Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera adalah

syok. Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai tidak kuatnya

transpor oksigen ke jaringan yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik.

Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler

sistemik, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel, dan sangat

kecilnya curah jantung. Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan

mekanisme terjadinya, syok dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu

syok hipovolemik, syok distributif, syok obstruktif, dan syok kardiogenik

(Hardisman, 2013).

Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah

secara akut (syok hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu penyebab

kematian tertinggi di negara-negara dengan mobilitas penduduk yang tinggi.

Salah satu penyebab terjadinya syok hemoragik tersebut diantaranya adalah

cedera akibat kecelakaan. Menurut World Health Organization (WHO) cedera

akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian

diseluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami syok

hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai

6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami syok

hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai

36% (Diantoro, 2014).

1
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau

yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan

pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk

sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju

filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black & Hawks,

2009). Sebanyak 10% dari populasi dunia terkena PGK, dan jutaan diantaranya

meninggal setiap tahun karena pengobatan yang tidak terjangkau (World Kidney

Day, 2015).

Pada penderita gagal jantung hipokalemia merupakan kondisi tubuh

dimana kadar kalium dalam darah < 3,5 mEq/L dapat digunakan sebagai

prediktor mortalitas yang kuat (Bielecka, et al., 2012). Kalium merupakan kation

utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler. Kalium berfungsi memelihara

keseimbangan osmotik dalam sel, meregulasi aktifitas otot, enzim dan

keseimbangan asam basa. Selain aktivasi beberapa neurohormonal (stimulasi

sistem renin-angiotensin), terapi obat gagal jantung yaitu diuretik dan digoxin

bisa menyebabkan terjadinya hipokalemia. Hipokalemia juga semakin meningkat

bila diberikan kombinasi diuretik loop dan digoksin (Bielecka, et al., 2012).

Berdasarkan paparan diatas maka pasien perlu mendapatkan perhatian

khusus dalam penggunaan obat karena pasien mengalami komplikasi penyakit,

oleh karena itu kami mengangkat kasus ini untuk mendapatkan gambaran

penggunaan obat secara rasional pada pasien yang mengalami komplikasi di

Rumah Sakit Otak DR. Drs. Mohammad Hatta Bukittinggi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Kidney Disease/ Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

adalah kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal kurang dari 60% ginjal

normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan

ginjal untuk membuang toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat

berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan

albuminuria (>30 mg albumin urin per garam dari kreatinin urin), Glomerular

Filtration Rate (GFR)/Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (Black & Hawks,2005;

Smeltzer & Bare,2001; Mansjoer, A.,2001).

2.1.2 Etiologi

Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya gagal ginjal kronik yaitu

(Kowalak, dkk, 2011):

a. Glomerulonefritis

b. Infeksi kronis (seperti: pielonefritis kronis dan tuberkulosis)

c. Penyakit polikistik ginjal

d. Penyakit vaskuler (hipertensi)

e. Obstruksi renal (batu ginjal)

f. Penyakit kolagen (lupus eritematosis)

g. Penyakit endokrin (nefropati diabetik)

h. Preparat nefrotoksik ( terapi aminoglikosid yang lama)

3
2.1.3 Klasifikasi

Tabel 8. Pengklasifikasian CKD berdasarkan derajat (Stage)

Seperti berikut ini :

Gambar 8: Pengklasifikasian CKD berdasarkan derajat (Stage)


Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance

Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus (Black & Hawks, 2005; Levin et

al., 2008):
(140−Umur)x Berat Badan (Kg)
Clearance creatinin (ml/ menit) =
72 x creatinin serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

2.1.4 Manifestasi Klinis

 Manifestasi klinik antara lain:

a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat

badan berkurang, mudah tersinggung, depresi.

b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas

dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem

yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga

sangat parah.

 Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001) antara lain : hipertensi,

4
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin-

angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat

cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh

toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,

perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

 Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas

akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat

penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.

b. Gannguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum

kental dan riak, suara krekels.

c. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang

berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan

pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau

ammonia.

d. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya

sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan

terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor , miopati (kelemahan dan

hipertropi otot-otot ektremitas).

e. Gangguan Integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan

kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat

toksik, kuku tipis dan rapuh.

f. Gangguan endokrim Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi

menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic

5
glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.

g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya

retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan

dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

h. System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya

produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum

tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit

dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi

trombosis dan trombositopeni.

Menurut (Black & Haks, 2005) manifestasi Klinis Pada pasien dengan

CKD terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dan pasien juga memiliki

beberapa keluhan, berikut ini :

Tabel 9. Manifestasi Klinis Pada CKD

Gambar 9. Manifestasi Klinis Pada CKD


2.1.5 Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk

glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron

utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang

6
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya

saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari

nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar

daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan

haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri

timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada

pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila

kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang

demikia nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.

(Barbara C Long, 1996).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang

normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia

dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan 3 produk

sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah

dialysis (Brunner & Suddarth, 2001).

2.1.6 Diagnosis

Menurut (Brunner & Suddarth, 2001):

1) Gambaran Klinis

Manifestasi klinis pasien PGK sesuai dengan penyakit yang mendasari

seperti hipertensi, hiperurisemi, diabetes malitus, infeksi traktus urinarius,

batu traktus urinarius, Lupus eritomatosus sistemik. Bila menimbulkan

sindrom uremia maka gejala yang timbul berupa lemah, anoreksia,

mual,muntah, nokturia, letargi, kelebihan volume cairan (volume overload),

uremic frost, perikarditis, neuropati perifer, pruritus, kejang-kejang sampai

7
koma. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, khlorida).

2) Gambaran Laboratorium

Pemeriksaan GFR dan kadar kreatinin serum penting pada pasien PGK

untuk menilai fungsi ginjal. Kadar elektrolit seperti sodium, potassium klorida dan

bikarbonat dapat menentukan kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar

hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia,

hiponatremia, hiperkloremia atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia,

asidosis metabolik.

3) Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit gagal ginjal kronik berupa foto

polos, USG, Pielografi dan renografi. Foto polos abdomen, bisa tampak batu

radio-opak. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang

mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,

massa, kalsifikasi. Pielografi intravena bersifat toksik dan kontras sering

tidak bisa melewati glomerulus sehingga jarang dikerjakan. Pielografi

antegrad atau retrograd dan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.1.7 Tatalaksana Chronic Kidney Disease/ Penyakit Ginjal Kronik

Algorithma pengobatan pasien Chronic Kidney Disease (CKD)

Algorithma pengobatan hipertensi pada pasien CKD dapat dilihat pada alur

algorithma di bawah ini

8
Tabel 10. Algorithma Hipertensi pada Pasien CKD

Gambar 10. Algorithma Hipertensi pada Pasien CKD (Dipiro et al., 2005)

9
Tabel 11. Alogaritma Pengobatan Penyakit Ginjal Diabetik (Dabetik Ckd)

Gambar 11. Alogaritma Pengobatan Penyakit Ginjal Diabetik

(Dabetik Ckd) (Dipiro et al., 2005)

10
Tabel 12. Alogaritma pengobatan nondiabetik

Gambar 12. Alogaritma pengobatan nondiabetik


2.1.8 Penatalaksanaan

 Terapi konservatil

11
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya laal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin

azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit (Price & Sylvia, 2006)

a. Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk iangka lama

dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan iumlah kalori Kebutuhan iumlah kalori (sumber energi) untuk

GGK harus adekuat dengan tuiuan utama yaitu mempertahankan

keseimbangan positil nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara

status gizi.

c. Kebutuhan cairan Bila ureum serum > '150 mg% kebutuhan cairan harus

adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 liter Per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual

tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal

disease).

 Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolilk

Asidosis metabolic harus dikoreksi karena meningkatkan serumkalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodlum bicarbonat) harus segera

diberikan intavena bila pH < 7,35 atau serum bikarbonat < 20 mEq/l.

b. Anemia Transfusi rlarah misalnya Paked Red Cel/ (PRC) merupakan salah

12
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian

transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian

mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan

keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini

merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan

gastrointestinalyang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai

anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat

dan obat-obatan si mtomatik.

d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis

keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuscular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi

hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal

paratiroidektomi.

 Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

f. Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari

kelainan kardiovaskular yang diderita.

g. Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 mTmenit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

13
2.2 Syok Hipovolemik

2.2.1. Definisi

Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan

oksigenasi jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya

volume intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis

(Greenberg, 2005).

2.2.2 Etiologi

Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik

dapat disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit

(Tierney, 2001). Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik,

antara lain:

1. Kehilangan darah

a. Hematom subkapsular hati

b. Aneurisma aorta pecah

c. Perdarahan gastrointestinal

d. Trauma

2. Kehilangan plasma

a. Luka bakar luas

b. Pankreatitis

c. Deskuamasi kulit

d. Sindrom Dumping

3. Kehilangan cairan ekstraselular

14
a. Muntah (vomitus)

b. Dehidrasi

c. Diare

d. Terapi diuretik yang agresif

e. Diabetes insipidus

f. Insufisiensi adrenal

2.2.3 Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi

tubuh yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk

menjaga aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap

berkurangnya volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah

peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam

banyak kasus, takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur

(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular

perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan

tekanan nadi tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon- hormon

lainnya yang bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok,

termasuk histamin, bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin- sitokin

lainnya. Substansi-substansi ini mempunyai pengaruh besar terhadap

mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular (American College of Surgeons

Committee on Trauma, 2008).

Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena

dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam

15
sistem vena yang tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik.

Namun kompensasi mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam

mengembalikan cardiac output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah

volume cairan tubuh/darah (American College of Surgeons Committee on

Trauma, 2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak

memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses

metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi

kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang

mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis

metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk

pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan

kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal

pun akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama

dari hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya

lisosom, dan lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur

intraseluler lainnya. Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah

pembengkakan sel. Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini

tidak membaik, maka akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan

pembengkakan jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak

kehilangan darah dan hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons

Committee on Trauma, 2008).

2.2.4 Gejala Klinis

16
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-

perdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan dalam

kecepatan timbulnya syok (Baren et al., 2009).

Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan

darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat

dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak

mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara

umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung

dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor

yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat

(Hardisman, 2013).

Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik

yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan

darah (Strickler, 2010).

Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah

kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status

kesehatan individu sebelumnya (Kelley, 2005).

Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang

dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi

dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu

kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ

seperti ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume

darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley,

2005).

17
Tabel 13. Gejala Klinis Syok Hipovolemik

Ringan Berat Sedang

Ekstremitas dingi Sama, ditambah: Sama, ditambah:


Waktu pengisian Takikardia Hemodinamik
kapiler meningkat
Takipnea tidak stabil
Diaporesis Vena
kolaps Cemas Takikardia
Oliguria
bergejala
Hipotensi

Sumber: Baren et al., 2009

Perubahan dari syok hipovolemik ringan menjadi berat dapat terjadi

bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien lanjut dan yang memiliki

penyakit berat (Baren et al., 2009).

2.2.5 Diagnosa

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa

ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren

et al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok

hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,

peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral

(Leksana, 2015).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis

adanya syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan

frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-

ujung jari, suhu dan turgor kulit (Hardisman, 2013).

Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik

18
dapat dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:

Tabel 14. Klasifikasi Syok Hipovolemik

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Kehilangan darah (ml) <750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan darah
<15% 15-30% 30-40% >40%
(%EBV)
Denyut nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140
Tekanan darah N N ↓ ↓
Tekanan nadi N/↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi napas 14-20 20-30 30-35 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 sangat sedikit
Status mental sedikit agak cemas, bingung,
cemas cemas bingung letargi

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya

mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal- awal

terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang

mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan

demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun

kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi

penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan

klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya

berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat

menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan

(Harisman, 2013).

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya

tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari

kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin

19
ditemukan pada keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub dan March,

2014):

 Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan

hemoglobin, hematokrit dan platelet.

 Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya

disfungsi ginjal.

 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.

 Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.

 Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen.

 AGDA, mungkin mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.

 Tes koagulasi, mungkin menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.

Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut,

antara lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):

 Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.

 Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan

gastrointestinal.

 Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.

 Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat

napas akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga

kematian (Greenberg, 2005).

20
2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC,

yaitu pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan

oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk

mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang

perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses

21
intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons Committee

on Trauma, 2008).

Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran

besar (minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena

perifer pada orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila

keadaan tidak memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat

digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang,

contoh darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch,

pemeriksaan laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita

usia subur. (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi

cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang

hilang dan mengembalikan perfusi organ (Kelley, 2005). Tahap awal terapi

dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis umumnya 1-2

liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl

0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan

pemantauan tanda vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013).

Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi

dalam evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat menjadi panduan untuk

menentukan kehilangan volume darah yang harus digantikan. Adalah sangat

penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya

bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat

kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah yang normal

22
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda

hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah

(Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan

kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular (American College of Surgeons

Committee on Trauma, 2008).

Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan

perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika pasien

sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak

tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan

darah spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005)

2.3 Hipokalemia

2.3.1 Definisi Hipokalemia

Hipokalemia dapat timbul akibat kurangnya asupan kalium melalui

makanan, kehilangan kalium melalui gangguan saluran cerna atau kulit, atau

akibat redistribusi kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular. Paralisis

periodik hipokalemik (PPH) merupakan salah satu spektrum klinis akibat

hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium secara akut kedalam

cairan intraselular. Paralisis periodik hipokalemik dapat terjadi secara familial

atau didapat. PPH didapat bisa ditemui pada keadaan tirotoksikosis, disebut

thyrotoxic periodic paralysis, sedangkan bentuk PPH familial disebut familial

hypokalemic periodic paralysis.

Familial hypokalemic periodic paralysis (paralisis periodik hipokalemik

23
familial, PPHF) merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal

dominan, ditandai dengan kelemahan otot atau paralisis faksid akibat

hipokalemia karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular otot

rangka. Kelainan ini dapat mengenai semua ras, 3,4 dengan awitan tersering

pada usia 10 tahun (periode peripubertas). Risiko PPHF lebih tinggi pada orang

Asia dengan rasio laki-laki:perempuan ialah 2:1. Insidens PPHF di Eropa pada

tahun 1994 mencapai 1 tiap 100.000 orang. Sebanyak 50% laki-laki dan

perempuan pembawa gen tidak memiliki gejala atau hanya gejala ringan.5,6

Hipokalemia dan paralisis sering dijumpai di instalasi gawat darurat anak.

Penyebab yang mendasarinya perlu dipahami, apakah karena proses

redistribusi kalium ke ruang intaselular atau akibat berlebihnya ekskresi kalium

melalui urin. Kegagalan menentukan penyebab dapat menyebabkan kesalahan

tata laksana.

2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi

Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya

redistribusi kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa

defsit kalium tubuh total. Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka

dalam menjaga potensial istirahat (resting potential) akibat adanya mutasi gen

CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3,2,6,8 yakni gen yang mengontrol gerbang

kanal ion (voltage-gated ion channel) natrium, kalsium, dan kalium pada

membran sel otot.

Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium

dari luar, ekskresi kalium, dan distribusi kalium di ruang intra- dan

ekstraselular. Sekitar 98% kalium total tubuh berada di ruang intraselular,

24
terutama di sel otot rangka. Secara fsiologis, kadar kalium intrasel

dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-

K+-ATPase. Kanal ion di membran sel otot berfungsi sebagai pori tempat

keluar-masuknya ion dari/ke sel otot. Dalam keadaan depolarisasi, gerbang

kanal ion akan menutup dan bersifat impermeabel terhadap ion Na+ dan K+,

sedangkan dalam keadaan repolarisasi (istirahat), gerbang kanal ion akan

membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium dan kalium serta

menjaganya dalam keadaan seimbang.

Mutasi gen yang mengontrol kanal ion ini akan menyebabkan inf

uksK+ berlebihan ke dalam sel otot rangka dan turunnya infuks kalsium ke

dalam sel otot rangkasehinggaselotottidakdapattereksitasi secara elektrik,

menimbulkan kelemahan sampai paralisis. Mekanisme peningkatan infuks

kalium ke dalam sel pada mutasigen ini belum jelas dipahami.2,3 Sampai saat

ini, 30 mutasi telah teridentifkasi pada gen yang mengontrol kanal ion. Tes

DNA dapat mendeteksi beberapa mutasi; laboratorium komersial hanya dapat

mengidentifkasi 2 atau 3 mutasi tersering pada PPHF sehingga tes DNA

negatif tidak dapat menyingkirkan diagnosis.

2.3.3 Manifestasi Klinis

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi,

mulai dari beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan

durasi serangan mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan

atau paralisis otot pada PPHF biasanya timbul pada kadar kalium plasma <2,5

mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa kelemahan atau paralisis episodik

yang intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke lengan. Serangan muncul

25
setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan oleh,

latihan fsik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara

berangsur membaik pascakoreksi kalium.3,4 Otot yang sering terkena adalah

otot bahu dan pinggul dapat juga mengenai otot lengan, kaki, dan mata. Otot

diafragma dan otot jantung jarang terkena pernah juga dilaporkan kasus yang

mengenai otot menelan dan otot pernapasan. Kelainan elektrokardiograf (EKG)

yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T, supresi segmen

ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fbrilasi ventrikel,

takikardia supraventrikular, dan blok jantung.

2.3.4 Pendekatan dan Diagnoses

Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar

kalium plasma yang rendah (<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah

pemberian kalium. Riwayat PPHF dalam keluarga dapat menyokong diagnosis,

tetapi ketiadaan riwayat keluarga juga tidak menyingkirkan diagnosis.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG, elektromiograf

(EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di luar

serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati vakuolar, yaitu

vakuola retikulum endoplasma otot berdilatasi dengan sitoplasma sel otot

penuh terisi glikogen, dan ukuran serat otot bervariasi.

Pemeriksaan kadar kalium urin saat serangan sangat penting untuk

membedakan PPHF dengan paralisis hipokalemik karena sebab lain, yaitu

hilangnya kalium melalui urin. Ekskresi kalium yang rendah dan tidak ada

kelainan asam basa merupakan pertanda PPHF. Sebaliknya, pasien dengan

ekskresi kalium meningkat disertai kelainan asam basa darah mengarah ke

26
diagnosis non-PPHF.

Pemeriksaan transtubular potassium

Concentrationgradient (TPCG) atau transtubular K+ concentration

([K+]) gradient (TTKG) digunakan untuk membedakan penyebab PPH,

apakah akibat kehilangan kalium melalui urin atau karena proses perpindahan

kalium ke ruang intraselular (chanellopathy). Pemeriksaan TTKG dilakukan

saat terjadi serangan. Dalam kondisi normal, ginjal akan merespons

hipokalemia dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk menjaga

homeostasis. Jika dalam keadaan kalium plasma rendah, tetapi dijumpai

ekskresi kalium urin yang tinggi (lebih dari 20 mmol/L), PPH terjadi akibat

proses di ginjal. TTKG dihitung dengan rumus :

Kadar kalium urin/(osmolalitas urin/osmolalitas plasma)

Kadar kalium plasma

Jika TTKG > 3, PPH diakibatkan oleh kehilangan kalium melalui

ginjal. Namun, jika TTKG < 2, PPH terjadi karena proses perpindahan kalium

ke ruang intraselular.

27
Pendekatan pasien hipokalemia dan paralisis dapat dilihat pada gambar 1.

Ekskresi kalium urin yang rendah dan asam basa normal mengarah ke PPHF,

TPP (thyrotoxic periodic paralysis), SPP (sporadic periodic paralysis), atau

intoksikasi barium. Pada peningkatan ekskresi kalium urin yang disertai

kelainan asam basa, perlu dilihat jenis kelainan asam basa yang terjadi. Jika

asidosis metabolik, perlu diukur ekskresi NH4+ di urin. Asidosis metabolik

dengan peningkatan ekskresi NH4+ dapat dijumpai pada penggunaan toluen

dan diare berat, sedangkan asidosis metabolik dengan ekskresi NH4+ rendah

dijumpai pada renal tubular acidosis (RTA). Jika kelainan asam basa yang

terjadi adalah alkalosis metabolik, dilakukan pengukuran tekanan darah. Jika

tekanan darah normal, kelainan yang mendasari adalah sindrom Bartter,

sindrom Gitelman, efek diuretik, dan vomitus. Jika tekanan darah tinggi,

dipikirkan hipokalemia karena kelebihan mineralokortikoid.

2.3.5 Pencetus

Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat,

28
insulin, stres emosional, pe-makaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B,

adrenalin, relaksan otot, beta-bloker, tranquili-zer, analgesik, antihistamin,

antiasma puf aero-sol, dan obat anestesi lokal.3,4 Diet tinggi karbo-hidrat

dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue, soft drinks,

dan jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh

tubuh. menyebab-kan peningkatan cepat kadar gula darah. Insu-lin akan

memasukkan glukosa darah ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium

se-hingga menyebabkan turunnya kadar kalium plasma. Pencetus lainnya

adalah aktivitas fsik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.

2.3.6 Tata Laksana

Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala

kelemahan otot yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup

pemberian kalium oral, modifkasi diet dan gaya hidup untuk menghindari

pencetus, serta farmakoterapi.3,12 Di beberapa literatur, disarankan pemberian

kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar

kalium mencapai normal. Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan

untuksediaanoral.Suplementasikaliumharus diberikan hati-hati karena

hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-selular kalium berhenti.

Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi

perubahan EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1

jam, infus kontinu, dengan pemantauan ketat. Pasien yang memiliki penyakit

jantung atau dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi kalium IV dengan

dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan) karena memiliki risiko aritmia lebih

29
tinggi. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah

kadar kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien.

Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih

aman karena risiko hiperkalemia lebih kecil.

Pemberian asetazolamid, inhibitor anhidrase karbonat, dengan dosis

125-250 mg 2-3 kali sehari pada anak terbukti cukup efektif me-ngatasi

serangan, mengurangi frekuensi se-rangan, dan mengurangi derajat keparahan.

Mekanisme kerja asetazolamid sampai saat ini masih belum jelas, tetapi

penelitian terakhir mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan menstimulasi

langsung calcium activated K channels sehingga kelemahan otot berkurang.

Spironolakton, dengan dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif. Sebuah

penelitian acak terkon-trol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid

dosis 50-200 mg/hari terbukti efektif menurunkan serangan dibandingkan

plasebo. Triamteren bermanfaat karena dapat meningkatkan ekskresi natrium

dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa negara, ef ervescent kalium

sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan baik oleh

saluran cerna.

Belum ada penelitian pada pasien anak yang membandingkan

efektivitas asetazolamid, spironolakton, diklorfenamid, dan triamteren, serta

belum ada kesepakatan yang jelas di antara para ahli mengenai ka-pan

dianjurkan menggunakan asetazolamid, spironolakton, atau obat lain. Sebagian

besar penelitian masih terbatas pada pasien dewasa. Tata laksana utama PPHF

pada anak lebih ditekankan pada edukasi dan suplementasi ka-lium per oral

mengingat efek samping farma-koterapi. Penelitian yang berkembang saat ini

30
lebih berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan

chanellopathy di tingkat gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana.

Terapi gen sebagai terapi defnitif untuk PPHF saat ini belum ada.

2.3.7 Pemantauan Mandiri

Alat yang dapat dipakai untuk pemantauan mandiri adalah Cardy

Potassium Ion Meter, sebuah alat pengukur kadar kalium saliva. Kadar kalium

saliva mencerminkan kadar kalium plasma. Pemantauan mandiri ini

bermanfaat untuk deteksi perpindahan (shift) kalium, identifkasi faktor

pencetus, penyesuaian gaya hidup atau diet, penyesuaian dosis kalium, dan

dapat mengurangi risiko timbulnya kelemahan otot.

2.3.8 Prognosis dan komplikasi

Paralisis periodik hipokalemik familial biasanya berespons baik

terhadap terapi. Terapi dapat mencegah kelemahan otot lebih lanjut.

Seranganterus-menerusdapatmenyebabkan kelemahan otot permanen, tetapi

jarang dijumpai pada pasien anak. Komplikasi akut meliputi aritmia jantung,

kesulitan bernapas, bicara, dan menelan, serta kelemahan otot progresif.

Komplikasi hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu ginjal, nefritis

interstisial, dan kista ginjal.

2.3.9 Pencegahan

Edukasi pasien sangat penting karena berhubungan dengan gaya

hidup, polamakan, dan aktivitas fisik. Mengingat PPHF merupakan penyakit

yang diturunkan, diperlukan pula konseling genetik untuk pasangan yang

ingin memiliki anak.

31
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

a. Data Pasien
Nama : Ny.A

Umur : 72 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl.xxx

Tanggal masuk : 05 April 2021

Tanggal keluar : 09 April 2021

No. Rekam Medik : 138***

Dokter yang merawat : dr. Fifi Riasukma,Sp.PD.

b. Ilustrasi Kasus

32
Seorang pasien berinisial Ny.A dibawa oleh anaknya ke Rumah Sakit

otak DR.DRS.M.Hatta Bukittinggi ke bagian IGD pukul 21.10 WIB dengan

keluhan pasien muntah-muntah sejak 3 hari yang lalu dengan frekuensi 5

kali/hari, badan terasa letih, nafsu makan menurun, dan tekanan darah rendah

(80/60 mmHg).

c. Riwayat Penyakit Sekarang

 Muntah semenjak 3 hari yang lalu dengan frekuensi 5 kali/hari

 Badan letih

 Nafsu makan menurun

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi sejak 5 tahun lalu

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Berdasarkan hasil wawancara dengan anak pasien memiliki riwayat

penyakit asma

3.2 Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik di Rumah Sakit pada tanggal 05 April 2021 pada

hari Senin :

a) Pemeriksaan fisik

Kondisi Umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis Frekuensi

Nadi : 43x/menit

Frekuensi Nafas : 22x / menit

Suhu : 36oC

Tekanan Darah : 80/60 mmHg

33
Berat Badan : ± 50 kg

Tinggi Badan : 152 cm

b) Pemeriksaan Umum

Kepala : Tidak ditemukan kelainan (Normal)

Mata : Palpebra (normal), Konjungtiva Dermis tidak

ditemukan kelainan (Normal), Sklera Interik tidak

ditemukan kelainan (normal)

Thorax : Jantung (corona) S1,S2 reguler (Normal)

Abdomen : Suppel (normal), bissing usus dan nyeri tekan tidak

ditemukan kelainan (normal)

c) Pemeriksaan Penunjang

Parameter Nilai Normal Hasil

Gula darah random <200 mg/dl 195 mg/dl

Ureum 10-50 g/dl 7,9 mg/dl

Kreatinin 0,6-1,1 mg/dl 2,3 mg/dl

Natrium 136-145mmol/L 129 mmol/L

Kalium 3,5-5,1 mmol/L 3,2mmol/L

Klorida 97-111 mmol/L 90 mmol/L

RBC (3,80-6,50) 106/mm3 4,34 106/mm3

HGB 11,5-17,0 g/dl 13 g/dl

WBC (4,0 -10,0) 103/mm3 17,1 103/mm3

3.3 Diagnosis

Primer : CKD

34
Sekunder : Syok hipovolemik dan Hipokalemia

3.4 Penatalaksanaan

 Terapi/Tindakan yang diberikan di IGD

- Oksigen 3L/mnt

- Infus RL → guyur 2 kolf

- Infus NaCL 3 % / 12 jam

- Inj Ranitidin 50mg/ 12 jam iv

- Inj Ondansetron 2x1 / 12 jam iv

- Inj Ceftriaxon 2x1 gr

- Bixnat 2 x 500 mg

- As.folat 1x1

 Terapi/Tindakan yang diberikan di Bangsal Interne

- Infus NaCl 3% /12 jam dan Dexsto 5% EAS Primer / 12 jam

- Ranitidin inj 2 x 1 (50 mg/ml)

- Ondansetron inj 2 x 1 (2 mg/ml)

- Ceftriaxon inj 2 x1 (1 mg/ml)

- Bicnat 500mg 2 x 1

- Asam Folat 1 x 1

35
36
3.4 Daftar Pemberian Obat

Nama Obat Reg 05 April 2021 06 April 2021 07 April 2021 08 April 2021

8 12 18 24 8 12 18 24 8 12 18 24 8 12 18 24

Am am Pm Pm Am Am Pm pm am am Pm Pm am am Pm pm
Ranitidin inj 2 x 1 (iv)  Pukul 
(50 mg/ml)
20.00
Ondansetron 2 x 1 (IV)  Pukul 
20.00
Nacl 3% Infs/12 jam    

Dexsto 5% EAS Infs/12 jam    


Primer
Ceftriaxon 2 x 1 (iv)   
(1mg/ml)
2 x 1 (500   
Bicnat
mg)  
1x1  
Asam Folat

Acetylsistein 3x1 2 mg 

37
3.6 Follow up SOAP

Tanggal Jam S O A P

05/04/2021 IGD IGD IGD IGD


Pasien mengalami TD : 80/60 Syok hipovolemik dan Kekurangan cairan,
muntah – muntah N : 143x/menit CKD muntah dan letih dapat
semenjak 3 hari yang P : 22x/menit diatasi dengan pemberian
lalu dengan frekuensi S : 36,0 C infus NaCl 3% selama 12
5x/hari, nafsu makan GCS:Normal jam, infus Dexsto 5%
menurun, badan letih. EAS Primer, Ranitidin
BAB dan BAK nya inj 50 mg/12jam (iv),
biasa. Ondansentron 2x1 mg
(iv), Bicnat 2x1 (500mg),
As.Folat 1x1.

38
06/04/2021 08.10 Rawat Inap
Pasien masih mengalami TD : 140/90 mmHg Syok hipovolemik, Pasien diberi terapi infus
penurunan nafsu makan, HB : 11,2 g/dl CKD, Hipokalemia NaCl 3% selama 12 jam,
badan terasa letih Ureum : 27 mg/dl infus Dexsto 5% EAS
Kreatinin : 1,9 Primer, Ranitidin inj 50
mg/dl mg/12jam (iv), Ondansentron
2x1 mg (iv), Bicnat 2x1
(500mg), As.Folat 1x1.
07/04/2021 10.00 Pasien mengatakan nafsu TD : 170/90 CKD Pasien diberi terapi infus
makannya menurun, badan N : 143x/mnt NaCl 3% selama 12 jam,
terasa letih. Mukosa bibir Nf : 30x/mnt infus Dexsto 5% EAS
kering. Ureum : 79 mg/dl Primer, Ranitidin inj 50
Kreatinin ; 2,3 mg/dl mg/12jam (iv), Ondansentron
Na : 179 μl/l 2x1 mg (iv), Bicnat 2x1
Ka: 3,2 μl/l (500mg), As.Folat 1x1.
Cl ; 90 μl/l

39
08/04/2021 08.00 Pasien masih mengalami KU : Pasien tampak CKD Penambahan pemberian
nafsu makan yang rendah letih Acetylsistein 3x 1, dan
dan badan terasa letih GCS :15 perhatikan tanda-tanda vital
Kesadaran : CM

40
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Drug Related Problem

DRUG RELATED PROBLEM


No Drug Therapy Problem Check Keterangan/ Rekomendasi
List
.
1. Terapi Obat Yang Tidak
Diperlukan

Terdapat terapi tanpa indikasi medis - Obat yang diberikan sudah sesuai dengan indikasi klinis pasien :
- Na Bic 500 mg 3x1 tab digunakan untuk mengobati asidosis
metabolic pada pasien gagal ginjal
- Asam folat 1 mg 1x1 tab PO digunakan untuk mengatasi
anemia pasien dimana dapat mengatasi defisiensi folat
pasien
- NaCl 0.9% digunakan untuk menyeimbangkan cairan tubuh
pasien
- EAS Pfrimmer sebagai pemenuhan asam amino serta
untuk diet rendah protein pada pasien CKD
- Ranitidin injeksi untuk mengatasi stress ulcer
- Ondansentron digunakan untuk mengatasi mual dan muntah
- Cefriaxon digunakan untuk mengobati infeksi saluran

41
pernafasan
- Acetylsistein digunakan untuk mengencerkan dahak

Pasien mendapatkan terapi tambahan - Pasien mendapatkan terapi sesuai indikasi yang diderita pasien
yang tidak di perlukan
Pasien masih memungkinkan - Pasien dapat memungkinkan menjalani terapi non farmakologi
menjalani terapi non farmakologi
Terdapat duplikasi terapi - Tidak terdapat duplikasi obat yang diberikan kepada pasien

Pasien mendapatkan penanganan - Tidak ada penangganan efek samping obat yang seharusnya dicegah
terhadap efek samping yang
seharusnya dapat di cegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Bentuk sediaan sudah disesuaikan dengan kondisi pasien

Terdapat kontraindikasi - Tidak terdapat kontraindikasi antar obat dan kondisi pasien.

Kondisi pasien tidak dapat - Kondisi pasien dapat disembuhkan oleh obat , dilihat dari
disembuhkan oleh obat perkembangan kesehatan pasien serta pasien sudah bisa pulang

Terdapat obat lain yang efektif - Obat yang diberikan sudah efektif dalam proses pengobatan pasien.
Dimana terapi obat yang diberikan telah sesuai dengan kondisi
pasien yang dapat dilihan pada follow up harian pasien.

42
Obat tidak diindikasi untuk kondisi - Tidak ada obat yang tidak diindikasikan untuk pasien.

Pasien

3. Dosis Tidak Tepat

Dosis terlalu rendah atau dosis terlalu - Dosis obat sesuai dengan literatur
tinggi - Bicnat : 325-2000 mg sebanyak 1-4kali sehari
- Ranitidin: dosis untuk pasien tanpa CKD 50mg setiap 6-
8jam, untuk pasien CKD dosis disesuaikan menjadi setengah
dosis normal perhari
- EAS Pfrimmer : 250mL/hari dapat ditingkatkan menjadi 500
mL/hari
- Ondansentron : 2x 1 mg
- Asam folat : 5 mg setiap 1-7 hari
- Ceftriaxon : 4 gram/ hari
- Acetylsistein : 3x1 (2mg)

Frekuensi pengguna tidak tepat - Frekuensi obat yang diberikan sudah sesuai

Durasi penggunaan tidak tepat - Durasi penggunaan sudah tepat


Penyimpanan tidak tepat - Penyimpanan obat sudah tepat, dimana obat disimpan didalam tempat
obat pasien.
4. Reaksi Yang Tidak Diinginkan

43
Obat tidak aman untuk pasien - Obat yang diberikan aman digunakan pasien.

Terjadi reaksi alergi - Tidak terjadi reaksi alergi, pasien tidak memiliki riwayat alergi
sehingga obat aman digunakan
Terjadi interaksi obat - Interaksi obat tidak terlihat nyata

Muncul efek yang tidak diinginkan - Selama pengamatan tidak muncul efek yang tidak diinginkan selama
pemberian terapi

Dosis obat dinaikan atau diturunkan - Tidak ada dosis obat yang dinaikkan / diturunkan
terlalu cepat
Administrasi obat yang tidak tepat - Administrasi obat yang diberikan sudah tepat

5. Ketidaksesuaian Kepatuhan
Pasien
Obat tidak tersedia - Tidak ada obat yang tidak tersedia, semua obat yang di butuhkan
pasien tersedia di apotek rumah sakit
Pasien tidak mampu menyediakan - Pasien mampu menyediakan obat
obat sendiri
Pasien tidak bisa menelan obat atau - Pasien mampu mengkonsumsi obat dengan Baik
menggunakan obat

44
Pasien tidak mengerti - Keluarga pasien mengerti intruksi penggunaan obat
intruksi penggunanan obat

Pasien tidak patuh atau memilih - Pasien patuh dalam menggunakan obat, obat-obat untuk pasien rawat
untuk tidak menggunakan obat inap disediakan dalam bentuk UDD untuk satu kali pakai, sehingga
ketidak patuhan pasien dapat teratasi.

6. Pasien Membutuhkan Tambahan


Terapi

Terdapat kondisi yang tidak diterapi - Tidak ada kondisi yang tidak mendapatkan terapi

Pasien membutuhkan obat lain yang - Pasien tidak membutuhkan obat lain yang sinergis.
sinergis
Pasien membutuhkan terapi - Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis sesuai dengan kondisinya,
profilaksis
yaitu ranitidine HCl

45
4.2 Lembar Pengkajian Obat

MULAI JENIS OBAT RUTE DOSIS BERHENTI INDIKASI OBAT KETEPATAN KOMENTA
INDIKASI R DAN
ALASAN
06-04-2021 Ranitidin 50 mg IV 50 mg 2 x 1 07-04-2021 Digunakan sebagai obat Tepat Indikasi Digunakan
2x1 tukang lambung untuk
menetralkan
asam lambung
sehingga dapat
mengatasi
iritasi pada
saluran cerna
06-04-2021 Ondansetron IV 2x1 07-04-2021 Digunakan sebagai Tepat Indikasi Karena pasien
2x1 obat mual dan muntah. mengeluh
mengalami mual
muntah sudah 3
hari dengan
frekuensi
5kali/hari
06-04-2021 Cefriaxone 1 g IV 1g3x1 07-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi Karena dari
3x1 mengobati infeksi hasil labor
saluran pernapasan pasien
memiliki
kadar leukosit
diatas normal
06-04-2021 Bicnat 500 mg PO 500 mg 09-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi Pasien gagal ginjal
2x1 2x1 mengobati asidosis biasanya kadar
metabolic pada penyakit asam didalam
gagal ginjal tubuh tinggi

46
(asidosis
metabolic)
06-04-2021 Asam folat PO 1x1 09-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi Pasien
1x1 pencegahan dan mengalami
pengobatan defisiensi hipokalemia
folat. dimana
disebabkan oleh
defisiensi folat di
dalam tubuh.
05-04-2021 Nacl 3% IV 3% 05-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi Pasien
mengatasi dan mencegah mengalami mual
kehilangan sodium. muntah sudah 3
hari sehingga
diberikan Nacl
agar tidak terjadi
kekurangan
sodium
didalam tubuh.
05-04-2021 Dextrose 5% IV 5% 05-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi pasien ckd
EAE memenuhi kebutuhan harus diet
asam amino pada rendah protein
penderita insufisiensi sehinga
ginjal akut dan kronik. dibutuhkan zat
untuk memenuhi
kebutuhan asam
amino
08-04-2021 Acetyl Sitein PO 3x1 09-04-2021 Digunakan untuk Tepat Indikasi Pasien
3x1 pengencer dahak. mengalami batuk
dan berdahak.

47
4.3 Lembar Monitoring Efek Samping Obat

NO NAMA OBAT MANIFESTASI ESO REGIMEN CARA MENGATASI EVALUASI


DOSIS ESO TANGGAL URAIAN
1 Ranitidin 50 mg Sakit kepala, 2x1  Untuk sakit kepala 06-04-2021 sd Pasien tidak
konstipasi, diare, mual IV pasien dianjurkan 07-04-2021 mengalami efek
muntah banyak beistirahat samping
 Pasien dianjurkan
perbanyak minum
air putih
2 Ondansetron Sakit kepala, konstipasi 2x1  Untuk sakit kepala 06-04-2021 sd Pasien tidak
IV pasien dianjurkan 07-04-2021 mengalami efek
banyak beistirahat samping
 Pasien dianjurkan
perbanyak minum
air putih
3 cefriaxone Gangguan saluran 3x1  Pasien dianjurkan 06-04-2021 sd Pasien tidak
cerna, mual muntah IV perbanyak minum 07-04-2021 mengalami efek
air putih samping
 Pasien dianjurkan
memakan makanan
kaya serat
4 Bicnat Mual, haus, perut 2x1  Pasien dianjurkan 06-04-2021 sd Pasien tidak
kembung, PO perbanyak minum 09-04-2021 mengalami efek
Hipermagnesemia pada samping

48
pasien gagal ginjal  air putih hangat
Batasi asupan
magnesium seperti
kacang-kacangan

5 As. Folat perubahan pola tidur, 1x1  Perbanyak minum 06-04-2021 sd Pasien tidak
sulit berkonsentrasi PO air putih untuk 09-04-2021 mengalami efek
meningkatkan samping
konsentrasi

6 Nacl 3% Detak jantung cepat 3%  Pasien dianjurkan 05-04-2021 Pasien tidak


perbanyak istirahat mengalami efek
samping
7 Dextrose 5% Sakit kepala, sulit 5%  Pasien dianjurkan 05-04-2021 Pasien tidak
EAE berkonsentrasi perbanyak istirahat mengalami efek
 Perbanyak minum samping
air putih untuk
meningkatkan
konsentrasi
8 Acetyl Sitein Mual muntah, pilek 3x1  Pasien di anjurkan 08-04-2021 sd Pasien tidak
PO perbanyak minum 09-04-2021 mengalami efek
air putih hangat samping

49
4.4 Pembahasan

Seorang pasien dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit Otak Dr. Drs.

Muhammad Hatta Bukittinggi yang berinisial Ny. A pasien datang pada hari Senin

tanggal 5 April 2021 pukul 21.10 WIB dengan keluhan Muntah sejak tiga hari yang

lalu dengan frekuensi 5x/hari. Pasien tampak lemah dan nafsu makan menurun.

Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 5 April 2021 diperoleh keadaan

umum pasien lemah, kesadaran CM (Compos Mentis), Frekuensi Nadi 43x/ menit,

Nafas 22x/ menit, TD (Tekanan Darah) 80/60 mmHg, Suhu 36,3 ºC. Hasil

pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 6 April 2021 Gula Darah 195 mg/dl, Ureum

79 mg/dl, Kreatinin 2,3 mg/dl, sementara untuk Natrium 129 mmol/L, Kalium 3,2

mmol/L, Chlorida 90 mmol/L. Karena kondisi pasien yang belum membaik meski

dilakukan pengobatan di IGD maka dokter IGD melakukan rujukan pasien dari IGD

ke rawat inap Interne. Pengobatan di Rawat Inap dimulai dari tanggal 6 April 2021.

Pada saat di IGD dengan keluhan tersebut Dokter IGD mendiagnosa pasien

mengalami syok hipovolemik, hipokalemia, dan CKD. Diagnosa tersebut didasari oleh

keluhan atau gejala yang dialami pasien dan diagnosa tersebut didapatkan dari hasil

pemeriksaan laboratorium.

Dari kajian tersebut dokter memberi terapi infus Nacl 3% / 12 jam, D 5% EAM

Primer gunanya untuk membantu mengembalikan keadaaan tubuh yang sudah lemah,

setelah itu dokter memberikan Inj Ranitidin 50 mg/12 jam (iv). Dimana ranitidine

berfungsi mengurangi kadar asam didalam lambung, dosis penggunaan pada pasien

yang memilki riwayat penyakit CKD yaitu 50 mg diencerkan dalam 20 ml dan

diberikan selama tidak kurang dari 2 menit dan dapat diulang 6-8 jam. Selanjutnya

50
diberikan Inj Ondansetron 4mg dosis 2x1 (iv), diindikasikan untuk mengobati mual

dan muntah. Inj Cefriaxon 1g 2x1 (iv). Indikasi dari cefriaxon yaitu digunakan untuk

mengobati infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap cefriaxone

dalam kondisi sepsis, meningitis, infeksi abdomen peritonitas, infeksi kandung

empedu, dan saluran pencernaan), infeksi tulang, persendian dan jaringan lunak,

pencegahan infeksi prabedah, infeksi ginjal dan saluran kemih, infeksi saluran

pernapasan terutama pneumonia, infeksi THT. Terapi pengobatan selanjutnya

diberikan Bixnat 2x1 dengan dosis 500 mg, asam folat 1x1.

Setelah dilakukan pengecekan labor dapat dikatakan bahwa pasien mempunyai

penyakit primer CKD Stage IV. CKD Stage IV adalah penyakit gagal ginjal kronik

dimana terjadinya penurunan nilai GFR tingkat berat. kerusakan ginjal dengan

punurun GFR berat dengan nilai 15-29 (mm/menit/1,73 m2). Namun pada

pemeriksaan laboratorium dengan perhitungan menggunakan rumus Klirens Kreatinin

( ml/ menit ) didapatkan hasil klirens kreatinin sebagai berikut :


(140−Umur)x Berat Badan (Kg)
Clearance creatinin (ml/ menit) =
72 x creatinin serum

Menurut hasil perhitungan klirens kreatinin sesuai pemeriksaan laboratorium

pada tanggal 05 April 2021 didapatkan kreatinin Ny. A sebesar 2,3 mg/dl jika

dimasukkan kedalam rumus klirens kreatinin maka didapatkan hasil kliren kreatinin

17,45 ml/menit dan jika dimasukkan kedalam klasifikasi CKD berdasarkan derajat

penyakitnya pasien termasuk kedalam CKD stage IV. Penalataksaan CKD diberikan

Bicnat 2x 1 500mg pada pasien, tetapi dokter menganjurkan agar pasien melakukan

pengobatan rawat jalan khusus poli penyakit dalam.

51
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

52
Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dari data Anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor pasien didiagnosa mengalami CKD

(Gastroenteritis Akut), syok hipovolemik,hipokalemia.

5.2 Saran

1. Apoteker melakukan monitoring efek samping obat

2. Apoteker melakukan konseling kepada pasien

DAFTAR PUSTAKA

Agnes Z. 2014. Chronic Kidney Disease Stage V. Unila : Lampung

53
BNF. 2014. British National Formulary 68 ed. Pharmaceutical Press :London BPOM

RI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional. BPOM : Jakarta

Dipiro, J.T. 2005. Pharmacoterapy Handbook 6th Edition. Appleton ang Lange
: New York

Dipiro, J.T. 2009. Pharmacoterapy Handbook 7th Edition. Mc Graw Hill : New York

Febrairini, R. 1978. Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. FK Wijaya Kusuma :


Surabaya

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Menkes RI : Jakarta MIMS
Indonesia. 2020. Petunjuk Konsultasi, Edisi 19.

Surya, 2016. Buku Ajar Praktis Patofisiologi, Farmakologi, dan Farmakoterapi. Gre
Publishing : Padang

54

Anda mungkin juga menyukai