Anda di halaman 1dari 8

661 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT JENIS Kappaphycus alvarezii, Eucheuma striatum,


DAN Eucheuma denticulatum DI PERAIRAN BOALEMO, GORONTALO
Pustika Ratnawati, Nelly Hidayanti Sarira, dan Nova Fransisca Simatupang
Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut
Jl. Pelabuhan Etalase Perikanan Desa Tabulo Selatan Kec. Mananggu Kab. Boalemo 96265, Gorontalo
E-mail: lppbrl@yahoo.com

ABSTRAK

Rumput laut penghasil karaginan merupakan komoditas unggulan sebagai bahan dasar industri makanan
dan obat-obatan. Pengembangan jenis rumput laut penghasil karaginan pada setiap lokasi budidaya memiliki
karakteristik pertumbuhan yang harus sesuai sehingga mampu berkembang optimal. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut dari jenis E. striatum, E. denticulatum, dan K. alvarezii
yang dipelihara di perairan Boalemo, Gorontalo. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015 di
perairan Tabulo Selatan, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Penelitian dilakukan selama 45 hari dan
unit-unit percobaan disusun sebanyak dua kali ulangan pada setiap jenis rumput laut jenis (1) Kappaphycus
alvarezii, (2) Eucheuma striatum, dan jenis (3) Eucheuma denticulatum. Pada satu konstruksi budidaya terdiri atas
enam bentangan tali nilon sepanjang 35 m dengan bobot awal tanam 50 g/rumpun. Pada setiap bentangan
diberi penanda/label sebanyak 10 titik untuk diamati pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada pengamatan di hari ke-45, jenis E. striatum memiliki bobot akhir tertinggi sebesar 110,7 g (LPH 1,6%)
dibandingkan dengan jenis E. denticulatum (72,1 g) dengan LPH 0,5% dan K. alvarezii (55,8 g) dengan LPH
akhir 0,07%. Rumput laut jenis E. striatum dan E. denticulatum memiliki pertumbuhan akhir yang lebih baik
untuk tumbuh dan bertahan pada perairan Boalemo.

KATA KUNCI: pertumbuhan, LPH, perairan Boalemo

PENDAHULUAN
Kuantitas penggunaan rumput laut yang terus meningkat menyebabkan produksi rumput laut
semakin prospek sebagai komoditas budidaya, perdagangan, serta menjadi pionir dalam program
pemberdayaan dan alternatif usaha bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut dapat
direalisasikan melalui optimalisasi potensi sumber daya, sehingga budidaya rumput laut dapat
dilakukan dengan baik, dengan target sasaran pengembangan areal budidaya seluas 1.510.500 ha
untuk jenis Eucheuma dan Gracilaria seluas 10.500 ha (Nurdjana, 2006). Berdasarkan FAO (2010)
tanaman air yang diperdagangkan dan dibudidayakan mencapai 33 spesies, untuk di Indonesia rumput
laut berasal dari kegiatan budidaya dan pengambilan di alam, di mana produksi yang berasal dari
alam sudah mengalami penurunan, mengingat sudah mulai terbatasnya hasil dari alam, dan mulai
digantikan dari kegiatan budidaya. Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah jenis
Kappaphycus alvarezii, Eucheuma denticulatum, Eucheuma striatum, Sargassum, dan Gracilaria.
Rumput laut jenis K. alvarezii, E. striatum, dan E. denticulatum merupakan rumput laut penghasil
karaginan yang secara luas diperdagangkan baik untuk kebutuhan industri dan luar negeri. Saat ini
jenis Kappaphycus alvarezii merupakan alga merah bernilai ekonomis yang banyak dibudidayakan
oleh masyarakat pesisir, di mana dinding selnya mengandung polisakarida tinggi, dan menjadi sumber
penghasil karaginan (Daud, 2013), mengingat permintaan terhadap karaginan yang terus meningkat
sebagai bahan dasar industri makanan dan obat-obatan, yaitu sebagai stabilisator, bahan pengental
dan pengemulsi (Diharmi et al., 2011).
Setiap jenis rumput laut memiliki karakteristik pertumbuhan dan lokasi tumbuh yang sesuai
sehingga mampu berkembang optimal. Jenis Kappahycus alvarezii banyak tersebar di wilayah perairan
Sumatera, Pulau Jawa, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Sedangkan untuk jenis E. striatum banyak
tersebar di perairan Sulwesi dan Maluku, serta untuk jenis E. denticulatum banyak ditemukan pada
wilayah Kepulauan Riau, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Tenggara (Atmadja & Sulistijo, 1983).
Pertumbuhan rumput laut jenis Kappahycus alvarezii ..... (Pustika Ratnawati) 662

Produktivitas budidaya rumput laut bergantung kepada tiga hal pokok yaitu: sifat-sifat inheren setiap
jenis atau varietas yang dibudidayakan, metode budidaya yang digunakan, dan kualitas lingkungan
perairan (Basmal & Irianto, 2006). Provinsi Gorontalo memiliki sentra-sentra budidaya yang mulai
berkembang seperti di Gorontalo Utara. Beberapa daerah di wilayah Gorontalo banyak yang
memanfaatkan jenis K. alvarezii sebagai komoditas utama, di mana masyarakat pembudidaya masih
terbatas informasi mengenai jenis-jenis rumput laut alternatif yang dapat dikembangkan sesuai dengan
kondisi perairan setempat.
Perairan Boalemo menjadi wilayah berpotensi dalam pengembangan budidaya rumput laut, hasil
penelitian Muslimin et al. (2014) di perairan Boalemo menunjukkan laju pertumbuhan tertinggi jenis
K. alvarezii mencapai 2,03%-2,84%; tapi pada musim tertentu jenis K. alvarezii tidak mampu bertahan
dan tumbuh pada kondisi perairan yang fluktuatif, sehingga sering terjadi gagal panen. Peningkatan
dan penerapan beberapa jenis rumput laut penghasil karaginan menjadi salah satu alternatif komoditas,
mengingat tidak semua lokasi mampu mendukung pertumbuhan rumput laut jenis K. alvarezii,
sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut penghasil
karaginan dari jenis E. striatum, E. denticulatum, dan K. alvarezii yang di pelihara di perairan Boalemo,
Gorontalo.
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Maret 2015 pada di lokasi pengembangan budidaya
rumput laut di perairan Tabulo Selatan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Lokasi ini dipilih
karena telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas baik perikanan budidaya khususnya
rumput laut.
Desain Uji
Penelitian dilakukan dalam siklus 45 hari pemeliharaan yang diamati secara berkesinambungan.
Unit-unit percobaan disusun dengan dua kali ulangan pada setiap jenis rumput laut. Rumput laut
yang dijadikan percobaan sebagai perlakuan adalah jenis (1) Kappaphycus alvarezii, (2) Eucheuma stria-
tum, dan jenis (3) Eucheuma denticulatum, di mana pada satu konstruksi budidaya yang terdiri atas
enam bentangan tali nilon sepanjang 35 m. Pada setiap bentangan diberi penanda/label sebanyak 10
titik untuk diamati pertumbuhannya.
Bibit rumput laut diperoleh dari pembibitan pembudidaya rumput laut dipotong-potong dengan
bobot awal tanam 50 g/rumpun, kemudian diikat pada tali bentangan dengan jarak 15 cm antar
rumpun. Tali bentangan diberi pelampung sebanyak 10 buah untuk kestabilan bibit pada kedalaman
30 cm di bawah permukaan perairan selama percobaan berlangsung. Tali bentangan diikat pada tali
ris utama (tali induk) dengan membentuk barisan pada jarak 1 m antar tali bentangan.

Gambar 1. Desain wadah pemeliharaan bibit dengan metode long line


663 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

Parameter Pengamatan
Pengamatan pertumbuhan rumput laut dan kualitas perairan dilakukan pada awal (penebaran)
dan setiap 15 hari hingga 45 hari setelah pemeliharaan secara berulangan (Repeated measurement)
(Mattjik & Sumertajaya, 2000). Pengukuran pertumbuhan rumput laut dilakukan dengan cara
menimbang bobot rumput laut yang akan diikat sebanyak 10 titik rumpun yang telah diberi kode
tertentu dalam setiap bentangan. Peubah kualitas lingkungan perairan diukur secara in-situ, yang
meliputi: suhu (°C), pH, salinitas (ppt), DO (mg/L), dan kecerahan perairan (m).
Laju pertumbuhan harian (LPH) diukur setiap 15 hari masa pemeliharaan, terhitung dari awal
penelitian hingga akhir penelitian. Menurut Dawes et al. (1994), LPH dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:

LPH 
Ln Wt - Ln Wo 
x 100%
t

di mana:
LPH = persentase bobot rata-rata individu per hari (%/hari)
Wt = ln bobot rata-rata pada waktu ke-t (g)
Wo = ln bobot rata-rata awal (g)
t = waktu (hari)
Pengumpulan data juga dilkukan dengan mendekripsikan morfologi rumput laut pada saat
pengamatan yang meliputi kondisi talus, penempelan biofouling, dan gejala penyakit ice-ice.
HASIL DAN BAHASAN
Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan menghitung bobot rata-rata dari setiap sampel
pengamatan yang pada 15, 30, dan 45 hari. Hasil pengamatan bobot rumput laut E. striatum pada 10
titik pengamatan dengan dua ulangan menunjukkan pada 15 hari pertama terjadi peningkatan (>
50 g) di hampir semua rumpun yang diamati dengan bobot tertinggi 95 g, pada hari ke-30 mulai
terjadi penurunan hingga hampir mendekati di bawah 50 g dengan bobot terendah 29 g, pengamatan
pada akhir siklus (45 hari) memperlihatkan terjadinya peningkatan yang cukup signifikan, dengan
bobot tertinggi mencapai 188 g (Gambar 2).

Gambar 2. Bobot rumput laut E. striatum pada setiap rumpun pengamatan


selama 45 hari

Hasil pengamatan bobot rumput laut E. denticulatum pada 10 titik pengamatan dengan dua ulangan
menunjukkan pada 15 hari pertama terjadi penurunan (< 50 g) dihampir semua rumpun yang diamati
dengan bobot terendah 24 g, pada hari ke-30 masih mengalami penurunan bobot hingga hampir
Pertumbuhan rumput laut jenis Kappahycus alvarezii ..... (Pustika Ratnawati) 664

mendekati 19 g, penurunan ini diakibatkan karena patah dan jatuhnya rumpu laut, selain itu beberapa
rumpun juga hilang, pada pengamatan di akhir siklus (45 hari) memperlihatkan mulai terjadinya
peningkatan yang cukup signifikan, dengan bobot tertinggi mencapai 143 g (Gambar 3).

Gambar 3. Bobot rumput laut E. denticulatum pada setiap pengamatan selama 45 hari

Hasil pengamatan bobot rumput laut K. alvarezii pada 10 titik pengamatan dengan dua ulangan
menunjukkan pada 15 hari pertama terjadi peningkatan (> 50 g) dihampir semua rumpun yang
diamati dengan bobot tertinggi mencapai 100 g, pada hari ke-30 terjadi penurunan bobot pada
hampir semua rumpun, dengan bobot terendah 21 g, penurunan ini diakibatkan karena patah dan
jatuhnya rumput laut yang salah satunya disebabkan karena ice-ice. Pengamatan di akhir siklus (45
hari) memperlihatkan mulai terjadinya peningkatan kembali bobot rumput laut, dengan bobot
tertinggi mencapai 94 g (Gambar 4).

Gambar 4. Bobot rumput laut K. alvarezii pada setiap pengamatan selama 45


hari

Pengamatan bobot rata-rata total tiga jenis rumput laut pada 15 hari memperlihatkan pola
peningkatan bobot pada jenis E. striatum dan K. alvarezii yang mencapai 69,9 g; sedangkan untuk
jenis E. denticulatum mengalami penurunan hingga 43,75 g. Pada pengamatan hari ke-30 mengalami
penurunan bobot secara keseluruhan, di mana jenis K. alvarezii pengalami penurunan yang cukup
665 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

signifikan dan hampir sama nilainya dengan E. denticulatum yaitu 43,4 g; sedangkan jenis E. striatum
masih lebih tinggi dengan nilai 66,5 g. Hal ini diduga karena mulai timbulnya gejala penyakit ice-ice,
sehingga banyak talus yang patah dan jatuh sehingga bobotnya menjadi berkurang. Menurut Santoso
& Nugraha (2008), penyakit ice-ice dapat menyebabkan talus menjadi rapuh dan mudah putus, dan
memperlihatkan pertumbuhan yang lambat karena terjadinya perubahan warna menjadi putih dan
membusuk.
Pengamatan di akhir siklus (hari ke-45) (Gambar 5) menunjukkan pola peningkatan pada tiga
jenis rumput laut, di mana jenis E. striatum memiliki bobot akhir yang paling tinggi sebesar 110,7 g
jika dibandingkan dengan jenis E. denticulatum (72,1 g) dan K. alvarezii (55,8 g). Jenis rumput laut E.
striatum dianggap lebih bisa bertahan terhadap serangan penyakit, karena secara morfologi rumput
laut E. striatum memiliki talus yang lebih besar dan tebal, selain itu jenis ini sudah banyak
dikembangkan di wilayah Filipina (Santoso & Nugraha, 2008).

Gambar 5. Bobot rata-rata tiga jenis rumput laut yang dipelihara selama
45 hari

Perhitungan laju pertumbuhan harian (LPH) tiga jenis rumput laut pada 15 hari memperlihatkan
grafik peningkatan dari jenis E. striatum dan K. alvarezii dengan nilai LPH mencapai 2,1% dan 1,9%;
sedangkan jenis E. denticulatum mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan nilai LPH -
1,3%. Pada pengamatan hari ke-30 mulai mengalami penurunan LPH, di mana jenis K. alvarezii
mengalami penurunan yang cukup signifikan (LPH -0,7%), hal yang sama juga terjadi pada jenis E.
striatum dengan nilai LPH 0,8%; sedangkan untuk jenis E. denticulatum mulai mengalami peningkatan
LPH, meskipun nilainya masih berada di bawah rata-rata (-1,1%). Pengamatan pada hari ke-45 (Gambar
6) memperlihatkan pola peningkatan pada tiga jenis rumput laut, di mana rumput laut E. striatum
mampu menghasilkan laju pertumbuhan akhir tertinggi (1,6%); sedangkan jenis E. denticulatum
mengalami peningkatan LPH yang cukup tinggi (0,5%), jika dibandingkan dengan K. alvarezii dengan
LPH akhir hanya mencapai 0,07%. Peningkatan nilai laju pertumbuhan merupakan salah akibat dari
penyerapan unsur hara yang optimal, karena rumput laut memerlukan fotosintesis dalam
menghasilkan bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhannya sehingga dapat memacu
aktivitas pembelahan sel, proses pelebaran sel, dan perpanjangan sel sebagai bentuk pertumbuhan
(Geider & Osborne, 1992).
Jenis E. striatum dapat dijadikan alternatif komoditas budidaya karena lebih tahan terhadap
perubahan kondisi perairan, di mana secara morfologi jenis ini memiliki talus besar dan kokoh
sehingga daya adaptif lebih tinggi, selain itu, jenis E. denticulatum juga dapat dijadikan alternatif
komoditas karena mempunyai talus silindris dan terdapat duri yang tumbuh melingkari talus
(Anggadiredja, 2011), ciri khusus ini yang dianggap talus dari jenis E. denticulatum dapat bertahan
dari kondisi perairan yang berfluktuasi.
Pertumbuhan rumput laut jenis Kappahycus alvarezii ..... (Pustika Ratnawati) 666

Gambar 6. Laju pertumbuhan harian (LPH) tiga jenis rumput laut yang
dipelihara selama 45 hari

Pengambilan data kualitas air dilakukan setiap 15, 30, dan 45 hari selama pemeliharaan. Data
kualitas yang diukur meliputi: pH, suhu, DO, salinitas, dan kecerahan yang diamati selama
pemeliharaan. Data hasil pengukuran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data pengukuran kualitas air selama pemeliharaan

Tanggal pengamatan Kisaran


Parameter Sumber
25 Februari 12 Maret 27 Maret optimum

pH 8 8 8 7,5-8 Santoso & Nugraha (2008)


Suhu (°C) 29,1 30,2 30,2 26-30 Anggadiredja (2006)
DO (mg/L) 5,9 3,1 5,9 >5 Aslan (1998)
Salinitas (ppt) 33 35 35 28-33 Anggadiredja (2006)
Kecerahan (m) 5,5 5,5 6 1,5 Santoso & Nugraha (2008)

Pengukuran derajat keasaman (pH) pada lokasi pengamatan selama pemeliharaan yaitu 8, nilai
kisaran pH yang optimum 7,5-8 (Santoso & Nugraha, 2008).Pengukuran suhu air selama penelitian
berkisar antara 29,1°C-30,2°C; peningkatan suhu ini terjadi akibat mulai masuknya musim kemarau
di wilayah Boalemo, sehingga luas permukaan perairan yang langsung mendapat sinar matahari
semakin besar. Fluktuasi nilai suhu perairan dapat dipengaruhi letak, komposisi substrat, kekeruhan,
dan air hujan (Perkins, 1974). Suhu yang optimal bagi pertumbuhan rumput laut antara 26°C-30°C
(Anggadiredja, 2011). Hasil pengukuran nilai DO berkisar 3,11-5,9 mg/L; masih tergolong baik untuk
mendukung budidaya rumput laut, untuk pertumbuhan optimum kelarutan oksigen mencapai > 5
mg/L (Aslan, 1998).
Nilai salinitas yang diperoleh terus mengalami peningkatan, pada awal pemeliharaan mencapai
33 ppt, dan pada akhir pemeliharaan salinitas meningkat hingga mencapai 35 ppt. Terus
meningkatkannya salinitas dipengaruhi oleh faktor cuaca, di mana pada bulan Maret sudah mulai
masuk musim kemarau di wilayah tersebut, sehingga suplai air hujan mulai berkurang, hal ini yang
menyebabkan rumput laut mulai terserang stres dan muncul gelaja ice-ice yang menyebabkan
pertumbuhan menurun, salinitas yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 28-33 ppt
(Anggadiredja, 2006). Pengukuran kecerahan berkisar 5,5-6 m; hasil ini masih sesuai dengan batas
667 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015

kecerahan untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik yaitu sekitar 1,5 m (Santoso & Nugraha,
2008).
KESIMPULAN
Rumput laut jenis E. striatum dan E. spinosum memiliki pertumbuhan akhir yang lebih baik (LPH
1,6% dan 0,5%) jika dibandingkan dengan jenis K. alvarezii (LPH 0,07%), sehingga dapat menjadi
alternatif komoditas rumput laut penghasil karaginan yang dapat tumbuh dan bertahan pada kondisi
lingkungan di perairan Boalemo.
DAFTAR ACUAN
Amini, S., & Parenrengi, A. (1994). Kultur jaringan rumput laut, Gracilaria verrucosa dengan variasi
media conwy dalam menunjang agro-industri di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian, 12 hlm.
Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwoto, H., & Istini, S. (2006). Rumput laut: pembudidayaan,
pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Penebar Swadaya.
Aslan, L.M. (1998). Budidaya rumput laut. Kanisius. Jakarta.
Azman, K. (2005). Kualiti air sungai berdasarkan analisis kimia dan kepelbagian alga. Universiti
Teknologi Malaysia. Malaysia. (www.ipteknet.com).
Diharmi, A., Fardiaz, D., Andarwulan, N., & Herawati, E.S. (2011). Karakteristik komposisi kimia rumput
laut merah (Rhodophycea) E. spinosum yang dibudidayakan di perairan Nusa Penida, Takalar, dan
Sumenep. Prosiding Berkala Perikanan Terubuk, 39(2), 61-66.
Effendi, H. (2000). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Jurusan
manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK-IPB. Bogor, 258 hlm.
Hoyle, M.D. (1975). The literature partinent to the red algae genus Gracilaria in Hawaii. Marine
Agronomy. Sea Grant Prog. Hawaii.
Mattjik, A.A., & Sumertajaya, M. (2000). Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB
Press. Bogor.
Mubarak, H., Ilyas, S., Ismail, W., Wahyuni, I.S., Hartati, S.T., Pratiwi, E., Jangkaru, Z., & Arifuddin, R.
(1990). Petunjuk teknis budidaya rumput laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 93 hlm.
Parenrengi, A., Rachmansyah, & Suryati, E. (2010). Budidaya rumput laut penghasil karaginan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Maros.
Pong-Masak, P.R., & Tjaronge, M. (2010). Musim tanam rumput laut yang produktif di perairan Polewali,
Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros.
Pong-Masak, P.R., Parenrengi, A., Tjahronge, M., & Rusman. (2011). Protokol seleksi varietas bibit
unggul rumput laut. Editor: Rachmansyah & Susianingsih, E. Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan
dan Perikanan. 27 hlm.
Salmi, A., Shamsul, N.M., Ibrahim, C.O.A., & Hasmah. (2012). Proximate composition of red seaweed
G. manilaensis. International Annual Symposiun Sustainability Science and management.
Terengganu: Malaysia.
Santoso, L., & Nugraha, Y.T. (2008). Pengendalian penyakit ice-ice untuk meningkatkan produksi rumput
laut Indonesia. Jurnal Saintek Perikanan, 3(2), 37-43.
Utomo, B.S.B. (2011). Prospek pengembangan teknologi pengolahan rumput laut di Indonesia. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, hlm. 1143-1152.
Pertumbuhan rumput laut jenis Kappahycus alvarezii ..... (Pustika Ratnawati) 668

DISKUSI

Nama Penanya:
Rahman Syah
Pertanyaan :
Perlu diperhatikan desain penelitian terkait musim. Musim apakah yang cocok untuk budidaya
rumput laut jenis tertentu? Perlu data tahunan perairan disekitar lokasi budidaya rumput laut
Tanggapan :
Di Gorontalo sudah dilakukan penelitian terkait pola musim, namun belum didapatkan data.
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan untuk rumput laut yang cocok di budidayakan
di Boalemo.

Nama Penanya:
Ibnu Rusdi
Pertanyaan:
Bagaimana teknologi budidaya rumput laut bisa di aplikasikan di tempat lain? Perlu karakterisasi
perairan yang baik untuk budidaya rumput laut
Tanggapan:
Setiap spesies memiliki karakteristik yang berbeda (ada yang dibudidayakan di laut dan di tambak).

Anda mungkin juga menyukai