentingan terkait lainnya; melalui proses dialog kebijakan,
pertemuan, diskusi publik, FGD, lokakarya, selain itu pencarian aspirasi melalui media sosial dan media arus utama yang berlangsung dari
tanggal 1 April hingga 31 Juli 2022. Proses dialog ini merupakan kelanjutan dari dialog kebijakan sejak 2012 dengan focus pada kebijakan
LCEV (Low Carbon Emission Vehicle) dan masih berlanjut dalam rangka perumusan kebijakan teknis pengadaan kendaraan listrik
(produksi, distribusi, layanan purna jual, dan proses tender untuk pemerintah dan korporasi, khususnya BUMN yang mengutamakan
pengadaan EV), strategi komunikasi, dan advokasi reformasi kebijakan dan regulasi yang mendukung ekosistem untuk penetrasi pasar
kendaraan listrik.

Proses persiapan ini dikawal oleh KPBB dengan dukungan fasilitas dari Yayasan ClimateWorks. Masukan, saran dan analisa tambahan
dapat disampaikan ke alamat kontak di bawah ini. Copyright @KPBB, diizinkan untuk mengutip dan atau menyebarkannya dengan
menyebutkan sumber.

Secretariat:
Facilitated by th
Sarinah Building 9 Floor
Jalan MH Thamrin # 11 Jakarta
Indonesia 10350
Phone/Fax: +62-21-3190 6807
Twitter: @infokpbb
FB: Info KPBB
Ig : infokpbb
e-mail: kpbb@kpbb.org
www.kpbb.org
CP (Ph/WA): Nurul +62 888-7233-731
Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 3
Amel +62 856-7706-934
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Alfred +62 812-8398-9897
Daftar Isi
Daftar Isi 4
Singkatan 6
Pengantar 9
A. Latar Belakang 11
a. Konsentrasi Pencemaran Udara 12
b. Beban Emisi 12
c. Tantangan 12
B. Rumusan Masalah 15
1. Krisis Minyak Mentah 15
2. Penetapan Harga Bahan Bakar 19
3. Rantai Pasokan Bahan Bakar 22
4. Dana Minyak Mentah 23
5. Beban Pasokan Bahan Bakar 24
6. Kendaraan Rendah (Nir) Emisi Carbon dan Daya Saingnya: Hambatan Perdagangan Int’l Baru 25
7. Standard Carbon Kendaraan dan Manfaat Ekonomi 29
8. Standard Karbon Kendaraan untuk Akselerasi Kendaraan Rendah Emisi Karbon 30
9. Peta Jalan KBLBB 33
10. Ekses Tenaga Listrik (Excess Power) 34
C. Maksud dan Tujuan 36
D. Opsi Kebijakan dan Analisisnya 36
1. Neraca Daya Listrik: Mengalirkan Excess Power 36
2. Merebut Pangsa Pasar Kendaraan Listrik 39
3. Pembiayaan 41
4. SPP/ Pengadaan Kendaraan Listrik 43
5. Roadmap Konversi Energi Primer Fosil ke Energi Primer Terbarukan 44

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 4
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
6. Kebijakan Fiskal 46
7. Lessons Learn 55
8. Pengembangan dan Penyesuaian Jaringan Listrik oleh PT PLN Persero 56
9. Jejak Karbon 59
10. Fasilitas pengisian daya EV sebagai Komponen EV 59
11. Prioritas pada Polluter Tertinggi 60
12. Pemanfaatan Excess Power (Idle Capacity) dan Beban BBM 60
13. Dasar Hukum Percepatan Kendaraan Listrik 61
E. Kesimpulan 62
F. Tindak Lanjut dan Rekomendasi 63
Referensi
Lampiran

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 5
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Abbreviation
Al, Aluminium GHGs, Green House Gas
AISI, Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia GIIAS, GAIKINDO Indonesian International Auto-
APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagara, the Show
state budget grCO2, gram CO2
ASEAN, Association for South East Asia Nations grCO2/km., gram CO2 per kilometer
BAU, Business As Usual GRK, Gas Rumah Kaca, GHGs
BBL, barrel GRR, Grass Root Refinery
BBM, Bahan Bakar Minyak, fuel GtonCO2e, Giga Ton CO2 equivalent
BBN, Transfer Tax HDV, heavy duty vehicle,
BEV, Battery Electric Vehicle HEV, Hybrid Electric Vehicle
BKF, Badan Kebijakan Fiscal HPP, Harga Pokok Penjualan, Cost of Goods Sold
BLT, Bantuan Langsung Tunai, unconditional casg ICCT, International Council on Clean Transportation
transfer, social security cash benefit program ICE, Ignition Combustion Engine
BMUA, Baku Mutu Udara Ambient, ambient air quality ISPA, Infeksi Saluran Pernafasan Akut
standard KBLBB, Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery
BOPA, barrel oil per annum KEMENPERIN, Kementerian Perindustrian
BOPD, barrel oil per day KEMENHUB, Kementerian Perhubungan
BUMN, Badan Usaha Milik Negara, states owned KEMENKEU, Kementerian Keuangan
enterprises KL, Kilo Litter
CAPEX, Capital Expenditure KL/tahun, Kilo L per tahun
CBA, Cost Benefit Analysis KLHK, Kementerian Lingkungan Hidup dan
CEA, Cost Effective Analysis Kehutanan, Ministry of Environment and Forestry
CEO, Chief Executive Officer KPBB, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel
Co, Cobalt kWh, kilo Watt hour
CO, Crudes Oil LCA, Life Cycle Analysis
CO2, Carbon Dioxide LCEV, Low Carbon Emission Vehicle
COP, Conference of Parties LDV, light duty vehicle
CWF, ClimateWorks Foundation Li, Lithium
Dexilte, brand of diesel fuel CN 51 Sulphur 1200 ppm LTSHE, Lampu Tenaga Surya Hemat Energi
DITJEN BEA CUKAI, Direktorat Jenderal Bea Cukai, MIGAS, Minyak Bumi dan Gas
DG of Custom MPRS, Majelis Permusyawaraan Rakyat Sementara
DKI Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Specia NDC, National Determine Contribution
Area for Capital City nation’s cream of the crop, the best citizen
e-2-3-Wheelers, Electric 2-3-Wheelers Ni, Nickel
EBT, Energy Baru Terbarukan, new and renewable NZE 2060, Net Zero Emission 2060
energy O3, Ozone (Ground Ozone)
e-Bus, Electric Bus OPEX, Operating Expenditure
e-Car, Electric Car PBB, Perserikatan Bangsa-Bangsa
ESDM, Kementerian ESDM PDB, Produk Domestik Bruto atau GDP, Gross
EV, Electric Vehicle Domestic Product
FCEV, Fuel Cell Electric Vehicle Perpres, Peraturan Presiden
Fe, Ferrum Perta-DEX, Pertamina DEX, diesel fuel CN 53 and
FES, Fuel Economy Standard sulphur content 300 ppm
Flexi-Car, Flexible Car

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 6
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Pertalite, nama jenis bensin dengan RON 90 dan kadar
belerang 150 ppm
PHEV, Plug-in Hybrid Electric Vehicle
PJU, Penerangan Jalan Umum
PKB, Motor Vehicle Tax (annual)
PLTD, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
PLTU batu bara, Pembangkit Listrik Tenaga Uap - Batu
Bara
PLTU Biomass, Pembangkit Listrik Tenaga Uap –
Biomass
PLTUD, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel – Diesel
PM10, Particulate Matter with size 10 microns max
PM2.5, Particulate Matter with size 2.5 microns max
PP, Peraturan Pemerintah
PPh Impor, Importation Revenue Tax
PPN, Value Added Tax
PPnBM, Luxury Goods Sales Tax
PPOK, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PT PLN Persero, Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik
Negara Perusahaan Perseroan
rare-earth, logam tanah jarang
RDMP, Refinery Development Master Plan
RON, Research Octane Number
SBY, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI Periode
2004 - 2009 dan 2009 - 2014
SDGs, Sustainable Development Goals
SOx, Sulfure Dioxide
SPBU, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
SPKLU, Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum
SPP, Sustainabe Public Procurement
SUV, Sport Utility Vehicle
TDM, Transport Demand Management
TKDN, Tingkat Komponen Dalam Negeri
TOE, Tonnes Oil Equivalent
tonCO2e, ton CO2 equivalent
TWh, Terra Watt Hour
UNFCCC, United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC)
USD, United States Dollar
UU, Undang Undang
UUD 1945, Undang-undang Dasar 1945, konstitusi
VCS, Vehicular Carbon Standard
VKT, Vehicle Kilo-meter Travel
VS, versus
WBI, World Bank, Bank Dunia
µg/m3, microgram per cubic mater

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 7
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 8
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Pengantar
Statistik pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia cenderung meningkat yang berdampak negatif
terhadap emisi, dan penipisan energi. Skenario teknis dalam Standar Kendaraan Emisi Karbon Rendah (LCEV,
Low Carbon Emission Vehicle) menunjukkan kemungkinan untuk mengurangi 0,280 GtonCO2e (59%) dari
0,470 GtonCO2e emisi kendaraan BAU pada tahun 2030 mengacu pada baseline 0,105 GtonCO2e (2010).
Skenario tersebut juga menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh manfaat ekonomi sebesar USD 341,00
miliar dari efisiensi bahan bakar, penghematan produksi, dan peningkatan kesehatan masyarakat bersamaan
dengan peningkatan kualitas udara. Dalam konteks efisiensi bahan bakar, dapat menghemat hingga 59,86 juta
KL p.a. bensin, dan 56,00 juta KL p.a. solar atau setara dengan ~ USD 52 miliar p.a. pada tahun 2030.

Dengan diratifikasinya Paris Agreement melalui UU No 16 Tahun 2016 sebagai tindak lanjut pernyataan
komitmen Presiden Joko Widodo pada COP-21 tentang NDC (National Determination Contribution)
Indonesia, maka skenario teknis harus diterapkan untuk menurunkan emisi kendaraan bermotor dengan
mengadopsi standard LCEV (standard Carbon kendaraan) hingga 2030, sesuai timeline NDC1 dengan roadmap
118 grCO2/km pada 2023, dan 85 grCO2/km pada 2027. Apapun pilihan teknologinya (ICE tech, BEV,
PHEV, HEV, FCEV, FC-ICE, Hydrogen ICE), standard tersebut harus ditindaklanjuti dengan kebijakan fiskal
berikut feebate/rebate scheme yang sudah dibahas di publik sejak tahun 2013, namun belum diadopsi saat
pengesahan PP No 41/2013 dan PP No 73/2019 ataupun PP No 74/2021, karena pertimbangan sensitivitasnya
pada sector otomotif yang masih bertumpu pada ICE technology (kendaraan motor bakar).

Dengan menyiapkan kebijakan fiskal, upaya reformulasi kebijakan tersebut dapat mengerucut pada willingness
pemerintah untuk mengakselerasi kendaraan listrik berbasis baterai (BEV/KBLBB) sebagaimana diamanatkan
PERPRES No 55/2019 tentang Percepatan KBLBB. Kebijakan fiskal akan memicu penetrasi pasar KBLBB
dengan menggiring harga jual KBLBB yang lebih kompetitif, sesuai dengan kemampuannya dalam memenuhi
standard Carbon yang secara teknis dan faktual memiliki emisi CO2 lebih rendah dibandingkan teknologi ICE.
Bahkan mampu mencapai nir-emisi (zero Carbon emission) apabila di-charge dengan listrik yang bersumber dari
energi terbarukan.

1Indonesia menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) ke Sekretariat UNFCCC, yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dan menggantikan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC)
yang disampaikan Indonesia sebelum COP-21 Paris.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 9
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Sebagai penyelaras arah kebijakan, kita perlu melakukan kegiatan dengan fokus (1) mereformulasi kebijakan dan
regulasi, khususnya kebijakan fiskal, dan standard Carbon kendaraan tersebut di atas; (2) melakukan komunikasi
publik yang efektif; (3) Analisis kebijakan melalui bantuan teknis, dan membangun ekosistem yang tepat untuk
LCEV/EV, termasuk mempersiapkan quick win dengan memposisikan kendaraan listrik roda 2-3 --penyumbang
emisi terbesar (agregat) sekaligus kendaraan paling popular-- sebagai technological prime mover penetrasi pasar KBLBB di
Indonesia.

Kita sudah memiliki payung regulasi seperti disebutkan di atas, selain memiliki modal berupa sekitar 40
prototipe EV antara lain roda 2-3, bus, truk dan kendaraan penumpang. Kita juga sudah memiliki pengalaman
uji coba dan bahkah penerapan operasional e-Bus, e-motorcycle, dan e-car. Kita juga sudah menjalankan proses
pembangunan fasilitas charging secara bertahap, melakukan proses komunikasi publik, dll. Untuk itu, perlu
melakukan proses pendampingan dalam penetapan standard Carbon kendaraan dan kebijakan fiskal dengan
tujuan mempercepat penerapan KBLBB sebagai perwujudan kendaraan rendah/nir Carbon (LCEV-ZCEV).
Tentunya upaya ini melengkapi upaya sebelumnya dalam membantu elektrifikasi BRT dan feeder-nya di DKI
Jakarta, dan kota lainnya, termasuk inisiasi pengembangan perusahaan integrator kendaraan listrik dengan pionir
PT GESITS dan PT INKA.

Berdasarkan pengalaman, hal ini dapat dicapai melalui kerja teknis, perumusan kebijakan, dan sistem pendukung
yang akan bekerja sama untuk mendorong keterlibatan dan terjadinya konsensus utama para pemangku
kepentingan baik dari pemerintah, swasta maupun representaasi masyarakat sipil. Untuk itu, guna mempercepat
pelaksanaan mandat Presiden melalui PERPRES sebagaimana tersebut di atas, kini saatnya menerbitkan
standard Carbon kendaraan parallel dengan penerbitan kebijakan fiscal dengan skema feebate/rebate; melengkapi
roadmap yang telah ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan timeline NDC serta timeline NZE 2060atau lebih
cepat.

Penetapan standard Carbon yang diikuti oleh kebijakan insentif/disinsentif fiskal berupa pengenaan cukai
Carbon atas setiap grCO2/km yang diemisikan oleh kendaraan yang tidak memenuhi standard, dan sebaliknya
mengganjar subsidi untuk kendaraan yang memenuhi standard (polluter pay principle), adalah trigger akselerasi
penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia tanpa harus membebani APBN.

Jakarta, 31 Juli 2022

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 10
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
A. Latar Belakang

Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek tidak pernah absen sebagai kota dengan polusi udara yang
parah dalam tiga dekade terakhir. Sejak saat itu dampak kesehatan telah membebani warganya,
mengingat pencemaran udara ambien melebihi standar kualitas udara ambien nasional dan WHO
(Shah, Nagpal, dan Brandon 1997). Jakarta relatif tidak memiliki udara bersih sejak saat itu.

Fakta tentang kesehatan masyarakat Jakarta akibat polusi udara, (laporan Kementerian Lingkungan
Hidup, 2012); ditemukan bahwa 57,8% penduduk Jakarta menderita berbagai penyakit/penyakit yang
berkaitan dengan pencemaran udara, dan harus membayar biaya pengobatan akibat pencemaran udara
hingga Rp 38,5 triliun/tahun (2010). Dampak kesehatan yang ditimbulkan bermacam-macam, seperti
asma bronkial, bronkopneumonia, ISPA, pneumonia, penyakit jantung koroner, dan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan kanker (kanker nasofaring). Studi terbaru (KPBB 2019) menemukan
prevalensi penyakit pernapasan yang tinggi di antara penduduk Jakarta: 1,4 juta kasus asma, 200.000
kasus bronkitis, 172.000 kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan 2,7 juta kasus infeksi
saluran pernapasan akut, dan 1,3 juta kasus arteri koroner mati; dan harus membayar biaya pengobatan
sebesar Rp 51,2 triliun/tahun. Studi ICCT juga menemukan bahwa 15,4% kematian di Jakarta
disebabkan oleh polusi udara dari sektor transportasi (Anenberg et al. 2019).

Gambar 1. Beban Emisi PM10 dan PM2.5 Jabodetabek (2019)

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 11
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Menurut hasil pengamatan Bank Dunia, biaya pencemaran udara di Jakarta mencapai USD 220 juta
(1989). Isu pencemaran udara harus menjadi prioritas utama komitmen pemerintah, mengingat
dampaknya terhadap kesehatan masyarakat yang valuasi ekonominya melebihi pertumbuhan ekonomi
nasional.

a. Konsentrasi Pencemaran Udara

Konsentrasi rata-rata tahunan pencemaran udara di Jakarta pada waktu normal (2019, sebelum
pandemi COVID-19) untuk parameter PM10 mencapai 59,03 µg/m3 dan PM2.5 mencapai 46,1
µg/m3. Sedangkan O3 dan SOx masing-masing sebesar 83,3 µg/m3 dan 42,76 µg/m3. Ke-4
parameter tersebut (PM10, PM2.5, O3 dan SOx) merupakan parameter dominan periode 2011 – 2020,
yaitu parameter yang memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi kualitas udara di Jakarta dan
sekitarnya, serta memposisikannya sebagai kota dengan kategori kualitas udara tidak sehat. Hal ini
dikarenakan hasil pemantauan kualitas udara telah melebihi baku mutu udara ambien, di mana baku
mutu udara ambien untuk PM10, PM2.5, O3 dan SO2 masing-masing adalah 40 µg/m3, 15 µg/m3,
35 µg/m3, dan 45 µg/m3. Dan berdasarkan kajian sumber pencemar udara (source of apportionment,
KPBB 2019) menunjukkan bahwa transportasi merupakan pencemar terbesar di Jakarta dan
sekitarnya, cek grafik beban emisi Jakarta dan sekitarnya, di bawah.

b. Beban Emisi

Beban emisi pencemaran


udara dengan parameter
PM10 di Jakarta dan
sekitarnya mencapai 40.777
ton/per hari (2019) yang
disumbangkan oleh
sumber pencemaran udara
dari transportasi 47%,
industri 20,24%,
Gambar 2. Beban Emisi Pencemarn Udara dari Kendaraan Bermotor Jabodetabek, 2019

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 12
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
pembangkit listrik 1,76%, rumah tangga 11%, debu jalan 11%,
pembakaran sampah terbuka 5%, dan proses konstruksi 4%.
Sedangkan beban emisi PM2.5 mencapai 29.336 ton/hari yang
disumbangkan oleh sumber transportasi 57%, industri 21,16%,
pembangkit listrik 2%, rumah tangga 7%, debu jalan 5%,
pembakaran sampah terbuka 5%, dan konstruksi 3%.

Sebagaimana data beban emisi pencemaran udara (parameter


Gambar 3. Beban Emisi CO2 Kendaraan PM10) di atas, 47% atau 19.165 ton/hari berasal dari kendaraan
Bermotor Jabodetabek bermotor, penyumbangnya adalah sepeda motor (45%), truk
(20%), bus (13%), mobil diesel (6%), mobil bensin (16%), dan
kendaraan roda tiga (0,23%). Sepeda motor merupakan penyumbang polutan terbesar, diikuti truk,
dan bus sebagai kendaraan diesel yang menyumbang polutan besar. Populasi sepeda motor yang sangat
tinggi di Jakarta dan sekitarnya (lebih dari 17 juta unit) menjadi faktor penyebabnya, selain teknologi
sepeda motor yang memungkinkan emisi per penumpang relatif tinggi. Secara umum, keterbelakangan
teknologi mesin kendaraan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kendaraan rendah emisi, dan kualitas
bahan bakar yang buruk –angka oktan/cetane rendah, kandungan sulfur tinggi, kadar benzena dan aromatik
tinggi– serta kemacetan lalu lintas semakin meningkat intensitas pencemaran udara. Sementara hasil
perhitungan beban CO2e di Jabodetabek adalah 318.840 ton/hari; bersumber dari truk (43%), bus
(32%), sepeda motor (18%), mobil bensin (4%), mobil solar (3%), dan kendaraan roda tiga (0,01%).
Beban emisi di Jabodetabek diperkirakan akan meningkat 1,8 – 3,5 kali lipat pada tahun 2030 (BAU,
baseline 2010).

Sementara secara nasional,


beban emisi pencemaran
udara kendaraan bermotor
mencapai 39.754,51
ton/hari (2019), dengan
sepeda motor sebagai
penyumbang terbesar
Gambar 4. Beban Emisi CO2 Kendaraan Bermotor Nasional, 2019

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 13
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
sebesar 68,80% diikuti oleh mobil bensin, truk, bus, mobil solar,
dan kendaraan roda tiga. Lagi-lagi, tingginya populasi sepeda
motor secara nasional yang mencapai 121 juta unit atau 82% dari
total populasi kendaraan bermotor di Indonesia, menjadi faktor
penyebab tingginya polusi udara, selain masalah teknologi, dan
rendahnya kualitas bahan bakar sebagaimana diuraikan di atas.

Sedangkan hasil perhitungan beban emisi CO2 dari kendaraan


bermotor secara nasional adalah 699.674,31 ton/hari (2019), lagi-
Gambar 5. Beban Emisi CO2
lagi sepeda motor sebagai pencemar terbesar dengan 40,83% atau
Kendaraan Bermotor Nasional, 2019
285.663,42 ton/hari kemudian diikuti oleh truk, bus, mobil bensin,
mobil solar dan tiga kendaraan roda.

c. Tantangan

Pengendalian polusi udara dan emisi GRK yang telah dilakukan selama ini masih belum efektif. Selain
kurangnya keseriusan sektor terkait untuk menjalankan amanat peraturan perundangan, penguasaan
masalah dan keterlibatan para pihak terkait masih belum sesuai yang diharapkan. Idealnya, segala
sesuatu yang telah diatur dalam kebijakan, peraturan perundang-undangan dapat bergulir otomatis dan
mampu mengendalikan emisi secara efektif.

Permasalahan ketidak-efektifan tersebut adalah ketidak-konsistenan penerapan peraturan perundang-


undangan, ketidak-terampilan/ketidak-cakapan para pihak dan pemangku kepentingan terkait untuk
dapat memahami permasalahan, dan rendahnya kemauan (willingness) para pihak; sehingga program
besar tidak dapat mencapai kinerja yang memadai. Untuk itu, selain pengendalian emisi melalui
program TDM (Transport Demand Management), tentunya kegiatan-kegiatan yang potensial dalam
pengendalian pencemaran udara dan emisi GRK harus digali dan dilaksanakan. Fokus pada pencemar
paling banyak, raja pembuat polusi; termasuk pengendalian pencemaran udara dan mitigasi CO2
kendaraan bermotor, kini saatnya melakukan pembenahan operasional dengan prioritas pada
pencemar terbesar –sepeda motor, dan kendaraan roda 3– sehingga menjadi bola salju energi untuk
diarahkan ke pengendalian emisi dari moda transportasi lainnya.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 14
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
B. Rumusan Permasalahan

1. Krisis Minyak Mentah (Crudes Oil Crisis)

Setiap tahun, setiap kepemimpinan di suatu masa pemerintahan selalu menghadapi situasi sulit
dalam pengadaan BBM. Situasi sulit ini tidak lain adalah akibat dari keputusan kebijakan publik
yang masih berlandaskan pada orientasi formulasi harga BBM yang lebih murah. Yakni penetapan
harga BBM, dan rantai pasok pengadaan BBM, terutama untuk memenuhi kekurangan pasokan
BBM produksi dalam negeri melalui impor. Total kebutuhan minyak mentah untuk memenuhi
kebutuhan BBM nasional mencapai 1,643 juta BBL/hari (2021, periksa gambar 6), sedangkan total
produksi minyak mentah nasional hanya berkisar antara 600.000 – 800.000 BBL/hari, sehingga
terjadi kekurangan antara 800.000 – 1 juta BBL/hari. Impor untuk menutupi kekurangan
kebutuhan BBM dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu impor minyak mentah dan impor produk
BBM; terjadi sejak tahun 2002, ketika kebutuhan BBM nasional mulai melebihi total produksi
minyak mentah nasional. Sejak saat itu, Indonesia menjadi net importer minyak, artinya Indonesia
menjadi tergantung pada impor BBM/minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan nasional
sehari-hari.

Masalah pasokan bahan bakar menjadi begitu pelik, dan selalu bermuara pada persoalan sosial-
ekonomi, dan politik. Jatuhnya Presiden Soeharto pada masa Reformasi 1998 antara lain dipicu
oleh kenaikan harga BBM yang menjadi rekomendasi IMF sebagai prasyarat dalam memberikan
bantuan keuangan/pinjaman untuk mengatasi krisis moneter yang dialami berbagai negara di Asia,
termasuk Indonesia. Sebenarnya kenaikan harga BBM dalam rangka pengurangan beban “subsidi”
BBM dimaksudkan untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
namun menimbulkan dampak lain yaitu dampak sosial, ekonomi dan politik yang memicu
permasalahan sosial dengan meningkatnya angka kemiskinan serta memperdalam kemiskinan
struktural; secara ekonomi telah memicu inflasi, dan berbagai penyakit ekonomi

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 15
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Indonesia - Crudes Production VS Demand
1800
1710 1690 1643
1600
1400
1200
1200
1150
1000
BBL/Day
'000

800
600 669
490
400
200 110
0
1973

2007

2019
1965
1967
1969
1971

1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005

2009
2011
2013
2015
2017

2021
YEAR

Crudes Production Crudes Demand

Gambar 6. Produksi dan permintaan Minyak Mentah Indonesia

lainnya yang kemudian menjadi sasaran serangan politik terhadap pemerintah yang diakhiri dengan
gerakan reformasi, sehingga Presiden Soeharto harus lengser dari tahta kepresidenan pada tanggal
20 Mei 1998.

Sebenarnya kenaikan harga BBM bersubsidi sudah terjadi sejak kepemimpinan Presiden Soekarno
pada tahun 1965 dan 1966. Pada 22 November 1965, harga solar Rp 0,20/L, minyak tanah Rp
0,20/L, dan bensin Rp 0,30. /L. Namun terjadi kenaikan pada tanggal 3 Januari 1966 harga solar
Rp 80/L, minyak tanah Rp 0,60/L, dan bensin Rp 1/L. Harga BBM disesuaikan kembali pada
tanggal 27 Januari 1966, yaitu solar Rp 0,40/L, minyak tanah Rp 0,30/L dan bensin Rp 0,40/L.
Hal itu antara lain yang menimbulkan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Presiden
Soekarno, sehingga isu kenaikan harga BBM yang langsung memperparah inflasi
menyempurnakan momentum pencopotan Soekarno dari tahta kepresidenan pada 7 Maret 1967

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 16
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Gambar 7. Trend impor bensin dan solar.

melalui Sidang Istimewa MPRS; setelah revisi pidato pertanggungjawabannya "Pelengkap


Nawaksara" sebagai Presiden Mandataris MPRS ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS.

Begitu pula saat Presiden Soeharto menaikkan harga BBM pada 5 Mei 1998, menjadi pemicu
turunnya beliau dari kursi kepresidenan. Suka tidak suka, lengsernya Presiden Gus Dur pada 21
Juli 2001, antara lain karena pengaruh kenaikan harga BBM pada 16 Juni 2001, bensin RON 88
dari Rp 1150/L menjadi Rp 1450/L, kemudian pada tanggal 1 Juli 2001 kembali dinaikkan jenis
BBM lainnya yaitu solar 48 dari Rp 900/L menjadi Rp 1250/L, sekalipun sebenarnya Presiden
Gus Dur tidak menginginkan kenaikan tersebut; terbukti dengan rencana kenaikan harga BBM ini
pada 1 April 2001 yang ditolaknya. Meski Pertamina tidak menaikkan harga, namun dengan cara
lain Pertamina menurunkan kualitas bensin RON 88 dengan meniadakan bahan tambahan
detergen (detergent additive) yang sangat penting untuk proses pembersihan endapan karbon di ruang
bakar mesin kendaraan (KPBB, 2001).

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 17
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Table 1. Konsumsi BBM Kendaraan Bermotor 2012 -2021
Konsumsi BBM Kendaraan Bermotor di Indonesia
2012 - 2021
Jenis BBM 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Premium 88 28.460.000 29.500.000 29.710.000 28.110.000 21.753.536 11.924.814 10.754.461 9.732.787 9.198.461 9.439.769
Pertalite 90 - - - - 5.805.578 11.933.033 17.706.790 18.772.739 17.742.122 18.207.562
RON 92 670.000 850.000 1.060.000 2.760.000 4.789.597 5.329.709 5.643.055 5.849.027 5.527.917 5.672.934
RON 95 150.000 160.000 150.000 280.000 290.954 110.573 126.073 113.087 106.879 109.683
RON 98 66.811 235.315 259.904 325.014 307.171 315.229
Minyak solar (high speed diesel) 34.209.757 34.047.721 32.673.230 29.172.694 27.527.267 29.090.860 30.064.753 30.304.010 28.640.330 29.391.669
Minyak solar 51 (HS diesel 51) 105.889 298.368 360.777 454.560 429.605 440.875
Minyak solar 53 (HS diesel 53) 74.034 447.552 511.101 530.320 501.206 514.354
Minyak diesel (diesel fuel) 91.600 79.137 60.870 53.069 37.720 71.977 71.239 80.500 76.081 78.077
Minyak bakar (fuel oil) 3.428.875 1.973.903 1.884.040 1.647.441 1.229.379 2.341.657 2.233.655 2.524.030 2.385.462 2.448.041
Total Demand 67.010.232 66.610.761 65.538.140 62.023.204 61.680.765 61.783.857 67.731.807 68.686.075 64.915.233 66.618.194
Sumber: Kementerian ESDM, Pertamina, BPS, diolah oleh KPBB, 2022

Presiden Megawati menjadi tidak populer, dan gagal dalam pemilihan presiden berikutnya untuk
periode 2004 – 2009, antara lain karena pengaruh kebijakan kenaikan harga BBM. Presiden SBY
beberapa kali direpotkan dengan kebijakan kenaikan harga BBM, dan terpaksa set-back untuk
kembali menurunkan harga BBM.

Begitu juga dengan Presiden Jokowi juga mendapat beberapa serangan politik terkait kebijakannya
menaikkan harga BBM. Siapapun yang menjadi Presiden akan menghadapi hal yang sama terkait
kebijakan harga BBM yang mengikuti trend minyak mentah global dengan faktor utamanya adalah
tingkat inflasi, dan depresiasi Rupiah terhadap mata uang asing akibat deficit neraca perdagangan
(current account deficit), dalam kontek ini akibat beban impor BBM. Singkatnya, masalah penyediaan
BBM untuk kebutuhan dalam negeri sudah menjadi masalah klasik yang terus terjadi dari rezim ke
rezim, dan dari zaman ke zaman.

Selain masalah kebijakan harga, masalah volume pasokan BBM juga menjadi masalah tersendiri.
Belum efektifnya pengelolaan minyak dan gas, termasuk pasokan bahan bakar menjadikan masalah
pelik; alih-alih menjadikan peluang bagi negara. Padahal penyediaan BBM dalam jumlah besar
merupakan peluang yang baik bagi negara, terutama dari aspek penerimaan fiskal, dan memicu
multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di segala sektor.

Impor produk BBM sebagaimana tergambar pada gambar 7 di atas menunjukkan bahwa
ketergantungan impor produk BBM masih mencapai 17.629.920 KL/tahun untuk jenis bensin dan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 18
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
5.239.080 KL/tahun untuk jenis solar (2020). Tentu angka ini berpotensi meningkat, mengingat
kebutuhan produk BBM terus meningkat sedangkan produk minyak mentah dalam negeri
cenderung menurun dari tahun ke tahun, apalagi Indonesia sudah menjadi net importer terkait
produksi minyak. Tentu hal ini akan semakin membebani neraca perdagangan negara, bahkan
berpotensi mengganggu sistem moneter mengingat hampir setiap tahun kita menghadapi situasi
pelik akibat fluktuasi harga minyak mentah dunia, selain ulah para spekulan migas (oil trader) yang
sering melakukan eskalasi di awal (illegal mark-up), sehingga HPP (harga pokok penjualan) minyak
mentah, dan produk BBM tidak terkendali; yang memaksa pemerintan mengalokasikan subsidi.

Hilir dari ketergantungan impor BBM adalah defisit transaksi berjalan (current account deficits) yang
membebani sistem moneter kita. Artinya, penerimaan negara, terutama yang berupa devisa harus
terbang untuk membeli kebutuhan pokok (BBM) yang sebenarnya bernilai konsumtif dan tidak
dapat dikapitalisasi dalam bentuk asset.

2. Harga BBM

Keputusan kebijakan harga BBM ditentukan dengan kecenderungan untuk meraih simpati rakyat
sebagai pemerintah yang baik dan murah hati dengan menciptakan harga yang relatif murah;
bahkan dengan kualitas bahan bakar yang tidak memenuhi persyaratan teknologi kendaraan.

Table 2. Kualitas dan Harga BBM Rp


Australia INDONESIA Malaysia
FUEL TYPE
Fuel For HPP SPBU Price Fuel For HPP SPBU Price Fuel For HPP Price of SPBU
Diesel Fuel Euro6 Standard 12.548 20.644 Euro1 Standard 14.240 17.800 Euro4 Standard 10.347 7.136
Gasoline Euro6 Standard 9.093 16.422 Euro1 Standard 12.450 10.000 Euro4 Standard 9.866 6.804
Note: Indonesia Fuels: Sumber: Pertamina, Australian Institute for Petroleum, Global Petrol Price, processed by author, 2022
- Diesel Fuel = Dexlite51
- Gasoline = Pertalite90

Premium88 (sudah dihapus), Pertalite90, Bio-solar, dan Dexlite51 adalah jenis bahan bakar yang
diproduksi dengan spesifikasi di bawah standar untuk kebutuhan teknologi kendaraan yang berlaku
di Indonesia, dengan tujuan menyediakan BBM dengan harga murah. Kendaraan bermotor yang

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 19
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
diisi dengan 4 jenis bahan bakar kotor tersebut akan mengalami kerusakan selain menimbulkan
emisi yang tinggi, serta pemborosan bahan bakar. Harga pokok penjualan Pertalite90 (bensin untuk
kendaraan Standar Euro1) adalah Rp 12.450/L (harga di SPBU Rp 10.000). Sedangkan harga
pokok penjualan Bensin RON 92 dengan kandungan Sulfur maks 50 ppm (bensin untuk
kendaraan Standar Euro4) yang beredar di Malaysia adalah Rp 9.866/L (harga SPBU Rp 6.804/L).

Harga pokok penjualan Dexlite51 (solar yang hanya memenuhi persyaratan kendaraan berstandar
Euro1) adalah Rp 14.240/L (harga SPBU Rp 17.800/L). Harga tersebut lebih tinggi dari harga di
Malaysia mampu mendistribusikan Solar51 dengan kandungan Sulfur max 50 ppm (solar untuk
kendaraan standar Euro 4) dengan harga pokok penjualan Rp 10.347/L (harga SPBU Rp 7.136/L,
di mana Pemerintah Malaysia mensubsidi selisihnya).

Demikian pula Australia mampu mendistribusikan bensin RON 95 Sulfur kandungan max 10 ppm
(bensin untuk kendaraan standar Euro6) dengan harga pokok penjualan Rp 9.093/L (harga di
SPBU Rp 16.422/L). Dan harga pokok penjualan solar CN53 dengan kandungan Sulfur maks 10
ppm (solar/solar untuk kendaraan standar Euro6) adalah Rp 12.548/L; lebih murah daripada
harga pokok penjualan Dexlite51.

Di Malaysia, fluktuasi harga minyak mentah mempengaruhi harga BBM secara langsung dengan
posisi negara sebagai benteng pelindung akhir (the last resort); yaitu berupa subsidi ketika harga
minyak mentah terlalu tinggi untuk mencegah surplus produsen yang berlebihan. Di sisi lain,
pemerintah mengenakan pajak, dan cukai pada saat harga minyak mentah normal, dan atau di
bawah normal dengan ambang batas USD 70/BBL. Dana dari pajak/cukai BBM dialokasikan
untuk menjaga stabilitas ketahanan energi, terutama di saaat terjadi crude oil crisis.

Terlihat bahwa pemerintah Malaysia memposisikan pada peran sebagai the last resort, penyangga
harga BBM; tempat bersandar bagi seluruh warga Malaysia saat menghadapi krisis BBM. Demikian
juga dengan mengutamakan transparansi, integritas dan kredibilitas aparatur pemerintah; Malaysia
mampu menciptakan sosialisme ekonomi pasar minyak/bahan bakar sehingga harga bahan bakar
selalu terjangkau oleh masyarakat.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 20
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Sementara di Australia, Menuju Swasembada BBM 2026
meskipun fluktuasi
harga minyak mentah Untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero)
sedang mengerjakan pembangunan 2 kilang minyak baru (Grass Root Refinery/GRR) di Bontang
juga secara langsung dan Tuban, serta peningkatan kapasitas kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) yang
mempengaruhi harga sudah ada di Dumai, Balikpapan, Balongan, dan Cilacap. Dengan selesainya proyek konstruksi dan
BBM, namun langkah modifikasi kilang-kilang tersebut, Indonesia akan terbebas dari impor BBM pada 2026.
yang diambil Seperti yang disampaikan Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Mohammad
pemerintah Australia Hidayat pada 28 Mei 2020 bahwa “tahun 2019 Indonesia masih mengimpor BBM untuk memenuhi
adalah dengan kebutuhan dalam negeri sebesar 24,7 juta KL atau 33%. Sedangkan produksi BBM dari kilang
dalam negeri mencapai 50,9 juta KL atau 67%. Berdasarkan prakiraan pasokan dan permintaan
menerapkan pajak dan
bahan bakar untuk tahun 2020-2026, Indonesia akan bebas dari impor bahan bakar pada tahun
cukai dengan jumlah 2026, ketika semua RDMP, dan GRR telah selesai. Saat itu, produksi diperkirakan mencapai 87,4
yang relatif sama, serta juta KL, sedangkan permintaan mencapai 85,1 juta KL”.
tidak mengenal subsidi. Untuk itu, pemerintah telah menyusun prakiraan kebutuhan BBM dengan asumsi kenaikan
Pemerintah Australia permintaan sebesar 3,16% per tahun. Pada 2020-2021, produksi BBM diperkirakan stagnan,
bertindak sebagai wasit namun permintaan akan terus meningkat terutama mulai 2022. Pada tahun 2022 diperkirakan
yang mengawasi agar akan ada tambahan produksi BBM dari RDMP Balongan, meski harus masih impor yang
diperkirakan mencapai 25,9 juta KL, sementara produksi BBM dalam negeri 47,8 juta KL.
harga pokok penjualan Kebutuhan bahan bakar diperkirakan mencapai 74,7 juta KL.
BBM berada pada
Penyelesaian RDMP Balikpapan tahun 2023 akan berkontribusi pada tambahan produksi BBM,
tingkat yang wajar di
sehingga total produksi mencapai 57,5 juta KL, dan impor turun tipis menjadi 25 juta KL.
bawah kendali Permintaan bahan bakar diproyeksikan sebesar 77,3 juta KL.
mekanisme pasar yang
Untuk tahun 2024, kebutuhan BBM diperkirakan sebesar 80 juta KL, produksi BBM tetap sebesar
demokratis, sehingga 57,5 juta KL dan impor sebesar 25,9 juta KL. Impor BBM akan turun drastis pada tahun 2025 di
setinggi apapun mana kebutuhan BBM diperkirakan mencapai 82,5 juta KL, sedangkan produksi BBM mencapai
fluktuasi harga minyak 68,1 juta KL dan impor 13,4 juta KL. Penurunan impor karena tambahan produksi BBM dari GRR
mentah, dan HPP; tetap Bontang.
menyajikan harga Tahun 2026 diharapkan ada tambahan produksi dari RDMP Cilacap, dan GRR Tuban. Dengan
SPBU yang terjangkau. selesainya pengembangan RDMP dan GRR; Indonesia tidak perlu mengimpor BBM lagi.

Seperti yang terjadi di Malaysia, demokrasi ekonomi dalam pengelolaan BBM di Australia juga
mensyaratkan transparansi, integritas dan kredibilitas pelaku dan ketegasan pemerintah.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 21
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Di Indonesia, mekanisme pasar minyak mentah dan produk BBM masih dalam proses mencari
bentuknya menuju ke situasi yang diidamkan pada cita-cita demokrasi ekonomi Pancasila, baik
dalam wujud ekonomi sosialisme maupun liberalisme ekonomi yang demokratis dalam
pengelolaan BBM. Masih terjadi surplus produsen terus melampaui kewajaran –tergambar dari
tingginya harga pokok penjualan bahan bakar di Indonesia dibandingkan dengan harga pokok penjualan bahan
bakar di Malaysia dan Australia; meskipun spesifikasi bahan bakar di Indonesia lebih rendah– mengingat
harga bahan bakar ditentukan berdasarkan harga patokan bahan bakar dengan spesifikasi lebih
tinggi yang diperdagangkan di bursa minyak Singapura (Platts Singapore, dan atau Argus Media).
Atau dengan kata lain penetapan harga BBM belum dibarengi dengan pendistribusian BBM
dengan kualitas yang memadai sesuai dengan kualitas BBM yang dijadikan patokan penetapan
harga, melainkan dengan kualitas yang lebih rendah dari yang seharusnya. Terjadi pergeseran harga
pokok penjualan (terlalu tinggi) dari harga pokok penjualan yang seharusnya. Surplus producer
yang tidak wajar berpotensi mengganggu proses demokrasi di suatu negara, sehingga dengan
kapitalisasi surplus producer tersebut berpotensi terjadinya penumpukan kapital dan assets yang
memungkinkan pemusatan kekuatan politik yang dapat menggangu proses demokratisasi ekonomi
dan atau sosialisme ekonomi.

Sangat penting untuk merestrukturisasi harga bahan bakar untuk menghindari praktik manipulasi
harga versus kualitas bahan bakar. Surplus produsen yang berlebihan pun dapat dihentikan,
sehingga pengelolaan pasokan BBM sesuai dengan mekanisme pasar yang demokratis, dan atau
berfungsinya sosialisme pasar dengan peran pemerintah sebagai the last resort. Restrukturisasi
kebijakan harga BBM diperlukan untuk mewujudkan transparansi, auditability, akuntabilitas, dan
dukungan terhadap kepentingan publik; adalah prasyarat untuk mendemokratisasikan mekanisme
pasar bahan bakar, dan atau membangkitkan peran the last resort.

3. Rantai Pasok BBM

Rantai pasokan BBM di Indonesia tersandera oleh kepentingan business yang perlu dicarikan jalan
keluar agar tidak membebani pemerintah. Perlu dicarikan solusi untuk proses penetapan harga
pokok penjualan BBM diarahkan untuk menciptakan marjin keuntungan yang wajar dan
berdimensi kemaslahata bersama, sehingga mampu menghindarkan pemberian subsidi BBM yang

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 22
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
sesungguhnya tidak perlu. Mengingat dari waktu ke waktu bahwa dengan posisi harga minyak
mentah dunia maupun HPP BBM di pasar regional/global, sesungguhnya dapat diciptakan harga
BBM yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dan tanpa harus membebani pemerintah dengan
subsidi.

Table 3. Total Calculation of Revenues of National Crudes Production


Mean of Crudes Price Total Revenue Crudes Total Revenue Crudes
Year BOPA
BOPD (USD/BBL) (USD) (IDR)
2021 669.365 244.318.225 117,3 28.658.527.793 415.548.652.991.250
2020 708.320 258.536.800 41,63 10.762.886.984 156.061.861.268.000
2019 745.140 271.976.100 61,32 16.677.574.452 241.824.829.554.000
2018 772.130 281.827.450 70,36 19.829.379.382 287.526.001.039.000
2017 801.020 292.372.300 54,02 15.793.951.646 229.012.298.867.000
2016 831.060 303.336.900 44,5 13.498.492.050 195.728.134.725.000
TOTAL 105.220.812.307 1.525.701.778.444.250

4. Penerimaan Negara dari Minyak Mentah

Total penerimaan dari penjualan minyak mentah nasional hendaknya dipergunakan sebagai
penyeimbang –repair/patching the budget-- sehingga peran the last resort dalam penyediaan BBM
dengan harga terjangkau; dapat dijalankan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Wajar jika jumlah
penghasilan nasional dari produksi minyak mentah setelah dikurangi biaya eksplorasi,
pengembangan fasilitas pengeboran, produksi/lifting, dan administrasi; dapat disalurkan dalam
bentuk penyesuaian biaya tambahan untuk peningkatan kualitas BBM yang diedarkan, sehingga
BBM ramah lingkungan dapat disalurkan kepada masyarakat dengan harga yang terjangkau.

Sekalipun diperbolehkan pemanfaatan penerimaan negara dari minyak mentah untuk pembiayaan
berbagai sector, namun kini saatnya untuk mengarahkan penerimaan negara dari minyak mentah
ini untuk tujuan pengembangan sector energi, terutama menciptkan harga BBM/energi yang
terjangkau dan dengan kualitas yang memadai (sesuai kualitas yang diamanatkan peraturan
perundangan). Selain itu, belajar dari total pendapatan produksi minyak mentah, alokasi dana hasil

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 23
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
kenaikan harga BBM juga harus diarahkan pada penyesuaian biaya tambahan/tambahan biaya
peningkatan kualitas BBM/energi; dan tidak disalurkan dalam bentuk BLT/bantuan langsung
tunai.

5. Beban Pasokan BBM

Pasokan bahan bakar dapat mengubah elastisitas Tabel 4. Konsumsi BBM Berdasar Jenis Kendaraan
permintaan minyak, termasuk dalam peralihan ke energi
baru dan terbarukan, sehingga penting untuk
memahami berbagai faktor yang mempengaruhi
tingginya penggunaan bahan bakar fosil, khususnya di
sektor transportasi.

Jika dilihat dari konsumsi BBM, sepeda motor


merupakan pengguna BBM terbesar (kajian KPBB
2020), sekitar 37,31%. Data yang diambil pada kondisi
normal sebelum pandemi (2019), total kebutuhan BBM nasional mencapai 68,6 juta KL dengan
37,31% atau 25,6 juta KL tersedot oleh sepeda motor, kemudian 25,74% oleh truk, 13,53% oleh
bus, 13,34% oleh mobil pribadi bensin dan 10,08% oleh mobil pribadi solar dan 0,01% oleh
kendaraan roda 3. Fakta ini menunjukkan bahwa kendaraan pribadi mengonsumsi 60,73% BBM
nasional, sehingga perlu segera diimplementasikan kebijakan TDM (transport demand management)
yang revolusioner untuk secara efektif menggeser kecenderungan penggunaan kendaraan pribadi,
baik mobil maupun (khususnya) sepeda motor untuk mobilitas masyarakat; (tentu saja) selain
mendorong konversi penggunaan kendaraan listrik.

Fokus penanganan konsumsi BBM oleh sepeda motor, misalnya, tidak dilakukan dengan melarang
penggunaan sepeda motor sebagai moda transportasi yang praktis (pertimbangan manuver,
pemanfaatan penghantaran point-to-point, dan relatif lebih murah dibandingkan moda transportasi
lainnya), tetapi dengan mengubah sepeda motor berteknologi combustion engine (ICE) menjadi
sepeda motor listrik. Demikian pula mobil penumpang pribadi (solar dan bensin) juga harus segera
dikonversi agar tidak menjadi beban negara dalam penyediaan energi (BBM) yang dari tahun ke

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 24
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Gambar 8. Alokasi konsumsi BBM berdasar jenis kendaraan (2021).

tahun, dari rezim ke rezim selalu menimbulkan beban dalam penyediaan pasokan bahan bakar,
sebagaimana telah dibahas di atas.

6. Daya Saing Kendaraan Rendah Emisi Karbon dan Hambatan Perdagangan


Internasional Baru

Pada acara pembukaan GIIAS 2018 (Gaikindo Indonesia International Automotive Show),
Presiden Jokowi sempat menyampaikan bahwa beliau sangat mencintai industri otomotif
Indonesia sebagai penyumbang 2,8% PDB. Sebagai bentuk kasih sayangnya, beliau dengan senang
hati melaksanakan rengekan industri otomotif melalui Menteri Perindustrian yang meminta
Presiden Jokowi menyampaikan pesan kepada PM Vietnam Nguyễn Xuân Phúc agar Vietnam
membuka kembali keran impor kendaraan bermotor dari Indonesia yang memang ditutup saat
memasuki tahun 2017. Saat ada acara KTT ASEAN ke-32 di Singapura pada 25-28 April 2018,
Presiden Jokowi menyampaikan pesan yang kemudian ditanggapi PM Vietnam, “tidak ada niat
menghalangi atau merintangi produk otomotif dari Indonesia, Yang Mulia Presiden. Selama
produk otomotif dari Indonesia memenuhi persyaratan standard impor kami, tentu kami akan
dengan senang hati menerimanya”. Namun faktanya produk otomotif Indonesia belum memenuhi
standard untuk ekspor ke Vietnam, mengingat sejak tahun 2017 Vietnam menetapkan standard
baru yaitu standar Euro 4/IV, sedangkan produk otomotif Indonesia masih berstandard Euro
2/II.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 25
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Kemudian jika kita Tarik mundur ke awal era reformasi, kita juga kehilangan pangsa pasar otomotif
di Asia Tenggara setelah Thailand menerapkan standard Euro 2/II pada tahun 2001. Sedangkan
Indonesia baru mengadopsi standard Euro 2/II pada tahun 2007, sehingga yang memimpin pasar
otomotif di Asia Tenggara (market leader) digantikan oleh Thailand; kemudian kita hanya menjadi
pengikut (market follower) sampai sekarang. Padahal, Indonesia merupakan pasar otomotif terbesar
di Asia Tenggara.

Demikian juga sekitar tahun 2012/2014, produk otomotif varian SUV kita gagal diekspor ke Timur
Tengah, mengingat negara-negara Timur Tengah telah menerapkan Fuel Economy Standard di
mana untuk varian SUV ditetapkan sebesar 16 km/L. Sedangkan emisi produk SUV kita masih
10-12 km/L. Saat ini kita kembali tidak bisa menjual produk otomotif yang berstandar Euro 4/IV
ke Vietnam, mengingat Vietnam telah menetapkan standard baru yaitu standard Euro 5/V begitu
memasuki tahun 2022.

Table 5. Standard Emisi dan Prasyarat Keselamatan Kendaraan di Beberapa Negara


95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
EU E1 Euro 2 Euro 3 Euro 4 Euro 5 Euro 6
HK, PRC Euro 1 Euro 2 Euro 3 Euro 4 Euro 5
South Korea Euro 4 Euro 5
PRCa Euro 1 Euro 2 Euro 3 Euro 4
PRCe Euro 1 Euro 2 Euro 3 Euro 4 Euro 5
Taipei, China US Tier 1 US Tier 2 Bin 7 f
a
Si ngapore Euro 1 Euro 2 Euro 5
Si ngaporeb Euro 1 Euro 2 Euro 4 Euro 5
India c Euro 1 Euro 2 Euro 3 Euro 4
d
India E1 Euro 2 Euro 3 Euro 4 Euro 6
Thailand Euro 1 Euro 2 Euro 3 Euro 4 Euro 6
Malaysia Euro 1 Euro 2 Euro 4
Philippines Euro 1 Euro 2 Euro 4
Vietnam Euro 2 Euro 4 Euro 5
Indonesia a Euro 2 Euro 4
Indonesia b Euro 4
Indonesia g Euro 3
Bangladesh a Euro 2
Bangladesh b Euro 1
Pakistan Euro 2 a Euro 2 b
Sri Lanka Euro 1
Nepal Euro 1
Notes:
a – gasoline
b – diesel
c – entire country
d – Delhi, Mumbai, Kolkata, Chennai, Hyderabad, Bangalore, Lucknow, Kanpur, Agra, Surat, Ahmedabad, Pune and Sholapur
e – Beijing [Euro 1 (Jan 1999); Euro 2 (Aug 2002); Euro 3 (2005); Euro 4 (1 Mar 2008); Euro 5 (2012)], Shanghai [Euro 1 (2000); Euro 2 (Mar 2003); Euro 3 (2007); Euro 4 (2010)] and Guangzhou [Euro 1 (Jan 2000); Euro 2 (Jul 2004); Euro 3 (Sep-Oct
2006); Euro 4 (2010)]
f – Equivalent to Euro 4 emissions standards
g - 2-3-wheelers

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 26
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Gambaran ini menunjukkan bahwa memproduksi kendaraan beremisi rendah adalah sebuah
keniscayaan. Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan teknologi rendah emisi yang merupakan
tuntutan untuk mengurangi polusi udara, dan memitigasi emisi gas rumah kaca (GRK); yang
faktanya juga telah dijadikan sebagai new trade barrier untuk menolak produk/jasa yang tidak
dikehendaki oleh suatu negara.

Pengurangan polusi udara merupakan hal Beban Emisi Indonesia


yang mendesak, terutama bagi daerah
perkotaan yang padat dengan lalu lintas Secara nasional, beban emisi pencemaran udara dari
kendaraan bermotor yang menyebabkan kendaraan bermotor (2019) sebesar 39.754,51 ton/hari;
intensitas emisi polusi udara yang tinggi. Secara agregat, sepeda motor merupakan pencemar terbesar
Berbagai kota di dunia, termasuk Jakarta, (68,80%) diikuti oleh mobil bensin, truk, bus, mobil diesel
dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, dan kendaraan roda tiga. Sedangkan untuk beban emisi
CO2 kendaraan sebesar 699.674,31 ton/hari, lagi-lagi secara
memiliki masalah pencemaran udara yang agregat sepeda motor merupakan penghasil emisi terbesar
relatif parah. Misalnya di Jakarta, (40,83%), diikuti truk, bus, mobil bensin, mobil solar dan
intensitas pencemaran udara sudah kendaraan roda tiga. Dengan demikian, elektrifikasi
puluhan tahun masuk kategori tidak kendaraan roda 2-3 akan menjadi hal strategis yang memicu
sehat, dengan parameter dominan PM10, percepatan penurunan emisi kendaraan; Selain menjadi
PM2.5, O3 dan SO2. Jakarta misalnya, kendaraan populer dengan populasi hampir 121 juta unit,
konsentrasi PM2.5 rata-rata per tahun hal ini dapat menjadi teknologi penggerak utama percepatan
adalah 46,1 µg/m3, jauh dari Baku Mutu penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia.
Udara Ambient 15 µg/m3. Sehingga
menimbulkan sakit atau penyakit seperti ISPA, Asma, Pneumonia, Broncho-Pneumonia, PPOK,
Jantung Koroner, Kanker Nasofaring, Hipertensi, Gagal Ginjal, Menurunnya Daya Intelektual
Anak, serta mengharuskan warga Jakarta membayar biaya pengobatan sakit/penyakit pernafasan
yang mencapai Rp 51,2 T/tahun (KPBB, 2016).

Terkait pentingnya mitigasi emisi GRK, menjadi kepentingan global untuk mengatasi krisis iklim
akibat pemanasan global yang terjadi sebagai akumulasi proses sejak Revolusi Industri pada
pertengahan tahun 1800-an. Krisis iklim ini yang mengakibatkan bencana seperti badai, banjir,
tanah longsor, naiknya permukaan air laut, kekeringan, gagal panen, perluasan daerah endemik

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 27
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
penyakit tertentu seperti malaria, dll. Selain itu, Perjanjian Paris yang merupakan hasil kesepakatan
antar negara pada Konferensi Para Pihak ke-21 (COP 21) di Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim; mengambil langkah ambisius secara global untuk memitigasi emisi GRK dengan tujuan agar
kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,50C pada tahun 2100. Tentu saja, tujuan utamanya adalah
untuk mencegah berlanjutnya krisis iklim.

Dalam rangka pengurangan intensitas polusi udara, dan mitigasi emisi GRK, banyak negara
menerapkan standard emisi kendaraan bermotor lebih ketat. Terkait isu polusi udara, berbagai
negara telah memperketat standard emisi polusi udara dengan mengadopsi Euro Standard atau
yang setara dan lebih ketat. Jika sebelumnya mereka mengadopsi standard Euro 2/II misalnya,
kemudian mereka memperketatnya menjadi Euro 3/III, Euro 4/IV bahkan negara maju pun
memperketatnya dengan standard Euro 6/VI, bahkan sudah dalam proses kajian standard
Euro7/VII. Thailand mulai mengadopsi standard Euro 4/IV pada tahun 2012, Singapura
mengadopsi standard Euro 5/V pada tahun 2014, Vietnam mengadopsi standar Euro 4/IV pada
tahun 2017 yang kemudian memperketatnya menjadi Euro 5/V pada tahun 2022. Indonesia
sendiri baru saja mengadopsi Euro 4/IV untuk kendaraan bensin Oktober 2018 dan kendaraan
diesel pada April 2022, lihat tabel 5 di atas: Standar Tingkat Emisi dan Keselamatan Kendaraan di
Berbagai Negara.

Sementara terkait isu mitigasi emisi GRK, banyak negara menerapkan Standard Carbon Kendaraan
(Vehicular Carbon Standard) secara lebih ketat. Indonesia sendiri telah mengeluarkan Perpres No 22
Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang antara lain mengamanatkan penerapan
Standar Ekonomi Bahan Bakar (Fuel Economy Standard) mulai tahun 2020. Standar Ekonomi
Bahan Bakar merupakan nomenklatur lain dari Standard Carbon Kendaraan, jika Standar
Ekonomi Bahan Bakar menyebutkannya sebagai L/Km (per liter bahan bakar dapat digunakan
untuk menempuh jarak berapa Km), sementara Standar Carbon Kendaraan menyebutkannya
sebagai grCO2/Km (berapa gram emisi Karbon yang dikeluarkan kendaraan saat menempuh jarak
1 Km). Walaupun istilah-istilah tersebut berbeda namun seperti sekeping koin, dilihat dari sisi
kanan adalah Fuel Economy Standard sedangkan dari sisi kiri adalah Vehicle Carbon Standard.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 28
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Seiring dengan upaya pengurangan emisi untuk mengendalikan polusi udara dan mitigasi GRK,
banyak negara juga memanfaatkannya sebagai metode baru untuk menciptakan hambatan
perdagangan internasional, dengan cara mencegah masuknya produk impor dengan tujuan
melindungi produk dalam negeri, dan atau produk luar negeri tetapi memiliki afiliasi dengan
kepentingan domestik. Contoh-contoh yang dilakukan Vietnam dan Thailand di atas menunjukkan
bahwa pemerintah kedua negara ini sangat cerdik memainkan tombak bermata dua: memitigasi
emisi sekaligus memenangkan perang dagang.

7. Standar Carbon Kendaraan dan Manfaat Ekonomi

Table 6. Usulan Roadmap Standard Carbon Kendaraan


Standard Karbon Kendaraan 2020 2025
Vehicular Vehicular
dirumuskan pada periode tertentu Type of Vehicle Carbon
Fuel Economy
Standard
Carbon
Fuel Economy
Standard
dan diperketat pada periode Standard
grCO2/km
L/100 km
Standard
grCO2/km
L/100 km

selanjutnya hingga tahun 2030, Motor Cycle 85,43 3,57 51,99 2,24
sesuai dengan timeline NDC Light-duty Vehicle 132,89 5,56 80,87 3,48
Heavy-duty Vehicle 1.552,94 58,82 945,05 36,85
(National Determinan Contribu-
tion) yang merupakan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui
UU No 16/2016.

Agar efektif pelaksanaannya, maka Roadmap yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian2 harus
segera ditindak-lanjuti dengan penetapan Standard Carbon Kendaraan (Vehicular Carbon Standard)
dan pengenaan kausalitasnya dalam bentuk reward or penalty terhadap produk yang mampu
memenuhi standard Carbon atau sebaliknya. Dengan roadmap standard Carbon untuk sepeda motor,
kendaraan ringan (LDV), dan kendaraan berat (HDV) masing-masing sebesar 85,43 grCO2/km,
132,89 grCO2/km, dan 1.552,94 grCO2/km pada tahun 2020, kemudian diperketat masing-
masing untuk sepeda motor, kendaraan ringan, dan kendaraan berat adalah 51,99 grCO2/km,

2Peraturan Menterin Perindustrian No 27/2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan
Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik
Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle)

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 29
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
80,87 grCO2/km, 945,05 grCO2/km masing-masing pada tahun 2025 (periksa tabel 7), maka kita
memiliki potensi untuk mengurangi 280 juta tonCO2e (59%) dari 470 juta tonCO2e emisi BAU
transportasi jalan pada tahun 2030 (baseline 105 juta tonCO2e pada tahun 2010). Dengan
implementasi roadmap tersebut, Indonesia akan memperoleh manfaat ekonomi sebesar USD
341,00 miliar, yang meliputi penghematan bahan bakar, peningkatan kesehatan, dan peningkatan
produktivitas masyarakat. Dalam konteks efisiensi bahan bakar, dapat menghemat bensin hingga
59,86 juta KL/tahun, dan solar 56,00 juta KL/tahun, yang setara dengan Rp 677 T/tahun pada
tahun 2030.

Sejatinya, penentuan opsi ada di tangan pemerintah yang mau memperketat standard emisi
kendaraan, dan memainkannya sebagai tombak bermata dua: mengendalikan emisi, dan merebut
pangsa pasar otomotif di Asia Tenggara. Agar kita tidak dalam posisi melanggengkan kenaifan kita
dalam diplomasi iklim, dan pengendalian emisi; hadir di berbagai konvensi, dan konstelasi
diplomasi global/regional untuk mengendalikan krisis iklim, tetapi tidak menghadirkan produk
rendah emisi hasil karya putra putri bangsa kita yang bisa dijual di pasar global3 dan atau jasa di
bidang pengendalian emisi seperti konsultan, knowledge sharing, dll4. Sebaliknya, kita selalu pulang
dari berbagai konvensi internasional dan diplomasi iklim dengan membawa produk/jasa dari
negara lain untuk dipasarkan di dalam negeri dengan dalih produk rendah emisi, dan hemat energi,
dan atau jasa pengendalian emisi dari negara lain dipandang lebih mumpuni.

8. Standard Carbon Kendaraan untuk Percepatan KBLBB

Pertumbuhan kendaraan bermotor diperlukan untuk memfasilitasi kebutuhan proses industry dan
pembangunan yang menuntut mobilitas manusia dan barang (logistik) serba lebih cepat dan tepat
waktu. Namun juga berdampak negatif terutama pada peningkatan emisi dan menipisnya
cadangan energi. Sebagai pasar berkembang untuk industri otomotif, Indonesia harus mengadopsi
kendaraan rendah emisi dan atau nir-emisi untuk mengendalikan polusi udara, dan emisi gas rumah

3Produk rendah emisi seperti flexi car, converter kit, dan sekarang dengan potensi integrator pabrikan kendaraan listrik.
4Posisi knowledge, science dan diplomasi iklim Indonesia termasuk di jajaran terdepan dunia terbukti dengan peran Prof
Emil Salim, dan para ahli lainnya di forum pembahasan perubahan iklim termasuk di IPCC.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 30
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
kaca. Emisi polusi udara selama 3 dekade terakhir telah menyebabkan udara kota berada dalam
keadaan tidak sehat. Misalnya di Jakarta yang polusi udaranya semakin parah selama puluhan tahun
sehingga warganya mengalami sakit/penyakit terkait polusi udara dan harus membayar biaya
kesehatan yang membuat BPJS (Badan Kesehatan) defisit5.

Target nasional penurunan emisi gas rumah kaca dapat dicapai dengan efisiensi konsumsi energi,
termasuk bahan bakar fosil yang sebagian besar dikonsumsi oleh transportasi jalan raya. Efisiensi
ini, selain untuk mengendalikan emisi, juga untuk mengendalikan pasokan BBM sebesar Rp 68,6
T (2019) yang membebani APBN, baik berupa “subsidi”, maupun defisit neraca perdagangan.

Cost Benefit Analysis (CBA), Cost Effective Analysis (CEA), dan econometric time series yang
dipadukan dengan rangkaian dialog kebijakan, mampu memberikan dasar analisis untuk menyusun
kebijakan standard kendaraan hemat bahan bakar (Fuel Economy Standard) yang merupakan
amanat Perpres No 22/2017 tentang Rencana Induk Energi Nasional. Standard tersebut disusun
dalam jangka waktu tertentu dan ditetapkan dengan standard yang lebih ketat pada periode
berikutnya hingga tahun 2030, sesuai timeline NDC (National Define Contribution) dengan peta
jalan sebagaimana telah dijelaskan di atas (table 7).

Dengan menginterpolasi pertumbuhan populasi kendaraan selama periode tersebut, dan


menggunakan model deret waktu ekonometrik untuk memperkirakan konsumsi bahan bakar
transportasi jalan hingga tahun 2030; skenario menunjukkan potensi untuk mengurangi 0,28
GtonCO2e (59%) dari 0,47 GtonCO2e emisi BAU transportasi jalan pada tahun 2030 dengan
baseline 0,105 GtonCO2e pada tahun 2010. Skenario tersebut juga menunjukkan bahwa kita dapat
memanen manfaat ekonomi sebesar USD 341,00 miliar yang meliputi efisiensi bahan bakar,
peningkatan kesehatan masyarakat dan peningkatan produktivitas masyarakat. Dalam konteks

5
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200309170806-4-143532/lesu-sri-mulyani-sebut-defisit-bpjs-kesehatan-
2019-rp-13-t; https://www.antaranews.com/berita/2047290/bpjs-kesehatan-defisit-rp636-
triliun#:~:text=Namun%2C%20sekarang%20BPJS%20Kesehatan%20masih,sampai%20sebesar%20Rp15%2C508
%20triliun.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 31
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
efisiensi bahan bakar, dapat menghemat hingga 59,86 juta KL p.a. bensin, dan 56,00 juta KL p.a.
solar ~ Rp 677 T p.a. pada tahun 2030.

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, standard ekonomi bahan bakar merupakan
nomenklatur lain yang memiliki arti yang sama dengan standard Carbon kendaraan, sehingga
penentuan standard ekonomi bahan bakar secara otomatis merupakan penentuan standard Carbon
kendaraan, begitu pula sebaliknya.

Mengingat standard ekonomi bahan bakar yang diamanatkan oleh Presiden Jokowi (PERPRES
No 22/2017) belum dilaksanakan sampai batas waktu sebagaimana tersebut di atas (tahun 2020),
maka penundaan tahap 1 dari tahun 2020 ke tahun 2023 dan tahap ke 2 dari tahun 2025 ke tahun
2028 akan mengakibatkan koreksi, sehingga kinerja manfaat ekonomi (efisiensi bahan bakar,
peningkatan kesehatan masyarakat dan produktivitas kerja) yang dapat dicapai pada 2030 menjadi
lebih rendah. Semakin lama kita menunda pelaksanaan fuel economy standard dan atau vehicular
Carbon standard, maka manfaat ekonomi yang akan diperoleh pada akhir suatu timeline pada
roadmap (NDC atau NZE) juga akan (semakin) lebih rendah.

Terkait implementasi kendaraan rendah emisi Carbon, analisis sensitivitas menunjukkan bahwa
insentif/disinsentif fiskal berdasarkan tingkat grCO2/km dapat mempercepat implementasi
kebijakan secara efektif. Kendaraan yang tidak memenuhi standar Carbon dikenakan sanksi berupa
cukai atas kelebihan masing-masing grCO2/km dari standar. Hasil dari cukai Carbon yang
terkumpul dialokasikan untuk insentif bagi kendaraan yang memenuhi standar Carbon. Opsi
insentif fiskal berupa potongan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) perlu diakhiri agar
PPnBM kendaraan bermotor diarahkan semata-mata sebagai penerimaan negara dari barang
mewah yang besarnya dihitung berdasarkan tingkat kemewahan kendaraan tersebut. Sedangkan
cukai Carbon dengan skema feebate/rebate dikembangkan untuk mengendalikan emisi Carbon
kendaraan bermotor, apapun teknologinya, apakah teknologi ICEs, teknologi PHEV, teknologi
HEV, teknologi BEV, teknologi FCEV, teknologi hydrogen-ICE; semua akan diperlakukan sama.
Apabila mampu memenuhi standard Carbon, maka setiap grCO2/km akan diberikan insentif.
Yang gagal memenuhi standard tetap boleh diproduksi dan dipasarkan, namun dengan
konsekuensi dienakan cukai sehingga harganya menjadi tidak kompetitif. Dengan demikian,

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 32
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
kendaraan rendah emisi karbon dapat diimplementasikan tepat waktu sesuai roadmap tersebut di
atas, dengan tetap berpegang teguh pada fairness business dan tidak tendensius mengarahkan
kebijakan pengurangan Carbon dan atau pengurangan beban subsidi negara pada teknologi
tertentu.

9. Peta Jalan KBLBB

Untuk menerapkan kendaraan rendah emisi dan bahkan nir-emisi (emisi pencemaran udara
maupun GRK), maka kita perlu mengadopsi teknologi secara parallel dengan rekayasa sosial di
bawah regulasi yang ditetapkan sehingga adopsi teknologi rendah/nir-emisi tersebut dapat diserap
dan diterapkan secara efektif dan efisien oleh stakeholder terkait dan masyarakat secara luas.
Terkait peta jalan, kita telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat, mulai dari UU 22/2009
tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, PP No 55/2012 tentang Kendaraan, PP No 22/2021 tentang Pedoman
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Perindustrian No 27/2020
tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Tingkat Komponen
Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai
(Battery Electric Vehicle). Kita memiliki Peraturan Presiden No 55/2019 tentang Percepatan
KBLBB, selain Peraturan Presiden No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional di mana
salah satu pasal mengamanatkan penerapan fuel economy standard (standard Carbon kendaraan)
selambat-lambatnya pada 2020. Fuel economy standard adalah persemaian yang baik untuk
KBLBB dan kendaraan rendah (nir) Carbon.

Terkait Peraturan Menteri Perindustrian No 27/2020, kiranya telah memberikan panduan untuk
pelaksanaan kebijakan kendaraan listrik berbasis battery (KBLBB) di mana KBLBB akan masuk
ke pasar secara bertahap sehingga pada 2040 total penjualan kendaraan bermotor di Indonesia
adalah KBLBB. Sekalipun kendaraan berteknologi motor bakar (ICE tech) masih ada yang
beroperasio di jalan raya di Indonesia, namun secara perlahan akan digantikan oleh KBLBB sesuai
dengan tenggat peta jalan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya peta jalan dibuat lebih
detail, sebagai acuan teknis yang terukur pelaksanaan peta jalan KBLBB dengan 100% total
penjualan kendaraan roda 2-3 dan bus adalah KBLBB (e-2-3 wheeler dan e-Bus) pada 2030; 100%

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 33
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
total penjualan kendaraan penumpang ringan (Light Duty Vehicle) seperti sedan, MPV, SUV
adalah KBLBB pada 2035; dan total penjualan kendaraan berat (Heavy Duty Vehicle) seperti truck,
trailer, dll adalah KBLBB pada 2040.

Gambar 9. Peta Jalan KBLBB di Indonesia

10. Ekses Tenaga Listrik (Excess Power)

Sebagaimana kita ketahui, selain terdapat over supply tenaga listrik yang relative lebih tinggi dari
kebutuhan tenaga listrik industry, transportasi dan komersial serta rumah tangga, juga terdapat
excess power yaitu kelebihan tenaga listrik di saat tidak berada di beban puncak. Excess power ini perlu
dicarikan solusi untuk pemanfaatannya sehingga tidak menjadi energi yang sia-sia. Diversifikasi

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 34
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
penggunaan excess power termasuk pemanfaatan kendaraan listrik adalah cara bijak untuk menyerap
energi yang terbengkalai dan terbuang percuma ini.

Table 7. Total Penjualan Tenaga Lisrik


Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017* 2018 2019 2020**
Rumah Tangga 64.581 71.554 76.579 83.402 87.972 92.886 93.837 97.143 102.917 111.280
Industri 54.232 59.635 63.774 65.295 63.533 67.586 71.716 76.345 77.142 71.479
Bisnis 27.718 30.084 32.886 35.507 36.108 38.963 40.873 43.244 46.118 42.128
Sosial 3.959 4.405 4.405 5.400 5.889 6.573 7.046 7.726 8.554 8.037
Gedung Kantor Pemerintah 2.750 3.018 3.018 3.440 3.669 3.969 4.083 4.363 4.709 4.597
Penerangan Jalan Umum 3.049 3.123 3.233 3.375 3.429 3.478 3.512 3.612 3.618 3.620
Jumlah 156.289 171.819 183.895 196.419 200.600 213.455 221.067 232.433 243.058 241.141
Perumbuhan (%) 9,94% 7,37% 6,47% 2,13% 6,41% 3,57% 5,14% 4,57% -0,79%
*) Tarakan dimasukkan mulai 2017.
**) Statistik PLN 2020 (unaudited)

Table 8. Kapasitas Terpasang Tenag Listrik (MW)


2017 2018 2019 2020

Excess Power/ Excess Power/ Excess Power/ Excess Power/


Uraian IPP/Kerjasama IPP/Kerjasama IPP/Kerjasama IPP/Kerjasama
Milik Sendiri Sewa Milik Sendiri Sewa Milik Sendiri Sewa Milik Sendiri Sewa
dengan Pemegang dengan Pemegang dengan Pemegang dengan Pemegang
IUPTL Lain IUPTL Lain IUPTL Lain IUPTL Lain

PLTA /PLTM 3.583,15 0,12 1.276,85 3.582,98 0,24 1355,26 3.583,98 1.397,16 3.584,07 1.589,97
PLTA Pumped Storage
PLTP 550,89 1.645,80 579,50 1.344,80 579,50 1.859,80 579,26 1.863,42
PLTBlomas 0,50 145,49 0,50 171,04 0,50 171,24 0,50 119,12
PLTSA
PLTS 7,98 1,35 11,06 12,07 0,56 12,56 12,44 0,75 51,56 16,71 0,75 61,56
PLT Bio Fuel
PLT EBT lain 0,38 0,60 0,47 70,60 0,47 130,60 0,47 130,60
PLTG 3.075,83 669,63 795,13 3.133,61 959,08 544,13 3.095,50 262,66 969,13 2.842,67 187,76 922,50
PLTGU 9.022,54 60,00 933,80 10.152,11 60,00 933,80 10.351,76 30 993,80 11.190,31 863,63
PLTMG 30,32 46,50 21,00 1.193,83 397,39 141,46 1.903,97 433,55 30,30
PLTD 3.849,71 2.172,64 525,80 4.383,42 1.380,68 520,00 3.581,31 1.049,07 284,10 3.369,89 729,06 284,00
PLTGB
PLTU Batubara 17.770,50 45,00 7.873,20 17.990,00 90,00 8.398,50 18.576,50 90 10.736,50 18.615,63 90,00 11.454,50
PLTU Minyak/Gas 1.560,00 9,00 41,20 1.585,00 41,20 1.585,00 1.585,00
Impor
Sub Total 39.451,80 3.004,24 13.269,93 41.419,66 2.490,56 13.391,89 42.560,79 1.829,87 16.735,35 43.688,48 1.441,12 17.319,60
Total 55.725,97 57.302,11 61.126,01 62.449,20
*) Pembangkit Proyek tidak dimasukkan.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 35
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
C. Visi dan Tujuan

Visi adalah kebijakan fiskal yang berkeadilan berdasarkan prinsip polluter pay, pencemar membayar
sesuai dengan level grCO2/km kendaraan.

Sementara itu, tujuannya adalah:


1. Menyampaikan berbagai masukan, saran dan rekomendasi dari berbagai pertemuan yang
memfasilitasi proses dialog kebijakan Standar Karbon Kendaraan dan Kebijakan Fiskal
yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Keuangan (BKF dan Ditjen Bea Cukai), Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional, dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
2. Merumuskan dan mengusulkan Standar Karbon Kendaraan, termasuk skema
insentif/disinsentif fiskal (fiscal feebate/rebate scheme) berdasarkan tingkat grCO2/km;
diperlakukan secara universal untuk berbagai pilihan teknologi kendaraan: ICE, flexi-Car,
BEV, HEV, PHEV, FCEV, hydrogen-ICE.
3. Membangun komitmen untuk penetapan regulasi Standar Karbon Kendaraan berikut
skema insentif/disinsentif fiskal (fiscal feebate/rebate scheme) untuk percepatan Kendaraan
Rendah Emisi Karbon dan efisiensi energi nasional, khususnya dimulai dari KBLBB.

D. Opsi Kebijakan

1. Neraca Tenaga Listrik: Mengalirkan Ekses Daya Listrik Terdampar

Total pasokan energi primer Indonesia pada tahun 2019 sebesar 226,9 juta TOE dengan
pasokan terbesar berupa batubara sebesar 81,4 juta TOE (35,9%), diikuti minyak sebesar 76,5
juta TOE (33,7%), dan gas sebesar 40,4 juta TOE (17,8%). Sisanya sebesar 28,6 juta TOE
(12,6%) dipenuhi oleh EBT (energi baru dan terbarukan) yang terdiri dari energi air, panas
bumi, surya, angin, EBT lainnya, PJU & LTSHE, biofuel, biomassa dan biogas.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 36
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Dari total pasokan energi primer tersebut, 22,28 TOE atau setara dengan 295.449,00 TWh
telah dikonversi menjadi tenaga listrik untuk menggerakkan sektor rumah tangga, industri,
komersial dan transportasi masing-masing sebesar 102.809,20 TWh, 93.388,90 TWh,
62.569,40 TWh dan 348,90 TWh, sehingga total pemanfaatannya adalah 259.116.40 TWh.

Total Produksi Tenaga Listrik Nasional


2019
PLTU Batubara 174.493
PLTGU 43.154
PLTA 21.161
PLTD 10.456
Pembangkit Listrik

PLTP 14.100
PLTG 8.790
PLTU Gas 3.958
PLTSa 21
PLTU Minyak 126
PLTMG 6.417
PLTS 118
PLTB 489
PLT Bm 11.548
PLT Biogas 618

- 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 180.000


GWh
Gambar 10. Pembangkit Listrik dan Kapasitasnya di Indonesia

Masih ada sisa (excess power) sebesar 36.332,60 TWh yang menganggur, sehingga perlu dicari
pasarnya agar energi yang terbengkalai ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Salah satu pasar yang potensial adalah sektor transportasi dengan
mengembangkan elektrifikasi sektor ini, baik dalam kerangka angkutan umum massal
berlistrik, maupun kendaraan pribadi berlistrik (mobil dan roda 2-3).

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 37
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Table 9. Neraca Daya Listrik, Supply and Demand (2019)

Source: Autor Calculation based on Ministry of EMR’s Annual Report, 2019

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dengan memanfaatkan kapasitas listrik yang
menganggur (excess power) alias daya listrik terdampar yang mencapai 36.332,60 TWh (2019),
dapat menggerakkan selama 1 (satu) tahun sebanyak 25.423.737 sepeda motor listrik, 295.730
bus listrik dan 3.722.729 mobil listrik. Artinya bisa menggerakkan dua pertiga sepeda motor di
Jabodetabek, empat per-lima mobil penumpang di DKI Jakarta, dan hampir sepertiga bus
nasional di Indonesia selama setahun (periksa table 10). Jika ekses daya listrik yang terdampar
hanya dialokasikan untuk sepeda motor, maka dapat menggerakkan 50,3% dari total sepeda
motor di Indonesia selama setahun.

Dengan memanfaatkan tenaga listrik (excess power) yang terdampar untuk menggerakkan
armada angkutan jalan, maka beban pemerintah dalam penyediaan pasokan BBM dapat
dikurangi, baik (1) beban teknis perdagangan internasional dalam proses pengadaan, (2) beban
yang menyertai defisit pada neraca perdagangan yang berdampak pada sistem moneter, dan (3)
beban “subsidi” BBM.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 38
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Table 10. Potensi Kendaraan Listrik yang Digerakkan oleh Excess Power yang Terdampar
VKT Per Unit of
Potential of VKT EV Number of EV
Excess Power of Energy
Powered by Excess (Km/Year) Powered by Excess
Type of Vehicle Electricity Economy
Power Power
(kWh) (kWh/Km)
(Km)
Per Per (Unit)
Day Annum
e-2-Wheelers 13.559.326.320,00 30 406.779.789.600 50 16.000 25.423.737
e-Bus 14.267.812.020,00 1,3 18.548.155.626 196 62.720 295.730
e-Car 8.509.094.920,00 7 59.563.664.440 50 16.000 3.722.729
TOTAL 36.336.233.260,00
Source: Autor Calculation based on data Indonesian Energy Outlook, 2019

2. Merebut Pangsa Pasar KBLBB dengan Membangun Integrator of EV Manufacturer

Selama lebih dari setengah abad, Indonesia bergantung pada negara lain untuk penyediaan
kendaraan bermotor. Padahal banyak putra putri bangsa yang memiliki kemampuan untuk
mengembangkan industri kendaraan bermotor, baik pada tataran teknis rancang bangun,
teknis produksi, teknis perawatan, perencanaan pasar, rencana bisnis dan manajerial serta
integrator pabrikan kendaraan. Namun faktanya, Indonesia tidak memiliki industri otomotif.
Sehingga banyak ahli-ahli putra-putri bangsa hanya melayani perusahaan multinasional (MNC).
Bahkan MNC di bidang otomotif yang memiliki pabrik di Indonesia tidak lebih dari anak
perusahaan yang semuanya dikendalikan oleh perusahaan prinsipal yang berasal dari negara
asalnya.

Dengan terciptanya peluang untuk beralih ke penggunaan kendaraan listrik sesuai dengan
komitmen global Paris Agreement (2015) yang di Indonesia telah diratifikasi melalui UU No.
16/2016, maka saatnya teknologi dan bisnis kendaraan listrik untuk direbut dan dikembangkan
dengan tujuan menjadi andalan industri otomotif di masa depan untuk mempertahankan
pertumbuhan hijau, sejalan dengan NDC 2030, dan NZE 2060atau lebih cepat.

3 (tiga) prasyarat keunggulan bersaing (competitive advantages) dalam pengembangan industri


kendaraan listrik; ke-tiga-tiganya dimiliki oleh Indonesia yaitu keberhasilan pengembangan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 39
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
prototipe (sepeda motor, becak, kendaraan penumpang kecil, kendaraan besar baik angkutan
penumpang maupun barang), ketersediaan bahan galian untuk produksi kendaraan listrik
terutama untuk penyimpanan baterai (Ni, Co, Al, rare-earth), dan potensi pasar yang sangat
besar (pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara).

Untuk itu, kebijakan nasional di bidang industri otomotif perlu diarahkan untuk menangkap
peluang pengembangan dan produksi kendaraan listrik, dengan mempersiapkan pengusaha
nasional dan/atau badan usaha milik negara untuk berinvestasi di sektor ini. Jika pembiayaan
untuk CAPEX bermasalah, maka peran pemerintah adalah mendorong perbankan nasional
untuk menyediakan pembiayaan CAPEX bahkan OPEX untuk pengembangan dan
pengoperasian industri kendaraan listrik. Dan agar industri kendaraan listrik kita kedepannya
mampu menembus pasar ekspor sekaligus mendapatkan tambahan pembiayaan, tidak ada
salahnya juga jika didorong dengan sinergi dengan perusahaan pengembang kendaraan listrik
dari negara lain sehingga TKDN (local content) posisinya cukup set-up dengan proporsi 40-60%.
Dengan sinergi seperti ini, kesulitan pembiayaan dan kesejajaran dengan upaya penetrasi pasar
global (menembus pasar global) dapat diatasi.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 40
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Tabel 11. Jumlah Armada Mobil Listrik, Juni 2022

791
24%

2508
76% HEV BEV

e-Car Utilization in Indonesia,


June 2022
Gambar 11. Komposisi Kendaraan Listrik
di Indonesia

3. Pembiayaan

Sebagai pendatang baru di industri ini,


tentunya faktor pembiayaan mutlak
diperlukan. Sama halnya dengan start-up,
perkembangan perusahaan yang bergerak di
industri kendaraan listrik juga terkendala
dengan ketersediaan, dan kecukupan
pendanaan CAPEX pembangunan pabrik,
dan homologasinya; serta untuk OPEX
proses produksi, pemasaran, dan
pengembangan usaha kendaraan listrik
tersebut. Posisi negara yang baru pulih dari
masa pandemi COVID-19 turut menambah

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 41
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Gambar 12.
Komposisi
Teknologi
Kendaraan Listrik di
Amerika Serikat.

Gambar 13. Total


Armada Kendaraaan
Listrik dan
Proyeksinya di US,
EU dan PRC.
https://theicct.org/2022-update-ev-sales-us-eu-ch-aug22/

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 42
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
intensitas beban pendanaan ini. Potensi pembiayaan yang masih memungkinkan adalah
membangun sinergi antara alokasi dari pemerintah (APBN/APBD, dan BUMN/BUMD),
alokasi pinjaman lunak dari perbankan nasional, partisipasi pengusaha nasional, akuisisi teknis
dalam operasi produksi kendaraan listrik dengan produsen suku cadang global untuk
menyediakan suku cadang terlebih dahulu serta menjalin kemitraan dengan perusahaan
pembiayaan global untuk menyediakan pembiayaan pembelian kendaraan listrik bagi
konsumen kendaraan listrik.

Tidak sulit untuk melakukan berbagai sinergi pembiayaan sekaligus menembus pasar nasional
dan global. Namun, harus ada perusahaan integrator pabrikan kendaran listrik dengan CEO
yang duduk di perusahaan produksi kendaraan listrik ini yang memiliki kemampuan mumpuni
dalam mengembangkan skema bisnis kendaraan listrik ini. PT INKA dan PT GESITS
memiliki potensi sebagai integrator pabrikan kendaraan listrik ini.

4. SPP dan Strategi Prioritasisasi KBLBB untuk Fasilitas Publik, dan Kendaraan Dinas

Sebagai pelopor teknologi baik global maupun nasional untuk memicu pertumbuhan
kendaraan listrik, maka program pengadaan kendaraan listrik harus dilakukan melalui
pengadaan sarana kendaraan dinas pemerintah (pusat dan daerah), BUMN (Badan Usaha Milik
Negara), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengadaan sarana angkutan umum yang
terkait dengan pengendalian dari pemerintah. Pengadaan kendaraan listrik untuk kendaraan
dinas pemerintah, dan BUMN/BUMD layak dilakukan mengingat proses pengadaan
kendaraan merupakan kegiatan rutin (tahunan) yang dibiayai dari APBN, APBD dan anggaran
BUMN/BUMD; pekerjaan yang diagregasi secara nasional ini pasti dilakukan setiap tahun,
hanya waktunya akan berbeda-beda sesuai dengan agenda pengadaan di instansi pemerintah,
BUMN dan BUMD. Pengadaan fasilitas public berkelanjutan (Sustainable Public
Procurement, SPP) untuk pengadaan fasilitas kendaraan dinas harus diterapkan dengan
berbagai kriteria sebagaimana diatur dalam SPP. Kendaraan listrik sebagai kendaraan hemat
energi, rendah emisi (GRK dan emisi polusi udara) merupakan kendaraan paling ideal saat ini
untuk memenuhi persyaratan SPP yang direkomendasikan dalam SDGs (Sustainable
Development Goals).

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 43
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Pengadaan kendaraan dinas pemerintah, dan angkutan umum berdasarkan ketentuan SPP ini
merupakan cita-cita saat ini, sebagai upaya mengatasi masalah pencemaran udara khususnya di
perkotaan yang akhir-akhir ini menunjukkan kategori kualitas udara sangat tidak sehat, sejalan
dengan upaya mitigasi GRK dari sektor transportasi yang telah mencapai 255 juta
tonCO2/tahun (2019), dan akan terus meningkat menjadi 470 juta ton/tahun pada tahun 2030
jika kita tidak melakukan apa pun untuk mengendalikannya. Penerapan SPP merupakan
terobosan untuk merebut penetrasi pasar kendaraan rendah emisi/rendah karbon, sekaligus
menempatkannya pada posisi strategis dalam menggeser keseimbangan baru dengan dominasi
kendaraan rendah emisi/rendah karbon.

Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Berkelanjutan (SPP), sangat penting


bahwa proses pengadaan kendaraan dinas pemerintah, dan angkutan umum –penggunaan
kendaraan listrik– harus dikelola berdasarkan prinsip keterbukaan, keadilan (fairness business),
efisien, efektif, akuntabel, dapat diaudit dan berkelanjutan; baik aspek kesinambungan
keandalan teknis dan pembiayaan, maupun dalam aspek meminimalkan dampak lingkungan,
dan penipisan sumber daya energi, dan bahan baku (bahan baku: Fe, Al, Ni, Li dll). SPP ini
akan menjadi justifikasi pengadaan kendaraan ramah lingkungan, khususnya yang akan
digunakan pada kendaraan dinas pemerintah, BUMN/BUMD, dan angkutan umum.
Pemanfaatan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas pemerintah, BUMN/BUMD, dan
angkutan umum harus menjadi penggerak utama industri kendaraan listrik nasional, sejalan
dengan upaya pengembangan kendaraan yang sejalan dengan agenda NDC 2030 dan NZE
2060 atau lebih cepat, serta prasyarat yang harus dilalui untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi hijau nasional.

5. Roadmap Pergeseran Energi Primer Fossil Menuju Energi Terbarukan untuk Tenaga Listrik

Banyak sikap skeptis dari berbagai pihak terkait adopsi kendaraan listrik yang dipandang hanya
mengalihkan emisi polusi udara dari perkotaan ke lokasi PLTU (pembangkit listrik tenaga batu
bara), PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel), PLTU (Biomassa -pembangkit listrik), PLTGU
(pembangkit listrik berbahan bakar LNG kombinasi tenaga uap), dll. Bahkan untuk emisi

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 44
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
GRK, di manapun sumber emisi GRK disembunyikan, tetap akan berpengaruh pada
temperatur global yang pada akhirnya tetap akan menimbulkan krisis iklim. Namun bukan
seperti itu (logika berpikirnya). Peluang merebut pasar kendaraan bermotor dengan penetrasi
kendaraan listrik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat dengan
kendaraan rendah emisi; harus dilakukan sesegera mungkin dan direalisasikan. Padahal untuk
saat ini pengoperasian kendaraan listrik harus menggunakan listrik dari pembangkit kotor
seperti tersebut di atas. Namun, penggunaan energi primer kotor kita alihkan ke penggunaan
energi primer yang lebih bersih dan terbarukan seperti PLTA, PLTS, Panas Bumi, dll secara
bertahap, konsisten dan terus menerus. Setidaknya (menggunakan energi primer yang sama)
dengan teknologi kendaraan listrik, maka energy loss menjadi lebih rendah sekitar 39 – 41% yang
identik pula dengan emisi karbon yang lebih rendah sebesar angka prosentase tersebut.
Selain mengendalikan emisi dari 2 – 3 cerobong asap pembangkit listrik batubara misalnya,
masih relatif lebih mudah dibandingkan dengan mengendalikan puluhan bahkan ratusan juta
knalpot kendaraan bermotor. Tentunya langkah ini (pemanfaatan energi listrik dengan energi
primer kotor) bersifat sementara, sambil mengawasi dan melaksanakan langkah-langkah
peralihan energi secara lebih ketat, agar pentahapan pembangkit kotor dapat segera dilakukan
dengan digantikan oleh pembangkit listrik. dengan energi primer terbarukan.

Perebutan pasar kendaraan listrik ini mendesak untuk dilakukan secepatnya. Setiap detik
keterlambatan hanya akan memperlambat adopsi kendaraan rendah emisi, mengingat
teknologi kendaraan memiliki umur teknis, di mana kendaraan dinas, dan armada angkutan
umum yang sudah habis masa pakai teknisnya saat ini harus segera diisi dengan kendaraan
rendah (nir) emisi/Carbon. Karena jika tidak, maka akan diisi ulang oleh teknologi kendaraan
high-emission/high-Carbon. Sehingga akan menunda pengadopsian kendaraan rendah (nir)
emisi/Carbon untuk satu putaran umur teknologi dari kendaraan tinggi emisi/Carbon yang
memiliki umur teknis rata-rata sekitar 7 – 10 tahun. Jika ini terjadi, adopsi kendaraan rendah
(nir) emisi/Carbon juga akan tertunda sekitar 7-10 tahun kemudian. Adopsi dalam artian
pelaksanaan dan pengadaan pelaksanaan teknis tidak serta merta berlaku, tetapi harus
menyesuaikan periodisasi proses pengadaan yang dikaitkan dengan umur teknis kendaraan
yang ada. Dan mengabaikan momentum percepatan kendaraan rendah (nir) emisi/Carbon
saat ini, tentu juga menghilangkan peluang yang dapat dibangun termasuk kapitalisasi sumber

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 45
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
daya yang dapat dibangun apabila adopsi kendaraan rendah (nir) emisi/Carbon saat ini.
Akumulsi sumber daya yang dibangun sejak saat ini ketika kita mulai menerapkan kendaraan
rendah (nir) emisi/Carbon akan terkapitalisasi untuk melakukan percepattan berikutnya dalam
pengembangan kendaraan nir-emisi/Carbon.

6. Kebijaka Fiskal

Skema feebate/rebate Cukai Karbon. Kini adalah waktu yang tepat untuk menerapkan
cukai Carbon. Selain cukai yang diterapkan di Indonesia masih sangat terbatas (seperti cukai
tembakau, minuman keras), penting juga untuk mengembangkan kebijakan cukai lainnya untuk
mengendalikan peredaran bahan berbahaya, yang dapat merusak lingkungan dan iklim kita.

Dalam suasana keprihatinan global terhadap krisis iklim yang dipicu oleh kenaikan suhu global,
langkah konkrit untuk mengendalikannya adalah dengan menjaga agar suhu atmosfer global
tidak meningkat. Kesepakatan Paris menyepakati untuk menjaga suhu global tidak lebih dari
1,50C pada tahun 2100. Langkah yang diambil antara lain penggunaan kendaraan rendah (nir)
Carbon. Sementara itu, pengendalian emisi karbon dari kendaraan tidak hanya akan efektif jika
dilakukan hanya dengan himbauan, tetapi juga harus mengembangkan kebijakan wajib,
sehingga upaya penerapan kendaraan rendah (nir) Carbon efektif dalam mencapai target
penurunan emisi Carbon.

Untuk menciptakan kebijakan wajib pengendalian emisi Carbon kendaraan bermotor, perlu
ditetapkan Standard Carbon Kendaraan, yang kemudian diikuti dengan kebijakan fiskal yang
mampu memberikan ganjaran bagi kendaraan yang memenuhi standard dan/atau sanksi
hukuman bagi kendaraan yang melanggar standard alias tidak memenuhi standard Carbon.
Fiscal feebate/rebate scheme harus dikembangkan dalam rangka implementasi prinsip polluters pay,
salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan hasil World Summit on Sustainable
Development tahun 1992 tentang Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang kita ratifikasi
tahun 1997. Untuk itu perlu ditetapkan standard Carbon grCO2/km kendaraan bermotor,
artinya emisi maksimum grCO2/km yang boleh dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dengan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 46
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Gambar 14. Carbon Standard (grCO2/km) sebagai landasan untuk pengendalian emisi Carbon kendaraan.

berbagai varian, baik BEV, HEV, PHEV, FCEV, maupun ICEs (ICEs dengan bahan bakar
fosil, ICEs dengan biofuel, atau ICEs dengan bahan bakar hydrogen).

Sebagai dasar, KPBB sebenarnya telah mengusulkan standard grCO2/km pada skema LCEV
yang menjadi substansi utama PP No 41/2013, selain juga untuk menindaklanjuti PERPRES
No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Energi Nasional (RUEN) yang salah satu pasalnya
mengatur penerapan Standar Ekonomi BBM (fuel economy standard) pada tahun 2020. Sekali lagi,
Standar Ekonomi BBM adalah terminologi lain untuk Standar Carbon Kendaraan; intinya
mengatur hal yang sama.

Dalam perkembangannya, Fuel Economy Standard dapat diterapkan secara universal tanpa
memandang teknologi, baik teknologi ICE, BEV, HEV, PHEV, FCEV termasuk ICE dengan
bahan bakar hidrogen, ICE dengan bio-fuel, dll; mengingat penghematan bahan bakar
digunakan untuk mengukur tingkat (performa) konsumsi energi kendaraan tersebut, maka
teknologi dan energi apapun yang digunakan; dapat diperlakukan sama dan setara dengan
mengkonversi total energi yang dikonsumsi dengan satuan energi yang sama (Joule).

Atau agar lebih mudah diterapkan secara universal, kita dapat menggunakan standard Carbon
kendaraan. Terminologi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia adalah LCEV,
Low Carbon Emission Vehicle (PP No 41/2013); yang bisa berlaku untuk semua jenis

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 47
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
teknologi, apakah teknologi ICE, BEV, HEV, PHEV atau ICE dengan bahan bakar hidrogen
(FCEV), ICE dengan bahan bakar nabati, dll. Kita cukup dengan mempertimbangkan beban
emisi grCO2/km kendaraan terhadap standard Carbon kendaraan (grCO2/km) agar dapat
menetapkan posisi fiskalnya, apakah harus menanggung feebate atau sebaliknya memperoleh
rebate fiscal.

Dan meskipun mandat untuk menetapkan dan menerapkan Standard Ekonomi Bahan Bakar
belum terealisasi, bukan berarti mandat tersebut batal. Namun, tetap menjadi tanggung jawab
kita semua, terutama pemerintah, untuk mewujudkan kewajiban ini dengan pedoman yang
rinci, sistematis, terarah, dan berlaku secara masif. Untuk itu, Standar Karbon Kendaraan atau
Standar Ekonomi Bahan Bakar harus segera diterapkan.

Untuk mendaur ulang apa yang kami usulkan pada 2012/2013 ketika pemerintah menyiapkan
pembebasan PPnBM untuk LCEV, kembali pada 2017/2018 KPBB mengusulkan agar pada
2020 (sesuai amanat PERPRES No 22/2017) untuk menetapkan Standar Ekonomi Bahan
Bakar 20 Km/L untuk kendaraan penumpang ringan (Light Duty Vehicle) atau setara dengan
level Carbon kendaraan sebesar 118 grCO2/Km. Kemudian angka ini diusulkan KPBB untuk
diperketat pada tahun 2025 menjadi 28 Km/L atau setara dengan level Carbon kendaraan
sebesar 85,43 grCO2/Km. Selanjutnya dalam rangka pelaksanaan Program Unggulan Nasional
pada Kendaraan Listrik 2022/2023, diusulkan untuk memperketat kembali Standar Ekonomi
Bahan Bakar ini pada tahun 2030 menjadi 35 Km/L atau dengan Standar Karbon Kendaraan
60 grCO2/Km.

Demikian pula, kendaraan berat dan sepeda motor juga harus menetapkan Standar Ekonomi
Bahan Bakar dan/atau Standar Carbon Kendaraan sebagaimana diusulkan dalam Bab B.7.
Standar Carbon Kendaraan dan Manfaat Ekonomi.

Biaya Teknologi Penurunan Level grCO2/Km. Selain itu, perlu ditentukan biaya teknologi
penurunan per gram emisi CO2 kendaraan sebagai angka pengali untuk mendapatkan nilai
cukai yang harus dibayar oleh 1 (satu) unit kendaraan apabila kendaraan tersebut tidak
memenuhi standard Carbon. Dan atau sebaliknya sebagai angka pengali guna mendapatkan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 48
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
nilai insentif fiskal yang harus diberikan kepada 1 (satu) unit kendaraan apabila kendaraan
tersebut berhasil memenuhi standar Carbon. Fairness business, kendaraan yang memenuhi
standard Carbon berhak mendapatkan insentif dan sebaliknya kendaraan yang tidak memenuhi
standar Carbon dikenakan sanksi; sehingga terjadi pengalihan dana cukai yang dipungut dari
kendaraan yang tidak memenuhi standard Carbon ke kendaraan yang memenuhi standard
Carbon. Pengalihan dana ini memungkinkan kendaraan rendah karbon menjadi kendaraan
dengan harga pasar yang relatif lebih rendah, sehingga menjadi preferensi konsumen pembeli
kendaraan. Dan kendaraan yang menjadi preferensi konsumen juga merupakan preferensi
industri untuk memproduksi, dan memasarkannya. Jadi, ini akan menjadi solusi saat ini di mana
harga kendaraan listrik yang masih 2 – 2,5 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan
kendaraan berteknologi motor bakar (teknologi ICE); sehingga saat ini kendaraan listrik bukan
menjadi preferensi konsumen. Insentif fiscal ini dimaksudkan sebagai kompensasi atas harga
teknologi yang harus dibayar untuk penurunan level grCO2/km. Harga penurunan grCO2/km
ditetapkan secara sederhana dengan membandingkan proporsi level grCO2/km berbagai
kendaraan terhadap HPP berbagai kendaraan tersebut. Hasil perhitungan dapat diperiksa pada
table 12.

Skema Feebate/rebate. Skema feebate/rebate adalah skema insentif/disinsentif fiskal


untuk LCEV (Low Carbon Emission Vehicle) sesuai PP No 41/2013 yang kemudian diubah
sesuai PP No 73/2019 dan PP No 74/2021. Seperti dijelaskan di atas, insentif fiskal bukan
merupakan dana alokasi khusus dari APBN, melainkan alokasi yang diambil dari cukai
kendaraan yang melebihi standard grCO2/km. Dengan demikian, skema ini tidak
memberatkan keuangan pemerintah (APBN), bahkan jika banyak produk kendaraan yang tidak
memenuhi standard Carbon, maka ada potensi peningkatan pendapatan pemerintah dari cukai
Carbon ini meningkat. Yang penting, kendaraan bermotor yang memiliki level grCO2/km
lebih rendah atau paling hemat bahan bakar akan memiliki insentif lebih tinggi sehingga akan
menjadi kendaraan dengan harga relative lebih murah di pasar. Dengan demikian,
pengendalian Carbon berfungsi dengan mendorong minat (preferensi) masyarakat untuk
memanfaatkan kendaraan rendah karbon yang selanjutnya akan mendorong industri untuk
memproduksi dan memasarkan kendaraan yang menjadi preferensi pasar seperti tersebut di
atas.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 49
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Ad valorem. Selain itu, berlaku ad valorem, yaitu prinsip bahwa besaran cukai, dan atau
besaran insentif akan bergantung (proporsional) pada nilai tertentu yang dihitung menurut
kadar CO2 kendaraan (dikalikan) dengan biaya teknologi penurunan per grCO2/km atas (per
unit) kendaraan bermotor. Jadi, cukai tidak tetap nilainya tetapi sangat bergantung pada kadar
grCO2/km kendaraan, semakin besar selisihnya di atas standard yang ditetapkan pemerintah
maka semakin tinggi nilai cukai yang harus dibayar. Demikian juga semakin besar gap di bawah
standar dengan level grCO2/km maka kendaraan akan mendapatkan nilai insentif yang lebih
tinggi dari alokasi dana yang diambil dari cukai Carbon seperti yang dijelaskan pada
pembahasan skema feebate/rebate.

Pengukuran moneter. Insentif/disinsentif cukai Carbon dinyatakan dalam satuan moneter


(mata uang) akan dikenakan pada saat pembelian kendaraan baru (sekali per unit kendaraan).
Dengan demikian level emisi grCO2/km kendaraan akan dikonversi sebagai biaya
(monetizing) dengan menghitung harga teknologi penurunan Carbon sehingga dapat diketahui
nilai cukai yang harus dipungut dan atau insentif yang harus diberikan. Fungsi cukai Carbon di
sini jelas untuk menggeser preferensi konsumen agar memilih membeli kendaraan rendah
Carbon dan hemat energi yang dapat diperoleh dengan harga beli yang relatif terjangkau
sebagai konsekuensi penerapan kebijakan skema feebate/rebate. Penerapan kebijakan skema
feebate/rebate, meskipun hanya diterapkan satu kali pada saat pembelian, merupakan gerbang
utama dalam pengendalian konsumsi energi, dan mitigasi GRK dari kendaraan bermotor.

Prinsip netralitas biaya (cost neutrality). Asas netralitas biaya adalah asas bahwa kebijakan
diambil bukan dalam rangka mengumpulkan penerimaan negara, tetapi semata-mata untuk
pengendalian emisi Carbon yang menjadi perhatian secara global, yaitu dalam rangka
pengendalian krisis iklim. Jadi, kalaupun ada penerimaan negara dari cukai Carbon yang
dipungut dari kendaraan yang tidak memenuhi standar Carbon, maka peneriman tersebut akan
dialokasikan kembali untuk insentif bagi kendaraan yang memenuhi standar Carbon (earmark).

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 50
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Table 12. Perbandingan Efek Fiskal pada Penetrasi Pasar LCEV
CO2 Emission Incremental Cost
Current Selling Incremental Cost Feebate/Rebate New Selling Price
Vehicle Type COGS (Rp) Status CO2 Reduction Import Duty PPh Import PPN PPnBM BBN PKB Profit (Rp)
Price (Rp) per grCO2/km (Rp) CO2 Excise (Rp) (Rp)
(grCO2/km) (Rp)
BEV - 125 kW 715.000.000 429.429.429 0 222.166.736 1.205.665 - 144.679.793 - - 47.237.237 22.545.045 53.678.679 8.588.589 85.885.886 502.685.072
HEV - 2.0 + 82.77 kW 522.150.000 241.177.829 85,50 34.996.814 179.531 - 6.193.809 96.471.132 24.117.783 26.529.561 50.647.344 30.147.229 4.823.557 48.235.566 515.956.191
ICE - 2.0 cc G 467.000.000 206.181.015 185,34 - 0 78.783.968 103.090.508 20.618.102 22.679.912 43.298.013 25.772.627 4.123.620 41.236.203 545.783.968
ICE - 2.4 cc D 471.900.000 208.344.371 183,19 - 0 76.189.919 104.172.185 20.834.437 22.917.881 43.752.318 26.043.046 4.166.887 41.668.874 548.089.919

Kehilangan energi (energy loss). Potensi Table 13. Perbandingan Pricing Component
energy loss dari EV adalah ~10%. Ini jauh lebih BEV – 125 kW Rp
rendah daripada energy loss nya ICE yang Selling Price 715.000.000
sebesar ~39-41%, jadi selain memiliki efisiensi COGS [Selling Price - (0% Import 429.429.429
yang lebih baik, EV juga memiliki tingkat Duty+0% PPh Import+11% PPN+5%
grCO2/km ~44% lebih rendah daripada PPnBM+12,5%BBN+2%PKB)-20%
teknologi ICE. Dengan demikian, EV lebih profit].
mudah dan efisien dalam mencapai status HEV – 2.0 G + 82.77 kW - V Class Hybrid
LCEV. Selling Price 522.150.000
COGS [Selling Price - (40% Import 241.177.829
Duty+10% PPh Import+11%
Bahwa penerapan insentif kendaraan rendah PPN+(20%x1,050x
Karbon (LCEV, Low Carbon Emission PPnBM)+12,5%BBN+2%PKB)-20%
Vehicles) berdasarkan PP NO 41/2013 yang profit].
direvisi dengan PP No 73/2019 dan direvisi lagi ICE – 2.0 G – V Class
dengan PP No 74 /2021 belum efektif Selling Price 467.000.000
mengendalikan emisi Carbon. Karena insentif COGS [Selling Price - (50% Import 206.181.015
yang diberikan tidak mampu mempengaruhi Duty+10% PPh Import+11%
total harga mobil yang harus dibayar konsumen, PPN+(20x1,050xPPnBM)
+12,5%BBN+2%PKB)-20% profit].
di mana teknologi ICE, dan kendaraan HEV
ICE - 2.4 Diesel – V Class
masih jauh lebih murah dibandingkan kendaraan
Selling Price 471.900.000
listrik BEV (KBLBB). Sedangkan jika
208.344.371
diterapkan skema feebate/rebate, secara efektif COGS [Selling Price - (50% Import
Duty+10% PPh Import+11%
akan berdampak pada keseimbangan baru di
PPN+(20x1,050xPPnBM)
mana harga BEV (KBLBB) lebih murah +12,5%BBN+2%PKB)-20% profit].

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 51
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
dibandingkan kendaraan berteknologi ICE, sehingga relatif mampu bersaing dan menembus
pasar.

PPnBM kurang efektif sebagai instrument pengendalian CO2 kendaraan. Cukai dengan skema
feebate/rebate efektif mengendalikan CO2 kendaraan terbukti mampu menggeser komposisi
harga jual kendaraan sehingga KBLBB menjadi lebih kompetitif di pasar. Cukai Carbon
dengan skema feebate/rebate berperan mengendalikan CO2 kendaraan, sementara PPnBM dapat
dipertahankan untuk berparan sebagai sumber penerimaan negara dari barang-barang mewah.

Untuk menjaga penerimaan negara dari PPnBM, disarankan agar negara tetap menerapkan
PPnBM secara murni sebagai upaya pemungutan pajak atas tingkat kemewahan kendaraan
untuk dijadikan sebagai penerimaan negara. Dengan skema seperti ini, kendaraan listrik
mampu bersaing (harga) sebagai bekal utama dalam menembus pasar.

Table 14. Perbandingan Efek Fiskal pada Penetrasi Pasar LCEV Kendaraan Roda-2
Sedangkan untuk ICE 2W - 125 cc EV 2W - 5kW
penerapan sepeda PARTICULAR Tax Component
Pertamax92
Coal Fired Power Renewable Power
motor dengan Plant Electricity Plant Eletricity

teknologi penurunan COGS/CIF 15.360.825 19.700.348 19.700.348


harga per grCO2/km - - -
sebesar 2,25% dari Import Duty 50,00% - - -
biaya produksi, PPh Import 7,50% - - -
tampaknya Cukai PPN 11,00% 1.689.691 2.167.038 2.167.038
Karbon sangat Carbon Excise Base on grCO2/km 3.538.225 - 2.023.568 - 11.081.446
menarik dalam PPnBM 0 - 125% - - -
memberikan efek BBN 2,00% 307.216 - -
penurunan harga PKB 12,50% 1.920.103 2.462.544 2.462.544
sepeda motor dengan Profit 20,00% 3.072.165 3.940.070 3.940.070
grCO2/km lebih
Price with Fiscal Feebate/Rebate 25.888.225 26.246.432 17.188.554
rendah. Bahkan
Original Selling Price 22.350.000 28.270.000 28.270.000
ketika listrik sepeda

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 52
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
motor menggunakan listrik yang berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara, sehingga
harga jual e-motorcycle mampu bersaing dengan sepeda motor ICE yang memiliki perbedaan
harga yang tidak signifikan yaitu Rp 358.207. Apalagi bila menggunakan listrik yang berasal
dari energi terbarukan, yang pada contoh ini menggunakan listrik dari panel PV, maka e-
motorcycle memiliki harga jual yang lebih rendah.

Updating feebate/rebate parameter. Ketika adopsi nir-Carbon yang direpresentasikan oleh BEV
meningkat, tentu strukturnya harus dimodifikasi dengan tujuan agar tidak terjadi deficit (penerimaan
cukai Carbon lebih rendah dari insentif yang harus dibayarkan oleh pemerintah untuk kepemilikan
kendaraan nir-Carbon) yang menyebabkan pemerintah harus meng-cover pembiayaan untuk rabat
kendaraan nir-Carbon ini. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa opsi antara lain mengurangi rabat,
menciptakan parameter baru untuk pemberian rabat seperti fuel economy (energy economy or energy
performance), dll. Yang terakhir ini adalah pendekatan meningkatkan ambang fuel economy standard untuk
kendaraan tertentu yang dapat tetap mampu menjaga keseimbangan alokasi penerimaan cukai dari
feebate kendaraan high-Carbon dan pembiayaan untuk rebate kendaraan nir-low Carbon dari waktu ke
waktu.

Fairness dengan Feebate/Rebate. Pengenaan biaya-insentif dalam sistem feebate/rebate


seperti ini dapat saja jatuh pada sasaran yang tidak tepat, misalnya rebate jatuh kepada pembeli
mobil baru yang berpenghasilan tinggi, atau sebaliknya feebate dikenakan pada pembeli mobil
baru yang berpenghasilan rendah. Tentu saja hal ini adil, mengingat kebijakan fiscal ini
didasarkan pada level grCO2/km dan atau fuel economy standard (km/L) yang melekat
sebagai label pada kendaraan yang dipasarkan, sehingga pembeli mobil baru dapat melihat
mana kendaraan yang memiliki level grCO2/km rendah dan atau memiliki fuel economy level
(km/L) lebih tinggi. Artinya pembeli kendaraan baru tetap memiliki opsi untuk membeli
kendaraan nir-Carbon, low-Carbon ataupun high Carbon, dengan konsekuensi fiskalnya
masing-masing. Jadi tidak memandang strata sosial dan ekonomi para pembeli mobil baru,
apabila mereka membeli mobil mobil baru nir-Carbon, maka akan mendapatkan harga yang
lebih murah; dan sebaliknya apabila memilih membeli kendaraan baru high Carbon, maka
konsekuensinya harganya akan relative lebih mahal. Dan yang terpenting adalah pemerintah
tidak terbebani anggaran untuk subsidi kendaraan nir/rendah-Carbon ini.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 53
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
EV Procurement Subsidy (max)
Rp 'million
350,00
289,90
300,00
250,00
Rp 'million

200,00 160,50
159,00
150,00 115,70 112,50 108,00
105,00 103,50 97,50
100,00 70,50 70,50 60,00
50,00 39,80 30,60 28,50
0,00

Country

Gambar 14. Subsidi Pembelian Kendaraan Listrik di Berbagai Negara (max).

7. Lessons Learn

Pembelajaran dari RRC

Pemerintah RRC memberikan subsidi kepada pembeli EV baru, baik all-electric dan plug-in
hybrid dengan subsidi masing-masing sebesar RMB 12.600 (USD 1,836) dan RMB 4.800 (USD
689) per unit. Besaran subsidi per unit ini ditetapkan berdasar total kemampuan
anggaran/tahun Pemerintaah RRC yang kemudian dibagi total sales/year kendaraan listrik,
dengan komposisi PHEV yang memiliki level grCO2/km lebih tinggi 27 – 31% dibandingkan
BEV diberi subsidi yang lebih rendah, proporsional terhadap kemampuannya dalam
menurunkan emisi Carbon. Pemerintaah RRC mengurangi insentif fiscal ini secara bertahap
sebesar 10%, 20%, dan 30% masing-masing untuk 2020, 2021 dan 2022, bahkan
menghapuskannya mulai 2023.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 54
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Penerapan subsidi kendaraan Table 15. Total Vehicle Sales and EV Subsidy in China, 2022
listrik di RRC dilakukan untuk Total Sales
Vehicle Type Subsidy (USD) Total Subsidy (USD)
memicu pertumbuhan penjualan (Unit)
kendaraan listrik, mengingat BEV 1.836 4.305.600 7.905.081.600
industri kendaraan listrik adalah PHEV 689 2.870.400 1.977.705.600
pusat pertumbuhan ekonomi ICE/HEV - 21.818.424 -
baru bagi ekonomi makro RRC,
di mana RRC adalah global market TOTAL 28.994.424 9.882.787.200
leader dalam produksi dan pemasaran kendaraan listrik. Berdasar penguasaan industri
kendaraan listrik dengan focus pada Li-ion battery dan integrator kendaraan listrik, menjadikan
pemerintah RRC berani memberikan insentif/subsidi untuk pembelian kendaraan listrik
sebagai disebutkan di atas. Sekalipun dialokasi dana yang sangat besar untuk kendaraan listrik
ini (USD 9,882,787,200 FY 2022 ~ Rp 153.183.201.600.000), namun itu semata investasi untuk
merebut penguasaan industry kendaraan listrik global.

Pembelajaran dari Singapura

Pemerintah Singapura telah menerapkan kebijakan fiscal (dis)incentive atas pembelian


kendaraan baru sejak beberapa tahun yang lalu, dan lebih intensif lagi sejak 2020 dengan tujuan
untuk menghentikan penggunaan kendaraan pembakaran internal (ICE tech) dalam kerangka
mengendalikan pencemaran udara dan mitigasi emisi GRK. Skema (dis)incentive dapat dilihat
pada table 16 dan 17.

Berdasarkan table di atas, terlihat bahwa Pemerintah Singapura memberikan perlakuan yang
berbeda antara kendaraan nir-Carbon yang direpresentasikan dengan BEV, kendaraan rendah
Carbon yang direpresentasikan dengan HEV/PHEV dan kendaraan tinggi Carbon yang
direpresentasikan dengan ICEs. Kendaraan nir-Carbon tidak dikenakan surcharge Carbon
melainkan justru diberi rabat yang cukup besar (Band A2) dan bahkan sangat besar untuk
kategori kendaraan nir-Carbon yang lebih efisien (Band A1). Untuk kendaraan tertentu dengan
emisi Carbon relative moderate (tidak rendah tetapi juga tidak tinggi) tidak diberikan rabat dan
juga tidak dikenakan surcharge Carbon. Sementara kendaraan dengan emisi Carbon tinggi

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 55
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
dikenakan surcharge. Dengan demikian rabat dan surcharge ini akan mempengaruhi harga jual
kendaraan tersebut, di mana yang mendapat rabat maka harga kendaraan akan relative
menurun, begitu sebaliknya kendaraan yang dikenakan surcharge Carbon maka harganya
menjadi relative lebih tinggi. Tujuannya, tentu saja untuk meningkatkan preferensi konsumen
sehingga penetrasi pasar kendaraan nir- Carbon dan rendah Carbon akan meningkat.
Tabel 17.
Tabel 16. Singapore’s Examples of Common Car Models
in Tightened VES Bands

• BEV
• HEV
•ICE

8. Pengembangan dan Penyesuaian Jaringan Listrik oleh PLN Persero

Sebagaimana kita ketahui, bahwa untuk pemasangan fasilitas pengisian dalam rangka
pemanfaatan kendaraan listrik, perlu dilakukan analisis kemampuan jaringan instalasi listrik

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 56
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Insentif EV Norwegia dengan memperhatikan ukuran
kendaraan listrik, tegangan yang
dibutuhkan, jumlah kendaraan ,
• Tidak ada pajak pembelian/impor pada EV (1990-2022). Mulai tahun
2023, beberapa pajak pembelian berdasarkan berat mobil pada semua
lokasi pemasangan fasilitas pengisian;
EV baru. jadi, diputuskan untuk mengganti
• Pembebasan 25% PPN atas pembelian (2001-2022). Mulai tahun 2023, instalasi kabel listrik yang ada, daya
Norwegia akan menerapkan 25% PPN atas harga pembelian senilai trafo yang tersedia, dan sebagainya.
500.000 Kroner Norwegia ke atas. Pemasangan jaringan kabel listrik
• Tidak ada pajak jalan tahunan - PKB (1996-2021). Pengurangan pajak harus memiliki kapasitas yang
mulai 2021. Pajak penuh mulai 2022. mampu mengalirkan daya listrik
• Tidak ada biaya di jalan tol (1997-2017).
sesuai dengan daya yang dibutuhkan
• Tidak ada biaya untuk feri (2009- 2017).
kendaraan listrik tersebut, atau
• Maksimal 50% dari jumlah total tarif feri untuk kendaraan listrik (mulai
2018). kapasitas daya trafo terdekat, harus
• Maksimal 50% dari jumlah total tarif jalan tol (2018-2022). Dari 2023 dipasang trafo yang memadai sesuai
sebesar 70%. kebutuhan. Analisis selanjutnya
• Parkir kota gratis (1999- 2017). adalah kebutuhan pembiayaan, baik
• Akses ke jalur bus (sejak 2005). Aturan baru memungkinkan otoritas dalam proses pemasangan kabel,
lokal membatasi akses hanya untuk EV yang membawa satu penyesuaian/penambah- an trafo,
penumpang atau lebih (sejak 2016).
alat pengisian (reguler, maupun fast
• Pengurangan pajak mobil perusahaan:
o 25% pengurangan pajak mobil perusahaan (2000-2008).
charging) dan fa-silitas lainnya.
o 50% pengurangan pajak mobil perusahaan (2009-2017). a. Investasi Penambahan Daya
o Pengurangan pajak mobil perusahaan dikurangi menjadi 40% Listrik. Penambahan daya listrik ini
(2018-2021) dan 20 persen dari tahun 2022. memerlukan investasi yang mahal
• Pembebasan dari PPN 25% atas leasing (sejak 2015) yang dibebankan kepada pengguna
• Parlemen Norwegia memutuskan tujuan nasional bahwa semua mobil listrik untuk penggunaan kendaraan
baru yang dijual pada tahun 2025 harus nir-emisi (listrik atau hidrogen)
(2017).
listrik, yang nantinya dapat
• Hak atas charging facility untuk orang yang tinggal di gedung apartemen dibebankan kepada pengguna
(sejak 2017). individu, operator angkutan umum,
• Pengadaan fasilitas public termasuk kendaraan operasional pemerintah: dan pemerintah kota/kabupaten.
mulai tahun 2022 mobil harus menjadi nir-emisi (ZEV). Mulai 2025 hal Misalnya, dalam hal pengoperasian e-
yang sama berlaku untuk bus kota. Bus di DKI Jakarta, penambahan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 57
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
daya listrik beserta pemasangan kabel (pemasangan instalasi sambungan kabel),
dan penyediaan trafo jaringan ditanggung oleh pengelola BRT dan/atau operator
angkutan umum yang menjadi rekanan. Mengingat penyelenggaraan bus listrik ini
untuk menjalankan amanat Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang
Percepatan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai, maka kiranya investasi
penambahan infrastruktur ketenagalistrikan menjadi tanggung jawab negara dalam
hal ini melalui Direktorat Jenderal Tenaga Listrik yang secara teknis dilaksanakan
oleh PT PLN Persero. Artinya, semua stakeholder harus berperan sesuai amanat
Peraturan Presiden tersebut. Apalagi, agenda percepatan kendaraan listrik menjadi
pemicu perkembangan pasar bagi PT PLN Persero, baik dalam rangka
pemanfaatan/efektifitas kapasitas idle tenaga listrik (excess power) yang mencapai
36.332,60 TWh (2019); serta dalam rangka perluasan, dan peningkatan volume
produksi, dan penjualan tenaga listrik di masa mendatang. Untuk itu, Kementerian
Badan Usaha Milik Negara juga harus mengawal peran penting PT PLN Persero
dengan mengkoordinasikan teknis dan keekonomian usaha, sehingga pemasangan
kabel dan penambahan daya adalah murni menjadi tanggung jawab PT PLN
Persero, baik dalam rangka persiapan/ perencanaan, pembiayaan dan konstruksi
teknis. Menurut skema, akan memangkas birokrasi yang tidak perlu dan juga
koordinasi antar departemen, sehingga pelaksanaannya akan lebih cepat, dan
efektif; tidak menghalangi agenda percepatan adopsi kendaraan listrik.

b. Pengurangan tarif listrik: Rp 825/kWh menjadi Rp 700/kWh (maks). Mengingat


berbagai belanja modal untuk investasi pengadaan kendaraan listrik menjadi
tanggung jawab penuh pemilik kendaraan listrik, di mana beban pengadaan relatif
berat karena harga kendaraan listrik berkisar 1,5 sampai 2,5 kali lipat dari harga
kendaraan bermotor teknologi ICEs/BBM (dengan powertrain yang setara); maka
pemerintah harus bertindak untuk mengendalikan harga/tarif listrik untuk
kendaraan listrik tersebut guna memberikan insentif bagi pengoperasian kendaraan
listrik. Namun perlu diperhatikan bahwa tarif listrik ini tetap memberikan margin
keuntungan bagi PT PLN Persero. Tarif Rp 700/kWh atau maksimal Rp 825/kWh

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 58
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
(termasuk pajak) merupakan tarif ideal antara pengguna kendaraan listrik dengan
PT PLN Persero selaku penyedia tenaga listrik.

Sekali lagi, berkaca dari pengalaman pengelola BRT dan/atau operator bus, dengan tarif
listrik yang diberi discount, akan mengurangi beban pengelola BRT dan/atau operator bus
dalam pengisian energi untuk operasional bus sehari-hari. Begitu juga bagi pengelola
angkutan umum lainnya, seperti ojek listrik, penetapan tarif listrik ideal yang rasional ini
tentunya akan mempercepat penggunaan kendaraan listrik.

Sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi nasional dengan hadirnya industri kendaraan listrik
nasional, semua pihak hendaknya dapat fokus membangun ekosistem kendaraan listrik,
termasuk tarif listrik khusus untuk angkutan kendaraan listrik, baik kendaraan pribadi
maupun angkutan umum massal.

9. Jejak Carbon

Untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pembangunan rendah karbon dengan
menghadirkan penggunaan peralatan yang secara faktual rendah karbon; tentunya juga harus
dibarengi dengan langkah-langkah teknis yang sejalan dengan pemikiran rendah karbon.
Namun karena alasan perdagangan internasional atau dominasi teknologi dan pembiayaan oleh
pihak tertentu, produk kendaraan rendah karbon cenderung (pada kenyataannya) bukan
kendaraan rendah karbon, karena harus didistribusikan dari jauh dengan jejak karbon yang
cukup tinggi. Untuk itu, selain menjaga keunggulan daya saing produk dalam negeri, dampak
total CO2 (jejak Carbon) dari proses distribusi/pengiriman kendaraan dari pabrikan harus
diperhitungkan, yang akan menjadi objek insentif/disinsentif fiskal berikutnya (LCA, Analisis
Siklus Hidup). Ketentuan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri, local content) akan
lebih efektif apabila diterapkan dalam bentuk cukai grCO2/km tambahan atas proses
pengiriman produk tersebut dari pabrikannya.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 59
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
10. Alat Pengisian Battery Merupakan Satu-kesatuan Komponen EV

Produksi dan distribusi kendaraan listrik harus menyertakan produk EV dan fasilitas
pendukungnya, yaitu unit charger. Untuk itu setiap produk kendaraan listrik (roda 2-3, LDV,
HDV) harus dilengkapi dengan charger unit, sehingga pemilik kendaraan listrik tidak harus
bergantung pada ketersediaan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum).
Meskipun ada kemungkinan bahwa instalasi listrik di rumah pemilik kendaraan listrik perlu di-
up grade sedemikian rupa agar kapasitas daya listrik di rumahnya memenuhi syarat minimal
untuk digunakan sebagai pemasok tenaga listrik pada pengisian daya kendaraan listrik tersebut.
Skema seperti itu tentunya akan memberikan akselerasi berkat kemudahan pengisian baterai
pada kendaraan listrik. Hal ini juga dengan mempertimbangkan keadaan bahwa pemilik
kendaraan listrik juga menginginkan privasi dalam proses pengisian daya, tidak perlu
mengalokasikan waktu khusus untuk kebutuhan proses pengisian daya ini, serta tidak
mengganggu agenda kegiatan pemilik kendaraan listrik dibandingkan dengan ketika mereka
harus pergi dan antri ke SPKLU. SPKLU hanya dibutuhkan dalam keadaan darurat, dan atau
ketika kendaraan listrik mereka kehabisan daya di tengah perjalanan.

11. Prioritas pada Mitigasi Polluter Tertinggi.

Secara nasional, beban emisi pencemaran udara dari kendaraan bermotor (2019) sebesar
39.754,51 ton/hari; Secara agregat, sepeda motor merupakan pencemar terbesar (68,80%)
diikuti oleh mobil bensin, truk, bus, mobil diesel dan kendaraan roda tiga. Sedangkan untuk
beban emisi CO2 kendaraan adalah 699.674,31 ton/hari, secara agregat sepeda motor
merupakan penghasil emisi terbesar (40,83%), diikuti truk, bus, mobil bensin, mobil solar dan
kendaraan roda tiga. Dengan demikian, elektrifikasi kendaraan roda 2-3 akan menjadi hal
strategis yang memicu percepatan penurunan emisi kendaraan –sepeda motor sebagai kendaraan
paling popular dengan populasi lebih dari 121 juta unit: harga terjangkau, biaya energy harian terjangkau
bagi orang kebanyakan, efektivitas fungsi dalam manuver dan menghantar point to point– dan dapat
menjadi teknologi penggerak utama (technological prime mover) percepatan penetrasi pasar
kendaraan listrik di Indonesia.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 60
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
12. Pemanfaatan Excess Power - Idle Capacity Tenaga Listrik, dan Beban Pasokan BBM

Bahwa tingginya posisi sepeda motor sebagai penghisap BBM nasional yang mencapai 37,31%
dari total konsumsi BBM angkutan jalan nasional, maka perlu dijadikan objek pengendalian
konsumsi BBM dengan mencari alternatif agar sepeda motor tidak lagi menjadi beban dalam
penyediaan energi. Sebagai kendaraan terpopuler dengan pertimbangan kemudahan
pengoperasian yang mampu menjangkau titik ke titik dengan tepat, kemudahan bermanuver
di segala medan termasuk di gang sempit, lapangan becak, dan jalan raya; strategis untuk
menempatkan sepeda motor sebagai teknologi penggerak utama (technological prime mover)
percepatan elektrifikasi transportasi jalan raya. Tentunya akan sangat strategis dengan
memanfaatkan kapasitas idle tenaga listrik (excess power) di Indonesia, sehingga konversi
kendaraan listrik ke sepeda motor akan mampu menjawab 2 (dua) hal dalam 1 (satu) kebijakan,
yaitu masalah beban suplai bahan bakar dan masalah kapasitas idle tenaga listrik (excess power)
dalam konteks konservasi energi.

13. Formulasi Dasar Hukum Percepatan Kendaraan Listrik

Untuk menciptakan percepatan implementasi penerapan BEV dengan insentif dan kemudahan
sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang cepat dan konkrit
untuk membangun ekosistem pengoperasian kendaraan listrik di Indonesia. Salah satu
pemicunya adalah pengembangan formulasi payung hukum baik di tingkat nasional maupun
daerah yang meliputi regulasi terkait:
• Regulasi Standar Carbon Kendaraan.
• Regulasi feebate/rebate fiskal berbasis tingkat emisi Carbon yang dapat menjadi persemaian
–penetrasi pasar– pengembangan kendaraan rendah (nir) emisi/Carbon (khususnya
KBLBB).
• Regulasi untuk detail roadmap Peraturan Menteri Perindustrian No 27/2020.
• Mengawal proses legislasi revisi PP No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi dengan
penekanan pada penerapan standar penghematan bahan bakar (fuel economy standard) yang

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 61
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
berlaku secara universal apapun teknologinya dengan penggunaan satuan Joule/km untuk
mengukur besaran efektivitas kinerja energi kendaraan.
• Regulasi SPP sebagai acuan pengadaan kendaraan dinas pemerintah, BUMN dan angkutan
umum rendah karbon (KBLBB).
• Regulasi terkait insentif/disinsentif non-fiskal untuk teknologi kendaraan rendah (nir)
Carbon (KBLBB) seperti parkir gratis, parkir di tempat yang strategis/mudah; sarana
transportasi rendah (nir) Carbon seperti jalur sepeda, fasilitas pejalan kaki; dan perilaku
mobilitas rendah (nir) Carbon seperti potongan PPh.
• Mengintegrasikan kebijakan nasional percepatan kendaraan listrik dengan mengutamakan
kendaraan roda 2-3 --pengkonsumsi terbesar stock BBM nasional (37,32%)-- diikuti bus kota
dengan pertimbangan dapat dikendalikan melalui birokrasi perizinan, dan elektrifikasi
LDV atau mobil penumpang ringan (sedan, hatchback, MPV, SUV), termasuk penyelarasan
implementasi infrastruktur kendaraan listrik (jaringan listrik, charger facility, dll),
membangun ekosistem yang kondusif dan keselarasan regulasi sector lain yang terkait.

E. Kesimpulan

Pencemaran udara khususnya yang bersumber dari sub-sector transportasi jalan raya masih
menjadi ancaman bagi banyak kota berikut dampaknya terhadap kesehatan masyarakat terutama
anak-anak dengan morbiditas/mortalitas yang menyerap biaya pengobatan sangat besar dan
berpotensi mengancam bonus demografi 2023-2028. Sementara beban emisi CO2 dari sub-sektor
transportasi jalan raya juga menjadi masalah yang tercermin pada konsumsi energi (BBM) yang
boros, dan ancaman krisis iklim yang semakin meningkat. Selain itu, penggunaan bahan bakar
fosil untuk transportasi juga membebani sistem moneter, dan berdampak pada defisit neraca
perdagangan, sehingga mempengaruhi sistem moneter di Indonesia. Terdapat berbagai solusi
untuk mengendalikan pencemaran udara, memitigasi CO2 dan mengendalikan
pemborosan/penggunaan fossil fuel pada sub-sektor transportasi jalan raya ini, antara lain konversi
ke kendaraan dengan teknologi rendah (nir) Carbon, di mana yang paling efektif dan efisien saat
ini adalah pemanfaatan KBLBB.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 62
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Adopsi KBLBB akan memberikan tiga manfaat (tripe benefits) bagi Indonesia (1) manfaat ekonomi
(CBA) Rp 9603 T (2030), konsekuensi penghematan energi –59,86 MioKL bensin, dan 56 MioKL
solar p.a. setara dengan Rp 677 T– dan multiplier effectnya; (2) mengurangi emisi kendaraan
hingga hampir 100% pada pencemaran udara perkotaan, dan emisi GRK dengan hasil penurunan
emisi progress tahunan sehingga ada peluang penurunan ~280 MtonCO2e atau 59% BAU GRK
(470 MtonCO2e) pada tahun 2030; (3) memicu pertumbuhan ekonomi hijau dari sektor otomotif,
termasuk peluang merebut teknologi EV untuk industry otomotif nasional.

Keberhasilan putra-putri bangsa dalam mengembangkan prototipe EV, dan pasokan mineral
bahan baku yang melimpah untuk baterai EV (penambangan Ni, Co, logam tanah jarang); adalah
keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang menempatkan Indonesia sebagai bagian penting
dari rantai pasokan manufaktur EV global.

Sementara itu, EV adalah teknologi teruji yang harus kita rebut, agar triple benefits di atas benar-
benar dapat dipetik demi keniscayaan pertumbuhan ekonomi hijau, dan kemakmuran bangsa.
Untuk mempermudah langkah, maka sepeda motor sebagai kendaraan terpopuler sekaligus
sumber emisi dengan agregat terbesar dan penyedot BBM terbesar; dapat dijadikan sasaran
strategis sebagai technological prime mover guna memicu elektrifikasi transportasi jalan raya ini.

Elektrifikasi transportasi jalan raya dengan KBLBB sebagai opsi kebijakan rendah (nir) Carbon
yang paling efektif dan efisien harus didukung penetapan standard Carbon dan pelaksanaan
regulasi insentif/disinsentif fiskal berbasis level grCO2/km, sehingga kendaraan rendah (nir)
Carbon menjadi preferensi pasar.
.

F. Tindak Lanjut dan Rekomendasi

Berdasarkan 7 (tujuh) opsi untuk menjawab kebutuhan akan payung hukum percepatan adopsi
kendaraan listrik di Indonesia, sudah saatnya mengawal upaya percepatan tersebut dengan

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 63
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
menyusun kebijakan dan regulasi yang paling prioritas dalam waktu 1 tahun (terhitung sejak 1
Agustus 2022), yaitu:
• Menerbitkan regulasi Standar Carbon Kendaraan.
• Menerbitkan regulasi feebate/rebate fiskal berbasis Carbon yang dapat menjadi persemaian
pengembangan kendaraan rendah emisi dan rendah karbon (khususnya kendaraan listrik).
• Menerbitkan regulasi untuk detail roadmap Peraturan Menteri Perindustrian No 27/2020.
• Menerbitkan regulasi SPP sebagai acuan pengadaan kendaraan operasional pemerintah,
BUMN dan angkutan umum rendah (nir) Carbon (KBLBB).

Sementara itu, opsi-opsi (1) mengawal proses legislasi revisi PP No. 70 Tahun 2009 tentang
Konservasi Energi dengan penekanan pada penerapan standar penghematan bahan bakar; (2)
mengembangkan kebijakan dan regulasi terkait insentif/disinsentif nonfiskal untuk teknologi
kendaraan rendah (nir) Carbon (KBLBB), sarana transportasi rendah (nir) Carbon dan perilaku
mobilitas rendah (nir) Carbon; (4) mengintegrasikan kebijakan nasional percepatan kendaraan
listrik dengan mengutamakan roda 2-3 sebagai penyerap utama pasokan BBM nasional, diikuti
oleh bus, dan LDV (mobil penumpang), termasuk menyelaraskan infrastruktur penggelaran
kendaraan listrik, dan mengembangkan ekosistem yang kondusif; mengikuti keselarasan dengan
merumuskan kembali peraturan terkait; diposisikan sebagai prioritas berikutnya, terutama dalam
agenda proyek "Program Unggulan Nasional Kendaraan Listrik".

Jakarta, 31 Juli 2022

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 64
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 65
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Daftar Pustaka
Introducing a New European Evaporative Emissions Test Procedure, Final Report, European
Commission Joint Research Centre Institute for Energy and Transport
Chao, et al, Soot-free Road transport in Indonesia: A cost-benefit analysis and implications for fuel
policy, ICCT,2020.
https://issuu.com/icct/docs/icct_ldvcostsreport_2012
https://theicct.org/publications/estimated-cost-emission-reduction-technologies-ldvs
https://www.antaranews.com/berita/57552/harga-bbm-industri-dan-pertamax-naik
https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1748/gini-ratio-maret-2020-tercatat-sebesar-0-
381.html
https://www.nap.edu/read/21744/chapter/5#114
Leonidas Ntziachristos, Zissis Samaras, EMEP/EEA air pollutant emission inventory guidebook
2019; Giorgio Zamboni, On the Defifinition of Two Wheelers Exhaust Emission Factors
Minister of Energy and Mineral Resources Decree.
Minister of Environment Decree No 10/2012 toward Emission Standard for Motor Cycle, junto
Minister of Environment Decree No 23/2012 toward Amendment Regulation of MOE
Decree No 10/2012.
Minister of Industry Decree No 27/2020 toward the Roadmap Low Carbon Emission Vehicle in
Indonesia.
Presidential Decree No 55/2019 toward the Acceleration of BEV Implementation in Indonesia.
Government Regulation No 73/2019 toward Luxury Tax Discount for Low Carbon Emission
Vehicle.
Government Regulation No 74/2021 toward Revised Luxury Tax Discount for Low Carbon
Emission Vehicle.
Minister of Finance Decree No 20/2021 toward Luxury Tax Exemption for LCGC.
Minister of Finance Decree No 31/2021 toward Luxury Tax Exemption for LDV.
Release WHO /06, 25 March 2014.
MASKEEI/KPBB, Minutes of Meeting, FGD, 27 April 2022.
Policy Dialog on BEV Acceleration that were organized since 1 April to 31 July 2022.
Safrudin, et al, 2017, Compendium Indonesia Fuel Quality, Jakarta, KPBB.

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 66
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Safrudin, et al, Behind Fuel Pricing Policy, KPBB, 2016.
Safrudin, et al, CBA Fuel Economy and Fuel Quality Initiative in Indonesia, UNEP/USEPA/MOE,
2012.
Safrudin, et al, Trend of Motor Vehicle Population in Indonesia, KPBB, 2020.
Safrudin, et al, Up dated Study on Health Effect of Air Pollution, KPBB, 2016.
Safrudin, et al, Vehicle Kilometer Traveled in Indonesia, KPBB, 2016.
Safrudin, et al, Vehicle Emission Standard in Indonesia, UNEP, 2020.
The RIPIN, a guiding document for Indonesia’s industry with a vision to strengthen Indonesia’s
industries based on innovation and technology, Jakarta, Ministry of Industtry, 2018.
www.cnbcindonesia.com/news/2020101351318-4-194004/wuih
https://theicct.org/wp-content/uploads/2022/01/Transportation-impacts-public-presentation.pdf
https://theicct.org/wp-
content/uploads/2021/06/Global_health_impacts_transport_emissions_2010-2015_20190226.pdf
https://theicct.org/silent-but-deadly-the-case-of-shipping-emissions/
https://koinworks.com/blog/pajak-kendaraan-bermotor/
https://www.beacukai.go.id/berita/begini-cara-perhitungan-bea-masuk-dan-pajak-impor-
kendaraan-eks-perwakilan-negara-asing-dan-badan-internasional.html

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 67
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix
Appendix 1

CO2 Emission Factor Based on Fuel Types


KgCO2/L
Emission Emission
Net Calory Convertion Emission Factor
Net Calory Vallue Density Factor Factor
NO Fuel Types Vallue Factor National
National National
MJ/Kg of Fuel Kg of Fuel/m3 MJ/L Kg C/TJ C to CO2 KgCO2/TJ KgCO2/L

1 Pertamax Turbo98 41,20 759,20 31,20 19,20 3,67 70,46 2,15


2 Pertamax92 39,93 742,50 30,70 19,50 3,67 71,57 2,18
3 Pertalite90 38,30 739,70 29,63 19,90 3,67 73,03 2,23
4 Premium88 38,30 739,70 29,63 19,90 3,67 73,03 2,23
5 Perta-DEX HQ 44,89 859,20 37,44 19,50 3,67 71,57 2,18
6 Perta-DEX 43,20 857,20 37,20 19,60 3,67 71,93 2,19
7 Dexlite51 42,66 842,20 35,85 22,25 3,67 81,66 2,49
8 BioSolar48 42,17 837,50 35,37 23,71 3,67 87,02 2,66
9 IDO 42,12 910,00 38,33 25,40 3,67 93,22 2,84
10 Fuel Oil 41,31 991,10 40,94 20,50 4,93 101,07 3,08
11 Avtur 42,83 807,50 34,59 20,00 3,67 73,33 2,54
12 Kerosene 42,69 835,00 35,65 20,10 3,67 73,70 2,63
Source: Author Calculation , A National Flagship Program on EV Ecceleration, CWF/KPBB, 2022

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 68
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 2
Vehicular Emission
Motor Cycle Euro Emission Standard
CO HC NOx PM10 PM2.5 CO2
Motor Cycle idle >=130 kph <130 kph idle >=130 kph <130 mph idle >=130 kph <130 mph All Speed All Speed Iddle >40
Pre-Euro 2-S 22,00 18,20 18,20 10,10 4,80 4,80 0,03 0,04 0,04 0,072 0,168 48,2 55
Pre-Euro 4-S 23,90 21,70 21,70 3,10 1,60 1,60 0,15 0,18 0,18 0,0042 0,0098 65 56,6
Euro 2 <150 cc 5,50 7,21 7,21 1,20 0,50 1,13 0,30 0,44 0,34 0,0015 0,0035 71,99 82,15
Euro 2 >=150 cc 5,50 7,21 7,21 1,00 0,41 0,63 0,30 0,44 0,34 0,0015 0,0035 71,99 82,15
Euro 2 <150 cc Cetus Api 7,00 9,17 9,17 1,50 0,62 1,50 0,40 0,59 0,45 0,0015 0,0035 71,99 82,15
Euro 2 >=150 cc Compression 2,00 2,62 2,62 1,00 0,41 1,00 0,65 0,95 0,74 0,0015 0,0035 71,99 82,15
Euro 3 <150 cc 2,00 2,62 2,62 0,80 0,33 0,75 0,15 0,22 0,17 0,0015 0,0036 59,39 67,77
Euro 3 >=150 cc 2,00 2,62 2,62 0,30 0,33 0,75 0,15 0,22 0,17 0,0015 0,0036 59,39 67,77
RI Standard 2024 1,5 0,5 0,16 0,001 0,0023

Light Duty Vehicle - Gasoline


Tier CO THC Nox PM2.5 PM10 SO2 CO2 NMHC HC+Nox
Pre Euro 40 4 2
Euro 1 2,72 0,5543 0,4157 - - 0,97
Euro 2 2,2 0,2857 0,2143 - - 0,5
Euro 3 2,3 0,2 0,15 - - -
Euro 4 1 0,1 0,08 - - -
Euro 5 1 0,1 0,06 0,0010 0,0004 0,068 -
Euro 6 1 0,1 0,06 0,0010 0,0004 0,068 -

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 69
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Light Duty Vehicle – Diesel
HC+Nox
Tier CO Nox PM2.5 PM10 SO2 CO2
(THC)
Pre Euro 40 0,2 3,5
Euro 1 2,72 0,97 - 0,0980 0,0420
Euro 2 1 0,7 - 0,0560 0,0240
Euro 3 0,66 0,56 0,5 0,0350 0,0150
Euro 4 0,5 0,3 0,25 0,0175 0,0075
Euro 5 0,5 0,23 0,18 0,0011 0,0005
Euro 6 0,5 0,17 0,08 0,0010 0,0004

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 70
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 3

Proportion Diesel - Gasoline - CNG Engine of Motor Vehicle


in Indonesia FY 2020
Mean Total Sales
Engine Type Total Fleets
2011 - 2020
Diesel LDV - Diesel 31,73% 17,70%
Gasoline LDV - Gasoline 68,27% 82,30%
HDV Diesel Bus - Diesel 99,84% 99,95%
HDV CNG Bus - CNG 0,16% 0,05%
HDV Truck - Diesel 100,00% 100,00%
Motor Cycle - Gasoline 100,00% 100,00%
Source: BPS, SAMSAT, GAIKINDO, processed by author

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 71
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 4

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 72
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 5
The TCO Bus for BRT Trans Jakarta

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 73
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 6
TCO for Light Duty Vehicle

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 74
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 7
Cost Benefits Analysis on Low Emission Vehicle

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 75
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Appendix 8

Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 76
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi
Program Nasional KBLBB: Standard Carbon Kendaraan dan Feebate/Rebate Fiscal Policy Percepatan Kendaraan Listrik 77
Usulan Naskah Akademis – Kendaraan Nir Emisi

Anda mungkin juga menyukai