Anda di halaman 1dari 6

LEGAL OPINION

“Analisis Kewenangan BPJS dalam Memperoleh


Informasi Perusahaan sebagai Pemberi Kerja”
Maria Angelina Lado - Legal Management Trainee -
PT World Innovative Telecommunication

Abstrak
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan merupakan jaminan sosial yang di
sediakan oleh pemerintah Indonesia bagi masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan, BPJS bertugas mengumpulkan dan mengelola data
Peserta Program Jaminan Sosial. Maka dari itu, pada saat pendaftaran peserta ada beberapa
dokumen persyratan pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan yang perlu dilengkapi. Perusahaan sebagai
pemberi kerja dalam hal pendaftaran dan perubahan data, wajib memberikan data dirinya dan
pekerjanya. Beberapa data yang diminta oleh BPJS terhadap Perusahaan adalah :
1. SPT Pajak Tahunan Badan (1771);
2. Laporan keuangan (Audited);
3. Laporan keuangan (Unudited);
4. SPT Masa PPH 21/26 Badan;
Dalam permintaan untuk perolehan dan pengolahan data demikian, maka perlu dilakukan analisis,
Apakah dalam menjalankan program penyelenggaraan jaminan Kesehatan, BPJS memerlukan
informasi tersebut dari perusahan? Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis apakah Perusahaan
berhak menolak memberikan informasi perusahaan seperti SPT pajak tahunan badan, laporan
keuangan,SPT Masa PPH 21/26 yang diminta oleh BPJS?.
A. Dasar Hukum :
1. UUD 1945
Pasal 23 huruf a UUD 1945
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.”
Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
“(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan Kesehatan.
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.”
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
“(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.”
2. UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Jaminan Sosial
Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2004
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya.”
Pasal 13 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004
“Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai
peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program
jaminan sosial yang diikuti.”
Pasal 14 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004
“Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin
dan orang tidak mampu.”
3. UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelebggara Jaminan Sosial
Pasal 10 huruf e UU No 24 Tahun 2011
“Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, BPJS bertugas
untuk:
a….
b….
c….
d….
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial”
Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 24 Tahun 2011
“(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya
secara lengkap dan benar kepada BPJS.”
Dalam Penelasan pasal demi pasal, yang dimaksud dengan “data” adalah data diri
Pemberi Kerja dan Pekerja beserta anggota keluarganya termasuk perubahannya.
“(3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Presiden.”
Dalam penjelasan pasal demi pasal, Yang diatur dalam Peraturan Presiden adalah
penahapan yang didasarkan antara lain pada jumlah Pekerja, jenis usaha, dan/atau
skala usaha. Penahapan yang akan diatur tersebut tidak boleh mengurangi manfaat
yang sudah menjadi hak Peserta dan kewajiban Pemberi Kerja untuk mengikuti
program Jaminan Sosial.
4. UU No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Pasal 34 ayat (1), ayat (2) ayat (2a) UU No. 7 tahun 2021
“(1) setiap pejabat, baik petugas pajak maupun yang melakukan tugas di bidang
perpajakan dilarang mengungkapkan dan wajib melindungi kerahasiaan wajib pajak
yang diserahkan kepada negara, baik surat pemberitahuan, laporan keuangan,
dokumen rahasia.
(2) Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan
adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Ayat 2a
“Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi
yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
5. PP No. 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada
Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang Selain Pemberi Kerja
Pekerja Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial;
Pasal 3 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) PP 86 tahun 2013
“(1) Pemberi kerja selain Penyelenggara Negara wajib :
a….
b. memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada
BPJS secara lengkap dan benar.
(2) Data dirinya dan pekerjanya secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. data pekerja berikut anggota keluarganya yang didaftarkan sesuai dengan data
pekerja yang dipekerjakan;
b. data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang diterima pekerja;
c. data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan kepesertaan;
dan
d. perubahan data ketenagakerjaan.
(3) Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit
meliputi: a. alamat perusahaan;
b. kepemilikan perusahaan;
c. kepengurusan perusahaan;
d. jenis badan usaha;
e. jumlah pekerja;
f. data pekerja dan keluarganya; dan
g. perubahan besarnya upah setiap pekerja.
6. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2021 Tentang Tata cara
Penyelenggaraan Program JKK, JKM dan JHT;
Pasal 4 ayat (3) PP No. 5 Tahun 2021
“(3) Pemberi kerja wajib menyampaikan perubahan data dirinya yaitu :
a. Nama dan alamat perusahaan;
b. jenis kelompok usaha;
c. jumlah asset dan omset; dan
d. data lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial.
7. Instruksi Presiden No, 1 tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional;
Angka 7 huruf a Inpres No. 1 Tahun 2022
“melakukan kerja sama pertukaran data antara Kementerian Keuangan dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
untuk meningkatkan kepatuhan Peserta program Jaminan Kesehatan Nasional, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
B. Isu Hukum :
1. Apakah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berwenang mengakses
data asset dan omset para wajib pajak badan sebagai pemberi kerja, dengan meminta
data berupa: SPT Pajak Tahunan Badan (1771); Laporan keuangan (Audited); Laporan
keuangan (Unudited); dan SPT Masa PPH 21/26 Badan?
2. Tindakan ini, tentu mengundang pro dan kontra, dilihat dari sisi pekerja dan sisi
Pengusaha. Apakah Pengusaha berhak untuk menolak memberikan informasi terkait
data yang diminta BPJS karena data-data tersebut merupakan informasi rahasia
perusahan?

C. Contoh Kausus :

BPJS Ketenagakerjaan
Dilarang Akses
Data Pajak
Sumber : DDTCNews
Baca selengkapnya :https://news.ddtc.co.id/bpjs-
ketenagakerjaan-dilarang-akses-data-
pajak-10333.
Jakarta,DDTCNews- Keinginan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan untuk mengakses data asset dan omzet para wajib pajak menuai kritik dan
protes dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengusaha. Berita tersebut jadi topik
utama. Langkah BPJS Ketenagakerjaan meminta izin Kementrian Keuangan untuk melakukan
kerja sama pertukaran data dengan DIrektorat Jendral (Ditjen) Pajak dinilai kurang tepat oleh
para pengusaha. Menurut pengusaha, dari pada bertukar data dengan Ditjen Pajak demi
melakukan crosscheck data perusahaan, lebih baik BPJS Ketenagakerjaan memperbaiki kinerja
layanan.

D. Pendapat Hukum :
1. Menjawab isu hukum tersebut, Berdasarkan instruksi Presiden No. 1 tahun 2022,
Pertukaran data antara BPJS dan Kementrian Keuangan dapat direalisasikan dengan
adanya suatu kesepakatan. Berdasar pada hal tersebut, dapat dikatakan BPJS tidak
berwenang untuk meminta data SPT Pajak Tahunan Badan (1771), Laporan Keuangan
(Audited), Laporan Keuangan (Unaudited), SPT Masa PPH 21/26 Badan, apabila belum
ada Kerjasama dengan Kementeri Keuangan. Sepanjang tidak adanya suatu kesepakatan
yang valid antara BPJS dan Kementrian keuangan, maka, BPJS tidak berhak meminta
data-data tersebut.
2. Bahwa Berdasarkan Pasal 10 huruf e dan pasal 15 ayat (1)-ayat (3) UU No. 24 Tahun
2011 Pada saat pendaftaran, BPJS hanya berhak memperoleh data diri pemberi kerja
yaitu Jumlah Pekerja, Jenis usaha, dan/atau skala usaha. Dan data dari pekerja berupa
data diri pekerja dan anggota keluarganya.
3. Bahwa berdasarkan pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 86 Tahun 2013, BPJS hanya
berwenang data data pekerja, data upah yang dilaporkan sesuai dengan upah yang
diterima pekerja, data kepesertaan dalam program jaminan sosial sesuai penahapan
kepesertaan, dan perubahan data ketenagakerjaan.
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) Permenaker No. 5 Tahun 2021 mengenai data yang dapat
peroleh BPJS berupa : Nama dan alamat perusahaan, jenis kelompok usaha, jumlah asset
dan omset; dan data lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial.
Berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022 maka kedua jenis data yang diatur
dalam masing-masing peraturan tersebut dapat di peroleh BPJS apabila sudah ada
kesepakatan dengan Kementrian Keuangan, mengingat dalam Pasal 34 ayat 2a
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang
bersifat umum, pada faktanya data tersebut tidak termasuk data yang bersifat umum
melainkan harus dijaga kerahasiaannya.
4. Berdasarkan peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Presiden dan semua Peraturan yang telah di
jabarkan khususnya UU No. 7 tahun 2021 maka Perusahaan Berhak untuk Menolak
memberikan informasi : SPT Pajak Tahunan Badan (1771), Laporan Keuangan (audited),
Laporan Keuangan (Unaudited), SPT Masa PPH 21/26 Badan karena informasi tersebut
merupakan informasi perusahaan sebagai Wajib Pajak yang harus dilindungi.
5. Perusahaan Berhak untuk Menolak memberikan data SPT Pajak Tahunan Badan (1771),
Laporan Keuangan (audited), Laporan Keuangan (Unaudited), SPT Masa PPH 21/26
Badan karena Berdasarkan Instruksi Presiden NO. 1 tahun 2022 yang menginstruksikan
Kementrian Keuangan melakukan pertukaran data wajib pajak dengan BPJS, maka BPJS
dapat memperoleh langsung data tersebut dari Kementrian Keuangan jika telah adanya
Kesepakatan yang Valid, tanpa harus memperoleh dari Perusahaan sebagai Wajib Pajak.
E. Penutup :
Kesimpulan
1. Berdasarkan instruksi Presiden No. 1 tahun 2022, Pertukaran data antara BPJS dan
Kementrian Keuangan dapat direalisasikan dengan adanya suatu kesepakatan.
Berdasar pada hal tersebut, dapat dikatakan BPJS tidak berwenang untuk meminta
data SPT Pajak Tahunan Badan (1771), Laporan Keuangan (Audited), Laporan Keuangan
(Unaudited), SPT Masa PPH 21/26 Badan, apabila belum ada Kerjasama dengan
Kementeri Keuangan. Sepanjang tidak adanya suatu kesepakatan yang valid antara BPJS
dan Kementrian keuangan, maka, BPJS tidak berhak meminta data-data tersebut.
2. Berdasarkan UU No. 7 tahun 2021 maka Perusahaan Berhak untuk Menolak memberikan
informasi: SPT Pajak Tahunan Badan (1771), Laporan Keuangan (audited), Laporan
Keuangan (Unaudited), SPT Masa PPH 21/26 Badan karena informasi tersebut
merupakan informasi perusahaan sebagai Wajib Pajak yang harus dilindungi
kerahasiaannya.
Saran
Saran saya, merujuk pada Instruksi Presiden NO. 1 tahun 2022 yang menginstruksikan
Kementrian Keuangan melakukan pertukaran data wajib pajak dengan BPJS, maka BPJS
tidak perlu meminta data dari Perusahaan melainkan memperoleh langsung dari
Kementrian Keuangan melalui Direktur Jendral Pajak jika telah adanya Kesepakatan atau
Memorandum Of Understanding yang Valid antara BPJS dan Kementrian Keuangan. Selain
itu BPJS perlu memperhatikan keseimbangan optimalisasi penyelenggaraan data
jaminan sosial dengan pelayanan kepada masyarakat yang belum maksimal.

Anda mungkin juga menyukai