Anda di halaman 1dari 126

Seminar Nasional Kelautan VIII

“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”


Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

BUDIDAYA TERPADU
UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
DAN NILA GESIT (Oreochromis spp)
PADA TAMBAK SALINITAS RENDAH

Suwardi Tahe, Agus Nawang, Hidayat Suryanto Suwoyo

Balai Riset Perikanan Budidaya Air payau


Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 29, Maros, Sulawesi Selatan

Abstrak: Budidaya terpadu merupakan satu diantara cara budidaya yang


menggabungkan beberapa spesies dalam satu lingkungan budidaya dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang dan nutrien dalam perairan. Penelitian ini
meneberikan manfaat (1) meningkatkan produktivitas tambak dengan
pemanfaatan relung ekologi seoptimal mungkin, dan (2) memberikan nilai tambah
terhadap petani dan (3) mengurangi resiko kegagalan panen petani. Penelitian ini
dilaksanakan dilakukan di tambak rakyat desa Gentung, kecamatan Labakkang,
kabupaten Pangkep lokasi Minapolitan menggunakan petakan tambak berukuran
5000-6500 m2 sebanyak 2 petak. Hewan uji adalah udang vaname, dan nila gesit
yang dibudidayakan secara terpadu. Penebaran tokolan udang vaname PL-27
dengan kepadatan 8 ekor/m2. Gelondongan ikan nila berukuran panjang 3-5 cm
dengan berat rata-rata 2,0 g/ekor ditebar dengan kepadatan 1000 ekor/petak.
Waktu pemeliharaan ± 3 bulan. Persiapan tambak sesuai dengan protap budidaya
udang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pertumbuhan berat udang
vaname dan ikan nila petak A dan B masing-masing udang vaname yaitu
14,12.g/ekor dan 17,52 g/ekor sedangkan ikan nila yaitu 285,30.g/ekor dan
264,70g/ekor. Produksi udang vaname dan ikan nila pada masing-masing petak A
dan B yaitu. 58,20 kg dan 47,70 kg sedangkan produksi ikan nila masing-masing
63,00 kg petak A dan 93, 70 kg petak B.

Keywords: Pertumbuhan, sintasan, vaname, nila, salinitas rendah

PENDAHULUAN
Budidaya terintegrasi/terpadu pada IMTA mengacu pada budidaya beberapa
spesies secara intensif dalam satu wadah yang dihubungkan oleh nutrient dan transfer
energi melalui air (Anonim, 2010). Udang vaname (Litopenaeus vannamei )
merupakan salah satu jenis udang introduksi yang banyak diminati, karena memilik i
berbagai keunggulan dan sejak diperkenalkan udang ini sebagai salah satu komoditas
budidaya unggulan, kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang
yang signifikan. Proyeksi produksi udang vaname meningkat rata-rata sebesar 16%
dengan kenaikan sebesar 209% selama periode 2009-2014 yaitu dari 244.650 ton
pada 2009 menjadi 511.000 ton pada tahun 2014, sementara udang windu meningkat
sebesar 13% dengan kenaikan sebesar 182% selama periode 2009-2014 yaitu dari
103.450 ton pada 2009 menjadi 188.000 ton pada tahun 2014 (Nurdjana, 2010).
Produktivitas budidaya udang terutama udang windu di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah priode tersebut, jumlah produksi udang
budidaya semakin menurun. Hal ini karena terjadinya kegagalan panen sebagai akibat
penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya bermacam-macam penyakit semakin
sering terjadi. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di beberapa negara penghasil

Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang B2-1


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

udang budidaya. Sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat
dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut baik di kolam, tambak dan KJA
(Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al, 1993). Di sisi lain, jumlah
kebutuhan konsumsi udang masyarakat internasional semakin meningkat.
Keterbatasan jumlah pasokan dan peningkatan jumlah kebutuhan menyebabkan harga
udang semakin naik. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat baik bagi negara
penghasil udang, khususnya Indonesia untuk dapat meningkatkan jumlah produksi
udangnya (Ariyanto, 2004).
Selain itu udang vaname bersifat euryhaline (Haliman dan Adijaya, 2003)
dimana dapat dipelihara di daerah perairan pantai dengan kisaran salinitas 1-40 ppt
(Bray et al. 1994). Mc Grow dan Scarpa (2002) menyatakan bahwa udang vaname
dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar dari 0,5–45 ppt. Kemampuan ini
memberi peluang petambak udang dapat mengembangkan komoditas ini di perairan
daratan (Inland water). Selama ini, usaha budidaya vaname umumnya dilakukan di
daerah perairan bersalinitas tinggi atau di tambak-tambak estuari.
Kegiatan budidaya udang vaname sekarang ini tidak hanya dilakukan di air payau
tetapi telah berkembang sampai ke air tawar. Budidaya udang vaname di tambak air
tawar telah dipraktekkan di beberapa negara seperti Thailand, Amerika (Florida, Texas,
Arizona dan Alabama) dan Amerika Latin (Panama dan Ekuador) (Sugama, 2002). Di
Indonesia prospek untuk budidaya udang vaname di tambak salinitas rendah/air tawar
sangat menjanjikan mengingat di beberapa daerah, tambak yang berjarak 2-3 km dari
pantai bersalinitas rendah bahkan 0 ppt sangat luas. Selain itu budidaya udang di air
tawar bertujuan untuk mencegah terjangkitnya penyakit terutama virus dan bakteri
penyebab kematian udang (Sugama, 2002).
Beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi pada budidaya
udang adalah peningkatan produktivitas tambak melalui sistem budidaya terpadu
antara udang vaname dengan ikan nila di tambak. Keunggulan sistem terpadu ini
adalah efisiensi penggunaan lahan secara bersamaan dengan komoditas yang berbeda
tapi saling menguntungkan. Selain dari itu sistem polikultur diharapkan dapat
memberikan nilai tambah kepada petani dan terutama mengurangi resiko kegagalan
panen petani.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini di laksanakan di tambak rakyat di kec, Labakkang, kabupaten
Pangkep lokasi Minapolitan menggunakan petakan tambak berukuran 5000 m2
sebanyak 2 petak. Hewan uji adalah udang vaname, dan nila gesit yang
dibudidayakan secara terpadu Sebelum tambak ditebari terlebih dahulu dilakukan
persiapan tambak meliputi: Pengeringan tanah dasar untuk mengoksidasi bahan
organik tanah, pemberantasan hama dengan menggunakan saponin dosis 20 ppm,
pengapuran tanah dasar menggunakan kapur bakar 2 ton/ ha. Pengisian air untuk
persiapan klorinasi bertujuan menetralkan air dan tanah dasar dari bakteri pathogen,
dengan dosis khlorin> 20 ppm. Selanjutnya dilakukan pemupukan untuk penumbuhan
makanan alami,. Hewan uji adalah udang windu, ikan nila, dan rumput laut yang
dibudidayakan secara terpadu. Penebaran udang vaname menggunakan tokolan PL-
27 dengan berat rata-rata 0,07 g/elor kepadatan 8 ekor/m2. Gelondongan ikan nila
berukuran panjang 3-5 cm ditebar dengan berat rata-rata 2,0 g/ekor kepadatan 1000
ekor/petak. Pemberian pakan komersil untuk ikan diberikan sejak awal penebaran
sedangkan udang vaname diberi pakan setelah 1 bulan pemeliharaan dengan dosis
dan frekuensi sesuai dengan berat biomas ikan dan udang. Pemupukan susulan dosis

B2-2 Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

10% dari dosis awal dengan interval waktu setiap 2 minggu untuk mempertahankan
pakan alami dalam tambak.
Parameter yang diamati adalah : kualitas air meliputi; pH, suhu, salinitas dan DO
diamati setiap 3 hari sedangkan TSS, BOT, turbiditas, total ammonia nitrogen – TAN,
nitrit, nitrat, dan phosphat. Plankton diidentifikasi jenis dan dihitung jumlahnya.
Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, nila dilakukan setiap 10
hari. Sintasan rasio konversi pakan, produksi dihitung pada akhir penelitian dan
dianalisis dengan deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan terhadap bobot rata-rata udang vaname selama pemeliharaan
105 hari pemeliharaan bervariasi dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya
waktu pemeliharaan untuk kedua perlakuan disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 tersebut tampak bahwa rata-rata bobot akhir udang yang diperoleh
pada petak A sebesar 14,12 g/ekor sedangkan pada petak B diperoleh sebesar.17,52
g/ekor. Hasil yang diperoleh penelitian ini tidak jauh berbeda hasil penelitian Suwardi
dkk (2011) memperoleh pertumbuhan udang vaname yaitu petak A sebesar.15,3
g/ekot.dan. B 14,7 g/ekor. pada penelitian pemasyarakatan teknologi budidaya udang
vaname sistem polikultur dengan ikan bandeng ditambak salinitas rendah. Selanjutnya
Hendrajat dan Mangampa (2007) yang mendapatkan berat akhir rata-rata udang
vaname pada pemeliharaan tradisional plus dengan kepadatan 4, 6 dan 8 ekor masing-
masing 16.24; 15.53 dan 14,37 g/ekor, dimana pada aplikasi kepadatan yang sama
yaitu 8 ekor/m2 berat akhir udang yang diperoleh hampir sama.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan

Hasil penelitian Suwardi dkk (2010) yang mendapakan pertumbuhan udang


vaname sebesar 13,5 g/ekor dengan waktu pemeliharaan 112 hari pada penelitian
aplikasi pergilaran pakan terhadap pertumbuhan dan produksi udang vaname. Hal ini
disebabkan karena padat penebaran yang diaplikasikan pada penelitian ini masih
rendah yaitu 8 ekor/m2.
Pertumbuhan benur juga dipengaruhi oleh kualitas induk, benur vaname yang
dari induk lokal pertumbuhannya lebih lambat dibanding dengan vaname induk F1 asal
Hawai (impor) Akiyama (2005). Selanjutnya dikatakan bahwa benur yang berasal dari
induk lokal selama 140 hari pemeliharan di tambak pada budidaya intensif mencapai

Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang B2-3


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

bobot rata-rata 14,7 gram, sedangkan benur F1 dari induk asal Hawai pada umur
pemeliharaan yang sama dapat mencapai ukuran rata-rata 20 gr.
Produksi udang vaname yang diperoleh pada peneltian ini disajikan pada tabel 1.
Pada tabel tersebut tampak bahwa hasil yang diperoleh pada kegiatan ini masih
tergolong rendah. Rendahnya produksi yang diperoleh pada kegiatan ini disebabkan
karena tingkat kelangsungan hidup udang yang diperoleh yaitu petak A 9,87% dan
petak B 8,41%. Apabila kelangsungan hidup udang rendah, maka produksi pasti akan
rendah meskipun ukuran akhir rata-rata udang agak besar. Begitu pula sebaliknya
apabila kelangsungan hidup udang tinggi maka produksi akan meningkat meskipun
ukuran udang agak kecil. Sintasan udang vaname yang rendah pada kegiatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas benih yang kurang baik, proses
adaptasi benih dari salinitas 33 ppt ( hatchery) ke salinitas tambak 2 ppt sangat
mengadung resiko, meskipun adaptasi dilakukan secara perlahan lahan dengan waktu
selama 7 hari. Selain itu faktor transportasi tokolan udang vaname perlu mendapat
perhatian yang serius, meskipun telah diupayakan semaksimal mungkin resiko
pengangkutan dengan mengurangi kepadatan sampai 1000 ekor/kantong dengan
waktu pengangkutan 2 jam masih tetap memperlihatkan kondisi udang lemah pada
saat penebaran.

Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan laju pertumbuhan harian dan produksi udang Vaname
dan ikan nila gesit serlama pemeliharaan

Udang vaname Nila Gesit


Parameter
Petak A Petak B Petak A Petak B
Luas petakan (m2 ) 5000 5000 5000 5000
Lama pemeliharaan (hari) 105 105 105 105
Padat tebar (ekor/petak) 40000 40000 1000 1000
Berat awal rata-rata (g/ekor) 0,07 0,07 2,0 2,0
Berat akhir rata-rata (g/ekor) 14,12 17,52 285,30 264,70
Pertumbuhan mutlak (g/ekor) 14,05 17,45 283,30 262,70
Survival rate (%) 9,87 8,41 23,50 35,40
Produksi (kg) 58,20 47,70 63,00 93,70

Pertumbuhan ikan nila yang diperoleh selama penelitian di sajikan pada


Gambar 2. Pada gambar tersebut kelihatan bahwa pertumbuhan ikan nila meningkat
sejalan dengan umur pemeliharaan.

Gambar 2. Grafik pertumbuhan ikan nila selama pemeliharaan

B2-4 Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Pertumbuhan ikan nila selama 95 hari masa pemeliharaan diperoleh pada petak
A 285,30 g/ekor dan petak B 264,70 g/ekor. Hasil penelitian lebih rendah dari hasil
yang diperoleh Mangampa (2010) yang mendapatkan pertumbuhan dan sintasan ikan
nila pada penelitian polikultur udang windu, udang vaname, nila merah dan rumput
laut secara semi intensif yaitu petak A 343,55 g/ekor dan petak B 311,53 g/ekor.
Perbedaan pertumbuhan yang diperoleh disebabkan karena adanya perbedaan sistem
budidaya yang diterapkan dan jenis spesies yang dipelihara. Sintasan ikan nila yang
diperoleh pada akhir penelitian tergolong rendah yaitu petak A 23,5% sedangkan
petak B 35,40%. Rendahnya sintasan ikan nila yang diperoleh pada penelitian ini
disebabkan banyaknya ikan predator seperti ikan gabus yang didapatkan pada saat
panen dilakukan, selain itu diduga karena kulitas benih kurang bagus yang ditandai
dengan ukauran benih yang tidak seragam, kondisi lemah warna pucat saat
penebaran. Salah ciri benih ikan nila yang baik adalah warna cerah, ukuran seragam
dan pergerakannya lincah. Produksi ikan nila yang diperoleh pada kegiatan ini
termasuk rendah yaitu petak A 63,0 kg dan petak B 93,7 kg. Hal ini disebabkan rendah
sintasan samapai akhir pemeliharaan. Apahwa apabila kelangsungan hidup ikan
rendah, maka produksi pasti akan rendah meskipun ukuran akhir rata-rata ikan agak
besar. Begitu pula sebaliknya apabila kepadatan ikan tinggi maka produksi akan
meningkat meskipun ukuran ikan agak kecil.
Peubah kualitas air merupakan faktor pendukung dalam kehidupan udang dan
ikan selama pemeliharaan. Hasil pengukuran peubah kualitas air yang diperoleh
selama 105 hari pemeliharaan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter kualitas air petak tambak selama kegiatan pemeliharaan

Peubah A B Sungai
Suhu (oC) 28,5-30 29-30 28-29
pH 8,5-9,0 8,5-9,5 7,0-7,5
Salinitas (ppt) 0,0-3,0 0,0-3,0 0,0-2,0
Oksigen terlarut (Mg/L) 5,0-3,0 4,5-2,7 6,0-5,5
Amoniak (Mg/L) 0,0327-0,2112 0,0258-0,3427 0,0067-0,02216
BOT (Mg/L) 10,7-32,47 11,35-46,23 7,0-31,12
Nitrit (Mg/L) 0,0217-0,2520 0,02515-0,0413 ttd-0,0856

Parameter kualitas air yang diperoleh selama pemeliharan berkisar antara 29-30
o
C (Tabel 3). Menurut. Cholik dan Poernomo (1987) kisaran suhu yang terbaik untuk
pertumbuhan dan kehidupan udang yaitu 28 -30oC, namun udang masih dapat hidup
pada suhu 18 -36oC., dimana pada tingkat suhu air 36oC udang sudah tidak aktif.
Sedangkan menurut Suprapto, (2005) kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan udang
vanamei yaitu 27-31 oC, namun masih bisa tahan sampai toleransi 10 oC.
Derajat keasaman merupakan parameter kualitas air yang penting dalam rangka
pertumbuhan dan sintasan organisme yang dipelihara. Nilai kisaran pH air yang
diperoleh selama penelitian yaitu 8,5-9,5, namun dapat ditoleransi hingga niai pH 9.
Suptapto, (2005). Udang vaname dapat tumbuh dengan baik, nilai pH standar adalah
7,5-8,5 (Anonim, 2003). Selajutnya Buwono (1993) menyatakan bahwa, nilai pH
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan udang vaname. Nilai pH yang rendah
menyebabkan kulit udang lembek dan udang sulit ganti kulit. Nilai pH 6,4 laju
pertumbuhan harian udang menurun 60%.

Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang B2-5


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas
semakin besar pula teknan osmotik dari lingkungan. Hasil pengukuran salinitas pada
air sumber dan tambak selama penelitin adalah 0,0-3,0 ppt. (Tabel 3). Udang
vaname dapat tumbuh baik pada kisaran salinitas 15-25 ppt bahkan beberapa
pengamatan bahwa udang vannamei masih dapat tumbuh dengan baik pada salinitas
kurang dari 5 ppt asalkan peroses adaptasi awal dilakukan secara hati-hati (Somardjati
dan suriawan, 2006). Sedangkan menurut Mc Graw dan Scarpa (2002) bahwa udang
vaname dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar dari 0,5-45 ppt.
Oksigen merupakan parameter mutu air yang penting bagi kehidupan biota
perairan. Perubahan kadar oksigen yang derastis dapat menimbulkan kematian bagi
biota perairan. Kisaran oksigen terlarut diperoleh selama pengamatan berkisar 3,0-5,5
ppm (Tabel 3). Selanjutnya kandungan oksigen rendah pada saat pagi hari dimana
aktivitas fotosintesis belum optimal. Menurut Boyd (1990) jika tidak ada senyawa
beracun konsentrasi oksigen minimal 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan
jasad perairan secara normal..
Kisaran amoniak yang diperoleh untuk semua perlakuan selama penelitian
berkisar antara 0,0258-0,3427 dan berfluktuasi sejalan dengan waktu pemeliharaan di
tambak (Tabel 3 ). Buwono (1993) yang menyatakan bahwa kadar amoniak yang
tinggi akan bersifat racun apabila pH air tinggi. Total amoniak yang baik bagi
kehidupan udang dewasa adalah kurang dari 3 ppm dan bagi kehidupan benur kurang
dari 1 ppm. Sementara Samocha dan Lawrence (1993) dalam Hermia (2004)
mengemukakan bahwa kandungan amoniak untuk juvenil udang vannamei berkisar
antara 0,4 – 2,31 ppm. Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp
adalah di bawah 0,1 mg/L (Liu, 1989). Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai
LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam,
salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L.
Nitrit merupakan salah satu indikator adanya pencemaran oleh senyawa
organik, nitrit merupakan senyawa yang dijumpai dalam jumlah yang kecil diperairan
yang masih alami. Kandungan nitrit yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
0,0217-0,2520 ppm (Tabel 3). Menurut Buwono (1993) bahwa batas toleransi udang
terhadap kandungan nitrit dalam air adalah 0,25 ppm dan optimal 0 ppm
Kandungan bahan organik total yang diperoleh selama penelitian berkisar antara
10,7-546,23 ppm (Tabel 3.) Nilai kandungan bahan organik yang diperoleh pada
penelitian ini termasuk cukup baik, Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian air yang
dilakukan secara rutin setiap menjelang periode pasang air laut. Konsentrasi BOT
yang masih baik untuk kehidupan ikan adalah 0,1-50 ppm. Cole, (1988). Berdasarkan
hal tersebut diatas menunjukkan kandungan BOT dalam penelitian ini masih layak
untuk budidaya udang vannamei.. Beberapa nilai optimun parameter air yang
mendukung budidaya udang tertera pada Tabel 4.

KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa budidaya udang vaname dan
nila gesit sistem terpadu didapatkan pertumbuhan berat udang vaname dan ikan nila
petak A dan B masing-masing udang vaname yaitu 14,12.g/ekor dan 17,52 g/ekor
sedangkan ikan nila yaitu 285,30.g/ekor dan 264,70g/ekor. Produksi udang vaname
dan ikan nila pada masing-masing petak A dan B yaitu. 58,20 kg dan 47,70 kg
sedangkan produksi ikan nila masing-masing 63,00 kg petak A dan 93, 70 kg petak B.

B2-6 Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng dan Subiyanto, 2003. Budidaya udang
vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara 29 hal
Haliman, R.W., dan Adijaya S. D. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan
Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta.
75 hal.
Anonim, 2005. Membangun kembali udang Indonesia. Sinar Tani. Edisi Mei 2005. No.
3098. Tahun XXXV. Hal 11-17 Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya
udang saat ini. PT. Central Protein Prima (Charoen Pokphand Group) Surabaya
18 hal.
Anonim. 2010. Integrated Multitrophic Aquaculture.
http://en.wikipedia.org/wiki/Aquaculture. Akses April 2010
Boyd, C. E., 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries
and Allied. Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn
University. Alabama. 480 pp.
Bray, W. A., Lawrence, A. L., and Leung Trujillo JR 1994. The effect of salinity on
growth and survival of Penaeus vannamei, with observations on in the interaction
of IHHN virus and salinity. Aquaculture 122: 133-146..
Cholik, F. dan A. Poernomo. 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya
udang Windu Intensif. Dalam Kumpulan makalah Seminar Teknologi Budidaya
udang Intensif. PT. Kalori Kreasi Bahang. Jakarta
Cholik, F. Rachmansyah, dan S.Tonnek., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap
produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J.Penel.Budidaya
Pantai(8)2:57-62.
Cole, G.A., 1988. Texbook at limnology. Third Edition. Wave land press. Inc. Illionis,
USA. 401 P.
Lin, Y.C dan Chen. J.C. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei
boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 259 (1): 109 – 119 p
Liu, C.I. 1989. Shrimp disease, prevention and treatment. In: Akiyama D.M, eds.
Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop.
USA:Soybeans, America Soybean Association, Singapura. pp 64-74.
Mc Graw, W.J. and J.Scarpa. 2002. Determining ion concentration for Litopenaeus
vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3) : 36-37.
Nurdjana, M.L. 2010. Program Peningkatan Produksi Perikanan Tahun 2009-2014
dalam rangka Feed The Word. Disampaikan pada Seminar Nasional Feed The
Word. Jakarta Convention Center. 28 Januari 2010. 44 hlm.
Pirzan, A.M., S. Tahe, dan A. Ismail. 1992. Polikultur udang windu, Penaeus monodon
dan nila merah, Oreochromis niloticus di tambak. J. pene. Budidaya Pantai
8(2):63-70.
Soemardjati, W dan Suriawan, A. 2006. Petunjuk teknis budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) di Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 30
hal.
Suprapto, 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hal.

Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang B2-7


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Sugama,K. 2002. Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vanammei dan


Litopenaeus stilirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air
tawar. Disampaikan dalam temu bisnis udang. Makassa 19 Oktober 2002. 7 hal.
Tonnek, S., D.S.Pongsapan, Rachmansyah., 1993. Polikultur nila merah dan beronang
dalam keramba jaring apung di laut. J.Penel.Budidaya Pantai (9)3:47-56.

B2-8 Suwardi T, Agus N, Hidayat S.S: Budidaya Terpadu Udang


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PERTUMBUHAN DAN LAJU SINTASAN


KEPITING BAKAU (Scyla serrata)
DENGAN PEMBERIAN DOSIS PAKAN RUCAH YANG BERBEDA

Suharyanto

Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air payau


Jln. Makmur Dg. Sitakka no. 129 Maros 90512
Sulawesi Selatan
E-mail: yanto@kkp.go.id

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang dosis
pemberian pakan ikan rucah (Clupea sp) yang tepat untuk pertumbuhan dan laju
sintasan kepiting bakau. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi tambak percobaan
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Maros selama 40 Hari. Media
percobaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 60 x 40 x 40 cm. Perlakuan
yang diaplikasikan adalah pemberian dosis pakan rucah jenis ikan tembang
(Clupea sp) yang berbeda yakni A; 10% per hari, B; 15% per hari, C; 20% per hari
dan D; 25% per hari, masing-masing dengan 3 kali ulangan. Krablet yang
digunakan dalam penelitian ini adalah krablet 10 yang diperoleh dari panti benih,
berukuran bobot dan lebar karapas rata-rata masing-masing adalah 5,9 + 0,2 mm
dan 0,06 + 0,02 g, dan ditebar dalam setiap akuarium pemeliharaan dengan
kepadatan 25 individu/akuarium. Variabel yang diamati adalah laju pertumbuhan
bobot, lebar karapas, dan laju sintasan kemudian data yang diperoleh dihitung
dan diuji menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak lengkap. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dosis pemberian pakan yang tepat adalah 20-25%
dari total biomass dan berbeda nyata dengan dosis 10 % dan 15% terhadap laju
pertumbuhan dan laju sintasan kepiting bakau (P<0,05).

Kata kunci: Dosis pakan, kepitimg bakau, pertumbuhan, laju sintasan

Abstract: The aim of this experiment was to find out information of suitable
dosage of trash fish (Clupea sp) fed on the growth and survival rate of mud crabs.
The research was conducted in the Marana brackishwater pond research station of
Research Institute for Coastal Aquaculture, Maros, South Sulawesi for 40 days.
Tvelve aquaria of 60 x 40 x 40 cm were used in this experiment using Completely
Randomized Design, Treatments tested were four different dosage i.e. A; 10%, B;
15%, C; 20% and D; 25% of total biomass per days given twice a day, each with
three replication. Twentyfive pieces crablets of 5,9 + 0,2 mm in carapace width
and 0,06 + 0,02 g in body weigth were stocked in each aquarium. The result
showed that suitable feeding dosage was 20-25% of total biomass and
significantly different with 10% and 15% on the growth and survival rate of mud
crab (P<0,05).

Key words: Feed dosage, mud crabs, growth, survival rate

Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan B2-9


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PENDAHULUAN
Kepiting bakau (Scyla serrata), merupakan satu di antara jenis biota laut yang
potensial untuk dibudidayakan di tambak, karena kepiting bakau merupakan jenis
krustase yang bersifat “eurihaline” (Nontji, 1986), dapat hidup pada salinitas 9 – 39 ppt
(Chande dan Mgaya 2003) dan habitat hidup yang disenangi kepiting bakau adalah
dasar lumpur berpasir (Coleman, 1991), sehingga mampu beradaptasi pada perairan
tambak.
Masalah utama dalam budidaya kepiting bakau di tambak adalah mendapatkan
krablet yang sehat dan berkualitas. Krablet sehat dan berkualitas akan menghasilkan
kepiting bakau dewasa yang sehat dan berkualitas pula. Untuk mendapatkan kepiting
bakau yang berkualitas diperlukan pakan dengan kandungan nutrien yang memadai dan
proporsional. Sampai saat ini pemeliharaan kepiting bakau di tambak masih
menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama (Suharyanto et al., 2006; Suharyanto et
al., 2007; Suharyanto dan Tahe, 2007;). Untuk itu, kepiting bakau memiliki prospek
cukup baik dan potensial dibudidayakan di tambak, sementara itu, teknologi budidaya
kepiting bakau di tambak belum banyak dikaji.
Untuk mengantisipasi kebutuhan teknologi, maka Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Payau Maros telah merintis kegiatan percobaan tentang aspek budidaya kepiting
bakau di tambak sejak tahun 2005. Untuk mengembangkan budidaya kepiting bakau di
tambak, diperlukan data dan informasi khususnya yang berkaitan dengan kegiatan
untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal serta efisien dalam biaya
poroduksi satu di antaranya adalah aspek pengelolaan pakan.
Penelitian dalam aspek pengelolaan pakan dalam budidaya kepiting bakau masih
sangat langka, sementara pengelolaan pakan merupakan kegiatan yang sangat
menentukan performasi hasil budidaya. Huet (1971) menyatakan, bahwa pertumbuhan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dari ikan itu sendiri seperti genetik, umur,
ketahanan terhadap penyakit, dan kemampuan memanfaatkan pakan, kemudian faktor
eksternal seperti kualitas dan kuantitas pakan, oksigen dan ruang gerak. Sementara itu
Ishiwata (1969) dalam Sugama et al. (1986) menyatakan, bahwa meningkatnya dosis
dan frekuensi pemberian pakan pada ikan dapat memperbaiki laju pertumbuhan. Hal ini
diduga berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan ikan untuk mencerna makanan.
Kemudian Juwana dan Romimohtarto (2000) melaporkan, bahwa makanan untuk benih
kepiting bakau dan rajungan berupa cacahan ikan rucah, daging kerang, dan rebon,
serta untuk menghindari kanibalisme maka diberikan makanan dengan frekuensi yang
lebih banyak. Selanjutnya Suharyanto dan Tjaronge (2007), menyatakan bahwa
frekuensi pemberian pakan untuk pembesaran dan sintasan rajungan adalah 2-3 kali
sehari.
Namun demikian dosis pemberian pakan yang tepat merupakan informasi yang
perlu segera diketahui sehingga kegiatan tersebut perlu diperhitungkan dalam
pengelolaan pakan, karena akan mempengaruhi kebutuhan tenaga yang menciri pada
meningkatnya biaya operasional budidaya (Rachmansyah dan Usman, 1993). Oleh
karena itu, upaya pengkajian yang perlu dilakukan adalah percobaan pendahuluan
pemeliharan kepiting bakau dengan pemberian dosis pakan rucah yang berbeda,
sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan acuan guna pengembangan budidaya
kepiting bakau pada masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang dosis pemberian pakan yang tepat untuk pertumbuhan
dan sintasan kepiting bakau.

B2-10 Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di laboratorium basah Instalasi Tambak Penelitian Balai
Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan selama 40 hari mulai
tanggal 7 Juli sampai dengan 16 Agustus 2009. Perlakuan yang di aplikasikan adalah
dosis pemberian pakan ikan rucah dari jenis ikan tembang (Clupea sp) yang berbeda
yakni A; 10% per hari (pagi 4%, sore 6%) , (B): 15% per hari (pagi 7%, sore 8%),
(C): 20% per hari (pagi 9%, sore 11%) dan (D): 25% per hari, (pagi 10%, sore 15%),
masing-masing dengan 3 kali ulangan.
Wadah penelitian yang digunakan adalah 12 unit akuarium ukuran 60 x 40 x 40
cm yang diisi air sebanyak 30 liter, masing-masing akuarium dilengkapi aerasi
menggunakan blower untuk mempercepat difusi oksigen. Pergantian air dilaksanakan
setiap hari sekali sebanyak 20%. Pada dasar akuarium diberi selter berupa waring
berukuran 15 x 20 cm, diikat bagian tengahnya sehingga berbentuk seperti kupu-kupu,
masing-masing akuarium diberi selter sebanyak 2 buah. Setiap pagi hari dilakukan
penyiponan untuk membuang kotoran atau sisa-sisa pakan yang berlebih dan
mengganti kembali air yang tersipon.
Hewan uji yang digunakan adalah benih kepiting bakau (krablet 20) yang
diperoleh dari hatchery Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, di Barru, berukuran
bobot dan lebar karapas rata-rata masing-masing adalah 5,9 + 0,2 mm dan 0,06 + 0,02
g, dan ditebar dalam setiap akuarium pemeliharaan dengan kepadatan 25
individu/akuarium. Pengamatan dilakukan setiap 10 hari selama 40 hari yaitu
pertumbuhan meliputi bobot dan lebar karapas kepiting bakau dengan cara mengambil
seluruh individu kepiting bakau menggunakan seser, demikian juga laju sintasan
dihitung setiap seminggu sekali dengan jalan menghitung kepiting bakau yang mati.
Pertumbuhan lebar karapas diukur dengan menggunakan mistar dengan ketelitian
0,1 mm. Selanjutnya pertumbuhan berat diukur dengan timbangan digital (AND GF
1200) dengan ketelitian 0,1 g. Untuk menghitung laju pertumbuhan berdasarkan rumus
dari Zonneveld et al (1991) sebagai berikut: Gr: {(Wt-Wo)/(t)} dimana Gr: laju
bertumbuhan (g/hari), Wt: bobot pada akhir percobaan (g), Wo: bobot pada awal
percobaan (g), t: lama pemeliharaan (hari).
Laju sintasan benih kepiting bakau dihitung berdasarkan rumus dari Effendi
(1979) sebagai berikut: S:Nt/Nox100 dimana S: laju sintasan (%), Nt: jumlah pada
akhir percobaan (ekor), No: jumlah pada awal percobaan (ekor).
Data petumbuhan mutlak, laju pertumbuhan, dan laju sintasan kepiting bakau
yang diperoleh dihitung dan diuji dengan analisis ragam dengan pola rancangan acak
lengkap (RAL). Kemudian peubah kualitas air meliputi yang salinitas, suhu air, pH, O2
terlarut, NH3-N, NO2-N, dan BOT, diukur setiap satu minggu sekali. Kemudian data
yang diperoleh dibahas secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan bobot
dan lebar karapas kepiting bakau cenderung semakin besar dengan meningkatnya dosis
pemberian pakan (Gambar 1 dan 2). Pada perlakuan dosis pemberian pakan 25% sehari
menunjukkan pertumbuhan bobot dan lebar karapas relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan perlakuan dosis pemberian pakan 20% walaupun tidak berbeda
nyata (P>0,05), tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan dosis pemberian pakan 15%
dan 10% (P<0,05).

Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan B2-11


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Pertambahan bobot mutlak kepiting bakau pada perlakuan pemberian dosis


pakan 25% adalah 3.03 + 0.17 g relatif lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan
pemberian dosis pakan 20% sebesar 2.73 + 0.19 g, walaupun tidak berbeda nyata
(P>0,05). tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan dosis pemberian pakan 15%
sebesar 1.73 + 0.18 g dan 10% sebesar 0.73 + 0.19 g (P<0,05). Demikian pula
pertumbuhan lebar karapas mutlak pada perlakuan pemberian dosis pakan 25% adalah
27.0 + 1.0 mm relatif lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan pemberian dosis
pakan 20% sebesar 26.1 + 1.2 mm, walaupun tidak berbeda nyata (P>0,05). tetapi
berbeda nyata terhadap perlakuan dosis pemberian pakan 15% sebesar 21.6 + 1.6
mm dan 10% sebesar 17.0 + 1.2 mm (P<0,05).
Laju pertumbuhan harian bobot kepiting bakau pada perlakuan dosis pakan 25%
adalah 0,06 g/hari juga relatif lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan 20%
sebesar 0,05 g/hari, perlakuan dosis pakan 15% sebesar 0,04 g/ hari, dan 10%
sebesar 0,0.05 g/ hari, walaupun tidak berbeda nyata ((P>0,05). Demikian juga laju
pertumbuhan mingguan lebar karapas kepiting bakau pada perlakuan dosis pakan 25%
dan 20% adalah sama yakni masing-masing 0.7 mm/ hari, serta relatif lebih baik
dengan perlakuan dosis pakan 15% dan 10% yakni masing-masing sebesar 0,6
mm/hari dan 0,4 mm/hari, walaupun tidak berbeda nyata (P>0,05), Hal ini dapat
dikatakan bahwa semakin besar persentase dosis pemberian pakan, semakin baik
pertumbuhan kepiting bakau.

2,5

2
Bobot (g)

1,5

0,5

0
Awal 10 20 30 40
Lama pemeliharaan (Hari)

10% 15% 20% 25%

Gambar 1. Pertumbuhan bobot kepiting bakau selama penelitian

30

25
Lebar karapas (mm)

20

15

10

0
Awal 10 20 30 40
Lama pemeliharaan (Hari)

10% 15% 20% 25%

Gambar 2. Pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau selama penelitian

B2-12 Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Perbedaan laju pertumbuhan bobot dan lebar karapas kepiting bakau diduga
disebabkan oleh perbedaan daya cerna pakan di dalam saluran pencernaan yang
berkaitan dengan jumlah pakan yang dibutuhkan dan peluang waktu untuk mencerna.
Menurut Barrington (1957) dalam Carlos (1988) menyatakan, bahwa frekuensi
pemberian pakan pada ikan akan meningkatkan laju aliran makanan di dalam saluran
pencernaan. Dalam hal ini frekuensi pemberian pakan yang dilasanakan adalah dua kali
sehari pagi dan sore hari dan disesuaikan dengan dosis yang diberikan. Jumlah pakan
yang diberikan lebih banyak sore hari yakni dengan perbandingan 40% pagi hari dan
sore hari 60%, karena kepiting bakau aktif makan dalam malam hari. Hal ini
memungkinkan karena perlakuan pemberian dosis pakan 25% jumlah pakan relatif
lebih banyak dengan perlakuan 20%, 15%, dan perlakuan 10%, artinya setiap 12 jam
diberikan pakan sebanyak 10% pada pagi hari dan pada sore hari 15% dari total
biomass. Dengan demikian pakan selalu tersedia dan kesempatan kepiting bakau untuk
makan waktunya adalah setiap 12 jam.
Dari perbedaan pemberian dosis pakan tersebut, membuktikan bahwa
pemberian dosis pakan 25% sehari, pertumbuhannya relatif lebih cepat jika
dibandingkan dengan perlakuan pemberian dosis pakan 20%, 15% dan 10% sehari.
Dilihat dari kebiasaan dan cara makan, kepiting bakau memakan bangkai binatang dan
bahan organik lainnya (Chen, 1976 dalam Yunus, 1994). Cara makan kepiting bakau
termasuk lambat, artinya kepiting bakau memakan dengan jalan mencabik-cabik
makanan sedikit demi sedikit dengan capitnya dan baru kemudian dimasukkan ke dalam
mulutnya. Tidak seperti ikan yang dapat langsung menyambar dan menelan ke dalam
perutnya.
Hasil pengamatan setiap pemberian pakan, terlihat bahwa kepiting bakau sangat
rakus dan aktifitas makan tidak dipengaruhi oleh waktu artinya kepiting bakau cukup
respon terhadap pakan meskipun diberikan pada malam hari. Hal ini terlihat pada setiap
pemberian pakan banyak kepiting bakau yang mendekati dan memakan pakan ikan
rucah setelah diberi pakan. Kejadian yang sama juga terlihat pada malam hari.
Kemudian hasil pengamatan pada saat penyiponan tidak terlihat adanya pakan yang
tersisa, hanya kotoran yang selalu dijumpai. Hal ini membuktikan bahwa kepiting bakau
membutuhkan waktu sekitar 4,8 – 12 jam untuk mencerna pakan yang dimakan. Lain
halnya dengan udang dan ikan, pada udang windu dan ikan kuwe membutuhkan waktu
12 jam (Atmomarsono et al., 1987; Rachmansyah dan Usman, 1993), kemudian pada
ikan baronang 8 jam (Pongsapam et al., 1993). Dari kenyataan tersebut, pada rajungan
pemberian pakan yang efektif dan efisien adalah 2-3 kali sehari (Suharyanto dan
Tjaronge, 2007).
Pengamatan laju sintasan setiap minggu menunjukkan penurunan, artinya setiap
minggu selalu dijumpai kematian kepiting bakau. Laju sintasan kepiting bakau selama
penelitian tersaji pada Tabel 1 dan Gambar 3, laju sintasan tertinggi pada akhir
penelitian sebesar 32,0 + 2,6 % diperoleh perlakuan pemberian dosis pakan 25%
sehari, kemudian perlakuan pemberian dosis pakan 20% sehari sebesar 24,0 + 2,3 %,
walaupun tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi perbeda nyata terhadap perlakuan 15%
dan 10% (P<0,05). Selanjutnya perlakuan pemberian dosis pakan 15% sehari dan
10% sehari yakni masing-masing sebesar 20,2 + 1,6 % dan 16,0 + 2,8 % walaupun
tidak berbeda nyata antar keduanya. Rendahnya laju sintasan pada perlakuan
pemberian dosis pakan 15% dan 10% sehari disebabkan padat tebar yang terlalu tinggi
dan sedikitnya makanan yang tersedia, sehingga setiap dapat makanan saling berebut.
Karena kompetisi dalam mendapatkan makanan tersebut, maka saling berkelahi,
sehingga ada anggota badan yang patah yang mengakibatkan luka. Karena luka

Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan B2-13


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

menjadikan kepiting bakau tersebut lemah sehingga akan dimangsa oleh kepiting bakau
yang lebih sehat dan kuat, sehingga timbul kanibalisme.

Tabel 1. Pertumbuhan bobot, lebar karapak dan sintasan kepiting bakau selama
percobaan

Peubah Perlakuan
A B C D
(10%) (15%) (20%) (25%)
Bobot awal (g) 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02 0,06 + 0,02
Rata-rata bobot akhir (g) 2.0 + 0,6 a 1,8 + 0,3a 1.9 + 0.5 a 2.4 + 0,9a
Pertambahan bobot mutlak
(g) 1.94 + 0,58 a
1,74 + 0,28 a
1.84 + 0,48 a
2.34 + 0.88 a
Laju pertumbuhan bobot
Harian (mm/hari) 0,05 a 0,04 a
0,05 a
0,06 a

Lebar awal (mm) 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9 5,9 + 0,9
Rata-rata lebar akhir (mm) 22,6 + 1,4 a 29,6 + 1,8 b 34,1 + 1,4 b 35,0 + 1,7 b
Pertambahan lebar mutlak
(mm) 16,7 + 0,5 a 23,7 + 0,9 b 28,2 + 0,5 b 29,1 + 0,8 b

Laju pertumbuhan lebar


Harian (mm/hari) 0,4 a 0,6 a 0,7 a 0,7 a
Sintasan (%) 16,0 + 2,8 a 20,0 + 1,6 bc 24,0 + 2,3 c 32,0 + 2,6 c
*Nilai yang diikuti superscript serupa dalam baris yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05)

Kematian kepiting bakau di sebabkan selain sifat kanibalisme, juga disebabkan


kepadatan yang cuckup tinggi yakni 25 ind/akuarium dan pemberian ransum pakan
yang hanya 15% dan 10% dari total biomass. Menurut Suharyanto dan Tahe (2005),
kepadatan rajungan untuk pembesaran yang ideal adalah 1 – 3 ind/m2 dengan
pemberian pakan 15% dari total biomass yang berupa cincangan ikan rucah. Hal ini
terdapat kecenderungan semakin tinggi padat penebaran semakin rendah laju
pertumbuhan dan laju sintasan kepiting bakau. Padat penebaran akan mempengaruhi
kompetisi terhadap ruang gerak, kebutuhan makanan dan kondisi lingkungan yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan sintasan yang menciri pada produksi
(Cholik et al, 1990). Padat penebaran tinggi akan meningkatkan resiko kematian dan
menurunnya pertambahan berat individu yang dipelihara (Williams et al, 1987).
Perolehan laju sintasan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih baik, bila
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dimana laju sintasan tertinggi kepiting
bakau yang dipelihara di tambak dengan kepadatan 3 ind/m2 hanya 10.7 + 1.5 %
(Suharyanto dan Tahe 2005). Selanjutnya Suharyanto et al, (2006b) mendapatkan
sintasan 23,1 % rajungan yang dipelihara dengan penambahan selter rumput laut di
tambak. Kemudian hasil budidaya rajungan di Ambon hanya mencapai kurang dari 5 %
(Weno et al, 2005). Selanjutnya Susanto (2005) menyatakan, bahwa pemeliharaan
rajungan di tambak dengan menggunakan benih dari hatchery mencapai tingkat
mortalitas sangat tinggi bahkan mencapai 100 %.

B2-14 Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

120

100

Sintasan (%)
80

60

40

20

0
Awal 10 20 30 40
Lama Pemeliharaan (Hari)

10% 15% 20% 25%

Gambar 3. Laju sintasan rajungan selama penelitian

Rendahnya laju sintasan pada perlakuan pemberian dosis pakan 15% dqn 10 %
yang diperoleh diduga disebabkan oleh sifat kanibalisme pada kepiting bakau yang
cukup tinggi yang masih melekat pada dirinya. Disamping sifat kanibalisme rendahnya
laju sintasan pada penelitian ini diduga karena besarnya variasi ukuran kepiting bakau
yang dipelihara. Hal tersebut terlihat, bahwa setiap pengamatan selalu dijumpai bobot
dan lebar karapas yang sangat bervariasi. Sebagai contoh pada pengambilan sampel
hari ke 28 ukuran bobot minimum 0,3 g dan maksimumnya 1,4 g dari seluruh hewan
uji yang ditimbang. Menurut Supito et al, (1998) perbedaan ukuran merupakan salah
satu penyebab kanibalisme dimana individu ukuran besar pada kondisi lapar memakan
individu ukuran yang lebih kecil. Hal ini dapat dilihat sering dijumpai kepiting yang mati
akibat kanibalisme dengan ciri-ciri anggota tubuh seperti kaki-kaki, capit dan dagingnya
sudah tidak ada lagi dan hanya karapas yang masih ada.
Timbulnya sifat kanibalisme disamping faktor internal seperti faktor genetik, juga
faktor eksternal seperti lingkungan salah satunya adalah kompetisi dalam mendapatkan
makanan. Kompetisi dalam mendapatkan makanan dapat menimbulkan cacat pada
kepiting bakau dan dapat menyebabkan kematian. Tanda-tanda klinis yang bisa dilihat
adalah pergerakan kepiting bakau menjadi lambat, keseimbangan tubuh sudah mulai
labil, nafsu makan mulai menurun, luka pada bagian tubuh karena bagian kaki atau
capit yang lepas. Dari gejala-gejala tersebut maka rajungan yang lain timbul sifat
kanibalisme. Sifat kanibalisme kepiting bakau akan timbul bila ada kepiting bakau yang
molting atau luka. Kepiting bakau yang sedang molting atau luka akan menimbulkan
aroma khas bagi kepiting bakau yang lain atau yang lebih besar untuk mendekat dan
memangsanya. Sifat kanibalisme dapat dihindari dengan jalan memberikan frekuensi
pemberian pakan yang banyak ( Juwana dan Romimohtarto, 2000).
Kematian kepiting bakau pada masing-masing perlakuan disamping disebabkan
oleh sifat kanibalisme, juga diduga disebabkan stres. Stres pada kepiting bakau
mengakibatkan nafsu makan berkurang sehingga kondisi tubuh lemah yang pada
akhirnya akan mengalami kematian. Salah satu penyebab stres adalah perubahan
lingkungan khususnya kandungan nitrit. Stres kepiting bakau pada penelitian ini diduga
sebagai akibat dari kandungan nitrit yang cukup tinggi yakni 0,6138 + 0,3498 mg/L
pada perlakuan pemberian dosis pakan 10%, kemudian perlakuan 15% sebesar
0,7489+ 0,5130 mg/L, selanjutnya perlakuan 20% sebesar 0,7663 + 0,4898 mg/L
dan pemberian dosis pakan 25% sebesar 0,4806 + 0,5362 mg/L. Hasil tersebut cukup

Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan B2-15


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

tinggi, hal ini disebabkan kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam akuarium
karena penelitian ini dilakukan di dalam laboratorium, sehingga nitrogen tidak
termanfaatkan oleh fitoplankton. Padahal unsur nitrogen dalam suatu perairan
merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Menurut Schmittou
(1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stress pada organisme
akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air harian pada masing-masing perlakuan
selama penelitian

Perlakuan
Peubah A B C D
(10%) (15%) (20%) (25%)
Suhu (oC) 25,7±0,7 25,7±0,7 25,7±0,7 25,7±0,7
Salinitas (ppt) 37,4±6,9 37,8±7,2 39,6±2,0 40,0±1,7
pH 7,9±0,2 7,9±0,2 7,9±0,2 7,9±0,2
Oksigen (mg/L) 6,0±0,5 5,9±0,5 6,1±0,4 6,0±0,5
Amoniak (mg/L) 0,1452±0,1209 0,1534±0,0522 0,2215±0,1021 0,2245±0,0593
Nitrit/ (mg/L) 1,3059±1,0853 1,3423±1,0667 1,0704±0,8702 1,4357±1,0555
BOT/ (mg/L) 26,70±8,39 25,30±9,12 27,26±5,96 23,39±3,28

Kandungan amoniak pada masing-masing perlakuan pada Tabel 2 masih dalam


batas kewajaran bagi kehidupan kepiting bakau. Kandungan amonia pada penelitian ini
cukup rendah, hal ini dapat dikatakan amonia yang timbul dalam penelitian ini berasal
dari kotoran rajungan yang dikeluarkan dari tubuhnya. Menurut Boyd (1990), Amonia di
alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa
itrogen. Menurut MENLH., (2004), kandungan amonia air laut untuk biota laut adalah
0,3 ppm. Lebih dari 0,3 ppm sudah bersifat toksik. Boyd (1990) menyatakan, bahwa
kandungan amonia meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amonia oleh ikan
menurun dan kandungan amonia dalam darah serta jaringan meningkat. Hasilnya
adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan
stabilitas membran. Amonia tinggi di dalam air juga meningkatkan konsumsi oksigen
oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut
oksigen.
Pengamatan oksigen terlarut selama penelitian pada masing-masing perlakuan
menunjukkan bahwa pada perlakuan pemberian dosis pakan 10% sebesar 6,0±0,5
mg/L, perlakuan 15% sebesar 5,9±0,5 mg/L, kemudian perlakuan pemberian dosis
pakan 20 % dan 25% masing-masing sebesar 6,1±0,4 mg/L dan 6,0±0,5 mg/L.
Menurut Schmittou (1991) oksigen terlarut masih menunjukkan kriteria yang aman
untuk kehidupannya.
Hasil pengukuran bahan organik total (BOT), berkisar antara 23,39±3,28 –
27,26±5,96 mg/L selama pengamatan cukup memenuhi syarat untuk kehidupan
organisme perairan. Bahan organik total di perairan dapat berupa bahan organik hidup
(Seston) dan bahan organik mati (tripton dan detritus). Menurut Koesbiono (1981),
bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber
bahan organik essensial bagi organisme perairan. Kemudian dikatakan selanjutnya
bahwa kadar bahan organik total dalam tambak biasanya lebih tinggi dari pada di air
laut yang rata-rata rendah dan tidak melebihi 3 mg/L. Sedangkan menurut Reid (1961),
perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong
perairan yang subur.

B2-16 Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KESIMPULAN DAN SARAN


Dosis pemberian pakan yang tepat adalah 20% dan 25% dengan waktu
pemberian pakan dua kali sehari yakni pagi dan sore hari. Berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh dengan mempertimbangkan peubah biologis yang diamati, maka
disarankan dalam pemeliharaan rajungan ukuran krablet 0,07 g, pemberian dosis pakan
adalah 20-25% dari total biomas dan dilaksanakan dua kali sehari pada pagi jam 07.00
dan sore hari jam 18.00.

UCAPAN TERIMA KASIH


Diucapkan terima kasih kepada Program Pengembangan Sumberdaya Riset
Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009 yang telah membiayai penelitian ini
sehingga dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Sdr. Danial, Zainal, Kurniah dan Haryani masing-masing teknisi dan
analis BRPBAP yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan
analisis kualitas air.

DAFTAR PUSTAKA
Atmomarsono, M. , N.N. Paligi, Zafran, dan A. Hamid. 1987. Pengaruh pemberian
ransum kerang terhadap produksi biomass udang windu (Penaeus monodon). J.
Penelitian Budidaya Pantai. 3(1): 36-42.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries and
Allied Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University.
Alabama. 480 pp.
Chande, A. I., and Y.D. Mgaya. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species
diversity of portunid crabs along the coastal of Dar es Salaam, Tanzania. Western
Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75 – 84
Cholik, F., Rachmansyah, S. Tonnek. 1990. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap
Produksi Nila merah, Oreochromis niloticus Dalam Keramba Jaring Apung di Laut.
J. Penel. Budidaya Pantai. 6(2): 87-96.
Carlos, M.H. 1988. Growth and survival of bighead carp (Aristichthys nobilis) fry fed at
different intake levels and feeding frequencies. Aquaculture. 68: 267-276
Coleman, N. 1991. Encyclopedia of Marine Animals. Angus & Robertson, An Inprint of
Harper Collins Publishers. Australia, 324 pp
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal
Huet, M. 1971. Texbook of fish culture: Breeding and cultivation of fish. Fishing News
Book Ltd., London. 436 pp
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan, Perikanan, cara Budidaya dan Menu
masakan. Penerbit Djambatan, Jakarta. 47 hal.

Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanaian Bogor. Bogor.
150 hal.
MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 51 Tahun 2004. 11 hal.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 367 hal.
Pongsapan, D.S., S. Tonnek dan Rachmansyah. 1993. Penelitian frekuensi pemberian
pakan pada budidaya ikan baronang (Siganus gutatus) dalam keramba jaring
apung di laut. J. Penelitian Budidaya Pantai. 10(2): 87-94.

Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan B2-17


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Racmahnsyah dan Usman. 1993. Studi pendahuluan pengaruh frekuensi pemberian


pakan terhadap pertumbuhan ikan kuwe, Caranx sp dalam keramba jaring apung.
J. Penelitian Budidaya Pantai. 9: 65-74.
Reid, G.K. 1961. Ecology of Inland water estuaries. Rein hald Published Co. New
York. 375 pp.
Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di Indonesia.
FRDP. Puslitbang Perikanan. Jakarta. 126 hal
Sugama, K., E. Danakusumah, P. Sunyoto, and H. Eda. 1986. Effect of feeding
frequency on the growth of estuary grouper, Epinephelus tauvina (Forskal)
cultured in floating net cage. P. 242-250. In Scientifc Report of Mariculture
Research and Development Project (ATA-192) in Indonesia. Japam International
Cooperation Agency. Subbalai Penelitian Budidaya Pantai Bojanegara, Serang
Suharyanto, S. Tahe., Y. Aryani., dan M. Mangampa. 2006. Pembesaran kepiting
rajungan (Portunus pelagicus) di tambak dengan penambahan selter yang
berbeda. Laporan Teknis. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. 20 hal.
Suharyanto dan S. Tahe. 2007. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan
dan sintasan kepiting rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. Jurnal Riset
Akuakultur. 2(1): 19-25.
Suharyanto, S. Tahe dan Sulaeman. 2007. Pengaruh selter rumput laut (Gracillaria sp)
dengan padat tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan rajungan
(Portunus pelagicus) di tambak. Laporan Ilmiah. Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Payau Maros. 14 hal.
Supito, Kuntiyo dan I. S. Djunaidah. 1998. Kaji pendahuluan pembesaran kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak. Hal. 149-154. Dalam
Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan
ekonomi nasional. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Puslitbangkan,
Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol-Bali bekerjasama dengan Japan
International Cooperation Agency. Bali, 6-7 Agustus 1998.
Susanto, B. 2005. Pengembangan Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus pelagicus).
Makalah disampaikan pada seminar Akuakultur Indonesia. Hotel Sahid Jaya,
Makassar. 23-25 Nopember 2005. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. 11 hal.
Weno, P.A., A.W. Aoumokil., dan O. Pattirane. 2005. Potensi dan Prospek
Pembudidayaan Rajungan di Perairan Maluku. Makalah disampaikan pada seminar
Akuakultur Indonesia. Hotel Sahid Jaya, Makassar. 23-25 Nopember 2005. Balai
Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.
10 hal.
Yunus, B. 1994. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan
hidup rajungan (Portunus pelagicus, Linnaeus) yang dipelihara dengan sistem
kurungan dasar pada beberapa jarak dari muara sungai. Tesis. Program
Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 72 hal.
Williams, K., D.P. Schwarts., G.E. Gebhart, and O.E. Maughan. 1987. Budidaya Ikan
yang Dikerambakan Skala Kecil di Kolam Oklahoma. Langston University
Agricultural Research. 21 hal.
Zonneveld, N., E.A. Huisman, dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan.
Pernerjemah. Pustaka Utama. Gramedia, Jakarta. 71 hal.

B2-18 Suharyanto: Pertumbuhan dan Laju Sintasan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PREVALENSI PENYAKIT VIRAL WSSV


PADA BEBERAPA JENIS IKAN
DI AREAL PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG
DI KABUPATEN PANGKEP

Koko Kurniawan dan Arifuddin Tompo

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau


Jl. Makmur Dg Sitakka No.129 Maros, Sulawesi Selatan
Email : drhkoko_kurnia86@yahoo.co.id

Abstrak: Telah dilakukan penelitian prevalensi penyakit viral WSSV pada beberapa
jenis ikan di areal pengembangan budidaya udang di kabupaten. Pangkep yang
bertujuan untuk melihat sejauh mana penyakit virus WSSV dapat menginfeksi jenis
jenis ikan dan mengetahui bulan rawan penyakit WSSV di perairan kkabupaten
Pangkep. Penelitian dilakukan di sepanjang perairan saluran petambak di Desa
Bontolangkasa Kecamatan Minasa Te’ne Kabupaten Pangkep. Pengambilan sampel
dilakukan secara rutin dari bulan Februari 2011 sampai Desember 2011. Sampel
ikan diawetkan didalam botol yang berisi alkohol 70% untuk selanjutnya dilakukan
uji PCR dengan metode standar (Lightner,1996) di Laboratorium Kesehatan ikan
dan Lingkungan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Hasil
penelitian diperoleh jumlah koleksi sampel 67 ekor yang terdiri dari berbagai jenis
ikan, udang dan kepiting. Prevalensi rata-rata kejadian WSSV di kabupaten
Pangkep di peroleh 43,2 %.

Kata kunci: prevalensi, wssv, areal pengembangan udang windu

PENDAHULUAN
Sistem usaha budidaya udang windu di tambak semakin berkembang sejalan
dengan meningkatnya teknologi budidaya yang ditujukan untuk meningkatkan produksi
akan tetapi produksi udang windu dari tahun ke tahun mengalami penurunan akibat
serangan penyakit baik pada usaha perbenihan maupun pada pembesaran di tambak.
Dengan meningkatnya sistem budidaya ini maka timbul berbagai kendala yaitu
penyakit yang disebabkan merosotnya mutu lingkungan ini terjadi karena adanya
pembuangan bahan organik dari sisa-sisa pakan, sekresi ikan, kelimpahan plankton
yang tidak menguntungkan serta adanya limbah air buangan dari saluran/sungai
(Chanratchacool et al, 1995).
Hasil survei tim Riset pemetaan dan daya dukung lahan budidaya perikanan
pesisir BPPBAP menunjukkan bahwa di Kabupaten Pangkep dijumpai tambak seluas
12.199,30 ha. Meskipun semua luasan tambak tersebut tidak tergolong baik untuk
peruntukan tambak namun hampir semua aktif digunakan untuk pertambakan.
Produktivitas rata-rata tambak Kabupaten Pangkep sebesar 622 kg/ha/musim yang
merupakan produksi total dari udang windu yang dipolikulturkan dengan ikan bandeng.
Sampai sekarang udang merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi, dilihat dari
kandungan gizi dan harga satuan per Kg yang tinggi. Namun dalam beberapa tahun
terakhir produksi udang terus mengalami penurunan yang disebabkan dari berbagai
hal. Mulai dari belum tersedianya bibit unggul, harga pakan yang tinggi dan
keberadaan agen agen penyakit di areal tambak (Brata, dkk.2010) Permasalahan yang

Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral B2-19


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

terakhir diduga bertanggung jawab besar terhadap penurunan tingkat produktivitas


udang. Dengan luas tambak 1 ha petambak harusnya bisa mendapatkan 160 kg udang
dengan sintasan 40%, namun akhir-akhir ini petambak hanya memperoleh 40 kg
dengan sintasan 10%. Rendahnya tingkat sintasan ini dimungkinkan karena masih
adanya wirus WSSV di areal tambak di Pangkep (Kompas, 2012)
Secara umum penyakit bisa terjadi apabila disertai faktor pemicu timbulnya
penyakit antara lain inang dalam hal ini udang sebagai organisme budidaya
mikroorgaisme (bakteri, parasit, jamur dan virus) serta kondisi lingkungan yang
memungkinkan terjadinya penyakit. Bila ketiga faktor tersebut berinteraksi maka
dengan sendirinya penyakit bisa timbul (Tompo et al, 2009)
WSSV umumnya terjadi pada crustacean yang di pelihara secara domestik
maupun yang liar di alam. Udang hasil tangkapan di laut sering terdeteksi terserang,
demikian juga dengan kepiting liar (Hosein, et all 2001). White spot disease
merupakan penyakit pada udang yang paling berbahaya dan menyerang berbagai jenis
udang (Inouye et al., 1994; Spann and Lester, 1997; Tokhmafshan et al., 2004).
Gejala klinis yang nampak adalah munculnya bintik putih pada karapas dan segmen
perut keenam, hepatopankreas membengkak dan berwarna kuning, usus dan perut
terlihat kosong dan udang terinfeksi berubah menjadi kemerahan. Udang yang terkena
gejala akan berenang di pinggir kolam dan selama 3 sampai 10 hari udang yang mati
mencapai 70-90 % (Tokhmafshan et al., 2004; Wang et al., 1995; Lightner,1996).
Kerugian akibat serangan berbagai penyakit antara lain virus pada suatu
kawasan areal pengembangan tambak di Sulawesi Selatan yang cukup besar karena
dapat menurunkan produksi udang bahkan mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu
mengingat potensi budidaya udang cukup menjanjikan dan menunjang program
Perikanan menunjang program perikanan 353, maka perlu dilakukan penelitian untuk
melihat bulan rawan penyakit pada areal pengembangan budidaya udang di Selatan
Sulawesi Selatan khususnya di kabupaten Pangkep.

METODOLOGI
Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan secara rutin pada kabupaten
Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel yang diambil adalah jenis jenis ikan dan
crustacean lainnya di saluran air yang kemungkinan bisa masuk ke dalam area
pertambakan, ditangkap menggunakan jala atau alat penagkap lainnya. Organ yang
diambil untuk sampel crustacean meliputi kaki renang, kaki jalan, insang, ekor
(Lightner, 1996). Sedang untuk ikan berupa sirip atau ekor dengan sedikit daging.
Selanjutnya sampel tersebut disimpan dalam botol sampel yang sudah diisi pengawet
berupa alkohol 70%. Sampel selanjutnya dibawa ke lab BRPBAP maros untuk diperiksa
keberadaan virus WSSV. Sampel ikan atau udang diekstraksi untuk memperoleh
genom wssv, sampel ditimbang seberat 0,3 gr selanjutnya diperiksa dengan mesin
PCR untuk mereplikasi genom wssv. Dan alat elektroforesis digunakan untuk melihat
keberadaan gen WSSV yang telah di lipatgandakan dengan mesinPCR. Kit IQ 2000
digunakan untuk proses ekstraksi dan PCR untuk setiap sampel. Tingkat kejadian
WSSV di Sulawesi Selatan dihitung berdasarkan nilai prevalensi serangan terhadap
jumlah semua sampel (Fernando et al, 1972)

B2-20 Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Ekstraksi ikan menggunakan IQ 2000 kit extraction

Timbang sampel 0,3 gr,


Inkubasi 75˚C slm 5’ Tambah chloroform Sentrifuse
masukkan dlm ependorf dan
700µl dan vorteks 12000rpm 5’
gerus

Tambah 100µl CTAB Ambil supernatan


Tambah 600µl D-
dan 900µl ddH2O 500µl
TAB

Inkubasi 75˚C slm 5’

Sentrifuse Inkubasi 75˚C Buang supernatant Sentrifuse


12000rpm 5’ slm 5’ dan tamabah 150µl 12000rpm 10’
dissolve solution

Ambil cairan bening


150µl dan masukkan Buang supernatan dan
dalam ependorf yang Sentrifuse Sentrifuse Kering
cuci dg alcohol 70%
telah terisi alkohol 95% 12000rpm 5’ 12000rpm 5’ anginkan
200µl
dingin 300µl

Tambahkan 200µl
TE buffer untuk
melarutkan genom

Metode PCR
Sampel untuk PCR : jumlah sampel semua ditambah 3. Tambahan 2 untuk control (+)
dan (-), tambahan 1 untuk koreksi pemipetan.
Buat larutan IQ 2000 First PCR

Campur 7,5µl dan 0,5µl berdasarkan jumlah sampel total di dalam ependorf

Bagi di setiap ependorf kecil 8µl dan tambahkan 2µl


sampel

Running di alat PCR

Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral B2-21


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Buat larutan IQ 2000 Nested PCR

Campur 14µl dan 1µl IQ Zyme sesuai jumlah sampel dalam ependorf

Bagi ke dalam setiap ependorf kecil hasil running PCR


pertama sebesar 15µl

Running kedua pada mesin PCR

Elektroforesis

Tunggu sebentar dan


Timbang agarose 2% dari Tambah aquades
tambah dengan
volume tray dan didihkan
pewarna biured

Tuang di tray
dan tunggu
keras

Hasil PCR di running menggunakan agarose dengan voltase 150 volt. Hasil PCR dapat
dilihat di atas sinar UV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pemantauan yang dilakukan antara bulan februari hingga desember 2011
didapatkan 19 jenis sampel ikan, udang dan kepiting yang berbeda, jumlah total
sampel adalah 67 ekor. Dari hasil analisa sampel didapatkan bahwa tidak hanya udang
saja yang menunjukkan hasil positif WSSV, namun berbagai spesies ikan dan kepiting
menunjukkan hasil yang sama. Dari hasil ini sangat dimungkinkan bahwa selain faktor
buruknya kualitas air lingkungan, berbagai jenis ikan dan kepiting yang ada diperairan
berperan besar mengkontaminasi areal pertambakan dengan menyebarkan WSSV.

Tabel 1. Tingkat prevalensi secara umum selama penelitian pada Kab Pangkep

Asal sampel Sampel positif Total sampel Prevelensi (%)


(Kabupaten)
Pangkep 29 67 43,2

B2-22 Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Data diatas membandingkan sampel positif dengan total sampel keseluruhan


yang diperoleh dari kabupaten Pangkep selama penelitian dengan tingkat prevalensi
sebesar 43,2 %. Adapun tingkat prevalensi WSSV untuk setiap bulannya disajikan pada
tabel 2 berikut :

Tabel 2. Tingkat prevalensi WSSV untuk setiap bulan selama penelitian

Asal sampel Prevalensi WSSV setiap bulan selama penelitian (%)


2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kab Pangkep 0 20 0 33,3 0 88,8 100 100 16,6 62,5 0

Dari data diatas didapatkan bahwa bulan di awal dan akhir tahun mempunyai
tingkat prevalensi yang rendah sampai sedang. Di bulan Desember, Februari, April dan
Juni di dapatkan prevalensi 0%. Sedang pada bulan Maret 20% dan pada bulan Mei
33,3%. Tingkat prevalensi WSSV tertinggi di peroleh antara bulan Juli-November.
Bahkan bulan Agustus dan September diperoleh tingkat prevalensi 100%, meskipun di
bulan Oktober di peroleh tingkat prevalensi yang rendah berupa 16,6%.
Dari hasil pemeriksaan PCR, organisme yang sering menunjukkan hasil positif
adalah jenis crustacean liar. Hal ini sesuai dengan peryataan Hosein, 2001 yang
menyatakan udang dan kepiting liar hasil tangkapan dari laut sering terdeteksi positif
WSSV. Pada crustacean liar yang menujukkan hasil positif, tidak semua menunjukkan
adanya tanda bintik putih pada karapas hanya kelemahan pada gerakan. Spesies ikan
yang sering menunjukkan hasil positif adalah mujair (oreochromis) dan ikan beseng
beseng (marosa therina jadigesi) yang ditangkap di Kab. Pangkep. Dalam 5 bulan
sampling, ikan mujair menunjukkan hasil yang positif dan ikan beseng selama 3 bulan
berturut turut menunjukkan hasil positif. Kejadian WSSV pada ikan adalah hal yang
baru, selama ini WSSV hanya menyerang golongan crustacean dan menimbulkan
tingkat pathogenitas yang tinggi. Pada ikan WSSV menunjukkan hasil positif, meskipun
belum diketahui bagaimana tingkat pathogenitasnya. Ikan dapat sebagai carier
penyakit WSSV dan menyebarkannya di lingkungan pertambakan. Jika hal ini terjadi
terus menerus maka akan menjadi tantangan berat pada pembudidaya udang pada
kawasan Sulawesi Selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Prevalensi kejadian WSSV pada bulan 6-9 berkaitan dengan kondisi lingkungan
yang kurang baik (musim pancaroba). Dimana pada bulan bulan tersebut adalah
puncak musim kemarau. Kondisi suhu udara yang sangat dingin di malam hari dan
panasnya udara disiang hari hal ini dapat sebagai stresor alami bagi organisme air
sehingga lambat laun terjadi penurunan tingkat kekebalan tubuh, demikian juga
dengan tingginya angka penguapan dan rendahnya curah hujan sehingga
menyebabkan tingkat salinitas di perairan meningkat. Penurunan tingkat kekebalan
tubuh memicu masuknya penyakit, salah satunya WSSV. Sesuai dengan hasil penelitian
Peng et all. (1998) menyebutkan infeksi WSSV sangat patogenik pada udang yang
diberikan stressor, hal ini karena mekanisme pertahanan udang tidak dapat mencegah
dan menahan perbanyakan virus WSSV saat kondisi stress.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemantauan wssv pada areal pengembangan udang di


Kabupaten Pangkep dapat disimpulkan sebagai berikut :
• Jumlah koleksi sampel yang diperoleh di Kab. Pangkep sebanyak 67 ekor

Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral B2-23


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

• Prevalensi kejadian WSSV di areal saluran masuk tambak di Kabupaten


Pangkep (43,2%)
• Prevalensi tertinggi kejadian WSSV terdapat pada bulan Agustus dan
September (100%), sedangkan prevalensi terendah terjadi pada awal tahun
dan akhir tahun (0-33,3%).
• Ikan dan crustace lainnya menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan WSSV

DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2002. Inctruction Manual Detection and Prevention System for White Spot
Syndrome Virus (WSSV), Taiwan 18 ppAquaculture Vol IV (1) 2004, 4247.
Austin, B. 1987. Marine Microbiologsy. Cambridge University Press. Cambridge 222 p
Boyd,C.E. 1982. Water Quality Mangement for Pond Fish Culture. Elseivier Publishing
Company.
Chanratchakool, P., Limsuwan, C. 1998. Application of PCR and Formalin treatment to
prevent White Spot Diseases in Shrimp. p:287-289. In Flegel TW. (Ed.).
Advences in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and
Biotechnology, Bangkok.
Cowan, S.T. 1974. Cowan and Steels . Manual for Identification of medical Bacteria
Second edition Cambridge Uninersity Press cambridge
Fernando, C.H., J.I Furtado, A.V. Gussy, G. Hanek and S,A. Kakonge, 1972. Methods
for the study of fresh water fish parasite. University of Waterloo. Biology series 5
GH .1995. Purification and genomic analysis of baculovirus associated with white spot
Hatai,K and S. Egusa 1978. Studies of the Pathogenic Fungus associated with Black gill
diseases of kurrma prawn penaeus Javanicus II. Some of the note on the BG-
Fusari.
Hosein, M.S., A. chakraboty, B. Joseph, S.K. Otta, and C Karunasagar. 2001. Detection
of new host for WSSV of shrimp using nested PCR. Aquaculture, 198, 1-11in
Penaeid prawns/shrimps of the Americas and Indopacific. p:57-80.
In Shariff, M., R.P.Subasinghe, and J.R. Arthur (Eds), Diseases in Asian Aquaculture I.
Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.In Persian).
Inouye K, Miwa S, Oseko N, Nakano H, Kimura T, Momoyama K, Hiraoka M .1994.
Mass
Lightner, D.V., T.A. Bell, R.M. Redman, L.L. Mohley, J.M. atividad, A. Rukyani, and
Poernomo. 1992. A review of some major diseases of economic significance
microscopic evidence of the caustive virus. Fish Pathol. 29: 146158.Moreton Bay
region of Australia. Dis. Aquat. Org. 27: 5358.
Muliani, Nurhidayah, and M.I.Madeali. 2005. Deteksi White Spot Syndrome Virus
(WSSV) pada Induk Udang Windu penaeus monodon dengan Teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR). Prosiding seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII dalam
rangka Luxtrum X fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. p.151-
157
Peng, S.E., Lo, C.F., Liu, K.F., & Kou, G.H. 1998. The Trasition from pre patern-patern
infection of White Spot disease Syndrom Virus in Penaeus Monodon Trigered by
period excition. Fish Pathology, 33 (4): 10, 395-400
Spann, L.M. and R.J.G. Lester.1996. Baculovirus of Metapenaeus bennettae from the
Spot Syndrome Disease in Farmed Penaeus indicu in Iran.Applied Fisheries &
syndrome (WSBV) of Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org 23:239242.

B2-24 Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tokhmafshan, M; Akbari, S;Tamjidi, B;Laloi, F and Soltan, M., 2004. Occurrence of


White
Tompo, A. Susianingsih, E. M.I Made Ali., 2009. Laporan teknik aplikasi bakterin
dengna penggunaan binder yang berbeda pada budidaya udang di tambak. Balai
Riset Perikanan Budidaya air payau
Wang CH, Lo CH, Leu JH, Chou CM, Yeh PY, Chou HY, Tung MC, Chang CF, Su MS,
Kou

Koko Kurniawan, Arifuddin T: Prevalensi Penyakit Viral B2-25


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

DINAMIKA KUALITAS AIR PADA TAMBAK APLIKASI


BAKTERIN DAN PROBIOTIK

Arifuddin Tompo dan Koko Kurniawan

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau


Jl. Makmur Dg Sitakka No.129 Maros, Sulawesi Selatan
Email : drhkoko_kurnia86@yahoo.co.id

Abstrak: Telah dilakukan penelitiani dinamika beberapa parameter kualitas air


pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) ditambak aplikasi bakterin dan
probiotik yang bertujuan untuk melihat sejauh mana parameter kualitas air
berpengaruh pada budidaya udang windu. Penelitian dilakukan di Tambak Instalasi
Percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan.
Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Air Balai Riset Perikanan Budidaya
Air Payau. Penelitian menggunakan 12 petak tambak dengan luas 500m 2 dan air
dari sumur bor. Aplikasi dolomit 2 kali seminggu setelah pergantian air sejak
penebaran sampai panen dengan dosis 5-10 ppm. Perlakuan yang dicobakan
adalah A : pemberian bakterin (perendaman tokolan dengan bakterin sekitar 30
menit sebelum ditebar, kemudian diberikan bakterin ulang setiap 2 minggu selama
3 hari berturut turut sebanyak 2,4 mL/ kg pakan, penambahan vitamin C 0,05 ppm
dan binder progold 5g/kg pakan sebelum pelleting); B : aplikasi probiotik (BL542,
BT951 dan MY1112) dilakukan bergiliran 2 minggu setelah penebaran dan setiap
minggu berikutnya) C : kombinasi bakterin dan probiotik; D : Kontrol. Hasil
penelitian diperoleh bahwa kisaran parameter kualitas air yang meliputi suhu
(27,7-33,5⁰C), oksigen terlarut (2-6,7 ppm), pH (7,5-8), salinitas (20-36 ppt),
alkalinitas (119-201,7 ppm), Bahan organik terlarut (0,114-30,95 ppm), amoniak
(0,0079-2,5941 ppm), nitrit (0,0005-0,1796 ppm), nitrat (0,0043-0,9638 ppm),
phosphate (0-0,2518 ppm) kisaran parameter diatas masih berada dalam kondisi
layak untuk sintasan dan pertumbuhan udang windu di tambak.

Kata kunci: dinamika, parameter kualitas air,budidaya udang, bakterin, probiotik

PENDAHULUAN
Berbagai penelitian dan kajian tentang pemanfaatan probiotik telah dilakukan
oleh kelompok peneliti. Eksplorasi bakteri dari alam sebagai sumber probiotik dan
biokontrol telah banyak dikaji dari air laut dan sedimen (Muliani et al., 2003) koral
(radjasa et al., 2005) hatchery (Haryanti et al., 2000) daun mangrove (Muliani et al.,
2004) tambak udang (Muliani et al, 2006). Probiotik adalah jenis bakteri yang
ditambahkan kedalam lingkungan untuk perbaikan mutu lingkungan. Ada dua manfaat
yang diharapkan dari aplikasi bakteri ini yaitu; (1) meningkatkan populasi bakteri non
patogenik, (2) sebagai dekomposer bahan organik menjadi mineral dan mengubah
senyawa beracun menjadi tidak beracun, seperti senyawa amonia dan nitrit yang
beracun menjadi senyawa nitrogen bebas melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi.
Selain itu, probiotik juga mengontrol terjadinya blooming alga sehingga dapat menjaga
stabilnya nilai pH tambak, menurunkan kadar BOD dan menjaga ketersediaan oksigen
bagi udang. Suatu fungsi yang cukup penting dan sebaiknya dimiliki probiotik yaitu
dapat menekan perkembangan pathogen dalam tambak (Muliani, dkk., 2008)

B2-26 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Parameter kualitas air pada petakan tambak merupakan cerminan dari faktor
fisik, kimia dan biologi perairan, dimana parameter tersebut harus dapat dikelola
dengan baik, sehingga dapat mendukung terhadap pertumbuhan udang (Boyd, 1991).
Untuk mencegah terjadinya penyakit pada kegiatan budidaya, saat ini sudah
dikembangkan beberapa metode, diantaranya probiotik atau persaingan antara faktor-
faktor biologis. Alternatif yang sering dilakukan adalah vaksinasi atau indikasi
kekebalan. Selain vaksin juga dilakukan tindakan pemberian imunostimulan berupa
vitamin C.
Vitamin C merupakan bahan yang dapat meningkatkan keragaan benih yang
dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik sehingga
merupakan suatu komponen penting untuk meningkatkan kekebalan non spesifik
(Secombes, 1994). Sedangkan vaksin adalah suspensi patogen hidup yang sudah
dilemahkan atau dimatikan, bagian dari patogen atau substrat yang merupakan produk
patogen yang bersifat antigenik, imunogenik dan protektif apabila masuk ke dalam
tubuh akan merangsang timbulnya antibody (ab) yang menyebabkan udang tahan
terhadap patogen tersebut (Kamiso, 1996).
Aplikasi mengenai beberapa imunostimulan pada bidang budidaya perairan masih
berada dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh udang windu terhadap serangan
penyakit serta sejauh mana parameter kualitas air dapat berpengaruh pada budidaya
udang windu.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di tambak Instalasi Percobaan BPPBAP Maranak, Maros.
Tambak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 petak dengan luas 500m2.
Air yang digunakan berasal dari sumur bor yang dimasukkan ke tandon 1-3,
diendapkan selama 5 hari selanjutnya dialirkan ke saluran hingga masuk ke petakan
penelitian. Aplikasi dolomite dilakukan dua kali seminggu setelah pergantian air dimulai
dari penebaran hingga panen dengan dosis 5-10 ppm. Tokolan yang digunakan adalah
PL 42 dengan kepadatan 4 ekor per m2 dengan pola traditional plus. Pemberian pakan
dimulai saat penebaran dalam jumlah 10% bobot biomassa per hari dan menurun
sesuai dengan pertambahan umur udang. Untuk persiapan penebaran, tokolan
direndam terlebih dahulu dengan bakterin kemudian setiap dua minggu dirangsang
kekebalannya melalui pemberian pakan dengan penambahan bakterin sebanyak 2,4
ml/kg pakan serta penambahan vitamin C komersial turunan polyphospat dengan dosis
0,05 ppm. Pakan yang diberikan adalah pakan komersil dan probiotik dilakukan secara
bergiliran yaitu BL 542, BT 951dan terakhir MY 1112. Pengamatan kualitas air
dilakukan pada tandon (T) dan masing masing perlakuan yaitu perlakuan A
menggunakan bakterin, perlakuan B menggunakan probiotik, perlakuan C
menggunakan probiotik dan bakterin dan perlakuan D adalah control tanpa perlakuan.
Pengukuran beberapa parameter meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan derajat
keasaman dilakukan setiap 2 kali sehari sedangkan pengukuran terhadap bahan
organik terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, amoniak, dan alkalinitas dilakukan setiap 2 minggu
sekali di laboratorium Kualitas Air BPPBAP. Data hasil pengamatan parameter kualitas
air dianalisis secara dekriftif dengan bantuan grafik.

B2-27 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN


Suhu
Suhu tambak selama penelitian relative sama dengan kisaran antara 27.4-33.5 0
C hal ini karena ketinggian air yang relative sama dan tidak terjadinya kondisi cuaca
ekstrim. kondisi ini masih mendukung untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
udang windu. Suhu antara 25-32 0 C dianggap baik jika dilihat dari pengaruhnya
terhadap perkembangan udang, namun suhu maksimum pada 280 C.

Grafik suhu

DO (ppm)
Kisaran nilai oksigen yang diperoleh selama penelitian adalah 2,0-6,7 ppm.
Angka tersebut masih masuk dalam kisaran layak untuk pemeliharaan udang, sesuai
dengan Haliman dan Adijaya (2005) Kisaran tertinggi di dapatkan di tambak aplikasi
probiotik dengan angka 4,7-6,7 ppm sedangkan kisaran terendah di peroleh di tandon
dengan angka 2,0-4,3 ppm. Penggunaan probiotik dapat meningkatkan kualitas air
(Atmomarsono et al., 2010). Tambak aplikasi probiotik dan bakterin didapatkan angka
DO 4,8-6,4 ppm, dan tambak kontrol didapatkan kisaran 4,9-6,3 ppm.

Grafik DO (ppm)

pH
Nilai derajat keasaman air yang didapatkan berkisar antara 7,0-8,0. Kisaran ini
cukup baik untuk pertumbuhan udang windu. PH air yang baik untuk partumbuhan
udang adalah 7,5-8,5. Kisararan tambak A menunjukkan 7,5-7,8; tambak B
menunjukkan 7,7-8,0; tambak C menunjukkan 7,6-7,8 dan tambak D menunjukkan
kisaran 7,5-8,0. Keempat tambak menunjukkan kisaran yang baik dan stabil untuk
pertumbuhan udang windu.

B2-28 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Grafik pH

Salinitas
Hasil pengukuran salinitas yang didapatkan selama penelitian berkisar pada 20-
36 ppt. pada tambak A dan B di dapatkan kisaran 20-36 ppt; tambak C pada kisaran
21,4-36 dan pada tambak D di dapatkan kisarn 21,5-36. Kisaran tersebut masih dapat
mendukung kehidupan udang karena udang windu merupakan organisme yang bersifat
euryhaline yang dapat hidup dan menyesuaikan diri terhadap perubahan salinitas
dengan rentang yang cukup besar. Kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan
udang adalah 27-32 ppt (Wardoyo,1975). Pada stadia larva-jouvenile udang akan
tumbuh normal pada salinitas 25-30 ppt, stadia jouvenile sampai dewasa udang akan
tumbuh normal pada salinitas 15-25 ppt dan pada udang dewasa, ideal nya pada
salinitas 28-32 ppt (Wardoyo dan Djokosetyanto, 1998).

Grafik salinitas (ppt)

Alkalinitas
Kisaran alkalinitas yang diperoleh selama penelitian adalah 119-201,7ppm.
Pada tambak A di dapatkan kisaran 127,9-163,3 ppm; pada tambak B didapatkan hasil
144,8-165,75 ppm; pada tambak C didapatkan rentang hasil 122,9-176,38 ppm dan
pada tambak D didapatkan rentang hasil 119-182,9 ppm. Pada ke empat tambak
menunjukkan kisaran yang layak untuk pertumbuhan udang. Nilai alkalinitas untuk
pertumbuhan optimal udang adalah 90-150ppm.
Grafik alkalinitas

B2-29 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

BOT
Dari kisaran BOT yang diperoleh selama penelitian adalah 0,114-30,95ppm. Pada
tambak A didapatkan rentang 5,47-24,08ppm; pada tambak B didapatkan rentang
4,44-21,53ppm; ditambak C didapatkan rentang 3,45-26,54ppm dan ditambak D di
dapatkan rentang 1,9-25,52ppm. Grafik BOT pada tambak A, B, C dan D terlihat
menurun di awal 2 bulan pertama dan 2 minggu terakhir, namun yang bisa
mempertahankan kelandaian grafik adalah tambak yang menggunakan probiotik.
Kandungan bahan organik yang berlebihan dapat meningkatkan populasi dan
mikroorganisme pathogen. Kandungan BOT yang melebihi 20 ppm selain dapat
meningkatkan kemungkinan serangan vibrio, meningkatkan juga kemungkinan
serangan virus (Atmomarsono,dkk. 2010)

Grafik BOT

Amonia
Hasil pengukuran kadar ammonia yang diperoleh selama penelitian adalah
0,0079-2,5941 ppm. Pada tambak A di dapatkan rentang ammonia 0,0079-0,4605
ppm, tambak B di dapatkan 0,01-0,6013 ppm, tambak C 0,0139-0,6813ppm. Pada
tambak D di dapatkan kisaran 0,0157-0,7059 ppm. Pada awal grafik setiap tambak
menunjukkan nilai kadar amoniak yang relative normal namun di akhir penelitian setiap
tambak menigkat cukup signifikan kadar amoniaknya. Nilai ini tergolong cukup tinggi,
karena menurut Byod (1982) batas pengaruh yang mematikan dapat tejadi bila bila
konsentrasi amoniak dalam air sekitar 0,1-0,3 ppm. Ammonia bisa berada dalam
perairan akibat dari sisa pemupukan yang berlebih, kotoran udang dan jasad renik
dalam pembusukan bahan organic

Grafik Ammonia

Nitrit
Hasil pengukuran kadar nitrit selama penelitian adalah 0,0005-0,1796ppm.
Tambak A mempunyai kisaran 0,0011-0,0404 ppm, tambak B mempunyai kisaran
0,0035-0,0312ppm, tambak C mempunyai kisaran 0,0006-0,0497 ppm dan tambak D

B2-30 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

mempunyai kisaran 0,0006-0,359 ppm. Dari awal hingga akhir penelitian, kadar nitrit
berada pada batas aman pertumbuhan udang. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd
(1990) yang menyatakan bahwa kandungan nitrit yang aman untuk pembesaran
udang windu adalah 4,5 ppm

Data grafik nitrit

Nitrat
Selama penelitian nilai nitrat diperoleh pada kisaran 0,0043-0,9638 ppm. Tambak
A menunjukkan kisaran 0,0158-0,4848 ppm, tambak B menunjukkan 0,0055-
0,2378ppm, tambak C menunjukkan angka 0,0332-0,7995 ppm dan tambak D
menunjukkan 0,0043-0,5089 ppm. Ke empat tambak menunjukkan kisaran angka
normal untuk pertumbuhan udang. Tsai dan Chen (2002) melaporkan bahwa
konsentrasi nitrat yang masih bisa diterima dalam kegiatan budidaya perikanan adalah
<20ppm. Kadar nitrat ideal untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 2-3,5 ppm.

Grafik nitrat

Fosfat
Kisaran nilai fosfat yang diperoleh selama penelitian antara 0-0,2518 ppm. Pada
tam bak A di peroleh kisaran antara 0,0073-0,0964ppm, pada tambak B berkisar
antara 0,0058-0,0847ppm, pada tambak C berkisar antara 0,0123-0,0755ppm pada
tambak D berkisar antara 0,0166-0,1339ppm. Konsentrasi fosfat menunjukkan
kecenderungan meningkat di pertengahan kemudian menurun dan menigkat di akhir
penelitian. Boyd (1999) menyatakan bahwa sisa pakan, feces udang dan bahan
organik lainnya akan didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrient organik
seperti fosfat, ammonia dan karbondioksida. Peningkatan fosfat dapat meningkatkan
populasi fitoplankton.

B2-31 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Grafik fosfat

KESIMPULAN
1. Hasil penelitian diperoleh kisaran parameter kualitas air yang meliputi suhu (27,7-
33,5⁰C), oksigen terlarut (2-6,7 ppm), pH (7,5-8), salinitas (20-36 ppt), alkalinitas
(119-201,7ppm), Bahan organik terlarut (0,114-30,95ppm), amoniak (0,0079-
2,5941ppm), nitrit (0,0005-0,1796ppm), nitrat (0,0043-0,9638ppm), phosphate (0-
0,2518ppm) kisaran parameter diatas masih berada dalam kondisi layak untuk
sintasan dan pertumbuhan udang windu di tambak.
2. Pada petak tambak yang diberikan bakterin memberikan pengaruh nyata pada
peningkatan DO, stabilnya pH dan alkalinitas, ammonia yang rendah, kadar nitrit,
nitrat dan fosfat yang masih berada diambang batas pemeliharaan udang.
3. Pemberian probiotik memberikan pengaruh nyata pada peningkatan DO, stabilnya
pH, penurunan kadar BOT, penurunan kadar ammonia, stabilnya kadar nitrat dan
fosfat
4. Perlakuan kombinasi probiotik dan bakterin memberikan pengaruh pada tingginya
kadar DO, pH, alkalinitas, nitrit, nitrat dn fosfat yang stabil dan dalam batas kualitas
air untuk pemeliharaan udang.

DAFTAR PUSTAKA
Atmomarsono, M. Muliani. Bunga, R.T. 2010. Aplikasi Bakteri Probiotik untuk
Meningkatkan Sintasan dan Produksi Udng windu di Tambak. Prosiding FITA
(269-278)Birmingham Alabama.
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Amsterdam :
Elseiver.
Boyd, C.E. 1990, Water Quality in Ponds for Aquaculture,. Birmingham Publishing Co,
Boyd, C.E. 1991, Water quality and Aeration in Shrimp Farming. Auburn University,
Alabama. Brimingham Publishing Co, Birmingham, Alabama.
Boyd, C.E. 1999. Code of practice for responsible shrimp farming. Department of
fisheries and allied aquaculture; Auburn University
Budidaya Tambak. Balai Penelitian Budidaya Pantai, Maros.
Countries. AIT. Bangkok.
Haliman dan Adijaya. 2005. Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang
Tahan Penyakit.Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta
Haryanti., K. Sugama., S. tsamura., and T. Nisijima. 2000. Vibriostatic bacterium
isolated from seawater: potentially as probiotik agen in the rearing op penaeus
monodon larvae. Ind. Fish. Res. J. 6:26-32

B2-32 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Kamiso, H.N., 1996. Metode Pencegahan Hama dan Penyekit Ikan Karantina Dengan
Menggunakan Vaksin, Makalah disampaikan pada seminar Hama dan Penyakit
Ikan Karantina. 13 Desember 1996. Cipanas Bogor. 18 hal
Muliani, A. Suwanto, dan Y. Hala. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal laut
Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada larva udang windu. Hayati. 10:
6-1
Muliani, Nurbaya, dan Bunga Rante Tampangallo Pengaruh Rasio Bakteri Probiotik
Terhadap Perubahan Kualitas Air dan Sintasan Udang Windu,(Penaeus monodon)
Dalam Akuarium J. Ris. Akuakultur vol 3 No 1. Tahun 2008 : 33-42
Muliani., Nurbaya., A. Tompo dan M. Atmomarsono. 2004. Eksplorasi bakteri fitosfer
dari tanaman mangrove sebagai bakeri probiotik pada budidaya udang windu
penaeus monodon. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2:47-57
Muliani., Nurbaya., dan M. Atmomarsono. 2006a. Penapisan bakteri yang diisolasi dari
tambak udang sebagai kandidat probiotik pada budidaya udang windu. J. Ris.
Akuakultur. 1:73-85
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Company.
Pescod. M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent Stream Standards for Tropical
Philadelphia.
Purwanta, Wahyu., Mayrina Firdayati. 2002. PENGARUH APLIKASI MIKROBA
PROBIOTIK PADA KUALITAS. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3 No. 1: 61-
6Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.
Radjasa, O.K., T. Martens, H.P. Grassert, A. Sabdono, M. Simon and T. Bahtiar. 2005.
Antibacterial property of a coral associated bacterium Pseudomonas luteoviolceae
against shrimp pathogenic vibrio harveyi (in vitro study). Hayati 12 : 71-81
Scombes, C.J. 1994. Enhancement of Fish Phagocyte Activity. Fish and Shellfish
Immmunology, 4 : 421-436.
Tsai, S.J. and J.C. Chen. 2002. Acute toxicity of nitrate on penaeus monodon juvenils
at different salinity level aquaculture, 213 : 163-170
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air (Water Quality Management).

B2-33 Arifudin Tompo, Koko Kurniawan: Dinamika Kualitas Air pada


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon)


NILA GESIT (Oreochromis spp)
DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria sp)
DENGAN SISTEM TERPADU DI TAMBAK

Suwardi Tahe, Hidayat Suryanto Suwoyo dan Agus Nawang

Balai Riset Perikanan Budidaya Air payau


Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 29, Maros, Sulawesi Selatan

Abstrak: Budidaya multi-tropik adalah suatu sistem budidaya yang


menggabungkan beberapa spesies dalam satu lingkungan budidaya dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang dan nutrien dalam perairan. Penelitian ini
bertujuan: (1) meningkatkan produktivitas tambak dengan pemanfaatan relung
ekologi seoptimal mungkin, dan (2) Untuk mengetahui komposisi organisme yang
dapat dipadukan pada sistem budidaya multitropik sehingga dapat diperoleh efek
yang saling menguntungkan. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi BRPBAP
Marana Kabupaten Maros, menggunakan 2 petak tambak berukuran masing-
masing 5000 m2 lama pemeliharaan + 3 bulan. Persiapan tambak sesuai dengan
protap budidaya udang. Hewan uji adalah udang windu, ikan nila, dan rumput laut
yang dibudidayakan secara terpadu. Penebaran udang windu menggunakan
tokolan PL-35 dengan berat rata-rata 0,07 g/elor kepadatan 5 ekor/m2.
Gelondongan ikan nila berukuran panjang 3-5 cm ditebar dalam tambak yang telah
disekat dengan waring hitam 25% (1250 m2) posisi dekat pinrtu pemasukan air.
dengan kepadatan 1500 ekor/petak. Rumput laut ditebar dengan metode dasar
dengan kepadatan 0,2 kg/m2 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pertumbuhan berat udang windu dan ikan nila petak A dan B masing-masing
udang windu yaitu 18,35g/ekor dan 21,23 g/ekor sedangkan ikan nila yaitu 158
g/ekor. dan 183,3 g/ekor. Produksi udang windu dan ikan nila pada masing-masing
petak A dan B yaitu 100,3 kg dan 87,5 kg. Produksi ikan nila 11,5 kg dan 18,2 kg.

Keywords: Pertumbuhan, sintasan, udang windu, nila, rumput laut

PENDAHULUAN
Udang windu (Peneus monodon) dan rumput laut (Gracillaria sp) merupakan
salah satu komoditas utama dalam revitalisasi perikanan budidaya karena, teknologi
dikuasai dan berkembang di masyarakat, peluang pasar ekspor tinggi. Serapan pasar
dalam negeri cukup besar, permodalan relatif rendah, penyerapan tenaga kerja tinggi.
Udang windu merupakan komoditas asli Indonesia yang harus terus dikembangkan
meskipun akhir-akhir ini produksinya menurun akibat serangan penyakit. Budidaya
terintegrasi/terpadu pada IMTA mengacu pada budidaya beberapa spesies secara
intensif dalam satu wadah yang dihubungkan oleh nutrient dan transfer energi melalui
air (Anonim, 2010). Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu
jenis udang introduksi yang banyak diminati, karena memiliki berbagai keunggulan
dan sejak diperkenalkan udang ini sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan,
kinerja perudangan nasional tampak menunjukkan produksi udang yang signifikan.
Proyeksi produksi udang vaname meningkat rata-rata sebesar 16% dengan kenaikan
sebesar 209% selama periode 2009-2014 yaitu dari 244.650 ton pada 2009 menjadi
511.000 ton pada tahun 2014, sementara udang windu meningkat sebesar 13%

B2-34 Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

dengan kenaikan sebesar 182% selama periode 2009-2014 yaitu dari 103.450 ton
pada 2009 menjadi 188.000 ton pada tahun 2014 (Nurdjana, 2010).
Budidaya udang di Indonesia sudah dimulai sejak beberapa dekade ke belakang,
dengan menggunakan metode yang sederhana. Perkembangan budidaya udang
meningkat secara pesat sejak tahun 1980, dimana pada saat itu mulai berkembang
budidaya udang semi intensif sedangkang budidaya sistem intensif pertama kali
diterapkan pada sekitar tahun 1984. Budidaya udang intensif tersebut pertama kali
berkembang di Jawa, khususnya Jawa Barat kemudian berkembang ke daerah Bali,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Lombok dan Sumbawa (Poernomo, 1988).
Produktivitas budidaya udang terutama udang windu di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 1991-1994. Setelah priode tersebut, jumlah produksi udang
budidaya semakin menurun. Hal ini karena terjadinya kegagalan panen sebagai akibat
penurunan kualitas lingkungan dan merebaknya bermacam-macam penyakit semakin
sering terjadi. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di beberapa negara penghasil
udang budidaya. Sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat
dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut baik di kolam, tambak dan KJA
(Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al, 1993). Semua nutrien limbah
budidaya yang jumlahnya lebih banyak daripada nutrien yang diretensi, akan
dimanfaatkan oleh ikan-ikan tersebut. Pola budidaya ikan semacam ini dikenal sebagai
Trophic Level Based Aquaculture (TLBA) atau Akuakultur Berbasis Trophic Level
(Harris, 2006). Di sisi lain, jumlah kebutuhan konsumsi udang masyarakat
internasional semakin meningkat. Keterbatasan jumlah pasokan dan peningkatan
jumlah kebutuhan menyebabkan harga udang semakin naik.
Beberapa usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi pada budidaya
udang adalah peningkatan produktivitas tambak melalui sistem budidaya terpadu
antara udang windu ikan nila dan rumut laut di tambak. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa rumput laut sangat potensial untuk mereduksi limbah nutrien
dari daerah pantai dan budidaya rumput laut, G. lemaneiformis skala besar mampu
mengontrol eutropikasi di perairan pantai di China. Sebagai ikan yang tergolong
euryhaline, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau, dan laut
baik di kolam, tambak dan KJA (Cholik et al, 1990; Pirzan et al., 1992; Tonnek et al,
1993) Keunggulan sistem terpadu ini adalah efisiensi penggunaan lahan secara
bersamaan dengan tiga komoditas yang berbeda tapi saling menguntungkan. Selain
dari itu sistem polikultur diharapkan dapat memberikan nilai tambah kepada petani dan
terutama mengurangi resiko kegagalan panen petani.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan ini dilakukan di Instalasi BRPBAP Marana, Kabupaten Maros
menggunakan petakan tambak berukuran 5000 m2 sebanyak 2 petak. Sebelum
tambak ditebari terlebih dahulu dilakukan persiapan tambak meliputi: Pengeringan
tanah dasar untuk mengoksidasi bahan organik tanah, pemberantasan hama dengan
menggunakan saponin dosis 20 Mg/L, pengapuran tanah dasar menggunakan kapur
bakar 2 ton/ ha. Pengisian air untuk persiapan klorinasi bertujuan menetralkan air dan
tanah dasar dari bakteri pathogen, dengan dosis khlorin> 20 Mg/L. Selanjutnya
dilakukan pemupukan untuk penumbuhan makanan alami, setelah itu dilakukan
peninggian air untuk persiapan penebaran. Hewan uji adalah udang windu, ikan nila,
dan rumput laut yang dibudidayakan secara terpadu. Penebaran udang windu
menggunakan tokolan PL-35 dengan berat rata-rata 0,07 g/elor kepadatan 5 ekor/m2.
Gelondongan ikan nila berukuran panjang 3-5 cm ditebar dalam tambak yang telah

Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu B2-35


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

disekat dengan waring hitam 25% (1250 m2) posisi dekat pinrtu pemasukan air.
dengan kepadatan 1500 ekor/petak. Rumput laut ditebar dengan metode dasar
dengan kepadatan 0,2 kg/m2 waktu pemeliharaan ± 3 bulan. Pemberian pakan
komersil untuk ikan diberikan sejak awal penebaran sedangkan udang windu diberi
pakan setelah 1 bulan pemeliharaan dengan dosis dan frekuensi sesuai dengan berat
biomas ikan dan udang. Pemupukan susulan dosis 10% dari dosis awal dengan
interval waktu setiap 2 minggu untuk mempertahankan pakan alami dalam tambak.
Parameter yang diamati adalah: kualitas air meliputi; pH, suhu, salinitas dan DO
diamati setiap 3 hari sedangkan TSS, BOT, turbiditas, total ammonia nitrogen – TAN,
nitrit, nitrat, dan phosphat. Plankton diidentifikasi jenis dan dihitung jumlahnya.
Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, nila merah dan rumput
laut dilakukan setiap 10 hari. Sintasan rasio konversi pakan, produksi dihitung pada
akhir penelitian dan dianalisis dengan deskriptif.

HASIL DAN BAHASAN


Hasil budidaya udang windu (Penaeus monodon), ikan nila
penelitian
(Oreahcromis nilotucus) dan rumput laut (Glacillaria Sp) dengan sistem terpadu
didapatkan pada petak A dan Petak B yang dipelihara selama 95 hari sesuai pada
gambar 1.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan udang windu selama pemeliharaan

Berdasarkan gambar.1 di atas Menunjukkan bahwa pertambahan bobot udang


windu yang diperoleh pada budidaya udang sistem terpadu dengan ikan nila dan
rumput laut menunjukkan laju pertumbuhan yang cukup bagus yaitu Petak A 18,35
g/ekor dan petak B 21,23 g/ekor. Hal ini karenakan, selain tingkat ketersediaan pakan
yang diberikan memenuhi karena dalam tambak meskipun dipolikultur dengan ikan nila
tapi tidak terjadi kompetisi persaingan makanan dari pakan buatan yang diberikan
karena dalam tambak diberi sekat pemisah sebagai pembatas. Disamping itu tingkat
kelangsungan hidup yang diperoleh tergolong rendah yaitu masing-masing petka A
20,69% dan petak B 24,50% hal ini secara langsung berpengaruh terhadap tingkat
kepadatan jumlah ekor permeter persegi. Menurut Bardach et al., (1972) pertumbuhan
ikan atau udang yang dipelihara sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan dan padat
penebaran yang digunakan.

B2-36 Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan, laju pertumbuhan dan produksi udang windu dan
ikan nila selama 95 hari pemeliharaan

Petak
Uraian/Variabel
A B
1. Udang Windu ;
- Luas petak (m2) 5000 5000
- Lama pemeliharaan ( hari) 90 90
- Padat penebaran (ekor) 25,000 25,000
- Berat awal (g/ekor) 0,07 0,07
- Berat akhir (g/ekor) 18,35 21,23
- Laju pertumbuhan harian (%) 6,17 6,33
- Sintasan (%) 20,69 24,50
- Produksi (kg) 100,3 87,50

2. Ikan Nila
- Lama pemeliharaan ( hari) 90 90
- Padat penebaran (ekor) 1.500 1.500
- Berat awal (g/ekor) 2,0 2,0
- Berat akhir (g/ekor) 158 183,3
- Sintasan (%) 7,00 9,93
- Produksi (kg) 11,5 18,2

Laju pertumbuhan udang windu yang dipelihara selama 95 hari masa


pemeliharaan sesuai pada tabel.1 menunjukkan pada petak B lebih tinggi dibanding
petak A, namun produksi petak A lebih tinggi yaitu 100,3 kg karena tingkat
kelangsungan hidupnya lebih tinggi. Apabila kelangsungan hidup ikan /udang rendah,
maka pasti produksinya juga rendah meskipun ukuran ikan yang dipanen besar;
begitupula sebaliknya bahwa apabila leangsungan hidup ikan tinggi, maka pasti
produksinya juga tinggi meskipun ukuran ikan yang dipanen agak kecil.
Pertumbuhan ikan nila yang dipelihara seperti pada gambar.2 pada awal
pemeliharaan menunjukkan laju pertumbuhan yang sangat bagus meskipun belum
diberi pakan tambahan, namun karena ketersediaan pakan alami cukup bagus ditandai
banyaknya klekap yang tumbuh didasar tambak, namun pada akhir-akhir pemeliharaan
yaitu memasuki umur 60 hari nampak mengalami penurunan laju pertumbuhan hal ini
disebabkan terjadinya peningkatan salinitas pada air tambak yaitu 29-30 ppt,
sedangkan toleransi salinitas ikan nila hitam belum diketahui secara pasti, tapi karena
memasuki peralihan musim dari musim hujan ke musim kemarau akhirnya terjadinya
peningkatan salinitas. Pada tabel.1 menunjukkan sintasan hanya mencapai 20,69%
pada petak A dan 24,50% pada petak B. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup
diduga karena saat penebaran kondisi kualitas air yang tidak optimal untuk udang
windu dimana salinitas air tambak hanya 5 ppt, meskipun benur sudah ditokolkan dan
diadaptasikan sampai media air pentokolan sama dengan air ditambak yaitu 5 ppt.
Sementara selama masa pemeliharaan adanya peningkatan salinitas secara bertahap
sampai akhir pemeliharaan mencapai 36 ppt. Sementara udang windu meskipun
bersifat eurihaline namun pertumbuhan optimal dicapai pada kisaran salinitas 25 ppt
(Cholik, 1987).

Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu B2-37


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Pertumbuhan ikan nila gesit yang dipelihara selama 95 hari didapatkan berat
rata-rata pada perak A 158,00 g/ekor dan petak B didapatkan hasil yang lebih tinggi
yaitu 183,3 g/ekor.

Gambar 2. Grafik pertumbuhan ikan nila gesit selama pemeliharaan

Berdasarkan Gambar 2 diatas laju pertumbuhan ikan nila menunjukkan laju


pertumbuhan yang cukup bagus karena selain pakan alami yang tumbuh ditambak dan
tambahan pakan komersil yang diberikan setiap hari, juga kondisi dan kualitas air
tambak masih sangat baik untuk mendukung pertumbuhan ikan nila khususnya kisaran
kadungan salinitas yang masih pada kisaran toleransi pertumbuhan optimal ikan nila.
Setelah memasuki umur 60 hari karena masa peralihan musim hujan ke musim
kemarau sudah berjalan, kandungan salinitas air tambak secara bertahap meningkat
dan sangat tinggi sampai mencapai 37 ppt sehingga pertumbuhan ikan nila sudah tidak
normal dan munculnya gejala ikan mulai stres serta adanya muncul luka-luka pada
tubuh ikan, yang bedampak pada rendahnya sintasan ikan yaitu petak A 7,00% dan
petak B 9,93% yang mengakibatkan produksi yang dihasilkan masing-masing petak
sangat rendah yaitu A 11,5 kg dan petak B 18,2 kg. Pertumbuhan yang terjadi pada
ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
keturunan, jenis kelamin umur dan ketahanan terhadap penyakit (Effendi, 1978).
Sedangkan faktor eksternal adalah ketersediaan pakan dan fkator lingkungan. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan pakan yang dikonsumsi adalah
suhu, oksigen terlarut dan salinitas (Peter, 1979). Suatu organisme mempunyai daya
tahan pada batas tertentu terhadap perubahan lingkungan, jika keadaan lingkungan
pada tingkat diluar batas tertentu terhadap daya tahan, maka pertumbuhan akan
terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian secara perlahan-lahan bahkan
mendadak. Sementara kisaran optimal untuk pertumbuhan ikan nila gesit diduga
maksimal 5 ppt, selain itu adanya predator yang dijumpai pada petak pemeliharaan
seperti ular, burung dan biawak selama masa pemeliharaan. Sementara pertumbuhan
rumput laut yang diperoleh pada kegiatan ini tidak optimal disebabkan karena waktu
awal pemeliharaan bertepatan dengan musim hujan dan salinitas air tambak sangat
rendah yaitu hanya 5 ppt, shinggah pertumbuhan rumput laut sangat rendah.
Meskipun sampai akhir pemeliharaan masih ada rumput laut bisa dipanen namun
kualitasnya sangat rendah ditandai dengan tallus yang pendek dan kriting, sehingga
rumput laut tersebut tidak bisa dijual dan dikembalikan ke petakan tambak. Sementar
untuk pertumbuhan rumput laut yang optimal berada pada kisaran salinitas 20 – 25
ppt (Mubarak, at all 1987). Selanjut dikatakan meskipun rumput laut bisa tumbuh pada

B2-38 Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

salinitas yang lebih rendah atau yang lebih tinggi namun pertumbuhannya sangat
lambat dan kualitasnya tidak baik.
Kualitas air mempunyai peranan penting sebagai pendukung kehidupan dan
pertumbuhan udang windu. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air
yang meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, fosfat, dan
BOT di sajikan pada Tabel 3. Rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapat
mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan, dan sintasan hidup udang yang
dipelihara.. Kualitas air merupakan media pemeliharaan selama penelitian masih
berada pada kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang
windu kecuali kadar salinitas yang rendah pada awal pemeliharaan. Menurut
Poernomo dan Cholik (1988) bahwa kualitas air yang layak untuk budidaya udang
windu adalah salinitas optimal 10 – 25 ppt , suhu 26– 30 0C (toleransi 26 – 32 0C).
Suhu air sangat berkaitan erat dengan oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi
hewan air. Suhu berbanding terbalik dengan kosentrasi jenuh oksigen terlarut., tetapi
berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksi kimia dalam
air. Pada suhu tiinggi, tekanan parsial oksigen dalam udara diatas permukaan rendah,
akibatnya adalah kosentrasi jenuh oksigen terlarut dalam air lebih mudah tercapai.
(Cholik dan Poernomo, 1987 ). Kisaran kualitas air yang diperoleh berkisar 29 – 30,5
0
C. Suhu air mempunyai peranan penting dalam mengatur aktivitas udang seperti
halnya hewan air linnya.

Tabel 3. Parameter kualitas air petak tambak selama kegiatan pemeliharaan

Peubah A B
Suhu (oC) 28,9-30,9 28,1-30,9
pH 8,0-8,5 7,5-8,5
Salinitas (ppt) 5,0-36 5,0-35
Oksigen terlarut (Mg/L) 3,2-4,4 3,0-4,2
Amoniak (Mg/L) Ttd – 0,7579 Ttd – 0,8885
BOT (Mg/L) 32,46 – 56,06 26,48 – 55,41
Nitrit (Mg/L) 0,0031 – 0,2003 0,0034 – 0,4968
Nitrat (Mg/L) 0,0480 – 1,2323 0,0408 – 0,1740
Posfat 0,0640 – 0,1742 0,1282 – 0,1882

Salinitas menggambarkan kandungan garam-garam yang terlarut dalam air, yang


membedakan air tawar, asin dan payau. Menurut Tseng dalam Poernomo (1988),
udang windu mapu hidup atau menyesuaikan diri terhadap kisaran salinitas 3-45 ppt
dan dengan perubahan faktor lingkungan masih mampu hidup sampai salinitas 50 PPt
(Cholik dan Poernomo, 1987). Namun salinitas untuk pertumbuhan optimum di tambak
adalah 15-25 ppt Poernomo (1988). Pada keadaan salinitas yang optimal energi yang
digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak
(osmoregulasi) cukup rendah sehingga sebahagian energi asal pakan dapat digunakan
untuk pertumbuhan. Kisaran salinitas yang diperoleh pada penelitian ini adalah 2-
37ppt. Kisaran tersebut melebihi batas tertinggi untuk pertumbuhan udang windu yang
ideal. Buwono (1990) menyatakan bahwa, pertumbuhan udang windu akan lebih cepat
pada salinitas antara 5-10 ppt akan tetapi lebih sensitif trerhadap penyakit.
Amonia merupakan salah satu hasil sampingan dari proses perombakan bahan
organik di dalam air yang bersifat racun. Toksisitas amonia meningkat dengan

Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu B2-39


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

menurunnya kadar oksigen terlarut. Konsentrasi amoniak dalam penelitian ini


mencapai 0,4549 mg/L. Tingginya kosentrasi amoniak yang diperoleh pada penelitian
ini disebabkan karena akumulasi sisa pakan dan kotoran udang yang menyebabkan
amoniak meningkat. Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp
adalah di bawah 0,1 mg/l (Liu, 1989). Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai
LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam,
salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/l. Selanjutnya Tsai (1989) Dalam
Hadie et al., (1995) menambahkan bahwa batas aman ammonia pada udang adalah
0,1 ppm. Kadar ammonia mulai berpengaruh terhadap pertumbuhan 50% adalah
pada kadar 0,45 ppm, sedangkan pada kadar 1,29 ppm menyebabkan kematian.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa budidaya udang windu, nila
gesit dan rumput laut sistem terpadu. Pertumbuhan udang windu yang diperoleh yaitu
Petak A 18,35g/ekor dan petak B 21,23 g/ekor dan produksi udang masing-masing
petak yaitu A 100,3 kg/petak dan petak B 87,50 kg/petak. Pertumbuhan dan
produksi ikan nila setiap petak masing-masing petak A 158 g/ekor dan petak B 183,3
g/ekor sedangkan produksi ikan nila pada masing-masing petak yatu petak A 11,5
kg/petak dan petak B 18,2 kg/petak. Untuk pengembahan usaha budidaya tambak
disarankan untuk menggunakan teknologi ini agar produksi udang dapat ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Integrated Multitrophic Aquaculture
http://en.wikipedia.org/wiki/Aquaculture. Akses April 2010
Bardach, J.E., J.H. Ryther, and W. O. Mclarney. 1972. Aquaculture: The farming and
husbandry of freshwater and marine organisms. Wiley-Interscience Pub., New
York. 868 p
Buwono, I. B. 1993. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif.
Kanasius. Jakarta 186. hal
Cholik, F. dan A. Poernomo., 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya
udang Windu Intensif. Dalam Kumpulan makalah Seminar Teknologi Budidaya
udang Intensif. PT. Kalori Kreasi Bahang. Jakarta
Cholik, F. Rachmansyah, dan S.Tonnek., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap
produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J.Penel.Budidaya
Pantai(8)2:57-62.
Hadie (1995). Hadie, W., S. Rejeki dan L. E. Hadie. 1995. Pengaruh pemotongan
tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan juvenil udang galah
(Macrobarnchium rosembergii). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.
1(1):37-44
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Lin, Y.C dan J.C. Chen. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei
boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1): 109 – 119 p
Liu, C.I. 1989. Shrimp disease, prevention and treatment. Di dalam: Akiyama D.M,

B2-40 Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

editor. Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop.


USA:Soybeans, America Soybean Association. 64-74 p.
Mubarak, H. R. Arifuddin, T. Daulay, A. Ismail, S. Koesumadinata, I. N. S.
Ribengnatar, H. Supriyadi, H. H. Suharto, Z. I. Azwar dan S. E. Wardoyo, 1987.
Petunjuk Teknis Bagi Pengoprasian Unit Usaha Pembesaran Udang Windu Seri
Pengembangan Hasil Pertanian Perikanan. No PHP/KAN/02/1987. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta
Nurdjana, M.L. 2010. Program Peningkatan Produksi Perikanan Tahun 2009-2014
dalam rangka Feed The Word. Disampaikan pada Seminar Nasional Feed The
Word. Jakarta Convention Center. 28 Januari 2010. 44 hlm.
Pirzan, A.M., S. Tahe, dan A. Ismail. 1992. Polikultur udang windu, Penaeus monodon
dan nila merah, Oreochromis niloticus di tambak. J. pene. Budidaya Pantai
8(2):63-70.
Poernomo, A. 1988. Pembuaan Tambak Indonesia. Seri Pengembangan No 7. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai, Maros. 30 hal.
Tonnek, S., D.S.Pongsapan, Rachmansyah., 1993. Polikultur nila merah dan beronang
dalam keramba jaring apung di laut. J.Penel.Budidaya Pantai (9)3:47-56.
Peter, R, E. 1979. The Brown and Feeding Behaviour in Hoar, W.S., D.J. Randall, and
J.R. Breet (Eds). Fish Physiology Vol. VII.P: 121-153
Effendi, M. I. 1978 Metodologi Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
Tahe, S., dan M. Amin, 2004 Budidaya udang windu (Penaeus monodon) dengan
sistem modular di Tambak. Prosiding Konfrensi Nasional IV Pengelolaan
Sumberdaya Perairan umum , Pesisir Pulau-pulau kecil dan Laut Indonesia ISBN:
979-98867-1-6, Balikpapan 14-17 September 2004. Hal. 183-189.

Suwardi T, Hidayat S.S, Agus N: Budidaya udang Windu B2-41


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PENGARUH PEMBERIAN BEKICOT


DAN KEONG MAS DALAM PAKAN PEMBESARAN
LOBSTER AIR TAWAR CAPIT MERAH (Cherax quadricarinatus)

Kamaruddin1 dan Lukman Daris2

1. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros


E-mail: kamaruddinbilla@yahoo.co.id
2. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Maros

Abstrak: Penelitian ini menggunakan wadah aquarium berukuran 60 x 45 x 35 cm 3


masing-masing wadah bungkus plastik hitam untuk menghindari lobster agar tidak
stress akibat gangguan dari luar dan di isi air dengan ketinggian 25 cm, dilengkapi
dengan selang dan batu aerasi, serta shelter berupa pipa PVC berukuran 3/4 inch.
Perlakuan yang dicobakan A (bekicot) B (keong mas) dan C kontrol (pellet), dosis
pakan untuk ke dua pakan perlakuan yaitu 19% setara dengan 3% berat kering
pellet dengan kadar air 80%, sedangkan untuk pellet yaitu 3%. Hewan uji yang
digunakan adalah lobster air tawar jenis Capit Merah dengan bobot rata ±1,5-2 g,
masing-masing 3 ulangan yang didisain dengan rancangan acak lengkap. Untuk
melihat respon biologi perlakuan tersebut dilakukan pengamatan setiap 7 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan A dan B tidak berbeda nyata
terhadap sintasan, laju pertumbuhan spesifik dan efisiensi pakan (P>0,05),
sedangkan untuk pakan perlakuan C menunjukkan perbedaan antara perlakuan A
dan perlakuan B (P<0,05). Meskipun kandungan protein pakan perlakuan A dan B
itu tinggi bila dibangdinkan dengan pakan pelakuan C, tetapi pakan C (pellet) ada
kesimbangan antara protein, lemak, dan karbohidrat, dengan keseimbangan ini
dibutuhkan lobster terutama dalam proses ganti kulit .

Kata Kunci: pemanfaatan pakan segar dan pellet pembesaran lobster

PENDAHULUAN
Pada proses budidaya lobster air tawar ini, masih dijumpai beberapa kendala
yang menghambat proses produksi. Salah satu kendala produksi lobster adalah begitu
banyak jenis pakan yang biasa dipakai oleh peternak pembudidaya sehingga sulit
untuk menentukan pakan dengan kualitas yang baik sesuai kebutuhan lobster air
tawar, dan tingginya biaya pakan yang berkisar antara 60 - 70% dari total biaya
produksi (Haris 2006). Tingginya biaya pakan ini disebabkan salah satunya oleh
semakin meningkatnya harga tepung ikan yang merupakan sumber utama protein
pakan (Sudradjat, 2010). Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan upaya
pengembangan pakan berbahan baku sumber protein lokal yang mudah diperoleh,
harganya relatif murah, dan memiliki kandungan nutrisi yang sesuai sebagai pengganti
tepung ikan.
Saat ini komponen pakan buatan untuk ikan didominasi oleh penggunaan tepung
ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini dikarenakan, tepung ikan memiliki
kandungan nutrisi yang sangat cocok dengan kebutuhan ikan budidiya, terutama profil
asam amino esensialnya. Pada nilai konversi pakan sekitar 1,5 maka diperlukan
sebanyak 0,5-0,75 kg tepung ikan atau setara dengan 1,8-3 kg ikan rucah (kadar air
75%) untuk memproduksi 1 kg ikan. Hal ini menyebabkan akuakultur yang berbasis
pakan buatan dengan tepung ikan sebagai sumber protein utamanya, tergolong

B2-42 Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

kegiatan yang tidak menguntungkan secara ekologis. Oleh karena itu perlu adanya
alternatif sumber protein pakan yang memiliki performansi nilai nutrisi yang relatif
setara dengan tepung ikan atau dapat memenuhi kebutuhan ikan budidaya untuk
tumbuh sacara optimum.
Di dalam pakan ikan, selain protein, komponen yang juga cukup penting adalah
sumber energi yang dapat berasal dari lemak dan karbohidrat, khususnya untuk ikan
herbivora dan omnivore (Huisman 1987; Bagarinao 1995). Karbohidrat merupakan
sumber energi yang lebih murah dibandingkan protein. Keong mas (Pomaceae
canaliculata) juga merupakan sumber protein yang murah dan kaya akan kalsium.
Berdasarkan uji proksimat ,kandungan nutrisi tepung keong mas yaitu protein
54,26%, lemak 3,92%, karbohidrat 30,45%, abu 4,07%, dan serat 1,80%
(Kamaruddin et al., 2005). Sedangkan kandungan nutrisi bekicot yaitu protein
53,56%; lemak 1,89%; kadar abu 4,82%; serat kasar 5,28%; dan kadar air 19,42%
(Anomin 2000). Dengan melihat potensi maupun kandungan nutrisi ke dua bahan
tersebut, maka dilakukan penelitian pemanfaatan dalam pakan pembesaran lobster air
tawar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan bekicot dan keong mas
sebagai pakan terhadap respon biologi lobster air tawar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Benih Ikan Maros. Wadah yang
digunakan adalah aquarium berukuran 60 x 45 x 35 cm3 sebanyak 9 buah masing-
masing di bungkus plastik hitam untuk menghindari lobster agar tidak stress atau
gangguan dari luar dan di isi air dengan ketinggian 25 cm, dilengkapi dengan selang
dan batu aerasi, serta shelter berupa pipa PVC berukuran 3/4 inch yang berfungsi
sebagai tempat persembunyian Lobster. Hewan uji yang digunakan adalah lobster air
tawar jenis Capit Merah berumur ±1 bulan, dengan bobot rata ±1,5-2 g yang diperoleh
dari petani lobster di kota Maros. Padat penebaran adalah 5 ekor setiap wadah, dosis
untuk pakan pellet yaitu 3%, sedangkan untuk pakan bekicot dan keong mas yaitu
19% setara dengan 3% berat kering karena kadar air masing-masing sekitar 80%.
Komposisi nutrisi bahan baku lokal yang digunakan pakan (pellet) sebagai kontrol
(Tabel 1), sementara formulasi pakan pellet dan komposisi nutrisi masing-masing
pakan perlakuan dapat dilihat pada (Tabel 2).

Tabel 1. Komposisi nutrisi masing-masing bahan baku pakan (% berat kering)

Kandungan (%)
Bahan
Air Abu lemak Protein S.Kasar BETN
T. Ikan 6,34 16,65 4,90 60 1,50 17,82
B. Kopra 3,5 7,58 6,62 21,97 11,39 52,44
Polar 9,34 3,53 3,53 18,28 13,12 61,54

Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot B2-43


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 2. Koposisi nutrisi pakan yang digunakan

Bahan Pellet (%) Bekicot Keong mas


Tepung Ikan 40 0 0
Bungkil Kopra 30 0 0
Polar 28 0 0
Vitamin 1 0 0
Mineral 1 0 0
Total 100 0 0
Total potein % 31,29 53,56 54,26
Total lemak % 2,88 1,89 3,92
Serat kasar % 5,63 5,28 1,8
Kadar abu % 16,45 4,82 4,07
BETN 20,48 34,45 45,83

Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik hewan uji dilakukan penimbangan


lobster menggunakan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,001g setiap 4 hari
selama masa pemeliharaan, laju pertumbuhan spesifik hewan uji di hitung berdasarkan
rumus Schulz et al, (2005) sebagai berikut :

Specific Grow Rate (

Dimana : SGR = Laju Pertumbuhan Spesifik (% / hari)


Ln Wt = Bobot rata-rata hewan uji pada akhir penelitian (g)
Ln W0 = Bobot rata-rata hewan uji pada awal penelitian (g)
t = Lama Penelitian (hari)

Kelulusan hidup adalah persentase jumlah organisme yang hidup dalam kurun
waktu tertentu yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1979),
sebagai berikut :

Nt
S= x 100%
No

Dimana :
S = Tingkat Kelulusan Hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal penelitian (ekor)

Rasio efisiensi pakan diketahui dengan perhitungan jumlah pakan yang


diberikan/dimakan selama pembesaran (bobot kering) dan pertambahan bobot hewan
uji (bobot basah) yang dihitung berdasarkan rumus dari Takeuchi (1988) sebagai
berikut:

B2-44 Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)


dengan 4 perlakuan yang masing-masing mempunyai 3 ulangan, keempat perlakuan
tersebut adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : pemberian pakan bekicot
Perlakuan B : pemberian pakan keong mas
Perlakuan C : pemberian pakan pelet (kontrol)
Sebagai data penunjang, dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter
kualitas air yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, kadar amoniak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Respon biologi lobster air tawar yang diberi pakan segar bekicot, keong mas dan
pellet (kontrol) selama penelitian adalah dapat dilihat pada (Tabel 3).

Tabel 3. Sintasan lobster air tawar selama penelitian dengan perlakuan jenis pakan
pellet, bekicot dan keong mas

Parameter yang diamati Ulangan Perlakuan


Bekicot Keong mas Pellet (kontrol)
1 90 90 100
2 100 100 100
3 100 100 100
Sintasan (%) Rata-rata 96,67±5,77a 96,67±5,77a 100±0,00b
1 1,28 2,87 4,33
2 2,75 3,78 5,36
3 3,09 3,03 4,51
Laju pertumbuhan spesifik (%) Rata-rata 2,37±0,96 a
3,23±0,49 a
4,73±0,55b
1 0,01 0,03 0,17
2 0,02 0,03 0,22
3 0,02 0,03 0,18
Episiensi pakan (%) Rata-rata 0,02±0,01a 0,03±0,00a 0,19±0,03b

Tabel tersebut terlihat bahwa sintasan tertinggi diperoleh dari perlakuan C yaitu
100% dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata antara
perlakuan A dan B (P<0,05), sedangkan terendah diperoleh dari perlakuan A dan B
sama yaitu 96,67% dan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05)
kedua pakan perlakuan tersebut. Hasil ini sama dengan yang dilaporkan oleh
Kurniawan dan Hartono (2009); Wijanto dan Hartono (2006) dan Setiawan (2010)
memperoleh tingkat kelangsungan hidup antara 80-100%, masing-masing
menggunakan pakan komersial, dengan perlakuan dosis dan frekwensi pemberian
pakan. Tingginya sintasan yang diperoleh disebabkan karena pada awal sampai akhir
penelitian wadah ditutup dengan menggunakan waring hitam sehingga lobster tidak

Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot B2-45


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

bisa lolos, sesuai sifat biologi lobster bisa merayap pada dinding wadah budidaya,
selain itu juga jarang ditemukan lobster yang mati akibat gagal molting. Selain itu
diduga karena kebutuhan protein lobster cukup dari semua pakan perlakuan (Tabel 2).
Seperti yang dilaporkan Kusman, (2006) protein yang umumnya diperlukan oleh
lobster air tawar adalah 20–40 % dari seluruh nilai gizi pakan.
Dari tabel (Tabel 3) terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik tertinggi diperoleh
dari perlakuan C yaitu sekitar 4,73% hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara perlakuan A dan B, yang terendah diperoleh dari perlakuan A yaitu
sekitar 2,37%, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan
perlakuan B. Kandungan protein pada perlakuan C (pellet lokal), berbeda dengan
pakan perlakuan A dan B itu adalah pakan segar (bekicot dan keong mas), perbadaan
jumlah proteinnya cukup besar yaitu pellet 31, 29%, sedangkan pakan segar yaitu
sekitar 53-54%. Meskipun protein pakan pellet rendah bila dibandingkan dengan
protein ke dua pakan segar (bekicot dan keong mas), tetapi dari Tebel 3, terlihat
bahwa untuk mendukung pertumbuhan (Gambar 1) lobster dibutuhkan komposisi
nutrisi pakan yang seimbang antara protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat. Hasil
yang diproleh dari penelitian ini lebih bagus bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Kamaruddin dan Daris (2011) memperoleh laju pertumbuhan spesifik lobster tertinggi
yaitu sekitar 0,64% dan yang terendah diperoleh yaitu sekitar 0,26% dengan bobot
awal lobster yang digunakan rata-rata 4,90 g. Hal ini diduga karena adanya
perbedaan bobot awal lobster yang digunakan dalam penelitian, karena semakin kecil
ukuran lobster, maka tren pertumbuhan hariannya, semakin besar, bila dibandingkan
dengan lobster yang sudah besar.

Gambar 1. Laju pertumbuhan spesifik lobster setiap sampling


selama penelitian 40 hari

Gambar di atas terlihat adanya peningkatan yang cukup drastis pada perlakuan A
terutama pada sampling ke II yaitu sekitar 2%, meskipun terjadi penurunan kembali
pada sampling ke III hampir sama dengan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan
lainnya B, C dan D tidak memperlihatkan peningkatan yang menonjol sampai sampling
ke IV, meskipun sampling ke IV perlakuan A terjadi penurunan yang cukup rendah
yaitu -0,4%, setelah memasuki sampling ke VIII terjadi peningkatan pada perlakuan B
yaitu sekitar 1%, meskipun terjadi penurunan kembali pada sampling ke IX yang
hampir sama dengan perlakuan lainnya. Terjadinya peningkatan dan penurunan yang
cukup drastis pada perlakuan A dan B, diduga karena tidak ada keseimbangan
komposisi nutrisi kedua jenis pakan segar tersebut. Sebagaimana yang dilaporkan oleh

B2-46 Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Wiyanto dan Hartono (2006), pakan buatan yang dapat diberikan pada lobster air
tawar dengan kandungan protein lebih dari 40 % yang berasal dari bahan hewani dan
nabati, serta memiliki kandungan nutrisi yang lengkap. Sementara perlakuan C (pellet)
proteinnya rendah bila dibandingkan dengan pakan perlakuan A dan B, tetapi ada
keseimbangan antara perotein, lemak, serat kasar dan karbohidat.
Efisiensi pakan merupakan salah satu indikator tingkat pemanfaatan pakan
terhadap hewan yang dibudidayakan, efisiensi pakan lobster selama penelitian dapat
dilihat pada (Tabel 3). Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat efisiensi pakan tertinggi
diperoleh dari perlakuan C yaitu sekitar 0,19%, dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan perbedaan yang nyata antar semua perlakuan. Sedangkan efisiensi
pakan yang terendah diperoleh dari perlakuan A yaitu sekitar 0,02%, meskipun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan B. hasil ini jauh lebih rendah bila dibandingkan yang
diperoleh Kamaruddin dan Daris (2011) yang memperoleh tingkat efisiensi pakan
tertinggi yaitu 0,52% dengan menggunakan pakan pellet lokal. Dengan demikian
bahwa pemanfaatan protein sebagai sumber energy tidak efisien dan efektif, hal ini
terlihat pada perlakuan pakan A dan B (bekicot dan keong mas) mempunyai protein
yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pakan Perlakuan C (pellet), tetapi
menunjukkan tingkat efisiensi pakan yang cukup rendah. Hal ini pada respon
pertumbuhan lobster tertinggi diperoleh dari perlakuan C. Dengan demikian lobster
mempunyai keterbatsan untuk mencerna protein, untuk kebutuhan sel-sel tubuhnya
karena dari sifat biolgi lobster herbivore yang cendrung carnivor secara alamia
biasanya memanfaatkan protein yang berasal dari tumbuhan.
Selama kegiatan penelitian suhu air diperoleh antara 28-30ºC, hal ini sesuasi
yang dianjurkan oleh Setiawan (2010) bahwa suhu yang ideal untuk pertumbuhan
lobster adalah 24-31ºC, dan selanjutnya dikatakan bahwa suhu di bawah atau diatas
angka tersebut sangat membahayakan kehidupan lobster air tawar, begitu pula
dengan derajat keasaman (pH) yang ideal untuk lobster air tawar ada pada kisaran 6–
8. Amoniak merupakan hasil dari buangan kotoran yang jika dibiarkan dalam waktu
lama akan terakumulasi dan menjadi racun bagi lobster, kadar amoniak dalam air
maksimun 0,01 ppm. Untuk menghindari peningkatan kadar amoniak dalam wadah
pemeliharaan, dilakukan penyiponan setiap hari sebanyak 50%, kemudian di
tambahkan air yang baru.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang penggunaan pakan segar dan pakan pellet maka
dapat disimpulkan yaitu: penggunaan pakan segar (bekicot dan keong mas) tidak
memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan dengan
penggunaan pakan pellet lokal, meskipun pakan kedua pakan segar tersebut
proteinnya cukup tinggi, tetapi tidak ada keseimbangan komposisi nutrisi lainnya
seperti lemak dan karbohidat. Begitu pula dengan tingkat efisiensi pakan jauh lebih
tinggi perlakuan pakan bila dibandingkan dengan pakan segar

Saran-saran
Dalam budidaya lobster pemanfaatan pakan segar sebaiknya diproses terlebih
dahulu menjadi tepung, selanjutnya dibuat dalam formulasi pakan yang ditambahkan
dengan bahan baku lainnya, sehingga pakan segar tersebut dapat dijadikan sebagai
sumber protein, kemudian dicetak dalam bentuk pellet.

Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot B2-47


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Budidaya Bekicot (Achanita spp). http://www. Ristek.go.id. Diakses
Mei 2011
Bagarinao TU. 1995. Biology of milkfish. Philippines Tigbauan, Iloilo: Trading and
Information Division Techno-Transfer Section, Aquaculture Departement
Southest Asian, Fisheries Development Center.
Effendie, A. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Huisman EA. 1987. Principles of fish production. Department of Fish Culture and
Fisheries, Wageningen Agricultural University, Wageningen, Netherlands. 170p.
Kamaruddin dan Lukman. D 2011. Pemanfaatan bahan baku lokal dalam pakan
pembesaran Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Laporan Hasil Penelitian
Balai Benih Ikan Maros. 9 hal
Kamaruddin, Usman, dan Makmur, 2005. Pemanfaatan Keong Mas (Pomaceae sp.)
Sebagai Substitusi Tepung Ikan Dalam Pakan Ikan. Warta Penelitian Perikanan
Indonesia
Kurniawan, T dan Hartono, R, 2009. Pembesaran Lobster Air Tawar Secara Cepat.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Kusman, 2006. Pembenihan Lobster Air tawar : Meraup Untung dari Lahan Sempit.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Setiawan, C. 2010. Jurus Sukses Budi Daya Lobster Air Tawar, Agro Media
Pustaka, Jakarta.
Schulz. C, U. Knaus, M. Wirth, and B. Rennert. 2005. Effect of Varying Dietary
Fatty Acid Profile on Growth Performance, Fatty Acid, Body an Tissue
Composition of Juvenile Pike Perch (Sander lucioperca). Aquaculture nutrition,
II: 403-413.
Sudradjat, A. 2010. Aquaculture of milkfish (Bandeng)) in Indonesia: Grow-out
culture. In: Liao, C.I & Leano, E.M (Eds.), Milkfish Aquaculture in Asia. National
Taiwan Ocean University, The Fisheries Society of Taiwan, Asian Fisheries Society
and World Aquaculture Society, p. 17-30.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients. In:
Watanabe, T. (ed.) Fish Nutrition and Mariculture. JICA Kanagawa International
Fisheries Training Centre, Tokyo, pp. 179-233.
Wiyanto dan Hartono, 2006. Lobster Air Tawar Pembenihan & pembesaran. Penebar
Swadaya. Jakarta.

B2-48 Kamarudin, Lukman D:Pengaruh Pemberian Bekicot


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON


DENGAN BERBAGAI KOMPOSISI JENIS PUPUK ORGANIK
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK

Machluddin Amin dan Burhanuddin

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau

Abstrak: Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan
kelimpahan serta indeks biologi plankton pada penggunaan jenis pupuk organik
pada budidaya udang di tambak telah dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan
selama 90 hari dengan menggunakan 12 petak tambak ukuran 500 m2. Perlakuan
yang dicobakan adalah penggunaan jenis pupuk organik yaitu perlakuan A =
Pupuk kandang + jerami + jerami, perlakuan B = Pupuk organik komersil,
perlakuan C = Pupuk organik cair, dan perlakuan D tanpa pemupukan (kontrol).
Setiap perlakuan dibuat ulangan 3 kali. Pemberian pupuk organik dilakukan
sebelum penebaran hewan uji dengan dosis sebanyak 3 ton/ha. Hewan uji yang
digunakan adalah tokolan udang windu dengan kepadatan 2 ekor/m2. Peubah
yang diamati adalah Komposisi dan jenis, indeks keragaman, indeks keseragaman,
indeks dominansi plankton setiap dua minggu. Peubah kualitas air yang diukur
meliputi oksigen terlarut, suhu, salinitas dan pH setiap 3 hari. Sedangkan
parameter NH3-N, NO2-N, NO3-N, PO4-P, Si dan BOT setiap dua minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk organik berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kelimpahan individu plankton. Kelimpahan individu plankton
tertinggi diperoleh pada perlakuan A (campuran rumput laut, jerami dan pupuk
kandang) yaitu 208 ind./L. dan terendah diperoleh pada perlakuan C (pupuk
cair)yaitu 68 ind./L. Fitoplankton didominasi dari Kelas Bacillariophyceae,
sedangkan zooplankton didominasi dari Kelas Krustacea.

Kata Kunci: Kelimpahan jenis, plankton, pupuk organik, tambak

PENDAHULUAN
Pupuk organik merupakan salah satu jenis pupuk yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesuburan tanah mengingat sifat pupuk organik yang sangat
menonjol yaitu mengandung unsur hara makro dan mikro. Soepardi (1983)
mengemukakan bahwa pupuk kandang selain hara makro seperti N, P dan K, pupuk
kandang juga mengandung unsur hara mikro seperti Zn, Bo, Mn, Cu dan Mo. Menurut
Setyamidjaya (1986) pupuk organik merupakan pupuk yang digunakan untuk maksud
memperbaiki struktur tanah, daya meresapkan air hujan, daya mengikat air, ketahanan
terhadap erosi. Selanjutnya dikatakan bahwa terbentuknya humus , pupuk organik
juga memperbaiki kehidupan biologi tanah dan mineral (unsur hara) dan hasil proses
mineralisasi humus. Lebih lanjut Syarief (1985) mengemukakan bahwa pupuk
organik memiliki kesanggupan melepaskan zat hara secara berangsur-angsur sesuai
dengan tingkat perombakannya sehingga kelestarian zat hara dalam perairan dapat
terjaga. Selanjutnya dikatakan bahwa pupuk kandang merupakan pupuk yang berasal
dari campuran kooran ternak dan urine serta sisa-sisa mkanan yang tidak dihabiskan
dan umumnya berasal dari ternak sapi, ayam, kerbau, kuda, babi dan kambing.
Keberadaan plankton di tambak di samping berfungsi sebagai pakan udang
dapat pula berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat

Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton B2-49


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

menggambarkan kondisi suatu perairan. Menurut Dawes (1981) Salah satu ciri khas
organisme fitoplankton yaitu merupakan dasar dari mata rantai pakan di perairan.
Oleh karena iru kehadiran plankton di suatu prairan dapat menggambarkan
karasteristik suatu perairan apakah berada dalam keadaan subur atau tidak.
Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh bebera paparameter
lingkungan dan karasteristik fisiologinya. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton akan
berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon tehadap perubahan-perubahan
kondisi lingkungan baik fisik, kimia maupun biologi (Reynolds et al., 1984. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pemupukan susulan pada budidaya
udang vanamei (L. vannamei) terhadap komposisi jenis dan kelimpahan individu
fitoplankton.
Bahan Cara
Penelitian ini menggunakan tambak ukuran 500 m2 sebanyak 12 petak yang
telah diisi air yang bersumber dari laut dengan ketinggian lebih kurang 70 cm.
Perlakuan yang dicobakan adalah penggunaan jenis pupuk organik yaitu perlakuan A =
rumput laut + jerami + pupuk kandang kotoran sapi, perlakauan B = pupuk organik
komersial, perlakuan C = pupuk organik cair dan perlakuan D = tanpa pupuk (kontrol).
Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.
Peubah yang diamati adalah jenis dan kelimpahan plankton setiap 2 minggu
dengan mwnyaring dan memadatkan contoh air tambak sebanyak 100 l menjadi 100
ml dengan menggunakan plankton net ukuran mesh size 60 mikron (No. 25).
Identifikasi plankton dilakukan sampai tingkat genera dengan bantuan buku Newell
and Newell (1963) dan Yamaji (1976). Kelimpahan plankton dalam contoh air
selanjutnya dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan alat Bantu SRC
(Sedgwick rafter counter cell) dengan modifikasi rumus APHA (2005).

T P V 1
N = ---- x ----- x ----- x -----
L p v W

dimana : N = Kelimpahan fitoplankton (ind./l)


T = Jumlah kotak dalam SRC (1000)
L = Luas kotak dalam satu lapang pandang
P = Jumlah fitoplankton yang teramati
p = Jumlah kotak SRC yang diamati
V = Volume air dalam botol sampel
v = Volume air dalam dalam kotak SRC
W = Volume tambak air yang tersaring
Indeks keragaman fitoplankton dihitung berdasarkan berdasarkan rumus Shannon-
Wiever sebagai berikut (Wilhm dan Dorris 1968 in Masson, 1981) :

n
H´ = - Σ pi ln pi
i=1

dimana : H‫ = ׳‬indeks keanekaragaman Shannon-Wiever


pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke i
N = jumlah seluruh individu

B2-50 Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Indeks Keseragaman dihitung sebagai berikut (Odum, 1971) :


H′
E = ---------
H′ maks

Dimana: E = indeks keseragaman


H′= indeks kergaman
H′maks = ln S
S= jumlah spesies

Indeks dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson in Legendre Legendre (1983)


sebagai berikut :

C = ∑ [ ni/N ] 2

dimana : C = indeks dominasi Simpson


ni = jumlah individu jenis ke 1
N = jumlah total individu

Kualitas air diamati meliputi parameter suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan
alkalinitas dilakukan secara in situ setiap 3 hari, sedangkan parameter nitrat, nitrit,
amonia, posfat, bahan organik dan silikat dianalisis dilaboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jenis dan Kelimpahan Individu Plankton
Jumlah jenis plankton selama penelitian tertera pada Tabel 1. Jumlah jenis
plankton yang diperoleh selama penelitian masing-masing pada perlakuan A yakni 24
genera, perlakuan B dan D masing-masing 21 genera, dan perlakuan C adalah 16
genera. Komposisi jenis plankton yang diperoleh untuk semua perlakuan selama
penelitian tertera Lampiran 1. Susunan jenis plankton yang tertera pada Lampiran 1
menunjukkan fitoplankton yang memiliki jumlah jenis dan kepadatan yang banyak
adalah dari Kelas Bacillariophyceae seperti Genera Navicula dan Nitzschia. Dominasi
fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae karena memiliki kemampuan yang lebih tinggi
untuk berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan tambak dibanding dengan
kelas lainnya. Menurut Sachlan (1982), fitoplankton dari Kelas bacillariophyceae ini
bersifat kosmopolit dan cepat berkembang. Dominasi fitoplankton dari Kelas
Bacillariophyceae juga didapatkan pada penelitian penggunaan jenis pupuk organik di
tambak oleh Amin (2010).
Kelompok zooplankton yang memiliki jenis dan jumlah individu yang dominan
pada penelitian ini diperoleh dari Kelas Krustacea seperti Acartia, Kopepoda dan
Oithona. Rataan jumlah individu plankton yang tertinggi didapatkan pada perlakuan A
yakni 208 ind./L. dan yang terendah didapatkan pada perlakuan C (68 ind./L).
Perkembangan jumlah individu plankton selama penelitian terutama pada perlakuan A
mengalami peningkatan mulai hari ke 30 hari ke 75 dan mengalami puncak
pertumbuhan pada hari ke 45 dan secara umum pada semua perlakuan mengalami
penurunan pada hari ke 75. (Gambar 1). Hasil uji statistik menunjukkan pengaruh
perlakuan jenis pupuk organik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kepadatan
plankton selama penelitian.

Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton B2-51


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 1. Rataan jumlah jenis, kelimpahan individu dan Indeks biologi plankton selama
penelitian

Perlakuan
Parameter Plankton
A B C D
Jumlah Jenis 24 21 16 21
Jumlah Individu (ind./L) 208 99 68 70
Indeks Keragaman 0,9251 0,9114 0,7668 0,7285
Indeks Keseragaman 0,6784 0,7229 0,7030 0,4293
Indeks Dominansi 0,4195 0,4520 0,5381 0,3387

Gambar 1. Pertumbuhan plankton setiap perlakuan selama penelitian


Indeks Biologi Plankton

Indeks biologi yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari indeks
keanekaragaman (H’), indeks kesragaman (E), dan indeks dominasi (D) jenis plankton.
Indeks biologi ini berfungsi untuk mengevaluasi komunitas plankton antara perlakuan.
Nilai indeks biologi plankton yang diperoleh selama penelitian tertera pada Tabel 1.
Nilai indeks keragaman yang diperoleh selama penelitian masing-masing pada
perlakuan A = 0,9251, perlakuan B = 0,9114, perlakuan C = 0,9668 dan perlakuan D
= 0,7285. Berdasarkan penilaian Stin (1981) menunjukkan bahwa secara umum
komunitas plankton pada keempat perlakuan ini dalam keadaan tidak stabil atau
sedang mengalami gangguan faktor lingkungan. Ketidak stabilan komunitas plankton
pada ketiga perlakuan disebabkan adanya beberapa genera fitoplankton yang memiliki
jumlah individu lebih besar dibanding dengan genera lainnya yaitu Navicula dan
Nitzschia.
Indeks keseragaman plankton untuk semua perlakuan tertera pada Tabel 1 yaitu
perlakuan A = 0,6784, perlakuan B = 07229, perlakuan C = 0,7030 dan perlakuan D
= 0,429. Nilai indeks keseragaman pada perlakuan A, B, dan C ini menunjukkan
bahwa keseragaman antara genera relatif merata atau jumlah individu pada masing-
masing genera relatif sama, kecuali pada pada perlakuan D rendah yang menunjukkan
genera yang diperoleh tidak memiliki jumlah individu yang seragam (Lind, 1979). Hal

B2-52 Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

ini menunjukkan bahwa kondisi habitat tambak perlakuan A, B, dan C dihuni oleh
jenis plankton yang relatif serasi untuk pertumbuhan dan perkembangan masing-
masing genera, sedangkan pada perlakuan D memiliki pertumbuhan individu yang
tidak serasi diantara genera yang ada.
Indeks dominasi plankton yang diperoleh selama penelitian yaitu perlakuan A =
0,4195, perlakuan B = 0,4520, perlakuan C = 0,5381 dan perlakuan D = 0,3387
(Tabel 1). Berdasarkan nilai tersebut diatas menunjukkan bahwa keempat perlakuan
menunjukkan dalam struktur komunitas tidak ada genera yang mendominasi genera
lainnya. Hal ini mencerminkan sruktur komunitas plankton pada semua perlakuan
dalam keadaan stabil.

Kualitas Air
Kualitas air mempunyai peranan penting kaena merupakan salah satu factor
pendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton suatu perairan. Hasil
pengamatan kualitas air selama penelitian tertera pada Tabel 3. Suhu air yang
teramati selama penelitian untuk semua perlakuan berkisar 27-30,1oC. Berdasarkan
data tersebut menunjukkan secara kesuluruhan semua perlakuan suhu airnya masih
layak untuk mendukung kehidupan fitoplankton. Menurut Effendi (2003) bahwa
kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC. Secara umum
kisaran kandungan Salinitas untuk semua perlakuan pada Tabel 2 hampir sama yaitu
berkisar 6,9-30 ppt. Tingginya fluktuasi salinitas yang terjadi kerena selama penelitian
melewati musim kemarau yang memiliki salinitas rendah dan musim kemarau yang
memiliki salinitas tinggi.
Kandungan oksigen untuk semua perlakuan adalah berkisar 2,5-5,4 ppm.
Oksigen yang agak rendah diperoleh pada waktu subuh hari karena wadah
pemeliharaan tidak menggunakan kincir. Sedangkan oksigen tinggi terjadi pada siang
hari waktu poses fotosintesis oleh fitoplankton sedang berlangsung. Kisaran
kandungan oksigen yang diperoleh masih dalam batas yang dapat ditolerir oleh
organisme perairan seperti zooplankton. Menurut Pescod (1973) bahwa organisme
akuatik dapat hidup pada kadar oksigen terlarut lebih 2 ppm.
Hasil pengamatan pH air media percobaan untuk semua perlakuan berkisar
7,7-9,5 masih layak untuk pertumbuhan plankton. Odum (1971) menyatakan bahwa
perairan dengan pH antara 6-9 merupakan perairan dengan kesuburan yang tinggi dan
tergolong produktif karena memiliki kisaran pH yang dapat mendorong proses
pembongkaran bahan organik yang ada dalam perairan menjadi mineral-mineral yang
dapat diasimilasikan oleh fitoplankton. Menurut Effendi (2003) sebagian besar biota
akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5.
Unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan insur hara utama yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan fitoplankton , sehingga merupakan factor pembatas bagi
fitoplankton. Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan fitoplankton adalah dalam bentuk
N-NO3 dan NH4, sedangkan fosfor dalam bentuk ortofosfat (PO4-P). Konsentrasi nitrat
yang diperoleh pada masing-masing perlakuan adalah perlakuan A = 0,052-0,79 ppm,
Perlakuan B = 0,003-0,93 ppm, perlakuan C = 0,012-0,90 ppm dan perlakuan D =
0,01-0,67 ppm. Menurut Mackentum (1969) untuk pertumbuhan optimal fitoplankton
memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 ppm. Secara umum semua perlakuan memiliki
kandungan nitrat rendah diduga karena telah dimanfaatkan oleh fitoplankton yang
memiliki nilai kelimpahan lebih tinggi. Konsentrasi fosfat yang diperoleh selama
penelitian pada semua perlakuan tergolong rendah sampai sedang yakni masing-
masing pada perlakuan A = 0,027-0,213 ppm, perlakuan B = 0,034-0,143 ppm,
perlakuan C = 0,008-0,124 ppm, dan perlakuan D = 0,009-0,126 ppm. Berdasarka

Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton B2-53


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan posfat untuk mendukung


pertumbuhan plankton lebih tinggi pada perlakuan A dibanding dengan perlakuan
lainnya. Secara umum hasil analisis posfat pada semua perlakuan dengan
menggunakan pupuk organik masih rendah untuk pertumbuhan optimal plankton,
khususnya fitoplankton. Menurut Bruno et al., 1979 dalam Widjaja et al., (1994)
bahwa pertumbuhan optimal fitoplankton dibutuhkan kandungan ortofosfat 0,27-5,51
ppm.
Bahan organik merupakan parameter kualitas air yang menentukan kesuburan
perairan. Hasil pengamatan kandungan bahan organik total untuk semua perlakuan
selama penelitian berkisar 25,98-52,68 ppm. (Tabel 2). Menurut Reid (1961) dalam
Amin et al. (1994) bahwa perairan dengan kandungan bahan organik melebihi 26 ppm
merupakan perairan yang subur. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik dalam tambak percobaan dapat menunjang pertumbuhan
plankton.

Tabel 2. Kisaran kualitas air pada tiap perlakuan

Perlakuan
Peubah kualitas air
A B C D
Suhu (oC) 27-30,1 27,8-29,9 27-30,9 27,1-30,3
Salinitas (ppt) 7,43-29 6,9-30 7,0-30 6,9-30
pH 8-9,5 7,7-9,0 7,9-9,9 7,8-9,0
Alkalinitas (mg/L) 111,46-188,1 110,07-209 114,25-179,6 103,1-179,7
Oksigen terlarut 3,36-5,2 3,2-5,13 2,5-5,4 2,9-5,1
(mg/L)
NO2-N ( mg/L 0,009-0,082 0,014-0,043 0,017-0,48 0,02-0,04
NO3-N (mg/L) 0,052-0,79 0,003-0,93 0,012-0,90 0,02-1,003
NH3-N (mg/L) 0,003-0,58 0,028-0,76 0,035-10,83 0,01-0,67
BOT (mg/L) 28,02-50,64 25,98-52,14 28,99-49,44 27,71-52,68
PO4-P (mg/L) 0,027-0,213 0,034-0,143 0,008-0,124 0,009-0,126
SiO2 (mg/L) 0,010-0,36 0,009-0,36 0,014-0,41 0,009-0,55

KESIMPULAN
1. Jumlah jenis dan individu plankton tertinggi diperoleh pada perlakuan A dan
terendah pada perlakuan C.
2. Perolehan Fitoplankton didominasi oelh Kelas Bacillariophyceae dan zooplankton
didominasi oleh Kelas Krustacea
3. Fitoplankton yang memiliki individu tertinggi adalah jenis Nitzschia dan Navicula,
sedangkan zooplankton adalah jenis Kopepoda dan Acartia.

DAFTAR PUSTAKA
Amin,M., S. Amini dan Suwardi. 1994. Pengaruh beberapa jenis pupuk dan dosis
pupuk organik terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu,
Penaeus monodon pada bak tewrkontrol. Risalah Seminar Hasil Penelitian
Budidaya Pantai. Hal 43-49.
Amin, M. 2010. Dinamika plankton pada budidaya udang windu (Penaeus monodon
Fabricius) yang menggunakan jenis pupuk organik di tambak. Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan

B2-54 Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Perikanan Budidaya. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan


Perikanan. Hal. 837-844.
APHA (AmericanPublic Health Association) 2005. Standard method for examination of
water and waste water. APHA, 800 I Street, New York. p.10-167.
Basmi, H.J. 2000. Planktonologi : Plankton sebagai bioindikator kualitas perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 60 hlm.
Boyd, C.E., 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculural
Experiment Station Auburn Uniersity. Brimington Publishing Co. Alabama.
Dawes, C. J., 1981. Marine Botany A Willey Interscience Publ. 628 pp.
Lagendre, L. and Lagendre. P. 1983. Numerical Ecology. Elsiver Scientific Publ. Co.
New York. p.419.
Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. Unied States
Departemen of Interior. Federal Water Pollution Control Administration Devision
of Technical Support.
Masson, C.V., 1981. Biology of Water Pollution. Longman Scientific and Technical
Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd. Singapore. p..351.
Neell, G.E. and Newell. R.C. 1977. Marine Plankton a Practical Guide 5 th.
Edition.Hutchinson of London. 244p.
Odum, E.P., 1971. Fundamenal Ecology. Third Edition. W.B. Saunders, Co.
Philadelphia. London. p..574.
Praseno, D. P., 1976. Kesuburan Perairan Indonesia. Pewarta Ocean. LON-LIPI
Jakarta. Tahun 3, No. 3. Hal : 7-12.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and standard for tropical
countries. Environmental Engineering Division. AIT Bangkok. 59 hal.
Raynolds, C.S., Tundisi, J.G and Hino, K. 1984. Observation on a Metalimnetic
Phytoplankton Population in A Stably Stratiffied Tropical Lake. Arch. Hydrobyol.
Argentina, 97 : 7 – 17.
Setyamidjaya, D.M. 1986. pupuk dan Pemupukan. Penerbit CV. Simplex Jakarta.
Stirn, J., 1981. Manual Methods in Aquatic Environment Research . Part 8. Ecological
Assessment of Pollution Effects. FAO, Rome. 70 p.
Syarif, E. S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanain. Penerbit Pustaka
Buana. Bandung.
Widjaya, F. Sugiarti Suwingnyo, Fredinan Yulianda dan Hefni Effendi. 1994. Komposisi
jenis, Kelimpahan dan Penyebaran Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa
Barat. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Yamaji, I., 1976. Illustration of the marine plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co.
Ltd. 369 p.

Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton B2-55


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel Lampiran 1. Sususnan jenis plankton setiap perlakuan

Perlakuan
A B C D
Fitoplankton
Amphora X - - -
Anabaena X - - -
Bacteriastrum X - - -
Centropyxis - - X -
Cerataulina X - - -
Ceratium - X - -
Chaetoceros - - X X
Crococcus - X - -
Coscinodiscus - X X X
Cyclotella - - - X
Elakatotrix - - - -
Eutreptia - - X X
Gyrosigma X - - X
Lemanea X - - -
Navicula X X X X
Nitzschia X X X X
Oscillatoria X X X X
Pleurosigma X X X X
Polydora X X - X
Protoperidinium - X - -
Skeletonema - X X -
Thallasionema X X X X
Zooplankton
Acartia X X X x
Apocyclopas X X - x
Brachionus X X - x
Copepoda X X X x
Labidocera X X X x
Microsetella - - - x
Nitocra - - - -
Oithona X X X X
Onychocamptus X X - -
Schmackeria X X X X
Temora X X - X
Tortanus x x x x

Keterangan : X = Ada
- Tidak ada

B2-56 Machludin A, Burhanuddin: Komposisi dan Kelimpahan Plankton


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

UPAYA PENURUNAN TINGKAT KANIBALISME


UDANG WINDU (Penaeus monodon)
DENGAN PENAMBAHAN DOSIS SUPLEMASI TRIPTOFAN
YANG BERBEDA

Suharyanto

Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air payau


Jln. Makmur Dg. Sitakka no. 129 Maros 90512 Sulawesi Selatan
E-mail: yanto@kkp.go.id

Abstrak: Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino esensial yang
berfungsi sebagai prekusor serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT). Injeksi
serotonin pada ikan karnivora, dapat menghambat sifat agresif diantaranya
kanibalisme.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi
tentang dosis yang tepat triptofan yang dicampur dalam pakan rucah (Sardinella
sp) dan pengaruhnya terhadap tingkat kanibalisme udang windu (Penaeus
monodon). Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium basah Instalasi tambak
percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maranak, Maros selama 28
hari. Wadah percobaan adalah akuarium berukuran 60 x 40 x 40 cm sebanyak 12
buah. Tokolan udang windu yang digunakan untuk penelitian ini, berukuran 1,4 ±
0.1 cm panjang dan bobot rata-rata adalah 0,01 ± 0.01 g, Setiap akuarium
ditebar tokolan udang windu sebanyak 25 individu. Perlakuan yang di aplikasikan
adalah dosis triptofan yang berbeda dan dicampur dalam pakan rucah sebanyak
(A): 0 %, (B): 0,5 %, (C): 1,0 % dan (D): 1,5 % dari total biomass masing-masing
dengan 3 ulangan. Data tingkat kanibalisme, pertumbuhan dan laju sintasan
dianalisis menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak lengkap
(RAL). Selama penelitian diberi makan 2 kali sehari dengan dosis 15 % dari total
biomass. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kanibalisme terendah
didapatkan pada penambahan 1,5 % tryptophan (4,0 ± 1,4%) dan berbeda nyata
(P<0,05) dengan kontrol (12,4 ± 2,3%). Sintasan tertinggi didapatkan pula pada
penambahan 1,5 % tryptophan (79,0 ± 3,0%) dan tidak berbeda nyata (P>0,05)
dengan kontrol (69,2 ± 1,3%). Sementara itu laju pertumbuhan udang windu
relatif sama diantara perlakuan dan tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan
hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa penambahan 0,5 - 1,5 % triptofan dalam
pakan rucah dapat menekan tingkat kanibalisme dan meningkatkan kelangsungan
hidup udang windu selama penelitian.

Kata Kunci: Triptofan, Kanibalisme. Udang windu

PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan satu di antara komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Beberapa tahun terakhir produksi udang
windu mengalami penurunan secara drastis disebabkan serangan penyakit. Di Sulawesi
Selatan banyak tambak-tambak udang windu yang tidak berproduksi lagi dan
ditinggalkan oleh pemiliknya, akibat wabah penyakit yang belum teratasi. Selain
penyakit kegagalan budidaya udang windu juga disebabkan karena kanibalisme
terutama pada budidaya udang windu secara tradisional yang tidak mengindahkan
prinsip budidaya satu diantaranya adalah persiapan tambak dan pemberian pakan.

Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme B2-57


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Persiapan tambak yang kurang baik mengakibatkan lingkungan tambak kurang


mendukung kehidupan udang, sedangkan pemberian pakan yang tidak tepat
mengakibatkan kanibalisme.
Udang windu termasuk dalam kelas krustase (rajungan, kepiting, dan
kelomang) yang pada umumnya secara ekologis memiliki peran dalam proses
ekosistem (Dahuri, 2004). Pada umumnya jenis hewan yang tergolong ke dalam
krustase mempunyai sifat kanibalisme yang cukup tinggi. Sifat kanibalisme pada
umumnya berhubungan dengan genetik dan kebiasaan hidup. Perbedaan ukuran yang
ada dalam kelompok karena variasi genetik menjadi penyebab utama. Di sisi lain
kebiasaan tersebut ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti ketersediaan pakan, tipe
makanan, komposisi nutrisi pada pakan, populasi, densitas, intensitas cahaya, adanya
naungan dan kejernihan. Metode meminimasi kanibalisme diantaranya adalah dengan
memanipulasi tingkat kekenyangan, frekuensi pemberian pakan yang optimal,
distribusi pakan, penentuan jenis pakan yang disukai. Pada penelitian yang sudah
dilakukan diketahui bahwa finfish, Lagodon rhomboids sangat sensitive pada Glysin ,
Tilapia zilii sangat sensitive pada alkaline dan asam amino netral (Adams et al, 1996).
Pada hewan vertebrata, peningkatan aktivitas serotonergic otak menyebabkan
penghambatan terhadap sifat agresif (Winberg dan Nilsson, 1993; Young, 1996). Pada
teleostei, Munro (1986); Maler dan Ellis (1987) menemukan bahwa injeksi serotonin
(5-hydroxytryptamine, 5-HT) menghambat sifat agresif pada ikan cichlid, Aequidens
pulcher, dan ikan knifefish, Apteronotus leptorhynchus.
Triptofan merupakan salah satu jenis asam amino esensial yang berfungsi
sebagai precusor 5-HT (Leathwood, 1987). Pada mamalia dan burung suplementasi
triptofan dalam pakan dapat meningkatkan sintesis 5-HT dalam otak (Fernstrom dan
Wurtman, 1971): Leathwood, 1987: Denbow et al., 1993) dan dapat menurunkan
tingkat agresifnya (Chamberlain et al., 1987); Shea et al., 1991; Cleare dan Bond,
1995; Savory et al., 1999). Penggunaan triptofan untuk rajungan dan kepiting bakau
Dari informasi di atas maka perlu penelitian tentang penggunaan triptofan dalam
meminimalisasi tingkat kanibalisme pada tokolan udang windu, terutama dosis yang
tepat triptofan yang diberikan dalam pakan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
laju sintasan dalam pembesaran udang windu di tambak. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang dosis yang tepat triptofan yang
dicampur dalam pakan ikan rucah yang diberikan dan untuk mengurangi tingkat
kanibalisme Udang windu (Penaeus monodon) yang dipelihara.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di laboratorium basah Instalasi Tambak Penelitian Balai
Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan selama 28 hari mulai
tanggal 27 Mei sampai dengan 6 Juli 2009. Perlakuan yang diaplikasikan adalah dosis
triptofan yang dicampur dalam pakan ikan rucah dari jenis ikan sibula (Sardinella sp)
sebanyak (A): 0% dari total biomass, (B): 0,5 % , (C): 1,0 % dan (D): 1,5 % dari
total biomass, masing-masing dengan 3 kali ulangan.
Wadah penelitian yang digunakan adalah 12 akuarium ukuran 60 x 40x 40 cm
yang diisi air sebanyak 30 liter, dengan pergantian air setiap 1 minggu sekali sebanyak
50 %. Pada dasar akuarium diberi selter berupa waring berukuran 15 x 40 cm, diikat
bagian tengahnya sehingga berbentuk seperti kupu-kupu, masing-masing akuarium
diberi selter sebanyak 2 buah. Pemberian pakan dilaksanakan 2 kali sehari yakni pagi
dan sore hari dengan dosis 15 % dari total biomass udang windu.

B2-58 Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Hewan uji yang digunakan adalah benih udang windu PL-10 yang ditokolkan
terlebih dahulu pada tambak ukuran 10 x 5 m selama 25 hari. Tokolan udang windu
yang digunakan untuk penelitian ini berukuran 1,4 ± 0.1 cm panjang dan bobot rata-
rata adalah 0,01 ± 0.01 g, dan ditebar dalam setiap akuarium pemeliharaan dengan
kepadatan 25 ekor.
Sampling dilakukan tiap 7 hari selama 28 hari yaitu pertumbuhan meliputi
panjang dan bobot dengan cara mengambil 10 individu udang windu menggunakan
seser. Pertumbuhan lebar karapas diukur dengan menggunakan mistar dengan
ketelitian 0,1 mm. Selanjutnya pertumbuhan berat diukur dengan timbangan digital
(AND GF 1200) dengan ketelitian 0,1 g. Laju pertumbuhan berdasarkan rumus dari
Zonneveld et al., (1991) sebagai berikut:

Gr: {(Wt-Wo)/(t)}

Keterangan: Gr : laju bertumbuhan (g/hari)


Wt : berat pada akhir percobaan (g)
Wo : berat pada awal percobaan (g)
T : lama percobaan (hari)

Laju sintasan dihitung pada akhir penelitian, dengan cara menghitung jumlah
yang hidup pada masing-masing perlakuan. Laju sintasan tokolan udang windu
dihitung berdasarkan rumus dari Effendi (1979) sebagai berikut:

S:Nt/Nox100 %

Keterangan: S : laju sintasan (%),


Nt : jumlah pada akhir percobaan (ekor),
No : jumlah pada awal percobaan (ekor).

Untuk menghitung tingkat kanibalisme maka setiap hari dilakukan pencatatan


tentang penyebab kematian udang windu baik karena kanibalisme maupun karena
mati alami. Tingkat kanibalisme dihitung berdasarkan rumus dari Hseu et al., (2003)
sebagai berikut:

KA - KH - KMBAK
TK = ---------------------- x 100
KA

Keterangan: TK : tingkat kanibalisme (%)


KA : jumlah krablet awal (ekor)
KH : jumlah krablet tersisa /hidup (ekor)
KMBAK : jumlah krablet mati bukan akibat kanibalisme (ekor)

Data petumbuhan mutlak, pertumbuhan harian, laju sintasan dan tingkat


kanibalisme udang windu yang diperoleh dihitung dan diuji dengan analisis ragam
dengan pola rancangan acak lengkap (RAL). Parameter kualitas air meliputi: suhu air,
pH, salinitas, O2 terlarut, NH3-N, NO2-N, dan BOT, diukur setiap 10 hari. Data yang
diperoleh dibahas secara deskriptif.

Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme B2-59


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan selama 4 minggu pengaruh penambahan triptofan dalam
pakan ikan rucah terhadap tingkat kanibalisme, laju sintasan, dan pertumbuhan
tokolan udang windu tersaji pada Tabel 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tingkat kanibalisme udang windu tertinggi terjadi pada perlakuan penambahan 0%
dan 0,5% triptofan, masing-masing sebesar 12,4 ± 2,3 % dan 6,8 ± 3,4%, perlakuan
1,0% sebesar 5,6 ± 1,6% sedangkan yang terendah terjadi pada perlakuan
penambahan triptofan sebanyak 1,5 % dalam pakan sebesar 4.0 ± 1,4 %. Dengan
demikian, tampaknya penambahan 0,5 - 1,5 % triptofan dalam pakan ini dapat
menekan tingkat kanibalisme udang windu walaupun hasilnya tidak berbeda nyata
dengan kontrol (P>0,05). Hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan
dengan dosis triptofan yang diberikan pada ikan kerapu jenis, Epinephelus coioides,
Hseu et al., (2003) melaporkan bahwa penambahan 0,5% triptofan dalam pakan
sudah dapat menurunkan tingkat kanibalisme ikan tersebut secara nyata dibandingkan
yang tidak diberi tambahan triptofan. Kemudian Kamaruddin et al., (2006),
melaporkan dosis penambahan triptofan 1 % kedalam pakan untuk ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dapat menurunkan tingkat kanibalisme ikan tersebut.
Adanya sedikit perbedaan hasil dari kedua penelitian ini dapat disebabkan oleh
perbedaan jenis ikan atau akibat perbedaan formulasi pakan. Triptofan merupakan
salah satu jenis asam amino essensial yang penting bagi pertumbuhan ikan, selain itu
triptophan juga merupakan precursor untuk sintesis serotonim dalam otak. Semakin
tinggi konsumsi triptofan oleh ikan, maka cenderung produksi serotonim dalam
otaknya juga meningkat (Hseu et al. 2003). Munro (1986) dan Maler & Ellis (1987)
melaporkan bahwa semakin tinggi kadar serotonim dalam otak, maka tingkat agresif
ikan cenderung menurun. Pada penelitian ini dapat diperkirakan bahwa agresifitas
udang windu cenderung menurun dengan adanya penambahan triptofan sebanyak 0,5-
1,5% dalam pakan.

Tabel 1. Pertumbuhan bobot, laju sintasan dan tingkat kanibalisme tokolan udang
windu selama percobaan

Perlakuan dosis triptofan


Variabel
A(0 %) B (0.5 %) C (1.0 %) D (1.5 %)
Bobot awal (g) 0,01 ± 0,01 0,01 ± 0,01 0,01 ± 0,01 0,01 ± 0,01
Rata-rata bobot akhir 0,15 ± 0,04 a
0,13 ± 0,02 a 0,11 ± 0,01 a
0,11± 0,01 a
(g)
Pertambahan bobot 0.14 ± 0,03 a 0,12 ± 0,01a 0,10 ± 0,01 a
0,10 ± 0,01 a

mutlak (g)
Laju sintasan (%) 69,2 ± 1,3 a 77,2 ± 1,2 a 74,4 ± 2,9 a 79,0 ± 3,0 a

Tingkat kanibalisme (%) 12,4 ± 2,3 a 6,8 ± 3,4 b 5,6 ± 1,6 b 4,0 ± 1,4 b
*Nilai yang diikuti superscript serupa dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05)

Menurut pengamatan Van Damme et al., (1989), pada larva dan juvenil ikan
mas, Cyprinus carpio, korban kanibalisme dapat dibedakan menjadi 2 tipe: kanibalisme
tipe I, yaitu korban dimangsa hanya pada bagian ekor dan badan saja sementara
bagian kepalanya dibuang, Kanibalisme tipe II yaitu, mangsa dimakan bisa mulai dari
kepala (IIa) atau dari ekor (IIb) lalu ditelan dan dicerna (IIa). Pada pengamatan di
krablet rajungan ini, umumnya ditemukan kanibalisme tipe I. udang windu yang lebih
besar dan sehat selalu mengalahkan dan memangsa yang lebih kecil dan lemah. Hal
yang sama juga dilaporkan pada ikan kerapu lumpur (Hseu et al. 2003). Tetapi

B2-60 Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

kadang-kadang mangsa yang diterkam dari arah ekor, ada yang dapat melepaskan
diri, namun umumnya telah mengalami luka sehingga tidak mampu bertahan hidup
lama. Namun Hseu et al., (2003) melaporkan bahwa pada ikan kerapu Epinephelus
coioides tidak ditemukan adanya ikan mati karena luka akibat bekas gigitan. Hal ini
bisa terjadi karena ukuran ikan pada penelitian tersebut relatif lebih besar daripada
yang dipakai oleh Hseu et al., (2003). Pada penelitian ini, juga sering ditemukan
antara mangsa dan pemangsa mati bersama, dan ini umumnya terjadi jika ukuran
udang windu hampir sama mereka terlihat saling menjepit.
Laju sintasan udang windu tertinggi pada penelitian ini didapatkan pada
perlakuan penambahan triptofan 1,5 % sebesar 79,0 ± 3,0%, selanjutnya perlakuan
0,5% triptofan sebesar 77,2±1,2%, 1,0% triptofan sebesar 74,4 ± 2,9% dan 0%
sebesar 69,2 ± 1,3% walaupun hasilnya tidak berbeda nyata (P>0,05) Hal ini
menunjukan bahwa tingkat kanibalisme udang windu masih cukup tinggi terutama
pada perlakuan kontrol. Secara umum, laju sintasan udang windu yang diperoleh pada
penelitian ini relatif rendah, hal ini disebabkan selama penelitian berlangsung tidak
dilakukan pengelompokan ukuran (size grading). Kematian udang windu tertinggi 10-
15% pada setiap bak perlakuan terjadi pada minggu pertama peneltian, di mana peran
triptofan dalam pakan yang dimakan belum optimal. Hal yang relatif sama juga
dilaporkan oleh Hseu et al. (2003) dan Kamaruddin et al., (2006). Rendahnya laju
sintasan pada setiap perlakuan juga sebagai akibat dari kandungan nitrit yang cukup
tinggi (Tabel 2), yakni sebesar 0,2874±0,4773 - 0,4674±0,3727 mg/L, menurut
Schmittou (1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stress pada
organisme akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan
kematian. Dengan konsentrasi nitrit yang cukup tinggi tersebut udang windu sebagian
besar mengalami stres, karena stres aktifitas kehidupannya juga mengalami gangguan.
Penambahan triptofan dalam pakan ikan rucah ini hingga 1,5 % belum
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot udang windu
(P>0,05) dan masih relatif sama dengan pakan kontrol (tanpa penambahan
triptophan). Sementara Hseu et al., (2003) melaporkan hasil bahwa juvenil ikan
kerapu E. coioides yang diberi tambahan triptofan 1% dalam pakannya cenderung
memiliki ukuran ikan yang lebih kecil dibandingkan tanpa penambahan triptofan. Pada
pengamatan yang dilakukan oleh Hseu et al. (2003) menunjukkan penambahan
triptofan hingga 1% dalam pakan cenderung menurunkan konsumsi pakan juvenil ikan
kerapu E. coioides. Sementara pada penelitian ini, jumlah konsumsi pakan udang
windu masih cenderung relatif sama diantara perlakuan, kecuali pada perlakuan
dengan penambahan 0,5% triptofan relatif lebih rendah, namun konsumsi pakan
meningkat lagi pada penambahan triptofan 1%. Fenomena ini belum diketahui dengan
jelas.

Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme B2-61


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

0,16

0,14
0,12

0,1
Bobot (g)

0,08

0,06
0,04

0,02
0
Awal 7 14 21 28
Waktu pemeliharaan (hari)

Gambar 1. Pertumbuhan bobot udang windu selama penelitian.


Keterangan: Perbedaan dosis triptofan yang berbeda ♦: 0%, ■ : 0,5%,
▲: 1,0%, ▄ : 1,5%

Hasil pegukuran kualitas air tersaji pada Tabel 2, unsur nitrogen dalam suatu
perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Hasil
pengukuran unsur tersebut menunjukan bahwa kandungan nitrit cukup tinggi yakni
0,2874±0,4773 - 0,4674±0,3727 mg/L. Tingginya kandungan nitrit disebabkan tidak
termanfaatkannya nitrit tersebut oleh fitoplankton karena kurangnya sinar matahari
yang masuk ke dalam bak-bak penelitian, sehingga proses fotosistesis terganggu.
Padahal kandungan nitrogen sangat diperlukan karena unsur nitrogen dalam suatu
perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Menurut
Schmittou (1991), konsentrasi nitrit dalam suatu perairan tidak boleh melebihi 0,1
mg/L, jika melebihi dari 0,1 mg/L maka proses metabolisme organisme tersebut akan
terganggu.
Kandungan amoniak pada masing-masing perlakuan yang tersaji pada Tabel 2,
masih dalam batas kewajaran bagi kehidupan rajungan. Kandungan amoniak pada
penelitian ini cukup rendah, amoniak yang timbul dalam penelitian ini berasal dari
kotoran udang windu yang dikeluarkan dari tubuhnya. Menurut Boyd (1990), Amoniak
di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa
nitrogen. Menurut MENLH., (2004), kandungan amoniak air laut untuk biota laut
adalah 0,3 mg/L. Lebih dari 0,3 mg/L sudah bersifat toksik. Boyd (1990) menyatakan,
bahwa kandungan amoniak meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amoniak oleh
ikan menurun dan kandungan amoniak dalam darah serta jaringan meningkat.
Hasilnya adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis
enzim dan stabilitas membran. Amoniak tinggi di dalam air juga meningkatkan
konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah
untuk mengangkut oksigen. Sedangkan suhu, pH, dan oksigen terlarut masih dalam
kisaran yang layak untuk kehidupan rajungan.

B2-62 Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air harian pada masing-masing


perlakuan selama penelitian

Perlakuan dosis triptofan


Peubah
A (0 %) B (0.5 %) C (1.0 %) D (1.5 %)
Suhu Co
27,4±0,3 27,4±0,2 27,6±0,7 27,6±0,6
DO (mg/L) 5,3±1,0 4,7±1,4 5,0±1,4 5,2±1,0
pH 8,0±0,0 7,9±0,1 7,9±0,1 7,9±0,1
Sal (‰) 30,4±0,5 30,5,5±0,4 30,2±0,9 30,2±0,9
NO2 (mg/L) 0,2874±0,4773 0,4674±0,3727 0,3700±0,3227 0,4537±0,4502
NH3 (mg/L) 0,0441±0,0346 0,0927±0,0647 0,0555±0,0565 0,0639±0,0997
BOT (mg/L) 27,57±5,7 28,01±5,10 27,16±6,29 27,97±5,47

Hasil pengukuran bahan organik total (BOT), berkisar antara 27,16±6,29 -


28,01±5,10 mg/L. Bahan organik total di perairan dapat berupa bahan organik hidup
(Seston) dan bahan organik mati (tripton dan detritus). Menurut Koesbiono (1981),
bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai
sumber bahan organik essensial bagi organisme perairan. Sedangkan menurut Reid
(1961), perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah
tergolong perairan yang subur. Hal ini terlihat bahwa pada pagi hari banyak kepiting
rajungan yang bersembunyi dibalik selter selter waring sambil memakan organisme
penempel yang terdapat pada selter tersebut. Dari hasil pengamatan kualitas air pada
masing-masing bak perlakuan, maka dapat dikategorikan cukup memenuhi syarat
untuk pembesaran kepiting rajungan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Penambahan asam amino triptofan dalam pakan ikan rucah sebanyak 0,5 – 1,5
% dari total biomass, dapat menekan tingkat kanibalisme udang windu tanpa
mempengaruhi laju pertumbuhan dan dapat meningkatkan laju sintasan pada udang
windu selama pemeliharaan.
SARAN
Disarankan perlu penelitian lebih lanjut, untuk melihat pengaruh asam amino
triptofan terhadap pertumbuhan dan sintasan udang windu yang dibudidayakan di
tambak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Diucapkan terima kasih kepada Sdr. Zainal, Kurniah dan Haryani teknisi dan
analis Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau yang telah banyak membantu dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian dan analisis kualitas air.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, C.F. , N.R. Liley and B.B.Gorzalka 1996. PCPA increases aggression in male
firemouth cichlids. Pharmacology 53: 328-330.

Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme B2-63


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Chamberlain, B., F.R. Ervin, R.O. Pihl, and S.N. Young. 1987. The effect of raising or
lowering tryptophan levels on aggression in vervet monkeys. Pharmacol.
Biochem. Behav. 28:503-510.
Cleare, A.J., Bond, A.J., 1995. The effect tryptophan depletion and enhancement on
subjektive and behavioural aggression in normal male subjects.
Psychopharmacology 118, 505-511.
Dahuri, R., 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu.
Penerbit Praduga Paramita. Jakarta. 328 pp.
Denbow, D..M., Hobbs, F.C., Hylet, R.M. Graham, P.P., Potter, L.M., 1993.
Supplemental dietary L-tryptophan effects on growth, meat quality, and brain
catecholamine and indoleamine concentrations in turkey. Br. Poult. Sci 34, 715-
724.
Fernstronm, J..D., Wurtman, R.J., 1971. Brain serotonin content: physiological
dependence on plasma tryptophan levels. Science 173, 149-152.
Hseu, J.R., F.I. Lu, H.M. Su, L.S. Wang, C.L. Tsai, P.P. Hwang., 2003. Effect of
exogenous triptophan on cannibalism, survivaland growth in juvenile grouper.
Taiwan Fishseries Research Institute, Tainan Branch, Tainan, Taiwan.
Aquaculture 12, 251-264.
Juwana, S. 2002. Crab culture technique at RDCO-LIPI, Jakarta, Indonesia 1994 –
2001. Proceedings Workshop on Mariculture in Indonesia. Mataram, Lombok
Island. Research Center for Oceanogrphy, Institute of Marine Research
Norwegian Bergen – Norway. 144 pp.
Kamaruddin, Usman, dan Rachmansyah. 2006. Pengaruh penambahan triptopan
terhadap tingkat kanibalisme, sintasan dan pertumbuhan juwana ikan kerapu
macan, Epinephelus fuscoguttatus. Makalah disampaikan dalam seminar nasional
dan temu bisnis ikan kerapu di Den Pasar Bali Tanggal 21-22 November 2006. 10
pp.
Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanaian Bogor.
Bogor. 150 pp.
Leathwood, P.D., 1987. Tryptophan availability and serotonin synthesis. Proc. 46,
143-156.
Maler, L., and Ellis, W.G., 1987. Inter-male aggressive signals in weakly electric fish
are modulated by monoamines. Behav. Brain. Res. 25, 75-81.
Munro, A.D., 1986. Effects of melatonin, serotonin, and naloxone on aggression in
isolated cichlid fish (Aequiidens pulcher). J. Pineal Res. 3, 257-262.
Reid, G.K. 1961. Ecology of Inland water estuaries. Rein hald Published Co. New
York. 375 pp.
Savory, C.J. Mann, J.S., Macleod, M.G., 1999. Incidence of pecking damage in
growing bantams in relation to food form, group size, stocking density, dietary
tryptophan concentrations and dietary protein source. Br. Poult. Sci. 40, 579-584.
Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di
Indonesia. FRDP. Puslitbang Perikanan. Jakarta. Indonesia. 126 pp.
Shea, M.M., Douglass, L.W., Meneh, J.A., 1991. The intraction of dominance status
and supplemental triptophan on aggression in Gallus domesticus males.
Pharmacol. Biochen. Behav. 38, 587-591.
Suharyanto dan S. Tahe. 2005. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan
dan sintasan kepiting rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. Laporan
Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. 11 pp.

B2-64 Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Supriatna, A. 1999. Pemeliharaan larva rajungan (Portunus pelagicus) dengan waktu


pemberian pakan artemia yang berbeda. Dalam Sudradjat et al (Eds) Prosiding
seminar nasional penelitian dan diseminasi tekologi budidaya laut dan pantai,
Jakarta. 2 Desember 1999. Hal 168 – 172.
Susanto, B., M. Marzuki, I. Setyadi, D. Syahidah, G.N. Permana, dan Haryanti. 2005.
Pengamatan aspek biologi rajungan (Portunus pelagicus), dalam menunjang
teknik perbenihannya. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10(1): 6-11.
Van Damme, P., Appelbaum, S., Hecht, T., 1989. Sibling cannibalism in koi carp,
Cyprinus carpio L., larva and juveniles reared under controlled coditions. J.
World Aquac. Soc. 27, 323-331.
Winberg, S., Nilsson, G.E., 1993. Roles of brain monoamine neurotransmitters in
agonistic behaviour and stress reactions, with particular reference to fish. Comp.
Biochem. Physiol., C 106, 597-614.
Young, S.N., 1996. Behavioral effects of dietary neurotransmitter precursor, basic and
clinical aspects. Neurosci. Biobehav. Rev. 20, 313-323.

Suharyanto: Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme B2-65


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

DINAMIKA KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA POLIKULTUR


UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei),
UDANG WINDU (Penaeus monodon)
DAN RUMPUT LAUT (Gracillaria verrucosa) DI TAMBAK

Abdul Mansyur dan Brata Pantjara

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau


Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

Abstrak: Kualitas air mempunyai dampak terhadap pertumbuhan udang dan


rumput laut. Tujuan penelitian adalah menelaah dinamika kualitas air pada
budidaya polikultur udang vaname, Litopenaeus vannamei , udang windu ,
Penaeus monodon dan rumput laut, Gracillaria verrucosa di tambak yang
dilakukan di tambak percobaan Punaga Takalar, menggunakan enam petak,
masing-masing berukuran 4000 m 2. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak
Lengkap (RAL), 3 perlakuan dengan ulangan sebanyak 2 kali. Perlakuan yang
diaplikasikan padat penebaran udang vannamei dan udang windu yaitu: A =
Rumput laut 500 kg/petak + vanname 10.000 ek/petak; B = rumput laut 500
kg/petak + udang windu 10.000 ekor/petak ; dan C = rumput laut 500 kg/petak
+ udang windu 5.000 ekor/petak + vannamei 5.000 ekor/petak. Pengukuran
parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan pH
dilakukan secara insitu, sedangkan amoniak, Bahan Organik Total, nitrat, dan
fosfat dilakukan setiap 30 hari. Sampel kualitas air dengan menggunakan botol
sampel kemudian dimasukkan dalam cool box yang berisi es batu dan selanjutnya
dibawa untuk dianalisis di Laboratorium kualitas air, Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau (BalitbangBAP). Data hasil pengamatan
parameter kualitas air di analisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran parameter kualitas air selama
pemeliharaan masih berada pada kisaran yang dapat ditoleransi pada budidaya
polikultur udang vaname, udang windu dan rumput laut meskipun kadar salinitas
sempat mencapai 50 ppt.

Kata Kunci: Kualitas air, polikultur, tambak

PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini budidaya udang windu semakin menurun, baik budidaya dengan
teknologi intensif, semi-intensif mapun tradisional, bahkan hampir semua tambak
udang windu intensif dan semi intensif tidak beroperasi lagi. Tidak beroperasinya
tambak udang intensif berdampak buruk kepada produksi udang nasional yang
semakin menurun, dimana pasokan udang untuk ekspor hanya dipasok dari tambak
udang tradisional yang produksinya sangat rendah.
Permasalahan utama penurunan produksi udang tambak adalah serangan
penyakit, penurunan mutu lingkungan, dan kesalahan dalam penerapan teknologi
(Atmomarsono dan Mansyur. 1997). Disamping itu keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan pembudidaya dan diperkirakan sekitar 80% pembudidaya tambak
tergolong menerapkan teknologi tradisional. Dampak negatif penurunan lingkungan
budidaya dirasakan juga oleh pembudidaya udang tradisional yang juga sering
mengalami kegagalan. Hal ini membawa dampak yang cukup serius terhadap

B2-66 Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

lingkungan budidaya udang windu seperti terganggunya keseimbangan biologis


lingkungan. Terganggunya keseimbangan lingkungan juga dapat disebabkan pola
tanam yang sangat beragam. Dalam pola yang statis beberapa jenis mikroorgaisme
dapat berkembang jauh lebih cepat dari pada jenis lainnya. Apabila jenis tersebut
bersifat patogen dapat mengancam kehidupan hewan yang dibudidayakan.
Untuk mengoptimalkan produktivitas lahan perairan untuk menggairahkan
kembali petani tambak antara lain diversifikasi komoditas pada periode yang sama
misalnya budidaya campuran atau lasim disebut polikultur (Sin, 1980). Pada dasarnya
usaha budidaya campuran merupakan usaha kombinasi dari dua atau lebih
kommoditas yang dapat bersifat kompetitif apabila ketersediaan pakan alami terbatas
(Andreansyah, 1987). Keterbatasan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas tanah
maupun air dan hal tersebut dapat ditingkatkan melalui usaha budidaya campuran dan
pengaturan padat penebaran dengan kata lain polikultur adalah cara untuk
mengoptimalkan produktivitas lahan perairan dalam hal ini memanfaatkan
ruang/relung ekologi secara optimal..
Ada beberapa keunggulan apabila dilakukan polikultur antara lain:a).
mengurangi resiko kegagalan panen, b) meniadakan penggunaan antibiotik, c)
meminimalkan biaya operasional, dan d) perbaikan nilai tambah pembudidaya tambak.
Beberapa peran kehadiran rumput laut dalam polikultur udang vaname dan
udang windu antara lain rumput laut merupakan tumbuhan yang hidup dengan
memakan hara yang terdapat di perairan sekaligus merupakan shelter bagi udang
vannamei dan udang windu. Selain itu dapat meningkatkan produksi oksigen dalam
tambak dan bagian thallus atau batang tanaman rumput laut yang mati dapat
mengakibatkan tumbuhnya klekap sebagai makanan udang. Udang vaname yang
hidup kadang-kadang di dasar dan kadang melayang di dalam air dan udang windu
habitatnya di dasar perairan dapat memanfaatkan pakan alami. Hubungan simbiotik
mutualisme di antara ke tiganya dapat meningkatkan produktivitas lahan yang ada.
Rumput laut, udang vaname dan udang windu baik sebagai komodi ekpor maupun
untuk komsumsi dalam negeri. Selain itu juga merupakan komoditi yang tidak
terpengaruh oleh adanya resesi ekonomi sehingga kegiatan usaha budidaya polikultur
perlu terus dikembangkan untuk menopang kebangkitan usaha masyarakat di
Indonesia.
Keberadaan udang vaname dan udang windu dalam budidaya rumput laut
diharapkan dapat meningkatkan produksi tambak apabila jumlah udang vaname dan
udang windu yang ditebar tidak melebihi kapasitas daya dukung suatu lahan tambak.
Kualitas air mempunyai dampak yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan
udang dan rumput laut. Rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapat
mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan, sintasan dan frekuensi moulting,
serta peningkatan bakteri yang merugikan. Tujuan riset ini untuk menelaah dan
mendapatkan informasi dinamika kualitas air pada budidaya polikultur antara udang
vannamei, udang windu dan rumput laut di tambak

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di tambak percobaan Takalar sebanyak 6 petak tambak
masing-masing berukuran 4000 m2 digunakan dalam penelitian ini. Persiapan petakan
tambak dimulai dengan pengeringan dan pengolahan tanah dasar. Untuk
meningkatkan pH tanah dilakukan pemberian kapur 1 ton /ha. Pakan alami
ditumbuhkan dengan pemupukan Urea sebanyak 150 kg/ha dan TSP sebanyak 75
kg/ha. Selama pemeliharaan dilakukan pemberian pupuk susulan sebanyak 10%

Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya B2-67


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

setiap dua minggu sekali dari pemupukan awal. Pemupukan susulan dilakukan untuk
mempertahankan ketersediaan pakan alami. Penambahan air tambak dilakukan dua
hari sekali. Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Perlakuan yang dicoba dalam penelitian ini adalah padat penebaran udang
vaname dan udang windu yaitu: A = Rumput laut 500 kg/petak dan vanname 10.000
ek/petak; B = rumput laut 500 kg/petak dan udang windu 10.000 ekor/petak; dan C
= rumput laut 500 kg/petak dan campuran udang windu 5.000 ekor/petak dan
vaname 5.000 ekor/petak. Setiap perlakuan yang dicoba di ulang dua kali. Benih
rumput laut diperoleh dari tambak Takalar, sedangkan udang vaname dan udang
windu diperoleh dari panti benih.
Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut
dan pH dilakukan secara insitu, sedangkan amoniak, Bahan Organik Total, nitrat dan
fosfat dilakukan setiap 30 hari. Sampel kualitas air dengan menggunakan botol sampel
kemudian dimasukkan dalam cool box yang berisi es batu dan selanjutnya dibawa
untuk dianalisis di Laboratorium kualitas air, Balai Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya Air Payau (BalitbangBAP). Data hasil pengamatan parameter
kualitas air di analisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik

HASIL DAN BAHASAN


a. Suhu, Salinitas, dan Derajat Kemasaman (pH)
Parameter kualitas air yang penting dipantau antara lain suhu, salinitas, pH,
nitrit, phosphat, bahan organik total (BOT) dan amonia dalam polikultur udang
vaname, udang windu dan rumput laut karena berhubungan dengan proses
metabolisme tubuh udang seperti keaktifan mencari makan, proses pencernaan dan
pertumbuhan. Hasil pemantauan suhu, salinitas dan pH dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 nampak bahwa kisaran suhu pada ke tiga perlakuan relatif sama,
dimana suhu terendah 24.0 0C dan tertinggi pada 300C. Kisaran tersebut masih
berada dalam batas yang optimal bagi kehidupan udang vanamei, udang windu dan
rumput laut. Pillay (1993) menyebutkan bahwa udang dapat bertahan pada kisaran
suhu 22 – 32oC. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada
suhu 28 – 31 0C (Anonim, 2003 ).

Tabel 1. Kisaran rata-rata parameter kualitas air (suhu, salinitas dan pH) selama
penelitian

Perlakuan
Parameter
A B C

Suhu (oC) 24 - 29 25 – 30 24.5 – 29.5

Salinitas (ppt) 34 – 48.5 33 - 50 33 – 49.0

pH 7.5 – 9.0 7.5 – 8.5 7.5 – 8.5


Keterangan :
A = 500 g rumput laut + 10.000 ekor udang vannamei
B = 500 g rumput laut + 10.000 ekor udang windu
C = 500 g rumput laut + 5.000 ekor udang vannamei + 5.000 ekor udang windu

B2-68 Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Hasil pengamatan salinitas air tambak polikultur udang vaname, udang windu
dan rumput laut selama pemeliharaan terlihat bahwa pada petak (A) diperoleh kisaran
salinitas 34-48,5 ppt, petak (B) kisaran salinitas sebesar 33-50 ppt, dan petak (C)
kisaran salinitas sebesar 33–49 ppt, kisaran salinitas pada ke tiga petakan relatif sama
pada konsentrasi salinitas tinggi, Hal ini disebabkan karena masa pemeliharaan
dilakukan pada musim kemarau sehingga meningkatkan penguapan. Suhu yang tinggi
akan menyebabkan salinitas air meningkat, karena terjadi pengentalan akibat
penguapan (Mangampa, et al., 2007). Tingginya salinitas air tambak diduga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang váname,
udang windu dan rumput laut selama pemeliharaan. Udang váname, udang windu dan
rumput laut dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15 – 25 ppt
(Mangampa, et al.,2007). Watanabe (2000) dalam Stickney (2000) mengemukakan
bahwa udang vaname dapat bertahan hidup pada kisaran dari 0–50 ppt. Komoditas
udang memiliki sifat euryhaline yang tinggi dan mampu bertahan pada kisaran
salinitas 0 – 50 ppt dan kisaran suhu 22 – 32oC (Pillay,1993). Kisaran nilai pH air yang
diperoleh pada ketiga petak yaitu petak (A) 7,5 – 9,0, petak (B) 7,5 – 8,5, dan petak
(C) 7,5 – 8,5. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang
pada petak B dan C cukup optimal, dimana standar pH untuk budidaya udang yaitu
7,5 – 8,5 (Anonim, 2003).
Hasil pemantauan suhu dan oksigen selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar
1a dan 1b. Sedangkan hasil pemantauan salinitas dan pH selama 24 jam dapat dilihat
pada Gambar 2a dan 2b.

9
8 32
Suhu air (oC)

7 31
O2 (mg/L)

6 30
5 29
4 28
3 27
2 26
1 25
0
3
3

3
3
AM

3
3
:0
3:0

7:0

1:0

7:0
9:0
1:0

5:0

9:0

3:0
5:0
03

03

3
03

03
03
AM

03

03

03

03
03
:0

11
:00
3:

7:

1:

7:
9:
1:

5:

9:

3:
5:
11
00
3:

:03
:0

Waktu Waktu
11

11

Gambar 1a dan 1b. Hasil pemantauan O2 dan suhu selama 24 jam

49
Salinitas (ppt)

48.5
8.68
8.66 48
8.64
pH

47.5
8.62
8.6 47
8.58
3

3
3

3
3
AM

3
3
3:0

7:0

:0
1:0

7:0
9:0
1:0

5:0

9:0

3:0
5:0
3
03

03

03

03

03
AM

03

03

03

03

03

11
:00
:0
3:

7:

1:

7:

9:
1:

5:

9:

3:

5:
11
00

:03
3:
:0

Waktu
11

Waktu
11

Gambar 2a dan 2b. Hasil pemantauan salinitas dan pH selama 24 jam

b. Amoniak (NH3) ;
Kisaran amoniak pada ketiga perlakuan cukup variatif yang menunjukkan pola
naik turun dan cenderung naik pada masa akhir penelitian. Kisaran amoniak yang

Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya B2-69


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

diperoleh selama penelitian yaitu perlakuan A = 0,0334 mg/L, B = 0,03135 mg/L dan
C = 0,0362 mg/L
Kadar amoniak yang standard untuk budidaya udang vanamei < 0,1 mg/L
(Anonim, 2003). Konsentrasi NH3 lebih dari 1,0 mg/L dapat menyebabkan kematian
udang, sedangkan konsentrasi lebih dari 0,1 mg/L berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan udang (Boyd dan Fast, 1992 dalam Mangampa,et al., 2007). Pola
penyebaran ammoniak ke tiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3

0.1
NH3-N (mg/L)

0.08
NH3-N A
0.06
NH3-N B
0.04
0.02 NH3-N C
0
1 2 3
Waktu (bln)

Gambar 3. Konsentrasi rata-rata NH3 selama penelitian

Menurut Cholik dan Ahmad (1981) bahwa kualitas air terutama amonia
merupakan penyebab yang secara tidak langsung dapat menurunkan sintasan.
Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk udang Penaeus sp adalah di bawah 0,1 mg/L
(Liu, 1989). Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil
udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78;
2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L.

c. Nitrat (NO3 ):
Hasil pengamatan dalam air tambak pada ketiga perlakuan memperlihatkan pola
penyebaran yang hampir sama selama pemeliharan dan masih dapat ditoleransi
dengan rata-rata perlakuan masing masing : A = 0,0117 mg/L, B = 0,0621 mg/L da C
= 0,01625 mg/L . Nitrat adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan alami dan
sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik (algae), sangat mudah larut dalam air
bersifat stabil (Effendi, 2000). Pola penyebaran NO3 dalam perairan ke tiga perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 4. Kadar NO3 pada ketiga perlakuan cukup layak dan
sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh
plankton dalam pertumbuhannya . Menurut Clifford (1994) bahwa konsentrasi NO3
yang optimal untuk budidaya udang berkisar 0,4 -0,8 mg/L.

B2-70 Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

0.08
N03-N (mg/L)
0.06 N03-N A
0.04 N03-N B

0.02 N03-N C

0
1 2 3
Waktu (Bln)

Gambar 4. Konsentrasi rata-rata NO3-N selama penelitian

d. Phosphat:
Konsentrasi phosphat selama penelitian menunjukkan pola penyebaran yang
relatif sama antara ketiga perlakuan (Gambar 5) dengan nilai kisaran rata-rata masing-
masing perlakuan yaitu : A = 0,0407, B= 0,06395 dan C= 0,04505, namun pada bulan
ke dua dan ke tiga sudah menurun walaupun ada pemupukan susulan setiap dua
minggu sekali. Konsentrasi fosfat selama penelitian tergolong tingkat kesuburan
sedang berdasarkan kriteria Joshimura (1983 dalam Effendie, 2000), perairan dengan
tingkat kesuburan rendah kadar fosfatnya berkisar 0 – 0,02 mg/L, tingkat kesuburan
sedang berkisar 0,021 – 0,05 mg/L, dan kesuburan tinggi berkisar 0,051 – 0,1 mg/L.

0.08
PO4-P (mg/L)

0.06 PO4-P A
0.04 PO4-P B
0.02 PO4-P C

0
1 2 3
Waktu (Bln)

Gambar 5. Konsentrasi rata-rata PO4-P selama penelitian

e. Bahan Organik Total (BOT):


Bahan Organik Total (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total
suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid. Hasil
pengamatan kandungan bahan organik total (BOT) yang didapatkan pada perlakuan
A berkisar 9,12-42,28 mg/L, petak B berkisar 7,27-41,38 mg/L dan petak C berkisar
6,34 – 40,03 mg/L (Gbr.6). Kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal
adalah maksimum 15 mg/l, kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat
menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan
udang ( Boyd,1990; Mangampa,et al. 2007). Sedangkan menurut Adiwijaya et al.,
(2003) bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55
mg/L

Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya B2-71


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

50

BOT (mg/L)
40 BOT (mg/L) A
30
20 BOT (mg/L) B
10 BOT (mg/L) C
0
1 2 3
Waktu (bln)

Gambar 6. Konsentrasi rata-rata BOT selama penelitian

Berdasarkan pengamatan BOT yang didapatkan tersebut tergolong layak dalam


proses budidaya udang. Kelayakan kandungan bahan organik terlarut ini diduga
disebabkan oleh ketersediaan oksigen terlarut yang cukup.

Pertumbuhan, sintasan dan produksi rumput laut, udang vaname dan udang
windu

Rumput laut
Laju pertumbuhan Gracillaria verrucosa dengan padat penebaran udang
vannamei dan udang windu yang berbeda. Pada percobaan ini Laju Pertumbuhan
Harian (LPH) pertumbuhan rumput laut selama 50 hari pengukuran antar perlakuan A
= 1,98 %; B = 1,99% dan C = 2,48%. Pertumbuhan yang dicirikan oleh pertambahan
bobot dari penebaran awal dan di ukur setiap 10 hari, mengalami pertumbuhan yang
relatif sama. Pada percobaan ini pertumbuhan rumput laut agak lambat, hal ini
disebabkan adanya perubahan kualitas air yang semakin tinggi khususnya salinitas
yang mencapai 50 ppt.

Udang vaname dan udang windu


Hasil pengamatan pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname dan
udang windu dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa
udang vaname dan udang windu masih dapat tumbuh walaupun pertumbuhannnya
agak lambat. Hal ini diduga karena kualitas air terutama salinitas yang tinggi
mencapai 50 ppt.

Tabel 2. Rata-rata sintasan, pertumbuhan dan produksi udang vaname dan udang
windu pada setiap perlakuan.
Peubah Perlakuan
A B C
Kepadatan (ekor/4000m2) 10.000 10.000 5.000/5.000
Lama Pemeliharaan (hari) 110 110 110
Berat Awal (g) 0,0014 0,15 0,0014/0,15
Berat Akhir (g) 9,83 9,55 10,55/12,45
Pertumbuhan mutlak (g) 9,828 9,4 10,548/12,448
Sintasan (%) 48,85 52,61 54,15/59,61
Produksi (kg/ha) 118,75 127,5 71,25 (udang
vaname) dan 46,125
(udang windu)

B2-72 Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Keterangan:
A = 500 kg rumput laut + 10.000 ekor udang vannamei
B = 500 kg rumput laut + 10.000 ekor udang windu
C = 500 kg rumput laut + 5.000 ekor udang vannamei + 5.000 ekor udang windu

KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kisaran parameter kualitas air pada budidaya polikultur udang vaname, udang
windu dan rumput laut masih berada pada kisaran yang dapat ditoleransi oleh
masing-masing komoditas selama penelitian
2. Pertumbuhan rumput laut, udang vaname, dan udang windu masing-masing
perlakuan agak lambat karena penelitian dilakukan pada musim kemarau dengan
kisaran salinitas mencapai 50 ppt
3. Perlu penelitian selanjutnya tentang pemantauan kualitas air pada kegiatan
polikultur antar komoditas berbeda dan disarankan untuk menghindari kegiatan
penelitian pada musim kemarau yang belum ada sumber air tawarnya.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan sdr Sapar, Ilham, Krisno, selaku
teknisi lapangan dan sdr(i) Sutrisyani, Rohani, Kurnia, Sarijanna, dan Gaffar atas
bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium, untuk itu diucapkan
terima kasih, semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Sapto P.R., E. Sutikno, Sugeng dan Subiyanto, 2003. Budidaya udang
vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara 29hal.
Andreansyah, L. 1987. Peranan masukan sarana produksi dari usaha budidaya
polikultur bandeng-udang windu di desa Karanganyar Kabupaten Sidoardjo, Jawa
Timur. Karya Ilmiah Fak.Perikanan IPB. 66 hal.
Anonim, 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternative budidaya udang saat ini. PT.
Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group) Surabaya. 16 hal.
Atmomarsono, M. dan A. Mansyur. 1997. Shrimp disease outbrek : A result of poor
zonation in coastal area. P. 81-86. in Noor, A. and A. Tahir (Eds). Proceeding,
International Seminar on the sea and its environment, Ujung Pandang
Cholik, F., dan T. Ahmad. 1981. Studi pendahuluan pengaruh starvasi terhadap
pertumbuhan dan produksi udang putih (Penaeus merguensis de Man ). Bulletin
Penelitian Perikanan . Majalah Ilmiah Perikanan Indonesia. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Vol 1 (2) : 209 – 217.
Clifford, H.C., 1994. Management of ponds stocked with Blue Shrimp Litopenaeus
stylirostris. In Print, Proceedings of the 1st Latin American Congress on Shrimp
Culture, Panama City, Panama, 101- 109 p
Effendi, H. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan
perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan , FPIK- IPB. Bogor. 258
hal.

Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya B2-73


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Haliman, R.W., dan D. Adijaya S. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan


Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta.
75 hal.
Lin, Y.C dan J.C. Chen. 2001. Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei
boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1) : 109 – 119
p
Liu, C.I. 1989. Shrimp disease, prevention and treatment. Di dalam: Akiyama D.M,
editor. Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management workshop.
USA:Soybeans, America Soybean Association. 64-74 p.
Mangampa,M., Suwoyo,H.S., dan Rahmansyah. 2007. Dinamika kualitas air pada
budidaya intensif udang vanamei (litopenaeus vannamei) dengan kedalaman air
tambak yang berbeda. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. 17 p
Mc Graw, W.J. and J.Scarpa. 2002. Determining ion concentration for Litopenaeus
vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3) : 36-37.
Sin, W.C.A. 1980. Integrated animal fish husbandry systems in Hongkong with case
studies on duck-fish systems. In: Integrated Aquaculture farming systems. R.S.S
Fullin and Z.H.Shehadon (eds). ICLARM. Manila Philippines, p. 11-128
Suprapto, 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei).
CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hal.
Wyban, J. A dan J.N. Sweeny. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The
Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p

B2-74 Abdul M, Brata P: Dinamika Kualitas Air pada Budidaya


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

STUDI PERTUMBUHAN ABALON TROPIS (Haliotis asinina)


DENGAN MENGGUNAKAN PAKAN BUATAN

Asep Ridwanudin1 dan Dien Arista Anggorowati1


1
UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, LIPI
Teluk Kodek, Desa Malaka, Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara, NTB
e-mail: ase_rid@yahoo.com dan anggorowati.da@gmail.com

Abstrak: Abalon (Haliotis asinina) merupakan jenis gastropoda laut bernilai


ekonomis penting karena memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satu kendala yang
dihadapi dalam budidaya abalon adalah rendahnya laju pertumbuhan dan belum
tersedianya pakan buatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan
abalon (Haliotis asinina) yang diberi pakan buatan dengan perbedaan komposisi
perbandingan sumber protein. Biota yang digunakan adalah anakan abalon
(Haliotis asinina) dengan ukuran rata-rata panjang cangkang 20,10 ± 0,81 mm
dan rata-rata berat 1,42 ± 0,22 gram yang diberikan pakan buatan selama 56 hari.
Perlakuan perbandingan komposisi berbeda yaitu (A) 100% tepung ikan, (B) 75%
tepung ikan : 25% tepung kedelai, (C) 50% tepung ikan : 50% tepung kedelai, (D)
25% tepung ikan : 75% tepung kedelai dan (E) 100% tepung kedelai. Pakan
diberikan 3-5% dari berat tubuh sekali dalam satu hari. Parameter yang diamati
adalah pertumbuhan panjang cangkang, pertambahan berat, laju pertumbuhan
harian dan tingkat kelangsungan hidup abalon. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pakan (A) dengan komposisi 100% tepung ikan menghasilkan pertumbuhan
panjang cangkang dan berat serta laju harian pertumbuhan tertinggi yaitu 14,19 ±
3,01% dan 37,45 ± 20,56% serta 11,81 ± 6,93μgram. Sedangkan tingkat
kelangsungan hidup abalon tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan (D) dengan
perbandingan komposisi 25% tepung ikan : 75% tepung kedelai yaitu sebesar
73,33 ± 5,44%.

Kata kunci: Abalon, Haliotis asinina, anakan, pertumbuhan, pakan, protein

PENDAHULUAN
Abalon merupakan kelompok moluska laut yang di Indonesia dikenal dengan
sebutan “kerang mata tujuh” atau “siput lapar kenyang” dimana beberapa jenis bernilai
ekonomis penting. Sebagian besar jenis abalon dinilai ekonomis penting karena tekstur
dagingnya yang baik dan dan kualitas cangkangnya yang bagus untuk perhiasan
(Setyono, 2008). Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri
perhiasan dan akuarium. Peningkatan kebutuhan dunia akan komoditi ini dalam dua
dasawarsa terakhir telah memicu perkembangan budidaya abalon dimana-mana
(Litaay, 2005). Salah satu jenis abalon tropis yang bernilai ekonomis penting dan
memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan di Indonesia adalah abalon jenis
Haliotis asinina.
Haliotis asinina merupakan salah satu jenis abalon tropis yang mempunyai
ukuran maksimum lebar cangkang 100 mm (Jarayabhand & Paphavasit, 1996 dalam
Fermin & Buen, 2000). H. asinina dapat mencapai ukuran pasar 50-60 mm selama 1
tahun (McNamara & Johnson, 2005 dalam Fermin & Buen, 2000). Salah satu
permasalahan yang muncul dalam budidaya abalon adalah rendahnya laju

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-75


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

pertumbuhan abalon (Moriyama et al., 2009; Naidoo et al., 2006; Genade et al., 1988)
sehingga dibutuhkan waktu yang relatif lama agar abalon mencapai ukuran pasar.
Berbagai pendekatan tengah dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
dari budidaya abalon.
Abalon merupakan jenis siput laut herbivora atau pemakan tumbuhan. Makanan
pokoknya adalah siput jenis-jenis mikro-alga bentik termasuk Thalassiosira, Navicula,
Cocconeis, Amphora, Platymonas, Melosira, Nitzchia dan Chaetoceros simplex dan
beberapa jenis Cyanobancteria. Selain mikro-alga (diatom), siput dewasa juga
memakan jenis-jenis rumput laut (makro-alga) lunak seperti Laurencia, Ulva, Hypnea,
Kappaphycus dan Gracilaria untuk jenis abalon tropis, Hymenocladia, Macrocystis,
Ecklonia, Nereocystis, Laminaria dan Eisenia untuk abalon sub-tropis (Setyono, 2009).
Penggunaan pakan buatan untuk abalon dalam bentuk pelet kering sudah
banyak digunakan dalam budidaya abalon dibeberapa negara seperti jepang, cina,
australia, kanada, chili, korea, meksiko, new zealand, afrika selatan dan amerika
serikat (Britz, 1996).
Komponen utama yang penting dalam membuat pakan buatan adalah bahan
sumber protein. Protein merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan abalon
dan merupakan komponen yang cukup mahal dalam komposisi bahan pakan (Fleming
et al., 1996 dalam Bautista-Teruel et al., 2003). Sumber protein yang sering digunakan
dalam pakan abalon adalah tepung ikan, tepung kedelai dan kasein (Guzman & Viana,
1998). Kombinasi silase isi perut abalon dan tepung kedelai sebagai sumber protein
dalam pakan abalon menghasilkan pertumbuhan yang cukup baik untuk abalone
Haliotis fulgens (Guzman & Viana, 1998). Pertumbuhan abalon Haliotis fulgens yang
diberi pakan kasein sebagai sumber protein menghasilkan pertumbuhan yang optimal
(Viana et al., 1993). Namun, dikarenakan harga kasein yang cukup mahal sehingga
penggunaan kasein sebagai sumber protein dalam budidaya abalon kurang
menguntungkan (Bautista-Teruel et al., 2003). Tepung ikan merupakan komponen
tunggal sumber protein yang dapat mendukung pertumbuhan optimal abalon,
sedangkan penggunaan tepung kedelai dan kasein sebagai sumber protein dalam
pakan abalon harus dikombinasikan dengan sumber protein lain untuk menghasilkan
pertumbuhan optimal abalon (Fleming et al., 1996 dalam Bautista-Teruel et al., 2003).
Salah satu kendala yang dihadapi oleh pengusaha budidaya abalon di Indonesia
adalah belum tersedianya pakan buatan untuk budidaya abalon. Oleh karena itu, perlu
suatu kajian dan penelitian komprehensif mengenai pakan buatan sehingga budidaya
abalon tropis di Indonesia dapat optimal.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan
abalon tropis (Haliostis asinina) yang diberi pakan buatan dengan komposisi
perbandingan sumber protein yang berbeda.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi UPT Loka Pengembangan Bio
Industri Laut Mataram selama 56 hari mulai dari bulan Agustus sampai dengan
November 2011. Biota yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan abalon
tropis (Haliotis asinina) yang diperoleh dari laboratorium produksi UPT Loka
Pengembangan Bio Industri Laut Mataram dengan ukuran rata-rata panjang cangkang
20,10 ± 0,81 mm dan berat 1,42 ± 0,22 gram. Sebelum digunakan, abalon di
aklimatisasi selama satu minggu dalam wadah plastik bervolume air laut 100L yang
dilengkapi dengan sistem aerasi dan diberi pakan rumput laut (Gracilaria sp) dan pelet.

B2-76 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Sampel awal daging anakan abalon disimpan dalam freezer untuk dilakukan analisa
proksimat.
Wadah penelitian menggunakan wadah plastik bervolume 15L. Sebanyak 15
wadah plastik digunakan dalam penelitian ini dan disusun diatas rak kayu. Untuk
memastikan ketersediaan oksigen maka setiap wadah dilengkapi dengan sistem aerasi
serta dilengkapi dengan shelter berupa potongan pipa. Setiap wadah di isi air laut
sebanyak 10L dan 15 ekor anakan abalon. Anakan abalon diberi pakan sebanyak 3-5%
dari total berat. Pemberian pakan dilakukan sekali dalam satu hari berkisar pukul 14.00
sampai dengan pukul 15.30 WITA. Sisa pakan dan kotoran yang terdapat dalam wadah
pemeliharaan dibersihkan dengan penyiponan setiap hari.
Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 5 perlakuan dengan
tiga kali ulangan. Perlakuan dalam percobaan ini adalah perbedaan komposisi
perbandingan sumber protein pakan yaitu (A) 100% tepung ikan, (B) 75% tepung
ikan : 25% tepung kedelai, (C) 50% tepung ikan : 50% tepung kedelai, (D) 25%
tepung ikan : 75% tepung kedelai dan (E) 100% tepung kedelai. Penyusunan formulasi
pakan menggunakan metode pedoman protein dimana susunan komposisi pakan
diperhitungkan berdasarkan kandungan protein bahan pakan yang digunakan.
Kandungan protein pakan yang dibuat adalah 32%. Sumber protein adalah tepung ikan
dan tepung kedelai, sumber karbohidrat adalah dedak padi dan tepung terigu, sumber
lemak adalah minyak ikan. Sedangkan gelatin dan rumput laut digunakan sebagai
binder. Proses pembuatan dan formulasi pakan yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada Bautista-Teruel & Millamena (1999) dan Bautista-Teruel et al., (2003)
yang dimodifikasi sesuai dengan bahan baku lokal yang tersedia. Masing-masing
formulasi pakan tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan

Bahan Formulasi
(g/100gram) A B C D E
Tepung ikan 32 24 16 8 0
Tepung kedelai 0 12 24 46 48
Rumput laut 10 10 10 10 10
Dedak padi 23 19 15 11 7
Tepung terigu 20 20 20 20 20
Gelatin 6 6 6 6 6
Minyak ikan 1 1 1 1 1
Vit&Mineral* 5 5 5 5 5
Dicalcium Fosfat 2,95 2,95 2,95 2,95 2,95
Na. Benzoat 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
Jumlah 100 100 100 100 100
* Vitamin dan mineral, merk komersial.

Sebelum digunakan dalam percobaan, pakan yang dibuat dilakukan pengujian


kestabilan pakan dalam air. Pengujian kestabilan pakan dilakukan dengan cara
merendam pelet dalam air laut selama 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Pelet yang sudah
ditimbang dimasukan ke dalam wadah pengujian, setelah direndam pelet dikeringkan
kemudian ditimbang untuk mengetahui kestabilannya. Pengujian kestabilan pakan
dilakukan dengan dua cara yaitu, pengujian tanpa menggunakan aerasi dan
menggunakan aerasi.

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-77


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Kestabilan pakan (%) = b/a x 100

Keterangan: a = berat pakan awal (kering, gram)


b = berat pakan setelah perendaman (kering, gram)

Untuk mengetahui nilai nutrisi pakan pelet yang dibuat maka dilakukan analisa
proksimat di Laboratorium Kimia Analitik Universitas Mataram. Analisa proksimat terdiri
dari uji protein, lemak, karbohidrat, abu dan air. Pengujian kadar protein berdasarkan
metode kjeldahl (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar lemak berdasarkan metode
soxhlet (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar karbohidrat berdasarkan metode
gravimetris (Sudarmadji et al., 1997), pengujian kadar abu dan kadar air berdasarkan
metode pemanasan (Sudarmadji et al., 1997).
Pengukuran anakan abalon meliputi panjang cangkang dan penimbangan berat
tubuh yang dilakukan setiap 14 hari. Pengukuran panjang cangkang dilakukan
menggunakan digital caliper dan penimbangan berat tubuh dilakukan menggunakan
timbangan digital. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan
panjang cangkang, pertumbuhan berat, laju pertumbuhan harian dan tingkat
kelangsungan hidup abalon. Pertumbuhan panjang cangkang dihitung menggunakan
rumus Bautista-Teruel & Millamena (1999) :

L (%)={(Lt - L0)/L0} x 100

Keterangan: L = Pertumbuhan panjang cangkang (%)


Lt = Rata-rata panjang cangkang akhir (mm)
L0 = Rata-rata panjang cangkang awal (mm)

Pertumbuhan berat abalon dihitung menggunakan rumus Thanuthong et al., (2011):

W (%)={(Wt - W0)/W0} x 100

Keterangan: W = Pertumbuhan berat (%)


Wt = Rata-rata berat akhir (gram)
W0 = Rata-rata berat awal (gram)

Laju pertumbuhan harian dihitung menggunakan rumus Zonneveld et al. (1991) dalam
Rusdi (2010) :

DGR = (Wt – W0)/t

Keterangan: DGR = Laju pertumbuhan harian (gram/hari)


Wt = Rata-rata berat akhir (gram)
W0 = Rata-rata berat awal (gram)
t = Waktu pemeliharaan

Tingkat kelangsungan hidup abalon dihitung menggunakan rumus Adelina et al.,


(2000) :

SR= Nt/N0 x 100

B2-78 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Keterangan: SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)


Nt = Jumlah biota pada akhir penelitian
N0 = Jumlah biota pada awal penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengujian kestabilan pakan dalam air laut baik tanpa aerasi maupun
dengan aerasi selama 24 jam perendaman menunjukan bahwa pakan yang dibuat
cukup stabil untuk digunakan sebagai pakan uji. Menurut Handajani dan Wahyu (2010),
semakin lama pelet hancur dalam air maka semakin baik dan berkualitas pelet tersebut.
Daya tahan pakan didalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jumlah dan
jenis bahan baku, cara pembuatan, jumlah dan jenis bahan perekat. Proses pembuatan
pakan dengan cara diuapkan (dikukus) akan meningkatkan stabilitas pelet dalam air.
Hal ini disebabkan uap panas akan mengubah karbohidrat dan bahan-bahan pengikat
lainnya menjadi masa gelatin. Bahan ini akan menjadi lengket sehingga adonan
pakannya menjadi kompak (Mudjiman, 2004). Hasil pengujian kestabilan pakan dalam
air selengkapnya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Kestabilan Pakan Dalam Air

Kestabilan Pakan (%)


Formulasi 6 Jam 12 Jam 24 Jam
TA DA TA DA TA DA
A 88,63 84,62 85,10 83,58 83,25 75,50
B 87,48 87,61 87,32 83,21 85,67 79,30
C 95,22 88,32 87,42 86,41 85,52 81,87
D 93,19 89,25 89,60 87,72 87,28 84,66
E 92,17 89,27 88,81 90,94 87,62 84,53
Keterangan: TA = Tanpa Aerasi
DA = Dengan Aerasi

Hasil analisa proksimat dari masing-masing jenis pakan yang digunakan dalam
penelitian ini tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Proksimat Pakan Pelet

Parameter
Formulasi Protein Lemak Karbohidrat
Abu (%) Air (%)
(%) (%) (%)
A 32,77 11,57 4,31 16,14 42,42
B 32,75 10,47 4,60 14,06 43,85
C 32,00 11,98 5,46 12,50 40,74
D 33,12 11,83 3,09 10,45 42,84
E 32,25 11,54 3,30 9,05 41,84

Tabel diatas menunjukan bahwa kandungan protein pakan yang dibuat antara
32,00% – 33,12%. Menurut Hahn (1989) dalam Viana et al. (1996), abalon
membutuhkan kadar protein dalam pakan sekitar 30%. Hal yang sama dilaporkan oleh
Bautista-Teruel & Millamena (1999), bahwa pemberian pakan dengan kandungan

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-79


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

protein 32% menghasilkan pertumbuhan berat yang baik yaitu sebesar 347% pada
abalon Haliotis asinina. Kandungan lemak pakan yang dibuat berkisar antara 10,47% -
11,83%. Lemak merupakan komponen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
abalon (Bautista-Teruel et al., 2011). Lemak berfungsi sebagai sumber energi yang
paling besar di antara protein dan karbohidrat (Kordi, 2010). Mai et al. (1995),
melaporkan bahwa kandungan lemak pakan 3,11% menghasilkan pertumbuhan yang
baik pada abalon Haliotis tuberculata. Thongrod et al. (2003), menyatakan bahwa rasio
lemak terhadap karbohidrat 1,3% : 47,8% menghasilkan pertumbuhan yang baik pada
abalon Haliotis asinina.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa perbandingan komposisi sumber protein
yang berbeda menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda pula. Tingkat
pertumbuhan dapat dilihat dari pertambahan ukuran panjang cangkang, berat dan laju
pertumbuhan harian. Hasil analisa statistik menunjukan bahwa perlakuan perbedaan
komposisi sumber protein tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap
pertumbuhan panjang cangkang, berat dan laju pertumbuhan harian abalon, tetapi
berpengaruh nyata (p˂0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup abalon (Tabel 4).

Tabel 4. Data pertumbuhan panjang cangkang, berat, laju pertumbuhan harian dan
tingkat kelangsungan hidup abalon selama 56 hari pemeliharaan

Formulasi
Parameter
A B C D E
Panjang 21,03±0,43 20,19±0,67 20,19±0,47 20,09±0,58 19,02±0,18
cangkang awal
(mm)
Panjang 24,03±0,96 22,22±0,24 21,61±1,08 21,15±0,90 20,80±0,13
cangkang akhir
(mm)
Pertumbuhan 14,19±3,0a 10,10±3,45a 6,97±2,84a 5,28±2,29a 9,36±0,67a
panjang
cangkang (%)
Berat awal 1,72±0,07 1,43±0,14 1,43±0,14 1,40±0,17 1,13±0,03
(gram)
Berat akhir 2,38±0,46 1,72±0,08 1,67±0,29 1,63±0,24 1,35±0,02
(gram)
Pertumbuhan 37,45±20,56a 21,37±14,7a 15,47±9,28a 15,60±8,83a 19,12±3,15a
berat (%)
Laju 11,81±6,93a 5,11±3,39a 4,16±2,89a 3,92±2,42a 3,86±0,58a
pertumbuhan
harian (μgram)
Tingkat 42,22±6,28a 40,00±5,44a 53,33±9,42a 73,33±5,44b 71,11±3,13c
kelangsungan
hidup(%)

Pengamatan terhadap pertumbuhan panjang cangkang abalon (Haliotis asinina)


yang dipelihara selama 56 hari menunjukan adanya peningkatan ukuran panjang
cangkang dari setiap perlakuan. Peningkatan pertumbuhan panjang cangkang terbaik
diperoleh pada perlakuan pakan A yaitu pakan yang mengandung 100% tepung ikan
sebagai sumber protein sebesar 14,19 ± 3,01%, diikuti perlakuan B (75% tepung
ikan : 25% tepung kedelai), perlakuan E (100% tepung kedelai), perlakuan C (50%
tepung ikan : 50% tepung kedelai) dan perlakuan D (25% tepung ikan : 75% tepung
kedelai) berturut-turut sebesar 10,10 ± 3,45%; 9,36 ± 0,67; 6,97 ± 2,84% dan 5,28 ±

B2-80 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

2,29%. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang cangkang abalon (Haliotis


asinina) selama penelitian selengkapnya tersaji pada Gambar 1.

30

Panjang Cangkang (mm)


25 A
20 B
15 C
10 D

5 E

0
0 14 28 42 56
Lama Pemeliharaan (hari)

Gambar 1. Pertumbuhan panjang cangkang abalon selama penelitian

Pada gambar 1 terlihat bahwa pertumbuhan panjang cangkang abalon terbaik


adalah perlakuan A yaitu pakan dengan sumber protein 100% tepung ikan. Hal serupa
dilaporkan oleh Guzman & Viana (1998), bahwa abalon Haliotis fulgens yang diberi
pakan dengan sumber utama protein tepung ikan menghasilkan pertumbuhan paling
baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan abalon dengan sumber utama protein
adalah isi perut abalon. Menurut Bautista-Teruel & Millamena, (1999), pakan buatan
harus mengandung protein dan asam amino yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi bagi abalon. Tepung ikan merupakan salah satu bahan yang sering digunakan
sebagai sumber protein dalam pembuatan pakan. Menurut Murtidjo (2001), tepung
ikan mengandung protein yang memiliki kualitas jauh lebih baik karena mengandung
asam-asam amino yang diperlukan terutama methionin dan lisin serta sebagai sumber
mineral terutama kalsium dan fosfor.
Pengamatan terhadap pertumbuhan berat abalon (Haliotis asinina) yang
dipelihara selama 56 hari menunjukan adanya peningkatan berat dari setiap perlakuan.
Peningkatan pertumbuhan berat terbaik diperoleh pada perlakuan pakan A yaitu pakan
yang mengandung 100% tepung ikan sebagai sumber protein sebesar 37,45%, diikuti
perlakuan B (75% tepung ikan : 25% tepung kedelai), perlakuan E (100% tepung
kedelai), perlakuan D (25% tepung ikan : 75% tepung kedelai) dan perlakuan C (50%
tepung ikan : 50% tepung kedelai) berturut-turut sebesar 21,37 ± 14,71%; 19,12 ±
3,15%; 15,60 ± 8,83% dan 15,47 ± 9,28%. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan
berat abalon (Haliotis asinina) selama pengamatan selengkapnya tersaji pada Gambar
2.
2,5

2 A
Berat (gram)

B
1,5
C
1
D
0,5 E

0
0 14 28 42 56
Lama Pemeliharaan (hari)

Gambar 2. Pertumbuhan berat abalon selama penelitian

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-81


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Pada gambar 2 terlihat bahwa pertumbuhan berat abalon terbaik adalah


perlakuan A yaitu pakan dengan sumber protein berupa 100% tepung ikan. Menurut
Handajani dan Wahyu (2010), nilai kecernaan protein yang berasal dari produk hewani
lebih mudah dicerna dibandingkan protein yang berasal dari produk nabati. Selain itu,
ketersediaan kualitas dan fisiologi protein dalam pakan memberikan pengaruh yang
positif terhadap pertumbuhan abalon (Bautista-Teruel et al., 2003). Kualitas protein
berbeda-beda tergantung pada jenis dan jumlah asam amino penyusunnya. Penentuan
kualitas protein dapat dilakukan dengan membandingkan komposisi asam amino
esensial yang dikandung dalam bahan pakan dengan standar kebutuhan asam amino
hewan uji (Buwono, 2000).
Laju Pertumbuhan Harian

15
A

10

B
C D E
5

0
Pakan

Gambar 3. Laju pertumbuhan harian abalon (μgram)

Hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan harian abalon yang dipelihara


selama 56 hari (Gambar 3) menunjukan bahwa laju pertumbuhan harian abalon
tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan A sebesar 11,81±6,93 μgram diikuti
perlakuan pakan B, pakan C, pakan D dan laju pertumbuhan harian abalon terendah
diperoleh pada perlakuan E berturut-turut sebesar 5,11±3,39 μgram, 4,16±2,89 μgram,
3,92±2,42 μgram dan 3,86±0,58 μgram. Perbedaan laju pertumbuhan harian ini
dikarenakan perbedaan kualitas sumber protein yang digunakan. Kualitas protein yang
baik merupakan faktor penting untuk mendukung pertumbuhan abalon (Viana et al.,
1993). Menurut Lovell (1992) dalam Fleming et al. (1996), tepung ikan selain sebagai
sumber protein dan sumber energi yang baik juga mengandung asam lemak dan
mineral esensial yang diperlukan oleh ikan. Selain itu, penggunaan tepung ikan sebagai
sumber protein yang berasal dari hewan dikarenakan tepung ikan memiliki tingkat
kecernaan yang tinggi dan memiliki attractant yang dapat menarik biota untuk
memakannya (Bautista-Teruel et al., 2003). Laju pertumbuhan harian terendah pada
penelitian ini adalah perlakuan pakan E yang mengandung 100% tepung kedelai.
Penggunaan sumber protein tunggal dari tanaman dalam pakan abalon menyebabkan
pertumbuhan abalon rendah, hal ini dikarenakan pakan yang mengandung sumber
protein dari tanaman membutuhkan suplemen tambahan asam amino terutama
methionin atau dikombinasikan dengan protein yang berasal dari sumber hewan
(Bautista-Teruel et al., 2003). Kedelai merupakan bahan pakan sumber protein nabati
dan sering dipakai dalam pembuatan pakan karena kandungan proteinnya paling tinggi
jika dibandingkan dengan bahan lain dari tumbuhan (Murtidjo, 2001). Protein yang
bersumber dari kedelai memiliki kekurangan yaitu rendahnya kandungan asam amino
terutama asam amino yang mengandung sulfur seperti methionine (Watanabe et al.,

B2-82 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

1993). Kekurangan lain dari sumber protein yang berasal dari tanaman adalah adanya
kandungan anti nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan (Francis et al., 2001).
Menurut Handajani dan Wahyu (2010), kacang kedelai mengandung anti nutrisi berupa
anti tripsin yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada ikan, namun hampir
semua anti trispin dapat dirusak oleh panas dimana lebih dari 95% aktifitas anti tripsin
dapat dirusak dengan perlakuan panas dalam waktu 15 menit pada suhu 1000C.

Kelangsungan hidup (%)


120
100
80 A
60 B
40 C
20
D
0
E
0 14 28 42 56
Lama pemeliharaan (hari)

Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup abalon selama penelitian

Pada Gambar 4 diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup abalon yang


diperoleh relatif rendah berkisar antara 40,00 ± 5,44%. - 73,33 ± 5,44%.
Kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan (D) yaitu kombinasi
25% tepung ikan : 75% tepung kedelai dan terendah diperoleh pada perlakuan pakan
(B) yaitu kombinasi 75% tepung ikan : 25% tepung kedelai. Tingginya tingkat
kematian abalon dalam pengamatan ini diduga berkaitan dengan penggunaan tepung
ikan dalam pakan yang berpengaruh terhadap lingkungan atau media pelihara.
Menurut Cabral et a., (2011), tepung ikan mengandung kandungan fosfor (P) yang
relatif tinggi dan mineral tersebut merupakan polutan bagi lingkungan. Selain itu,
tingginya tingkat kematian abalon dalam pengamatan ini diduga juga disebabkan
abalon mengalami stres karena proses penanganan pada saat penyiponan. Menurut
Hahn (1989) dalam Viana et al, (1996), menyatakan bahwa abalon sangat mudah
sekali mengalami stres yang diakibatkan penanganan yang kurang baik serta karena
pengaruh cahaya. Ukuran biota uji yang tidak seragam dalam penelitian ini juga ikut
berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kelangsungan hidup abalon. Menurut
Susanto (2010), abalon memiliki sifat yang suka bergerombol dan menempel kuat
pada shelter sehingga abalon yang berukuran lebih besar akan menutupi atau
menindih abalon yang berukuran lebih kecil akibatnya abalon akan sulit untuk bergerak.

Tabel 5. Kandungan Proksimat Daging Anakan Abalon (% Berat Basah)

Daging Daging Abalon Setelah Perlakuan Formulasi


Parameter
Abalon A B C D E
Protein 5,81 6,21 8,18 7,23 7,45 7,19
Lemak 0,25 0,32 0,32 0,50 0,13 0,13
Karbohidrat 3,83 3,03 3,25 2,92 3,19 2,66
Abu 2,71 1,95 2,48 2,66 1,79 1,37

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-83


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 5 menunjukan hasil analisa proksimat daging abalon pada saat awal
perlakuan dan setelah diberi pakan buatan. Dari tabel tersebut diketahui bahwa
kandungan protein daging abalon cenderung mengalami peningkatan setelah diberikan
pakan buatan dan cenderung menurun pada kandungan lemak, karbohidrat dan abu.
Menurut Setyono (2010), daging abalon banyak diminati konsumen karena kelezatan
rasanya dan kandungan nutrisi yang baik. Tidak hanya mengandung protein yang
tinggi, juga daging abalon dapat mencegah tubuh dari masalah sakit jantung, stroke,
osteoporosis dan alzheimer. Hasil pengamatan visual pada cangkang abalon yang
diberi pakan buatan menyebabkan warna cangkang abalon menjadi hijau kebiruan.
Menurut Bautista-Teruel & Millamena (1999), perbedaan warna cangkang tersebut
disebabkan karena pigment warna yang terdapat pada beberapa komposisi pakan
(tepung ikan, rumput laut dan lainnya) sehingga berpengaruh terhadap warna
cangkang abalon.
Kualitas media air pemeliharaan berperan penting dalam menentukan kelayakan
habitat selama pemeliharaan. Hasil pengamatan air selama pemeliharaan meliputi suhu,
salinitas, pH dan DO yang tersaji pada tabel 6.

Tabel 6. Kualitas air selama pengamatan

Parameter Kisaran
Suhu (0C) 24 - 27
Salinitas (ppt) 34 - 35
pH 7,4 – 7,7
DO (mg/L) 3,15 – 4,59

Tabel 6 menunjukan bahwa nilai kualitas air wadah pemeliharaan selama


pengamatan masih berada dalam rentang yang layak untuk pemeliharaan abalon.
Menurut Suyati et al., (1995) dalam Rusdi (2010), menyatakan bahwa abalon dapat
hidup pada kisaran salinitas 35-37 ppt dan pH sekitar 7,83-7,85.

KESIMPULAN
Komposisi sumber protein pakan yang berbeda tidak menyebabkan perbedaan
yang nyata (p>0,05) terhadap pertumbuhan panjang, berat dan laju pertumbuhan
harian, namun berbeda nyata (p˂0,05) terhadap tingkat kelangsungan hidup abalon.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. D.E.D. Setyono, M.Sc atas
dukungannya sehingga tulisan ini dapat terselesaikan dan terima kasih penulis
sampaikan kepada teknisi yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Adelina., Ing Mokoginta., Ridwan, A dan Dedi, J. 2000. Pengaruh Kadar Protein Dan
Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Ikan
Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum). J.II.Pert.Indo. Vol 9 (2): 31-36.

B2-84 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Bautista-Teruel, M. N and Millamena, O. M. 1999. Diet Development and Evaluation for


Juvenile Abalone, Haliotis asinina : Protein/Energy Level. Aquaculture 178: 117-
126.
Bautista-Teruel, M. N, Fermin, A. C and Koshio, S. S. 2003. Diet Development and
Evaluation for Juvenile Abalone, Haliotis asinina: Animal and Plant Protein Source.
Aquaculture 219: 645-653.
Bautista-Teruel, M. N., Shunsuke, S. K and Manabu, I. 2003. Diet Development and
Evaluation for Juvenile Abalone Haliotis asinina Linne: Lipid and Essensial Fatty
Acid Levels. Aquaculture 312: 172-179.
Britz, P. J., 1996. Effect of dietery protein level on growth performance of South
African abalone, Haliotis midae, fed fishmeal-based semi-purified diets.
Aquaculture 140: 55-61.
Buwono, I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial Dalam Ransum Ikan.
Yogyakarta, Kanisius.
Cabral, E. M., M. Bacelar., S. Batista., M. Castro-Cunha., R. O. A. Ozorio and L. M. P.
Valente. 2011. Replacement of Fishmeal by Increasing Levels of Plant Protein
Blends in Diets for Senegalese sole (Solea senegalensis) Juveniles. Aquaculture
322-323: 74-81.
Fermin, A. C and Shela, M. B. 2002. Grow-out culture of tropical abalone, Haliotis
asinine (Linnaeus) in suspended mesh cages with different shelter surface areas.
Aquaculture International 9: 499-508.
Fleming, A. E., Robert, J Van Barneveld and Patrick, W. H. 1996. The Development of
Artificial Diets for Abalone: Review and Future Directions. Aquaculture 140: 5-53.
Francis, G., Makkar, H.P.S and Becker, K. 2001. Antinutritional Factors Present in Plant-
Derived Alternate Fish Feed Ingredients and Their Effect in Fish. Aquaculture,
199: 197-227.
Genade, A. B., Hirst, A.L. and Smith C.J, 1988, Observation on the spawning,
Development and Rearing of The South African abalone Haliotis midae Linn.
South African Journal of Marine Science 6, 3-12.
Guzman, J. M and Viana, M. T. 1998. Growth of Abalone Haliotis fulgens Fed Diets
With and Without Fish Meal, Compared to Commercial Diets. Aquaculture 165:
321-331.
Handajani, H dan Wahyu, W. 2010. Nutrisi Ikan. Malang, UMM Press.
Kordi, M. G. H. 2010. Pakan Udang. Nutrisi, Formula, Pembuatan, Pemberian. Jakarta,
Akademia.
Litaay, M. 2005. Peranan Nutrisi Dalam Siklus Reproduksi Abalon. Oceana Volume XXX,
3: 1-7.
Mai, K., Mercer, J.P., Donlon, J., 1995. Comparative Studies on The Nutrition of Two
Species of Abalone, Haliotis tuberculata L. Haliotis discus hannai Ino. III.
Response Abalone Various Levels Dietary Lipid. Aquac. 134, 65–80.
Moriyama, S., Furukawa, S and Kawauchi, H. 2009. Growth Stimulation of Juvenile
Abalone Haliotis discus hannai by Feeding with Salmon Growth Hormone in
Sodium Alginate Gel. Fish Sci 75: 689-695.
Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan (edisi revisi). Jakarta, Penebar Swadaya.
Murtidjo, B. A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta, Kanisius.
Naidoo, K., Maneveldt, G., Ruck, K and Bolton, J. J. 2006. A Comparison of Various
Seaweed-Based Diets and Formulated Feed on Growth Rate for Abalone in a
Land-Based Aquaculture System. Journal of Applied Phycology 18: 437-443.

Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis B2-85


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Rusdi, I., Bambang, S dan Riani, R. 2010. Penerapan Berbagai Jenis Pakan Makroalga
Terhadap Perkembangan Gonad Abalon Haliotis squamata. Prosiding Seminar
Nasional Perikanan Indonesia 2010, 154-160.
Rusdi, I., Riani, R dan Bambang, S. 2010. Studi Pertumbuhan Larva Abalon Haliotis
squamata (REEVE, 1846) Dengan Prosentase Pergantian Air Yang Berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010, 161-166.
Setyono, D. E. D. 2008. Biologi dan Ekologi Abalon. Oceana Volume XXXIII, 4: 1-13.
Setyono, D. E. D. 2009. Abalon: Biologi dan Reproduksi. Jakarta, LIPI Press.
Setyono, D. E. D. 2010. Abalon: Teknologi Pembenihan. Jakarta, ISOI.
Sudarmadji, S., Bambang, H dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta, Liberty.
Susanto, B., Ibnu, R., Suko, I dan Riani, R. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon
(Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol Dengan Jenis Pakan Berbeda.
Jurnal Riset Akuakultur, Vol 5 (2): 199-209.
Viana, M. T., Lus, M. L and Alfredo, S. 1993. Diet Development for Juvenile Abalone
Haliotis fulgens Evaluation of Two Artificial Diets and Macroalgae. Aquaculture
117: 149-156.
Viana, M. T., Lus, M. L., Zaul Garcia-Esquivel and Elda, M. 1996. The Use of Silage
Made from Fish and Abalone Viscera as an Ingredient in Abalone Feed.
Aquaculture 140: 87-98.
Thanuthong, T., David, S. F., Elizabet, M., Shyamalie, D. S., David Cameron-Smith and
Giovanni, M. T. 2011. Fish Oil Replacement in Rainbow troutDdiets and Total
Dietary PUFA Content: II) Effects on Fatty Acid Metabolism and in vivo Fatty Acid
Bioconversion. Aquaculture 322-323: 99-108.
Thongrod, S., Tamtin, M., Chairat, C., Boonyaratpalin, M., 2003. Lipid to Carbohydrate
Ratio in Donkey's ear Abalone (Haliotis asinina Linne) Diets. Aquaculture 225,
165–174.
Watanabe, T., Juadee, P., Shuichi, S and Toshio, T. 1993. Replacement of Fish Meal by
Alternative Protein Sources in Rainbow Trout Diets. Nippon Suisan Gakkaishi, 59
(9): 1573-1579.

B2-86 Asep R, Dien Arista A: Studi Pertumbuhan Abalon Tropis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PEMANFAATAN EKSTRAK P. australis


SEBAGAI ANTIBAKTERI ALAMI
DALAM PENGENDALIAN BAKTERI Aeromonas hydropilla
PADA PEMELIHARAAN IKAN MAS (Cyprinus carpio)

Yuliana salosso1, dan I. Gusti M.N. Budiana2

1
jurusan perikanan dan kelautan Universitas Nusa Cendana Kupang
2
Jurusan Kimia Fakultas FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimum


dan metode pemberian ekstrak diklorometan P. australis yang bersifat
antibakteri yang efektif dalam menghambat A. hydropilla pada
pemeliharaan ikan mas skala laboratorium. Dalam penelitian ini digunakan
Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial. Faktor A adalah metode
pemberian ekstrak diklorometan P australis yaitu A1 = metode yang
dicampur dengan pakan, A2 = dengan metode perendaman, sedangkan
faktor B adalah dosis ekstrak diklorometan P australis yaitu A1 = 100 ppm,
A2 = 200 ppm, A3 = 300 ppm. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali dan
selain itu juga ditambahkan 1 unit percoban sebagai kontrol. Pada
penelitian ini, telah didapatkan Ekstrak diklorometan P australis mampu
menurunkan kepadatan bakteri A. hydropilla dan prevalensi ikan yang
terserang bakteri A. hydropilla sehingga pada akhirnya meningkatkan
sintasan ikan mas tersebut. Dosis ekstrak diklorometan P. australis yang
terbaik dalam meningkatkan sintasan ikan mas yang terinfeksi A.
hydropilla adalah 300 mg/l yang dapat diberikan dengan metode
perendaman.

Yuliana S, I Gusti M.N.Budiana: Pemanfaatn Ekstrak B2-87


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

ANALISA BAKTERI PATOGEN


PADA LARVA TERIPANG PASIR (Holothuria scabra Jaeger, 1935)
TAHAP AURICULARIA DI BAK PEMBENIHAN

Dien Arista Anggorowati dan Asep Ridwanudin

UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram,


LIPI Teluk Kodek, Desa Malaka,
Kec. Pemenang, Kab. Lombok Utara, NTB
E-mail: anggorowati.da@gmail.com dan ase_rid@yahoo.com

Abstrak: Mortalitas yang tinggi pada larva teripang pasir selama proses
pemeliharaan masih sering terjadi, salah satu penyebabnya adalah keberadaan
hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri
patogen dari tahap auricularia pada teripang pasir untuk selanjutnya digunakan
dalam proses peningkatan survival rate melalui kegiatan biokontrol. Isolasi
menggunakan media TCBS Agar yang kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia.
Dari hasil isolasi dan identifikasi ditemukan lima jenis bakteri yaitu Vibrio harveyi,
Vibrio vulnificus, Aeromonas caviae, Vibrio hollisae, Klebsiella terrigena.

Kata Kunci: Bakteri patogen,Teripang pasir, Holothuria scabra

PENDAHULUAN
Teripang atau mentimun laut (Sea Cucumber) merupakan salah satu sumberdaya
hayati laut yang mendapat perhatian karena hewan ini merupakan produk perikanan
yang potensial. Selain karena nilai ekonomisnya yang tinggi teripang juga mempunyai
kandungan gizi yang tinggi : kandungan protein 43,1%, lemak 2,2%, kadar air 27,1%,
kadar abu 27,6% (Rustam, 2006). Teripang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat-obatan karena mengandung asam lemak tidak jenuh yang penting untuk
kesehatan jantung (Martoyo et al., 2006). Permintaan pasar akan produk teripang
terutama teripang pasir (Holothuria scabra) semakin meningkat dari tahun ke tahun
sehingga mendorong peningkatan upaya eksploitasi (Darsono, 1994). Namun produksi
teripang masih bergantung pada hasil tangkapan dari alam, sehingga produksi sulit
untuk ditingkatkan. Selain itu penangkapan teripang secara terus-menerus
dikhawatirkan akan menyebabkan populasi teripang di alam menurun. Dari hasil
pengamatan di beberapa lokasi penangkapan teripang seperti Perairan Kepulauan
Seribu, Maluku, Karimun Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Pulau
Bunaken menunjukkan bahwa peningkatan produksi teripang dengan cara
penangkapan tidak dapat dilanjutkan karena dapat mengurangi populasi jenis hewan
ini (Panggabean, 1987; Nuraini et al., 1992). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya
menjaga kelestarian teripang di alam melalui usaha budidaya.
Dalam kegiatan budidaya, terdapat aspek yang harus diperhatikan salah satunya
adalah keberadaan hama dan penyakit yang dapat menurunkan hasil produksi. Larva
teripang merupakan tahap kehidupan yang paling rentan pada biota teripang. Pada
tahap tersebut, teripang masih memiliki bentuk yang sangat sederhana (zooplankton)
sehingga kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada faktor luar. Kemampuan
teripang untuk bereproduksi sebenarnya sangat tinggi dan mortalitas individu dewasa

B2-88 Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

juga kecil (Tuwo dan Nessa, 1992). Jadi rendahnya populasi teripang pasir selain
disebabkan oleh tingginya eksploitasi, juga karena mortalitas larva dan juvenil
(Costelleo, 1988). Selama periode ini, larva yang hidup secara planktonik akan menjadi
korban berbagai organisme seperti bakteri atau virus karena pada fase ini tingkat
pertahanan teripang terhadap bakteri patogen sangat rendah (Darsono, 1999),
sedangkan juvenil yang bergerak pasif di dasar perairan menjadi sasaran predator,
seperti hewan dari kelompok crustaseae dan organisme bentik lainnya. Penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio disebut vibriosis. Vibriosis adalah penyakit oppurtunistik
dari tahap larva dari banyak moluska bivalve. Serangan bakteri ini dapat
menyebabkan kematian dengan cepat, pada budidaya ikan windu, kematian mencapai
90% (1-3 hari), pada larva udang windu (Rukyani, 1993), sedangkan kematian
masal yang disebabkan oleh penyakit infeksi bakteri vibrio mencapai 90 – 100%
(rata-rata 93,3%) selama 21 hari terjadi pada stadia larva dan juvenil ikan kerapu
(Mahardika & Zafran, 2004).
Sementara itu jenis bakteri patogen yang terdapat pada larva teripang pasir yang
mati belum diketahui, sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui jenis bakeri
patogen yang terdapat pada larva teripang pasir (Holothuria scabra) yang dibudidaya
di UPT. LPBIL LIPI Mataram, agar penanganan terhadap kasus infeksi dapat segera
diatasi melalui perubahan teknik pemeliharaan atau kontrol kualitas air menggunakan
bakteri maupun bioaktif alami.

METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel dan isolasi bakteri
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif yang mengisolasi
kelompok bakteri patogen dengan waktu penelitian Juli – September 2011. Identifikasi
berdasarkan morfologi, fisiologi dan uji biokimia bakteri tersebut menurut (Holt et al.,
1994). Sampel larva teripang yang mati dan berada di dasar bak pemeliharaan larva
pada tahap auricularia (hari ke 3 – hari ke 10) diambil secara aseptik dengan
menggunakan saringan bertingkat (200 µm dan 100 µm) yang telah disterilisasi
dengan alkohol 70 % dan dibilas dengan aquadest steril, selanjutnya diamati dibawah
mikroskop untuk melihat perbedaan larva teripang pasir yanng sehat dan yang mati
atau terinfeksi bakteri dengan perbesaran 400X. Sampel larva teripang yang telah
diambil dengan kepadatan 130 sel/ml dibilas dengan aquadest steril kemudian digerus
dalam cawan petri yang telah dicuci dengan alkohol 70 %. Dilakukan pengenceran
hingga 10-7 dengan mengambil 1 mL sampel yang dimasukkan kedalam 9 mL air laut
steril dan larutan NaCl fisiologis steril yang dihomogenasikan dengan forteks, kemudian
sebanyak 100 µL dari hasil pengenceran 10-1, 10-3, 10-5 dan 10-7 ditanamkan pada
media thiosulphate citrate bile salt sucrose agar (TCBSA; Pronadisa; media selektif
untuk Vibrionaceae) dalam cawan petri steril. Koloni yang tumbuh pada media TCBS
agar diamati dengan melihat bentuk koloni, warna, tepian dan elevasinya, setelah itu
dimurnikan dengan media Marine Agar (MA) untuk selanjutnya dilakukan uji biokimia.

Uji Biokimia dan Identifikasi Bakteri


Isolat bakteri yang tumbuh dilakukan pewarnaan gram dan ditanamkan masing –
masing pada media uji biokimia menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA;
Pronadisa), pewarnaan gram, media Lysine Decarboxylation Base (LDB; pronadisa),
media Methyl Red – Voges Proskauer (MR-VP; Pronadisa), Media Trypton 1% dan NaCl
1%, 6 %, 8 % agar, kovac’s reagent dan uji pertumbuhan pada suhu 2 oC, 30 oC dan

Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen B2-89


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

40 oC. Kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30o C dengan menggunakan
inkubator HAMMERT dan diikuti identifikasi bakteri merujuk pada Holt et al., (1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Pengambilan Sampel dan Isolasi Bakteri
Dari hasil pengamatan larva teripang yang terinfeksi dan yang sehat dibawah
mikroskop perbesaran 400x (gambar 1), tampak perbedaan warna dan bentuk larva
teripang pasir akibat infeksi bakteri. Bakteri tersebut masuk bersamaan dengan
makanan ataupun menempel pada lapisan luar tubuh larva teripang pasir.

A B
a
Gambar 1. Larva fase auricularia normal (a) dan yang terinfeksi bakteri (b)

Dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan koloni pada media Thiosulphate


Citrat Bile salt Sucrose Agar (TCBSA) dari sampel larva teripang pasir tahap auricularia
ditemukan lima koloni bakteri yang diberi kode AL1911, AL2911, AL3911, NF1911 dan
NF2911 (tabel 1).

Tabel 1. Morfologi dan karakteristik biokimia isolat bakteri yang terdapat pada larva
teripang pasir

Isolat Bakteri
Karakteristik
AL1911 AL2911 AL3911 NF1911 NF2911
Gram stain - - - - -
Gas from glucose - + - - +
H2S - + - - -
Indole - - - - -
Motility + + + + +
Metil red - - + - -
Voges proskauer - - - - -
Catalase - - + - -
Oksidase + + + + -
Growth on TCBSA G G Y Y Y
Growth on NaCl:
1% - - Nt + Nt
6% - - Nt + Nt
8% - - Nt + Nt

B2-90 Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Isolat Bakteri
Karakteristik
AL1911 AL2911 AL3911 NF1911 NF2911
Gram stain - - - - -
Gas from glucose - + - - +
H2S - + - - -
Indole - - - - -
Motility + + + + +
Metil red - - + - -
Voges proskauer - - - - -
Catalase - - + - -
Oksidase + + + + -
Growth on TCBSA G G Y Y Y
Growth on NaCl:
1% - - Nt + Nt
6% - - Nt + Nt
8% - - Nt + Nt
Growth at :
2 oC - - Nt - Nt
30 oC + - Nt - Nt
40 oC + - Nt - Nt
Glucose + + - - +
Lactose - - - - -
Sucrose + + + - -
Mannitol - - - - -
Maltosa + + + - +
Sukrosa + + + - -
Arginin - - - - -
Ramnose - - - - -
Lysine - - - - -
decarboxylase
Urease + + - - -
Citrate utilization - - - - -
ONPG hydrolysis - - - - -
Vibrio Vibrio Aeromonas Vibrio Klebsiella
harveyi vulnificus caviae hollisae terrigena
Ket : Nt (tidak diujikan); G (Hijau); Y (kuning)
Sumber : Holt et al., (1994)

Hasil Identifikasi dan Deskripsi Bakteri


Kelima bakteri tersebut terdiri dari tiga bakteri famili Vibrionaceae dan dua famili
Enterobacteriaceae. Deskripsi terhadap kelima bakteri adalah sebagai berikut:

Vibrio harveyi
Memiliki nama sinonim : Lucibacterium harveyi, Beneckea harveyi,
Achromobacter harveyi, Pseudomonas harveyi, Photobacterium harveyi, Vibrio
carchariae, Vibrio trachuri; (Thompson, 2002). Tumbuh pada media Marine agar (MA)
dengan koloni warna putih agak orange, ukuran koloni besar, menyebar dan
permukaan halus mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi cembung serta
pinggiran rata. Koloni pada mediaTCBS berwarna hijau kecil. Uji biokimia positif pada
uji glukosa (tidak terbentuk gas), oksidase, maltose, sukrosa, motility, urease, dan

Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen B2-91


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

tumbuh pada suhu 30oC dan 40oC. Vibrio harveyi adalah bakteri yang bersifat
fakultatif anaerob yang hidup di air laut secara bebas dan tidak membentuk hubungan
simbiosis, tetapi bakteri ini merupakan patogen yang umum terhadap banyak biota laut
serta dapat bertahan hidup dalam konsentrasi oksigen yang rendah (Miller, 2005).
Vibrio harveyi patogen terhadap ikan dan invertebrata, termasuk hiu, kuda laut,
lobster, dan udang. Patogenisitas tergantung pada konsentrasi sel bakteri V. harveyi
pada waktu yang diberikan. Penyakit yang disebabkan oleh V. harveyi yaitu eye –
lesion, gastro-enteris dan luminous vibriosis yang merupakan penyebab utama
kematian pada udang. Kontaminasi bakteri ini bisa menyebar ke semua jalan hingga
telur dan bak larva. V. harveyi tidak patogen pada manusia (Lightner, 1993; Austin dan
Zhang, 2006).

Vibrio vulnificus
Tumbuh pada media Marine agar (MA) berwarna putih agak orange dengan
ukuran koloni kecil, dan permukaan halus mengkilap, Bentuk sirkular (melingkar),
Elevasi cembung serta pinggiran rata. Koloni pada media TCBS berwarna hijau besar.
Uji biokimia positif untuk uji glukosa dan terbentuk gas dari glukosa, oksidase,
maltose, sukrosa, motility, urease, tumbuh pada uji NaCl 3 % dan terbentuk H2S.
Bakteri ini ditemukan hidup di daerah lingkungan laut seperti daerah estuari, air payau
dan daerah pesisir. Merupakan bakteri yang keberadaanya tidak dikaitkan dengan
limbah organik atau pencemaran tetapi V. Vulnificus keberadaannya dihubungkan
dengan V.cholerae yang merupakan agen penyebab penyakit cholera pada menusia
(Oliver dan kaper, 2001; Oliver, 2005). Jika terinfeksi bakteri ini dapat mengakibatkan
penyakit cellulitis dan septicemia dan dapat terjadi jika kita memakan daging seafood,
terutama yang masih mentah atau setengah matang dengan gejala muntah, sakit
perut, diare akut, gastroenteris dan blistering dermatitis. Bakteri ini hidup dengan
memfermentasi laktosa baik dalam keadaan aerobik maupun anaerobik dan tergolong
jenis parasit oportunistik. Walaupun infeksi Vibrio vulnificus tergolong cukup
berbahaya, namun infeksi oleh bakteri ini tidak pernah terjadi secara meluas. Kasus-
kasus infeksi oleh Vibrio vulnificus ditemukan secara sporadik di daerah-daerah pantai
Amerika Serikat, New Zealand, dan Jepang. Infeksi Vibrio vulnificus di Amerika Serikat
95% terjadi saat laut hangat antara Bulan Mei dan Oktober (James et al., 2006).

Aeromonas caviae.
Memiliki nama sinonim Aeromonas punctata. Hidup secara aerobik maupun
anaerobik dan ditemukan dalam air limbah, air tawar, air payau dan binatang. Ciri
morfologi koloni bakteri pada media Marine Agar (MA) berwarna coklat muda dengan
bagian tengah terdapat berwarna hitam dengan ukuran koloni kecil, dan permukaan
halus mengkilap, bentuk bulat, elevasi cembung serta pinggiran rata. Sedangan
pertumbuhan pada media TCBS berwarna kuning kecil. Uji glukosa negatif, sedangkan
uji positif terdapat pada uji maltose, surosa, katalase, oksidase, NaCl 3%, motile, dan
Methyl Red. Infeksi Aeromonas caviae kronis pada manusia mengakibatkan penyakit
gantroenteristis, wound infection dan bacteremia, biasanya ditandai dengan bentuk
ulcerous dari penyakit dimana pada lesi kulit terdapat perdarahan fokal dan nampak
peradangan. Dermis dan epidermis keduanya luruh dan otot dibawahnya mengalami
kematian jaringan kemudian infeksi biasanya menjadi sistemik dan hemorage pinpoin
(petechiae) bisa terjadi di seluruh peritoneum dan otot (Monfor dan Baleux,
1990).Infeksi aeromonas terkadang berasosiasi dengan infestasi oleh protozoa parasit
Epistylis sp, Faktor stress lingkungan yang berhubungan dengan kondisi kualitas air
yang buruk, terlibat dalam perkembangan penyakit. Faktor-faktor ini meliputi

B2-92 Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

temperatur air yang tinggi, level ammonia dan nitrit yang tinggi, ketidakseimbangan
pH, dan level oksigen terlarut yang rendah. Banyaknya parasit, kepadatan yang terlalu
tinggi, kadar bahan organik yang tinggi dalam air, aktivitas pemijahan, aktivitas rough
handling dan transportasi juga dapat meningkatkan resiko penyakit. tahapan serius
terhadap paparan stress, seperti kekurangan oksigen yang disebabkan oleh toksisitas
nitrit, sering diikuti oleh infeksi Aeromonas dalam satu minggu (Camus et al., 1998).

Vibrio hollisae
Memiliki nama sinonim Grimontia hollisae. Tumbuh pada media Marine Agar (MA)
berwarna coklat muda dengan ukuran koloni sedang, dan permukaan halus
mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi cembung serta pinggiran rata. Koloni
bakteri pada media TCBS berwarna kuning besar. Uji positif hanya terdapat pada
motility dan tumbuh pada media NaCl 1%, 6% dan 8%. Bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit gastroenteris, bacteremia dan diare pada manusia yang
terinfeksi melalui konsumsi makanan jenis kerang dan ikan yang terkontaminasi
(Carnahan et al., 1994). Menghasilkan heat-labile enterotoxin (Holt et al., 1994)

Klebsiella terrigena
Merupakan kelompok bakteri Enterobacteriaceae yang tumbuh pada media
Marine agar (MA) berwarna coklat muda dengan ukuran koloni sedang, dan
permukaan halus mengkilap., Bentuk sirkular (melingkar), Elevasi berbentuk seperti
tombol, pinggiran rata dan permukaannya kasar. Koloni pada media TCBS berwarna
kuning besar. Uji biokimia negatif untuk oksidase sehingga tidak termasuk dalam
genus Vibrio sp, sedangkan uji positif ditunjukkan pada uji glukosa (tanpa gas),
maltose, NaCl 1%, 6% dan 8% dan motile. Sebagaian besar diisolasi dari tanah dan
air, jarang terdapat pada manusia. Klebsiella terringena tidak menunjukkan hubungan
dengan penyakit pada manusia, kecuali pada jenis Klebsiella pneumonia dan K.
oxytoca. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri patogen oportunistik yang
ditemukan di lingkungan dan permulaan mukosa mamalia. Paling bertanggungjawab
terhadap terjadinya infeksi nosocomal dan faktor virulence (Izard et al., 1981).
Anggota dari genus Klebsiella bersifat aeorobik. Menghasilkan toksin ekstraseller
kompleks yang telah ditunjukkan dapat mematikan dan mengakibatkan pembesaran
paru-paru pada mencit, biasanya mengungkapkan 2 jenis antigen pada permukaan sel
mereka. Yang pertama adalah lipopolisakarida (O antigen), yang lain adalah
polisakarida kapsul (K antigen). Kedua antigen berkontribusi pada patogenisitas
(Straus, 1987)
Vibriosis, seperti patogen yang lain, masuk dalam unit pembenihan atau
pemeliharaan dengan 3 jalur utama : sumber air laut, calon induk dan stok pakan
alami (alga). Pengaruh faktor lingkungan sangatlah penting, karena penyakit timbul
hanya jika keseimbangan toleransi bergeser ke arah yang menguntungkan bakteri
patogen. Faktor musim juga bisa menjadi penyebab tercemarnya lingkungan yang
ada, dimana pada pergantian musim kemarau ke musim hujan infeksi bakteri lebih
sering ditemukan. Vibriosis dapat dikontrol dengan pengaturan air dan sanitasi yang
teliti untuk mencegah masuknya Vibrio pada budidaya biota laut (Baticados et al.,
1990) dan mengurangi stress yang terjadi pada biota (Ligtner, 1993). Pemilihan
tempat yang tepat untuk kolam, desain kolam dan preparasi kolam juga sangat
penting (Nash et al., 1992). Pemberian bakteri prebiotik secara langsung pada air atau
makanan biota juga dapat mencegah Vibriosis, seperti yang dilaporkan oleh
Jaravanicpaisal dan Chuaychuwong (1997) dengan menggunakan Lactobacillus sp.
sebagai bakteri prebiotik pada larva udang windu (P. monodon).

Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen B2-93


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil uji fisologis dan uji biokimia yang dicocokkan dengan
kunci identifikasi yang digunakan, kelima isolat yang diisolasi dari larva teripang pasir
(Holothuria scabra) antara lain isolat AL1911 adalah Vibrio harveyi, isolat AL2911
adalah Vibrio vulnificus, isolat AL3911 adalah Aeromonas caviae, isolat NF1911 adalah
Vibrio hollisae dan isolat NF2911 adalah Klebsiella terrigena. Vibriosis, seperti patogen
yang lain, masuk dalam unit pembenihan atau pemeliharaan dengan 3 jalur utama :
sumber air laut (lingkungan), calon induk dan stok pakan alami (alga).

UCAPAN TERIMAKASIH
Kami sampaikan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir.D.E.D.Setyono, M.Sc. atas
dukungan dan bantuanya kepada kami, sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Austin B, and Zhang XH. 2006 . Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine
vertebrates and invertebrates. Lett Appl Microbiol.
Baticados, M. C. L., Lavilla-Pitogo, C. R., Cruz-Lacierda, E. R., de la pena, L. D. and
Sunaz, N. A.. 1990. Studies on the Chemical Control of Luminous Bacteria Vibrio
harveyi and V. splendidus isolate from desease Panaeus Monodon Larvae and
Rearing Water. Dis. Aquat. Org. 9: 133-139 43(2):119-24
Camus, A. C., R. M. Durborow, W. G. Hemstreet, R. L. Thune dan J. P. Hawke. 1998.
Aeromonas Bacteria Infection-Motile Aeromonad Septicemia. SRAC Publication
No. 478.
Carnahan, AM; J. Harding; D. Watski and S, Hansman. 1994. Identification of Vibrio
hollisae with severe gastroenteristis after consumption of raw oyster. J. Clin
Microbiol 32(7): 1805 – 1806
Costelloe J.. 1988. Reproductive cycle, development and recruitment of two
geographically separated populations of the dendrochirote holothurian Aslia
lefevrei. Marine Biology 99,535-545.
Darsono, P., 1994, Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang,
Oseana, 19 (4), Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakartaha, hal. 13-21
Darsono, P., 1999, Perkembangan Pembenihan Teripang Pasir Holonthuria scabra di
Indonesia. Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang, Oseana,
24 (3), Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakartaha, hal. 35-45
Holt, J. G., N. R. Krieg, Piter H. A. S., J. T Staley, S. T. Williama. 1994. Bergey's Manual
of Determinative Bacteriolog, Ninth Edition. Lippincott William and Wilkins,
Baltimore.
Izard, D.; Ferragut, C., Gavini, F., Kersters, K., de Ley, J., Leclerc, H. (1 April 1981).
"Klebsiella terrigena, a New Species from Soil and Water". International Journal
of Systematic Bacteriology 31 (2): 116–127
James, William D.; Berger, Timothy G.2006. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. Saunders Elsevier
Jaravanichpaisal, P and Chuaychuwong. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as
Treatment of Vibriosis In Panaeus monodon (giant tiger shrimp). J. Aq., 151.
Ligtner, D. V. 1993. Disease of Cultured Peneid Shrimp. In: J. P. McVey (ed.) CRC
Handbook of Marineculture, Second edition, Volume 1, Crustacean Aquaculture.
CRC Press Inc., Boca Raton, FL. P. 393-486.

B2-94 Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Mahardika, K .Zafran, 2004. Infeksi Iridovirus Pada Juvenil Kerapu Bebek


(Cromileptes altivelis) Di Karamba Jaring Apung. Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Gondol. Bali. Prosiding. Pengendalian Penyakit Pada Ikan
Dan Udang berbasis Imunisasi Dan Biosecurity.
Martoyo, J., N. Aji, dan T. Winanto, 2006, Budidaya Teripang, Cet. 6, edisi revisi,
Penebar Swadaya, Jakarta
Miller, S.D., S.H.D. Haddock, C.D. Elvidge, T.F. Lee. 2005. Detection of a
bioluminescent milky sea from space. Proc. National Acadamy Science.
102:14181-14184
Monford, P. and B. Baleux. 1990. Dynamics of Aeromonas hydrophila, Aeromonas
sorbia, and Aeromonas caviae in a Sewage Tretment Pond. Laboratoire
d’Hydrobiologic marine et Continentale, Unite de Recherche Assosiee, Center
national de la Recherche Scientifique 1355, Universitas des Sciences et Tecniques
du language, F-34060 Montpellier Cedex, France
Nash, GNithimachachoke, C., Tungmandi, C., Arkarjamorn, A,. Pranhanpipat, P. and
Ruamthaveesub, P. 1992. Vibriosis and its Control ind pond-reared Panaeus
monodon in Thailand. In: M. Shariff, R. P. Subasinghe and J. R. Authur (eds.)
Disease in Asian Aquaculture 1. Fish Health Section, Asian Ficheries Society,
Manila, Philippines. Pp. 143-155
Nuraini, S., I.S. Wahyuni, dan S.T. Hartini. 1992. Studi tentang Sumberdaya Teripang
dan Ikan Karang di Perairan Pulau-Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan, Juruusan Perikanan Laut. 71:81-88
Oliver JD, and Kaper J (2001). Vibrio species. pp. 263-300 In: Food Microbiology:
Fundamentals and Frontiers. (Doyle MP et al., editors) (2nd ed.). ASM Press
Oliver JD. (2005). Wound infections caused by Vibrio vulnificus and other marine
bacteria. Epidemiol Infect 133 (3): 383–91.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?tool=pmcentrez&artid=287
0261.
Panggabean, T. M. 1987. Membudidayak Teripang / Ketimun Laut Dalam
RangkaMeningkatkan Produksi Hasil Laut di Indonesia. INFIS Manual Sem 44. 35
hal.
Rukyani, A. 1993. Penaggulangan Penyakit Udang Windu, Penaeus monodon. Dalam
Hanafi, A., M. Atmmarsono, dan S. Ismawati (Eds). Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros 16-19 Juli. P. 1-8
Rustam, 2006, Budidaya Teripang, Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab.
Selayar), Yayasan Mattirotasi, Makassar.
Straus, David C. 1987. "Production of an extracellular toxic complex by various strains
of Klebsiella pneumoniae." Infection ad Immunity, vol. 55, no. 1. American
Society for Microbiology. (44-48)
Thompson, FL. Vibrio trachuri Iwamoto et al. 1995 is a junior synonym of Vibrio
harveyi (Johnson and Shunk 1936) Baumann et al. 1981. Int J Syst Evol
Microbiol. 2002 May;52(Pt 3):973-6
Tuwo, A. and C. Conand. 1992. Development in “Beche de mer” Production in
Indonesia during the last Decade. Beche de mer, inform. Bull 4, July; 2-3

Dien Arista A, Asep R: Analisa Bakteri Patogen B2-95


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PENGGUNAAN IMMUNOSTIMULAN (BAKTERIN DAN ZOSO)


UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (PENAEUS MONODON)
DI TAMBAK INSTALASI MARANAK, MAROS

Nurhidayah dan Arifuddin Tompo

BALAI RISET PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU (BRPBAP)


JL. MAKMUR DG. SITAKKA 129, MAROS, SUL-SEL 90511
TELP. (04110 371544; FAX (0411) 371545
E-mail: litkanta@indosat.net.id

Abstrak: Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh


penggunaan immunostimulan (zoso dan bakterin) untuk pencegahan penyakit
pada budidaya udang windu di tambak. Penelitian dilakukan di Instalasi tambak
Marana Maros, Sulawesi Selatan, menggunakan 6 petak tambak ukuran 500 m2
dengan padat tebar 4 ekor/m2 PL 42 dengan berat rata-rata 0,031 gr/ekor. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan immunostimulan memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan udang windu. Perlakuaan
menggunakan bakterin lebih baik dibanding perlakuan lain dengan sintasan
sebesar 82,2% dan pertumbuhan 25,1 gr, disusul perlakuan zoso (B) dengan
sintasan 61,75% dan pertumbuhan 22,65 gr dan terendah pada kontrol (C)
dengan sintasan 43,25% dan pertumbuhan 20,15 gr. Beberapa parameter kualitas
air selama penelitian masih layak untuk budidaya udang windu di tambak.

Kata Kunci: Pencegahan penyakit, bakterin, Zoso, tambak

PENDAHULUAN
Kementerian Kelautan dan Perikanan masih menempatkan udang sebagai
komoditas unggulan perikanan budidaya selama 2010-2014. Selama periode 2010-
2014 produksi udang diharapkan meningkat 74,75% atau dari 400 ribu ton menjadi
699 ribu ton yang terdiri atas udang vaname dan udang windu. Industri budidaya
udang windu secara intensif dan transportasi udang windu ke seluruh dunia diketahui
berhubungan erat dengan meningkatnya kejadian infeksi penyakit yang menyerang
udang windu selama dua dekade ini (Saulnier et al. 2000).
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang asli
berasal dari diperairan Indonesia. Udang ini digemari oleh seluruh dunia dan memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi, bahkan menjadi komoditas primadona dari
Indonesia. Akan tetapi sejak tahun 1995 produksi jenis udang ini mengalami
penurunan oleh karena adanya serangan penyakit pada areal pertambakan dan panti
perbenihan (Yanto, 2006). Penyakit yang paling sering menyerang panti
benih/hatchery adalah vibriosis.
Bakteri vibrio berpendar adalah salah satu penyebab penyakit yang cukup
banyak menyerang hewan budidaya seperti udang (Baticados et al. 1990;
Karunasagar et al. 1994; Moriarty 1998; Zhang and Austin 2000), Vibrio harveyi
merupakan bakteri yang membutuhkan sodium klorida untuk hidupnya, berbentuk
curve-rod dan termasuk dalam kelompok bakteri gram negative yang banyak
ditemukan pada lingkungan perairan (Farmer et al., 2005) serta dapat memendarkan

B2-96 Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

cahaya sendiri pada kondisi tertentu. Spesies bakteri ini terdistribusi secara luas pada
lingkungan akuatik dan diketahui menjadi penyebab utama penyakit kunang-kunang
pada organisme laut maupun payau. Selain sebagai penyebab utama, sering kali juga
bertindak sebagai agen oportunistik pada infeksi sekunder (Saulnier et al., 2000b).
Menurut data produksi udang windu dunia yang dirilis oleh FAO, terlihat adanya
penurunan produksi dari 730.404 ton pada tahun 2003 menjadi 715.447 ton pada
tahun 2004. Penurunan produksi juga terjadi pada tahun 2005 (674.954 ton) dan
tahun 2006 (658.221 ton) (FAO, 2006). Penurunan produksi ini disebabkan adanya
serangan berbagai penyakit baik penyakit infeksius maupun noninfeksius, yang
menyerang larva di panti benih maupun juvenil udang yang dipelihara di tambak. Oleh
karena itu perlu dicari metode-metode dalam usaha untuk pengendalian penyakit,
salah satu cara adalah dengan jalan meningkatkan daya pertahanan udang .
Pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi prioritas dalam
mempertahankan kelangsungan industri budidaya udang. Untuk mengatasi hal
tersebut salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kekebalan
non spesifik udang terhadap serangan penyakit dengan menggunakan
immunostimulan.
Pencegahan penyakit melalui berbagai penggunaan immunostimulan telah
banyak dilakukan, namun hingga sekarang belum meminimalkan terjadinya serangan
penyakit secara mendadak. Beberapa pengendalian yang banyak beredar di pasaran
untuk penanggulangan penyakit udang windu adalah dengan menggunakan probiotik
pasaran seperti Bio Ps, EM6 dan salah satu produk yang baru dicoba pada udang
windu adalah sozo yang mampu mempertahankan keseimbangan ekosistem air dan
dapat menetralisisr racun di dalam air tambak.

TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan
immunostimulan bakterin dan zoso untuk pencegahan penyakit pada budidaya udang
windu di tambak.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2011 di Instalasi Tambak
Percobaan Marana, menggunakan 6 petak tambak masing-masing seluas 500 m2 yang
dilengkapi dengan sumur bor dan petak tandon. Penelitian ini didesain dalam
Rancangan Acak Lengkap (RAL)dengan perlakuan : A= bakterin asal BRPBAP, B=Sozo
Fm2 ( Natural Feed Additive For Aquakulture), C= kontrol, masing-masing perlakuan
diulang 2 kali.
Persiapan tambak dilakukan dengan mengikuti standar operasional pertambakan
. Aplikasi dolomit 2 kali per minggu untuk semua perlakuan dengan dosis 2 – 5 ppm
setiap kali penggunaan setelah ganti air mulai pada saat penebaran hingga panen.
Padat penebaran hewan uji yang dicobakan adalah 40.000 ekor/ha atau 4 ekor/m2 PL
42 dengan berat rata-rata 0.031 gram/ekor pola tradisional plus. Penggunaan bakterin
sebelum ditebar direndam ±30 menit, selanjutnya dengan selang waktu 12 hari selama
3 hari berturut-turut melalui peleting pakan, sedangkan perlakuan penggunaan zoso
dilakukan pada saat penebaran melalui aplikasi langsung ke petakan tambak masing-
masing 1 botol (10 mL), kemudian dilanjutkan penebaran larva udang windu,
penggunaan sozo selanjutnya dilakukan setiap minggu dan tidak dilakukan pergantian

Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan B2-97


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

air hanya penambahan air 2 kali seminggu sampai akhir penelitian. Sedangkan
perlakuan penggunaan bakterin dan kontrol dilakukan pergantian air 2 kali seminggu
hingga akhir penelitian. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan selama penelitian
yang meliputi: suhu, pH, BOT, DO, salinitas, NH3-N sedangkan pengukuran
pertumbuhan, sintasan dan produksi udang windu dilakukan pada akhir penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sintasan dan pertumbuhan Udang windu
Rata-rata sintasan dan pertumbuhan udang windu yang diperoleh pada akhir
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Sintasan tertinggi diperoleh sebesar 82,2%
dengan pertumbuhan 25,1 gr pada penggunaan bakterin BRPBAP (perlakuan A),
disusul Aplikasi sozo 61,75% dengan pertumbuhan 22,65 gr (perlakuan B) dan
terendah pada kontrol 43,25% dengan pertumbuhan 20,15 gr (perlakuan C).

Tabel 1. Sintasan dan Pertumbuhan Udang Windu Pada Akhir Penelitian di Instalasi
Tambak Percobaan Marana, Maros

Perlakuan Sintasan (%) Pertumbuhan


A1 78,8 24,5
A2 85,6 25,7
Rata-rata 82,2a 25,1
B1 65 21,8
B2 58,5 23,5
Rata-rata 61,75b 22,65
C1 48 19,6
C2 38,5 20,7
Rata-rata 43,25c 20,15

Dari tabel tersebut terlihat bahwa sintasan menunjukkan adanya perbedaan


yang nyata (P>0,05) diantara perlakuan yang diaplikasikan dibanding dengan kontrol.
Ini menunjukkan bahwa pemberian imunostimulan dapat meningkatkan kelangsungan
hidup udang windu sebagai akibat dari adanya haemosit yang terinduksi sehingga
dalam tubuh udang timbul pertahanan untuk melawan mikroorganisme patogen dari
luar. Hal ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan selama pemeliharaan
menunjukkan adanya efek yang nyata terhadap sintasan dan pertumbuhan udang
windu.
Tingginya sintasan pada perlakuan A karena adanya aplikasi bakterin produksi
BRPBAP menunjukkan bahwa udang langsung berabtasi dengan pakan yang diberikan
sehingga respon kekebalan terinduksi dalam tubuh udang dan terstimulasi untuk
melawan serangan penyakit dimana diketahui bahwa sistem pertahana udang bersifat
non spesifik, kemudian disusul perlakuan B yaitu aplikasi sozo dan terendah pada
kontrol (tanpa bakterin dan sozo). Ini menunjukan bahwa penggunaan imunostimulan
baik bakterin maupun sozo telah mampu menekan pertumbuhan bakteri yang ada
dalam tambak dan keduanya berperan dalam meningkatkan kelangsungan hidup
udang windu yang dibudidayakan, sekalipun pemberian bakterin lebih baik daripada
sozo.

B2-98 Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Parameter Kualitas Air


Kisaran parameter kualitas air tambak aplikasi bakteri probiotik selama penelitian
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata kisaran parameter kualitas air selama penelitian

Parameter A B C
Suhu (oC) 27,0 – 29,7 27,5 – 30,1 29,4 - 30,2
Oksigen terlarut 3,7 – 6,4 3,2 – 6,3 4,0 - 6,4
(ppm)
pH 7,2 - 8,5 7,4 – 8,2 7,2 - 8,5
Salinitas (ppt) 17 – 30 17 – 29 16 – 30
Amonia (ppm) 0,010 – 0,120 0,015 – 0,128 0,0105-0,0151
BOT (ppm) 28,35 - 32,89 32,99 – 34,09 28,54 - 35,80

Kisaran rata-rata beberapa parameter kualitas air selama penelitian disajikan


pada Tabel 2, pada tabel tampak kisaran suhu 27oC – 30,2oC, kondisi ini masih berada
pada kisaran yang optimal untuk pertumbuhan udang yakni 26oC – 31oC (Suyanto
dan Mujiman 2004). Kisaran oksigen terlarut selama penelitian adalah 3,2 – 6,4 ppm
masih dalam kisaran optimal sesuai dengan pendapat Ahmad (1991) bahwa kisaran
oksigen yang dikehendaki untuk budidaya udang > 3 mg/L. pH berkisar antara 7,2 –
8,5 ini layak untuk budidaya udang sesuai pendapat (Poernomo, 1979) bahwa pH yang
baik untuk pertumbuhan udang windu berkisar antara 7,0 – 8,6 . Kadar salinitas
tambak berkisar antara 16 – 30 ppt masih optimal bagi udang sesuai pernyataan
Effendi (2002) , udang tumbuh dengan baik pada kisaran 12 – 35 ppt.
Penumpukan sisa-sisa pakan dan sisa metabolisme udang akan mengakibatkan
timbulnya amoniak dalam air. Kisaran amonia selama penelitian 0,010 – 0,120 ppm,
masih dalam kondisi optimal sesuai pendapat Soetomo (2002) yang menyatakan
bahwa kandungan amoniak di dalam air harus , 2 mg/L. Sedangkan BOT berkisar
antara 28,35 – 34,09 ppm ini masih layak untuk pertumbuhan udang karena kisaran
optimal kandungan bahan organik untuk pemeliharaan udang antara 50 – 60 ppm
(Adiwijaya dkk, 2003).

KESIMPULAN
- Imunostimulan bakterin produksi BRPBAP dan sozo pada budidaya udang
windu berpengaruh terhadap respon imun dan tingkat kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang windu.
- Imunostimulan bakterin lebih baik dibanding sozo untuk pencegahan penyakit
pada budidaya udang windu
- Parameter kualitas air selama penelitian masih berada pada kisaran yang layak
untuk pertumbuhan dan sintasan udang windu

SARAN
Disarankan pada pembudidaya udang windu di tambak menggunakan
imunostimulan bakterin produksi BRPBAP untuk meningkatkan sintasan dan memacu
pertumbuhan udang windu

Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan B2-99


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad , T.1991. pengelolaan peubah mutu air dalam Tambak udang intensif.
Direktorat Jenderal perikanan. Maros. 39 hal
Adiwijaya, D., Erik.S dan Dwi,S. 2003. Produktivitas Pada Budidaya Udang
Windu Sistem Tertutup. Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi
Petambak, Balai BPAP. Pertemuan UPT Budidaya Air Payau dan Laut Ditjen
Perikanan Budidaya, Jepara
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Science
Publishers. 318 p.
Baticados. MCL., CR Lavilla-Pitogo, ER Cruz-Lacierda, LD de la Pena, NA Sunaz. 1990.
Studies on the chemical control of luminous bacteria Vibrio harveyi and V.
splendidus isolated from diseased Penaeus monodon larvae and rearing water.
Diseases of Aquatic Organism, 9: 133-139.
Chelossi E, Vezzulli L, Milano A, Branzoni M, Fabiano M, Riccardi G, Banat IM. 2003.
Antibiotic resistance of benthic bacteria in fish-farm and control sediments of the
Western Mediterranean. Aquaculture 219, 83–97.
Effendi,H. 2000. Telaah Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Bogor.
Farmer, J. J. & Hickman-Brenner, F. W. (1992). The genera Vibrio and
Photobacterium. P:2952–3011. In Balows, A. (Ed). The Prokaryotes – a
Handbook on the Biology of Bacteria: Ecophysiology, Isolation, Identification,
Applications. New York: Springer
Hepher, B. 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Pres, New York.
388p.
Karunasagar, I., Pai, R., Malathi, G.R., Karunasagar, I. 1994. Mass mortality of
Penaeus monodon larvae due to antibiotic-resistant Vibrio harveyi infection.
Aquaculture 128:203–209
Kesarcodi-Watson A, Kaspar H, Lategan MJ, Gibson L. 2008. Probiotics in aquaculture:
The need, principles and mechanisms of action and screening processes.
Aquaculture 274: 1–14
Kusnendar, E. 2003. Kebijakan pemerintah dalam merevitalisasi usaha budidaya
udang. Makalah pada Seminar Workshop Revitalisasi Budidaya Tambak Udang di
Indonesia, Surabaya, 27 Agustus 2003. 31 halaman.
Moriarty. D.J.W. 1998. Control of luminous Vibrio species in penaeid aquaculture
ponds. Aquaculture 168: 351-358
Midelan A, Redding T. 2000. Environmental Management for Aquaculture. Kluwer
Akademic Publishers, Netherlands. 223.p

Saulnier, D., Avarre, J.C., Le Moullac, G., Ansquer, D., Levy, P., Vonau, V. 2000a.
Rapid and sensitive PCR detection of Vibrio penaeicida, the putative etiological
agent of Syndrome 93 in New Caledonia. Dis. Aquat. Org. 40: 109–115.
Saulnier, D., Haffner, P., Goarant, C., Levy, P., Ansquer, D. 2000b. Experimental
infection models for shrimp Vibriosis studies: a review. Aquaculture 191:133–
144.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Alih bahasa:
Bambang Sumantri. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. 748 hal.
Zhang, X.-H., Austin, B. 2000. Pathogenicity of Vibrio harveyi to salmonids. J. Fish Dis.
23:93–102

B2-100 Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria as


biological control agents in Aquaculture. Microbiolgical and Molecular Biology
Review, 64: 655-671.

Nurhidayat, Arifudidin Tompo: Penggunaan Immunostimulan B2-101


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PENGARUH DOSIS PAKAN BUATAN


YANG BERBAHAN BAKU LOKAL
DALAM PAKAN PEMBESARAN LOBSTER
AIR TAWAR CAPIT MERAH (Cherax quadricarinatus)

Kamaruddin1 dan Lukman Daris2


1
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros
E-mail: kamaruddinbilla@yahoo.co.id
2
Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis pakan buatan yang
tepat terhadap pertumbuhan dan sintasan lobster air tawar dan diharapkan
pemanfaatan pakan yang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Penelitian ini
dilaksanakan di Balai Benih Ikan Maros. Wadah yang digunakan dalam penelitian
adalah akuarium kaca yang berukuran 60 x 45 x 45 cm, dilengkapi dengan aerasi
dan selter yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter ¾ inci yang berukuran
panjang 10 cm sebanyak 10 potong dalam setiap akuarium. Hewan uji yang
lobster air tawar jenis capit merah dengan berat rata-rata 4,90 g/ekor. Padat
penebaran yang digunakan adalah 10 ekor setiap akuarium. Hasil penelitian ini
nenunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh dari perlakuan B (3%)
yaitu 86,67%. Hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap
semua pelakuan. Laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian yang
tertinggi diperoleh dari perlakuan A yaitu sekitar 0,64+0,26% dan yang terendah
diperoleh dari perlakuan C yaitu sekitar 0,26+0,04%. Dari hasil tersebut terlihat
adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, perlakuan A dengan
perlakuan C, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan B dan perlakuan D (P>0,05).
Tingkat konsumsi pakan yang tertinggi diperoleh dari perlakuan D, yaitu sekitar
82,85% menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan perlakuan yang
lain.

Kata Kunci: Pakan berbahan baku lokal, dosis pakan dan lobster air tawar

PENDAHULUAN
Pada kegiatan budidaya secara intensif, pakan merupakan salah satu faktor
kunci keberhasilan kegiatan budidaya perikanan, karena kontribusinya dapat mencapai
70 % dari total biaya produksi (Harris 2006) terutama untuk biaya komponen protein
pakan (Bender et al., 2004). Saat ini komponen pakan buatan untuk ikan didominasi
oleh penggunaan tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini dikarenakan,
tepung ikan memiliki kandungan nutrisi yang sangat cocok dengan kebutuhan ikan
budidiya, terutama profil asam amino essensialnya. Pada nilai konversi pakan sekitar
1,5 maka diperlukan sebanyak 0,5-0,75 kg tepung ikan atau setara dengan 1,8-3 kg
ikan rucah (kadar air 75%) untuk memproduksi 1 kg ikan. Hal ini menyebabkan
akuakultur yang berbasis pakan buatan dengan tepung ikan sebagai sumber protein
utamanya, tergolong kegiatan yang tidak menguntungkan secara ekologis. Oleh karena
itu perlu adanya alternatif sumber protein pakan yang memiliki performansi nilai nutrisi
yang relatif setara dengan tepung ikan atau dapat memenuhi kebutuhan ikan budidaya
untuk tumbuh sacara optimum.

B2-102 Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha budidaya lobster air tawar, di
mana komposisi pakan tersebut harus memenuhi kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan dan sintasan, dalam usaha budidaya lobster pakan buatan sangat
penting, mengingat pakan alami yang susah untuk di kultur dan membutuhkan waktu
yang cukup lama serta kandungan nutrisi yang tidak lengkap, jenis pakan buatan atau
pellet yang diberikan adalah pellet komersil seperti pellet untuk udang windu atau
udang galah. Dosis pemberian pakan buatan untuk lobster air tawar harus sesuai
dengan kebutuhan lobster, menurut Patasik (2004) jumlah pakan yang kurang
mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan lobster, sementara itu pakan yang
berlebihan mengakibatkan pemborosan karena tidak termakan oleh lobster, disamping
itu pakan akan membusuk dan biasa menjadi sumber penyakit, sehingga di upayakan
tepat dosis dan tepat waktu pemberiannya.
Salah satu kendala yang dihadapi pada budidaya lobster air tawar saat ini
adalah belum diproduksi secara komersial pellet khusus untuk pembesaran cherax.
Meskipun sering di temukan pada buku mengenai dosis pemberian pakan untuk lobster
air tawar di kalangan petani yaitu 3% dari bobot tubuh lobster. Namun nilai tersebut
belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan minimnya kajian ilmiah tentang
penentuan dosis pemberian pakan buatan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian
mengenai pemanfaatan bahan baku lokal untuk pembesaran cherax melalui penetapan
dosis pakan yang tepat.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih Ikan (BBI) Bantimurung Kabupaten
Maros. Wadah yang digunakan dalam penelitian adalah akuarium kaca yang
berukuran 60 x 45 x 45 cm masing-masing dibungkus dengan plastik hitam untuk
menghindari lobster stress akibat gangguan dari luar dan ditutupi dengan waring hitam
pada bagian atas supaya tidak bisa lolos serta di lengkapi dengan aerasi dan selter
yang terbuat dari pipa paralon yang berdiameter ¾ inci yang berukuran panjang 10
cm sebanyak 10 potong dalam setiap akuarium sebagai tempat perlindungan atau
persembunyian lobster. Hewan uji yang digunakan adalah lobster air tawar jenis capit
merah Cherax quadricarinatus yang diperoleh dari salah seorang petani lobster di Kota
makassar, yang berukuran panjang 4 - 5 cm dan berat rata-rata individu 4,90 g. Padat
penebaran yang digunakan adalah 10 ekor setiap akuarium. Rancangan percobaan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3
ulangan sehingga didapatkan 12 unit percobaan. Perlakuan yang yang dimaksud
adalah perlakuan A dengan dosis 2,5%, perlakuan B dengan dosis 3,0 %, perlakuan C
dengan dosis 3,5 % dan perlakuan D dengan dosis 4,0% dari biomassa hewan uji.
Pakan uji yang digunakan berasal dari bahan baku lokal, seperti pada (Tabel 1),
kemudian diformulasi (Tabel 2). Cara pemberian pakan yaitu menebarkan pakan
secara merata pada wadah agar kesempatan memperoleh pakan bagi hewan uji sama.
Waktu pemberian pakan yaitu dua kali sehari, pagi (08.00) sebanyak 40 % dan sore
(16.00) sebanyak 60 % . Hewan uji dipelihara selama 60 hari.

Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan B2-103


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 1. Komposisi nutrisi masing-masing bahan baku pakan (% berat kering)

Bahan Air Abu Lemak protein s. kasar BETN


T. Ikan 6,34 16,65 4,9 50 1,5 17,82
B. Kopra 3,5 7,58 6,62 21,97 11,39 52,44
Polar 9,34 3,53 3,53 18,28 13,12 61,54

Tabel 2. Formulasi Pakan uji yang digunakan

Bahan Jumlah (%)

Tepung Ikan 40
Bungkil Kopra 30
Polar 28
Vitamin 1
Mineral 1
Total 100
Total potein 31,29
Total lemak 2,88
Serat kasar 5,63
Kadar abu 16,45
BETN 20,48

Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan, sintasan, tingkat komsumsi pakan,


dan rasio konversi pakan (FCR), untuk mengetahui peubah tersebut dilakukan
sampling 1 kali setiap 10 hari sampai akhir penelitian menggunakan timbangan
elektrik dengan tingkat ketelitian (0,01 g). Sedangkan sintasan, tingkat tingkat
konsumsi pakan dan FCR dilakukan pada akhir penelitian.
Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup, maka dilakukan penghitungan
jumlah lobster pada awal dan akhir penelitian dengan cara menghitung keseluruhan
hewan uji pada setiap akuarium. Penentuan sintasan dilakukan pada akhir penelitian
dengan menggunakan rumus Effendie (1997) :

Dimana : S = Sintasan (%)


Nt = Jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah hewan uji yang hidup awal penelitian (ekor)

Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik hewan uji dilakukan penimbangan


lobster menggunakan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,01g setiap 10 hari
selama masa pemeliharaan, laju pertumbuhan spesifik hewan uji di hitung berdasarkan
rumus Schulz et al., (2005) sebagai berikut:

B2-104 Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Specific Grow Rate

Dimana : SGR = Laju Pertumbuhan Spesifik (% / hari)


Ln Wt = Bobot rata-rata hewan uji pada akhir penelitian (g)
Ln W0 = Bobot rata-rata hewan uji pada awal penelitian (g)
t = Lama Penelitian (hari)

Rasio efisiensi pakan diketahui dengan perhitungan jumlah pakan yang


diberikan/dimakan selama pembesaran (bobot kering) dan pertambahan bobot hewan
uji (bobot basah) yang dihitung berdasarkan rumus dari Takeuchi (1988) sebagai
berikut:

Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air


meliputi suhu, dan oksigen terlarut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil penelitian ini diperoleh respon biologi udang lobster air tawar terhadap
perlakuan dosis pakan yang berbeda dapat dilihat pada tabel 4.

Perlakuan
Parameter yang diamati
A (2,5%) B (3%) C (3,5%) D (4%)
Sintasan (%) 76,67+32,15a 86,67+11,55b 53,33+15,28c 73,33+15,28ad
Laju pertumbuhan 0,64+0,26a 0,34+0,21ab 0,26+0,04c 0,35+0,06ab
spesifik (%/hari)
Tingkat konsumsi pakan 61,67+22,75a 71,53+6,97b 73,19+12,53c 82,85+19,20d
(%)
Efisiensi pakan (%) 0,52+0,04a 0,23+0,13b 0,18+0,06c 0,22+0,05bd
Ket: Huruf yang sama di belakang angka pada masing-masing baris menunjukkan tidak
berbeda nyata, (P>0,05)

Hasil penelitian ini nenunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh


dari perlakuan B (3%) yaitu 86,67%. Hal ini menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) terhadap semua pelakuan, sedangkan tingkat kelangsungan hidup yang
terendah diperoleh dari perlakuan D yaitu 53,33%. Rendahnya tingkat kelangsungan
hidup yang diperoleh dari penelitian ini, bukan pengaruh rendahnya protein pakan
yang digunakan, karena protein pakan yang digunakan yaitu 31,29%, ini sesuai
kebutuhan protein lobster air tawar. Seperti yang dilaporkan Kusman, (2006) protein
yang umumnya diperlukan oleh lobster air tawar adalah 20–40 % dari seluruh nilai gizi
pakan. Tetapi pada awal penelitian banyak lobster lolos keluar dari wadah penelitian,
dan banyak yang mati karena gagal molting, kematian gagal molting ini diduga karena
kebutuhan energy pada saat proses pelepasan cangkan yang lama kurang mencukupi
energy dalam tubuhnya, sehingga energy dalam tubuhnya habis sebelum pelepasan
cangkan yang lama. Tingkat kelangsungan hidup lobster selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 3. Bila dibanding dengan hasil penelitian sebelumnya seperti

Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan B2-105


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Anonium (2003); Anonim (2007); Sukma dan Suharjo (2003) memperoleh tingkat
kelangsungan hidup antara 80-100%, masing-masing menggunakan pakan komersial,
dengan perlakuan dosis dan frekwensi pemberian pakan. sementara penelitian ini
menggunakan pakan lokal yang diformulasi sendiri (Tabel 1), dimana bahan baku
tersebut diperoleh dari daerah Sulawesi selatan yang telah diproksimat masing-masing
bahan tersebut (Tabel 2).

Gambar 2. Grafik sintasan lobster air tawar selama penelitian 50 hari

Laju pertumbuhan spesifik lobster selama penelitian yang tertinggi diperoleh dari
perlakuan A yaitu sekitar 0,64+0,26% dan yang terendah diperoleh dari perlakuan C
yaitu sekitar 0,26+0,04%. Dari hasil tersebut terlihat adanya perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara perlakuan, perlakuan A dengan perlakuan C, tetapi tidak berbeda
dengan perlakuan B dan perlakuan D. hal ini menunjukkan bahwa perlakuan A
memberikan respon pertumbuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
perlakuan B dan D, tidak berbeda nyata (P<0,05). Meskipun tingkat konsumsi pakan
terlihat paling rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu sekitar
61,67+22,75% tetapi tingkat episiensi pakan menunjukkan hasil yang paling tinggi
yaitu sekitar 0,52+0,04%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi pakan tidak
mutlak memberikan pertumbuhan, tetapi bagaimana kemampuan lobster
memanfaatkan atau mencerna pakan untuk pertumbuhannya. Seperti yang
dilaporkan Patasik (2004) bahwa ketersediaan pakan dan kemampuan lobster untuk
memanfaatkan atau mencerna pakan akan menentukan pertumbuhan lobster.

Gambar 2. Laju pertumbuhan spesifik setiap kali sampling

B2-106 Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Gambar tersebut di atas terlihat pada hari ke 10 sampai hari ke 20 semua


perlakuan mengalami peningkatan yang hampir sama. Tetapi memasuki hari ke 30,
terjadi penurunan yang sangat drastis terutama pada perlakuan C, hal ini disebabkan
karena pada sampling rata-rata lobster baru saja mengalami molting, pada pase
tersebut lobster mengalami penurunan napsu makan, sehingga dapat mempengaruhi
pertumbuhan lobster tersebut. Meskipun proses moltin ini biasanya merupakan
indikator pertumbuhan, dan kadang juga lobster molting karena stress yang
disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kebutuhan optimumnya. Dari
gambar di atas terlihat bahwa pada perlakuan C rata-rata lobster setelah moltin pada
hari ke 30 mengalami proses pertumbuhan yang cukup tinggi bila dibandingkan
dengan perlakuan B dan D yaitu sekitar 0,25% meskipun masih rendah bila
dibandingkan dengan perlakuan A, yang mengalami peningkatan mulai dari hari ke 10
sampai hari ke 50. Meskipun pada awal sampling I terlihat laju pertumbuhan
spesifiknya paling rendah, tetapi seiring dengan bertambahnya umur juga mengalami
peningkatan laju pertumbuhan spesifik yang berbeda dengan perlakuan B dan C.
Peningkatan ini disebabkan karena tingkat konsumsi dan efisiensi pakan yang berbeda
dengan perlakuan yang lain, sebab meskipun tingkat konsumsi pakan tinggi, tetapi
tingkat efisiensi pakan rendah karena pakan tidak bisa dicerna, maka tidak respon
pertumbuhan.
Tingkat konsumsi pakan yang tertinggi diperoleh dari perlakuan D, yaitu sekitar
82,85% menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan perlakuan yang lain.
Sedangkan tingkat konsumsi pakan yang terendah diperoleh dari perlakuan A yaitu
sekitar 61,67%, meskipun pada perlakuan D tidak memberikan respon pertumbuhan
yang tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainya, hal diduga bahwa pemanfaatan
pakan oleh lobster tidak episien dan efektif, sehingga pakan lebih banyak menjadi
feses, hal ini terlihat pada dasar wadah penelitian terdapat banyak feses bila
dibandingkan dengan perlakuan lainnya setiap penyiponan. Seperti yang dilaporkan
Wijanto dan Hartono (2006) bahwa jumlah pemberian pakan harus disesuaikan
dengan jumlah lobster yang dipelihara dan kemampuan lobster untuk mengkonsumsi
pakan. Berdasarkan hal tersebut diduga adanya hubungan antara sisa pakan dan sisa
metabolisme dengan tingginya kandungan amoniak. Pada umumnya hewan herbivore
itu kemampuan mengkonsumsi pakan cukup tinggi, karena biasanya makan sambil
mengeluarkan fesesnya, sehingga makanan tersebut tidak sempat tercernak dengan
baik.
Tingkat episiensi pakan yang tertinggi diperoleh dari perlakuan A yaitu 0,52%,
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan yang lain, dan
yang terendah adalah perlakuan C yaitu sekitar 0,18% hasil ini menunjukkan
perbedaan yang nyata dari semua perlakuan. Tetapi pada perlakuan B dan D
menunjukkan hasil yang tidak beda nyata (P<0,05), dari parameter inilah yang
memberikan respon pertumbuhan lobster, sehingga terlihat bahwa perlakuan A
memberikan laju pertumbuhan spesifik yang berbeda dengan perlakuan lainnya.
Sebagai data penunjang kondisi kualitas air (suhu, pH, dan oksigen terlarut)
masih pada batas optimum untuk pertumbuhan lobster selama penelitian, hal ini
disebabkan karena wadah penelitian dilengkapi dengan aerasi, sehingga kondisi
oksigen bisa dipertahankan, begitu pula dengan suhu air tidak terjadi pelapisan suhu,
karena air selalu teraduk.

Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan B2-107


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil kegiatan ini maka dapat disimpulkan bahwa: pemberian berbagai
dosis pakan yang lebih tinggi tidak mutlak memberikan respon pertumbuhan yang
tinggi pula, tetapi bagaimana pakan tersebut bisa dimanfaatkan lebih efisien dan
epektif dan didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal sesuai dengan kebutuhan
lobster sehingga berdampak pada pertumbuhan

Saran
Dari kegiatan ini disarankan untuk melihat kebutuhan energy yang optimal
untuk pertumbuhan lobster.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Lobster Akurium 10 Bulan Kembali Modal. Trubus 401-April
2003/XXXIV.
Anonim. 2007. Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Rasio
Konversi Pakan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus).
.http://fpk.unair.ac.id/webo/umum/bab%20I-IV.docx . Diakses Januari 2011.
Bender, J., R. Lee, M. Sheppard, K. Brinkley, P. Philips, Y. Yeboah and R.C. Wah. 2004.
A waste effluent treament system based on microbial mats for black sea bass
Centropristis striata recycled water mariculture. Aquaculture Eng. p. 31, 73--82.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Gazper, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Untuk ilmu-ilmu Pertanian ilmu Teknik
dan Biologi. CV. Armico. Bandung.
Harris E. 2006. Akuakultur berbasis “Trophic Level”: Revitalisasi untuk ketahanan
pangan, daya saing ekspor dan kelestratian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar
tetap Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. 65 hal.
Kusman, 2006. Pembenihan Lobster Air tawar : Meraup Untung dari Lahan Sempit.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lukito. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Patasik, S. 2004. Pembenihan Lobster Air Tawar Lokal Papua. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Schulz. C, U. Knaus, M. Wirth, and B. Rennert. 2005. Effect of Varying Dietary
Fatty Acid Profile on Growth Performance, Fatty Acid, Body an Tissue
Composition of Juvenile Pike Perch (Sander lucioperca). Aquaculture nutrition,
II: 403-413.
Sukmajaya, Y. Suharjo. I. 2003. Lobster Air Tawar Komoditas Prospektif. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients. In:
Watanabe, T. (ed.) Fish Nutrition and Mariculture. JICA Kanagawa International
Fisheries Training Centre, Tokyo, pp. 179-233.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition of Mariculture. JICA. Texsbook The General
Aquaculture Course. Departement of Aquatic Biosciences. Tokyo University of
Fisheries.
Wiyanto, R.H dan Hartono R. 2006. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar.
Penebar Swadaya. Jakarta.

B2-108 Kamaruddin, Lukman Daris: Pengaruh Dosis Pakan Buatan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KONDISI PLANKTON PADA PENGGUNAAN


PUPUK ORGANIK KOTORAN SAPI
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon)
DENGAN PADAT TEBAR BERBED

Machluddin Amin dan Erfan A. Hendrajat

Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau

Abstrak: Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh


penggunaan pupuk organik kotoran sapi pada budidaya udang windu dengan
padat tebar yang berbeda terhadap kondisi plankton telah dilakukan dengan
menggunakan wadah tambak ukuran 500 m2 sebanyak 6 petak. Hewan uji yang
digunakan adalah tokolan udang windu dengan berat awal rataan 0,003 g/ekor.
Pemberian pupuk organik kotoran sapi dilakukan setelah pengeringan dasar
tambak dengan dosis masing-masing 50 kg/petak atau setara dengan 1 ton/ha.
Penambahan pupuk anorganik (urea dan SP36) masing-masing dengan dosis 7,5
kg dan 3,75 kg dilakukan setelah satu minggu pemasukan air. Perlakuan yang
dicobakan adalah pemberian padat tebar udang windu yang berbeda, yaitu
perlakuan A = 1.500 ekor/petak, perlakuan B = 1.000 ekor/petak, dan perlakuan
C = 500 ekor/petak, masing-masing diulang 2 kali. Peubah yang diamati adalah
kondisi plankton yang meliputi komposisi jenis, kelimpahan individu plankton dan
indeks biologi plankton selama 90 hari pemeliharaan. Parameter penunjang yang
diukur adalah kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH dan
alkalinitas setiap 3 hari serta N02-N, NO3-N, PO4-P, NH4-N dan BOT setiap 2
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar udang windu
belum berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah jenis (genera) dan jumlah
individu plankton. Jumlah individu plankton yang diperoleh pada perlakuan A, B
dan C masing-masing 420, 415 dan 320 ind./L. Jenis fitoplankton yang diperoleh
didominasi oleh Kelas Bacillariophyceae, sedang zooplankton didomnasi oleh Kelas
Krustacea.

Kata kunci: Plankton, Pupuk organik, Udang windu, Padat tebar

PENDAHULUAN
Keberhasilan dalam usaha pemeliharaan di tambak tidak hanya ditentukan oleh
akhir(panen), tetapi ditentukan pula oleh tingkat kecepatan pertumbuhan bobot dan
mortalitas hewan budidaya. Salah satu faktor yang menunjang laju pertumbuhan dan
mortalitas udang budidaya di tambak, khususnya sistem tradisional atau semi intensif
adalah tingkat padat penebaran hewan peliharaan yang disesuaikan dengan
ketersediaan pakan alami yang sesuai dan mencukupi.. Menurut Boyd (1979), salah
satu faktor yang mempengaruhi tingkat produksi kolam budidaya adalah ketersediaan
makanan alami. Untuk menantisipasi kemampuan lahan dan ketersediaan pakan di
tambak perlu dilakuakan penelitian tingkat penebaran yang optimal pada
pemeliharaan udang windu dengan sistim berpindah dari satui petak kepetak lainnya
selama waktu tertentu. Sistem pemeliharaan ini diharapkan pertumbuhan dan
kelulusan hidup udang windu di tambak akan didukung oleh mutu air yang baik dan
ketersediaan pakan alami yang berkesinambungan.

Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan B2-109


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Sistem pemeliharaan di tambak dengan sistem tradisional dan semi intensif


diperlukan mutu air dan ketersediaan pakan alami yang dapat menunjang
pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu. Untuk mendapatkan mutu air
yang baik serta untuk menumbuhkan pakan alami, baik berupa plankton maupun
kelekap di tambak diperlukan pengelolaan air yang baik dan berkesinambungan
disertai penyediaan unsur hara melalui pemupukan baik dalam bentuk organik maupun
anorganik yang memadai. pada setiap petakan. Menurut Huet (1970), pemupukan
merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesuburan perairan dengan
pemberian unsur hara dalam jumlah tertentu secara periodik sehingga merangsang
pertumbuhan jasad-jasad renik perairan, terutama plankton.
Peranan plankton di perairan sangat penting karena plankton merupakan pakan
alami bagi ikan kecil dan hewan air lainnya. Plankton merupakan mata rantai utama
dalam rantai makanan di perairan plankton dalam suatu perairan mempunyai peranan
yang sangat penting. Plankton terdiri dari fitoplankton yang merupakan produsen
utama dan dapat menghasilkan makanannya sendiri dan merupakan makanan bagi
hewan seperti zoo, ikan, udang dan kerang melalui proses fotosintesis dan zooplankton
yang bersifat hewani dan beraneka ragam. Fitoplankton adalah makanan yang
terpenting dalam perikanan darat yang merupakan makanan primer. Suatu perairan
dikatakan subur apabila di dalamnya banyak terdapat produsen primer yaitu
fitoplankton baik kuantitas maupun kualitasnya.
Untuk meningkatkan produktivitas petani tambak udang windu, khususnya
dengan sistem tradisional atau semi intensif diperlukan upaya-upaya perbaikan
teknologi budidayanya. Salah satu cara yang diharapkan dapat meningkatkan laju
pertumbuhan dan kelulusan hidup udang windu dengan penambahan unsur hara
melalui pemupukan. Pupuk organik dengan menggunakan kotoran sapi . Pemberian
pupuk organik secara optimal diharapkan ketersediaan unsur hara dapat menunjang
ketersediaan pakan alami seperti plankton yang dapat mendukung pertumbuhan dan
sintasan udang windu selama waktu pemeliharaan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan tambak ukuran 500 m2
sebanyak 6 petak. Hewan uji yang digunakan adalah udang windu dengan berat awal
rata-rata 0,003 g/ekor. Pemberian pupuk organik kotoran sapi dilakukan setelah
pengeringan dasar tambak dengan dosis masing-masing 50 kg/petak atau setara
dengan 1 ton/ha. Penambahan pupuk anorganik (urea dan SP36) masing-masing
dengan dosis 7,5 kg dan 3,75 kg dilakukan setelah satu minggu pemasukan air.
Perlakuan yang dicobakan adalah pemberian padat tebar udang windu yang berbeda,
yaitu perlakuan A = 1.500 ekor/petak, perlakuan B = 1.000 ekor/petak, dan perlakuan
C = 500 ekor/petak, masing-masing diulang 2 kali. Peubah yang diamati setiap 2
minggu adalah komposisi jenis, kelimpahan individu plankton dan indeks biologi
plankton selama 90 hari pemeliharaan. Pengambilan contoh plankton dari setiap unit
dengan menyaring dan memadatkan contoh air tambak sebanyak 100 l menjadi 100 ml
dengan menggunakan plankton net ukuran mesh size 60 mikron (No. 25). Identifikasi
plankton dilakukan sampai tingkat genera dengan bantuan buku Newell and Newell
(1963), Yamaji (1976) dan Stafford (1999). Parameter penunjang yang diukur adalah
kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH dan alkalinitas setiap 3 hari
serta NO2-N, NO3-N, PO4-P, NH4-N dan BOT setiap 2 minggu.

B2-110 Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Kelimpahan plankton dalam contoh air selanjutnya dihitung di bawah mikroskop


dengan menggunakan alat bantu SRC (Sedgwick rafter counter cell) dengan modifikasi
rumus APHA (2010).

T P V 1
N= ---- x ----- x ----- x -----
L p v W

dimana : N = Kelimpahan fitoplankton (ind./l)


T = Jumlah kotak dalam SRC (1000)
L = Luas kotak dalam satu lapang pandang
P = Jumlah fitoplankton yang teramati
p = Jumlah kotak SRC yang diamati
V = Volume air dalam botol sampel
v = Volume air dalam dalam kotak SRC
W = Volume tambak air yang tersaring

Indeks keragaman fitoplankton dihitung berdasarkan berdasarkan rumus


Shannon-Wiever sebagai berikut (Wilhm dan Dorris 1968 in Masson, 1981):

n
H´ = - Σ pi ln pi
i=1

dimana : H‫= ׳‬ indeks keanekaragaman Shannon-Wiever


pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke i
N= jumlah seluruh individu

Indeks Keseragaman dihitung sebagai berikut (Odum, 1971) :

H′
E = ---------
H′ maks

Dimana: E = indeks keseragaman


H′ = indeks kergaman
H′maks = ln S
S = jumlah spesies

Indeks dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson in Legendre Legendre (1983)


sebagai berikut :

C = ∑ [ ni/N ]

dimana : C = indeks dominasi Simpson


ni = jumlah individu jenis ke 1
N = jumlah total individu

Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan B2-111


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Kualitas air diamati meliputi parameter suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan
alkalinitas dilakukan secara in situ, sedangkan parameter nitrat, nitrit, posfat dan
bahan organik dianalisis dilaboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi jenis dan Kelimpahan Plankton
Hasil pengamatan jumlah individu dan jenis plankton pada semua perlakuan
selama penelitian disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan plankton tediri
atas fitoplankton dan zooplankton dimana kelompok fitoplankton yang diperoleh terdiri
atas 2 kelas yaitu Kelas Bacillariphyceae dan Cyanophyceae. Jumlah genera
fitoplankton yang diperoleh dari Kelas Bacillariophyceae terdiri atas 4 genera lebih
banyak dibanding dengan dari Kelas Cyanophyceae yang hanya 1 genera. Hal ini
menunjukkan bahwa fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi untuk berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan tambak
dibanding dengan kelas Cyanophyceae. Menurut Sachlan (1982) bahwa fitoplankton
dari Kelas Bacillariophyceae ini bersifat kosmopolit dan cepat berkembang. Jumlah
genera yang diperoleh dari kelompok zooplankton selama penelitian terdiri atas 2
kelas yaitu Kelas Krustacea dan Rotatoria yang masing-masing hanya memiliki 1
genera.
Hasil pengamatan pada Lmpiran 1 menunjukkan Jumlah jenis (genera)
fitoplankton yang diperoleh lebih banyak dari pada zooplankton. Hal disebabkan karena
pengambilan contoh air dilakukan pada siang hari dimana pada saat itu fitoplankton
sedang berkumpul dipermukaan kolom air, dimana fitoplankton dengan bantuan
cahaya matahari dapat aktif melakukan fotosintesis. Sebaliknya zooplankton kurang
diperoleh pada saat sampling diduga disamping terhalang oleh intensitas cahaya
matahari karena sifat fototaxis negatifnya juga terhalang oleh berkumpulnya
fitoplankton dipermukaan air. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa zooplankton
yang diperoleh selama penelitian hanya diwakili oleh 2 jenis (genera) zooplankton yaitu
Acartia dari Kelas krustacea dan Brachionus dari Kelas Rotatoria. Hasil pengamatan
beberapa penelitian di tambak menunjukkan genera Acartia dari kelas krustacea dan
Brachionus dari Kelas Rotatoria merupakan zooplankton penghuni tetap di perairan
tambak air payau (Amin dan Burhanuddin, 2009; Amin dan Tangko, 2010).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar udang windu
tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah jenis dan individu plankton yang
diperoleh selama penelitian. Jumlah individu plankton yang diperoleh pada perlakuan
A,B dan C berturut-turut masing-masing 320, 415 dan 420 ind/L. sedangkan jumlah
genera yang diperoleh pada perlakuan A dan B yakni masing-masing 7 genera dan
pada perlakuan C yaitu 6 genera (Tabel 1 dan Lampiran 1). Hasil identifikasi plankton
pada selama penelitian pada Lampiran 1 didapatkan fitoplankton terdiri 2 kelas yaitu
Kelas Bacillariophyceae yang memiliki 4 genera yaitu Chaetoceros, Biddulphia, Nitzchia
dan Pleurosigma, dan Kelas Cyanophyceae yang memiliki 1 genera yaitu Oscillatoria.
Pada semua perlakuan didapatkan semua genera dari 2 kelasyang diperoleh, kecuali
pada perlakuan C tidak didapatkan genera Biddulphia dari Kelas Bacillariophyceae.
Jumlah jenis plankton yang diperoleh selama penelitian lebih sedikit, sdangkan
jumlah individu yang diperoleh lebih banyak (Lampiran 1). Menurut Arinardi et al
(1997) plankton di estuaria umumnya mempunyai jumlah spesies yang sedikit, tetapi
sering jumlah individunya cukup banyak. Jumlah spesies yang sedikit itu disebabkan
oleh terjadinya fluktuasi besar kondisi lingkungan, terutama salinitas dan suhu pada
saat terjadi pasang dan surut. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa fitoplankton dari

B2-112 Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Kelas Bacillariophyceae yang memiliki jenis jumlah individu yang tertinggi pada semua
perlakuan dibanding dengan kelas Cyanophyceae. Beberapa genera dari fitoplankton
yang jumlah individunya tinggi dan menyebar pada semua perlakuan seperti Nitzschia
dan Pleurosigma dari kelas bacillariophyceae serta Oscillatoria dari kelas
Cyanophyceae. Ketiga jenis fitoplankton tersebut memiliki kemampuan berkembang
dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tambak. Jenis zooplankton yang
individunya didapatkan dalam jumlah banyak dan merata di semua unit perlakuan
adalah Acartia dari Kelas Krustacea. Jenis Acartia ini termasuk sub kelas Kopepoda
juga disering didapatkan di tambak-tambak budidaya udang Vanamei dan polikultur
udang windu dan bandeng. (Amin dan Burhanuddin, 2009; Amin dan Tangko, 2010
dan Amin dan Hendrajat, 2011).

Indeks Biologi Plankton


Indeks biologi yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari indeks
keanekaragaman (H’), indeks kesragaman (E), dan indeks dominasi (D) jenis plankton.
Indeks biologi ini berfungsi untuk mengevaluasi komunitas plankton antara perlakuan.
Nilai indeks keragaman plankton yang diperoleh selama penelitian tertera pada Tabel
1 masing-masing pada perlakuan A = 0,8804, perlakuan B = 08894 dan perlakuan B =
0,9467. Berdasarkan nilai Stin (1981) menunjukkan bahwa secara umum komunitas
plankton pada ketiga perlakuan ini adalah dalam keadaan tidak stabil. Ketidak stabilan
komunitas plankton pada semua perlakuan ditunjukkan oleh karena ada spesies
(genera) yang memiliki jumlah individu yang jumlahnya besar yaitu Acartia dari
kelompok zooplankton, dibandingkan dengan spesies lainnya seperti Biddulphia dari
fitoplankton yang memiliki jumlah individu sangat kecil (Lampiran 1). Stin (1981)
menyatakan bahwa komunitas plankton yang nilainya lebih kecil dari 1 tergolong
komunitas labil. Berdasarkan keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi komunitas
plankton pada tambak ketiga perlakuan ini telah mengalami gangguan kestabilan
perairan.
Indeks keseragaman plankton untuk semua perlakuan tertera pada Tabel 1 yaitu
perlakuan A dengan nilai 0,7373, perlakuan B degan nilai 0,7306 dan perlakuan C
dengan nilai 0,7888. Berdasarkan nilai ini menunjukkan bahwa komunias plankton
pada ketiga perlaakuan memiliki keseragaman yang hampir merata dimana jumlah
individu yang setiap spesies relatif sama (Lind, 1979). Berdasarkan data pada Tabel
Lampiran 1 menunjukkan bahwa kondisi habitat tambak penelitian udang vanamei ini
dihuni oleh jenis plankton yang relatif serasi untuk pertumbuhan dan perkembangan
masing-masing spesis. Indeks dominasi plankton yang diperoleh selama penelitian
yaitu perlakuan A = 0,4207 dan perlakuan B = 0,5122 dan perlakuan C adalah 0,4763.
(Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tidak
terdapat jenis secara ekstrim mendominasi jenis lainnya dalam populasi. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga perlakuan formula pakan yang dicobakan pada tambak
tidak mengakibatkan terjadinya dominasi plankton. Menurut Basmi (2000) kondisi
yang demikian menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas mendekati keadaan
stabil, kondisi lingkungan cukup prima, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap
plankton.

Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan B2-113


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 1. Rataan Jumlah genera, individu dan indeks biologi plankton selama penelitian

Perlakuan
Parameter
A B C
Jumlah Genera 7 7 6
Jumlah individu (ind./L) 320 415 420
Indeks biologi :
Keaneragaman 0,8804 0,8894 0,9467
Keseragaman 0,7373 0,7306 0,7888
Dominasi 0,4207 0,5122 0,4763

Kualitas Air
Kualitas air mempunyai peranan penting karena merupakan salah satu faktor
pendukung untuk pertumbuhan dan reproduksi plankton suatu perairan. Hasil
pengamatan kualitas air elama penelitian disajikan pada Tabel 2. Suhu air yang
teramati pada Tabel 2 semua perlakuan adalah 29,0-32,13. Menurut Effendi (2000)
kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC. Hasil
pengamatan oksigen terlarut selama penelitian pada ketiga perlakuan berkisar 2,0-8,7
ppm. Pescod (1973) menyatakan bahwa organisme akuatik dapat hidup pada kadar
oksigen terlarut 2 mg/L. Kandungan oksigen rendah di tambak terjadi pada subuh
sampai pagi hari karena fitoplankton belum aktif melakukan proses fotosintesis karena
belum ada cahaya matahari. Selanjutnya pengamatan oksigen tertinggi pada siang
dan sore hari yang bersumber proses fotosintesis oleh fitoplankton dengan bantuan
cahaya matahari. Hasil pengamatan pH pada ketiga perlakuan yaitu 7,8-9,5 masih
layak untuk pertumbuhan fitoplankton sesuai yang dikemukakan oleh Boyd (1990)
bahwa kebanyakan perairan alami adalah pH 5-10 dengan frekuensi 6,5-9,0.
Selanjutnya hasil pengamatan salinitas pada kedua perlakuan relatif hampr sama yaitu
berkisar 15-29 ppt karena sumber air yang digunakan adalah dari laut lewat saluran
pemasukan ke tambak. Menurut Sachlan (1982) bahwa nilai salinitas di atas 20 ppt
memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup , memperbanyak diri dan dapat
aktif melakukan proses fotosintesis.
Konsentrasi nitrat yang diperoleh pada perlakuan A adalah 0,0001-0,2533 ppm,
perlakuan B adalah 0,0015-0,1789 ppm. serta perlakuan C adalah 0,0001-0,7645 ppm.
Menurut Mackentum (1969) untuk pertumbuhan fitoplankton memerlukan kandungan
nitrat 0,9-3,5 ppm. Rendahnya kandungan nitrat terutama pada semua perlakuan
diduga karena telah dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hasil pengukuran nitrit pada
semua perlakuan berkisar adalah 0,0035-0,5102 ppm. Hasil pengukuran fosfat pada
perlakuan A 0,0030-1,2598, ppm, perlakuan B 0,1880-0,7758 ppm dan perlakuan C
adalah 0,01170-1,0243 ppm. tergolong rendah. Menurut Bruno et al., 1979 dalam
Wijaya et al., (1994) bahwa pertumbuhan optimal fitoplankton dibutuhkan kandungan
ortofosfat 0,27-5,51 ppm. Rendahnya kandungan fosfat pada ketiga perlakuan ini juga
diduga telah dimanfatkan oleh fitoplankton sebagai unsur hara yang diperlukan untuk
perkembangannya. Kandungan amonia untuk seluruh perlakuan adalah 0,0008-1,3418
ppm. Sedangkan kandungan BOT adalah 15,94-40,41 ppm.

B2-114 Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel 2. Kisaran kualitas air untuk semua perlakuan selama penelitian

Perlakuan
Parameter air
A B C
Suhu (oC) 29,1-33,1 29,1-32,9 29,0-32,13
Oksigen terlarut (mg/L) 2,0-7,9 2,5-8,7 2,5-8,6
pH 7,8-9,5 7,8-9,5 7,5-9,3
Salinitas (ppt) 15-29 18-29 18-29
Alkalinitas (mg/L) 71,06-192,28 91,96-183,92 83,6-179,74
NO2-N (mg/L) 0,0033-0,1465 0,005-0,1929 0,0059-0,5102
NO3-N (mg/L) 0,0001-0,2533 0,0015-0,1789 0,0001-0,7645
PO4-P (mg/L) 0,0030-1,2598 0,0188-0,7858 0,0117-1,0243
NH3-N (mg/L) 0,0008-1,3418 0,0008-1,0593 0,0008-1,1207
BOT (mg/L) 15,94-36,06 22,01-37,61 17,29-40,41

KESIMPULAN
1. Plankton yang diperoleh selama penelitian terdiri dari fitoplankton adalah 5
genera, sedangkan zooplankton 2 genera
2. Jumlah jenis plankton yang didapatkan pada perlakuan A, B masing-masing 7
genera dan C adalah 6 genera, Sedangkan kelimpahan individu plankton yang
didapatkan pada perlakuan A,B dan C masing-masing 320, 415 dan 420 (
ind./L)
3. Kumunitas plankton pada semua perlakuan tergolong labil dan cenderung terjadi
dominansi antar jenis plankton.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. dan Burhanuddin. 2009. Pengamatan kondisi plankton pada polikultur udang
windu (Penaeus monodon) dan bandeng (Chanos chanos) dengan rumput
laut (Gracillaria verrucosa) di tambak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur 2009. Pusat Riset Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. hal 581-587.
Amin, M. dan Tangko, A.M. 2010. Kondisi kualitas air dan plankton pada tambak
budidaya udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) dengan sistem modular
di tambak Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010, 2-3
Desember 2010. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M)
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Hal. 400-408.
Amin, M. dan E.A. Hendrajat. 2011. Pengamatan populasi Kopepoda ada pemeliharaan
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). dengan waktu awal pemberian
pakan berbeda di tambak. Prosiding Seminar Nasional Kelautan VII Universitas
hang-Tuah Surabaya, 18 Juli 2011. Hal B2-50 – B2-55.
APHA (American Public Health Association), 2005. Standard Methods For Examination
of Water and Wastewater. APHA, 800 I Street, New York. p.10-167.
Basmi, H.J. 2000. Planktonologi. : Sebagai indicator kualitas perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu kelauan, Institut Pertanian Bogor. 60 hlm.
Boyd, C.E., 1979. Water quality management for ponds fish culure. Elsevier Scientific.
Publishing Company, Amsterdam. The Netherlands.

Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan B2-115


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Boyd, C.E., 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station Auburn University. Birmingham Publishing Co. Alabama. 482
p.
Effendi, H., 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan
perairan. Jurusan Sumberdaya Perairan dan Kelautan. IPB. Bogor. 258 hlm.
Legendre, L. and Legende. P. 1983. Numerial Ecology. Elsvier Scientific Publ. Co.
New York. p.419.
Mackenthum, K.M. 1969. The practice of water pollution biology. United State
Departement if inerior, Federal Water Pollution Control Administration, Division
of Technical Support. P.278.
Dawes, C. J., 1981. Marine Botany. A Wiley Interscience Publ. : 628 p.
Masson, C.V. , 1981. Biology of Water Pollution. Longman Scientificand Technical
Longman Singapore PublisherPtc. Ltd. Singapore.
Newell, G. E. and Newell. R..C. 1977. Marine Plankton aPractical Guide 5 th. Edition.
Hutchinson of London. 244 p.
Odum, E. P., 1971. Fundamental Ecology. Third Edition. W. B. Saunders, Co.
Philadelphia, London. p.574.
Raynolds, C.S., Tundisi, J.G. and .Hino, K. 1984. Observation on a Metalimnetic
Phytoplankton Population in A Stably Stratiffied Tropical Lake. Arch. Hydrobyol.
Argentina 97 : 7 – 17.
Sachlan, M., 1982. Planktonoloi. Correspondence Course Centre.Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. 57 hlm.
Stafford, 1999. A Guide to Phytoplankton of Aquacultur Ponds. Collection, Analysis and
Identification Manager DPI Publications Department of Primery Industries GPO
Box 46. Brisbane Old 40001. P. 57.
Stirn,J., 1981. Manual methodsin Aquatic Environment Research. Part 8. Ecological
Assesment of Pollution Effect. FAO Rome. 70 p.
Widjaja, F., Suwingyo, S., Yulianda, F., dan Effendi, H. 1994. Komposisi jenis,
Kelimpahan dan Penyebaran Plankton Laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Batar..
Lapoan Penelitian Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 28 hlm.
Yamaji, I., 1976. Illustration of the marine plankton of Japan. Hoikusha Publising Co.
Ltd.
369 p.

B2-116 Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Tabel Lampiran 1. Komposisi jenis dan rataan jumlah individu plankton yang
diperoleh selama penelitian

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Perlakuan
Jenis Plankton --------------------------------------------------------------------------
A B C
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fitoplankton
Kelas Bacillariophyceae
1.Chaetoceros 9 14 18
2.Biddulphia 1 2 -
3.Nitzschia 54 45 54
4.Pleurosigma 50 32 16
Kelas Cyanophyceae
5.Oscillatoria 34 44 38
Zooplankton
Kelas Krustacea
6.Acartia 147 189 266
Kelas Rotatoria
7.Brachionus 25 89 28
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah 320 415 420
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Machludin A, Erfan A.H: Kondisi Plankton pada Penggunaan B2-117


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

PEMANFAATAN ASAM SULFAT TEKNIS


UNTUK PEMURNIAN GARAM KROSOK
DENGAN METODE PENAMBAHAN ION SEJENIS

Giman, Mahmiah

Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan atau Laboratorium Kimia Universitas Hang Tuah
Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya. Hp 085648153336 / 031-8832964

Abstrak: Untuk meningkatkan kwalitas produksi garam krosok agar bisa menjadi
produk yang bisa masuk dalam ranah industri perlu dilakukan upaya pemurnian.
Salah satu alternatif upaya itu adalah berupa pemurnian garam dengan metode
penambahan bahan kimia (ion sejenis) ke dalam larutan garam pekat, sehingga
akan terbentuk kristal kembali yang lebih bersih dan murni. Metode pemurnian
dengan penambahan ion sejenis ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk
gas asam klorida yang terbuat dari asam sulfat murni (reagen grade) dengan
garam krosok dalam suatu chamber, dan gas yang terbentuk dialirkan ke larutan
garam pekat yang sudah disaring. Oleh karena secara ekonomi asam sulfat murni
masih dianggap mahal, maka perlu dicarikan alternatifnya yaitu dengan mengganti
dari asam sulfat yang murni oleh asam sulfat teknis yang lebih murah. Dari
pemurnian yang diperoleh ternyata penggunaan asam sulfat dengan derajat
kemurnian teknis memberikan hasil yang baik dan kemurnian yang cukup tinggi.

Kata kunci: pemurnian ion sejenis, garam krosok

PENDAHULUAN
Teknologi memurnikan garam yang selama ini diterapkan oleh industri garam
pada umumnya masih menggunakan metode fisik seperti pencucian, sentrifugasi, dan
dehidrasi sehingga pengotor garam yang bisa dihilangkan sebatas pengotor fisik
seperti lumpur, koloid tanah, dan lain-lainnya. Oleh karena itu teknologi pemurnian
garam dengan metode penambahan bahan kimia (metode ion sejenis) perlu dilakukan
untuk melengkapi metode fisik. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan metode
tersebut dalam skala laboratorium dapat menghasilkan garam dengan kemurnian lebih
dari 97%.
Prinsip pemurnian garam dengan metode kimia adalah sebagai berikut; membuat
larutan garam krosok jenuh (45%) yang dibeli dari petani garam kemudian disaring
dengan kertas saring tertentu, hingga diperoleh larutan garam jenuh yang betul-betul
jernih ( di petani garam larutan ini disebut sebagai air tua ). Selanjutnya larutan ini
dialiri gas asam klorida murni (yang sudah dicuci), maka akan terbentuk endapan
garam sodium klorida yang murni. Pengaliran gas dihentikan bila di dalam larutan
garam jenuh tersebut tidak terbentuk endapan garam lagi. Garam dipisahkan dari
filtratnya dengan penyaringan, dan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu
105°C, dengan tujuan untuk menghilangkan sisa uap air atau uap gas yang
mengikutinya ( Keenan C.W, et all, 1989, Jolly W.L., 1985).
Pada pemurnian di atas semua bahan kimia yang meliputi asam sulfat, asam
klorida dan perak nitrat dalam tingkat kemurnian reagen grade, sehingga masih dirasa
sangat mahal dalam perspektif ekonomi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba
dengan memanfaatkan asam sulfat dalam kemurnian skala teknis (sekitar 70%) dan

B2-118 Giman, Mahmiah: Pemanfaatan Asam Sulfat Teknis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

dengan harga yang relatif murah. Dengan demikian apakah akan diperoleh hasil
pemurnian dengan tingkat kemurinian yang sama dengan ketika menggunakan asam
sulfat murni atau tidak, maka perlu dilakukan penelitian ini.

METODE PENELITIAN
Pemurnian garam dalam skala laboratorium
Kegiatan rancang bangun pemurnian garam krosok dengan metode penambahan
ion sejenis telah kami lakukan secara skala laboratorium di laboratorium kimia
Universitas Hang Tuah Surabaya.

Alat dan Bahan.


Adapun alat dan bahan dalam prosedur pemurnian garam rakyat dalam skala
laboratorium dapat dideskribsikan sebagai berikut; labu alas bulat, corong pemisah,
corong biasa, botol pencuci, beaker glass, pembakar spiritus, NaCl krosok (dari petani
garam), dan H2SO4 pkt teknis

a
f
e
250 ml
c d

Gambar 1. Konstruksi alat pemurnian garam


Sumber: Giman, 2010

Keterangan gambar 1:
a. Labu alas bulat berisi garam dapur krosok
b. Corong pemisah berisi H2SO4 pekat (teknis)
c. Pembakar spiritus
d. Botol pencuci gas berisi HCl pekat
e. Corong biasa yang terbalik (harus tercelup larutan mulutnya)
f. Beaker glass berisi larutan garam dapur (45%) yang akan dimurnikan dan sudah
disaring.

Prosedur Kerja :
1. Susun alat pemurnian garam rakyat seperti terlihat pada gambar 1.
2. Buat larutan garam rakyat dengan cara melarutkan 45 gr garam kasar (yang
berasal dari pasar) dalam 100 ml air dalam beaker glass

Giman, Mahmiah: Pemanfaatan Asam Sulfat Teknis B2-119


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

3. Panaskan dan sambil diaduk supaya larutan menjadi jenuh


4. Setelah itu saring larutan dalam keadaan panas dan tempatkan pada labu F.
5. Tempatkan 75 – 80 gr garam dapur kasar dan aquadest 10 ml dalam labu A.
6. Setelah diperkirakan tak akan ada sambungan-sambungan yang bocor, teteskan
H2SO4 pekat (teknis) dari labu B ke labu A. Bila perlu boleh dipanaskan. Gas yang
timbul akan mengalir melalui corong masuk ke labu D untuk dicuci, kemudian
mengalir ke beker glas F yang dilewatkan corong terbalik E. Beberapa lama
kemudian akan terbentuk kristal NaCl murni. Garam yang diperoleh kemudian
disaring memakai corong buckner dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C,
untuk menguapkan airnya.
7. Timbang hasilnya setelah kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil garam pemurnian dengan menggunakan asam sulfat teknis yang diperoleh
pada penelitian ini adalah berupa kristal yang berwarna putih bersih dengan pH netral,
tidak berbau asam, berasa asin dan mempunyai rendemen berkisar 55%. Hal ini
menunjukkan bahwa garam tersebut secara organoleptik bisa dikatakan murni, karena
pengotor-pengotor yang menyertainya sudah tidak terlihat lagi. Sebagaimana kita
ketahui bahwa pengotor yang menyertai garam terdiri atas pengotor fisik yaitu berupa
lumpur, dan pengotor chemical seperti material tersuspensi dalam air laut, molekul
kimia seperti kalsium sulfat, magnesium sulfat dan lain-lainnya.
Hasil rerata analisis laboratorium dengan menggunakan metode argentometri
menunjukkan bahwa kemurnian garam bisa mencapai 98,56%. Hal ini menunjukkan
bahwa garam yang dihasilkan belum terbebas dari pengotor chemicalnya, sehingga
garam ini belum bisa masuk dalam dunia industry yang mensyratkan mnimal
kemurnian mencapai 99,5% (Tatang, 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan
optimalisasi proses ataupun analisis laboratoirum yang memadai, sehingga akan
diperoleh hasil pemurnian yang optimal sehingga bisa masuk ke ranah industry.
Adanya kontaminan logam berat seperti merkuri, cadmium, timbal belum dilakukan
pemeriksaan karena masih ada beberapa kendala. Harapan kami ibarat tiada rotan
akarpun berguna, tiada asam sulfat murni, teknispun bisa mencapai hasil maksimal
yaitu 99,5% perlu diupayakan lagi.

Analisis Ekonomi
Proses pemurnian yang telah kami lakukan secara laboratorium memerlukan
bahan-bahan kimia dengan harga sebagai berikut:
1. Garam krosok (160 gr) Rp. 160,00
2. Asam sulfat pekat teknis (80 ml) Rp. 2.000,00
3. Asam klorida pekat pa (10 ml) Rp. 2.500,00
4. Bahan bakar spirtus (50 ml ) Rp. 500,00
Jumlah Rp. 5.160,00

5. Sedangkan garam dengan kemurnian 98,5% yang diperoleh sebanyak 50 gr dengan


harga Rp. 7.500,00, maka keuntungan sebanyak Rp.7.500-Rp.5.160= Rp. 2.340,00.

Dengan demikian dapat dipertimbangkan bahwa teknologi ini dapat dilakukan


oleh masyarakat luas, terutama para petani garam, sehingga akan meningkat
pendapatannya.

B2-120 Giman, Mahmiah: Pemanfaatan Asam Sulfat Teknis


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

KESIMPULAN DAN SARAN


Metode pemurnian garam krosok yang telah kami lakukan dengan menggunakan
asam sulfat teknis, ternyata mampu untuk meningkatkan kemurnian garam hingga
menjadi 98,5% dengan rendemen sekitar 55%, dan sekaligus cukup menguntungkan.
Untuk meningkatkan keuntungan yang lebih besar lagi perlu adanya penelitian lebih
lanjut tentang berapa konsentrasi air tua yang optimal untuk dikristalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Giman. 2010. Teknologi Tepat Guna untuk pemurnian garam Rakyat. Proseding
Seminar Kelautan 6. UHT . 24 April 2010. Surabaya.
Jolly William L. 1989. Modern Inorganic Chemistry. 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Book
Comp.
Keenan Charles W, Donald C. K., Jesse H.Wood. 1989. General College Chemistry.6th
Ed. Knoxville: Harper & Row Publs Inc.
Tatang S Soerawidjaja. 2010. Kajian Teknis garam dan produk-produk turunannya.
Seminar merekonstruksi garam rakyat dalam perspektif teknis, social, dan
kelembagaan. Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, 5 Juli.

Giman, Mahmiah: Pemanfaatan Asam Sulfat Teknis B2-121


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

SKRINING FITOKIMIA TUMBUHAN


MANGROVE Avicennia marina
YANG HIDUP DI PANTAI TIMUR SURABAYA (PAMURBAYA)

Mahmiah, Giman

Jurusan Oseanografi, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah
Email : mahmiah@gmail.com

Abstrak: Uji skrining fitokimia tumbuhan mangrove jenis Avicennia marina yang
diperoleh dari kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) dilakukan dengan
menggunakan metode ekstraksi maserasi dan uji penggolongan senyawa-senyawa
metabolit sekunder menggunakan reagen yang spesifik. Hasil skrining
menunjukkan adanya senyawa golongan fenolat, terpenoid, dan saponin.
Sedangkan steroid tidak teridentifikasi pada uji skrining tersebut. Pelarut metanol
cocok adalah metanol

PENDAHULUAN
Wilayah Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) merupakan bentang alam yang
relative datar dengan kemiringan 0-3° dan rata-rata ketinggian pasang-surut 1,67
meter. Kawasan ini terbentuk dari hasil pengendapan sistem sungai yang ada di
sekitarnya dan dipengaruhi oleh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah alluvial yang
sangat dipengaruhi oleh sistem laut ini merupakan habitat yang baik bagi tumbuhnya
ekosistem mangrove (Anonim, 1991).
Mangrove yang banyak tumbuh dan tersebar di kawasan Pamurbaya adalah jenis
Avicennia marina. Secara etnobotani, tumbuhan mangrove tersebut banyak
dimanfaatkan masyarakat sekitar seperti bagian buah mangrove A. marina dibuat
sebagai sirup mangrove, dan kulit kayu dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami
untuk tekstil. Selain itu bagian daun, kayu, dan akar juga banyak dimanfaatkan
sebagai ramuan untuk meredakan nyeri, diare, dll. Pemanfaatan bagian tumbuhan
tersebut dikarenakan tumbuhan mangrove secara kemotaksonomi menghasilkan
senyawa-senyawa metabolit sekunder seperti golongan alkaloid, terpenoid, steroid,
flavonoid, dan alkaloid. Senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut bergantung
pada iklim dan habitat tumbuhan mangrove tumbuh. Saat ini data-data empiris
tentang senyawa metabolit sekunder A. marina yang hidup di kawasan PAMURBAYA
belum banyak diketahui.
Atas dasar etnobotani dan kemotaksonomi yang dimiliki tumbuhan mangrove
jenis A. marina dan inilah, maka dilakukan skrining fitokimia senyawa metabolit
sekunder dari beberapa bagian tumbuhan tersebut seperti daun dan kulit kayu.
Skrining fitokimia ini digunakan sebagai kajian awal untuk mengisolasi senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang aktif . Adapun metode meliputi metode ekstraksi
dan uji skrining bagian tumbuhan menggunakan reagen yang khas untuk masing-
masing golongan senyawa metabolit sekunder.

B2-122 Mahmiah, Giman: Skrining Fitokimia Tumbuhan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Sampel tumbuhan mangrove A. marina diperoleh dari kawasan mangrove
PAMURBAYA tepatnya di Wonorejo Rungkut Surabaya. Sedangkan penelitian dilakukan
di Laboratorium Kimia – Gedung Growth Center Universitas Hang Tuah.

Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian daun dan kulit
kayu tumbuhan A. marina yang diperoleh dari Wonorejo, Rungkut Surabaya. Bahan-
bahan kimia yang dibutuhkan untuk keperluan ekstraksi meliputi pelarut organik teknis
yang sudah didestilasi seperti n-heksana, aseton, etil asetat, dan metanol. Uji skrining
fitokimia menggunakan pereaksi yang khas untuk masing-masing golongan senyawa
seperti FeCl3, reagen Meyer, reagen Liebermann-Burchard, dan HCl pekat.

Metode
Ekstraksi dilakukan dengan beberapa pelarut organik dengan berbeda kepolaran.
Metode yang digunakan adalah metode maserasi. Sebanyak 3 g serbuk sampel kering
bagian daun dan kulit kayu A. marina dimaserasi dengan 20 ml pelarut organik yang
berbeda kepolarannya. Dari ekstraksi tersebut akan diketahui pelarut organik yang
cocok untuk proses isolasi senyawa-senyawa metabolit sekunder.
Prosedur skrining fitokimiasenyawa-senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan
mangrove A. marina sebagai berikut:
a. Alkaloid
Sebanyak 2 ml ekstrak Aseton ditambahkan beberapa tetes H2SO4 2 M dan
dikocok sehingga terpisah dua lapisan. Lapisan asam yang terdapat dibagian atas
dipipet ke dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan pereaksi Meyer’s. Adanya
alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih.
b. Terpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 ml ekstrak n-heksana diekstraksi dengan dietil eter dan fraksi yang
larut dalam dietil eter dipisahkan. Fraksi yang larut dalam dietil eter ditambahkan
CH3COOH glasial dan H2SO4 pekat. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan
selama beberapa menit. Steroid memberikan warna biru atau hijau, sedangkan
triterpenoid memberikan warna merah atau violet.
c. Senyawa fenolat
Sebanyak 2 ml ekstrak metanol masing-masing di tambahkan dengan pereaksi
FeCl3 1%. Uji positif ditunjukkan oleh terbentuknya warna hijau, biru atau ungu.
d. Saponin
Empat gram ekstrak kasar ditambahkan air panas, kemudian ditambahkan
beberapa tetes HCl pekat. Uji positif ditunjukkan oleh terbentuknya busa
permanen ± 15 menit (Darwis, 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Senyawa kimia yang bermanfaat obat dari tumbuhan adalah hasil dari metabolit
sekunder yang berupa alkaloida, steroida/terpenoida, flavonoida atau fenolat. Senyawa
ini di antaranya berfungsi sebagai pelindung terhadap serangan atau gangguan yang
ada di sekitarnya dan sebagai antibiotika selain itu juga berpotensi sebagai antioksidan
(Kristanti, dkk, 2008).

Mahmiah, Giman: Skrining Fitokimia Tumbuhan B2-123


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Skrining fitokimia merupakan tahap awal yang harus dilakukan untuk mengetahui
golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada sampel tumbuhan dan
mengetahui pelarut organik yang paling cocok untuk proses ekstraksi selanjutnya. Hasil
dari proses ini, selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengisolasi senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai senyawa bioaktif. Adapun
metode yang digunakan pada proses skrining fitokimia meliputi metode ekstraksi
maserasi dan uji penentuan golongan senyawa metabolit sekunder menggunakan
reagen tertentu.
Berdasarkan hasil maserasi yang dilakukan selama 3x 24 jam terhadap bagian
daun dan kulit kayu tumbuhan mangrove A. marina menggunakan bergagai pelarut
yang berbeda kepolaran, dapat diketahui bahwa ekstrak dari tiap-tiap bagian
tumbuhan menunjukkan hasil sama seperti ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil proses ekstraksi tumbuhan mangrove A. marina menggunakan pelarut


organik yang berbeda kepolaran

Bagian tumbuhan Pelarut organik yang digunakan untuk maserasi


mangrove A. marina n-Heksana Aseton Etil asetat Metanol
Daun Bening (tidak Kuning Kuning Kuning
berwarna) kehijauan kehijauan kehijauan
lebih pekat
Kulit kayu Bening (tidak Kuning Kuning Kuning
berwarna) kehijauan kehijauan kehijauan
lebih pekat

Data hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa hasil ekstrak terutama pada
bagian daun menunjukkan adanya warna hijau dari klorofil. Warna kuning pada hasil
ekstraksi memberikan informasi adanya senyawa fenolat yang terkandung dalam hasil
ekstraksi. Jika ditinjau berdasarkan kepolarannya, terlihat pada ekstrak n-heksan
hanya melarutkan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang bersifat non polar,
sedangkan pada ekstrak aseton dan etil asetat memperlihatkan warna yang sama
sehingga diindikasikan senyawa metabolit sekunder yang terekstrak juga memiliki
golongan yang sama. Dari ekstrak metanol terlihat warna yang lebih pekat
dibandingkan dengan ekstrak aseton dan etil asetat karena metanol merupakan pelarut
paling polar diantara pelarut-pelarut organik yang telah digunakan untuk proses
ekstraksi dan mengindikasikan bahwa senyawa-senyawa metabolit sekunder lebih
banyak terekstrak.
Proses selanjutnya adalah skrining fitokimiauntuk menentukan golongan senyawa
metabolit sekunder seperti terpenoid, steroid, fenolat dan saponin yang terdapat pada
sampel A. marina. Hasil uji fitokimia pada tumbuhan mangrove jenis A. marina
disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil skrining fitokimia terhadap sampel tumbuhan mangrove A. marina

Jenis Senyawa Metabolit A. marina


Sekunder Daun Kulit kayu
Terpenoid Merah kekuningan Merah violet pekat
Tidak ada perubahan Tidak ada
Steroid warna biru perubahan warna
biru

B2-124 Mahmiah, Giman: Skrining Fitokimia Tumbuhan


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

Jenis Senyawa Metabolit A. marina


Sekunder Daun Kulit kayu
Larutan berwarna hijau Larutan berwarna
Fenolat muda dan ada endapan hijau kecoklatan
merah kecoklatan
Timbul busa Busa sangat
Saponin
banyak

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa semua sampel mengandung


senyawa golongan terpenoid, fenolat, dan saponin, sedangkan senyawa steroid tidak
ditemukan pada semua sampel. Warna-warna yang khas pada masing-masing indikator
golongan senyawa memudahkan identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder.
Hasil proses ekstraksi maserasi semakin menguatkan bahwa senyawa fenolat memang
terdapat pada tumbuhan tersebut.
Hasil uji pendahuluan berupa skrining fitokimia di atas, sebagai dasar untuk
mengisolasi senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan
mangrove A. marina yang diperoleh dari PAMURBAYA dan tidak menutup kemungkinan
untuk mengetahui aktivitas biologis dari ekstrak maupun senyawa murni hasil isolasi.
Adanya golongan-golongan senyawa metabolit sekunder dari hasil uji skrining
fitokimia tumbuhan mangrove A. marina yang diperoleh di kawasan PAMURBAYA
semakin diperkuat dengan ditemukannya beberapa senyawa terpenoid dan steroid
yang terkandung dalam ekstrak metanol tumbuhan mangrove A. marina di negara
Pakistan. Dua senyawa steroid tersebut adalah Stigmasterol-3-O-β-D galaktopiranosida
dan Stigmasterol, sedangkan senyawa terpenoid yang berhasil diisolasi adalah Lupeol,
Taraxerol, dan Asam Betulinat (Mahera, et al ,2011). Senyawa flavon juga jenis 4',5-
dihidroksi-3'-7-dimetoksiflavon dan kuersetin juga berhasil diisolasi dari tumbuhan A.
marina yang hidup di Cina (Zhu, et al., 2009).

HO HO
Stigmasterol
Taraxerol

OH
OH

HO

OH
OH O
Kuersetin

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia dari tumbuhan mangrove Avicennia
marina yang diperoleh dari kawasan Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) tidak
menunjukkan adanya steroid tetapi positif adanya golongan-golongan senyawa

Mahmiah, Giman: Skrining Fitokimia Tumbuhan B2-125


Seminar Nasional Kelautan VIII
“Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis IPTEKS untuk Kemakmuran Bangsa”
Universitas Hang Tuah Surabaya, 24 Mei 2012

metabolit sekunder seperti senyawa fenolat, terpenoid, dan saponin. Pelarut organik
yang sesuai untuk proses ekstraksi adalah metanol.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Pemerintah Daerah Tk. II Kotamadya Surabaya, (1991), Fakta dan Analisis
Rencana Detail Tata Ruang Kota Surabaya Unit Pengembangan Pantai Timur
Surabaya, Surabaya.
Kristanti, A.V., Aminah, N.A., Tanjung, M., Kurniadi, B., (2008), Buku Ajar FITOKIMIA,
FMIPA Universitas Airlangga, Airlangga University Press, Surabaya.
Mahera, S.A., Ahmad, V.U., Saifullah S.M., Mohammed, F.V., Ambreen, K., (2011),
Steroid and Triterpenoids from Grey Mangrove Avicennia marina, Pak J. Bot, Vol
43 (2) : 1417-1422
Zhu, F., Chen, X., Yuan, Y., Huang, M., Sun, H., Xiang, W, (2009), The Chemical
Investigation of the Mangrove Plant Avicennia marina and its Endophytes, The
Open Natural Product Journal, Vol. 2 :24-32

B2-126 Mahmiah, Giman: Skrining Fitokimia Tumbuhan

Anda mungkin juga menyukai