Anda di halaman 1dari 8

653 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

PERTUMBUHAN Kappaphycus alvarezii DAN Eucheuma striatum DENGAN


SUMBER BIBIT YANG BERBEDA DI PERAIRAN BOALEMO, GORONTALO
Nelly Hidayanti Sarira, Dhini Arum Pratiwi, Pustika Ratnawati, dan Noor Bimo Adhiyudanto
Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput laut
Jl. Pelabuhan Etalase Perikanan, Dusun Pohilihe Desa Tabulo Selatan Kec. Mananggu Kab. Boalemo 96265, Gorontalo
E-mail: lppbrl@yahoo.com

ABSTRAK

Penggunaan bibit K. alvarezii oleh pembudidaya di Gorontalo Utara masih diperoleh dari kegiatan budidaya
itu sendiri. Sedangkan untuk jenis E. striatum diperoleh dari Kabupaten Parigi Moutong. Selain Kabupaten
Gorontalo Utara juga akan dikembangkan lokasi budidaya rumput laut di Kabupaten Boalemo. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma striatum dengan
asal bibit berbeda. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015 di lokasi pengembangan budidaya
rumput laut di perairan Tabulo Selatan, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Penelitian dilakukan dalam
siklus 45 hari pemeliharaan yang diamati secara berkesinambungan. Unit-unit percobaan disusun dengan
dua kali ulangan pada setiap jenis rumput laut dengan sumber bibit yang berbeda yaitu dari Kecamatan
Malalang, Sulawesi Tengah dan Kecamatan Kwandang, Gorontalo. Budidaya menggunakan metode long line
dengan luasan konstruksi setiap lokasi penelitian adalah 35 m x 10 m. Bobot awal bibit 50 g/rumpun
kemudian diikat pada tali bentangan dengan jarak 15 cm antar rumpun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertumbuhan rumput laut E. striatum (bobot akhir 110,7 g; LPH 1,63%) dan K. alvarezii (bobot akhir
55,8 g; LPH 0,08%) dari Kwandang lebih baik dibandingkan sumber bibit dari Malalang.

KATA KUNCI: pertumbuhan, rumput laut, dan asal bibit berbeda

PENDAHULUAN
Rumput laut jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional
sebagai penghasil ekstrak karaginan. Rumput laut karaginofit termasuk dalam alga merah
(Rhodophyceae) sebagai penghasil karaginan yang merupakan senyawa polisakarida yang mampu
membentuk seperti agar. Beberapa jenis rumput laut Eucheuma seperti Kappaphycus alvarezii dan E.
striatum merupakan salah satu Carragaenaphyces, yaitu rumput laut penghasil kappa-karaginan
(Utomo, 2011). Karaginan banyak dimanfaatkan dalam industri sebagai stabilisator, bahan pengental,
dan pengemulsi (Winarno, 1996).
Sebagian besar kebutuhan rumput untuk karaginan dipenuhi dari hasil budidaya dengan jenis
yang banyak dibudidayakan adalah K. alvarezii, E. denticulatum, dan E. striatum. Tingginya permintaan
rumput laut untuk kebutuhan industri maka perlunya dilakukan peningkatan kegiatan budidaya,
Saat ini jenis K. alvarezii banyak dibudidayakan secara intensif di perairan pantai. Namun keberhasilan
budidaya bergantung pada beberapa faktor seperti pemilihan lokasi budidaya yang sesuai dengan
karakteristik rumput laut, dan pemilihan bibit yang tepat yang mampu mendukung optimalisasi
kegiatan budidaya (Pong-Masak, 2011).
Perkembangan sentra budidaya rumput laut di Sulawesi tersebar di wilayah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Provinsi Gorontalo memiliki
sentra pengembangan rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara salah satunya di Kecamatan
Kwandang. Kawasan Kwandang memiliki karakteristik perairan budidaya yang berada pada wilayah
perairan utara Laut Sulawesi, di mana pada kawasan ini banyak dibudaya jenis K. alvarezii. Sedangkan
sentra budidaya rumput laut di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat di Kabupaten Parigi Moutong
salah satunya di Kecamatan Malalang. Kawasan perairan Malalang masih merupakan wilayah perairan
Teluk Tomini, dengan komoditas jenis K. alvarezii. Namun produksi rumput laut K. alvarezii yang
dibudidayakan sentra budidaya tidak tahan terhadap fluktuasi yang disebabkan faktor cuaca yang
memengaruhi pertumbuhan dan munculnya gejala penyakit ice-ice, sehingga para pembudiaya mulai
Perteumbuhan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma ..... (Nelly Hidayanti Sarira) 654

melakukan pergantian dengan jenis E. striatum yang dapat menjadi alternatif komoditas karena salah
satu penghasil karaginan. Secara morfologi rumput laut E. striatum memiliki talus yang lebih besar
dan tebal (Anggadiredja, 2006), sehingga diasumsikan dapat bertahan terhadap fluktuasi perairan.
Pengembangan sentra budidaya di wilayah Gorontalo selain di Kabupaten Gorontalo Utara adalah
di perairan Kabupaten Boalemo. Rumput laut yang sudah dibudidayakan adalah jenis K. alvarezii,
tetapi saat ini para pembudidaya mulai kesulitan untuk mendapatkan bibit yang kualitasnya baik,
serta tahan terhadap perubahan kondisi perairan. Namun hingga kini masih terbatas informasi
mengenai jenis rumput laut dan sumber bibit yang dapat dikembangkan di perairan Boalemo. Tujuan
dari peneitian ini adalah untuk mengetahui jenis rumput laut dan sumber bibit rumput laut yang
potensial untuk dikembangkan di Perairan Boalemo.
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015 di lokasi pengembangan budidaya rumput
laut di perairan Tabulo Selatan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Lokasi ini dipilih karena
telah banyak dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan budidaya khususnya budidaya rumput
laut.
Desain Uji
Penelitian dilakukan dalam siklus 45 hari pemeliharaan yang diamati secara berkesinambungan.
Unit-unit percobaan disusun dengan dua kali ulangan pada setiap jenis rumput laut dengan sumber
bibit yang berbeda yaitu dari Malalang (Sulawesi Tengah) dan Kwandang (Gorontalo Utara). Rumput
laut yang dijadikan percobaan sebagai perlakuan adalah jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
edule, di mana pada satu konstruksi budidaya terdiri atas delapan bentangan tali nilon sepanjang 35
m. Pada setiap bentangan diberi penanda/label sebanyak 10 titik untuk diamati pertumbuhannya.
Bibit rumput laut diperoleh dari pembudidaya rumput laut dipotong-potong dengan bobot awal
tanam 50 g/rumpun, kemudian diikat pada tali bentangan dengan jarak 15 cm antar rumpun. Tali
bentangan diberi pelampung sebanyak 10 buah untuk kestabilan bibit pada kedalaman 30 cm di

Sumber: Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut

Gambar 1. Desain wadah pemeliharaan bibit dengan metode long line


655 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

bawah permukaan perairan selama percobaan berlangsung. Tali bentangan diikat pada tali ris utama
(tali induk) dengan membentuk barisan pada jarak 1 m antar tali bentangan.
Parameter Pengamatan
Pengamatan pertumbuhan rumput laut dan kualitas perairan dilakukan pada awal (penebaran)
dan setelah 45 hari masa pemeliharaan secara berulangan (Repeated measurement) (Mattjik &
Sumertajaya, 2000). Pengukuran pertumbuhan rumput laut dilakukan dengan cara menimbang bobot
rumput laut yang akan diikat sebanyak 10 titik rumpun yang telah diberi kode tertentu dalam setiap
bentangan, kemudian sampling pertumbuhan rumput laut dilakukan setiap 15 hari. Peubah kualitas
lingkungan perairan diukur secara in-situ, yang meliputi: suhu (°C), pH, salinitas (ppt), DO (mg/L),
dan kecerahan perairan (m).
Laju pertumbuhan harian (LPH) diukur setiap 15 hari masa pemeliharaan, terhitung dari awal
penelitian hingga akhir penelitian. Menurut Effendi (2004), LPH dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:

LPH 
Ln Wt - Ln Wo 
x 100%
t

di mana:
LPH = persentase bobot rata-rata individu per hari (%/hari)
Wt = ln bobot rata-rata pada waktu ke-t (g)
Wo = ln bobot rata-rata awal (g)
t = waktu (hari)
Pengumpulan data juga dilkukan dengan mendeskripsikan morfologi rumput laut pada saat
pengamatan yang meliputi kondisi talus, penempelan biofouling, dan gejala penyakit ice-ice.
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara statistik dan dibahas secara deskriptif untuk
mengetahui asal bibit rumput laut terbaik yang cocok dibudidayakan di perairan Boalemo.
HASIL DAN BAHASAN
Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan menghitung bobot rata-rata dari setiap sampel
pengamatan pada hari ke-15, 30, dan 45. Hasil pengamatan bobot rumput laut K. alvarezii yang
berasal dari Kwandang dan Malalang yaitu masing-masing pada 10 titik pengamatan dengan dua
ulangan menunjukkan bahwa bibit dari Kwandang memiliki bobot lebih tinggi daripada bibit dari
Malalang. Pada pengamatan hari ke-15, 30, dan hari ke-45 bobot K. alvarezii dari Kwandang
menunjukkan peningkatan (> 50 g) pada sebagian besar rumpun dari keseluruhan 20 rumpun yang
diamati, sedangkan K. alvarezii dari Malalang secara keseluruhan menunjukkan penurunan bobot
(<50 g) (Gambar 2).

120 60 56 57
94 100 49
100 87 50
Bobot (gram)

40
Bobot (gram)

80

60 15 30 15
30 20 30
40
45 10 45
20
0
0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
Nomor rumpun
Nomor rumpun

Gambar 2. Bobot K. alvarezii dengan sumber bibit dari Kwandang (kiri) dan Malalang (kanan)
Perteumbuhan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma ..... (Nelly Hidayanti Sarira) 656

Hasil pengamatan bobot rumput laut E. striatum dari Kwandang pada 10 titik pengamatan dengan
dua ulangan menunjukkan pada 15 hari pertama terjadi peningkatan (>50 g) dihampir semua rumpun
yang diamati dengan bobot tertinggi 95 g, pada hari ke-30 mulai terjadi penurunan hingga hampir
mendekati di bawah 50 g dengan bobot terendah 29 g, pengamatan pada akhir siklus (45 hari)
memperlihatkan terjadinya peningkatan yang cukup signifikan, dengan bobot tertinggi mencapai
188 g. Sedangkan E. striatum yang berasal dari Malalang pada hari ke-15 ada yang mengalami
peningkatan bobot dan penurunan bobot dengan bobot tertinggi 73 g dan terendah 22 g. Pada hari
ke-30 sebagian besar rumpun mengalami penurunan bobot, sedangkan pada hari ke-45 banyak
rumpun yang mengalami patah dan jatuh namun justru terdapat rumpun dengan peningkatan bobot
hingga 120 g (Gambar 3).

200 188 140


180 120
120
160
140 100

Bobot (gram)
Bobot (gram)

120 80
100 15 15
80 60
30 30
60 40
45 45
40
20
20
0 0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
Nomor rumpun
Nomor rumpun

Gambar 3. Bobot E. striatum dengan sumber bibit dari Kwandang (kiri) dan Malalang (kanan)

Pengamatan bobot rumput laut jenis E. striatum menunjukkan bahwa sumber bibit dari Kwandang
memiliki nilai bobot akhir (hari ke-45) lebih tinggi (120 g) jika dibandingkan dengan bibit dari
Malalang (60 g). Rumput laut K. alvarezii sumber bibit dari Kwandang juga menunjukkan pola yang
sama, dimana memiliki bobot rata-rata akhir lebih tinggi (60 g) jika dibandingkan dengan asal bibit
Malalang (30 g). Pengamatan di hari ke-30 menunjukkan penurunan pada kedua jenis rumput laut,
penurunan ini diakibatkan karena rumput laut terserang penyakit ice-ice sehingga banyak yang mati
dan patah (Gambar 4). Penyakit ice-ice dapat menyebabkan talus menjadi rapuh dan mudah putus,
dan memperlihatkan pertumbuhan yang lambat karena terjadinya perubahan warna menjadi putih
dan membusuk (Santoso & Nugraha, 2008).
Hasil perhitungan laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut K. alvarezii dan E. striatum
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian kedua rumput laut yang bersumber dari Kwandang

80
120
Rerata bobot K. alvarezii
Rerata bobot E. striatum

110,7 70
100 60 55,8
80 78,9 50
60 40
30 30,2
(g)
(g)

40 20
20 10
0 0
0 15 30 45 0 15 30 45

Hari ke- Hari ke-


Kwandang Malalang Kwandang Malalang
Gambar 6. Perbandingan rerata bobot Gambar 7. Perbandingan rerata bobot
Gambar 4. Perbandingan rerata bobot E. striatum (kiri) dan K. alvarezii (kanan) dari sumber bibit
yang berbeda
657 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

memiliki LPH lebih tinggi dibandingkan dengan bibit yang bersumber dari Malalang. Laju pertumbuhan
harian tertinggi E. striatum dari Kwandang sebesar 2,1% pada hari ke-15, kemudian mengalami
penurunan LPH pada hari ke-30 dan naik kembali pada hari ke-45 (1,5%). Begitu juga dengan rumput
laut K. alvarezii dengan sumber bibit dari Kwandang menunjukkan LPH lebih tinggi daripada bibit
yang berasal dari Malalang. LPH tertinggi yaitu sebesar 1,9% pada hari pengamatan ke-15 dan hingga
hari ke-45 mengalami penurunan LPH (0,2%). Laju pertumbuhan Eucheuma dikatakan baik jika laju
pertumbuhan harian tidak kurang dari 3% (Anggadiredja, 2006). Pengamatan pertumbuhan rumput
laut K. alvarezii dan E. striatum dengan menunjukkan mengalami penurunan pertumbuhan,
dikarenakan pada saat pengamatan mulai muncul biofouling, teritip, lumut hijau, dan suspensi yang
menempel pada talus, sehingga mengganggu pertumbuhan dan mengakibatkan rumput laut terkena
penyakit ice-ice dan ada beberapa rumpun yang rontok dan patah (Gambar 5).

2,5
2,5 2

LPH K. alvarezii (%)


2 1,5
LPH E. striatum (%)

1,5 1.63 1
1 0,88 0,5
0,5 0 0.08
0 -0,5 0 15 30 45
-0,5 0 15 30 45 -1
-1,5 -1,32
-1
-2
-1,5
-2,5
-2 -3
-2,5 Hari ke-
Hari ke-
Kwandang Malalang Kwandang Malalang

Gambar 5. Laju pertumbuhan harian E. striatum (kiri) dan K. alvarezii dengan sumber bibit berbeda

Selama pengamatan rumput laut E. striatum yang berasal dari Kwandang memiliki ketahanan dan
tingkat adaptif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber bibit Malalang, perbedaan secara
morfologi rumput laut E. striatum yang bersumber dari Kwandang tampak lebih cerah dan segar,
serta terdapat talus-talus kecil mulai tumbuh. Pada jenis K. alvarezii yang bersumber dari kwandang
terlihat coklat tua dan segar dengan banyak talus muda yang tumbuh, sedangkan bibit dari Malalang
terlihat berwarna coklat muda dengan talus yang lebih besar. Perbedaan kondisi fisik ini yang membuat
bibit yang bersumber dari Kwandang mampu bertahan dan lebih adaptif terhadap kondisi perairan
Boalemo. Secara morfologi rumput laut E. striatum memiliki talus yang lebih besar dan tebal,
sedangkan jenis K. alvaerzii dan E. denticulatum memiliki talus yang percabangannya runcing dan
tumpul (Anggadiredja, 2006). Habitat E. striatum yaitu pada perairan yang dipengaruhi pasang surut
dengan kecepatan arus cepat, dengan salinitas sekitar 32 ppt dan suhu harian berkisar antara 25°C-
30°C (Hatta, 2001). Pengukuran kualitas perairan dilakukan setiap 15, 30, dan 45 hari dengan
parameter yang diukur dalam penelitian meliputi pH, suhu, DO, salinitas, dan kecerahan. Berikut ini
merupakan hasil pengamatan kualitas perairan secara in-situ.

Tabel 1. Data kualitas air di lokasi penelitian

Parameter Tanggal pengamatan Kondisi


kualitas air 25 Februari 12 Maret 27 Maret optimum
pH 8 8 8 7,5-8,4*
Suhu (°C) 29,1 30,2 30,2 26-30**
DO (mg/L) 5,98 3,11 5,9 > 5*
Salinitas (ppt) 33 35 35 28-33*
Kecerahan (m) 5,5 5,5 6 2-5**
Sumber: *Aslan (1998), ** Anggadiredja et al. (2006)
Perteumbuhan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma ..... (Nelly Hidayanti Sarira) 658

Suhu sangat berperan dalam mengendalikan ekosistem perairan dan perubahan suhu berpengaruh
terhadap proses fisika, kimia, biologi air (Effendi, 2003). Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil
dan biasanya berkisar antara 7,5-8,4. Nilai pH suatu perairan biasanya tinggi pada sore hari dan
rendah pada pagi hari (Aslan, 1998). Nilai pH di lokasi budidaya yaitu delapan sehingga masih dapat
mendukung kegiatan budidaya rumput laut. Menurut Anggadiredja et al. (2006), rumput laut jenis
Eucheuma dapat tumbuh dengan kisaran suhu antara 26°C-30°C. Suhu di lokasi perairan budidaya
rumput laut berkisar antara 29C°-30,2°C; kisaran suhu tersebut tergolong tinggi. Pada perubahan
suhu yang sangat fluktuatif dapat menyebabkan rumput laut mengalami stres sehingga banyak rumput
laut yang terserang ice-ice dan akhirnya rontok.
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme. Perubahan konsentrasi
oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan.
Sedangkan pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang
pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Kandungan oksigen terlarut yang baik
untuk mendukung budidaya rumput laut yaitu > 5 mg/L (Aslan, 1998). Oksigen terlarut kandungan
oksigen terlarut pada lokasi tergolong lokasi budidaya berkisar antara 3-5,98 mg/L.
Salinitas merupakan salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme
dan tumbuhan yang hidup di perairan laut. Salinitas perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut
adalah dengan kisaran 28-34 ppt. Jika fluktuasi di luar kisaran yang ideal akan menyebabkan rendahnya
pertumbuhan dan cepatnya proses penuaan talus rumput laut (Effendi, 2000). Salinitas pada ketiga
lokasi penelitian berkisar antara 33-34 ppt, sehingga kondisi perairan pada ketiga lokasi masih layak
untuk pertumbuhan rumput laut. Selain itu, untuk budidaya Eucheuma sp., keadaan perairan sebaiknya
relatif jernih dengan tingkat kecerahan tinggi, dan jarak pandang kedalaman jika dilihat dengan alat
sechidisk mencapai 2-5 cm. kondisi tersebut dibutuhkan agar cahaya matahari dapat mencapai tanaman
untuk proses fotosintesis.
KESIMPULAN
Pertumbuhan rumput laut E. striatum (bobot akhir 110,7 g; LPH 1,63%) dan K. alvarezii (bobot
akhir 55,8 g; LPH 0,08%) yang bersumber dari Kwandang lebih baik dibandingkan sumber bibit dari
Malalang. Rumput laut jenis E. striatum lebih mampu bertahan di perairan Boalemo daripada jenis K.
alvarezii.
DAFTAR ACUAN
Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H., & Istini, S. (2006). Rumput laut: pembudidayaan,
pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Aslan, L. (1998). Budidaya rumput laut. Edisi Revisi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Effendi, H. (2000). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Effendi, I. (2004). Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hatta, A.M. (2001). Kappaphycus striatus. Dalam PROSEA (Plant Resource of South-East Asia 15(1).
Cryptogams: Algae. Editor: Prude’homme van Reine, W.F., & Trono, Jr., G.C. Backhuys Publisher,
Leiden. The Netherlands. 318 pp.
Mattjik, A.A., & Sumertajaya, M. (2000). Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB
Press. Bogor.
Pong-Masak, P.R., Parenrengi, A., Tjahronge, M., & Rusman. (2011). Protokol seleksi varietas bibit
unggul rumput laut. Editor: Rachmansyah, & Susianingsih, E. Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan
dan Perikanan. 27 hlm.
Santoso, L., & Nugroho, Y.T. (2008). Pengendalian penyakit ice-ice untuk meningkatkan produksi rumput
laut Indonesia. Jurnal Saintek Perikanan, 3(2), 37-43.
659 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

Utomo, B.S.B. (2011). Prospek pengembangan teknologi pengolahan rumput laut di Indonesia. Prosiding
Forum Inovasi Akuakultur Indonesia. hlm. 1143-1152.
Winarno, F.G. (1996). Teknologi pengolahan rumput laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Perteumbuhan Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma ..... (Nelly Hidayanti Sarira) 660

DISKUSI

Nama Penanya:
Bejo Slamet
Pertanyaan :
Mohon konfirmasi penanaman E-edule? Cotani?
Tanggapan :
Terdapat perubahan nama cottoni menjadi k.alvarezi. Euchema edule, berbentuk seperti brokoli,
talus lebih tebal dan keras.

Nama Penanya:
Brata Pantjara
Pertanyaan :
Laju pertumbuhan minus kenapa? Apakah perlu pengukuran DO? Untuk rumput laut sepertinya
tidak perlu pengukuran DO
Tanggapan :
Di daerah Boelemo terjadi fluktuasi lingkungan, hingga menyebabkan stress pada rumput laut
yang mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. DO tidak perlu pengukuran.

Nama Penanya:
Kusdiarti
Saran :
Mohon kesimpulan untuk dikuantitatifkan
Tanggapan :
Laju pertumbuhan harian E. edule dari Kwandang : 2,1%, Malalang : 1,9%

Anda mungkin juga menyukai