Anda di halaman 1dari 27

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.
Oleh : Urif Syarifudin I. PENDAHULUAN Tabel 2. Perkembangan konsumsi ikan di Indonesia tahun 2001 2004.
Rincian Konsumsi total (ton) Perkapita (kg/kap/thn) 20011) 4.052,5 2 21,22 Tahun 2002 1) 2003 1) 4.352,9 4.537,9 3 3 21,69 22,27 2004 2) 4.730,7 9 22,86 Kenaikan (%) 4,25 2,67

Permintaan dunia akan produk hasil perikanan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia yang cendrung meningkat, dan tumbuhnya kesadaran manusia akan nilai gizi dari ikan/ seafood yang dapat meningkatkan kesehatan, kecerdasan dan kekuatan, serta semakin berkembangnya industri farmasi, kosmetika, makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku utamanya dari ikan atau biota laut lainnya, hal ini diindikasikan dengan perkembangan produksi dan nilai eksport perikanan Indonesia periode tahun 1999 2002 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu rata-rata 4,26 % per tahun (Tabel 1), dengan negara tujuan dan persentase volume sebagai berikut; Thailand (30,33%), Jepang (24,28%), Uni Eropa (20,83%), RRC (10,52%), Singapura (6,39%), USA (4,83%) dan Hongkong (2,83%). Tabel 1. Produksi dan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2001 2004.
Rincian Produksi perikanan (x 1000 ton) Nilai ekspor (x US$1000) Tahun 20011) 4.893,0 6 1,339,2 58.80 2002 1) 5.107,3 6 1,674,0 73.50 2003 1) 5.323,3 4 1,631,8 98.59 2004 2) 5.545,15 1,082,04 4.35 Kenaik an (%) 4,26 Fluktuat if

Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara, Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin (2006). Untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan produk hasil perikanan baik untuk dalam negeri dan luar negeri, pemerintah Indonesia melalui program blue revolution telah menetapkan kebijakan pembangunan perikanan melalui Pengembangan perikanan budidaya dan pengendalian penangkapan ikan. Berdasarkan kebijakan tersebut, dapat dilihat bahwa fokus pengembangan perikanan adalah pada sub sektor perikanan budidaya khususnya kegiatan pertambakan. Usaha pertambakan merupakan satu diantara kegiatan ekonomi yang banyak dikerjakan oleh masyarakat pesisir di Indonesia. Tidak seperti negara Asia lainnya, sekitar 90 % usaha pertambakan di Indonesia dikelola oleh rakyat (petani budidaya) dan hanya 10 % saja yang dikelola oleh perusahaan. Ironinya, sejak awal tahun 1999 hingga saat ini sebagian besar pengelolaan tambak, utamanya untuk budidaya udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang berkepanjangan. Sebagai contoh , fenomena ini muncul di sebahagian besar pantai utara Jawa dan sebahagian besar Sumatra serta pesisir Sulawesi. (Wetlands InternasionalIndonesia Program, 2009). II. TUJUAN PENULISAN

Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara, Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin (2006). Permintaan produk hasil perikanan untuk kebutuhan dalam negeri juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan bertambahnya tingkat konsumsi ikan perkapita serta berkembangnya industri pengolahan produk hasil sampingan perikanan (by-product), seperti industri pengolahan tepung ikan dan pabrik pakan ternak. Total konsumsi ikan dari penduduk Indonesia pada tahun 2002 adalah 4.730,79 ton dan kenaikan rata-rata tingkat konsumsi ikan pertahun adalah 2,67% maka jumlah kebutuhan produk perikanan untuk konsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 5.119,93 ton.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Menurunnya produktifitas tambak udang akibat dari gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang berkepanjangan dan degradasi lingkungan merupakan isu nasional dalam pengelolaan budidaya tambak udang di Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dirancang suatu alternatif solusi yang tepat dan dapat

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

diimplementasikan dengan mudah oleh para pengelola dan pembudidaya tambak udang. Sebagai bahan masukan bagi pengelola tambak udang, maka pada makalah ini, disajikan bahasan tentang Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis Organic Fisheries System dan Clean Production. Dengan pengembangan model budidaya tambak udang yang baik dan terarah, maka sumberdaya pesisir ini dapat terjaga kelestariaannya dan juga sekaligus dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia secara terus menerus serta mensejahterakan masyarakat pesisir dan mendorong pertumbuhan kawasan tersebut dengan sendirinya. Selain bahan masukan bagi pengelola tambak udang, pada bagian akhir dari makalah ini (Bab 5. Kesimpulan) memberikan formulasi sederhana tentang Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis Organic Fisheries System dan Clean Production, yang diformulasikan berdasarkan Documentary review dan Studi literatur. Melalui formulasi sederhana yang di sampaikan, diharapkan dapat diteleti lebih lanjut oleh para mahasiswa maupun peneliti di bidang perikanan sehingga tersusun formulasi yang lebih konkrit dan sempurna. III. METODE PENULISAN

Model Pengembangan Budidaya Tambak Udang Berbasis Perikanan Organik Fisheries Organic System 1. Input lingkungan 2. Input terkontrol a. Tata ruang (zonasi) wilayah pesisir b. Desain, tata letak dan konstruksi tambak c. Pola budidaya Udang Model Cultivar and Modular System d. Seleksi dan Bio-secure Benih Udang e. Penggunaan Pupuk Organik dan Disinfektan Organik f. Sikap dan Keterampilan Tenaga Kerja g. Bioremidiasi Lahan Tambak Bab 6. Kesimpulan IV. DOCUMENTARY REVIEW

B.

Metode penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan pada dua hal, yaitu pertama documentary review, dan kedua pengalaman praktis penulis selama melakukan tugas menyusun program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Sulawesi yang dipandu dengan kajian literatur. Documentary review dan Studi literatur digunakan untuk menelusuri berbagai konsep dan teori maupun berbagai pengalaman empiris yang dicermati dan ditulis dalam berbagai buku referensi, laporan penelitian maupun artikel jurnal. Berbagai pokok pikiran dan fakta yang diperoleh dari pengalaman praktis dan studi literatur disusun secara sistematis untuk mendukung kerangka penulisan makalah ini. Kerangka penulisan makalah Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis Organic Fisheries System dan Clean Production, meliputi : Bab 1. Pendahuluan Bab 2. Tujuan Penulisan Bab 3. Metode Penulisan Bab 4. Dokumentary Review A. Teknik Budidaya Tambak Udang B. Isu-isu Strategis Pengelolaan Budidaya Tambak Udang C. Prinsif Perikanan Berkelanjutan D. Konsepsi Perikanan Organik dan Produk Bersih Bab 5. Pembahasan A. Identifikasi Sistem Pada Budidaya Tambak Udang

Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Teknologi pemeliharaan udang dapat dilakukan secara tradisional, semi intensif dan intensif. Sementara pola pemeliharaannya bisa monokultur dan polikultur. Terkait dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya yang dapat dipilih. Tambak udang bukanlah usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam 5 ha tambak hanya diperlukan 2 orang penjaga dan 5-10 orang untuk melakukan panen. Namun demikian tambak setidaknya menjadi sumber penghidupan bagi ribuan keluarga Indonesia, tahun 2000, 186.485 keluarga hidup dari tambak. Angka ini merupakan 14,73% dari seluruh keluarga perikanan. Jumlah petambak dari tahun ke tahun terus meningkat demikian juga dengan perannya terhadap total rumah tangga perikanan. Dengan melihat rata-rata luas tambak per keluarga dapat dilihat bahwa peningkatan rumah tangga petambak tidak menyebabkan terpecahnya pemilikan tambak. Pada periode 1995-2000 ratarata pemikilan tambak berkisar pada angka 2 ha. A. Teknik Budidaya Tambak Udang

Intensitas pemanfaatan lahan pesisir di wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya air payau (tambak udang maupun ikan) tergolong cukup tinggi. memperhatikan kharakteristik fisik dan kimiawi tanah, lahan tambak tersebut umumnya berada pada tanah jenis alluvial dengan derajat keasaman berkisar antara 6,2 7,65 dengan pH rata-rata 7,00. Umumnya tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang surut (Zona Internidal) dan daerah tepi sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut aair laut, karena untuk pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang surut. Konstruksi tambak tersebut umumnya sebagaimana konstruksi tambak ekstensif (sederhana), yaitu merupakan

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

tambak dengan bentuk empat persegi panjang dengan saluran keliling pada tepi pelataran (caren) dan pematang tersusun atas bahan tanah yang dipadatkan dengan ketinggian pematang rata-rata 1 meter dan kemiringn profil pematang 1-1,5 : 1 dan kedalaman air rata-rata 0,5 meter (BPSPL Makassar, 2011). Teknik budidaya tambak udang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya adalah dengan cara tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut Anonymous (2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya udang di Indonesia terbagi menjadi tiga metode, yaitu: 1) Tambak tradisional (ekstensif) : Tambak tradisional tidak menggunakan kincir karena kepadatan sebar berkisar 1 - 15 ekor/m2 luas lahan, dengan luas lahan berkisar antara 1,0 10 hektar. Pakan yang diberikan sebagian besar berasal dari sumber alami; 2) Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak semi intensif berkisar antara 15 - 30 ekor/m2, dengan luas lahan berkisar antara 0,5 2,0 hektar. Peralatan kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2 kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan berupa pellet dengan kualitas yang baik; 3) Tambak intensif : Padat penebaran bibit pada tambak intensif diatas 30 ekor/m2 dengan luas lahan berkisar antara 0,25 1,0 hektar. dilengkapi kincir 3 buah untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan berupa pellet yang telah teruji. Secara histori, sampai dengan awal tahun 1960-an areal tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya ikan bandeng, kegiatan membudidayakan udang (terutama udang windu P.monodon dan udang putih P.marguiensis) baru dimulai pada awal Tahun 1970-an. Hal ini sepedendapat dengan Poernomo, 1979, bahwa, Setelah tahun 70-an pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang di Indonesia, pengenalan morofologi benur alam, teknik merawat dan pengangkutan serta pembesarannya udang dalam tambak (teknologi ekstensif secara mono atau polikultur dengan bandeng) telah berlangsung di beberapa daerah di Indonesi termasuk Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto, pangkep dan Pinrang) pada dekade tahun 1970-an, dimana pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jaring apung didalam tambak atau didalam bak-bak semen didarat berkembang pesat di daerah pertambakan yang jauh dari sumber benur. Pada dekade tahun 1980-1990, usaha budidaya udang di tambak mengalami kemajuan yang pesat dengan produktivitas yang cukup tinggi, hal ini diindikasikan dengan terjadinya pencetakan tambak baru dan konversi lahan perikanan (sawah) menjadi lahan tambak, pada dekade itu, usaha pembudidayaan udang windu banyak dikembangkan secara intensif dengan padat modal dan sarana (kincir dan pompa) yang memadai. Namun sejalan dengan muncul dan

mewabahnya virus white spot pada awal dekade tahun 2000an, kegiatan usaha budidaya udang mulai mengalami penurunan. Kondisi ini terus terjadi hingga akhir dekade 2000an. Saat ini, usaha budidaya tambak dilakukan secara sebagian besar sederhana (ekstensif) dan hanya sedikit yang dilakukan secara intensif, kebanyakan tambak di gunakan untuk budidaya ikan bandeng sedangkan untuk komoditas udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal panen kalaupun ada komuditas udang yang dibudidaya hanya bersifat ikutan dengan tambak ikan bandeng yang ada, atau yang lebih umum dikenal dengan istilah polikultur. Aplikasi teknologi budidaya tambak yang dilakukan oleh para petambak, dilaksanakan mulai dari cara sederhana dengan inputan sumberdaya dan energi yang relatif minim hingga cara intensif dengan padat penebaran yang tinggi dan ketergantungan terhadap inputan yang tinggi (Gambar 1).

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Gambar 1. Sumber :

Kegiatan Pembudidaya Tambak Udang dan Ikan Bandeng Urif Syarifudin, 2011.

60.000 ekor, sedangkan untuk benur udang windu 20.000 ekor. Ukuran nener yang ditebar merupakan ukuran gelondongan (5-7 cm) dan untuk benur udang windu ukuran PL 12 14. Selama masa pemeliharaan, para petambak melakukan pengelolaan air yang meliputi pergantian air yang dilakukan 2 kali dalam 1 bulan dan mempertahankan kedalaman air sekitar 80 cm. Perlakuan lain adalah berupa pemupukan susulan yang mulai dilakukan pada saat persediaan dan pertumbuhan kelekap berkurang (sekitar 1 bulan setelah penebaran). Pemupukan dilakukan dengan Urea dosis 50 kg/ha. Untuk memenuhi kebutuhan pakan, para petambak mengandalkan pakan alami berupa klekap. Sedangkan untuk meningkatkan produktivitas maka di gunakan pakan buatan. B. Isu-isu Strategis Pengelo laan Budidaya Tambak Udang

Secara lebih rinci uraian implementasi teknologi budidaya tambak udang yang dilaksanakan oleh para petambak di wilayah pesisir Indonesia, adalah sebagai berikut: Persiapan tambak yang dilakukan oleh para petambak dilakukan dengan cara pengeringan tanah dasar tambak dengan menggunakan panas matahari dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik. Pengeringan tanah dilakukan hingga tanah retak-retak (kadar air sekitar 40%). Pengeringan tidak boleh dilakukan sampai tanah berdebu karena proses meneralisasi bahan organik akan berhenti. Pengeringan tambak umumnya dilakukan selama kurang lebih 1 bulan. Selain dilakukan pengeringan, dilakukan pula perbaikan konstruksi tambak yang meliputi ; perbaikan pintu air, saringan, pematang dan saluran tambak. Adapun perbaikan pematang dilakukan dengan menutup bocoran-bocoran yang terdapat pada pematang tambak, sedangkan untuk saluran dilakukan pembersihan dan pengangkatan lumpur. Tinggi pematang tambak yaitu 1-1,5 m. Untuk meningkatkan kesuburan tanah, para petambak melakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik untuk menjamin ketersediaan pakan alami untuk ikan bandeng. Adapun jenis pupuk organik yang diberikan berupa kotoran ayam dengan dosis 25 kg, sedangkan pupuk anorganik berupa Urea 500 kg dan TSP/SP-36 500 kg. Setelah tambak siap, maka dilakukan pemasukan air yang bersumber dari air laut yang terdapat disekitar wilayah tambak. Proses pemasukan air dilakukan dengan sistem gravitasi (pasang surut air laut) dengan kedalaman air tambak 50-80 cm. Sistem budidaya yang diterapkan yaitu polikultur dimana ikan bandeng dipelihara bersama dengan udang windu. Benih yang ditebar baik nener maupun benur udang windu merupakan hasil dari pembenihan hatchery. Penebaran benih dilakukan pada saat suhu rendah yaitu pada pagi hari dan untuk menjaga baik benur maupun nener tidak mengalami stress, diberikan perlakuan aklimatisasi terhadap kondisi suhu dan salinitas air tambak. Padat tebar untuk ikan bandeng

Secara garis besar dalam pengelolaan budidaya tambak udang, terdapat beberapa sistem, seperti sistem ekologi pesisir, sistem sosial masyarakat pesisir dan sistem produksi perikanan. Antara sistem yang satu dengan sistem yang lain, saling berinteraksi dan memiliki keterkaitan yang tinggi. Menurut Ambo Alla (2011), Sistem-sistem yang terdapat dalam perikanan (termasuk di dalamnya perikanan) mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan waktu, dimana sistem sosial dan sistem produksi perikanan (perikanan) akan semakin meningkat seiiring dengan terjadinya perubahan waktu, sementara disisi lain sistem ekologis akan semakin menurun. Penurunan sistem ekologis, merupakan isu-isu yang sangat kompleks dalam pengelolaan budidaya tambak udang. Kompleksitas permasalahan pengembangan budidaya tambak udang menuntut pendekatan penyelesaian yang bersifat integratif dan menyeluruh serta terfokus pada pelestarian sumberdaya alam, peningkatan kesejahteraan masyarakat petambak dan kemajuan wilayah pesisir. Menurut Chanratchakool et al (1995) salah satu penyebab kegagalan budidaya udang intensif adalah penurunan mutu lingkungan akibat tebalnya akumulasi bahan organik yang bersumber dari : (1) sisa pakan yang tidak termakan udang : (2) kotoran udang dan ; (3) jasad renik atau plankton yang mati yang terjadi selama proses budidaya. Boyd (1992) menyatakan bahan organik yang terakumulasi akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Berikut ini merupakan isu-isu yang terjadi di dalam pengelolaan budidaya tambak udang di Indonesia, antara lain : Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia akan produk hasil perikanan semakin meningkat dan tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir semakin tinggi, sementara disisi lain tingkat produktivitas lingkungan semakin turun, kondisi ini terus

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

berlangsung secara determinasi seiring dengan perkembangan waktu. Semakin meningkatnya ketergantungan pembudidayaan tambak udang terhadap input eksternal seperti penggunaan pestisida, pupuk dan bahan-bahan kimia lainnya. Semakin menurunya produktifitas tambak udang akibat erosi tanah dan kehilangan (pencucian) hara dari tanah serta kegagalan panen akibat serangan penyakit udang. Semakin meningkatnya pencemaran air akibat inputan ekstenal seperti pestisida, pupuk dan bahanbahan kimia lain serta limbah industri dan rumah tangga. Semakin meningkatnya ancaman terhadap residu bahan-bahan agro kimia terhadap kualitas lingkungan dan keamanan pangan (food safety). Terjadinya perubahan iklim (climate change) sebagai akibat dari pemanasan global (global warming). C. Prinsif Perikanan Berkelanjutan

2)

3)

4)

5)

Paradigma pembangunan yang dikembangkan saat ini baik negara maju maupun negara berkembang adalan pembangunan berkelanjutan (sustainable). Kata sustain berasal dari bahasa latin yaitu sustinere yang terdiri dari kata sus = from below dan tenere = to hold, padanan kedua kata tersebut diartikan menjaga keberadaan atau memelihara atau menyatakan dukungan jangka panjang/ permanen. Menurut, Ambo Alla (2011), pertanian berkelanjutan menggambarkan sistem pertanian yang mampu mempertahankan produktivitasnya dan manfaatnya pada masyarakat untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Definisi lain dari pertanian berkelanjutan menurut American Sosiety for Agronomy (1989), adalah A sustainable agriculture is one that, over the long term, enhances environmental quality and the resource base on whichagriculture depends; providers for basic human food and fiber needs; is economically viable; and enhances the quality of life for farmers and society as awhole Banyak pendapat tentang batasan berkelanjutan, dan satu diantaranya menurut Gips (1986) dalam Van de Fliert, dkk. (1999) yang dimaksud dengan perikanan berkelanjutan adalah pembangunan perikanan yang mencakup hal-hal berikut: 1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara menyeluruh dari manusia, tanaman dan hewan dipertahankan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis. Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa, sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi

dapat ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani mampu menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk pengembalian tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta pemasaran terjamin. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua mahluk hidup dihormati, dan hubungan serta Institusi menggabungkan nilai kemanusian yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritualistis masyarakat dijaga dan dipelihara. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lainlain.

Berdasarkan definisi di atas, pertanian berkelanjutan pada dasarnya mencakup 5 (lima) aspek yang perlu ditekankan dalam penerapannya (Gambar 2), yaitu : (1) Produktifitas hasil pertanian. (2) Efisiensi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terbaharukan. (3) Kualitas hidup yang baik dan cendrung meningkat. (4) Usaha pertanian yang dikembangkan layak secara ekonomi. (5) Kualitas lingkungan yang senantiasa terjaga dan meningkat.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Gambar 3. Pilar Pertanian Berkelanjutan Gambar 2. Lima Aspek dalam Pertanian Berkelanjutan Sejak akhir tahun 1980an kajian dan diskusi untuk merumuskan konsep pembangunan bekelanjutan yang operasional dan diterima secara universal terus berlanjut. Pezzy (1992) mencatat, 27 definisi konsep berkelanjutan dan pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang luput dari catatan tersebut. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu pilar Triple-P (Gambar 3) : keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), Seiring dengan batasan di atas, maka definisi dari perikanan berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui ( renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi perikanan dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi perikanan yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997). Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosiokebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan, bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosialbudaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya terjadinya konflik sosial dan prevalensi kemiskinan) akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial. Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan konsep pembangunan berkelanjutan, maka salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah aspek lingkungan. Sedang untuk menilai dan mengevaluasi kondisi suatu lingkungan, maka ada tiga landasan utama yang dijadikan dasar yaitu: 1) 2) 3) Produktivitas lingkungan Kelestarian keanekaragaman hayati Kemantapan hubungan ekologis

pupuk anorganik dan pakan buatan, membawa kesadaran baru bagi segenap pihak yang berkepentingan dengan pengembangan perikanan baik petambak, pakar di bidang perikanan, pelaku ekonomi, masyarakat umum serta pengambil kebijakan baik lokal maupun kebijakan negara untuk kembali menyusun strategi baru dalam menanggulangi dampak negatif, meskipun masih terdapat keragaman pada tingkat kesadaran. Salah satu wujud kesadaran tersebut adalah munculnya perencanaan mina-ekosistem yang kembali pada sistem perikanan organik dan produk bersih. Definisi dari sistem perikanan organik dapat didekatkan dengan Perikanan organik yang merupakan hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman (Sutanto, 2002). Perikanan organik (organic farming, oraganic system atau organic agriculture) adalah sistem perikanan yang menggunakan sarana produksi yang berasal dari mahkluk hidup, bukan produksi pabrik atau bahan-bahan mineral (Mugnisjah, 2001). Berdasarkan prinsip utama tersebut, maka pengembangan sistem perikanan organik diarahkan pada tujuan utama yaitu : a) Mengurangi dampak negatif pada lahan baik fisik kimia dan biologi, sehingga produktisifitas lahan tambak meningkat dan stabil, b) Mengurangi resistensi dan persistensi hama penyakit akibat penggunaan bahan-bahan kimia, sehingga penekanannya lebih mengarah pada pengendalian hayati, c) Meningkatnya kesehatan lingkungan ekosistem pesisir sehingga kesehatan masyarakat dan petambak juga meningkat, d) Mengurangi ketergantungan petambak terhadap masukan berupa sarana produksi dari luar, sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal semakin meningkat, e) Mewujudkan kedaulatan petambak dalam menentukan rencana-rencana strategi dan pengambilan keputusan sehingga ketimpangan sosial dan ekonomi dapat teratasi. Pada pendekatan teknis, sistem perikanan organik memberikan penekanan pada prinsip daur ulang hara, konservasi air dan interaksi antara tanaman dalam pemenuhan siklus hara serta pengendalian hama dan penyakit serta gulma dalam model integrated farming system. Prinsip daur ulang hara pada perikanan organik didasarkan pada upaya mengurangi kehilangan hara melalui panen (biomassa dan hasil ekonomi), dengan cara mengembalikan sebagian biomassa ke dalam tanah, setelah hasil ekonomi di panen. Pada penggunaan hara yang bersumber dari bahan-bahan anorganik (pupuk kimia), maka proses daur ulang hara tidak terjadi karena sumber utama hara adalah bentuk anorganik yang berasal dari luar agroekosistem . Sedangkan sumber hara dari bahan organik (biomassa tanaman, kotoran hewan dan limbah organik), setelah diberikan ke dalam tanah dalam bentuk

Menurut Natsir Nessa (2011), ada 4 (empat) indikator utama dari kegiatan usaha perikanan yang dilaksanakan secara berkelanjutan, yaitu : (1) Hasil berkelanjutan pada produk untuk konsumsi manusia maupun kebutuhan lain. (2) Terpeliharanya biodiversitas perikanan. (3) Terbentuknya sistem proteksi terhadap pencemaran dan degradasi habitat/ ekosistem pesisir dan laut. (4) Berkelanjutan pada kondisi sosial ekonomi masyarakatyang cendrung membaik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada beberapa batasan tentang ciri-ciri kegiatan pertanian berkelanjutan, yaitu menurut Bouma (1997) : (1) Terproteksi secara ekologi, (2) Diterima secara sosial, (3) Produktif secara ekonomi, (4) Berkelanjutan secara ekonomi, dan (5) Efektif mengurangi resiko. Sedangkan Tiwany, at al (1999), menjabarkan bahwa ada empat ciri hal pada suatu kegiatan pertanian yang dilakukan secara berkelanjutan, yaitu : (1) Memelihara sumberdaya dasar, seperti lahan, (2) Ketergantungan terhadap input luar rendah, (3) Menguntungkan secara ekonomi jangka panjang, dan (4) Diterima oleh petani. D. Konsepsi Perikanan Organik dan Produk Bersih

Meningkatnya dampak kerusakan lingkungan pesisir akibat praktek pembudidayaan tambak secara intensif bahkan cendrung super intensif dengan high eksternal input (input luar yang tinggi) seperti penggunaan saponin, brestan, antibiotik,

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

organik, selanjutnya akan mengalami proses peruraian menjadi bentuk anorganik. Sumber utama hara organic berasal dari petak usahatani, sedangkan sumber hara anorganik berasal dari luar petak tambak. Sumber-sumber bahan organik yang berasal dari dalam lingkungan tambak, dalam hubungannya dengan kebutuhan hara tanah dapat disebut pupuk organik. Hingga saat ini perkembangan penggunaan bahan organik sebagai sumber pupuk organik semakin meningkat seiring dengan peningkatan degradasi lahan terutama didaerah tropis. Sedangkan Produksi Bersih merupakan salah satu sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara sukarela (Voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak wajib. Konsep Produksi Bersih merupakan pemikiran baru untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan lebih bersifat proaktif. Produksi Bersih merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara konseptual dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan meminimumkan dampak terhadap lingkungan dan manusia dari keseluruhan daur hidup produknya. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi Bersih sebagai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi, serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan ekoefisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan. Strategi Produksi Bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup produk, dan teknologi bersih. Pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan adalah strategi yang perlu diprioritaskan dalam upaya mewujudkan industri dan jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan. Strategi lain seperti program daur ulang, pengolahan dan pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling melengkapi satu dengan lainnya (Bratasida, 1997). Strategi untuk menghilangkan limbah atau mengurangi limbah sebelum terjadi (preventive strategy), lebih baik daripada strategi pengolahan limbah atau pembuangan limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Kombinasi kedua strategi tersebut sesuai dengan skala prioritas pelaksanaan Produksi Bersih adalah sebagai berikut (Overcash, 1986) : Eliminasi : Strategi ini dimasukkan sebagai metode pengurangan limbah secara total. Bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali ( zero discharge). Mengurangi sumber limbah : Strategi pengurangan limbah yang terbaik adalah strategi yang menjaga

agar limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah mungkin memerlukan beberapa perubahan penting dalam proses produksi, tetapi dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang besar dan menekan pencemaran lingkungan. Daur Ulang : Jika timbulnya limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka harus dicari strategi-strategi untuk meminimumkan limbah tersebut sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau penggunaan kembali (reuse). Jika limbah tidak dapat dicegah atau diminimumkan melalui penggunaan kembali atau daur ulang, strategi-strategi yang mengurangi volume atau kadar racunnya melalui pengolahan limbah dapat dilakukan. Walaupun strategi ini kadang-kadang dapat mengurangi jumlah limbah, tetapi tidak sama efektifnya dengan mencegah limbah di tahap awal. Pengolahan Limbah : Strategi yang terpaksa dilakukan mengingat pada proses perancangan produksi perusahaan belum mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas limbah. Artinya limbah memang sudah terjadi dan ada dalam sistem produksinya, namun kualitas dan kuantitas limbah yang ada dikendalikan agar tidak melebihi baku mutu yang disyaratkan. Pembuangan Limbah : Strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah metode-metode pembuangan alternatif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan suatu komponen penting dari keseluruhan program manajemen lingkungan, meskipun ini adalah teknik yang paling tidak efektif. Remediasi : Strategi penggunaan kembali bahanbahan yang terbuang bersama limbah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar racun dan kuantitas limbah yang ada. V. PEMBAHASAN

A. Ident ifikasi Sistem Pada Budidaya Tambak Udang Pengembangan sistem budidaya tambak udang udang berbasis organik dan produksi bersih, memerlukan suatu instrument analisis yang mampu mengakomodasi perubahan yang cepat, salah satunya dengan menggunakan analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pertambakan; analisis potensi, tingkat teknologi budidaya dan pola usahatani tambak; dan analisis pengembangan pertambakan, sehingga diperoleh pola usahatani dan teknologi budidaya tambak yang tepat pada lokasi yang sesuai untuk kawasan pertambakan dengan pengelolaan yang baik dan berwawasan lingkungan. Pada umumnya budidaya tambak udang dapat diusahakan secara sistem organik karena pada mulanya komuditas udang dapat tumbuh secara alami, tanpa memerlukan inputan

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

eksternal seperti; pupuk, pestisida, pakan buatan dan agro kimia lainnya (lihat Poernomo, 1979). Untuk mengembangkan model budidaya tambak udang selain instrument analisis di atas, diperlukan pula metode pendekatan sistem yang merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno, 2003). Menurut Eriyatno (2003), dalam melakukan pendekatan terhadap suatu sistem produksi perikanan, umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: 1) Mencari semua faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah. 2) Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem produksi perikanan seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (a). kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (b). dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. (c) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi ( Eriyatno, 2003). Prosedur pengembangan model budidaya tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production yang di sajikan dalam makalah ini, meliputi tahapan tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi model. Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kebutuhan komoditas udang semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sedangkan disisi lain masih banyak masalah yang menghambat untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Bahasan selanjutnya akan membahas identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat dalam proses produksi budidaya tambak udang, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik ( causal loop) untuk semua variabel. Identifikasi sistem produksi budidaya tambak udang kemudian diilustrasikan dalam diagram lingkar sebab-akibat lalu diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram inputoutput merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Menurut Natsir Nessa (2011), ada 3 (tiga) komponen utama dalam kegiatan perikanan sebagai suatu sistem, yaitu; sistem lingkungan, sistem pengelolaan dan sistem manusia.

Jika ketiga komponen utama tersebut dikembangkan dalam sistem produksi tambak udang, maka ilustrasi kegiatan budidaya tambak udang sebagai suatu sistem adalah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Kegiatan budidaya tambak udang sebagai suatu sistem Sumber : Modifikasi dari Natsir Nessa (2011)

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Gambar 5. Diagram sebab-akibat (Causal Loop) Sistem Pengembangan Budidaya Udang.

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Ketiga sistem utama dalam budidaya tambak udang (Gambar 4), diuraikan menjadi sub-sub sistem yang lebih kecil lagi dan sub-sub sistem tersebut memiliki faktor pengaruh yang kuat terhadap sistem utama pembentuk kegiatan budidaya tambak udang. Pada sistem lingkungan, kegiatan budidaya udang akan sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di pesisir maupun di laut, kualitas lahan budidaya tambak udang dipengaruhi oleh kualitas perairan (laut sebagai sumber air payau) dan kualitas tanah/tambak yang berada di dataran estuarin. Pada sistem pengelolaan, selain ditentukan oleh pola budidaya dan teknik budidaya yang diimplementasikan, pengelolaan budidaya tambak udang juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan lingkungan dan pengawasan serta pengendalian lingkungan pesisir. sedangkan pada sistem sumberdaya manusia, kegiatan budidaya tambak ditentukan oleh perilaku petambak dalam berbudidaya udang, pengetahuan dan keterampilan serta keperdulian petambak akan kelestarian lingkungan. Selanjutnya setelah dilakukan identifikasi terhadap sistem pada kegiatan budidaya tambak udang, maka dapat dibangun suatu konstruksi logis tentang variabel-variabel yang terdapat dalam sistem tersebut. Variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel yang satu dengan variabel yang lain. Dari hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel (Gambar 5). Berdasarkan diagram alur sebab akibat (Causal Loop) terlihat bahwa kegiatan budidaya tambak udang terutama pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang dipengaruhi oleh; Zonasi (tata ruang) wilayah tambak; Desain dan tata letak/konstruksi tambak; Pola budidaya tambak . Selain itu pendapatan dan jumlah penduduk serta kebutuhan by product berpengaruh positip terhadap permintaan akan produk udang. Kendala yang dihadapi pada pengembangan sistem budidaya tambak udang berbasis sistem perikanan organik adalah hama dan penyakit yang menyebabkan pertumbuhan udang tidak normal bahkan hingga gagal panen. Kesemua variabel dalam diagram causal-loop tersebut (Gambar 5) memiliki keterkaitan antar variabel, hal ini menuntut kita untuk tidak dapat dengan mudah mengimplementasikan model yang akan dikembangkan secara parsial, untuk itu faktor kunci utama penerapan model ini adalah keterpaduaan dan holistik. B. Model Pengembangan Budidaya Tambak Udang Berbasis Perikanan Organik Fisheries Organic System. Hasil identifikasi sistem diagram alur sebab-akibat (Gambar 5), kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Menurut Sadelie (2003), diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkontrol dan tak terkontrol, output

diinginkan dan tak diinginkan serta manajemen pengendalian. Input terkontrol merupakan peubah endogen yang ditentukan oleh fungsi dari sistem. Input yang terkontrol menurut Eriyatno (2003), dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peubah output juga terdiri atas dua golongan yaitu output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki biasanya dihasilkan dari adanya pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan. Sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki (Gambar 6).

Gambar 6.

Diagram Kotak Hitam (Black box diagram) Pengembangan Budidaya Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Penyusunan model dari sistem pengembangan budidaya tambak udang berbasis sistem perikanan organik dan produk bersih Fisheries Organic System dan Clean Production, dapat diidentifikasikan input yang mempengaruhi sistem serta output sebagai hasil transformasi dari input yang diberikan sebagai berikut : 1. INPUT LINGKUNGAN

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Input lingkungan yang mempengaruhi sistem adalah iklim, kebijakan pemerintah dan budaya (kultur). Umumnya, daerah yang digunakan untuk budidaya tambak udang windu

10

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

berupa lahan intertidal aluviamarin dan terletak pada daerahdaerah pesisir sehingga menyulitkan dalam pengelolaan lahan tambak terutama transportasi dan konservasi lahan serta tingginya tekanan pada wilayah pesisir. disamping itu kebijakan tentang pengelolaan wilayah pesisir oleh pemerintah belum sepenuhnya diterapkan dengan baik, meskipun regulasi tentang pengelolaan wilayah pesisir telah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2. INPUT YANG TERKONTROL (CONTROLLED INPUT) a) Tata ruang (zonasi) wilayah pesisir.

Isu degradasi lingkungan dan penurunan produktifitas tambak udang disebabkan karena pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang beraneka ragam dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan secara terus menerus akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999). Sebagai instrument dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu maka perlu diatur tata ruang (zonasi) di kawasan tersebut. Tata ruang wilayah pesisir memiliki interaksi yang sangat kuat dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, artinya pengelolaan kawasan tambak yang baik sangat ditentukan dengan tata ruang pesisir yang baik. Penataan ruang wilayah pesisir memiliki keterkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan sumberdaya manusia. Selain itu juga penataan ruang pesisir merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara spasial dengan pengelolaan sumberdaya pedesaan yang memberikan kontribusi bahan baku dan kawasan produksi dan juga terhadap pengelolaan sumberdaya perkotaan sebagai tempat pemasran produk hasil pertanian/perikanan serta penyediaan jasa penunjang kegiatan produksi. Untuk itu dalam penataan ruang pesisir hendaknya memperhatikan konservasi dan pengelolaan ekosistem. Pola hubungan antara pengelolaan sumberdaya pesisir dengan tata ruang pesisir dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 7.

Sumber :

Pola hubungan anatara pengelolaan sumberdaya pesisir dengan pengembangan wilayah (tata ruang) pesisir. Ambo Alla, 2011

Hakikat dari Tata Ruang (Zonasi) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur ruang dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Tata Ruang (Zonasi) sebagai bentuk rekayasa teknis dalam pemanfaatan ruang, maka dalam mengelompokkan suatu kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil ke dalam zona-zona dan sub-sub zona harus dilakukan sesuai dengan kondisi fisik, potensi, daya dukung dan daya tampung serta fungsinya, sehingga tujuan penentuan zonasi untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi dari ekosistem suatu kawasan dapat dicapai yang pada akhirnya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara serasi, optimal dan berkelanjutan. Penataan ruang di kawasan pesisir dan laut adalah suatu upaya untuk memanfaatkan ruang secara harmoni dan optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan pesisir. Proses penataan ruang yang baik seyogyanya dapat mengakomodasi seluruh aspek yang terkait yaitu aspek fisik,

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

11

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

ekonomi, sosial budaya serta aspek politik yang ada. Hal ini merupakan suatu proses yang cukup kompleks, karena akan mengintegrasikan seluruh aspek tersebut secara harmoni. Tujuan Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah untuk mencegah dan mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dan untuk memadukan pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di dalam wilayah rencana. Adapun Tujuan khususnya adalah sebagai berikut : a. Mengalokasikan ruang wilayah pesisir ke dalam pemanfaatan yang sesuai dengan peruntukannya dan kegiatan yang saling mendukung serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan. Membagi kawasan menjadi zona dan sub-zona pemanfaatan yang terbatas sesuai dengan prioritas pembangunan di kawasan tersebut. Menyusun zona dan sub-zona potensi sumber daya, daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan, fungsi lindung, dan fungsi pertahanan dan keamanan. Mengoptimalkan pemanfaatan ruang dalam berusaha dan pengembangan investasi melalui mekanisme perizinan dan pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3)

ekonomi serta keseimbangan sosial masyarakat) dapat diimplementasikan dengan baik. Metodologi penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut, ditunjukkan dalam diagram berikut.

b.

c.

d.

Salah satu tahapan analisis dalam proses penataan ruang wilayah pesisir dan laut adalah analisis kebutuhan ruang untuk suatu jangka waktu tertentu. Oleh karena itu analisis ini merupakan suatu proses yang cukup penting sehingga perlu dilakukan secara lebih efisien dan efektif untuk menghasilkan suatu perencanaan wilayah pesisir dan laut yang optimal. Proses analisis kebutuhan ruang untuk suatu jangka waktu tertentu merupakan suatu langkah yang diperlukan dalam tahapan penyusunan suatu rencana tata ruang/ rencana zonasi. Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana arahan-arahan kegiatan di wilayah studi dapat diakomodasikan sampai suatu jangka waktu tertentu. Hal ini terkait erat dengan daya dukung suatu wilayah ( carrying capacity), karena idealnya pertumbuhan wilayah harus dapat dibatasi, sehingga dampak-dampak negatif dari kegiatan pembangunan dapat terdeliniasi secara optimal. Proses penataan ruang juga ditujukan untuk memisahkan kegiatan yang saling bertentangan antara dampak kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lainnya, sehingga konflik yang meungkin timbul akibat pemanfaatan wilayah pesisir dapat diminimasi sekecil mungkin. Penataan ruang pesisir akan sangat sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan ketika kaidah-kaidah yang terdapat didalam penataan ruang pesisir (kaidah keseimbangan ekosistem dan

Gambar 8. Metodologi penyusunan rencana tata ruang pesisir dan laut. Dalam melakukan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut dibutuhkan beberapa pendekatan umum yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan pada pemahaman dan pengetahuan tentang karaktersitik sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, serta tujuan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut dengan kharakteristik ekobiologis yang unik, maka pendekatan umum yang akan digunakan dalam melaksanakan kegiatan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut : 1) Pendekatan keterpaduan dan keberlanjutan (integrated and sustainable approach) : Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat (bumi),

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

12

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

lingkungan laut, dan aktivitas disajikan pada gambar berikut.

manusia,

seperti

Lingkun gan Darat

Aktifitas Manusi a

oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas ( upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi Pendekatan ini berorientasi pada proses evaluasi konsistensi keberadaan jenis data pada karakteristik lingkungan yang mempengaruhi keberadaan data tersebut berdasarkan pada pemahaman antara keterkaitan antara satu komponen data dengan lainnya. Untuk itu, sebelum penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut, terlebih dahulu diperlukan pengenalan awal tentang kondisi lokasi pesisir dan laut yang akan diamati. Pengenalan awal kondisi lokasi penyusunan rencana zonasi dapat memberikan pemahaman tentang jenis potensi sumberdaya yang ada dan mungkin ada di lokasi. Salah satu cara mengetahui keberadaan potensi sumberdaya tersebut secara awal adalah dengan melihat keterkaitan antara karakteristik geofisik dengan ekosistem, serta antara karakteristik sosial budaya masyarakat dengan pola pemanfataan sumberdaya yang ada. Dari sisi pemanfaatan ruang, pengenalan awal ini akan membantu memberikan informasi tentang pola dan distribusi penggunaan lahan dalam segala bentuknya, seperti permukiman, pertambakan, dan budidaya laut. Dengan cara pandang terintegrasi dan holiostik ini dalam melakukan pengambilan data dan analisis, maka diharapkan semua komponen sumberdaya yang ada di lokasi kegiatan dapat dimasukkan sebagai komponen yang perlu dikumpulkan datanya. Terkait dengan pendekatan keterpaduan dan keberlanjutan dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut, maka strategi yang nantinya akan diimplementasikan dalam rangka pencapaian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Mengidentifikasi secermat mungkin terhadap penggunaan ruang pesisir dan laut di wilayah perencanaan serta prediksi kebutuhan ruang. Mengidentifikasi kharakteristik sumberdaya pesisir dan laut di wilayah perencanaan, cakupan identifasi diantaranya meliputi sifat-sifat fisis, kimiawi dan biologi lingkungan pesisir dan laut di wilayah perencanaan serta keamanan dan keselamatan mahluk hidup di dalam ekosistem tersebut. Mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Rekomendasi yang diusulkan dalam studi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut hendaknya didasari atas bukti ilmiah terbaik dengan penuh kehati-

Lingkung an Laut

WILAYAH PESISIR DAN LAUT

SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

Gambar 9. Keterkaitan antara faktor lingkungan darat, laut dan aktivitas manusia Penataan ruang wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses penyusunan arahan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi ( horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi

2)

3) 4)

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

13

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

hatian agar pendayagunaan sumberdaya pesisir dan laut dilakukan secara seimbang dengan daya dukung lingkungan tersebut. 2) Pendekatan keterwakilan

juga harus diimbangi oleh pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga diharapkan terjadi persaingan yang sehat antara para pelaku ekonomi di suatu wilayah. Sehubungan dengan pendekatan ekonomi, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut, adalah sebagai berikut : Pertama, mengenali karakteristik kegiatan ekonomi saat ini dan potensi sumberdaya alam yang dapat menunjang kegiatan ekonomi pesisir dan laut di masa datang. Dari sini, selanjutnya dapat dirumuskan sektor/subsektor potensial yang dapat dijadikan sektor/subsektor unggulan di wilayah dikaitkan dengan tujuan dan sasaran pertumbuhan ekonomi wilayah kota, serta sasaran pertumbuhan ekonomi regional wilayah pesisir dan laut . Kedua, mengenali faktor-faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir dan laut . Faktor eksternal tersebut tidak hanya dilihat dalam konteks antar wilayah dalam skala regional dan Provinsi Sulawesi Barat saja, tetapi juga antarkawasan ekonomi dalam skala yang lebih luas, yaitu ekonomi nasional bahkan internasional. mengenali perkembangan ekonomi dan pasar komoditas akan memudahkan penyusunan lebih lanjut tentang skenario dan agenda pengembangan wilayah pesisir dan laut dalam merespons dan mengantisipasi serta menyelaraskan kesiapan kawasan yang direncanakan dalam menghadapi fenomena tersebut.

Pendekatan keterwakilan Populasi dan lokasi berarti bahwa setiap populasi dalam suatu lokasi, dan setiap spot dalam lokasi yang diamati memiliki wakil dalam data studi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa proses analisis benar-benar telah mewakili keseluruhan populasi serta lokasi yang diteliti. Pendekatan ini cukup sejalan dengan pendekatan yang pertama, dimana keduanya beorientasi pada kelengkapan data yang akan dikumpulkan. Meskipun demikian, fokus pendekatan ini lebih berorientasi pada proses analisis, dimana keterwakilan data dan lokasi akan mempengaruhi hasil-hasil dalam proses analisis nantinya, terutama pada data-data yang pengolahannya menggunakan teknik statistik. 3) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)

Perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan pemangku kepentingan baik sebagai pemanfaat ruang maupun pihakpihak lain yang terkena dampak negatif dan positif dari pelaksanaan ruang itu sendiri. Pelibatan para pemangku kepentingan mulai dari sejak awal sampai perumusan rencana yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan konsultasu, diskusi, focus group discussion dan seminar/workshop. 4) Pendekatan Ekonomi (Economic approach)

Ketiga,

Pertumbuhan ekonomi sering didefinisikan sebagai pertumbuhan agregatif dari sektor dalam perekonomian, dengan melihat perubahan indikatornya. Sedangkan, perkembangan ekonomi lebih luas cakupannya dari sekadar pertumbuhan ekonomi mengingat pada perkembangan ekonomi, yang diamati tidak hanya perubahan indikator agregatif sektor perekonomian, tetapi juga mengamati apakah terjadi pergeseran struktur perekonomian. Pada wilayah/ daerah yang masih tradisional, umumnya struktur perekonomian sangat didominasi oleh sektor primer. Perkembangan ekonomi suatu wilayah/daerah dapat dilihat apabila terjadinya perubahan struktural sektor agraris/tradisional menuju sektor industri/modern, dalam arti terjadi perubahan/penurunan dominasi sektor primer/tradisional, di pihak lain terjadi perubahan/peningkatan dominasi sektor sekunder dan tersier. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sebagai salah satu pendekatan perencanaan pembangunan terbukti tidak selamanya sesuai untuk diterapkan. Struktur perkonomian wilayah yang baik adalah terjadinya keseimbangan pertumbuhan antarasektor agraris/ tradisional dan sektor industri/ modern. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi

5)

Pendekatan Sosial dan Budaya (Social and culture approach)

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Pendekatan ini memandang wilayah perencanaan sebagai satu kesatuan ruang sosial (social space) dengan masyarakatnya yang beragam serta mempunyai budaya dan tata nilai ( norm and value) tersendiri. Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pantai, di sepanjang aliran sungai maupun di sekitar hutan masing-masing memiliki ciri-ciri dan tata nilai tradisional yang unik. Dalam rangka penataan ruang dan pembangunan wilayah, corak ragam budaya dan tata nilai ini harus ditempatkan sebagai satu variabel penting. Nilai-nilai tradisional yang positif perlu diakomodasikan untuk merangsang peran serta masyarakat yang lebih besar dalam pembangunan daerahnya. Sedangkan, nilai-nilai pembangunan perlu diupayakan agar tidak berbenturan dengan nilai-nilai tradisional, sehingga tidak menghalangi kinerja pengembangan wilayah. Oleh sebab itu, dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini, khususnya dalam arahan pengembangan kawasan pemanfaatan umum dan

14

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

pengelolaan kawasan konservasi, akan dicermati karaktersitik budaya dan nilai-nilai tersebut. Diharapkan melalui pendekatan ini akan dapat dihindari kemungkinan terjadinya benturan sosial dan keterasingan kelompok masyarakat tertentu dari derap kegiatan pembangunan, serta segregasi keruangan yang dapat berdampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan wilayah dan juga pada perkembangan kehidupan masyarakat. 6) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)

(khususnya masyarakat bermodal kecil dan menengah) untuk berperan serta dalam kegiatan investasi dan atau menikmati nilai tambah ruang yang diakibatkan oleh suatu kegiatan penataan ruang. 7) Pendekatan Mitigasi Bencana.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan penataan ruang. Dalam undang-undang antara lain UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 27 Tahun 2007, PP No. 69 Tahun 1996 serta Permendagri No. 9 Tahun 1999, dikemukakan bahwa masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam keseluruhan kegiatan penataan ruang, mulai dari kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang hingga pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini harus dilakukan secara terbuka sehingga memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan haknya, yakni memberikan masukan berupa informasi, data, tanggapan, dan saran-saran serta keberatan. Dengan demikian, diharapkan bahwa hasl pekerjaan yang tersusun akan lebih responsif, aspiratif dan akomodatif (mewadahi) berbagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sehingga nantinya lebih mudah dioperasionalkan. Selanjutnya, diharapkan pula hasil pekerjaan yang tersusun ini dapat dimasyarakatkan (sosialisasi) secara terbuka dan transparan melaui media cetak, media elektronik dan forum pertemuan, agar semua lapisan masyarakat mempunyai akses yang sama terhadap informasi rencana tata ruang dan peluangpeluang pembangunan yang terkandung di dalam rencana tata ruang tersebut. Melalui pendekatan peran serta masyarakat tersebut juga akan diupayakan agar arahan kawasan fungsional dan programprogram pembangunan perikanan di WP3K yang dirumuskan dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini dapat mencerminkan adanya peluang-peluang masyarakat

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rawan terhadap bahaya tsunami, bajir dan rob. Untuk itu, pendekatan penataan ruang kawasan pesisir dan laut tersebut akan berorientasi pada mitigasi bencana ( terutama terhadap bencana tsunami), hal ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi segenap pemangku kebijakan yang dilandasi oleh pendekatan ini guna untuk keamanan dan keselamatan masyarakat pesisir dan laut. Pada pasal 56, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa, dalam penyusunan rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayah. Untuk itu, upaya yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut adalah dalam arahan peruntukan lahan terutama lahan pemukiman dan rencana tata letak infra struktur (site plan). Selanjutnya dalam undang-undang lingkungan hidup menyatakan bahwa 200 meter dari garis pantai haruslah ditetapkan sebagai jalur hijau. Tersirat dalam undang-undang, keputusan presiden dan keputusan menteri bahwa jalur hijau di wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi sangat penting dan berperan sebagai penyanggaa (buffer) antara wilayah daratan dan lautan. Akan tetapi bagi wilayah pesisir dan laut atau wilayah kabupaten yang teridentifikasi rawan bencana (terutama tsunami) maka kaidah jarak sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut perlu dicermati secara seksama, karena faktor utama yang sangat penting dan perlu dipertimbangkan bukan saja jarak dari pantai ke arah daratan, tetapi faktor ketinggian suatu wilayah dari permukaan laut. Berikut ini disajikan contoh peta hasil penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut yang disusun berdasarkan metodologi dan pendekatan sebagaimana yang diuraikan di atas.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

15

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Gambar 10. Contoh penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

16

Gambar 11. Ilustrasi penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Ilustrasi di atas menggambarkan suatu penataan ruang wilayah pesisir (kawasan pertambakan) dengan memperhatikan keseimbangan aspek ekonomis dan ekologis melalui penentuan kawasan budidaya tambak yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung (Gambar 10). Sedangkan ilustrasi (Gambar 11) memberikan contoh suatu kawasan budidaya tambak yang dirancang dengan memperhatikan aspek ketepaduan dan harmonissi lingkungan sehingga pengelolaan sumberdaya lingkungan dapat dilakukan lebih efisien. Selain itu, penentuan kawasan budidaya tambak yang baik akan mengurangi ketergantungan suatu usaha budidaya terhadap input eksternal dan akan lebih meningkatkan efisiensi terhadap penggunaan energi yang tidak terbaharui, sebagai contoh ; penentuan kawasan tambak pada daerah estuarin dimana pengaruh pasang surut air laut masih terjadi di kawasan tersebut, akan meningkatkan efisiensi unit usaha tambak terhadap penggunaan energi listrik atau energi bahan bakar penggerak pompa air, karena proses pendistribusian air dari saluran primer ke saluran sekunder maupun ke unit-unit petakan kolam tambak masih dapat dilakukan secara alamiah melalui proses grafitasi atau energi pasang surut. Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan utama bagi para perencana pengembangan wilayah pesisir dalam melakukan penataan ruang pesisir direkomendasikan agar memperhatikan kharakteristik kesesuaian lahan baik secara biologi, kimiawi dan fisikawi lingkungan juga mempertimbangkan efisiensi kawasan. b) Desain, tata letak dan konstruksi tambak.

Desain petakan tambak udang membutuhkan pertimbangan yang seksama agar tambak dapat berfungfi secara efisien dan layak secara ekonomis (Bose et al, 1991). Tujuan daripada desain tambak yang baik adalah untuk mengefektifkan pengolahan limbah, disamping memudahkan pengelolaan air dan pemanenan udang (Chanratchakool et al, 1995). Secara umum desain, tata letak dan konstruksi tambak harus memperhatikan 2 (dua) aspek penting, yaitu : i. Harus menjamin tercapainya produktifitas yang maksimum dan pemgelolaan dan operasional anfaatan lahan yang optimal dengan biaya pengelolaan dan operasional yang minimum. Memperhatikan kelestarian lingkungan untuk menjamin keberlanjutan usaha dan meminimalkan dampak negatif (limbah buangan) untuk lingkungan sekitarnya termasuk konflik sosial.

ii.

Kegiatan usaha budidaya tambak udang merupakan proses produksi yang memerlukan kendali dan keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor teknis maupun non teknis, seperti perencanaan rekayasa dan rancang bangun tambak sangat penting dalam mata rantai kegiatan budidaya tambak udang (Ahmad Mustafa, 2008). Dengan demikian, perencanaan tambak harus diarahkan pada kemampuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan keadaan alami yang dituntut oleh organisme aquatik yang dibudidayakan. Rekayasa tambak yang mencakup desain, tata letak dan konstruksi tambak adalah salah satu faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan budidaya udang. Oleh karena itu, rekayasa tambak terkait erat dengan barbagai faktor dari sistem pengembangan budidaya tambak udang berbasis Fisheries Organic System, hal ini sejalan dengan Boyd (1999), bahwa rekayasa tambak yang baik dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan lahan dan mencegah atau mengurangi dampak negatif sosial dan lingkungan.

Pada konteks pengembangan tambak udang secara berkelanjutan berbasis organik ini, maka desain tambak yang disarankan untuk dikembangkan adalah tambak-tambak yang memiliki bentuk petakan tambak persegi panjang, bujur sangkar atau segi banyak dengan sisi terpanjang sejajar dengan arah angin, hal ini sependapat dengan Jesmond (2005), yang mengemukakan bahwa sisi terpanjang untuk tambak sebaiknya sejajar dengan arah angin dominan, hal ini dimaksudkan untuk membantu sirkulasi air (meningkatkan oksigen terlarut) dan meminimalkan fluktuasi suhu yang terjadi pada saat musim kemarau. Peningkatan oksigen terlarut dan fluktuasi suhu yang minimal akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang. Selain itu juga akan meminimasi penggunaan energi listrik atau energi bahan bakar yang dibutuhkan untuk penggerak kincir tambak, dengan demikian usaha budidaya tambak yang diselenggarakan akan meminimasi penggunaan energi atau sumberdaya alam yang tidak terbaharukan, yang pada akhirnya akan memperkical biaya operasi dan tercapainya efisiensi produksi sebagaimana yang diharapkan dalam konsep perikanan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan desain tambak berdasarkan faktor kondisi alam, maka tambak berbasis organik hendaknya dirancang dengan desain yang memperhatikan aspek lingkungan dan berwasasan lingkungan. Konsep desain tambak berwawasan lingkungan mengakomodir keperluan remediasi dan resirkulasi media budidaya tambak secara alamiah dan ramah lingkungan. Pada desain tambak ini, diterapkan sistem kolam biofilter pada saluran pemasukan primer (primary inlet) dan saluran pengeluaran primer (primary outlet) yang diletakkan secara terpisah. Pada saluran tersebut ditanami oleh mangrove yang berfungsi sebagai bio filter.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

17

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Untuk lebih meningkatkan kualitas air sebelum dimasukkan ke dalam petak/kolam budidaya maka pada desain tambak organik berwasasan lingkungan dapat diterapkan kolam penampungan treatment alamiah, yaitu suatu kolam yang dirancang untuk meningkatkan kualitas bio-fisik air tambak secara alamiah melalui sistem filtrasi biologi dan organik seperti kerang-kerangan atau rumput laut Gracillaria yang ditempatkan pada kolam penampungan (reservoar pond). Setelah media budidaya tersebut di saring secara alamiah pada kolam bio-filter, selanjutnya air dari kolam penampungan ini dialirkan ke kolam-kolam budidaya udang (Gambar 12). Konsep ini dapat dikembangkan secara massal dengan melibatkan banyak pembudidaya udang dalam suatu kawasan budidaya. Hasil sampingan dari kolam bio-filter, seperti ikan maupun komoditas non budidaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan kelompok petambak. Selain menjamin tersedianya sumber air yang berkualitas baik, konsep pengembangan budidaya tambak udang dengan pola ini juga akan meminimasi terjadinya kontaminasi limbah organik hasil sisa pakan atau bahan-bahan residual lainnya melalui pemisahan antara saluran pemasukan air dan pengeluaran air serta pengelolaan sistem pengairan

pada hamparan tambak tersebut. Untuk lebih meningkatkan kualitas sumber air tambak, maka pada perairan laut pesisir tambak dapat dimanfaatkan untuk keperluan budidaya rumput laut Euchema cottonii, karena hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli, mengindikasikan bahwa rumput laut Euchema cottonii yang dibudidayakan pada perairan laut pesisir selain memberikan dampak terhadap kualitas air juga dapat berfungsi sebagai bio-filter air laut. Keberhasilan penerapan model tambak dengan desain yang dirancang berwawasan lingkungan, akan sangat bergantung pada koordinasi dan keterpaduan lingkungan, karena model ini memerlukan pengaturan sistem irigasi yang terpadu dan mampu mengakomodir kepentingan pembudidaya tambak yang berada dalam suatu hamparan serta melibatkan banyak pemilik tambak yang berbeda. Oleh karenanya, untuk mendorong keberhasilan dari penerapan desain tambak berwawasan lingkungan perlu dialokasikan suatu areal pertambakan (zona tambak) yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta memisahkannya dari kegiatan yang bertentangan melalui pengaturan tataruang wilayah pesisir.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

18

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN


A B

NOTES : A. TOP VIEW B. ISOMETRIK VIEW


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. SEA RIVER MANGROVE PRIMERY INLET SECONDARY INLET PRIMARY OUTLET SECONDARY OUTLET RESERVOAR POND 9. ORGANIC BIO-FILTER POND 10. TRANSITION POND 11. NURSERY POND 12. GROWTH POND 13. BACK YARD/MINI HATCHERY DESIGN BY URIF SYARIFUDIN

MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. SEA RIVER MANGROVE PRIMERY INLET SECONDARY INLET PRIMARY OUTLET SECONDARY OUTLE RESERVOAR POND 9. ORGANIC BIO-FILTER POND 10. TRANSITION POND 11. NURSERY POND 12. GROWTH POND 13. BACK YARD/HATCHERY

design@Urif_2012

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

19

Gambar 12. Desain Tambak Berwawasan Lingkungan Pada Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan dan Berbasis Sistem Perikanan Organik.

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

c)

Pola budidaya Udang Model Cultivar and Modular System.

Pengalaman telah membuktikan bahwa penerapan pola budidaya udang yang secara terus menerus sepanjang tahun dengan sistem intensif, telah memberikan tekanan yang tinggi terhadap lingkungan pesisir, sebagai klimaksnya terjadinya degradasi lingkungan dan kegagalan dalam berbudidaya. Untuk itu dalam model pengembangan tambak udang secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan produk bersih disajikan rancangan pola budidaya udang windu sistem cultivar dan sistim modular. Pola budidaya udang dengan sitem modular pada dasarnya adalah membudidayakan udang dengan cara memisahkan atau menjarangkan tingkat kepadatan udang pada setiap tingkatan perkembangan atau pertumbuhannya lalu mengelompokkan udang yang dibudidayakan berdasarkan ukurannya. Pola budidaya udang dengan sistem modular dapat pula disebut dengan sistem progress, karena pembudidaya/petambak melakukan pemindahan udang dari kolam yang satu ke kolam yang lain pada setiap tahapan pertumbuhan udang. Konsepsi dasar yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan pola budidaya udang sistem modular adalah mengingat sifat udang yang merupakan kanibalisme, dengan dasar pertimbangan tersebut diharapkan tingkat survival rate (SR) dan berat rata-rata udang mencapai hasil yang maksimal, hal ini sesuai dengan Evron, et al (2002), bahwa udang yang dibudidayakan dengan cara penjarangan selama masa pemeliharaan 90-100 hari, dapat mencapai SR > 80% dengan berat berkisat antara 25 30 gram/ekor (Size 33 40). Batasan sistem modular adalah budidaya udang/ikan dengan cara pindah dan pindah, sehingga satu diantara syaratnya benih yang akan dibesarkan harus dalam bentuk tokolan. Sistem ini sudah lama dikenal di masyarakat utamanya di Pangkep, Pinrang dan Luwu yang kenyataannya cukup eksis (ISPIKANI SULSEL, 2010). Manfaat dari sistem ini adalah meminimalkan resiko karena daya adaptasi benih lebih tinggi, memperpendek usia pemeliharaan, ukuran udang relatif lebih besar sehingga berdasarkan pendekatan usahatani marjin yang diperoleh akan lebih besar. Sebagai ilustrasi pada Tabel 3 akan dikemukakan kasus yang memperbandingkan usaha pertambakan dengan sistem tebar langsung dan modular. Tabel 3. Penampilan usaha pertambakan sistem non- modular dan modular. KOMPONEN Luas Petakan Padat Tebar Ukuran Benih NON-MODULAR 1,20 Ha 4 ekor/m2 (48.000 ekor) PL 15 ( 0,014 MODULAR 1,20 Ha 4 ekor/m2 (48.000 ekor) PL 40 ( 0,258

Lama pemeliharaan Volume Panen

g/ekor) 110 hari

g/ekor) 85 hari 1.077 kg ( 36 ekor/kg) 81 % (38.800 ekor) 0,975 Rp 20.500 Rp 62.000 Rp 41.500

709 kg (44 ekor/kg) Sintasan 65 % ( 31.200 ekor) FCR 1,25 Biaya Produksi/kg Rp 23.000 Harga udang/kg Rp 51.000 Marjin/kg Rp 28.000 Sumber : Hasanuddin, 2000

Sistem cultivar yang dimaksud adalah pola budidaya tambak dengan mengkobinasikan pola pemeliharaan komoditas perikanan yang dibudidayakan dengan tetap memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lahan serta kesesuaian iklim, sehingga terjadi variasi komoditas dalam satu wadah kolam budidaya. Melalui penerapan model budidaya secara cultivar diharapkan dapat mengendalikan hama dan penyakit dengan cara memutus siklus hama dan penyakit yang kemungkinan menyerang suatu komoditas. Secara umum Pola tanam, musim tanam dan penyiapan benih merupakan kegiatan yang simultan. Konsep yang umum dianut di Sulawesi Selatan disampaikan sebagai berikut:
PERTAMA : UDANG KEDUA : UDANG KETIGA : UDANG UDANG BANDENG UDANG UDANG BANDENG

Berdasarkan analisis terhadap beberapa literatur yang ada, maka pola tanam yang ditawarkan adalah UDANG BANDENG UDANG, dengan pemeliharaan komoditas udang pada musim tanam I adalah dimulai september sampai desember, kemudian dilanjutkan dengan musim tanam II yaitu pemelihraan ikan bandeng atau ikan lain yang memiliki nilai ekonomis (seperti ikan nila) pada bulan januari sampai pertengahan maret. Musim tanam III, pemeliharaan komoditas udang adalah bulan mei sampai pertengahan juli atau agustus. Disarankan pada musim tanam I padat penebaran benih udang lebih tinggi daripada musim tanam II, hal ini mempertimbangkan pertama bahwa persiapan lahan lebih baik dan kedua yang tidak kalah pentingnya suplay udang ke pasar Internasional antara bulan januari hingga juni akan berkurang, karena beberapa negara penghasil udang di bagian utara Indonesia seperti Thailand, China, Vietnam dan lain-lain antar bulan Nopember Februari tidak beroperasi karena musim dingin. Dengan demikian apabila momentum ini dimanfaatkan dengan baik, maka marjin yang diperoleh akan lebih besar karena harga pembelian udang di pasar Internasional akan meningkat.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

20

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Tabel 4.

Pola pergiliran komoditas perikanan dalam budidaya tambak udang berwawasan lingkungan.
MUSIM TANAM I N Se O D o pt kt es v MUSIM TANAM II J P A M a e p ar n b r MUSIM TANAM III J J M A u u ei gs n l

POLA TANA M KOMO DITAS UDAN G IKAN BANDE NG UDAN G

Penampilan fisik dapat dilakukan dengan cara visual atau kasat mata, dan bantuan mikroskop. Sedangkan biosecurity dapat dideteksi dengan metode agar dan bantuan alat PCR untuk mendeteksi virus dan bakteri. Secara visual atau kasat mata mutu benih itu akan terlihat dalam wujud atau penampilan sebagai berikut ( Fegan et al, 1993 ) sebagai berikut: Keseragaman ; Ukuran benih yang seragam memberi indikasi yang baik karena dapat terhindar dari kanibalisme dalam proses transportasi, pentokolan maupun pembesaran. Juga akan mempengaruhi kesaragaman dalam pertumbuhan. Ukuran benih yang tidak seragam menandakan pertumbuhan yang tidak normal. Penampilan warna ; Penampilan warna benih udang windu yang berbeda terjadi karena pengaruh kondisi tempat pemeliharaan dan jenis maupun kualitas pakan yang diberikan. benih dengan penampilan warna coklat kehitaman atau bening transparant memberi indikasi bermutu baik, sedangkan benih yang berpenampilan waqrna merah atau merah mudah memberi indiksi bahwa benih tersebut dalam kondisi stress, terinfeksi penyakit atau kekurangan gizi. Sirip ekor (Uropoda) ; Benih yang baik sirip ekor mengembang seperti kipas, semakin sempurna perkembanganya adalah semakin baik, setidaktidaknya sirip ekor membuka tiga. Bila dalam kondisi tertutup benih masih rawan untuk ditebar langsung. Antena pertama (sungut pendek) ; Antena yang sering membuka dan menutup secara rapat dan berada pada keadaan lebih sering menutup memberi indikasi mutu benih yang baik. Sedangkan apabila berbentuk hurup V merupakan indikasi benur yang terserang infeksi bakteri. Aktifitas Renang ; Jika diberikan stimulan dari luar berupa kejuatan atau cahaya, maka benih yang sehat akan memberi respon antara lain meloncat atau aktif berenang. Pada kondisi air yang diputar dan menimbulkan arus, benih yang sehat akan melawat arus sedangkan yang tidak sehat akan mengikuti arus dan apabila istirahat badannya melangkung dan karapasnya mengkerut. Daya adaptasi ; Menurut Atjo, 2001 bahwa benih yang sehat akan memiliki daya adapatasi yang tinggi. Bila dimasukkan kedalam wadah berisi air dengan dinding berwarna hitam atau putih maka penampilan warna benih dengan cepat

Pertimbangan logis merekomendir pola tanam UDANG BANDENG UDANG antara lain adalah pemutusan siklus penyakit dan perbaikan lingkungan internal sebelum musim tanam II. Sedangkan musim tanam I didasarkan atas pertimbangan bahwa antara bulan juli dan september salinitas ekstrim, pasut kecil dan fluktuasi temperatur alam ekstrim (di malam hari dingin dan siang hari panas). Konsekwensi logis dari pola tanam II (UDANG BANDENG UDANG) maka dua bulan sebelum waktu tebar, maka proses pentokolan benih (udang atau ikan) sudah harus dimulai. Disarankan umur tokolan benih udang antara 20 - 30 hari, sedangkan benih ikan minimal 60 hari. d) Seleksi dan Bio-secure Benih Udang. Benih merupakan elemen akuainput yang mempunyai peran paling besar terhadap kesuksesan budidaya, sehingga proses standarisasi produk harus diberi perhatian perioritas. Oleh karena proses standarisasi dan pengawasan belum dapat dilakukan secara baik, maka acuan dalam memilih dan menangani benih adalah sebagai berikut. (1) Pilih Benih Bermutu Pada saat ini benih udang windu telah berhasil diproduksi secara massal oleh sejumlah pembenihan melalui pembenihan skala parsial yang dikenal dengan sebutan Bacyard hatchery ataupun pembenihan udang skala lengkap dengan mutu benih yang sangat variatif. Benih yang diproduksi oleh pembenihan umumnya PL 10 12 ada yang langsung ditebar di tambak dan ada yang melalui proses pentokolan selama 7 hari hingga 14 hari sebelum dibesarkan di tambak. Secara ilmiah mutu benih akan ditentukan oleh tiga variabel yaitu induk (variasi genetik, kesehatan dan ukuran), lingkungan media produksi dan metode atau teknologi produksi yang ketiga variabel ini harus diimplementasikan secara bersama. Mutu benih akan diwujudkan dengan penampilan fisik dan biosecurity .

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

21

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

menyesuaikan dengan warna dinding wadah. Semakin cepat proses penyesuaian itu memberi indikasi mutu benih semakin baik. Ukuran ; Bentuk tubuh yang lancip dan berukuran panjang minimal 12 mm memberi indiksi bahwa benih tersebut baik dan biasanya memiliki pertumbuhan yang cepat. Penampilan fisik tidak cukup hanya diamati dengan kasat mata, tetapi sangat dianjurkan untuk dilanjutkan dengan pengamatan menggunakan mikroskop terhadap bagian tertentu dari anggota tubuh benih antara lain: hepatopankreas menyangkut isi perut, kromotophore, otot punggung, perbandingan otot ekor dan usus, perubahan bentuk dan penempelan. (2) Biosecurity Biosecurity adalah tingkat infeksi benih oleh patogen penyebab penyakit (virus, bakteri, protozoa, jamur). Semakin tinggi nilai biosecuritynya maka mutu benih akan semakin baik. Sebaliknya apabila benih memiliki biosecurity yang rendah. Hanya saja permasalahan untuk melihat biosecurity adalah disamping biayanya mahal juga diperlukan sejumlah peralatan. Skrening benih yang menggunakan formalin bertujuan antara lain: Menguji ketahanan benih sebelum ditokolkan atau di tebar langsung untuk dibesarkan Memperoleh atau menseleksi benih yang memiliki daya tahan lebih tinggi sebelum ditokolkan atau di tebar langsung untuk dibesarkan

pentokolan sebelum benih itu diserahkan ke pengguna, karena memiliki peralatan atau fasilitas untuk melakukan kegiatan tersebut. Disamping itu merupakan satu diantara tahapan dalam penerapan sertifikasi benih. Adapun prosedur pelaksanaan skrening adalah sebagai berikut (Anonim, 2000 dalam Atjo 2001) Kepadatan awal di wadah perlakuan biasanya fiber kerucut adalah 100.000 ekor PL/100 L air laut (1000 ekor PL/L air laut), aerasi kuat. Turunkan kepadatan dengan menambahkan air laut menjadi 200 L, sehingga kepadatan menjadi 100.000 ekor PL/200 L (500 ekor PL/L air laut), aerasi kuat selama 25 30 menit. Tambahkan formalin sebanyak 40 cc, sehingga konsentrasinya menjadi 200 ppm (40 cc formalin/200 L air laut) diamkan selama 30 menit, dan saat itu aerasi dimatikan. Selanjutnya air di dalam wadah diputar. Udang yang sakit atau lemah ataupun mati akan terkumpul didasar bak kerucut, dan udang yang sehat tetap berenang. Udang sakit, lemah atau mati disiphon atau dikeluarkan dari wadah. Encerkan kembali air tersebut sehingga pengaruh formalin semakin berkurang dan diareasi kembali.

Prosedur Pengujian Ketahanan Benih : Isi wadah dengan air laut sesuai dengan salinitas pembenihan sebanyak 1 liter Larutkan formalin ke dalamnya sehingga konsentrasi 500 ppm (0,5 cc/L) Masukan sampel benih bermutu baik sesuai kriteria pengamatan visual sebanyak 100 ekor. Aduk dan lakukan pengamatan selama 15 menit berapa jumlah benih yang mati. Hasil pengamatan yang menunjukkan jumlah benur yang hidup > 90 % memberi indikasi benih tergolong baik.

Pada saat perlakuan biasanya terjadi molting, dan untuk itu benih dibiarkan hingga kondisi membaik kembali. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa benih yang diskrening sebanyak 2 kali yaitu pada saat akan ditokolkan (PL10-12) dan pada saat akan ditebar di tambak (PL 27-30) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan skrening 1 kali (Mangampa, 2001 dalam Atjo 2001). e) Penggunaan Pupuk Organik dan Disinfektan Organik

Prosedur Menseleksi Benih : Pelaksanaan skrening benih idealnya dilakukan oleh pengusaha pembenihan atau

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Pemberian pupuk organik dapat berasal dari proses pengolahan limbah atau dari sumber bahan organik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain kompos kotoran ternak, sisa-sisa tanaman dan pupuk hijau, jerami dan mulsa lainnya, urine ternak, kompos yang terbuat dari bahan-bahan organik. Pemberian pestisida organik dilakukan jika secara manual hama tidak dapat diatasi. Bahan pembuatan pestisida organik berasal dari bahan organik (pupuk kandang).

22

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Keberadaan hama dalam budidaya tambak udang sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya tambak udang. Ikan-ikan liar yang merupakan salah satu hama dalam budidaya tambak udang dapat menggangu kebutuhan oksigen bagi udang yang dibudidayakan, selain itu keberadaan hama tersebut selain kompetitor oksigen juga kompetitor terhadap pakan yang diberikan kedalam media budidaya (tambak). Untuk pemberantasan hama, seperti ikan-ikan liar pada model pengembangan tambak secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan produk bersih ini, direkomendasikan menggunakan disinfektan organik yang bersifat non-residual seperti penggunaan saponin, dimana saponin selain terbukti mampu membasmi ikan-ikan liar juga dapat menyuburkan unsur hara tanah tambak, hal ini diindikasikan umumnya 1 2 minggu setelah pemberian saponin pada tambak akan meningkatkan kuantitas plankton diatom. Penggunaan desinfektant an organik yang bersifat residual seperti brestan atau bahan kimia berbahaya lainnya sangat direkomendasikan untuk tidak diterapkan dalam konsep budidaya tambak udang berwawasan lingkungan. f) Sikap dan Keterampilan Tenaga Kerja

perusahaan Jasa-jasa PDB 9,2 100 9,2 100 11,2 100 13,0 100

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada pengembangan tambak udang berbasis sistem perikanan organik cukup besar, terlebih pada pengendalian hama dan penyakit yang masih dilakukan secara manual. Penggunaaan pestisida alami membutuhkan tenaga kerja karena pestisida ini masih sedikit jenisnya ada di pasaran. Selain jumlah tenaga kerja, faktor sikap dan keterampilan petambak perlu diperhatikan. Upaya nyata yang dapat dilakukan adalah dengan menggalakkan dan menerapkan cara berbudidaya udang yang baik pada dempond-dempond tambak milik pemerintah atau lembaga lainnya dengan harapan terjadi proses transformasi pada petambak-petambak tradisional mengenai cara berbudidaya udang yang baik dan ramah lingkungan. Selain itu juga upaya nyata yang dapat dilakukan oleh pemerintah maupun stake holder lain dalam rangka merubah perilaku petambak dari cara berbudidaya udang yang biasa menjadi cara berbudidaya udang yang baik dan berwawasan lingkungan adalah melalui upaya penyuluhan, penyediaan pusat informasi dan pelatihan atau magang bagi pembudidaya udang (petambak). g) Bioremidiasi Lahan Tambak. Budidaya udang pola intensif merupakan usaha untuk meningkatkan produksi udang dengan cepat yang dicirikan oleh padat penebaran tinggi, pola tanam secara terus menerus dan penggunaan pakan buatan dalam jumlah besar. Dampak negatif budidaya udang intensif adalah penurunan mutu lingkungan habitat udang akibat akumulasi bahan organik pada dasar tambak. Budidaya udang pola intensif dicirikan oleh padat tebar benih tinggi (> 20 ekor/m2) sehingga diperlukan pemberian pakan yang intensif. Sebagai konsekwensi penerapan teknologi tersebut adalah akumulasi sisa pakan dan eksresi udang, serta senyawaan lainnya di dasar tambak yang menjadi penyebab utama kegagalan budidaya udang pola intensif. Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan berdampak negatif karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen dalam air (oxygen depletion rate) dan meningkatkan kebutuhan oksigen di sedimen dasar (sedimen oxygen demand) serta menurunkan reduksi potensial ketingkat reduksi (anaerob) yang akan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap udang seperti NH3, CH4 dan H2S yang menciptakan lingkungan habitat yang tidak sesuai bagi

Sektor pertanian (termasuk didalamnya perikanan) terbukti telah memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan Produk Domestik Bruto dan telah menyerap tenaga kerja yang besar bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ambo alla (2011), sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan telah menyerap tenaga kerja hingga 41,2 % dari total angkatan kerja dan kontribusi produk domestik brutu sebesar 14,5 % dari seluruh jenis langan usaha. Tabel 5. Kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan terhadap produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
PERAN PDB (%) 2004 Pertanian, Peternakan, kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, real estat, dan jasa 14,9 9,7 28,4 0,7 5,8 16,4 5,8 9,1 2009 14,5 9,4 28,1 0,7 5,9 16,8 6,2 9,2 PERAN PEKERJA (%) 2004 43,3 1,1 11,8 0,2 4,8 20,4 5,8 1,2 2009 41,2 1,1 12,1 0,2 4,4 20,9 5,7 1,4

LAPANGAN USAHA

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

23

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

udang (Boyd, 1992 ; Monoarfa, 1997). Akibatnya nafsu makan udang berkurang, udang mudah terserang penyakit dan lebih parah lagi menyebabkan kematian udang. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu diketahui karakteristik tanah dasar tambak udang intensif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan residu bahan organik secara biologis melalui pemanfaatan bakteri pengurai atau yang lebih umum dikenal dengan istilah teknologi bioremidiasi. Pengembangan teknologi bioremediasi yaitu penambahan bakteri pengurai kedalam tambak udang intensif untuk mempercepat proses dekomposisi bahan organik berkembang pesat dan telah banyak dilakukan, namun efektifitas penggunaan bahan tersebut masih dipertanyakan karena beberapa aplikasinya memberikan hasil yang sangat bervariasi. Penggunaan bakteri dalam bio-remidiasi tambak terbukti mampu menurunkan kandungan bahan organik dalam lahan tambak, lihat Monoarfa, et al (2010), bahwa kandungan bahan organik total awal penelitian adalah 20,68 %. Hasil pengukuran kandungan bahan organik total pada perlakuan sedimen tanpa penambahan isolat bakteri dengan genangan air dan aerasi pada akhir penelitian 17,53 % dengan persentase penurunan bahan organik 15,23 %, sedang pada perlakuan sedimen dengan penambahan isolat bakteri Pseudomanas pseudomallei dengan genangan air dan aerasi kandungan bahan organik pada akhir penelitian menurun menjadi 8,40 % dengan persentase penurunan bahan organik 59,38 %. Tingginya penurunan kandungan bahan organik total pada perlakuan pemberian bakteri dibandingkan tanpa pemberian bakteri menunjukkan bahwa bakteri Pseudomanas pseudomallei mempunyai kemampuan dalam menguraikan bahan organik tanah. Sedang rendahnya persentase penurunan kandungan bahan organik total pada perlakuan tanpa bakteri karena tidak terdapat bakteri yang berfungsi untuk mendegradasi bahan organik.

VI.

KESIMPULAN

Pengembangan model tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production yang di sajikan dalam makalah secara umum dipengaruhi oleh input tidak terkontrol dan input terkontrol.input tidak terkontrol, meliputi; (1) Air, (2) Hama penyakit, dan (3) Tingkat permintaan. Sedangkan input terkontrol meluputi ; (1) Tata ruang (Zonasi) pesisir, (2) Desain dan konstruksi tambak, (3) Pupuk dan pestisida organik, (4) Benih udang, (5) Pola budidaya tambak, (6) Tenaga Kerja, (7) Limbah organik, (3) Remidiasi /Persiapan Tambak (Tabel 6). Tabel 6. Variabel dalam Pengembangan model tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production.
KLASIFIKASI INPUT CONTROLABLE UNCONTROLABLE JENIS-JENIS INPUT SUMBERDAYA AIR HAMA PENYAKIT TATA RUANG DESAIN DAN KONSTRUKSI TAMBAK PUPUK ORGANIK DAN PESTISIDA STANDARISASI DAN BIO-SECURE BENUR POLA BUDIDAYA TAMBAK TENAGA KERJA LIMBAH ORGANIK REMIDIASI TAMBAK X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 VARIABEL : : : : : : : SDY_AIR HMA_PKT TTR_PSR DSN_KTK PPK_ORN BIO_BEN PLA_BDY TNG_KER LIM_ORN RMD_TBK

X8 : X9 : X10 :

Penggambaran variabel-variabel tersebut dalam blok diagram Pengembangan model tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production adalah sebagai berikut (Gambar 13).

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

24

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Gambar 13. Model Hipotesa Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis fisheries organic system dan clean production Sumber : Analisis Urif Syarifudin, 2011.

Secara matematis Model Hipotesa Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis fisheries organic system dan clean production yang dibangun berdasarkan hipotesa penulis adalah sebagai berikut : Y = Ai1F1 + Ai2 F2 + Ai3F +..........+AimFm + ViUi Fi = Wi1X1 + Wi2 X2 +..............................+WikXk Dimana: Y = keberhasilan pengembangan model tambak secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production (variabel laten atau tak terukur) Aij = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari variabel (i) pada common

F Ui Vi

m Fi Wi Xi k

factor j. = common factor. = faktor unik untuk variabel ke-i = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari variabel (i) pada faktor unik variabel ke-i. = jumlah common factor. = estimator faktor ke-i = bobot/koefisien nilai faktor = variabel ke-i = jumlah variabel

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

Berdasarkan formulasi tersebut, maka common factor dalam penerapan model pengembangan tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production, adalah hasil penjumlahan (sigma) dari

25

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

perkalian antara bobot/koefisien nilai masing-masing faktor dengan faktor-faktor sebagaimana yang dijelaskan dalam model hipotesa yang dibangun oleh penulis (Gambar 9), yaitu sebagai berikut; sumberdaya air, hama penyakit, tata ruang pesisir, desain konstruksi tambak, pupuk dan pestisida, standarisasi dan bio-secure benur, pola budidaya tambak, tenaga kerja dan penangan limbah organik. Formulasi model pengembangan tambak udang secara berkelanjutan berbasis fisheries organic system dan clean production yang disajikan oleh penulis merupakan salah satu alternatif hipotesis yang dibangun berdasarkan konsepsi teoritis dalam menciptakan kondisi budidaya tambak udang yang dapat dilekukan secara terus menerus memberikan manfaat kepada manusia dengan tetap menjaga dan mempertahankan kualitas lingkungan. Daftar Pustaka Atmomarsono, 2000. Teknologi Budidaya Udang Berkelanjutan. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Makalah pada Konferensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makassar 15-17 Mei 2000. Alfredo A. C, Alves sefter T. L, 2000. Respon of Cassava to Water Deficit : Leaf Area Growth and Abscisic Acid. Crop Sci. 40 : 131-137 p. Atjo, H. 2001. Teknik Penanganan Benih dan Pentokolan Udang Windup P. Monodon Disampaikan pada Pelatihan Petani Tambak program PARULUNDP, di Loka Takalar. Atjo,H. 2000. Perbaikan Mutu Benih Udang Windu, Penaeus monodon Farb. CV Dewi Windu. Barru Sulawesi Selatan. Atmomarsono, M , Mun Imah Madeali, Arifuddin Tompo, Nurhidayah, dan Muliani 2001. Pencegahan Penyakit Udang. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros. Bapedal, 1995. National Commitment to Implement a Clearner Production Strategy in Indonesia. Bapedal, Jakarta. Bratasida, L. 1997. Kebijakan Nasional tentang Produksi Bersih. Bapedal, Jakarta. Boyd, C.E. 1995. Pengaturan Aerasi Tambak. Primadona. Edisi November. Jakarta. Hal. 7-12.

Boyd, C.E. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment Management. p 166-181. in Wayban, J. (Editor): Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A. Buchanan, R.E. and N.E. Gibbons, 1974. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 8th Ed. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Budiardi, T. 1998. Evaluasi Akumulasi Bahan Organik, Penyifonan dan Produksi Udang Windu pada Budidaya Intensif. Thesis S2. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Campbell, ME. & WM. Glenn. 1982. Profit from Pollution Prevention. Pollution Probbe Foundation, Toronto. Chanratchakool, P., J.F. Turnbull, S.F. Smith and C. Limsuwan. 1995. Health Management in Shrimp Ponds. Second Edition. Aquatic Animal Health Research Institute. Department of Fisheries. Kasetsart University Campus Jutujakin, Bangkok 110 pp. Djajadiningrat, ST. 2001. Untuk Generasi Masa Depan Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB, Bandung. Feenstra G, 2000. What is Sustainable Agriculture ? Concept Themes, Farming and Natural Resources, Plant Production Practices, Animal Production Practices, teh Economic, Sosial and Political Context. Sustainable Agriculture Research And Education Program, University Of California. 1-8 p. Fegan, D. F., A. Nietes, T. Flegel, S. Rossuwan, M. Waiyakarutta. 1993. The Development of A Method for Determining The Quality of Penaeus monondon Farb. Poster Presented at Fish Health Section. Asian Fisheries Society Conferences, Oktober 1993. Hanafi, A. 1986. Evaluation of Brackishwater Fishpond Productivity in Bulacan Province. Thesis S2. Submitted to the Faculty of the Graduate School University of the Philippines at Los Banos. 145 p.

Imran, Z.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

2001. Aplikasi Model Untuk Penentuan Luas Tambak Lestari. Tugas Individu mata kuliah Analisis Sistem dan Permodelan.

26

Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan

Berbasis Fisheries Organic System dan Clean Production.

Program Study Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Pascasarjana. IPB. Katerji N, Van Hoorn J. W, Hamdy A, Karam F, Mastorilli M, 1994. Effect of Salinity on Emergence and Water Stress and Early Seedling Growth of Sunflower and Maize. Agriculture Water Management 26 : 81-91 p. Kline R, Nanoy E. L, Sulisman V, Wolf R, 1980. Getting the Most from Your Garden. Radole Press, Emmans, Pennsylvania. 101-149 p. Monoarfa, W. 1997. Tinjauan Akumulasi Bahan Organik pada Dasar Tambak Budidaya Udang Intensif . Kumpulan Abstrak Simposium Perikanan Indonesia II. Hotel Sahid Makassar. Ujungpandang, 2-3 Desember 1997. Monoarfa, W. 1998. Studi Intensitas Redoks Potensial Tanah Tambak Budidaya Udang Intensif. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujungpandang. Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Mugnisjah W. Q, 2001. Ekofisiologi Tanaman Tropika. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 104 hal. Overcash, MR. 1986. Techniques for Industrial Pollution Prevention. Lewis Publishers, New York. Purnomo E, Sulasman S, Hasegawa T, Mashidoko Y, Osaki M, 2003. Budidaya Padi Lokal Petani Banjar : Sebuah Sistem LISA di Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan . Center Tropical Acid Soil Studies, Basic Secience Laboratory Universitas Lambung Mangkurat. Hal 1-8. Qiwei H, Xing Z. Y , Xinghui L, 2001. Effets Of Organic Fertilizer on Tea Yild and Quality. Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31-Nov 4, 2001, Hangzhou, China. 134-137 p. Reijntjes, D., Bertus, H., dan Waters,B. 1992. Farming for the Future. (Edisi Indonesia 1999). Kanasius. Yokyakarta. Reddy D. N, 2001. Organic Farming In India: Poised for Growth in the New Millennium. Proceedings : The Fifth IFOAMASIA Scientific

Conference, October 31- November 4, 2001, Hangzhou, China. 20-25 p. Reijntjes C, Haverkort, Bayer W, 1999. Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta. 270 hal. Skoog, D.A. 1985. Principles of Instrumental Analisys. Third Ed. Saunders Collage Publishing, Philadelphia, pp. 225-227.

Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. A Wiley-Interscience Publication John Wiley and Sonss. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 443 p. Sutanto R, 2002. Pertanian Organik : Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius Yogyakarta. Hal. 19-31. Wangsit St, Supriyana D, 2003. Belajar dari Petani : Kumpulan Pengalaman Bertani Organik. SPTN-HPS-Lesman-Mitra Tani, didukung Oleh Oxfam GB-VSO/SPARK-CRS. Hal. 2027. Wenyan H, Yunwen X, Qiang L, 2001. Effect of Mulching and Organic Fertilizer on Soil Fertility and the Yield and Quality of Tea In an Organik Conversion Tea Field. Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31Nov 4, 2001, Hongzhou, China. 124-129 p. William D. D. Winslow M. D, 2001. An Assesment of Technology Development from the Green Revolution To Today. International Crops Research Institute for The Semiarid Tropics (ICRISAT) India. 1-9 p.

Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan

Page

27

Anda mungkin juga menyukai