Anda di halaman 1dari 41

FISIKA MODEREN

ASTROFISIKA DAN RELATIFITAS UMUM

Disusun Oleh :

Tiur Yesica Siahaan (2013021016)


Ummul Farika (2113021024)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


JURUSAN FISIKA DAN PENGAJARAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa ,atas rahmat dan karunia- Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “astrofisika dan
relatifitas umum”
Saya tahu bahwa dalam proses pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan, oleh
sebab itu, sudi kiranya kami diberikan kritik dan saran guna memperbaiki hasil karya kami
sehingga menjadi lebih baik kedepannya.

Dengan ditulisnya makalah ini, kami harap bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Kami selaku penulis makalah ini memohon maaf yang sebesar besarnya atas kesalahan kami baik
yang disengaja ataupun tidak disengaja. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Singaraja, 19 Juni 2023

DAFTAR ISI
MAKALAH FISIKA MODEREN ........................................................................ 1
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2
BAB I ....................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ...................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 5
Ruang dan waktu ………………………………………………..………………..5

Gravitasi dan ruang-waktu lengkung.......................................................................6

Teori relativitas umum............................................................................................13

Uji relativitas umum...............................................................................................16


Evolusi bintang.......................................................................................................24
Nukleosintesis.........................................................................................................28
Bintang katai putih..................................................................................................32
Bintang neutron.......................................................................................................34
Lubang hitam...........................................................................................................38
BAB III ..................................................................................................…………40
PENUTUP.............................................................................................................. 40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sekarang kita membahas salah satu usaha pemahaman manusia paling akbar, yakni kajian
mengenai jagat raya kita dalam skala luas, yang mencakup semua bintang beserta galaksi yang
terdapat di dalam nya. Kajian kita mengenai berbagai sifat zat telah membawa kita dari objek yang
paling kecil (atom dan intinya) ke molekul, kemudian ke zat padat, dan sekarang akhirnya ke objek
kajian yang sangat besar, yakni bintang. yang
Mengingat bahwa gerak bintang, bulan, dan planet dapat dipahami dengan menggunakan teori
gravitasi Newton, maka diikutsertakan- nya kajian ini ke dalam fisika modern mungkin
mengherankan kita. Alasannya adalah, karena daur hidup bintang dan asal mula jagat raya
melibatkan banyak konsep fisika inti dan partikel yang telah kita bahas dalam buku teks ini. Juga,
banyak bukti mengenai pemahaman jagat raya ternyata bergantung pula pada percobaan yang pada
dasarnya sama seperti yang telah kita bahas.
Urutan kajian kita yang dimulai dari objek paling kecil ke yang besar ini agak luar biasa, karena
sejarah perkembangan fisika klasik ber- jalan sebaliknya. Perumusan dinamika Newton, yang
kemudian di- buktikan sangat berhasil dalam menafsirkan alam fisika, dirintis melalui kajian gerak
planet oleh Galileo, Copernicus, Kepler, dan Tycho. Telah kita lihat bagaimana pandangan alam
Newton gagal bila diterapkan pada berbagai proses subatom, dan bagaimana suatu pandangan alam
baru, yang didasarkan pada relativitas khusus dan fisika kuantum, menggantikannya. Sifat-sifat
partikel elementer, inti, atom, molekul, dan zat padat semuanya berdasarkan pada pandangan alam
baru ini. Dalam dua bab terakhir ini kita akan menyelidiki penerapan kedua teori ini dalam skala
kosmik.
Dalam bab'ini kita akan membahas terlebih dulu satu teori yang masih tersisa mengenai pandangan
baru jagat raya kita. Yang saya maksudkan adalah teori relativitas umum Einstein, yang pada dasar-
nya adalah teori baru mengenai gravitasi. Teori ini dirumuskan dalam matematika sangat lanjut
yang berada di luar jangkauan buku teks ini. Di sini kita hanya menyajikan rangkumannya, dan
memperlihat- kan keberhasilannya dalam mengoreksi kekurangan teori Newton. Setelah itu kita
kembali mempelajari beberapa sifat yang teramati dan tidak teramati (tetapi diperkirakan terjadi)
dari jagat raya dan semua objek di dalamnya. Persoalan yang lebih umum mengenai asal mula,
usia, dan komposisi jagat raya secara keseluruhan akan dibahas pada bab terakhir.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. RUANG DAN WAKTU
Sebelum kita mencoba memahami pendekatan Einstein terhadap pemahaman gravitasi,
kita perlu memperkenalkan dulu beberapa pandangan baru mengenai ruang dan waktu. Dalam Bab
2, kita pelajari dari teori relativitas khusus bahwa baik waktu maupun ruang bersifat relatif
terhadap pengamat bergerak-panjang dan selang waktu yang diukur seorang pengamat umumnya
tidak sama dengan yang diukur oleh pengamat lainnya. Baik panjang maupun selang waktu
bersifat relatif, dengan corak ketergantungan masing-masing pada gerak relatif serupa [ingat
kembali Persamaan (2.8) bagi transformasi Lorentz]. Karena itu, adalah perlu dan memudahkan
untuk tidak meninjau ruang tiga dimensi dan waktu satu dimensi secara terpisah, melainkan
memandangnya sebagai komponen-komponen suatu ruang-waktu berdimensi empat manunggal.
Sayangnya, sistem seperti itu tidak dapat digambarkan dalam ruang tiga dimensi kita (ini sama
sulitnya dengan mencoba menggambarkan grafik tiga dimensi pada sebuah halaman dua dimensi).
Karena itu, kita hanya akan menggambarkan dimensi waktu bersama satu atau dua dimensi ruang
(spasial).
Dengan memasukkan relativitas umum, permasalahannya menjadi tidak lebih sederhana.
Perbedaan utama antara relativitas khusus dan umum adalah bahwa relativitas khusus hanyalah
berurusan dengan ruang-waktu "datar," sedangkan relativitas umum dengan ruang-waktu
"lengkung" (karena itu dinamakan demikian relativitas khusus adalah kasus khusus relativitas
umum). Untuk menggambarkan sebuah sistem koordinat lengkung, kita memerlukan lagi
tambahan satu dimensi. Jadi untuk menggambarkan suatu ruang-waktu lengkung berdimensi
empat, kita memerlukan ruang berdimensi lima! Karena "penggambaran" ini berada di luar
kemampuan visualisasi kita, haruslah kita merasa puas dengan beberapa contoh dari dimensi
rendah yang dapat kita gambarkan dengan mudah.
Jika kita dapat "berkelana" ke dalam dimensi yang lebih tinggi, sebagaimana penulis fiksi
ilmiah seringkali mengajak kita mempercayainya, kita akan dapat "melihat balik" kelengkungan
ruang-waktu kita. (Khayalan demikian tidaklah seluruhnya khayal. Sekali waktu "diterima sebagai
fakta ilmiah" bahwa Bumi adalah datar, dan memang sulit dicari gejala apa pun dalam kehidupan
sehari kita yang tidak taat asas dengan keyakinan ini. Namun, ketika astronot pertama
meninggalkan permukaan Bumi dan mengarahkan kembali kameranya ke kita, kelengkungan
permukaan Bumi segera kentara). Apa yang kita uraikan ini bukanlah bagian dari relativitas umum.
Bila kita dapat menyatakan ruang berdimensi tinggi secara matematika lewat seperangkat
persamaan yang memadai, kita tidaklah perlu memaksa diri untuk membayangkan atau
melukiskannya. (Sebagai kias, tinjaulah vektor tiga dimensi. Kita dapat menggambarkan sifat
geometrisnya dengan mudah, dan juga kita mengenal sifat-sifat matematikanya seper-ti
penjumlahan atau perkalian. Bagi vektor berdimensi N, meskipun kita tidak dapat menggambarkan
sifat-sifat geometrisnya dengan mudah apabila N > 3, kita dapat pula menemukan sifat-sifat mate-
matika serupa bagi mereka).
Marilah kita mulai dengan beberapa contoh ruang lengkung. Gambar 15.1 mengilustrasikan suatu
ruang satu dimensi datar, yang adalah sebuah garis lurus. Untuk melengkungkan ruang tersebut
kita harus membengkokkannya menurut arah silang, seperti yang diilustrasikan. Jadi, untuk
mengilustrasikan ruang lengkung satu dimensi kita memerlukan ruang berdimensi dua. Gambar
15.2 memperlihatkan sebuah ruang dua dimensi "datar" dan ilustrasi bentuk lengkungnya.
(Bayang- kan Gambar 15.2 menyatakan selembar kertas grafik datar. Untuk melengkungkannya,
kita harus membengkokkan sebagiannya ke dalam ruang berdimensi tiga). Dari sudut pandang
kita, seperti dari sudut pandang si astronot, kita dapat langsung mengamati kelengkungan ruang-
ruang ini. Ternyata penghuni alam satu dan dua dimensi khayal ini tidak perlu "berkelana" ke
dalam ruang yang berdimensi lebih tinggi. Pengukuran kelengkungan dapat seluruhnya dilakukan
dengan menggunakan sistem koordinat pada ruang-ruang itu. (Dalam konteks permukaan Bumi,
percobaan yang relatif mudah, seperti mengukur panjang bayangan batang pada titik yang berbeda,
memungkinkan kita mengukur kelengkungannya).
Geometri sistem koordinat datar adalah geometri Euklid. Geometri ini jelas dan sangat
dikenal, yang sangat membantu kita dalam berbagai bidang penerapan. Aturan-aturannya, yang
diilustrasikan pada Gambar 15.3, sangat terkenal: garis lurus adalah penghubung terpendek antara
dua buah titik, jumlah ketiga sudut sebuah segitiga adalah 180°, garis sejajar tidak pernah
berpotongan, dan seterusnya. Salah satu contoh terkenal dari geometri tak-Euklid adalah
permukaan bola. Di sini, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 15.4, semua aturan geometri
Euklid tidak berlaku. Jarak terpendek antara dua titiknya adalah sebuah busur lingkaran besar,
jumlah ketiga sudut sebuah segi- tiga lebih besar daripada 180°, garis sejajar dapat berpotongan.
Apakah ruang-waktu kita lengkung atau datar dapatlah ditentukan melalui percobaan, dan
kelengkungannya dapat pula diukur. Salah
satu caranya adalah dengan mengukur perbandingan keliling terhadap diameter sebuah lingkaran.
Dalam ruang datar, nisbah ini adalah T (Gambar 15.5); dalam suatu ruang lengkung, nisbah ini
dapat lebih besar daripada atau lebih kecil daripada T. Dari pengukuran seperti itu, kita mengetahui
bahwa ruang kita adalah datar (atau agak sedikit lengkung dengan kelengkungannya berada dalam
batas kesalahan pengukuran). Dalam pasal berikut, akan kita pelajari bahwa kelenkungan ruang
ditentukan oleh distribusi massa di dekatnya, dan bahwa di sekitar sebuah massa yang besar,
kelengkungan ruang dapat terjadi cukup besar sehingga dapat teramati.
Hubungan antara gravitasi dan geometri ini dapat dilihat dengan cara lain. Dalam alam tiga
dimensi kita, hukum Coulomb medan elektrik dan hukun Newton gaya gravitasi memiliki bentuk
yang serupa: gayanya bergantung pada hasil kali muatan atau massa dan berbanding terbalik
terhadap kuadrat jarak. Marilah kita membayangkan suatu alam dua dimensi, dan mencoba
merumuskan hukum gaya elektrik dan gravitasi di dalamnya. Prosedur yang lazim untuk
menghitung medan elektrik adalah menggunakan hukum Gauss. Menurut hukum ini, kita
selubungi sebuah muatan elektrik dengan sebuah permukaan tertutup dan menghitung jumlah fluks
elektrik yang menembusi permukaan itu. Dalam ruang berdimensi dua, "permukaan" tertutup itu
adalah sebuah lingkaran (Gambar 15.6), sehingga hukum Gauss menjadi:
𝑞
𝐸(2𝜋𝑟) = 𝜖0 (15.1)
1
𝐸∝𝑟 (15.2)

(Bandingkan dengan E x 1/2 dalam ruang tiga dimensi). Karena gravitasi berperilaku sama, kita
dapat memperkirakan bahwa gaya gravitasi dalam ruang berdimensi dua akan pula berubah seperti
1/r. Ternyata tidaklah demikian! Relativitas umum, yang untuk medan lemah dalam ruang tiga
dimensi tersederhanakan menjadi gaya gravitasi Newton 1/2, tidak tersederhanakan menjadi 1/r
dalam ruang dua dimensi. Kenyataan ini memberi kesan bahwa massa bukanlah sekedar suatu
parameter kuat medan, seperti muatan elektrik, tetapi memiliki peranan-lebih dalam menentukan
struktur alam kita.
2.2. GRAVITASI DAN RUANG-WAKTU LENGKUNG
Relativitas khusus lahir dari "percobaan khayal" yang dengannya Einstein membayangkan
untuk mencoba "mengejar" seberkas cahaya. Asas laju cahaya yang tetap bagi semua pengamat
adalah salah satu landasan relativitas khusus, yang diperoleh dari kesimpulan Einstein bahwa
pengejarannya tidak pernah berhasil. Relativitas umum didasarkan pada asas yang diturunkan dari
percobaan khayal yang lain. Marilah kita membayangkan bahwa kita berada di dalam sebuah roket
yang masih berada pada landasannya di permukaan Bumi (Gambar 15.7). Sebuah benda yang kita
jatuhkan kita amati bergerak menuju lantai roket dengan percepatan g = 9,8 m/s2. Sekarang,
andaikan lah roketnya sedang meluncur dalam ruang angkasa yang medan gravitasinya kecil sekali
sehingga dapat diabaikan. Andaikanlah pula mesin roket nya dinyalakan sehingga memberikan
percepatan yang dikendalikan tepat sebesar 9,8 m/s². Sekali lagi kita lepaskan sebuah benda di da-
lamnya. Benda itu akan tampak bergerak menuju lantai roket (apakah lantainya yang bergerak
menuju benda? perlukah dipersoalkan?) dengan percepatan 9,8 m/s². Kedua percobaan ini ternyata
memberikan hasil yang sama. Einstein kemudian memperluas hasil percobaan khayal ini dalam
asas kesetaraan berikut:
Tidak ada percobaan yang dapat dilakukan dalam suatu daerah relatif kecil yang dapat
membedakan medan gravitasi dari sebuah sistem percepatan tetap yang setara.
(Syarat "daerah kecil" perlu karena alasan berikut: Andaikanlah anda melepaskan dua benda yang
terpisah sejauh jarak kecil D. Dekat permukaan Bumi, setiap benda bergerak sepanjang sebuah
jari-jari yang menuju pusat Bumi, sehingga kedua benda tersebut makin lama saling menghampiri
sewaktu mereka jatuh. Hal ini tidak terjadi apabila

GAMBAR 15.7 (a) Pada keadaan diam di Bumi, sebuah benda yang dilepaskan mengalami
percepatan menuju lantai pesawat roket. (b) Pada keadaan dipercepat dalam ruang bebas-gravitasi,
benda yang sama dilepaskan juga dipercepat menuju lantai roket.
kedua benda tersebut berada dalam roket yang mengalami percepatan. Tetapi, jika lebar roketnya
kecil, medan gravitasi di dalamnya hampir merata, dan perbedaannya tidak akan teramati).
Akibat asas kesetaraan adalah bahwa sebuah sistem pengamatan yang jatuh bebas dalam
medan gravitasi Bumi, sebagai contoh sebuah elevator yang kabel gantungnya putus, adalah
sebuah kerangka lembam lokal. Seorang pengamat dalam elevator yang jatuh itu dapat melepaskan
sebuah benda dari "keadaan diam" (dalam kerangka pengamatan si pengamat) dan akan mendapati
bahwa benda tersebut "tetap diam." (Ruang di dalam sebuah kapsul ruang angkasa yang mengedari
Bumi juga berperilaku sama; meskipun kapsulnya berada dalam suatu garis edar stabil, ia masih
tetap jatuh bebas menuju pusat Bumi dengan percepatan sentripetal yang tepat sama dengan
percepatan gravitasi lokal. Dengan demikian, ungkapan yang mengatakan bahwa si astronot dalam
kapsul yang mengorbit itu dalam keadaan "tanpa berat" tidaklah tepat benar dan memberi kesan
keliru seolah- olah mereka berada di luar tarikan gravitasi Bumi). Sebagai contoh, sebuah giroskop
yang mengorbit akan mengalami presesi sebagai akibat pengaruh medan gravitasi Bumi padanya.
Konsep kerangka lembam lokal ini sangat berbeda dari bahasan kita sebelumnya. Elevator
jatuh bebas mengandung sedikit kemiripan dengan konsep Newton mengenai kerangka koordinat
tetap terhadap bintang-bintang jauh. Namun, menurut asas kesetaraan, (dari sudut pandang
percobaan) tidak ada perbedaan. Sebenarnya, berkaitan dengan elevator yang jatuh bebas itu
terdapat takberhingga banyak- nya kerangka lembam, dan kita dapat menggunakan transformasi
Lorentz untuk mengaitkan koordinat-koordinat kerangka lembam yang berbeda itu, tepat sama
seperti yang kita lakukan dengan kerangka lembam "kecepatan-tetap."
Asas kesetaraan sebenarnya telah diperkenalkan dalam fisika dasar dalam bentuk yang
sedikit berbeda (dan lebih lemah), yaitu dalam pernyataan bahwa massa lembam dan massa
gravitasi adalah setara. Hal ini berarti, bahwa massa yang muncul dalam pernyataan F = ma (massa
GMm
lembam) identik dengan massa yang muncul dalam pernyataan F= (massa gravitasi). Dari
r2
bentuk pernyataan asas kesetaraan ini disimpulkan bahwa semua benda, berapa pun massanya,
jatuh dengan percepatan yang sama besar dalam medan gravitasi Bumi. Kenyataan ini pertama
kali dibuktikan oleh Galileo dalam percobaan terkenalnya ketika ia menjatuhkan secara serempak
dua benda ber- massa berbeda dari puncak menara miring Pisa dan mengamati bah- wa keduanya
jatuh dengan percepatan yang sama besar. Dewasa ini beberapa percobaan lain yang lebih teliti
telah membuktikan keseta- raan massa gravitasi dan lembam hingga ketelitian sekitar 10-11
Sama halnya seperti dengan ketidak ubahan laju cahaya menuntun kita ke ramalan dilasi
waktu dan pemuluran panjang, asas kesetaraan menuntun kita ke beberapa ramalan yang
mengubah cara berpikir kita mengenai ruang dan waktu. Marilah kita membayangkan seberkas
cahaya ditembakkan menembusi kendaraan roket kita (Gambar 15.8) dari sebuah sumber yang kita
definisikan "diam" dalam suatu bagian ruang yang pengaruh gravitasinya dapat diabaikan. Jika

roketnya diam terhadap sumber, lintasan berkas dalam roket akan berupa garis lurus. Andaikan lah
roket tadi bergerak dengan laju tetap terhadap sumber dan tegak lurus arah rambat berkas menurut
pengamatan seorang pengamat yang diam terhadap sumber. Maka, bagi seorang pengamat di
dalam roket, berkas cahaya dilihatnya melintasi suatu lintasan lurus miring (yang membuat sudut
v/c terhadap arah "horisontal" apabila y kecil). Bila roketnya mengalami percepatan, v akan selalu
berubah sehingga v/c juga selalu berubah; seorang pengamat dalam
GAMBAR 15.8 (a) Bila roketnya diam, berkas cahaya melintas secara horison- tal. (b) Bila dilihat
dari roket, gerak dengan laju tetap menyebabkan berkas me- nyimpang dari arah horisontal. (c)
Berkas tampak melintasi suatu kurva parabola apabila roket mengalami percepatan. roket dengan
demikian akan melihat berkas cahaya melintasi suatu lintasan lengkung (parabola). Jika asas
kesetaraan benar, perilaku berkas cahaya dalam roket yang dipercepat haruslah sama seperti dalam
gravitasi Bumi. Berkas cahaya harus pula menempuh lintasan lengkung dalam medan gravitasi
Bumi.
Berkas cahaya mempunyai tempat khusus dalam pemahaman kita mengenai ruang dan
waktu, karena cahaya harus melintasi lintasan terpendek dan langsung antara dua buah titik. (Jika
tidak demikian halnya, ada kemungkinan terdapat proyektil lain yang menempuh kedua titik tadi
dalam selang waktu yang lebih singkat, yang dengan demikian bergerak lebih cepat daripada
cahaya; karena hal ini melanggar relativitas khusus, ini tidak mungkin terjadi). Jika berkas cahaya
menempuh lintasan lengkung sebagai lintasan terpendek antara dua buah titik, maka ruang tentulah
lengkung, dan penyebab kelengkungan nya adalah medan gravitasi.
Kurva terpendek yang menghubungkan dua buah titik dalam geometri lengkung disebut sebuah
geodesik. Dalam geometri datar (Euklid), geodesiknya adalah garis lurus; dalam geometri
(permukaan) bola, geodesiknya adalah busur lingkaran besarnya.
Marilah kita meninjau suatu contoh sederhana yang memberikan gambaran mengenai perbedaan
bahasa antara teori gravitasi Newton dan teori yang berdasarkan pada ruang-waktu lengkung.
Sebuah massa m dikendalakan bergerak bebas sepanjang sumbu x (bayangkan sebuah manik
meluncur tanpa gesekan sepanjang sebuah kawat). Andaikanlah bendanya bergerak (dengan laju
tetap) dari A menuju B seperti diperlihatkan pada Gambar 15.9. "Ruang-waktu" manik ini

dapat dinyatakan oleh bidang dua-dimensi xt; karena tidak ada yang terjadi menurut arah y maupun
z, maka kedua sumbu ini tidak digam- barkan. Dalam ruang-waktu, "lintasan" m adalah garis lurus
yang diperlihatkan pada Gambar 15.10. Massa m berangkat dari X = XA dan bergerak menuju titik
asal. Dalam bahasa fisika klasik, massa m bergerak menurut pernyataan x = Xa - Vt. Dalam bahasa
ruang-waktu, kita definisikan selang
(𝑑𝑠)2 = 𝑣 2 (𝑑𝑡)2 − (𝑑𝑥)2 (15.3)
Jadi, menurut teori kita, partikelnya hanya diperkenankan bergerak melalui titik-titik ruang-waktu
yang dihubungkan oleh selang nol; tempat kedudukan titik-titik seperti itu disebut geodesik.
Sekarang, andaikanlah pada titik asal koordinat ditempatkan sebuah massa M yang besar; massa
m akan ditarik massa M dengan gaya gravitasi Newton. Sewaktu m bergerak dari A menuju B, ia
mengalami percepatan. Jadi, lintasan ruang-waktunya melengkung seperti diperlihatkan pada
Gambar 15.11. (Dalam gambar ini, massa mjelas tidak melintasi "lintasan terpendek" dari A ke B).
Menurut fisika klasik, gerak partikel dapat diperikan oleh
3 2
3
𝑋(𝑡) = (𝑋𝐴2 − 2 √2𝐺𝑀 𝑡)3 (15.4)

𝑑2 𝑥 GmM
yang diperoleh dari pemecahan hukum kedua Newton F = 𝑚 𝑑𝑡 2 bagi gaya F = . Gambar 15.11
𝑋2
adalah grafik dari Persamaan (15.4). Kehadiran massa M melengkungkan ruang waktu xt, karena
itu ruang-waktu mungkin tampak seperti Gambar 15.12. De-

ngan demikian, massa m sebenarnya menempuh lintasan terpendek dari A menuju B dalam ruang-
waktu lengkungnya. Selangnya sekarang menjadi
2𝐺𝑀
(𝑑𝑠)2 = (𝑑𝑡)2 − (𝑑𝑥)2 (15.5)
𝑋

Sekali lagi, lintasan "geodesik" menghubungkan titik-titik dengan selang nol. Anda dapat
memperlihatkan bahwa Persamaan (15.5) dan (15.4) tidak bertentangan. Dari sudut pandang ini,
kekuatan "gaya gravitasi" tidak ada artinya; yang menjadi pokok perhatian di sini adalah
kelengkungan ruang-waktu, yang ditentukan oleh massa M. Meskipun contoh sederhana ini
menggambarkan perbedaan pen- dekatan gravitasi klasik Newton dan fisika ruang-waktu
lengkung, ia tidaklah benar dari sudut pandang relativitas umum. Bagi kasus sebuah titik massa M
pun, geodesik partikel bermassa (m + 0) dalam ruang- waktu sangatlah rumit dan berada di luar
jangkauan buku teks ini. Namun dengan kedua gambaran alternatif dari kasus sederhana ini, kita
mulai melihat perbedaan antara gravitasi Newton klasik dan relativitas umum, masing-masingnya
memerikan suatu situasi terten- tu dengan menggunakan terminologinya sendiri:
Newton:
"Partikel dipercepat, ketika ber-
gerak dari A menuju B, oleh ga-
ya gravitasi berbanding lurus
dengan 1/2 dan massa M pe-
nyebabnya yang terletak di x = 0.”

Einstein:
”Partikel bergerak dari A menu-
ju B sepanjang lintasan geodesik
suatu lengkungan; kelengkung-
annya berbanding lurus dengan
massa M penyebabnya yang ter-
letak di x = 0.”

Persoalan dasar gerak dalam medan gravitasi, dalam kerangka relativitas umum, adalah persoalan
mencari koefisien-koefisien dari (dt)2, (dx)2, (dy)2, dan (dz)2 dalam selang (ds)2. Semua koefisien
ini, sebagai satu kelompok, membentuk metrik dari ruang-waktu; metrik ini sebagian ditentukan
oleh massa penyebab yang hadir, yang pada gilirannya menentukan gerak partikel bermassa dan
berkas cahaya.
Apakah kita benar memperoleh sesuatu dari tinjauan ini? Pembe- naran suatu teori fisika tidaklah
terletak pada daya pikatnya atau ke- indahan estetisnya (relativitas umum mendapat angka baik
pada kedua hal ini), tetapi pada seberapa baik keberhasilan dan kecocokannya. dengan percobaan.
Dalam pasal-pasal berikut akan kita lihat bahwa relativitas umum lulus semua uji percobaan.
(Untuk lebih adil, perlu dikemukakan bahwa terdapat beberapa teori gravitasi saingan yang
mungkin tidak bertentangan pula dengan percobaan. Uji yang paling mendukung teori relativitas
umum adalah yang dilakukan dalam me- dan gravitasi yang sangat kuat, namun hal tersebut belum
dilakukan).
2.3. TEORI RELATIVITAS UMUM
Persamaan Einstein dalam relativitas umum adalah persamaan ten- sor, yang menggunakan
teknik matematika tinggi yang berada di luar jangkauan buku teks ini. Secara perlambang,
persamaan ini dapat ditulis sebagai
8πG
(kurva kelengkungan) = (kerapatan masa energi) (15.6)
𝐶4

Perhatikan bahwa pernyataan ini menyertakan pula gravitasi (dengan tetapan gravitasi Newton G)
dan relativitas khusus (dengan laju cahaya c). Dalam keadaan limit kinematika klasik (c→ ∞), dan
dalam kasustidak ada materi dan energi, ruas kanan menjadi nol, yang berarti ruang-waktu adalah
datar.
Berikut akan kita bahas dua penerapan relativitas umum. Dalam kasus pertama, kita
membahas pemecahan persamaan Einstein bagi ruang-waktu di sekitar sebuah massa tunggal M
takberotasi. Metrik ruang-waktu lengkung berdimensi empatnya pertama kali dipecahkan oleh
Karl Schwarzschild pada tahun 1916. Selang yang bersangkutan dapat dituliskan dalam bentuk
berikut (dengan menggunakan koordinat bola r, 𝜃, ∅, 𝜙):
2𝐺𝑀 (𝑑𝑟)2
(𝑑𝑠)2 = 𝐶 2 (1 − ) (𝑑𝑡)2 − 2𝐺𝑀 (15.7)
𝐶 2𝑟 1− 2
𝐶 𝑟

−𝑟 2 (𝑑𝜃)2 − 𝑟 2 𝑠𝑖𝑛2 𝜃 (𝑑𝜙)2


Keberadaan ruang-waktu lengkung di sekitar benda bermassa dapat diuji melalui berbagai macam
percobaan yang akan diuraikan dalam pasal berikut.
Penerapan kedua menyangkut jagat raya-apakah ruang-waktu seluruh jagat raya (tidak
hanya di sekitar objek bermassa) melengkung ataukah datar? (Dalam pengertian ini relativitas
umum mengikuti filsafat Ernst Mach, yang mengemukakan bahwa semua gaya lembam, termasuk
massa lembam benda dan juga gaya sentripetal, disebabkan oleh sisa materi lainnya dalam jagat
raya ini). Dalam kasus ini, yang ingin kita ketahui adalah "ukuran" atau "jari-jari" R dari jagat
raya, dan bagaimana perubahannya terhadap waktu. Berbagai percobaan yang akan kita bahas
dalam Bab 16 memperlihatkan bahwa jagat raya kita mengembang. Di sini kita ingin mencari
pemecahan bagi R(t) untuk memproyeksikan pengembangannya jauh ke masa lampau dan un-tuk
mempelajari asal mula dan nasib jagat raya kita.
Pemecahan persamaan Einstein bagi kasus ini dapat ditulis sebagai berikut:
𝑑𝑅 2 8𝜋
( 𝑑𝑡 ) = 𝐺𝜌𝑅 2 − 𝑘𝑐 2 (15.8)
3

Di sini R(t) menyatakan ukuran atau faktor skala jarak dari jagat raya pada saat t dan 𝜌
menyatakan kerapatan massa-energi jagat raya pada saat yang sama. (Penting untuk diingat bahwa
dalam suatu jagat raya yang mengembang, kerapatan massa-energinya berubah terhadap waktu).
Kerapatan ini dapat ditafsirkan sebagai suatu kerapatan massa-energi rata-rata dalam ukuran skala-
besar, diukur pada suatu bagian ruang yang ukurannya lebih besar daripada jarak antargalaksi. (Ini
sama halnya dengan kasus zat padat di mana kita tidak akan berhasil bila mencoba mengukur rapat
massa dengan memilih suatu daerah contoh yang ukurannya lebih kecil daripada jarak antaratom
atau di dalam sebuah inti).
Tetapan k yang muncul dalam Persamaan (15.8) mencirikan struktur geometri jagat raya
secara keseluruhan: k = 0 jika jagat raya datar, seperti Gambar 15.5a; k = +1 jika jagat raya
melengkung dan ter- tutup, seperti Gambar 15.5b; k = -1 jika jagat raya melengkung dan terbuka,
seperti Gambar 15.5c. Bila k = +1, faktor jarak R(t) ber- kaitan langsung dengan "jari-jari" jagat
raya. Tetapi untuk k = 0 atau k = 1, kurang jelas artinya, karena untuk kedua kasus ini jagat raya
tidak bertepi. Dengan demikian, R() lebih tepat dipandang sebagai suatu faktor skala yang
menyatakan pengembangan jagat raya; nilai mutlak R untuk kedua kasus ini tidak bermakna,
hanya perubahan- nya terhadap waktulah yang perlu diperhatikan, karena jarak an- targalaksi akan
berubah jika R berubah. (Bayangkan sebuah kisi tiga dimensi xyz yang ketiga sistem koordinatnya
diregangkan).
Untuk memecahkan Persamaan (15.8) bagi R(t), kita harus terlebih dulu merinci tetapan k
dan juga membuat beberapa anggapan me- ngenai kerapatan massa 𝜌. Marilah kita menganggap
bahwa k = 0 atau bahwa ukuran dan kerapatan jagat raya kita adalah sedemikian rupa sehingga
suku 𝑘𝑐 2 dari Persamaan (15.8) dapat diabaikan terhadap suku-suku lainnya. Kita tidak dapat
mengintegrasikan langsung Persamaan (15.8) untuk menemukan R(t), karena kita belum menge-
tahui ketergantungan 𝜌 terhadap waktu. Untuk menyederhanakan permasalahannya lebih lanjut,
marilah kita menganggap bahwa R mengembang mengikuti aturan pangkat sederhana: R(t) = At",
dengan A dan n adalah dua tetapan yang akan ditentukan. Dengan menyisipkan bentuk R(t) ini ke
dalam Persamaan (15.8), kita peroleh:
8𝜋
(𝑛𝐴𝑡 𝑛−1 )2 = 𝐺𝜌𝐴2 𝑡 2𝑛 (15.9)
3

sehingga dengan demikian


3𝑛2
𝜌 = 8𝜋𝐺 𝑡 −2 (15.10)

Kerapatan massa-energi p dapat berupa: kerapatan materi biasa m atau radiasi 𝜌𝑟, (atau, tentu saja,
campuran keduanya). Dalam keadaan jagat raya sekarang ini, saham yang dominan adalah materi
biasa. Karena materi agaknya kekal (tidak ada materi baru yang diciptakan), maka selama jagat
raya mengembang kerapatannya haruslah berkurang agar 𝜌𝑚𝑅 3 tidak berubah. Jadi 𝜌𝑚 ∝ 𝑅 −3
𝑡2
dan karena Persamaan (15.10) menghendaki (𝜌 ∝ 𝑡 −2 , haruslah berlaku 𝑅 ∝ 3 ). Dengan
2
demikian n =3, dan Persamaan (15.10) memberikan

3
𝑡 = √6𝜋𝐺𝜌𝑚 (15.11)

Pada saat awal kejadian jagat raya, energi-massa terutama berada dalam bentuk radiasi
(yakni 𝜌𝑟>> 𝜌m). Kerapatan energi radiasi ter- mal pada suhu T diberikan oleh rumus benda hitam,
misalnya Persa- maan (3.20). Karena itu kita memperkirakan 𝜌𝑟 ∝ 𝑇 4 Menurut hukum pergeseran
Wien, 𝜆𝑚𝑎𝑘𝑠𝑇 = tetap, sehingga 𝜌𝑟 𝛼 (𝜆𝑚𝑎𝑘𝑠)4. Selama jagat raya mengembang, semua jarak
berubah dengan faktor R(1), termasuk panjang gelombang; dengan demikian, 𝜌𝑟 𝛼 𝑅 −4 Dengan
1
menggabungkan hasil ini dengan Persamaan (15.10), 𝜌 𝛼 𝑡 −2kita simpulkan bahwa 𝑅 ∝ 𝑡 2 . Oleh
karena itu, dalam kasus ini n = ½, dan Persamaan (15.10) memberikan
3
𝑡 = √32𝜋𝐺𝜌𝑟 (15.12)
Persamaan (15.10) hingga (15.12) memperlihatkan perubahan kerapatan jagat raya terhadap
waktu.
Cara bermanfaat untuk mencirikan pengembangan jagat raya adalah dengan menggunakan
parameter Hubble H (biasanya disebut tetapan Hubble, meskipun menurut sebagian besar model
kosmologi besaran H ini tidak tetap):
1 𝑑𝑅
𝐻 = 𝑅 𝑑𝑡 (15.13)

H memiliki satuan (waktu)−1.


Jika jagat raya mengembang dengan laju tetap (dan telah berlaku demikian sejak t = 0),
maka H= 𝑡 −1 , sehingga dengan demikian 𝐻 −1 memberikan usia jagat raya. Dalam model yang
agak umum di atas, yaitu R(t) = A𝑡 𝑛 , kita peroleh H = n𝑡 −1 , sehingga usia jagat raya adalah n𝐻 −1;
2 1
dengan n =3 atau 2 usia jagat raya men- jadi lebih kecil daripada, namun tetap berorde 𝐻 −1.
Berdasarkan alasan ini, 𝐻 −1seringkali diambil sebagai taksiran kasar bagi usia jagat raya. Jika laju
pengembangan alam semesta mengalami perlam- batan (sebagai akibat pengaruh tarikan gravitasi
antara galaksi), usia jagat raya akan lebih muda daripada 𝐻 −1.
𝑑2 𝑅
Laju perubahan pengembangan jagat raya berbanding lurus dengan , yang adalah
𝑑𝑡 2
semacam percepatan. Untuk memudahkan, kita definisikan parameter perlambatan q sebagai
𝑑2 𝑅
𝑅( )
𝑑𝑡2
𝑞= − 𝑑𝑅 2
(15.14)
( )
𝑑𝑡

Dengan R= A𝑡 𝑛 , diperoleh
1
𝑞 =𝑛−1 (15.15)

Hubungan antara parameter perlambatan dan kerapatan dapat kita cari dengan
mendiferensiasikan Persamaan (15.8). Dengan mengingat bahwa 𝜌 adalah sebuah fungsi dari t dan
bahwa kerapatan jagat raya kini didominasi materi, kita peroleh:
4𝜋𝐺𝜌𝑚
𝑞= (15.16)
3𝐻 2

Perhatikan bahwa, karena suku yang sebanding dengan kc² lenyap bila Persamaan (15.8)
didiferensiasikan, Persamaan (15.16) berlaku lebih umum daripada Persamaan (15.15), yang
diturunkan bagi kasus model k = 0.
Model jagat raya istimewa k = 0 ini, yang disebut model Einstein- deSitter, hanyalah salah
satu dari sekian banyak model yang mungkin, masing-masingnya memberikan hasil berbeda bagi
R(t) dan parameter turunan lainnya. Model Einstein deSitter ini dipandang bermanfaat, bukan
hanya karena ia menyatakan keadaan sebenarnya dari jagat raya kita sekarang, tetapi karena
dengannya kita dapat mempergunakan relativitas umum untuk menurunkan pernyataan beberapa
parameter jagat raya kita yang relatif sederhana bentuknya. Dalam Pasal 16.6, kita akan kembali
membahas beberapa bentuk R(t) lain yang mungkin dan bagaimana membedakan mereka. Bahasan
lanjutan mengenai penerapan asal mula, evolusi, dan masa depan jagat raya kita juga akan ditinjau
dalam Bagian 16.6. Dalam pasal berikut kita akan melihat uji percobaan setempat terhadap
beberapa ramalan relativitas umum.
2.4. UJI RELATIVITAS UMUM
Gravitasi Newton dan relativitas umum Einstein masing-masing mem- berikan ramalan
yang dapat diuji lewat percobaan, namun untuk banyak hal, perbedaan antara kedua ramalan
tersebut umumnya sangatlah kecil. Dalam medan gravitasi lemah, relativitas umum kembali ke
1
gravitasi Newton, sama seperti relativitas khusus kembali ke kinematika Newton (K = 2 𝑚𝑣 2 , dan
seterusnya) pada laju rendah.
Pada permukaan Bumi, kelengkungan ruang adalah sekitar 10−8 yakni, perbandingan
kelengkungan ruang yang disebabkan oleh massa Bumi terhadap kelengkungan permukaan Bumi
sendiri adalah sekitar 10−6 dengan demikian penyimpangan dari geometri Euklid hanya akan
terjadi pada tingkat ketelitian yang sama. Pada permukaan matahari pun, kelengkungannya
hanyalah sekitar 10−6 bagian.
Walaupun demikian, ada sejumlah percobaan yang dapat kita lakukan seteliti mungkin
sehingga mampu mendeteksi perbedaan antara ruang-waktu datar dan ruang-waktu lengkung.
Dalam pasal ini kita akan membahas beberapa dari percobaan tersebut.
Pergeseran Spektral Gravitasi
Gambar 15.13 mengilustrasikan suatu percobaan khayal yang dapat berperan sebagai suatu sumber
energi bebas-semacam mesin gerak abadi. Sebuah foton dengan energi 1,022 MeV (2m𝑒𝑐 2 )
ditembakkan dari permukaan Bumi ke atas menuju sebuah sasaran pada ketinggian H = 1000 m,

di mana akibat tumbukan nya dengan sasaran dihasilkan sebuah positron dan elektron melalui
proses produksi pasangan seperti yang kita bahas dalam Pasal 3.5. Positron dan elektron tadi
kemudian jatuh kembali ke permukaan Bumi, dan masing-masing memperoleh energi kinetik
megH dalam proses ini. Energi 2megH yang dihasilkan kemudian diambil, dan positron serta
elektron (yang kini diam) digabungkan kembali untuk menghasilkan sebuah foton dengan energi
1,022 MeV, yang kemudian mengulangi kembali daurnya. Oleh karena itu, dari setiap daur kita
"memperoleh" energi 2megH, yang nyata melanggar hukum kekekalan energi; energi yang
diperoleh tidaklah besar, sekitar 2 x 10−7 eV, namun jika kita mempercayai kekekalan energi
sebagai hukum mendasar, pembentukan energi sekecil ini pun haruslah terlarang
Hukum kekekalan energi dapat kita pulihkan jika kita menganggap bahwa foton, ketika bergerak
ke atas melawan gravitasi Bumi, kehilangan sejumlah energi sebanyak 2megH. Karena energi
foton E sama dengan 2me𝑐 2 , kehilangan energinya adalah
𝐸𝑔𝐻
∆𝐸 = (15.17)
𝑐2

Menurut relativitas khusus, kita dapat menetapkan massa m = E/c² bagi foton, sehingga dengan
demikian AE adalah tidak lain daripada energi kinetik foton yang hilang ketika ia bergerak ke atas
melawan medan gravitasi Bumi.
Berdasarkan analisis ini, tampaknya bahwa kehilangan energi ini adalah akibat dari
relativitas khusus, bukan relativitas umum. Sebagai gantinya, marilah kita tinjau percobaan yang
diperlihatkan pada Gambar 15.14. Sebuah sumber cahaya di titik A dari sebuah roket dalam ruang
bebas-gravitasi antarbintang memancarkan seberkas cahaya ber frekuensi v dan pada saat yang
sama roketnya mulai mengalami percepatan secara tetap. Ketika seorang pengamat di B melihat
𝐻
cahaya itu, setelah selang waktu ∆𝑡 ≅ 𝑐 kemudian, roketnya sedang bergerak dengan laju v = aAt
= aH/c. (Anggaplah v << c). Karena pengamat B mengamati frekuensi geser-Doppler v'= v(1 +
v/c), perubahan frekuensi cahaya tersebut adalah
𝑣 𝑎𝐻
∆𝑣 = 𝑣 𝑐 = 𝑣 (15.18)
𝑐2

Dengan mengalikan kedua belah ruas persamaan ini dengan h untuk mengubah frekuensi cahaya
ke dalam energi foton, kita peroleh hasil yang identik dengan Persamaan (15.17) dengan g = a.
Menurut asas kesetaraan, percobaan sama yang dilakukan dalam medan gravitasi seragam dan
sistem yang mengalami percepatan tetap memberikan hasil yang sama. Dengan demikian,
pengamatan terhadap perubahan frekuensi semacam itu merupakan suatu uji asas kesetaraan.
Pada tahun 1959, R. V. Pound dan G. A. Rebka melakukan perco- baan jatuh bebas foton
14,4 keV yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif 57𝐶𝑂 di puncak menara Universitas Harvard
pada keting- gian 22,6 m. Fraksi perubahan frekuensi yang diperkirakan, Av/v = gH/𝑐 2 , adalah
2,46 x 10−15; yang berarti, untuk mengamati efek ini, mereka harus mampu mengukur frekuensi
atau energi foton di dasar menara hingga ketelitian 10−15! Berkat efek Mössbauer (Pasal 9.12),
tingkat ketelitian ini dimungkinkan tercapai, dan hasil pengukuran- nya adalah Av/v = (2,57
± 0,26) x 10−15, sesuai dengan asas ke setaraan.
GAMBAR 15.14 (a) Cahaya meninggalkan sumber di A bertepatan dengan saat roket mulai
mengalami percepatan. (b) Ketika cahaya diterima di B, roket sedang bergerak dengan laju v.
Foton yang jatuh dalam medan gravitasi memperoleh tambahan energi dan karena itu
panjang gelombangnya tergeser ke yang lebih pendek ("pergeseran biru"). Foton yang bergerak
melawan tarikan gaya gravitasi, karena kehilangan energi, mengalami efek pergeseran merah. Jadi,
cahaya yang meninggalkan permukaan sebuah bintang akan mengalami pergeseran merah oleh
efek gravitasi yang sangat kecil ini. Karena gerak bintang relatif terhadap kita telah menimbulkan
pergeseran Doppler yang lebih besar daripada pergeseran gravitasi yang diperkirakan (lihat Pasal
16.1), dan gerak termal atom-atom dari bintang melebarkan semua garis spektrumnya (lihat Pasal
12.3), maka ketiga efek ini, secara bersama-sama, membuat pergeseran gravitasi dalam garis
spektrum menjadi praktis tidak mungkin diamati.
Pembelokan Cahaya Bintang Pasal di atas memberikan contoh suatu kasus pada kita yang
menggabungkan relativitas khusus dan gravitasi Newton untuk memberikan hasil yang identik
dengan relativitas umum. Di sini kita menguji suatu kasus berbeda, dengan metode sama, yang
memberi hasil tidak identik, dan bahwa hasil percobaan ternyata men- dukung ramalan relativitas
umum.
Tinjau seberkas cahaya yang lewat dekat permukaan matahari, seperti diperlihatkan pada
Gambar 15.15. Menurut relativitas khusus, foton dalam berkas memiliki massa efektif m = E/𝑐 2
sehingga akan di belokkan oleh medan gravitasi Newton seperti halnya benda biasa. Karena bentuk
hukum gravitasi Newton sama seperti hukum Coulomb bagi gaya elektrik, pembelokan gravitasi
akan terjadi tepat sama seperti pembelokan elektrik. Karena itu, kita dapat menghitung sudut belok
dengan menggunakan Persamaan (6.17) bagi hamburan (Rutherford) Coulomb
𝑧𝑍
𝑏 = 2𝐾 𝑒 2 /4𝜋𝜀𝑜 𝑐𝑜𝑡 𝜃/2 (15.19)
Jika sebuah foton dengan massa efektif m = 𝐸/𝑐 2hampir tepat me- nyentuh permukaan
matahari, maka b = R (jari-jari matahari). Dari kemiripan hubungan kedua gaya tersebut, kita
lakukan penyisipan

GAMBAR 15.15 Berkas cahaya yang melewati dekat ke matahari mengalami pembelokan.
Bintang di A tampak berada di B.
Berikut:
𝐸
𝑧𝑒 → 𝑚 =
𝑐2
𝑍𝑒 → 𝑀 (𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑎ℎ𝑎𝑟𝑖)
1
→ 𝐺 (𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑎𝑛 𝐺𝑟𝑎𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠𝑖)
4𝜋𝜀𝑜
2𝐾 = 𝑚𝑣02 → 𝑚𝑐 2 = 𝐸 (𝑒𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑓𝑜𝑡𝑜𝑛)
Dan hasilnya adalah
𝜃 𝐸𝑅
= 𝐺𝑚𝑀
2
cot 𝑐 2𝑅
(15.20)
= 𝐺𝑀

Dengan menyisipkan angkanya, kita peroleh = 0,87"; ini adalah ramalan sudut belok dari
relativitas khusus dan gravitasi Newton.
Relativitas umum memberikan pandangan yang sangat berbeda mengenai pembelokan ini.
Ruang-waktu di sekitar sebuah massa seperti matahari adalah lengkung: suatu ruang-waktu
berdimensi dua yang melengkung dapat dinyatakan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 15.12.
Lintasan seberkas cahaya dalam ruang-waktu ini adalah sepanjang geodesiknya, yang adalah
bukan lintasan hiperbola dari sebuah massa dalam medan gravitasi Newton (atau partikel
bermuatan dalam hamburan Rutherford). Menurut relativitas umum, sudut beloknya adalah 1,74",
yang adalah tepat dua kali nilai yang dihitung dari gravitasi Newton.
Pengukuran efek ini memerlukan pengamatan berkas cahaya, seperti dari bintang, yang
lewat dekat tepi matahari. Cahaya bintang dekat matahari hanya dapat diamati selama gerhana
matahari total. Pada tahun 1919, hanya beberapa tahun setelah Einstein menyelesaikan teori
relativitas umumnya, dua ekspedisi para astronom Inggris pergi ke Afrika dan Amerika Selatan
untuk mengamati gerhana matahari dan mengukur perubahan tampak kedudukan berbagai bintang
yang cahayanya lewat dekat tepi matahari. Hasil yang mereka peroleh bagi sudut belok ini adalah
1,98" ±0,18" dan 1,69"± 0,45", yang memberi dukungan kuat bagi teori relativitas umum. Setelah
pengamatan awal ini, percobaan ini telah diulangi beberapa kali pada hampir setiap ke- jadian
gerhana matahari total, dan kesesuaian dengan relativitas umum, secara keseluruhan, adalah dalam
batas 10 persen. Pemancaran radio dari berbagai quasar telah pula digunakan untuk memperkuat
kebe- naran efek ini, dan di sini kecocokannya dengan relativitas umum herada dalam batas 3
persen.
Semua hasil percobaan ini memberikan suatu perbedaan tegas antara teori gravitasi Newton
(dengan tambahan relativitas khusus sekalipun) dan relativitas umum.

Waktu-tunda Gema Radar Apabila garis yang menghubungkan Bumi dan sebuah planet (Venus,
misalnya) menembus matahari, keadaan nya disebut "konyungsi superior" yang diilustrasikan pada
Gambar 15.16. Kita dapat menggunakan mekanika Newton untuk menentukan garis edar kedua
planet, dan dengan demikian dapat menghitung jarak dari Bumi ke Venus. Jadi, jika kita
mengirimkan sebuah sinyal radar dari Bumi ke Venus, kita dapat mengetahui secara pasti
(berdasarkan gravitasi Newton) berapa lama waktu yang dibutuhkan sinyal sejak dikirimkan
hingga dipantulkan kembali ke Bumi oleh Venus (sekitar 20 menit). Mendekati saat konyungsi
superior, sinyal tadi akan lewat dekat tepi matahari, dan karena itu, menurut relativitas umum,
sinyal tidak melintasi lintasan lurus Euklid, melainkan lintasan geodesik ruang lengkung dari
Gambar 15.12. Akibatnya, perjalanan pergi-pulang sinyal radar akan membutuhkan waktu yang
lebih lama daripada waktu 201 menit yang diperkirakan, karena geodesik lengkung agak lebih pan-
jang daripada garis lurus Euklid (Gambar 15.17). Perkiraan waktu- tunda ini adalah sekitar 10−4s
dan dapat diukur dengan cukup teliti untuk menguji kebenaran relativitas umum. Percobaan ini
sangatlah sulit (kedudukan planet haruslah diketahui hingga ketelitian beberapa kilometer, lebih
jelek lagi, selang waktu di Bumi, antara sinyal yang dipantulkan dari puncak gunung Everest dan
yang dari permukaan laut dalam adalah sekitar 10−4 s berapa tinggikah gunung di Venus?). Namun
demikian, ramalan relativitas umum sekali lagi dibuktikan kebenarannya hingga sekitar batas 10
persen.
GAMBAR 15.17 Lintasan sinyal antara Bumi dan Venus dalam ruang waktu lengkung. Lintasan
sebenarnya (garis tebal) sedikit lebih panjang daripada lin- tasan lurus Euklid. (Diagram seperti
ini, disebut diagram tanam (embedding diagram), mewakili salah satu cara untuk menggambarkan
suatu irisan dua dimensi dari ruang-waktu berdimensi empat).
Presesi Perihelion Merkuri Tinjau sistem surya sederhana seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 15.18, yang terdiri dari sebuah bintang besar (bermassa M) dan sebuah planet ringan yang
beredar mengi- tarinya. Menurut gravitasi Newton, garis edarnya adalah elips sempurna dengan
bintang M terletak pada salah satu titik apinya. Persamaan elips adalah
1+𝑒
𝑟 = 𝑟𝑚𝑖𝑛 (15.21)
1+𝑒 cos 𝜙

dengan r min adalah jarak minimum antara planet dan bintang, dan e adalah eksentrisitas elips
(derajat penyimpangan elips dari bentuk lingkaran; untuk lingkaran e 0). Apabila r = mins
planetnya di- katakan berada pada perihelion; ini terjadi secara teratur, pada titik yang sama dalam
ruang, ketika 𝜙 = 0, 2π, 4π,.... Menurut relativitas umum, garis edar atau orbit planet tidaklah
berupa elips tertutup; pengaruh ruang-waktu lengkung di sekitar bintang menyebabkan arah
perihelion sedikit mengalami presesi, seperti diperlihatkan pada Gambar 15.19. Setelah
melengkapi satu edaran, planet kembali ke rmin, tetapi pada 𝜙 yang sedikit berbeda; selisih
∆𝜙 dapat dihitung dari relativitas umum, yang menurutnya garis edar planet adalah

1+𝑒
𝑟 = 𝑟𝑚𝑖𝑛 (15.22)
1+𝑒 cos(ϕ−∆ϕ)

6𝜋𝐺𝑀
∆𝜙 = 𝑐 2 𝑟𝑚𝑖𝑛(1+𝑒) (15.23)

Bagi matahari, 67GM/𝑐 2 = 27,80 km, sehingga dengan demikian bagi nilai rmin terkecil pun (bagi
planet Merkuri, 46 x 106 km) ∆𝜙 berorde sekitar 106 radian, suatu angka yang sangat kecil.
Walapun demikian, efek ini bersifat kumulatif; artinya, terus bertambah untuk setiap edaran,
sehingga setelah Nedaran, perihelion maju sebanyak N∆ϕ. Presesi ini selalu dinyatakan dalam
presesi total per abad (per 100 tahun Bumi). Beberapa nilainya disajikan dalam Tabel 15.1.

Presesi yang diperkirakan ternyata sangat kecil, dalam orde beberapa busur derajat per
abad, namun demikian telah diukur dengan keteli- tian tinggi. Bagi ketiga planet terdekat ke
matahari, dan bagi asteroida Ikarus, nilai pengukurannya cocok dengan ramalan relativitas umum.
Orde kecocokan terbaiknya berada dalam batas sekitar 1 persen.
Percobaan ini sangat sulit dilakukan karena eksentrisitas planet umumnya kecil (kecuali
planet Merkurius dan asteroida Ikarus) dan bahwa penentuan letak perihelion tidaklah mudah.
Persoalan yang lebih berat adalah efek lain, yang tidak berkaitan dengan relativitas umum, juga
menyebabkan presesi tampak dari perihelion. Dalam kasus Mer kurius, presesi yang diamati
adalah sekitar 5601" per abad; dari jumlah itu, 5026" disebabkan oleh presesi ekuinoks Bumi
(suatu efek mekanika Newton klasik dari rotasi Bumi) dan 532" disebabkan oleh tarikan gra- vitasi
dari planet lain pada Merkurius (juga suatu efek gravitasi Newton klasik). Hanyalah perbedaan
43" yang disebabkan oleh relativitas umum.
Singularitas Schwarzschild Pemecahan Schwarzschild bagi selang antara dua titik dari ruang-
waktu lengkung di dekat sebuah benda ber massa M diberikan oleh Persamaan (15.7). Pemecahan
2𝐺𝑀
Schwarzschild ini mengandung suatu persoalan yang mengganggu: kehadiran suku (1 − 𝑐 2 𝑟 )
dalam penyebut menyebabkan selang ds menjadi "takhingga" pada jari-jari Schwarzschild
𝑟𝑠 = 2𝐺𝑀/𝑐 2 (5.24)
Jarak r, diukur dari pusat M, seperti diperlihatkan pada Gambar 15.20. Hal ini sebagian merupakan
persoalan pemilihan koordinat yang kita gunakan dalam Persamaan (15.7); tidak satu pun
koordinat bermakna fisika yang menuju takhingga pada r = rs. Sebuah benda yang tertarik menuju
massa M sama sekali tidak merasakan sesuatu yang aneh ketika melewati jarak r = rs. Tetapi bagi
pengamat luar (dari benda yang tertarik itu), keadaannya dapat menjadi sangat berbeda. Sebagai
contoh, relativitas umum meramalkan bahwa detak jam dalam potensial gravitasi yang berbeda
juga tidak sama. Bagi seorang pengamat luar yang berada jauh sekali dari M, detak jam yang
diambil benda yang tertarik itu akan tampak semakin lambat ketika jarak r, semakin didekati, dan
ketika bendanya mencapai rs, detak jam tersebut (dan bendanya) akan tampak berhenti untuk
selamanya di kedudukan itu! Pada saat yang sama, menurut pengamat jauh, cahaya yang
dipancarkan dari benda yang jatuh itu mengalami pergeseran merah yang semakin besar, dan
menjadi takhingga ketika jarak r dicapai benda; dengan demikian bendanya hilang dari pandangan!
Ben- danya sendiri sebenarnya tidak merasakan sesuatu yang aneh terjadi

GAMBAR 15.20 Sebuah benda bermassa M dengan horison peristiwanya (jari-jari


Schwarzschild) r Benda ini menjadi sebuah lubang-hitam hanya jika seluruh massa M berada di
dalam
pada dirinya dengan satu perkecualian: Pada kedudukan sebelum jarak r, dicapai, benda tersebut
dapat melepaskan diri dari tarikan gravitasi M, misalnya dengan menyalakan mesin roketnya.
Tetapi, begitu jarak rs, dilewati, benda apapun (termasuk cahaya sekalipun) tidak mungkin lagi
melepaskan diri. Dalam bahasa yang lazim bagi kita, kecepatan larinya (escape velocity) haruslah
lebih besar daripada c, suatu hal yang tidak mungkin (not even light). Tidak mungkin ada
komunikasi yang dapat dijalin dari daerah di dalam rs, ke alam di luar rs. Segala sesuatu yang
berada di dalam daerah rs, termasuk bintang seterang apa pun, hilang sama sekali dari alam
semesta di luarnya! (Bintangnya memang masih terus melakukan gaya tarik gravitasi pada
berbagai benda yang berada di luar rs atau, dalam bahasa relativitas umum, melengkung- kan
ruang-waktu di luar rs). Sebuah benda yang seluruh massa M-nya terletak di dalam jari-jari rs,
yang oleh karena itu memperagakan semua sifat tadi, kini dikenal sebagai sebuah lubang hitam
(black hole). Jari-jari rs ini dikenal sebagai horison peristiwa (event horizon), karena semua

peristiwa yang terjadi di dalam rs, tersembunyi dari pandangan pengamat luar.
Apakah lubang hitam benar ada di alam, ataukah hanyalah sekedar suatu keingintahuan
matematika yang muncul dari matematika rela- tivitas umum, kini menjadi subjek penelitian aktif
para astrofisikawan. Untuk membentuk objek ini, zat biasa harus dapat dimampatkan hingga
mencapai kerapatan tinggi. Tabel 15.2 memperlihatkan nilai r, dari beberapa wakil objek. Agar
Bumi menjadi sebuah lubang hi- tam, massanya harus dimampatkan hingga jari-jarinya menjadi
lebih kecil daripada 1 cm, sedangkan untuk matahari hingga jari-jarinya mencapai 3 km! Telah
diduga bahwa kerapatan dan tekanan tinggi yang diperlukan untuk menciptakan suatu lubang
hitam mungkin terjadi secara alamiah ketika bintang bermassa cukup besar mencapai titik akhir
evolusinya (lihat Pasal 15.9) atau pada tahap-tahap awal evolusi jagat raya (Pasal 16.4).
Medan gravitasi sebuah lubang hitam di tempat yang jauh, seperti halnya dengan objek
biasa lainnya, berciri Newton dan semua efek ruang-waktu lengkungnya menjadi kecil. Sebagai
contoh, dinamika sebuah planet atau bintang lain yang mengedari sebuah lubang hitam pada jarak
r >>rs, hingga ketelitian sangat tinggi, tunduk pada hu- kum gravitasi 1/𝑟 2 biasa. Sedangkan di
dekat sebuah lubang hitam (atau, umumnya di dekat objek yang bermassa padat), efek ruang-
waktu lengkung dapat sedemikian besarnya sehingga perbedaan an- tara relativitas umum dan
gravitasi Newton menjadi mencolok dan mungkin mudah diamati. Dengan demikian, penemuan
lubang hitam dapat dimanfaatkan sebagai "laboratorium" ideal untuk menguji relativitas umum di
mana kelengkungan ruang-waktu adalah besar.
2.5. EVOLUSI BINTANG
Persoalan memahami struktur dan evolusi jagat raya sangatlah rumit. Kita telah mencirikan fusi
inti sebagai sumber energi utama dalam bintang, namun pengetahuan kita mengenai penampang
reaksi berbagai reaksi inti dari daur fusi belum cukup lengkap untuk meyakinkan hasil perhitungan
kita mengenai laju reaksi yang bersangkutan. (Kita biasa-nya berpendapat bahwa pusat matahari
adalah suatu tempat yang sangat panas, penuh berisi partikel berenergi tinggi, namun suhunya
yang sekitar 107 K itu hanyalah berkaitan dengan energi kinetik partikel sekitar 1 keV. Dalam
berbagai laboratorium di Bumi, reaksi inti yang kita pelajari adalah pada rentang energi MeV.
Dengan demikian rasanya memprihatinkan bahwa keterbatasan pemahaman kita menge- nai
pembangkitan energi di bintang bukannya disebabkan karena kita tidak dapat mencapai energi
yang cukup tinggi, melainkan karena sulit bagi kita untuk mempelajari semua reaksi ini pada
energi yang rendah!).
Meskipun pemahaman kita mengenai fisika inti lebih lengkap, kita masih tetap menghadapi
kesulitan memahami struktur fisis bintang. Sebagai contoh, karena kita mengetahui massa dan jari-
jari berbagai bintang, kita dapat menghitung kerapatan rata-ratanya, tetapi informasi ini tidak
memberitahu kita mengenai bagaimana kerapatan itu berubah dari satu tempat ke tempat lain di
dalam bintang. Laju ter jadinya suatu reaksi inti bergantung pada kerapatan tertinggi di pusat
bintang, bukan pada kerapatan rata-ratanya. Suhu permukaan sebuah bintang dapat ditentukan dari
radiasi yang dipancarkannya, tetapi suhu permukaan bintang (103 hingga 104 K) adalah lebih kecil
daripada suhu bagian dalamnya (107 K), dan kita tidak dapat menentukan ba gaimana suhu itu
berubah dari satu tempat ke tempat lain di dalam bintang. Kecemerlangan bintang bergantung pada
bagaimana energi inti (yang sebagian besarnya adalah sinar gamma) yang dihasilkan di sekitar
pusatnya diserap dan kemudian dipancarkan kembali sebagai cahaya tampak, suatu proses yang
juga berubah dari satu tempat ke tempat lain di dalam bintang.
Meskipun dihadapkan pada semua kesulitan ini, kita dapat menyusun suatu model teori
yang masuk akal mengenai evolusi dan struktur bin- tang. Dalam pasal ini kita akan menjajaki dan
merumuskan model ini, sedangkan riwayat akhir sebuah bintang akan kita tinjau dalam pasal
berikutnya.
Kita mulai dengan suatu awan gas hidrogen yang besar, dingin, dan menyebar, sebagai
hasil riwayat awal jagat raya. (Dalam bab berikut akan kita pelajari bahwa awan ini mengandung
sekitar 25 persen helium, namun pengaruhnya tidaklah penting bagi perhitungan ini). Karena
atom-atom gas tersebut bermuatan netral dan intinya ber- jauhan, maka satu-satunya gaya yang
berperan adalah gaya gravitasi antara atom-atom tersebut. Di bawah pengaruhnya, awan mulai
menyusut. Ketika jarak rata-rata antaratom berkurang, energi potensial gravitasi V = -Gm1m2/r
juga berkurang, dan untuk mengimbangi energi total, energi kinetiknya harus bertambah, yang
diikuti pula dengan suatu tambahan kenaikan suhu. Sewaktu awan semakin menyu- sut, lebih
banyak atom yang akan tertarik menuju pusat awan, sehingga kerapatan dan suhu di sekitar
pusatnya naik dengan lebih cepat diban- dingkan terhadap saham daerah luar pusatnya.
Sewaktu suhu bergerak naik perlahan-lahan, gas itu mulai memancarkan radiasi, sama
seperti sebuah benda hitam: semakin tinggi suhu, semakin banyak radiasi yang dipancarkan. Setiap
perubahan energi potensial gravitasi selalu disertai dengan suatu peningkatan dalam energi kinetik
K dan energi radiasi U:
|∆𝑣| = ∆𝑘 + ∆𝑈 (15.25)
Sama halnya dengan memanaskan objek biasa, awan tadi mula-mula memijar dengan warna merah
gelap. Ukurannya masih tetap lebih besar daripada bintang akhir yang kelak terbentuk, mungkin
10 kali lebih besar, dan suhunya mungkin dalam orde 1000 K.
Sewaktu awan itu terus menyusut, terutama suhu di sekitar pusat- nya, naik dengan cepat
sekali. Akhirnya, suhu dalam rentang 107 K tercapai, sehingga reaksi inti mulai berlangsung, dan
lahirlah sebuah bintang. Ini terjadi setelah penyusutan berjalan selama sekitar 106 tahun.
Bintang sekarang memasuki masa stabil, dan penyusutan selanjut nya dihadang oleh
tekanan keluar radiasi (foton) yang menjalar dari teras ke permukaan bintang. Bintang terus
membangkitkan energi dalam reaksi fusi pada tingkat laju reaksi yang ditentukan oleh massa- nya;
untuk bintang seperti matahari, masa ini bertahan selama 1010 tahun, sedangkan bagi bintang yang
lebih berat (10 hingga 100 kali massa matahari) pembakaran selama masa ini hanya bertahan
selama 107 tahun.
Reaksi-reaksi fusi dasar yang dibahas dalam Pasal 10.6 adalah yang menghasilkan energi
yang dipancarkan bintang, yaitu ketika empat buah proton bergabung untuk membentuk satu inti
helium, dengan pelepasan energi sebesar 26,7 MeV. Sama halnya dengan matahari kita, sebagian
besar bintang menghasilkan energinya dari daur proton-proton; bahwa pada semua bintang ini
tidak berlangsung daur karbon, mungkin karena mereka tidak terlalu panas, atau memang tidak
terdapat inti karbon di sana. (Dalam Pasal 10.6 telah diperlihatkan bahwa karbon hanyalah
berperan sebagai suatu katalisator).
Bergantung pada ketersediaan 4He, daur proton-proton yang lain dapat pula terjadi
Matahari kita mungkin menghasilkan sebagian besar energinya melalui kelompok kedua dari
ketiga kemungkinan reaksi ini.
Helium yang hadir dalam awan gas semula, bersama yang dihasilkan melalui reaksi fusi,
membentuk suatu teras pada pusat bintang, karena helium lebih berat daripada hidrogen (lihat
Gambar 15.21). Di sekeliling lapisan helium itu terdapat suatu lapisan tempat berlangsungnya

reaksi fusi hidrogen. Jari-jari terluar lapisan ini kurang dari 10 persen jari- jari bintang. Sebagian
besar energi fusi dilepaskan dalam bentuk sinar gamma (95 persen), dan neutrino (5 persen), yang
harus menjalar ke permukaan bintang dan kemudian terpancarkan ke angkasa luar. Karena sinar
gamma mengalami hamburan Compton yang berulang- kali dalam materi matahari yang padat,
maka ia membutuhkan waktu.
GAMBAR 15.21 Gambar penampang matahari. Energi fusi dibangkit- kan dalam suatu daerah di
sekitar pusatnya. Sinar gamma yang dipancarkan dihamburkan berkali-kali pada daerah terluarnya,
sedangkan neutrino menerobosinya dengan mudah.
105 hingga 106 tahun untuk mencapai permukaan bintang-cahaya matahari yang kita lihat
sekarang dibangkitkan dalam reaksi inti yang mungkin terjadi sejuta tahun yang lalu! Selain itu,
sinar gamma juga mengalami kehilangan energi sehingga ketika tiba di permukaan bintang mereka
menjadi sinar tampak akibatnya apa yang kita lihat sebenar- nya lebih merupakan ciri khas
permukaan matahari ketimbang bagian dalamnya. Sebaliknya, neutrino, memiliki penampang
interaksi yang sangat kecil, sehingga mereka menembus langsung materi matahari dengan laju
cahaya. Dengan demikian, pengkajian terhadap neutrino matahari merupakan suatu cara untuk
mengkaji teras matahari dan semua proses inti yang terjadi di sana.
Peluruhan tangkapan elektron dari 7Be (dalam kelompok yang ke- dua reaksi proton-
proton) memiliki nilai Q sebesar 0,862 MeV; karena energi pental 7Li kecil sekali, maka suatu
neutrino berenergi tunggal 0,862 MeV tentulah dapat diamati. Selama tujuh tahun terakhir ini, R.
Davis dari Brookhaven National Laboratory telah melakukan peneli- tian untuk menangkap semua
neutrino ini. Laboratorium yang diba- ngunnya untuk tujuan ini ditempatkan pada kedalaman satu
mil di bawah permukaan bumi (untuk memerisai pengaruh sinar kosmik) di daerah pertambangan
emas Homestake Gold Mine, negara bagian South Dakota, Amerika Serikat. Peralatan yang
digunakannya diperlihatkan pada Gambar 15.22. Semua neutrino datang diterima oleh sebuah
tanki berisi 100.000 galon cairan tetrakloroetilen (C2Cl4) dan memberikan reaksi berikut:
37 37
𝑣+ 17𝐶𝑙20 → 18𝐴𝑟19 + 𝑒−
Karena nilai bagi reaksi ini adalah -0,814 MeV, maka neutrino matahari 0,862 MeV memiliki
cukup energi untuk menghasilkan reaksi ini. Gas Ar adalah suatu gas mulia, dan dapat diambil dari
cairan dengan proses penggelembungan (bubbling). Ia juga bersifat radio

GAMBAR 15.22 Percobaan neutrino matahari. Tanki besar ini, yang berada satu mil di bawah
permukaan Bumi, berisi 100.000 galon cairan C2Cl4. (Jasa baik foto dari Brookhaven National
Laboratory).
aktif dengan usia-paruh 35 hari. Percobaannya dilakukan secara ber- kala dengan membersihkan
tanki dan menentukan kandungan 37 Ar dalam gas yang dikeluarkan. Neutrino menerobos materi
matahari karena memiliki penampang interaksi yang kecil; dengan alasan yang sama, peluang inti
Cl untuk menangkap mereka juga sangat kecil, sehingga meskipun tanki Davis berisi sekitar
1030 buah atom Cl, laju pembentukan 37 Ar yang diperkirakan hanyalah sekitar satu atom per hari!
Dari jumlah Ar37 yang diperoleh, Davis dapat menyimpulkan fluks neutrino matahari.
Setelah melakukan percobaannya selama hampir 10 tahun, hasilnya menunjukkan bahwa yang
ditemukan hanyalah sekitar sepertiga dari nilai yang diperkirakan berdasarkan pemahaman kita
mengenai berbagai proses fusi dan sifat neutrino dewasa ini. Hasil teka-teki ini hingga sekarang
belum terpecahkan, dan mungkin menun jukkan bahwa pengetahuan kita mengenai berbagai sifat
teras mata- hari dan proses yang terjadi di sana belumlah lengkap, atau mungkin kita tidaklah
memperhitungkan secara tepat sifat neutrino itu sendiri
2.6. NUKLEOSINTESIS
Riwayat akhir sebuah bintang yang telah menghabiskan bahan bakar hidrogennya
bergantung pada massanya. Yang umumnya benar berlaku adalah bahwa begitu fusi hidrogen
terhenti, penyusutan gravitasi kembali berlangsung, yang menaikkan suhu bintang dan
memungkinkan terjadi reaksi fusi antara helium dengan unsur-unsur yang lebih berat. Selama
terjadinya semua proses ini, bintang mungkin berada dalam suatu masa stabil; namun yang pasti
adalah: bintang sedang memasuki masa tuanya dan akan segera menghabiskan seluruh energi
fusinya yang tersedia dan kemudian mati, mungkin dengan melepaskan sisa energinya secara
perlahan dan berubah menjadi sebuah bintang katai putih, atau terus menyusut menjadi suatu
bintang neutron atau lubang hitam yang memiliki kerapatan luar biasa besar, atau mungkin
melepaskan seluruh energi sisanya (dan sebagian besar materinya) melalui suatu ledakan sebagai
suatu supernova, yang untuk beberapa hari menyinari seluruh galaksi.
Proses fisika yang terjadi pada sebuah bintang yang mengalami penyusutan akan dibahas
secara terinci dalam beberapa pasal berikut dari bab ini. Dalam pasal ini kita hanya akan
memusatkan perhatian pada berbagai proses inti yang terjadi bersama proses penyusutan ini.
Materi purba yang dihasilkan dari proses kelahiran jagat raya (lihat Pasal 16.3) terdiri atas 75
persen hidrogen dan 25 persen helium; semua unsur kimia lainnya dibentuk oleh berbagai reaksi
inti pada bagian dalam bintang. Hidrogen dan helium awal ini terpadatkan ke bagian dalam
bintang, di mana fusi inti mengubah sebagian besar hidrogen itu menjadi helium oleh reaksi-reaksi
yang telah kita tinjau dalam pasal sebelum ini. Suhu picu bagi semua reaksi ini adalah sekitar 107
K; pada suhu ini energi kinetik termal proton cukup besar untuk melampaui tolakan Coulomb
antara mereka. Energi kinetik termal ini diper- oleh dari kehilangan energi potensial gravitasi awan
gas pembentuk bintang.
Ketika hidrogen diubah menjadi helium, penyusutan gravitasi kembali berlangsung, dan
suhu teras bintang naik dari sekitar 107 K menjadi sekitar 108 K. Pada tingkat suhu ini, tersedia
energi kinetik termal yang cukup untuk melampaui tolakan Coulomb antara inti helium, dan
mulailah berlangsung fusi helium. Dalam proses ini, tiga buah inti 4He diubah menjadi 12C
melalui proses dua-tahap berikut:
4𝐻𝑒 + 4𝐻𝑒 → 8𝐵𝑒
8𝐵𝑒 + 4𝐻𝑒 → 12𝐶
Reaksi pertama bersifat endotermik, dengan nilai Q sebesar 92 keV.
Inti 8Be tidaklah stabil, dan meluruh kembali menjadi dua partikel alfa dalam waktu 101016 detik.
Meskipun demikian, faktor Boltzmann 𝑒 −∆𝐸 /𝑘𝑇 menunjukkan bahwa pada suhu 108 K, akan
terdapat konsen- trasi kecil inti 8Be. Reaksi kedua berlangsung melalui suatu resonan- si dan
karena itu memiliki penampang reaksi yang sangat besar. Walaupun inti 8Be cepat sekali meluruh,
masih ada peluang untuk memben- tuk inti 12C. Neto nilai Q bagi proses ini adalah 7,3 MeV, atau
sekitar 0,6 MeV per nukleon, jauh lebih kecil daripada energi 6,7 MeV per nukleon yang dihasilkan
oleh pembakaran hidrogen. Begitu cukup banyak 12C yang dibentuk dalam teras bintang, reaksi
partikel alfa lainnya berpeluang terjadi, seperti
12𝐶 + 4𝐻𝑒 → 20𝑁𝑒 + 4𝐻𝑒
16𝑂 + 4𝐻𝑒 → 20𝑁𝑒
20𝑁𝑒 + 4𝐻𝑒 → 24𝑀𝑔
Setiap reaksi ini bersifat endotermik, yang melepaskan energi sekitar beberapa MeV, sehingga
turut pula memberi saham pada pembangkitan energi bintang. Pada suhu yang lebih tinggi lagi
(109 K) mulailah terjadi pembakaran karbon dan oksigen:
12𝐶 + 12 𝐶 → 20𝑁𝑒 + 4𝐻𝑒
16𝑂 + 16𝑂 → 28𝑆𝑖 + 4𝐻𝑒
Akhirnya, inti 56Fe tercapai, dan pada saat ini tidak ada lagi energi yang dapat dihasilkan melalui
proses fusi (Gambar 9.4). Jika penjelasan pembentukan berbagai unsur ini benar, kita mem
perkirakan bahwa kelimpahan unsur-unsur ini memiliki ketiga sifat berikut:
1. Unsur ringan dengar. Z-genap memiliki kelimpahan relatif yang besar; unsur dengan Z-
ganjil memiliki kelimpahan relatif yang kecil.
2. Sedikit atau mungkin tidak ada unsur antara He dan C (Li, Be, B) yang dihasilkan dalam
semua reaksi ini.
3. Fe, hasil akhir daur fusi, memiliki kelimpahan relatif yang besar.
Gambar 15.23 memperlihatkan kelimpahan relatif unsur-unsur ringan dalam sistem tata surya,
yang tampak sesuai dengan ketiga perkiraan di atas. Setiap unsur Z-genap adalah 10 hingga 100
kali lebih melimpah daripada unsur tetangga Z-ganjilnya. Pada Fe terdapat puncak yang mencolok.
Unsur-unsur berat dengan Z > 30, bila digabungkan.

GAMBAR 15.23 Kelimpahan relatif (dalam berat) beberapa unsur setelah helium dalam sistem
tata surya.
bersama, ternyata masih kurang melimpah daripada setiap unsur lain nya kecuali satu dalam
rentang C hingga Zn, dan ketiga unsur Li, Be, B sangat kurang melimpah dibandingkan terhadap
semua unsur dalam rentang C hingga Zn. Unsur ringan dengan Z-ganjil dapat dihasilkan oleh
reaksi alternatif antara berbagai hasil fusi, seperti:
12𝐶 + 12𝐶 → 23𝑁𝑎 + 1𝐻
16𝑂 + 16𝑂 → 31𝑃 + 1𝐻
Kelimpahan nitrogen hampir sama dengan kedua unsur tetangganya, C dan O, yang adalah dua
unsur terlimpah setelah H dan He; nitrogen memiliki kelimpahan yang lebih besar daripada semua
unsur Z-ganjil yang diperlihatkan, dan lebih besar daripada semua unsur Z - genap dengan Z> 8.
Oleh karena itu, pembentukan nitrogen tentulah merupakan suatu proses yang relatif sering terjadi
di bintang. Karena unsur B begitu jarang, partikel alfa sama sekali tidak membantu dalam
pembentukan nitrogen. Sumber yang paling mungkin bagi N adalah
12𝐶 + 1𝐻 → 13𝑁 + 𝛾
13𝑁 → 13𝐶 + 𝑒 + + 𝑣
13𝐶 + 1𝐻 → 14𝐻 + 𝛾
16𝑂 + 1𝐻 → 17𝐹 + 𝛾
17𝐹 → 17𝑂 + 𝑒 + + 𝑣
17𝑂 + 1𝐻 → 14𝑁 + 4𝐻𝑒
Isotop-isotop stabil 13C dan 170 ditemukan dalam unsur karbon dan oksigen alam dengan
kelimpahan 1,1 persen dan 0,04 persen, yang memberi kesan bahwa reaksi jenis ini memang
terjadi.
Pembentukan semua unsur setelah besi memerlukan kehadiran neu- tron, yang tidak
dihasilkan dalam semua reaksi yang kita pelajari sejauh ini, karena neutron hanya dapat
dipancarkan dalam reaksi dengan inti yang memiliki kelebihan neutron. Jika terdapat cukup
banyak isotop berat, seperti 13C, 170, atau 21Ne, yang terbentuk, maka ketiga reaksi berikut dapat
menghasilkan neutron:
13𝐶 + 4𝐻𝑒 → 16𝑂 + 𝑛
17𝑂 + 4𝐻𝑒 → 20𝑁𝑒 + 𝑛
21𝑁𝑒 + 4𝐻𝑒 → 24𝑀𝑔 + 𝑛
Bagaimana caranya unsur-unsur berat dibangun oleh tangkapan neutron? Marilah kita
tinjau efek tangkapan neutron pada 56Fe, seperti yang kita lakukan pada Bab 10:
56𝐹𝑒 + 𝑛 → 57𝐹𝑒 (𝑠𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙)
57𝐹𝑒 + 𝑛 → 58𝐹𝑒 (𝑠𝑡𝑎𝑏𝑖𝑙)
1
58𝐹𝑒 + 𝑛 → 59𝐹𝑒 (𝑡 = 45 ℎ𝑎𝑟𝑖)
2
Apa yang berikutnya terjadi bergantung pada jumlah neutron yang tersedia. Jika jumlahnya
kecil, peluang 59Fe bertemu sebuah neutron sebelum ia meluruh ke 59Co adalah kecil, maka
prosesnya mungkin berkelanjutan sebagai berikut:
59𝐹𝑒 → 59𝐶𝑜 + 𝑒 − + ῡ
1
59𝐶𝑜 + 𝑛 → 60𝐶𝑜 (𝑡 = 5 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
2
60𝐶𝑜 → 60𝑁𝑖 + 𝑒 − + ῡ
Sebaliknya, jika jumlah neutron sangat besar, maka proses kedua dengan deretan reaksi
berikut yang mungkin terjadi:
1
59𝐹𝑒 + 𝑛 → 60𝐹𝑒 (𝑡 = 105 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
2
1
60𝐹𝑒 + 𝑛 → 61𝐹𝑒 (𝑡 = 6 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛)
2
61𝐹𝑒 → 61𝐶𝑜 + 𝑒 − + ῡ
61𝐶𝑜 → 61𝑁𝑖 + 𝑒 − + ῡ
Jika kerapatan neutron sedemikian rendahnya sehingga peluang bertemu dengan sebuah
neutron, secara rata-rata, adalah lebih kecil daripada sekali dalam setiap 45 hari, maka proses
pertama yang akan dominan, dengan hasil pembentukan unsur 60Ni. Jika peluang ber- temu
dengan sebuah neutron adalah hampir sekali setiap beberapa menit, maka proses kedualah yang
dominan, dan tidak ada unsur 60Ni yang terbentuk.
Jenis proses pertama di atas, yang terjadi secara lambat sehingga memungkinkan inti-inti
yang terbentuk mengalami peluruhan beta, disebut proses-s (s untuk slow: lambat); proses kedua,
yang terjadi sangat cepat, dikenal sebagai proses-r (r untuk rapid: cepat).
Kerapatan neutron di dalam bintang biasa sangatlah rendah sehingga waktu rata-rata yang
diperlukan untuk menangkap sebuah neutron mungkin dalam orde tahunan, jadi yang dominan
adalah proses-s. Andaikanlah kita mempunyai sebuah inti bernomor massa A dengan kelimpahan
NA. Inti ini dihasilkan oleh reaksi tangkapan neutron dari sebuah inti lain dengan nomor massa A-
1. Kelimpahan Na ini kemudian menurun oleh suatu reaksi tangkapan neutron, yang meng-
hasilkan sebuah inti dengan nomor massa A+1. Maka, laju perubahan N adalah
𝑑𝑁𝐴
∝ 𝜎𝐴 − 1 − 𝜎𝐴𝑁𝐴 (15.26)
𝑑𝑡

dengan σA-1 dan σ adalah berturut-turut penampang reaksi tangkap- an neutron bagi inti dengan
nomor massa A - 1 dan A. Semakin besar penampang σ, semakin kecil kelimpahan NA; penampang
reaksi yang besar berarti bahwa suatu fraksi NA, yang besar akan bereaksi membentuk inti-inti
dengan A+ 1, jadi dengan demikian menurunkan NA. Karena proses-s berlangsung dalam selang
waktu yang sangat lama, suatu keadaan setimbang dapat tercapai dalam mana laju pem- bentukan
A sama dengan pemusnahannya. Untuk keadaan setimbang ini berlaku dNA/dt = 0, yang
memberikan
𝜎𝐴 − 1𝑁𝐴 − 1 = 𝜎𝐴𝑁𝐴 = 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 (15.27)
Untuk inti-inti yang sedikit berada di atas puncak besi, hasilkali 𝜎N haruslah menurun, karena
semua inti tersebut dihasilkan secara cepat (bukan melalui proses s) dan kemudian bereaksi secara
lambat, sehingga kesetimbangan tidak tercapai. Hanyalah bagi inti-inti berat kesetim- bangan
dapat tercapai. Gambar 15.24 memperlihatkan hasil kali 𝜎N bagi beberapa unsur dengan A> 56,
ketergantungan yang diperkirakan tampak dari variasi titik-titik data. Tepat di atas A 𝜎N menurun,
tetapi di atas A bangan tercapai. = 56, hasil kali 100, 𝜎N mendatar ketika kesetimbangan

GAMBAR 15.24 Hasil kali kelimpahan dan penampang reaksi bagi unsur-unsur setelah Fe.
Sebagaimana yang diperkirakan bagi unsur-unsur yang dihasilkan dalam proses-s, hasilkalinya
menjadi hampir tetap untuk inti-inti berat.
Unsur terberat yang dapat dibangun dari proses-s tangkapan neutron adalah 209 Bi; usia-
paruh semua isotop setelah 209 Bi terlalu singkat un- tuk memungkinkan berlangsungnya proses-
s. Kehadiran unsur-unsur berat seperti thorium atau uranium memberi kesan bahwa proses r harus
pula berlangsung. Proses r juga penting bagi unsur-unsur ringan. Sebagai contoh, inti 70Zn tidak
dapat dibentuk oleh proses s tangkap- an neutron dalam isotop Zn, karena usia-paruh "Zn terlalu
singkat (56 menit). Contoh inti lain untuk mana proses r penting adalah 76Ge, 82Se, 86Kr, dan
96Zr.
Proses r lebih mungkin terjadi selama berlangsung ledakan super- nova, yaitu setelah sebuah
bintang yang telah menghabiskan seluruh sisa energinya, meledak menjadi tercerai-berai.
Peledakan yang ber- langsung singkat, dalam orde beberapa detik itu, menghasilkan fluks neutron
yang luar biasa besar (mungkin 1032 n/cm²/s), yang kemu- dian membangun semua unsur berat
hingga sekitar A = 260. Ketika ledakan terakhir terjadi, semua unsur ini terlempar ke angkasa luar,
dan menjadi bagian dari suatu sistem bintang yang baru. Atom-atom berat yang membentuk Bumi
kita ini, mungkin dihasilkan pula dalam ledakan seperti itu.
2.7. BINTANG KATAI PUTIH
Begitu sebuah bintang menghabiskan bahan bakar hidrogennya, sehingga susunannya
sebagian besar terdiri dari helium, fusi hidrogen tidak lagi mampu menghadang penyusutan
gravitasi selanjutnya. Oleh karena itu, teras helium mulai menyusut, dan menaikkan lagi suhu
bintang ketika energi potensial gravitasi diubah menjadi energi kinetik termal. Kerapatan teras
bintang kini meningkat dari 100 g/cm³ menjadi sekitar 105 g/cm³, dan suhunya meningkat menjadi
sekitar 108 K. Pada tahap ini mulailah terjadi pembakaran helium.
Ada satu lagi efek kenaikan suhu yang berkaitan dengan penyusutan teras ini-tekanan
radiasi yang meningkat mendorong lapisan luar bin- tang hingga jari-jarinya menjadi ratusan atau
ribuan kali lebih besar. Energi total yang dihasilkan bintang kini haruslah disebar pada permukaan
bintang yang lebih luas, sehingga energi persatuan luasnya menurun suhu permukaan bintang kini
tampak lebih rendah atau bin- tang tampak menjadi lebih merah. Ini adalah tahap "raksasa merah.
"Jika matahari kita menjadi suatu bintang raksasa merah, jari-jarinya akan mencakup orbit
Merkurius dan Yenus.
Pada tahap raksasa merah ini bintang raelanjutkan riwayatnya dengan pembakaran helium,
dan mungkin unsur-unsur berat lainnya hingga daur fusi berakhir dengan pembentukan inti
56Fe.Pada tahap ini tidak tersedia lagi energi fusi untuk mencegah penyusutan gravitasi seluruh
bintang, sehingga gravitasilah yang kini mengambil alih kembali kelangsungan riwayat bintang.
Setelah melampaui suatu tahap singkat sebagai suatu nova, bintang tadi terus menyusut hingga
menjadi sebuah katai putih (white dwarf), dengan kerapatan sekitar 106 g/cm³ dan suhu permukaan
dalam orde 104 K. Sebuah bintang katai putih dengan massa sama dengan massa matahari me-
miliki ukuran yang sama besar dengan Bumi kita. Ketika energinya dipancarkan, suhunya semakin
menurun dan ia pada akhirnya menjadi sebuah katai hitam, yaitu suatu gumpalan debu dingin yang
tersisa dari bintang semula.
Gaya apakah yang menghadang penyusutan gravitasi selanjutnya dari sebuah bintang katai
putih? Pada kerapatan yang sedemikian tinggi itu, atom-atom berdesakan sedemikian dekatnya
sehingga fungsi gelombang elektronnya mulai bertumpang-tindih. Seperti halnya pada pem-
bentukan molekul, timbul gaya tolak yang cenderung melawan ke tumpang tindihan tersebut,
karena berlakunya asas larangan Pauli yang mencegah dua elektron memiliki bilangan-bilangan
kuantum identik. Cara terbaik untuk menggambarkan keadaan ini adalah dengan contoh sebuah
zat padat, di mana energi semua elektron tunduk pada aturan distribusi Fermi-Dirac; elektron-
elektron menempati tingkat- tingkat energi yang sangat rapat, hampir kontinu, mulai dari 0 hingga
energi Fermi Ef, di mana
ℏ2 3𝜋 2 𝑁𝑒 2/3
𝐸𝛾 = 2𝑚𝑒 ( ) (15.28)
𝑉

Dalam pernyataan ini, Ne/V adalah kerapatan elektron. Energi elektron rata-rata adalah 3/5E
sehingga energi elektron total adalah 3/5NeEf. Dapat diperlihatkan bahwa energi potensial
gravitasi total (lihat Soal 9 pada bagian akhir bab ini) adalah -3/5G𝑀2 /R, dengan Madalah massa
total dan R jari-jari bintang. Dengan demikian, energi total bintang katai putih, yang kita anggap
berbentuk bola, berkerapatan seragam, dan bersuhu tetap, adalah
3 ℏ2 3𝜋 2 𝑁𝑒 2 3 𝐺𝑀2 3
𝐸 = 5 𝑁𝑒 2𝑚𝑒 ( )3 − 5 + 2 𝑁𝛼𝐾𝑇 + 𝐸𝑟𝑎𝑑 (15.29)
𝑉 𝑅
Suku pertama mewakili gerak elektron, yang kedua adalah energi poten- sial gravitasi, yang ketiga
memperhitungkan gerak termal atom (Na = jumlah atom), dan suku keempat energi radiasi yang
dipancar kan bintang. Untuk sementara kita akan mengabaikan kedua suku terakhir ini (kelak akan
kita perlihatkan bahwa sahamnya memang sangatlah kecil), dan kita akan menganggap bahwa
bintang tersusun atas N buah nukleon (dalam bentuk hasil fusi seperti besi dan unsur- unsur ringan)
dan kurang lebih ½N buah elektron. Untuk mendapatkan jari-jari keadaan setimbangnya, kita
ambil dE/dR kita peroleh
4 2
33 𝜋 3 ℏ2
𝑅= 2 𝑁 −1/3 (15.30)
8 𝐺𝑚𝑒𝑚𝑛

nyataan yang kita turunkan bagi materi biasa, dan ternyata menge- jutkan, dan mungkin
menghibur, untuk mengetahui bahwa kita dapat memahami keadaan materi ini dari semua
pernyataan tadi. Fisika kuan- tum ternyata juga berlaku baik pada bagian dalam bintang katai
putih! Penyusutan sebuah bintang katai putih dihadang oleh asas larangan Pauli, yang mencegah
fungsi gelombang dua elektron terdesak terlalu dekat. Alam ternyata belum berhenti mengejutkan
kita, dan dalam pasal berikut kita akan mengkaji keadaan materi yang lebih padat lagi.
15.8 BINTANG NEUTRON
Dalam pasal terakhir, kita melakukan sedikit kesilapan dalam meng- hitung sifat-sifat
bintang katai putih. Pernyataan bagi Ef, yang diturunkan dalam Bab 12 menggunakan pernyataan
klasik 𝑝2 /2m, bagi energi kinetik elektron. Ketika kita menghitung energi Fermi, kita dapati
EF=0,194 MeV, jadi tidaklah benar bahwa Ef <<m. Bagi taksiran yang kita buat dalam pasal
terakhir itu, persoalan ini tidaklah terlalu mempengaruhi. Tetapi bila massa sang bintang cukup
besar, E meningkat dan efek relativistik tidak lagi dapat diabaikan. Meskipun demikian, masih
tetap berlaku bahwa bila M (dan karena itu juga N) bertambah, maka Ef juga meningkat. Apakah
asas Pauli mampu menghadang penyusutan bintang apa pun, tidak peduli seberapa besar- pun
massanya?
Terdapat suatu batas massa sekitar 1,4 kali massa matahari, yang disebut massa
Chandrasekhar, di atas mana asas Pauli yang diterapkan pada elektron tidak dapat menghadang
penyusutan gravitasi selanjut nya. Marilah kita lihat bagaimana hal ini terjadi. Bagi sebuah bin-
tang katai putih dengan massa sebesar massa Chandrasekhar, perhitungan klasik kita memberikan
Ef = 0,304 MeV. Tetapi ingat bahwa ini adalah energi di mana distribusi Fermi-Dirac bernilai 0,5.
Masih terdapat ekor distribusi Fermi-Dirac, di mana elektron-elektron pada ekor tersebut memiliki
energi yang cukup tinggi untuk menghasilkan reaksi peluruhan beta invers berikut:
𝑒− + 𝑝 → 𝑛 + 𝑣
yang memiliki nilai Q sebesar 0,782 MeV, tidak terlalu jauh di atas Ef. Reaksi ini akan
menghilangkan sebagian elektron dari bintang, dan dengan demikian menurunkan efek asas Pauli,
sehingga memper- kenankan bintang mengalami sedikit penyusutan (R bergantung pada N𝑒 5/3 ).
Energi Fermi kini meningkat, sehingga mendesakkan lebih banyak elektron berada di atas nilai
Q0,782 MeV, yang mengakibatkan.

J. Robert Oppenheimer (1904-1967, warga Amerika Serikat). Seorang fisi- kawan teori
dengan latar-belakang filsafat. Sungguh tidak dapat dipercaya bahwa ia tercatat menjabat sebagai
direktur laboratorium di Los Alamos yang mengembangkan senjata nuklir pertama. Salah satu
karya teori awal- nya meramalkan tentang kehadiran lubang hitam.
lebih banyak lagi elektron yang dihilangkan dan seterusnya, sehingga semua (atau hampir
semua) elektron musnah. Bintang sekarang hanyalah tersusun dari gas neutron, tanpa gas proton
dan elektron. "Tekanan" elektron kini tidak lagi mampu mengahadang penyusutan gravitasi,
sehingga bintang terus menyusut hingga asas Pauli kembali berlaku bagi gas neutron (yang juga
memenuhi statistik Fermi-Dirac) dan menghadang penyusutan selanjutnya. Keadaan ini diperikan
oleh pernyataan-pernyataan yang identik dengan (15.28) hingga (15.30), namun diterapkan bagi
neutron; yakni
ℏ2 3𝜋2 𝑁 2
𝐸𝑓 = 2𝑚𝑛 ( )3 (15.35)
𝑉
4 2
33 𝜋 3 ℏ2
𝑅= 4 3 𝑁 −1/3 (15.36)
𝐺𝑚𝑛
23

Bagi sebuah bintang dengan massa 1,5 kali massa matahari, misalnya, R = 11 km dan kerapatannya
sekitar 4 x 1014 g/cm³. Ini hampir sama dengan kerapatan bagian dalam inti atom, jadi dalam
penger- tian ini, sang bintang menjadi sebuah inti raksasa, berdiameter 20 km, dengan nomor
massa sekitar 1057 ! Objek-objek seperti itu, kini di- kenal sebagai bintang neutron.
Apakah bintang neutron ini hanyalah sekedar khayalan para fisikawan ataukah mereka
memang benar hadir di alam ini? Pada tahun 1967, para astronom radio di Cambridge University,
Inggris menemu kan suatu sinyal unik di antara pengamatan mereka-suatu pulsa teratur yang luar
biasa tajam, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 15.25, dengan periode 1,34 detik. Karena
sebelumnya tidak ada suatu objek astronomi yang menghasilkan pulsa teratur setajam itu, kelom-
pok Cambridge ini mula-mula menduga bahwa mereka mungkin telah menemukan sinyal-sinyal
dari suatu peradaban berakal angkasa luar. (Objek pemancar pulsa pertama ini, lalu diberi nama
LGM-1; LGM adalah singkatan dari Little Green Men, Orang Cebol Hijau). Dugaan ini kemudian
disanggah (sayang) dan objeknya kemudian diberi nama pulsar. Sejak tahun 1967 telah ditemukan
sekitar 100 buah pulsar lain- nya; semuanya memiliki periode teratur dalam orde satu detik.

GAMBAR 15.25 Sinyal-sinyal radio dari dua pulsar yang berbeda. Rekaman atas adalah dari
pulsar yang pertama kali ditemukan.
Kaitan antara pulsar dan bintang neutron pertama kali diajukan oleh astronom Thomas
Gold setelah pulsar ditemukan. Gold mengemuka kan bahwa penyusutan sebuah bintang yang
berotasi menjadi sebuah bintang neutron haruslah menyebabkan bintang neutron berputar lebih
cepat. (Karena momentum sudut kekal dalam proses penyusutan bintang, penurunan dalam momen
lembam, sewaktu bintang menyusut, haruslah diimbangi dengan peningkatan laju perputaran
bintang). Medan magnet kuat dari objek yang berotasi secepat itu akan menjebak setiap partikel
bermuatan yang dipancarkan dan mempercepatkan mereka hingga mencapai laju yang tinggi, di
mana mereka akan memancarkan radiasi (Gambar 15.26). Ketika bintangnya berputar, berkas
radiasi yang dipancarkan ini akan menyapu ruang sekelilingnya seperti sebuah lampu sorot pencari
atau menara pengawas pantai, dan kita
GAMBAR 15.26 Pemancaran radiasi dari sebuah bintang neutron berputar. Partikel-partikel
bermuatan ditangkap ketika mereka bergerak dalam lintasan spiral mengelilingi garis-garis gaya
medan magnet. Karena medan magnet berotasi dengan laju rotasi yang sama, percepatan
sentripetal partikel yang berada jauh dari bintang akan sangat besar, sehingga semua partikel yang
mengalami percepatan di situ akan memancarkan radiasi.
sempat mengamatinya ketika Bumi disapu oleh sorotannya. Selang waktu antara dua pulsa yang
berturutan, menurut tafsiran ini, adalah separuh dari periode rotasi bintang neutron.
Jika penjelasan mengenai bintang pulsar ini benar, kita seharusnya dapat mengamati
terjadinya sedikit penurunan dalam laju rotasi bin- tang neutron, karena energi yang dipancarkan
haruslah dibayar dengan penurunan energi kinetik rotasi bintang neutron. Efek ini telah dilihat
terjadi pada hampir semua pulsar, dengan jumlah penurunan sebanyak 10−9 bagian per hari.
Walaupun mekanisme yang pasti mengenai penyusutan sebuah bin- tang menjadi sebuah
bintang neutron belum dipahami, kita mencurigai bahwa bintang neutron merupakan sisa ledakan
dahsyat yang dikenal sebagai supernova. Pada tahun 1054, para astronom Cina mengamati suatu
ledakan supernova (yang mereka sebut bintang tamu) yang tam- pak pula pada siang hari selama
beberapa hari. Cincin ledakan itu kini kita lihat sebagai Crab Nebula (Gambar 15.27). Pada pusat
Crab Ne- bula ternyata terdapat sebuah pulsar, yang berotasi dengan periode 30 Hz. Sungguh
mengesankan bahwa tidak satu pun dari sekian banyak foto Crab Nebula yang diambil sebelum
tahun 1967 menampakkan kerdipan pulsar setiap 0,033 detik. Ini disebabkan karena semua gambar
foto tersebut diambil untuk waktu pencahayaan yang cukup lama. Tetapi, jika dilakukan
pengamatan yang saksama, efek kerdipan itu dapat dilihat dengan cukup jelas (Gambar 15.28).
Pengamatan ini mem-
GAMBAR 15.27 Crab Nebula, sisa ledakan supernova yang diamati pada tahun 1054. (Jasa baik
foto dari Kitt Peak National Observatory).
beri kesan bahwa, sekurang-kurangnya dalam kasus ini, pulsar dapatdicirikan sebagai sisa ledakan
supernova. Banyak pulsar kini telah teramati pada berbagai panjang gelombang (optik, sinar X,
sinar y, radio) dengan ketelitian yang luar biasa tinggi

GAMBAR 15.28 Pulsar-tampak dari Crab Nebula. Cahaya terang pada foto atas, dan gelap pada
foto bawah di tempat yang sama memperlihatkan kerdipan pulsar relatif terhadap bintang lainnya
dalam foto. (Jasa baik: Hale Observatories).
sehingga penurunan laju rotasi sebanyak 10-9 bagian per hari dapat teramati dengan mudah.
(Malahan "gempa bintang" pun telah ter- amati, dalam mana kerak terluar bintang neutron
mengalami perge- seran mendadak sebagai tanggapan terhadap perlambatan; penyusutan jari-jari
secara mendadak ini segera menaikkan laju rotasi, yang oleh para astronom disebut "glitch").
2.9. LUBANG HITAM
Bintang neutron masih belum merupakan bentuk terakhir dari penyusutan sebuah bintang
bermassa besar. Jika massa bintang besar sekali sehingga gaya gravitasi cukup kuat untuk
melampaui hadangan asas Pauli, maka tidak ada lagi gaya yang menghadang bintang mengalami
penyusutan total, hingga mencapai sebuah titik. Jika kita dapat me- nyaksikan peristiwa ini, kita
akan dapat melihat materi dalam bentuknya yang paling sederhana, yakni kuark dan lepton,
menghampiri sebuah titik matematik tidak berdimensi, yaitu suatu singularitas. (Proses ini, pada
skala kecil, merupakan kebalikan peristiwa Big Bang yang akan kita bicarakan nanti dalam Bab
16). Kita tidaklah yakin dengan pasti mengenai apa yang terjadi selama tahap terakhir penyusutan
bintang, karena hukum-hukum fisika kuantum dan gravitasi belum di padukan seserasi mungkin
agar memungkinkan kita dapat mengkaji saat-saat terakhir ini; juga kita tidaklah yakin dengan
pasti mengenai batas massa pada tahap akhir penyusutan ini bagi sebuah bintang dengan massa
lebih kecil daripada dua hingga tiga kali massa matahari, akhir penyusutannya mungkin adalah
sebuah bintang katai putih atau sebuah bintang neutron, sedangkan bagi semua bintang yang
massanya lebih besar, mereka akan mengalami penyusutan total ini. Apakah singularitas memang
dicapai, tidaklah dapat kita amati, karena begitu penyusutan bintang melewati horison
peristiwanya (jari-jari Schwarz- schild), Persamaan (15.24), tidak ada lagi cahaya, radiasi, partikel
atau informasi apa pun yang dapat mencapai sisa jagat raya di luar bintang. Sang bintang tersebut
kini menjadi sebuah lubang hitam.
Bagaimana caranya kita menemukan sebuah lubang hitam? Menemukannya secara tunggal
jelas tidaklah mungkin (melihat sebuah objek gelap pada latar belakang langit yang gelap). Satu-
satunya peluang adalah menemukan lubang hitam sebagai bagian dari suatu sistem bintang ganda-
dua objek yang beredar mengitari pusat massa keduanya. Dari periode edarnya, kita dapat
menentukan massa relatif kedua objek, dan jika salah satu objek adalah bintang tampak, massanya
dapat ditaksir dari warna dan luminositasnya. Massa objek yang tidak tampak dengan demikian
dapat dilacak. Banyak sistem bintang ganda yang telah diamati seringkali didapati merupakan
sumber sinar-X kuat. Pasangan bintang yang tidak tampak ini menarik materi dari bintang yang
lebih besar, dan ketika jatuh padanya, suhu materi tersebut me- ningkat, lalu mereka memancarkan
sinar-X. Dari beberapa bintang ganda sumber sinar-X yang telah ditemukan, salah satunya
memiliki pasangan tidak tampak bermassa cukup besar sehingga patut dicurigai sebagai lubang
hitam. Karena letaknya dalam konstelasi Cygnus (Angsa), sumber sinar-X ini disebut Cygnus X-
1; dewasa ini ia merupakan calon terkuat bagi sebuah lubang hitam, walaupun bukti pen-
dukungnya tidaklah secara langsung dan juga masih banyak astrofisi kawan yang meragukan
penafsirannya sebagai sebuah lubang hitam.
Karena kehadiran lubang hitam belum terbuktikan secara meyakinkan, banyak di antara
para ilmuwan yang bersikap ragu bahwa lubang hitam memang benar-benar ada. Lubang hitam
mungkin merupakan suatu objek dalam jagat raya kita yang penuh dengan teka-teki dan sangat
memancing rasa keingintahuan yang besar dan merupakan subjek spekulasi para ilmuwan. Apakah
lubang hitam kehilangan energinya ketika medan gravitasinya yang kuat menciptakan pasangan
anti- partikel? Apakah materi yang jatuh melalui suatu singularitas mun- cul kembali pada suatu
titik lain dalam jagat raya ini, ataukah dalam jagat raya yang lain? Dapatkah sebuah lubang hitam
dimanfaatkan sebagai suatu sumber energi? Jika hasil perhitungan para astrofisikawan benar,
dalam galaksi kita ini terdapat sekitar 109 buah lubang hitam yang berevolusi dari bintang-bintang
bermassa besar. Bila kita mem- perhalus kemampuan kita untuk menyelidiki langit dari satelit
sinar- X dan sinar-y di atas atmosfer Bumi, mungkin bukti selanjutnya me- ngenai kehadiran
lubang hitam akan segera muncul.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari teori relativitas khusus bahwa baik waktu maupun ruang bersifat relatif terhadap
pengamat bergerak-panjang dan selang waktu yang diukur seorang pengamat umumnya
tidak sama dengan yang diukur oleh pengamat lainnya. Baik panjang maupun selang waktu
bersifat relatif, dengan corak ketergantungan masing-masing pada gerak relatif serupa
Perbedaan utama antara relativitas khusus dan umum adalah bahwa relativitas khusus
hanyalah berurusan dengan ruang-waktu "datar," sedangkan relativitas umum dengan
ruang-waktu "lengkung" (karena itu dinamakan demikian-relativitas khusus adalah kasus
khusus relativitas umum).
Relativitas khusus lahir dari "percobaan khayal" yang dengannya Einstein
membayangkan untuk mencoba "mengejar" seberkas cahaya. Asas laju cahaya yang tetap
bagi semua pengamat adalah salah satu landasan relativitas khusus, yang diperoleh dari
kesimpulan Einstein bahwa pengejarannya tidak pernah berhasil. Relativitas umum
didasarkan pada asas yang diturunkan dari percobaan khayal yang lain. Marilah kita
membayangkan bahwa kita berada di dalam sebuah roket yang masih berada pada
landasannya di permukaan Bumi (Gambar 15.7). Sebuah benda yang kita jatuhkan kita
amati bergerak menuju lantai roket dengan percepatan g = 9,8 m/s2. Sekarang, andaikan
lah roketnya sedang meluncur dalam ruang angkasa yang medan gravitasinya kecil sekali
sehingga dapat diabaikan. Andaikanlah pula mesin roket nya dinyalakan sehingga
memberikan percepatan yang dikendalikan tepat sebesar 9,8 m/s². Sekali lagi kita lepaskan
sebuah benda di dalamnya.
Satu-satunya peluang adalah menemukan lubang hitam sebagai bagian dari suatu
sistem bintang ganda-dua objek yang beredar mengitari pusat massa keduanya. Dari
periode edarnya, kita dapat menentukan massa relatif kedua objek, dan jika salah satu objek
adalah bintang tampak, massanya dapat ditaksir dari warna dan luminositasnya. Massa
objek yang tidak tampak dengan demikian dapat dilacak. Banyak sistem bintang ganda
yang telah diamati seringkali didapati merupakan sumber sinar-X kuat. Dari beberapa
bintang ganda sumber sinar-X yang telah ditemukan, salah satunya memiliki pasangan
tidak tampak bermassa cukup besar sehingga patut dicurigai sebagai lubang hitam. Karena
letaknya dalam konstelasi Cygnus (Angsa), sumber sinar-X ini disebut Cygnus X-1;
dewasa ini ia merupakan calon terkuat bagi sebuah lubang hitam, walaupun bukti pen-
dukungnya tidaklah secara langsung dan juga masih banyak astrofisi kawan yang
meragukan penafsirannya sebagai sebuah lubang hitam.

Anda mungkin juga menyukai