Anda di halaman 1dari 124

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu yang relevan adalah hasil penelitian yang

menunjukkan persamaan obyek penelitian yaitu efektivitas organisasi; namun

menunjukkan juga perbedaan focus dan locus penelitian serta teori dan metode

penelitian. Hasil penelitian yang dimaksud adalah berikut :

Dorothea Ririn Indriastuti, 2012, Efektivitas Organisasional, Fakultas

Ekonomi Universitas Slamet Riyadi Surakarta, Jurnal Ekonomi dan

Kewirausahaan Vol. 12, No.1.

Artikel ini mengulas beberapa penelitian tentang efektivitas organisasi

yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti teori organisasi. Pembahasan dimulai

dari pandangan teori tradisional pada tahun 1950 - 1960 sampai dengan

pandangan modern yang telah mengalami penyempurnaan pada tahun 1970 -

1980. Beberapa pendekatan memiliki masalah dan kelemahan masing-masing,

sehingga beberapa model yang diajukan dapat dimanfaatkan walaupun secara

signifikan , tetapi sangat sulit untuk mencari yang terbaik karena kompleksitas

efektivitas organisasi dan setiap organisasi memiliki kriteria yang berbeda. Sangat

sulit untuk menghasilkan model yang memiliki kemampuan validitas dan

generalisasi yang tinggi. Sebuah model mungkin cocok untuk digunakan di

organisasi tetapi belum tentu cocok untuk digunakan di organisasi lain.

23
24

Isu efektivitas organisasional merupakan persoalan yang sangat

kompleks.

Meskipun terdapat sejumlah model yang telah dikembangkan dan memberikan

yang signifikan ter-hadap pemahaman yang lebih jelas, namun masih sedikit yang

dapat memberikan manfaat secara signifikan kepada para peneliti dan manager

dalam organisasi. Tidak ada algoritma ilmiah yang mengkhususkan variabel-

variabel yang seharusnya ditandai sebagai kriteria efektivitas organisasi. Kegiatan

tersebut dimuati dengan serangkaian value judgment yang biasanya saling terjadi

konflik dan sering ber-akhir dengan “political decision.” Berdasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan efektivitas organisasi sebagai suatu konstruk dan atas

dasar penelitian empiris yang telah dilakukan perlu mengupayakan suatu model

yang lebih fleksibel dengan menggunakan tailor approaches, karena masing-

masing organisasi memiliki tingkatan derajat kebebasan (degree of freedom)

yang berbeda-beda sehingga diperlukan banyak degree of freedom.

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu yang

dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat suatu model yang

lebih fleksibel dengan menggunakan tailor approaches, karena masing-masing

organisasi memiliki tingkatan derajat kebebasan (degree of freedom) yang

berbeda-beda sehingga diperlukan banyak degree of freedom. Secara

eksplisitas peneliti tidak mennjukkan locus penelitian. Penulis menjadikan


25

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun

sama-sama mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun

karena terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan sendirinya

hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan tailor approaches

sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen penelitian. Penulis

menggunakan teori Tyson & Jackson untuk menyusun konsep dan instrumen

penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut maka dengan sendirinya konsep dan

instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif. Penulis juga

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif yang

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat

persamaan dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat

berbeda focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Dorothea layak dijadikan rujukan

dan diapresiasi.

Muhajir A. Kasim, 2015, Analisis Efektivitas Organisasi Kantor Unit

Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Perwakilan Kabupaten Tolitoli di Kota Palu,

Pascasarjana Universitas Tadulako, e-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 11.

Hasil penelitian adalah berikut :

Banyak pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang


mempengaruhi efektivitas organisasi, pada dasarnya pendapat-pendapat
tersebut telah terangkum dalam hasil penelitian Richard M. Steers,seperti
teori mengenai pembinaan organisasi yang menekankan adanyaperubahan
26

yang berencana dalam organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan


efektivitas organisasi.Jadi keberhasilan pembinaan organisasi akan
mengakibatkan keberhasilan organisasi untukmenjadi efektif dan
efesien.Persepektif efektivitas menekankan tentang peran sentral dari
pencapaian tujuan organisasi, dimana dalam menilai organisasi apakah
dapat bertahan hidup maka dilakukan evaluasi yang relevan bagi suatu
tujuan tertentu. Demikian banyak rangkaian kriteria yang digunakan untuk
mengevaluasi efektivitas organisasi seperti apa yang dikemukakan diatas,
tetapi disini akan dituliskan empat saja faktor yang berpengaruh terhadap
efektivitas. Menurut Richard Steers (1995:8) : terdapat 4 (empat) factor
yang dapat mempengaruhi efektivitas organisasi yaitu; karakteristik/ciri
organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, dan
kebijakan/praktek manajemen.
Berdasarkan hasil pembahasan disimpulkan bahwa efektifitas
Organisasi pada Kantor UPTD Perwakilan Kabupaten Tolitoli belum
sepenuhnya maksimal disebabkan oleh penataan struktur organisasi yang
tidak sesuai dengan beban kerja ada, Lingkungan tempat kerja yang
kurang memadai,baik itu dari sarana dan prasarana kantor dan penginapan
mess yang ada, pekerja yang kurangmemiliki keahlian, serta kebijakan dan
praktek manajemen dimana prosedur kerja tidak dapat berjalan sesuai yang
diharapkan

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat pelaksanaan fungsi

Organisasi Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Perwakilan Kabupaten Tolitoli

sebagai fokus penelitian dan menjadikan Kota Palub sebagai locus penelitian;

penulis mengangkat pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di

Indonesia sebagai focus penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama

mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun karena


27

terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan sendirinya hasil

penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan teori efektivitas

organisasi dari Steers sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen

penelitian. Penulis menggunakan teori Tyson & Jackson untuk menyusun konsep

dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut maka dengan

sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi

angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif. Penulis juga

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif namun

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat

persamaan dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat

berbeda focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Muhajir layak dijadikan rujukan

dan diapresiasi.

Suradi Agung Slamet, 2020, Efektivitas Badan Keamanan Laut Dalam

Melaksanakan Fungsi Penegakkan Hukum Di Perairan Laut Indonesia, Program

Studi Doktor Ilmu Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

Guna menjawab dua pertanyaan penelitian yang diajukan pada awal penelitian

maka dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

Efektivitas Badan Keamanan Laut dalam melaksanakan fungsi


penegakan hukum di perairan laut Indonesia belum optimal, karena
hanya mampu mencapai kinerja 60 persen dari target awal 70 persen;
dan berperan hanya sebesar 8,41 persen dalam proses penegakan hukum
28

di perairan laut Indonesia dengan jumlah 27 perkara. Hal tersebut


disebabkan oleh menurunnya pelaksanaan operasi Bakamla selama tahun
anggaran 2018 yang dibatasi oleh ketersediaan anggaran. Bila
dibandingkan dengan kompleksitas tuntutan dan tantangan keamanan dan
keselamatan perairan laut Indonesia yang luasnya mencapai lebih kurang
5,8 juta km2 dengan kondisi geografis negara kepulauan yang terdiri dari
17.054 pulau yang telah teridentifikasi, maka efektivitas Bakamla dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum di wilayah perairan laut
Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia secara bertahap dan
berkelanjutan perlu ditingkatkan. Sementara itu, bagaimana kondisi
organisasi dan manajemen Bakamla yang terungkap dari analisis delapan
parameter efektivitas organisasi menurut Siagian adalah sebagai berikut :
Dari analisis kejelasan tujuan yang hendak dicapai diperoleh
suatu gambaran konseptual bahwa Bakamla sudah cukup maksimal
dalam mendeskripsikan kejelasan tujuan yang hendak dicapai dengan
menyusun Grand Design Badan Keamanan Laut Republik Indonesia
Tahun 2019-2045.
Dari analisis kejelasan strategi pencapaian tujuan diperoleh
suatu gambaran konseptual bahwa Bakamla sudah cukup maksimal
dalam mendeskripsikan kejelasan strategi pencapaian tujuan dengan
menyusun Grand Design Bakamla Tahun 2019-2045.
Dari analisis kejelasan perumusan kebijakan diperoleh suatu
gambaran konseptual bahwa Bakamla sudah cukup maksimal dalam
mendeskripsikan perumusan kebijakan manajerial dalam melaksanakan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 2015 dengan menyusun Grand Design Bakamla Tahun 2019-
2045.
Dari analisis perencanaan diperoleh suatu gambaran faktual
bahwa Bakamla sudah cukup optimal dalam menyusun perencanaan
program dan anggaran dengan menyusun Grand Design Bakamla Tahun
2019-2045
Dari analisis penyusunan program diperoleh suatu gambaran
faktual bahwa secara manajerial Bakamla sudah menyusun dan
melaksanakan berbagai program untuk mengoptimalkan pelaksanaan
fungsi penegakan hukum di wilayah perairan laut Indonesia dan wilayah
yuridiksi Indonesia. Penyusunan dan pelaksanaan program yang
dimaksud pada tahun anggaran 2018 meliputi program Sekretariat
Utama; Deputi Bidang Operasi & Latihan; Deputi Bidang Kebijakan dan
Strategi; Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama.
Dari analisis sarana dan prasarana kerja Bakamla diperoleh
suatu gambaran faktual bahwa untuk menjadi leading sector
penyelenggaraan sistem keamanan dan keselamatan di perairan laut
Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia Bakamla membutuhkan 255
unit kapal patroli. Bila dibandingkan dengan jumlah kapal patroli yang
dimiliki Bakamla yang hanya mencapai 25 kapal patroli, maka dapat
29

dinyatakan bahwa Bakamla hanya mempunyai 9,80 persen dari total


kebutuhan kapal patroli yang harus dimilikinya.
Dari analisis pelaksanaan yang efektif dan efisien diperoleh
suatu gambaran faktual bahwa pelaksanaan kegiatan operasional
Bakamla yang efektif dan efisien masih belum optimal karena
keterbatasan sumber daya. Salah satu keterbatasan sumber daya yang
paling menonjol dan berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi adalah
bahwa Bakamla hanya memiliki 9,80 persen dari total kebutuhan kapal
patroli sebanyak 255 unit untuk melakukan operasi pengamanan dan
penyelamatan di seluruh zona maritim.
Dari analisis sistem pengawasan dan pengendalian diperoleh
suatu gambaran faktual bahwa dalam lingkup internal Bakamla
pelaksanaan fungsi pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh
inspektorat. Namun pelaksanaan fungsi Inspektorat tersebut belum
efektif karena pada tahun anggaran 2016 dan 2017 Bakamla
mendapatkan penilaian Disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam lingkup eksternal Bakamla, kinerja pengawasan dan pengendalian
terhadap kegiatan illegal di wilayah perairan laut Indonesia dan wilayah
yuridiksi Indonesia yang dilakukan Bakamla belum optimal, karena
luasnya wilayah perairan, kondisi geografis, sarana dan prasarana yang
sangat terbatas dan Bakamla.
Konsep Baru yang didapat dari pembahasan efektivitas Bakamla
dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum di wilayah perairan laut
Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia adalah temuan tentang
Manajemen Sarana Prasarana Keamanan Laut Indonesia dengan
definisi : Manajemen Sarana Prasarana Keamanan Laut Indonesia adalah
sistem tata kelola kapal patroli dan fasilitas pendukung yang
diselenggarakan Badan Keamanan Laut guna mengoptimalkan
pelaksanaan fungsi peringatan dini; operasi pengamanan dan
penyelamatan; operasi pencarian dan pertolongan di wilayah perairan
laut Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia yang meliputi
perencanaan, Pengadaan, Penggunaan dan Pemanfaatan, Pemeliharaan
dan Perbaikan, Penghapusan dan Pemindatanganan. Definisi mencakup
lima dimensi Manajemen Sarana Prasarana Keamanan Laut Indonesia :
(1) Dimensi Perencanaan; (2) Dimensi Pengadaan; (3) Dimensi
Penggunaan dan Pemanfaatan; (4) Pemeliharaan dan Perbaikan; (5)
Dimensi Penghapusan dan Pemindahtanganan.

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :
30

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat pelaksanaan fungsi

penegakkan hukum di perairan laut Indonesia sebagai fokus penelitian dan

menjadikan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia sebagai locus penelitian;

penulis mengangkat pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di

Indonesia sebagai focus penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama

mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun karena

terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan sendirinya hasil

penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan teori efektivitas

organisasi dari Steers sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen

penelitian. Penulis menggunakan teori Tyson & Jackson untuk menyusun konsep

dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut maka dengan

sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi

angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif yang dikembangkan

dengan metode analisis triangulasi pengamat. Penulis juga menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif yang dikembangkan

dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat persamaan

dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat berbeda focus


31

dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda. Meskipun

demikian, hasil penelitian Saudara Suradi layak dijadikan rujukan dan diapresiasi

karena menunjukkan keberhasilan yang sigifikan dalam menerapan pendekatan

epistemologi hingga tersusunnya konsep baru tentang Manajemen Sarana

Prasarana Keamanan Laut Indonesia yang layak dianggap sebagai the new

reliable knowledge.

Aries Fhariandi, 2018, Pengaruh Perencanaan Strategis, Kapasitas

Kelembagaan dan Koordinasi Terhadap Efektivtas Pengusahaan Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun Provinsi Kepulauan Riau,

Program Studi Doktor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

Kesimpulan dibuat untuk menjawab empat pertanyaan penelitian. Empat

pertanyaan penelitian tersebut (1) Seberapa besar pengaruh Perencanaan Strategis

terhadap Efektivitas Pengusahaan KPBPB Karimun; (2) Seberapa besar pengaruh

Kapasitas Kelembagaan terhadap Efektivitas Pengusahaan KPBPB Karimun; (3)

Seberapa besar pengaruh Koordinasi terhadap Efektivitas Pengusahaan KPBPB

Karimun; dan (4) Konsep baru apa yang akan diperoleh dari analisis pengaruh

Perencanaan Strategis, Kapasitas Kelembagaan dan Koordinasi terhadap

Efektivitas Pengusahaan KPBPB Karimun. Kesimpulan yang diperoleh dari

pembahasan hasil penelitian adalah sebagai berikut :

Besarnya pengaruh Perencanaan Strategis terhadap Efektivitas


Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas
Karimun mencapai 0, 26, terbilang kurang kuat, namun signifikan,
karena tvalue > ttabel maka Hipotesis Teoritik diterima. Besarnya
pengaruh tersebut ditentukan oleh dimensi-dimensi strategis lingkungan
yang mempengaruhi badan, pemeriksaan sumber-sumber daya badan,
alternatif-alternatif strategis, pilihan strategis. Adanya pengaruh tersebut
menandakan bahwa di antara Perencanaan Strategis Badan Pengusahaan
32

Kawasan dengan Efektivitas Penguasahaan Kawasan Pelabuhan bebas


dan Perdagangan Bebas Karimun terbentuk dinamika hubungan
kuasalitas. Hubungan kausalitas yang dimaksud bermakna bahwa apabila
Perencanaan Strategis Badan Pengusahaan Kawasan ditingkatkan atau
meningkat maka peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan
Efektivitas Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan
Bebas Karimun. Dengan demikian maka efektivitas pengusahaan
Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Karimun dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan, memperbaiki,
mengoptimalisasikan 14 indikator Perencanaan Strategis Badan
Pengusahaan Kawasan. Empat belas indikator yang dimaksud meliputi:
(1) Kekuatan internal Badan, (2) Kelemahan internal Badan, (3)
Peluangan eksternal Badan, (4) Ancaman eksternal Badan, (5) Sumber
Daya Manusia, (6) Sumber Daya Pembiayaan, (7) Sumber Daya Sarana
Prsarana, (8) Sumber Daya Teknologi, (9) Strategi jangka pendek, (10)
Strategi jangka menengah, (11) Strategi jangka panjang, (12) Formulasi
strategi, (13) Implementasi strategi, dan (14) Evaluasi strategi.
Besarnya pengaruh Kapasitas Kelembagaan Badan Pengusahaan
Kawasan terhadap Efektivitas Penguasahaan Kawasan Pelabuhan Bebas
dan Perdagangan Bebas Karimun mencapai 0,33, terbilang kurang kuat
namun signifikan karena thitung > ttabel. Besarnya pengaruh tersebut
ditentukan oleh aspirations, strategy, organizational skills, systems and
infrastructure, human resources, organizational structure, dan culture.
Adanya pengaruh tersebut menandakan bahwa di antara Kapasitas
Kelembagaan Badan Pengusahaan Kawasan dengan Efektivitas
Penguasahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas
Karimun terbentuk dinamika hubungan kuasalitas. Hubungan kausalitas
atau hubungan sebab-akibat yang dimaksud bermakna bahwa apabila
Kapasitas Kelembagaan Badan Pengusahaan Kawasan ditingkatkan atau
meningkat maka peningkatan tersebut meningkatkan Efektivitas
Pengusahaan Kawasan Pelabuhan bebas dan Perdagangan Bebas
Karimun. Dengan demikian maka efektivitas pengusahaan Kawasan
Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Karimun dapat ditingkatkan
dengan cara meningkatkan, memperbaiki, mengoptimalkan 21 indikator
Kapasitas Kelembagaan Badan Pengusahaan Kawasan Kawasan. Dua
puluh satu indikator yang dimaksud meliputi: (1) Visi BP Kawasan
PBPB Karimun, (2) Misi BP Kawasan PBPB Karimun, (3) Tujuan BP
Kawasan PBPB Karimun, (4) Strategi program, (5) Strategi manajerial,
(6) Strategi operasional, (7) Kompetensi manajemen sumber daya
manusia, (8) Kompetensi manajemen keuangan, (9) Kompetensi
manajemen operasional, (10) Sistem informasi manajemen, (11) Sarana
kerja, (12) Prasarana perkantoran, (13) Jumlah aparatur BP Kawasan
PBPB Karimun, (14) Kompetensi aparatur BP Kawasan PBPB Karimun,
(15) Kinerja aparatur BP Kawasan PBPB Karimun, (16) Kewenangan BP
Kawasan PBPB Karimun, (17) Susunan organisasi BP Kawasan PBPB
Karimun, (18) Pembagian Tugas dan fungsi BP Kawasan PBPB
33

Karimun, (19) Etika kerja aparatur, (20) Reward, dan (21)


Punishment.
Besarnya pengaruh Koordinasi terhadap Efektivitas
Penguasahaan Kawasan Pelabuhan bebas dan Perdagangan Bebas
Karimun mencapai 0,33, terbilang kurang kuat namun signifikan karena
thitung > ttabel. Besarnya pengaruh tersebut ditentukan oleh keselarasan
kepemimpinan, keselarasan perilaku organisasi, keselarasan pengelolan
sumber daya administrasi. Adanya pengaruh tersebut menandakan bahwa
di antara Koordinasi dengan Efektivitas Pengusahaan Kawasan
Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Karimun terbentuk dinamika
hubungan kuasalitas. Hubungan kausalitas atau hubungan sebab-akibat
yang dimaksud bermakna bahwa apabila Koordinasi ditingkatkan atau
meningkat maka peningkatan tersebut meningkatkan Efektivitas
Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas
Karimun. Dengan demikian maka efektivitas pengusahaan Kawasan
Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Karimun dapat ditingkatkan
dengan cara meningkatkan, memperbaiki, mengoptimalkan 12 indikator
Koordinasi. Dua belas indikator Koordinasi yang dimaksud meliputi :
(1) Harmoni hubungan antar unsur pimpinan, (2) Harmoni hubungan
pimpinan dengan staf, (3) Harmoni hubungan antar staf, (4) Harmoni
hubungan pimpinan dengan pihak terkait, (5) Keselarasan perilaku kerja
individu, (6) Keselarasan perilaku kerja kelompok, (7) Keselarasan
perilaku kerja organisasi, (8) Keselarasan perilaku pimpinan dengan
pihak terkait, (9) Keselarasan pengelolaan sumber daya manusia, (10)
Keselarasan pengelolaan sumber daya pembiayaan, (11) Keselarasan
pengelolaan sumber daya sarana parasarana, (12) Keselarasan mengelola
kerjasama dengan berbagai pihak.
Terdapat pengaruh Perencanaan Strategis, Kapasitas
Kelembagaan, dan Koordinasi secara bersama-sama terhadap Efektivitas
Pengusahaan Kawasan PBPB Karimun. Dari hasill pengukuran
persamaan regresi ganda diketahui bahwa kontribusi pengaruh
Koordinasi terhadap Efektivitas Pengusahaan Kawasan PBPB Karimun
(1,219) lebih besar dari kontribusi Perencanaan Strategis (0,278) dan
Kapasitas Kelembagaan (0,441) terhadap Efektivitas Pengusahaan
Kawasan PBPB Karimun. Adanya pengaruh ini menunjukkan bahwa di
antara Perencanaan Strategis, Kapasitas Kelembagaan, dan Koordinasi
secara bersama-sama terhadap Efektivitas Pengusahaan Kawasan PBPB
Karimun terjalin hubungan kausalitas yang bermakna : apabila
Perencanaan Strategis, Kapasitas Kelembagaan, dan Koordinasi secara
bersama-sama ditingkatkan atau meningkat maka peningkatan tersebut
secara stimulan diikuti dengan peningkatan Perencanaan Strategis,
Kapasitas Kelembagaan, dan Koordinasi secara bersama-sama terhadap
Efektivitas Pengusahaan Kawasan PBPB Karimun.
Konsep Baru yang diperoleh dari pembahasan pengaruh
Perencanaan Strategis, Kapasitas Kelembagaan dan Koordinasi terhadap
34

Efektivitas pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan


Bebas Karimun adalah berikut :
Konsep Baru I tentang Strategi Pengelolaan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan definisi : Strategi
Pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah
taktik, kiat, tata cara dan pola pendekatan untuk mencapai tujuan dan
sasaran tertentu melalui pelaksanaan program dan kegiatan peningkatan
daya tarik dan daya saing kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas yang meliputi formulasi strategi, implementasi strategi, dan
evaluasi strategi. Dalam definisi ini terdapat tiga dimensi teoritik : (1)
Dimensi Formulasi Strategi, (2) Dimensi Implementasi Strategi,
dan (3) Dimensi Evaluasi Strategi.
Konsep Baru II tentang Struktur Organisasi Pengelola
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan definisi :
Struktur Organisasi Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone ) adalah formasi dan formalisasi
kewenangan, tugas dan fungsi organisasi pengelola Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang mencakup Kewenangan
Organisasi Pengelola; (2) Susunan Organisasi Pengelola; dan (3)
Pembagian Tugas dan Fungsi Organisasi Pengelola. Dalam definsi ini
terdapat tiga dimensi teoritik : (1) Dimensi Kewenangan Organisasi
Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; (2)
Dimensi Susunan Organisasi Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas; dan (3) Dimensi Pembagian Tugas dan Fungsi
Organisasi Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas.
Konsep Baru III tentang Keselarasan Pengelolaan Sumber
Daya Administrasi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas dengan definisi: Keselarasan Pengelolaan Sumber Daya
Administrasi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh
Organisasi Pengelola Kawasan adalah keselarasan pengelolaan sumber
daya manusia, keselarasan pengelolaan sumber daya pembiayaan.
keselarasan pengelolaan sumber daya sarana parasarana kerja,
keselarasan mengelola kerjasama dengan berbagai pihak dalam
mengelola, mengembangkan dan membangun kawasan. Dalam definsi
ini terdapat empat dimensi teoritik yaitu : (1) Keselarasan pengelolaan
sumber daya manusia, (2) Keselarasan pengelolaan sumber daya
pembiayaan. (3) Keselarasan pengelolaan sumber daya sarana parasarana
kerja, dan (4) Keselarasan mengelola kerjasama dengan berbagai pihak.

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :
35

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat pengelolaan

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagai fokus penelitian dan

menjadikan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas Keamanan Karimun sebagai locus penelitian; penulis mengangkat

pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia sebagai

focus penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama mengangkat efektivitas

organisasi sebagai obyek penelitian; namun karena terdapat perbedaan focus dan

locus penelitian, maka dengan sendirinya hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan teori efektivitas

organisasi dari Tyson & Jackson sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan

instrumen penelitian. Penulis juga menggunakan teori yang sama untuk

menyusun konsep dan instrumen penelitian. Dengan persamaan teori tersebut

namun karena focus dan locus penelitian berbeda, maka dengan sendirinya konsep

dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti menggunakan pendekatan penelitian

kuantitatif dan kualitatif (mix methods). Penulis juga menggunakan pendekatan

penelitian kualitatif dan analisis deskriptif yang dikembangkan dengan metode

analisis triangulasi pengamat. Dengan terdapat perbedaan metodologi penelitian;

dan juga karena terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka hasil
36

penelitian pun menjadi sangat berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian

Saudara Aries layak dijadikan rujukan dan diapresiasi karena menunjukkan

keberhasilan yang sigifikan dalam menerapan pendekatan epistemologi hingga

tersusunnya konsep baru tentang Strategi Pengelolaan Kawasan Perdagangan

Bebas dan Pelabuhan Bebas; konsep baru tentang Struktur Organisasi Pengelola

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan konsep baru tentang

Keselarasan Pengelolaan Sumber Daya Administrasi Kawasan Perdagangan

Bebas dan Pelabuhan Bebas yang layak dianggap sebagai the new reliable

knowledge.

Tati Iriani, 2017, Efektivitas Pelaksanaan Fungsi Dinas Sosial Provinsi

Jawa Barat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Sosial, Program Studi Doktor

Ilmu Administrasi Publik, Program Pascasarjana Universitas Padajdjaran

Bandung. Hasil penelitian yang dilaksanakan dengan pendekatan penelitian

kualitatif adalah berikut :

Efektivitas pelaksanaan fungsi Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat


dalam penyelenggaraan pelayanan sosial dapat dinyatakan optimal.
Secara empirik, efektivitas pelaksanaan fungsi Dinas dalam
penyelenggaraan pelayanan sosial terungkap dari capaian kegiatan
penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial yang tersusun
dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Dinas Sosial Provinsi Tahun 2015,
dan sasaran meningkatnya penanganan urusan sosial yang tercantum
dalam Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Provinsi Jawa Barat
Tahun 2015. Secara teoritik efektivitas pelaksanaan fungsi Dinas Sosial
dalam penyelenggaraan pelayanan sosial terungkap dari konsep optimasi
tujuan; perspektif sistem; dan tekanan pada perilaku organisasi. Konsep
Optimasi Tujuan mencakup dukungan sumber daya manusia, dukungan
sumber daya anggaran, dukungan sumber daya sarana prasarana, capaian
keberhasilan institusi sosial, capaian keberhasilan institusi sosial, capaian
keberhasilan pekerja sosial. Analasis Perspektif Sistem mencakup
konsultasi struktural, koordinasi fungsional, koordinasi manajerial,
koordinasi teknis operasional, koordinasi fungsional antar
instansi/institusi terkait, koordinasi manajerial antar instansi/institusi
37

terkait, koordinasi teknis operasional antar Instansi/institusi sosial,


kerjasama antar organisasi sosial, kerjasama antar pekerja sosial. Analisis
Tekanan Pada Perilaku Dalam Susunan Organisasi mencakup kinerja
aparatur, kinerja kelompok kerja, kinerja dinas, motivasi dan insentif,
dukungan sumber daya, dan iklim lingkungan kerja.
Konsep baru yang didapat dari analisis efektivitas pelaksanaan
fungsi Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dalam penyelenggaraan
pelayanan sosial adalah tentang Konsep Optimalisasi Tujuan
Administrasi Usaha Kesejahteraan Sosial. Konsep baru disusun dengan
definisi: Konsep Optimalisasi Tujuan Administrasi Usaha
Kesejahteraan Sosial adalah rancangan efektivitas pelaksanaan
kebijakan dan kegiatan pembangunan sosial terutama penanganan
penyandang masalah kesejahteraan sosial yang dinyatakan dengan
kondisi dan fungsi dukungan sumber daya manusia, kapasitas dan
koneksitas dukungan sumber daya anggaran, kondisi ketersediaan
sumberdaya sarana prasarana, capaian keberhasilan penanganan
penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh instansi sosial, capaian
keberhasilan penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh
institusi sosial, dan capaian keberhasilan penanganan penyandang
masalah kesejahteraan sosial oleh pekerja sosial. Dengan definisi ini
tercakup enam dimensi efektivitas yang terdiri atas: (1) Kondisi dan
fungsi dukungan sumber daya manusia, (2) Kapasitas dan koneksitas
dukungan sumber daya anggaran, (3) Kondisi ketersediaan sumber daya
sarana prasarana, (4) Capaian keberhasilan penanganan penyandang
masalah kesejahteraan sosial oleh instansi sosial, (5) Capaian
keberhasilan penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh
institusi sosial, dan (6) Capaian keberhasilan penanganan penyandang
masalah kesejahteraan sosial oleh pekerja sosial.

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat Pelaksanaan

Fungsi Dinas Sosial sebagai fokus penelitian dan menjadikan Dinas Sosial

Provinsi Jawa Barat sebagai locus penelitian; penulis mengangkat pelaksanaan

fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia sebagai focus


38

penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama mengangkat efektivitas organisasi

sebagai obyek penelitian; namun karena terdapat perbedaan focus dan locus

penelitian, maka dengan sendirinya hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda;

dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan teori efektivitas

organisasi dari Steers sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen

penelitian. Penulis menggunakan teori efektivitas organisasi dari Tyson &

Jackson untuk menyusun konsep dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan

teori tersebut dan karena focus dan locus penelitian berbeda, maka dengan

sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi

angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif; penulis

juga menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif yang

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Dengan persamaan

metodologi penelitian; namun karena terdapat perbedaan focus dan locus

penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda. Meskipun

demikian, hasil penelitian Saudara Tati layak dijadikan rujukan dan diapresiasi

karena menunjukkan keberhasilan yang sigifikan dalam menerapan pendekatan

epistemologi hingga tersusunnya konsep baru tentang Konsep Optimalisasi

Tujuan Administrasi Usaha Kesejahteraan Sosial yang layak dianggap sebagai the

new reliable knowledge.


39

Ach. Baidowi, 2020, Pengaruh Pengawasan dan Kompetensi Terhadap

Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village Budegting di Kabupaten

Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, Progam Studi Doktor Ilmu Pemerintahan,

Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Untuk menjawab empat pertanyaan

penelitian yang tercakup dalam rumusan masalah, maka dapat disampaikan

kesimpulan sebagai berikut :

Besarnya pengaruh Pengawasan terhadap Efektivitas


Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village Budgenting di Kabupaten
Banyuwangi mencapai 0,43, terbilang kurang kuat namun signifikan,
karena thitung > tstatistik. Besarnya pengaruh Pengawasan terhadap
Efektivitas Pengelolaan Dana Desa tersebut ditentukan oleh pengukuran
hasil pekerjaan, perbandingan hasil pekerjaan dengan standar pekerjaan,
dan koreksi penyimpangan. Besaran pengaruh yang demikian itu
mengindikasikan bahwa di antara Pengawasan yang dipandang sebagai
antecedent variable (yang mendahului, sebab) dan Efektivitas
Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village Budgenting yang dipandang
sebagai consequency variable (fenomena, akibat) terjalin suatu
dinamika hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas ini berimplikasi
praktis bahwa apabila Pengawasan ditingkatkan atau meningkat maka
secara stimulan peningkatan Pengawasan tersebut diikuti dengan
peningkatan Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village
Budgenting. Oleh sebab itu, peningkatan Efektivitas Pengelolaan Dana
Desa Berbasis E-Village Budgenting di Kabupaten Banyuwangi bisa
ditingkatkan dengan cara meningkatkan, atau memperbaiki 12 variabel
manifes Pengawasan. Dua belas variabel manifes Pengawasan yang
dimaksud adalah berikut : (1) Tingkat Keberhasilan, (2) Dayaguna, (3)
Hasilguna, (4) Pertanggungjawaban, (5) Perencanaan Kerja, (6)
Pembagian Kerja, (7) Pelaksanaan Pekerjaan, (8) Hasil Pekerjaaan, (9)
Prosedur Kerja, (10) Teknis Pekerjaan, (11) Koordinasi Kerja, dan (12)
Waktu Kerja.
Besarnya pengaruh Kompetensi Aparatur Desa terhadap
Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village Budgenting di
Kabupaten Banyuwangi mencapai 0,61 terbilang kuat dan signifikan,
karena thitung > tstatistik. Besarnya pengaruh Kompetensi Aparatur
Desa terhadap Efektivitas Pengelolaan Dana Desa tersebut ditentukan
oleh knowledge, skills, traits, social role, self image, motive. Besaran
pengaruh yang demikian itu mengindikasikan bahwa di antara
Kompetensi Aparatur Desa yang dipandang sebagai antecedent variable
dan Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-Village Budgenting
yang dipandang sebagai consequency variable terjalin suatu dinamika
40

hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas ini berimplikasi praktis bahwa


apabila Kompetensi Aparatur Desa ditingkatkan atau meningkat maka
secara stimulan peningkatan Kompetensi Aparatur Desa tersebut diikuti
dengan peningkatan Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-
Village Budgenting. Oleh sebab itu, peningkatan Efektivitas Pengelolaan
Dana Desa Berbasis E-Village Budgenting di Kabupaten Banyuwangi
bisa ditingkatkan dengan cara meningkatkan dan atau memperbaiki 18
variabel manifes Kompetensi Aparatur Desa. Delapan belas variabel
yang dimaksud adalah (1) Pengetahuan administrasi pekerjaan, (2)
Pengetahuan manajemen pekerjaan, dan (3) Pengetahuan teknis
pekerjaan. Dimensi analisis skills diturunkan menjadi variabel-variabel
manifes : (4) Ketrampilan admnistratif, (5) Ketrampilan teknis, dan (6)
Ketrampilan sosial. Dimensi analisis trait diturunkan menjadi variabel-
variabel manifes : (7) watak, (8) Sifat, dan (9) Kebiasaan. Dimensi
analisis social role diturunkan menjadi variabel-variabel manifes : (10)
Kepekaan sosial, (11) Kepedulian sosial, dan (12) Respon sosial.
Dimensi analisis self image diturunkan menjadi variabel-variabel manifes
: (13) Kematangan emosional, (14) sikap, dan (15) Perilaku. Dimensi
analisis motive diturunkan menjadi variabel-variabel manifes : (16)
Kebutuhan ekonomi, (17) Kebutuhan sosial, dan (18) Kebutuhan kerja.
Konsep baru yang didapat dari pembahasan pengaruh
Pengawasan terhadap Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-
Village Budgeting di Kabupaten Banyuwangi adalah Konsep Baru
tentang Koreksi Penyimpangan Pengelolaan Dana Desa Berbasis
Elektronik dengan definisi : Koreksi Penyimpangan Pengelolaan Dana
Desa Berbasis Elektronik adalah pola pemeriksaan dan penilaian kinerja
pengelolaan dana desa berbasis elektronik yang meliputi koreksi
prosedur kerja, koeksi teknis pekerjaan, koreksi koordinasi kerja, dan
koreksi waktu kerja. Konstruk teoritis konsep baru mencakup empat
dimensi analisis : (1) Koreksi Prosedur kerja, (2) Koreksi Teknis
Pekerjaan, (3) Koreksi Koordinasi Kerja, dan (4) Koreksi Waktu kerja.
Konsep baru yang didapat dari pembahasan pengaruh Kompetensi
Aparatur Desa terhadap Efektivitas Pengelolaan Dana Desa Berbasis E-
Village Budgeting di Kabupaten Banyuwangi adalah Konsep Baru
tentang Kompetensi Pengelolaan Dana Desa Berbasis Elektronik dengan
definisi : Kompetensi Pengelola Dana Desa Berbasis Elektronik adalah
pengetahuan praktis aparatur desa terhadap kinerja pengelolaan dana
desa berbasis elektronik yang meliputi kompetensi administrasi,
kompetensi manajemen, dan komptensi teknis pengelolaan dana desa
berbasis elektronik. Konstruk teoritis konsep baru mencakup tiga
dimensi pengetahuan : (1) Kompetensi Administratif Dana Desa Berbasis
Elektronik, (2) Kompetensi Manajerial Dana Desa Berbasis Elektronik,
dan (3) Kompetensi Teknis Dana Desa Berbasis Elektronik.
41

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat pengelolaan dana

desa berbasis e-village budgeting fokus penelitian dan menjadikan Desa-desa di

Kabupaten Banyuwangi sebagai locus penelitian; penulis mengangkat

pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia sebagai

focus penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama mengangkat efektivitas

organisasi sebagai obyek penelitian; namun karena terdapat perbedaan focus dan

locus penelitian, maka dengan sendirinya hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti menggunakan teori efektivitas

organisasi dari Siagian sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan

instrumen penelitian. Penulis menggunakan teori efektivitas organisasi dari

Tyson & Jackson untuk menyusun konsep dan instrumen penelitian. Dengan

perbedaan teori tersebut dan karena focus dan locus penelitian berbeda, maka

dengan sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun

menjadi angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti menggunakan pendekatan kuantitaif dan

kualitatif (mix methods); penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif


42

dan analisis deskriptif yang dikembangkan dengan metode analisis triangulasi

pengamat. Dengan perbedaan dan persamaan metodologi penelitian; dan dengan

perbedaan focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Saudara Baidowi layak dijadikan

rujukan dan diapresiasi karena menunjukkan keberhasilan yang sigifikan dalam

menerapan pendekatan epistemologi hingga tersusunnya konsep baru tentang

Koreksi Penyimpangan Pengelolaan Dana Desa Berbasis Elektronik, dan konsep

baru tentang Kompetensi Pengelolaan Dana Desa Berbasis Elektronik yang layak

dianggap sebagai the new reliable knowledge.

Muh. Syarif Ahmad dan Sumarlin, 2014, Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Efektifitas Organisasi Pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan, Jurnal Administrasi Negara - Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi

Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN), Makassar. Hasil penelitian adalah

berikut :

Penilaian efektivitas organisasi merupakan suatu kegiatan yang


sangat penting karena dapat digunakan sebagai instrumen dalam
mengukur keberhasilan pencapaian misi organisasi tersebut. Penelitian
ini mengangkat masalah mengenai kepemimpinan, disiplin dan motivasi
pegawai Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sulawesi Selatan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi efektivitas organisasi pada BKD Provinsi Sulawesi
Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif-asosiatif.
Motivasi pegawai, kepemimpinan, dan disiplin pegawai memiliki
hubungan positif dengan efektivitas organisasi. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh variabel motivasi sebesar
3,96%, pengaruh variabel kepemimpinan sebesar 3,61% dan pengaruh
variabel disiplin pegawai sebesar 3,24%.
43

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat faktor-faktor yang

mempengaruhi efektifitas organisasi sebagai fokus penelitian dan menjadikan

Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai locus penelitian;

penulis mengangkat pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di

Indonesia sebagai focus penelitian; dan penulis menjadikan Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun sama-sama

mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun karena

terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan sendirinya hasil

penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti tidak mnenunjukan secara

ekspilisit teori yang dijadikan landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen

penelitian. Penulis menggunakan teori Tyson & Jackson untuk menyusun konsep

dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut maka dengan

sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi

angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif. Penulis juga

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif namun


44

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat

persamaan dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat

berbeda focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Ahmad dan Sumarlin layak

dijadikan rujukan dan diapresiasi.

Amir Syarifudin Kiwang, David B. W. Pandie, Frans Gana, 2015,

Analisis Kebijakan dan Efektivitas Organisasi, Jurnal Kebijakan dan

Administrasi Publik, FISIPOL UGM, Hasil penelitian adalah berikut :

Penerapan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 8


Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Pendidikan dan Pelatihan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah pada Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah dalam rangka untuk meningkatkan
efektivitas kerja organisasi pada UPT Diklat Koperasi dan UMKM.
Penelitian ini berusaha untuk melihat dampak kebijakan organisasi
terhadap efektivitas organisasi dengan menggunakan enam elemen
variabel dari kebijakan dan praktik manajemen. Keenam elemen tersebut
adalah penetapan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan sumber
daya, lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan
pengambilan keputusan, serta adaptasi dan inovasi organisasi. Penelitian
kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus. Teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis data model Miles dan Huberman, yang
terdiri atas reduksi data, display/penyajian data, dan
kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas
organisasi pada UPT Diklat koperasi dan UMKM belum berjalan secara
baik, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal antara lain, belum adanya
tenaga spesialisasi pengelola diklat dan tenaga khusus (sarjana) di bidang
perkoperasian dan kondisi lingkungan kerja (lingkungan prestasi) pada
UPT Diklat koperasi dan UMKM yang belum efektif. Penempatan
pegawai juga belum tepat, mutasi ke UPT Diklat Koperasi dan UMKM
tidak memperhatikan latar belakang pendidikan dan spesialisasi/keahlian
pegawai sehingga membutuhkan waktu dalam proses penyesuaian serta
menurunkan jumlah pelaksanaan diklat dikarenakan keterbatasan alokasi
dana.
Pencanangan NTT sebagai Provinsi Koperasi dan kebijakan
Gubernur NTT melalui Peraturan Gubernur Nomor 08 Tahun 2011
tentang Organisasi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Pendidikan
dan Pelatihan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada
45

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Provinsi NTT,
telah memberikan ruang bagi peningkatan kinerja UPT Diklat Koperasi
dan UMKM dalam upaya pengembangan koperasi di Provinsi NTT.
Namun demikian, produktivitas kerja (pelaksanaan diklat) oleh UPT
Diklat Koperasi dan UMKM menurun, diakibatkan oleh keterbatasan
dana serta belum efektifnya proses mutasi ke UPT Diklat Koperasi dan
UMKM (pegawai yang dimutasi ke UPT Diklat Koperasi dan UMKM
bukan yang memiliki kompetensi di bidang Perkoperasian dan UMKM).

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat penerapan

Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pendidikan dan Pelatihan

Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah sebagai fokus penelitian dan

menjadikan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Provinsi Nusa

Tenggara Timur; penulis mengangkat pelaksanaan fungsi pencegahan radikalisme

dan terorisme di Indonesia sebagai focus penelitian; dan penulis menjadikan

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian. Meskipun

sama-sama mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun

karena terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan sendirinya

hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti tidak menunjukkan secara

eksplisit teori yang dijadikan landasan terotik penyusunan konsep dan instrumen

penelitian. Penulis menggunakan teori Tyson & Jackson untuk menyusun konsep
46

dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut maka dengan

sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian pun menjadi

angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif. Penulis juga

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif namun

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat

persamaan dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat

berbeda focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Amir Syarifudin dkk layak

dijadikan rujukan dan diapresiasi.

Fianda Gammahendra, 2011, Pengaruh Struktur Organisasi terhadap

Efektivitas Organisasi - Studi Pada Persepsi Pegawai Tetap Kantor Perwakilan

Bank Indonesia Kediri, Jurnal Universitas Brawijaya. Hasil penelitian adalah

berikut :

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi struktur organisasi


yang terdiri dari variabel kompleksitas, formalisasi, sentralisasi secara
bersama-sama berpengaruh terhadap efektivitas organisasi.Selanjutnya
hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara parsial dimensi struktur
organisasi yang terdiri dari variabel kompleksitas, formalisasi,
sentralisasiberpengaruh signifikan terhadap efektivitas
organisasi.Variabel kompleksitas, formalisasi, sentralisasi mampu
memberikan kontribusi terhadap variabel efektivitas organisasi sebesar
0,596 atau 59,6% sedangkan sisanya 40,4% merupakan kontribusi dari
variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian ini yaitu karakteristik
organisasi (teknologi), karakteristik lingkungan (eksternal dan
internal/iklim), karakteristik pekerja (keterikatan pada organisasi dan
prestasi kerja), kebijakan dan praktik manajemen. Variabel bebas yang
dipilih dapat disesuaikan dengan keadaan organisasi perusahaan obyek
penelitian.
47

Catatan persamaan dan perbedaan di antara hasil penelitian terdahulu

yang dikutip dengan penelitian yang penulis laksanakan antara lain sebagai

berikut :

Object, Focus dan Locus Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama

mengambil efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian; namun berbeda dalam

hal focus penelitian dan locus penelitian. Peneliti mengangkat kajian hubungan

kausalitas di antara Struktur Organisasi dengan Efektivitas Organisasi sebagai

fokus penelitian dan menjadikan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri

sebagai locus penelitian; penulis mengangkat pelaksanaan fungsi pencegahan

radikalisme dan terorisme di Indonesia sebagai focus penelitian; dan penulis

menjadikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai locus penelitian.

Meskipun sama-sama mengangkat efektivitas organisasi sebagai obyek penelitian;

namun karena terdapat perbedaan focus dan locus penelitian, maka dengan

sendirinya hasil penelitian pun menjadi sangat berbeda; dan tidak mungkin terjadi

plagiat.

Teori dan Konsep Penelitian : Peneliti tidak menunjukkan secara

eksplisit teori yang digunakan sebagai landasan terotik penyusunan konsep dan

instrumen penelitian. Penulis menggunakan teori Tyson & Jackson untuk

menyusun konsep dan instrumen penelitian. Dengan perbedaan teori tersebut

maka dengan sendirinya konsep dan instrumen penelitian serta hasil penelitian

pun menjadi angat berbeda.

Metode Penelitian : Peneliti dan penulis sama-sama menggunakan

pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif. Penulis juga


48

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan analisis deskriptif namun

dikembangkan dengan metode analisis triangulasi pengamat. Meskipun terdapat

persamaan dalam menggunakan metodologi penelitian; namun karena sangat

berbeda focus dan locus penelitian, maka hasil penelitian pun menjadi sangat

berbeda. Meskipun demikian, hasil penelitian Fianda layak dijadikan rujukan dan

diapresiasi.

Hasil-hasil penelitian terdahulu yang dikutip dapat dikompilasikan dengan

tabel berikut :

Tabel 2.1
Kompilasi Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti dan Judul Penelitian Metode, Teori, Hasil, Keterangan

1 Dorothea Ririn Indriastuti, 2012, Object, Focus dan Locus


Efektivitas Organisasional, Fakultas Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
Ekonomi Universitas Slamet Riyadi sama mengambil efektivitas organisasi
Surakarta, Jurnal Ekonomi dan sebagai obyek penelitian; namun
Kewirausahaan Vol. 12, No.1. berbeda dalam hal focus penelitian dan
locus penelitian. Peneliti mengangkat
suatu model yang lebih fleksibel
dengan menggunakan tailor
approaches, karena masing-masing
organisasi memiliki tingkatan
derajat kebebasan (degree of
freedom) yang berbeda-beda
sehingga diperlukan banyak degree
of freedom. Secara eksplisitas
peneliti tidak mennjukkan locus
penelitian. Penulis menjadikan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme
sebagai locus penelitian. Meskipun
sama-sama mengangkat efektivitas
organisasi sebagai obyek penelitian;
namun karena terdapat perbedaan focus
dan locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
49

Peneliti menggunakan tailor


approaches sebagai landasan terotik
penyusunan konsep dan instrumen
penelitian. Penulis menggunakan teori
Tyson & Jackson untuk menyusun
konsep dan instrumen penelitian.
Dengan perbedaan teori tersebut maka
dengan sendirinya konsep dan
instrumen penelitian serta hasil
penelitian pun menjadi angat berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
dan penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif. Penulis juga
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif yang
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Meskipun
terdapat persamaan dalam
menggunakan metodologi penelitian;
namun karena sangat berbeda focus dan
locus penelitian, maka hasil penelitian
pun menjadi sangat berbeda. Meskipun
demikian, hasil penelitian Dorothea
layak dijadikan rujukan dan diapresiasi.

2 Muhajir A. Kasim, 2015, Analisis Object, Focus dan Locus


Efektivitas Organisasi Kantor Unit Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) sama mengambil efektivitas organisasi
Perwakilan Kabupaten Tolitoli di Kota sebagai obyek penelitian; namun
Palu, Pascasarjana Universitas Tadulako, berbeda dalam hal focus penelitian dan
e-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 11. locus penelitian. Peneliti mengangkat
pelaksanaan fungsi Organisasi Kantor
Unit Pelaksana Teknis Dinas
Perwakilan Kabupaten Tolitoli
sebagai fokus penelitian dan
menjadikan Kota Palub sebagai locus
penelitian; penulis mengangkat
pelaksanaan fungsi pencegahan
radikalisme dan terorisme di Indonesia
sebagai focus penelitian; dan penulis
menjadikan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme sebagai
locus penelitian. Meskipun sama-sama
mengangkat efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
karena terdapat perbedaan focus dan
locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
50

terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Steers sebagai landasan
terotik penyusunan konsep dan
instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori Tyson & Jackson
untuk menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut maka dengan sendirinya
konsep dan instrumen penelitian serta
hasil penelitian pun menjadi angat
berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
dan penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif. Penulis juga
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif namun
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Meskipun
terdapat persamaan dalam
menggunakan metodologi penelitian;
namun karena sangat berbeda focus dan
locus penelitian, maka hasil penelitian
pun menjadi sangat berbeda. Meskipun
demikian, hasil penelitian Muhajir
layak dijadikan rujukan dan diapresiasi.

3 Suradi Agung Slamet, 2020, Efektivitas Catatan persamaan dan perbedaan


Badan Keamanan Laut Dalam di antara hasil penelitian terdahulu
Melaksanakan Fungsi Penegakkan yang dikutip dengan penelitian yang
Hukum Di Perairan Laut Indonesia, penulis laksanakan antara lain sebagai
Program Studi Doktor Ilmu berikut :
Pemerintahan, Institut Pemerintahan Object, Focus dan Locus
Dalam Negeri. Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
sama mengambil efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
berbeda dalam hal focus penelitian dan
locus penelitian. Peneliti mengangkat
pelaksanaan fungsi penegakkan hukum
di perairan laut Indonesia sebagai
fokus penelitian dan menjadikan Badan
Keamanan Laut Republik Indonesia
sebagai locus penelitian; penulis
mengangkat pelaksanaan fungsi
pencegahan radikalisme dan terorisme
di Indonesia sebagai focus penelitian;
dan penulis menjadikan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme
51

sebagai locus penelitian. Meskipun


sama-sama mengangkat efektivitas
organisasi sebagai obyek penelitian;
namun karena terdapat perbedaan focus
dan locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Steers sebagai landasan
terotik penyusunan konsep dan
instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori Tyson & Jackson
untuk menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut maka dengan sendirinya
konsep dan instrumen penelitian serta
hasil penelitian pun menjadi angat
berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti dan
penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif yang dikembangkan
dengan metode analisis triangulasi
pengamat. Penulis juga menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif yang dikembangkan
dengan metode analisis triangulasi
pengamat. Meskipun terdapat
persamaan dalam menggunakan
metodologi penelitian; namun karena
sangat berbeda focus dan locus
penelitian, maka hasil penelitian pun
menjadi sangat berbeda. Meskipun
demikian, hasil penelitian Saudara
Suradi layak dijadikan rujukan dan
diapresiasi karena menunjukkan
keberhasilan yang sigifikan dalam
menerapan pendekatan epistemologi
hingga tersusunnya konsep baru
tentang Manajemen Sarana Prasarana
Keamanan Laut Indonesia yang layak
dianggap sebagai the new reliable
knowledge.

4 Aries Fhariandi, 2018, Pengaruh Catatan persamaan dan perbedaan di


Perencanaan Strategis, Kapasitas antara hasil penelitian terdahulu yang
52

Kelembagaan dan Koordinasi Terhadap dikutip dengan penelitian yang penulis


Efektivtas Pengusahaan Kawasan laksanakan antara lain sebagai berikut :
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Object, Focus dan Locus
Bebas Karimun Provinsi Kepulauan Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
Riau, Program Studi Doktor Ilmu sama mengambil efektivitas organisasi
Pemerintahan Isntitus Pemerintahan sebagai obyek penelitian; namun
Dalam Negeri. berbeda dalam hal focus penelitian dan
locus penelitian. Peneliti mengangkat
pengelolaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagai
fokus penelitian dan menjadikan Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Keamanan
Karimun sebagai locus penelitian;
penulis mengangkat pelaksanaan fungsi
pencegahan radikalisme dan terorisme
di Indonesia sebagai focus penelitian;
dan penulis menjadikan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme
sebagai locus penelitian. Meskipun
sama-sama mengangkat efektivitas
organisasi sebagai obyek penelitian;
namun karena terdapat perbedaan focus
dan locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Tyson & Jackson
sebagai landasan terotik penyusunan
konsep dan instrumen penelitian.
Penulis juga menggunakan teori yang
sama untuk menyusun konsep dan
instrumen penelitian. Dengan
persamaan teori tersebut namun karena
focus dan locus penelitian berbeda,
maka dengan sendirinya konsep dan
instrumen penelitian serta hasil
penelitian pun menjadi angat berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
menggunakan pendekatan penelitian
kuantitatif dan kualitatif (mix methods).
Penulis juga menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif dan analisis
deskriptif yang dikembangkan dengan
metode analisis triangulasi pengamat.
Dengan terdapat perbedaan metodologi
penelitian; dan juga karena terdapat
perbedaan focus dan locus penelitian,
53

maka hasil penelitian pun menjadi


sangat berbeda. Meskipun demikian,
hasil penelitian Saudara Aries layak
dijadikan rujukan dan diapresiasi
karena menunjukkan keberhasilan yang
sigifikan dalam menerapan pendekatan
epistemologi hingga tersusunnya
konsep baru tentang Strategi
Pengelolaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas; konsep
baru tentang Struktur Organisasi
Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas; dan konsep baru
tentang Keselarasan Pengelolaan
Sumber Daya Administrasi Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas yang layak dianggap sebagai the
new reliable knowledge.

5 Tati Iriani, 2017, Efektivitas Catatan persamaan dan perbedaan


Pelaksanaan Fungsi Dinas Sosial di antara hasil penelitian terdahulu
Provinsi Jawa Barat Dalam yang dikutip dengan penelitian yang
Penyelenggaraan Pelayanan Sosial, penulis laksanakan antara lain sebagai
Program Studi Doktor Ilmu Administrasi berikut :
Publik, Program Pascasarjana Universitas Object, Focus dan Locus
Padajdjaran Bandung. Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
sama mengambil efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
berbeda dalam hal focus penelitian dan
locus penelitian. Peneliti mengangkat
Pelaksanaan Fungsi Dinas Sosial
sebagai fokus penelitian dan
menjadikan Dinas Sosial Provinsi Jawa
Barat sebagai locus penelitian; penulis
mengangkat pelaksanaan fungsi
pencegahan radikalisme dan terorisme
di Indonesia sebagai focus penelitian;
dan penulis menjadikan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme
sebagai locus penelitian. Meskipun
sama-sama mengangkat efektivitas
organisasi sebagai obyek penelitian;
namun karena terdapat perbedaan focus
dan locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti menggunakan teori efektivitas
54

organisasi dari Steers sebagai landasan


terotik penyusunan konsep dan
instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Tyson & Jackson untuk
menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut dan karena focus dan locus
penelitian berbeda, maka dengan
sendirinya konsep dan instrumen
penelitian serta hasil penelitian pun
menjadi angat berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif;
penulis juga menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif dan analisis
deskriptif yang dikembangkan dengan
metode analisis triangulasi pengamat.
Dengan persamaan metodologi
penelitian; namun karena terdapat
perbedaan focus dan locus penelitian,
maka hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda. Meskipun demikian,
hasil penelitian Saudara Tati layak
dijadikan rujukan dan diapresiasi
karena menunjukkan keberhasilan yang
sigifikan dalam menerapan pendekatan
epistemologi hingga tersusunnya
konsep baru tentang Konsep
Optimalisasi Tujuan Administrasi
Usaha Kesejahteraan Sosial yang layak
dianggap sebagai the new reliable
knowledge.

6 Ach. Baidowi, 2020, Pengaruh Catatan persamaan dan perbedaan di


Pengawasan dan Kompetensi Terhadap antara hasil penelitian terdahulu yang
Efektivitas Pengelolaan Dana Desa dikutip dengan penelitian yang penulis
Berbasis E-Village Budegting di laksanakan antara lain sebagai berikut :
Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Object, Focus dan Locus
Timur, Progam Studi Doktor Ilmu Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
Pemerintahan, Institut Pemerintahan sama mengambil efektivitas organisasi
Dalam Negeri. sebagai obyek penelitian; namun
berbeda dalam hal focus penelitian dan
locus penelitian. Peneliti mengangkat
pengelolaan dana desa berbasis e-
village budgeting fokus penelitian dan
menjadikan Desa-desa di Kabupaten
Banyuwangi sebagai locus penelitian;
penulis mengangkat pelaksanaan fungsi
55

pencegahan radikalisme dan terorisme


di Indonesia sebagai focus penelitian;
dan penulis menjadikan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme
sebagai locus penelitian. Meskipun
sama-sama mengangkat efektivitas
organisasi sebagai obyek penelitian;
namun karena terdapat perbedaan focus
dan locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Siagian sebagai
landasan terotik penyusunan konsep
dan instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori efektivitas
organisasi dari Tyson & Jackson untuk
menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut dan karena focus dan locus
penelitian berbeda, maka dengan
sendirinya konsep dan instrumen
penelitian serta hasil penelitian pun
menjadi angat berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
menggunakan pendekatan kuantitaif
dan kualitatif (mix methods); penulis
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif yang
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Dengan
perbedaan dan persamaan metodologi
penelitian; dan dengan perbedaan focus
dan locus penelitian, maka hasil
penelitian pun menjadi sangat berbeda.
Meskipun demikian, hasil penelitian
Saudara Baidowi layak dijadikan
rujukan dan diapresiasi karena
menunjukkan keberhasilan yang
sigifikan dalam menerapan pendekatan
epistemologi hingga tersusunnya
konsep baru tentang Koreksi
Penyimpangan Pengelolaan Dana Desa
Berbasis Elektronik, dan konsep baru
tentang Kompetensi Pengelolaan Dana
Desa Berbasis Elektronik yang layak
dianggap sebagai the new reliable
knowledge.
56

7 Muh. Syarif Ahmad dan Sumarlin, Object, Focus dan Locus


2014, Analisis Faktor-Faktor Yang Penelitian : Peneliti dan penulis sama-
Mempengaruhi Efektifitas Organisasi sama mengambil efektivitas organisasi
Pada Badan Kepegawaian Daerah sebagai obyek penelitian; namun
Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal berbeda dalam hal focus penelitian dan
Administrasi Negara - Sekolah Tinggi locus penelitian. Peneliti mengangkat
Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi faktor-faktor yang mempengaruhi
Negara (STIA LAN), Makassar. efektifitas organisasi sebagai fokus
penelitian dan menjadikan Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan sebagai locus
penelitian; penulis mengangkat
pelaksanaan fungsi pencegahan
radikalisme dan terorisme di Indonesia
sebagai focus penelitian; dan penulis
menjadikan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme sebagai
locus penelitian. Meskipun sama-sama
mengangkat efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
karena terdapat perbedaan focus dan
locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti tidak mnenunjukan secara
ekspilisit teori yang dijadikan landasan
terotik penyusunan konsep dan
instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori Tyson & Jackson
untuk menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut maka dengan sendirinya
konsep dan instrumen penelitian serta
hasil penelitian pun menjadi angat
berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
dan penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif. Penulis juga
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif namun
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Meskipun
terdapat persamaan dalam
menggunakan metodologi penelitian;
namun karena sangat berbeda focus dan
locus penelitian, maka hasil penelitian
57

pun menjadi sangat berbeda. Meskipun


demikian, hasil penelitian Ahmad dan
Sumarlin layak dijadikan rujukan dan
diapresiasi.

8 Amir Syarifudin Kiwang, David B. Object, Focus dan Locus Penelitian :


W. Pandie, Frans Gana, 2015, Peneliti dan penulis sama-sama
Analisis Kebijakan dan Efektivitas mengambil efektivitas organisasi
Organisasi, Jurnal Kebijakan dan sebagai obyek penelitian; namun
berbeda dalam hal focus penelitian dan
Administrasi Publik, FISIPOL UGM
locus penelitian. Peneliti mengangkat
penerapan Peraturan Gubernur Nusa
Tenggara Timur Nomor 8 Tahun 2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Pendidikan dan
Pelatihan Koperasi dan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah sebagai fokus
penelitian dan menjadikan Dinas
Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah Provinsi Nusa Tenggara
Timur; penulis mengangkat
pelaksanaan fungsi pencegahan
radikalisme dan terorisme di Indonesia
sebagai focus penelitian; dan penulis
menjadikan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme sebagai
locus penelitian. Meskipun sama-sama
mengangkat efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
karena terdapat perbedaan focus dan
locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti tidak menunjukkan secara
eksplisit teori yang dijadikan landasan
terotik penyusunan konsep dan
instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori Tyson & Jackson
untuk menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut maka dengan sendirinya
konsep dan instrumen penelitian serta
hasil penelitian pun menjadi angat
berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
dan penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
58

analisis deskriptif. Penulis juga


menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif namun
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Meskipun
terdapat persamaan dalam
menggunakan metodologi penelitian;
namun karena sangat berbeda focus dan
locus penelitian, maka hasil penelitian
pun menjadi sangat berbeda. Meskipun
demikian, hasil penelitian Amir
Syarifudin dkk layak dijadikan rujukan
dan diapresiasi.

.
9 Fianda Gammahendra, 2011, Object, Focus dan Locus Penelitian :
Pengaruh Struktur Organisasi terhadap Peneliti dan penulis sama-sama
Efektivitas Organisasi - Studi Pada mengambil efektivitas organisasi
Persepsi Pegawai Tetap Kantor sebagai obyek penelitian; namun
Perwakilan Bank Indonesia Kediri, berbeda dalam hal focus penelitian dan
Jurnal Universitas Brawijaya locus penelitian. Peneliti mengangkat
kajian hubungan kausalitas di antara
Struktur Organisasi dengan Efektivitas
Organisasi sebagai fokus penelitian dan
menjadikan Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Kediri sebagai locus
penelitian; penulis mengangkat
pelaksanaan fungsi pencegahan
radikalisme dan terorisme di Indonesia
sebagai focus penelitian; dan penulis
menjadikan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme sebagai
locus penelitian. Meskipun sama-sama
mengangkat efektivitas organisasi
sebagai obyek penelitian; namun
karena terdapat perbedaan focus dan
locus penelitian, maka dengan
sendirinya hasil penelitian pun menjadi
sangat berbeda; dan tidak mungkin
terjadi plagiat.
Teori dan Konsep Penelitian :
Peneliti tidak menunjukkan secara
eksplisit teori yang digunakan sebagai
landasan terotik penyusunan konsep
dan instrumen penelitian. Penulis
menggunakan teori Tyson & Jackson
untuk menyusun konsep dan instrumen
penelitian. Dengan perbedaan teori
tersebut maka dengan sendirinya
konsep dan instrumen penelitian serta
59

hasil penelitian pun menjadi angat


berbeda.
Metode Penelitian : Peneliti
dan penulis sama-sama menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan
analisis deskriptif. Penulis juga
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan analisis deskriptif namun
dikembangkan dengan metode analisis
triangulasi pengamat. Meskipun
terdapat persamaan dalam
menggunakan metodologi penelitian;
namun karena sangat berbeda focus dan
locus penelitian, maka hasil penelitian
pun menjadi sangat berbeda. Meskipun
demikian, hasil penelitian Fianda layak
dijadikan rujukan dan diapresiasi.

2.2 Kerangka Teori

Kerangka teori terdiri atas grad theory : Ilmu Pemerintahan; middle range

theory : Teori Birokrasi; dan applied theory : Teori Organisasi, Teori Efektivitas

Organisasi. dan Teori Terorisme. Deskripsi tiga kelompok teori tersebut adalah

berikut :

2.2.1 Grand Theory : Ilmu Pemerintahan

Sebagai suatu disiplin ilmu yang tengah berkembang, pemahaman akan

disiplin Ilmu Pemerintahan sekurang-kurangnya mencakup dua konsep

pemahaman, yaitu Ilmu Pemerintahan dan perkembangan Ilmu Pemerintahan.

Deskripsi kedua konsep pemahaman tersebut adalah berikut :

2.2.1.1 Ilmu Pemerintahan

Mac Iver (1947) mengatakan : “Government is the organization of men

under authority ... how men can be governed.” Menurut Mac Iver, pemerintahan

itu adalah sebagai suatu organisasi dari orang-orang yang mempunyai


60

kekuasaan ... bagaimana manusia itu bisa diperintah. Searah dengan pendapat ini,

Wilson (1903:572) mengatakan :

Government in last analysis, is organized force, not necessarily or


invariably organized armed force, but two of a few men, of many men, or
of a community prepared by organization to realise its own purposes
with references to the common affairs or the community.

Menurut Wilson, pemerintah dalam akhir uraiannya adalah suatu

pengorganisasian kekuatan, tidak selalu berhubungan dengan organisasi kekuatan

angkatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari sekian banyak

kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan

maksud dan tujuan bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan bagi

urusan-urusan umum kemasyarakatan. Searah dengan pendapat ini, Apter (1965 :

84) mengatakan :

Government is the most generalized membership unit prossessing


(a) defined responsibilities for maintenance of the system of which it is a
part and (b) a practical monopoly of coercive power.

Menurut Apter, pemerintah itu merupakan suatu anggota yang paling

umum yang (a) memiliki tanggungjawab tertentu untuk mempertahankan sistem

yang mencakupnya, itu adalah bagian dan (b) monopoli praktis mengenai

kekuasaan paksaan. Menurut Van Poelje (1993:1) : “De bestuurskunde leert, hoe

men de openbare dienst het beste inricht en leidt.” Menurut Van Poelje, ilmu

pemerintahan mengajarkan bagaimana dinas umum disusun dan dipimpin dengan

sebaik-baiknya. Searah dengan pendapat ini, Rosenthal (1978:17) mengatakan :

“De bestuurwetenschap is de wetenschap die zich uitsluitend bezighoudt met de

studie van interneen externe werking van de structuren en prosessen.” Menurut

Rosenthal, ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang


61

penunjukkan cara kerja ke dalam dan ke luar struktur dan proses pemerintahan

umum. Menurut penulis, pendapat ini cenderung pada pemahaman Ilmu

Administrasi.

Ndraha (2000 :7) mengatakan bahwa Ilmu Pemerintahan dapat

didefinsikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pemerintah (unit kerja

publik) bekerja memenuhi dan melindungi tuntutan (harapan, kebutuhan) yang-

diperintah akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.

Menurut A. Van Braam sebagaimana dikutip oleh R.G. Djofari (dalam

Supriatna dan Yassin, 2013: 1-2), pemahaman dan pengenalan memerintah

didapatkan oleh para pelaksana pemerintahan melalui berbagai cara berikut:

a. Melalui Ekulturasi, yaitu pelaksanaan pemerintah menyerap pengenalan


pemerintahan (yang bisa didapat) melalui pendidikan, pengajaran,
pelatihan atau traning secara langsung di tempat kerja. Mereka belajar
menyerap, mendengar dan mempertimbangkan nilai-nilai tentang
pemerintahan sambil melakukan kegiatan pemerintahan.
b. Di dalam praktek (kehidupan, pemerintahan atau politik) yaitu
pelaksanaan pemerintahan mendapatkan pengenalan dari pengalaman
sendiri dengan kenyataan pemerintahan yang sebenarnya. Mereka
“mengalami apa yang berlaku dan benar” dan apa yang “berhasil” dan
“tidak berhasil” serta apa yang mereka daoat atau tidak dapat
diselesaikan atau tambahan.
c. Menurut penyelidikan sendiri, yaitu pelaksanaan pemerintahan dengan
sengaja memeriksa dan meneliti sendiri, mengumpulkan bahan-bahan,
mencari informasi, dan melalui dasar empiris, membentuk nilai-nilai
dengan pertimbangan sendiri.
d. Dengan pemberitahuan para ahli atau spesialis dari ilmu atau praktek.
Pelaksanaan pemerintahan meminta penerangan, saran/advis, instruksi
oleh “orang-orang profesional dalam bidang ilmu tertentu, mereka
mendasarkan pertimbangan sendiri pada keahliannya (yang diakui) dan
informasi orang lain (ilmuan, pegawai yang biasa menentukan
kebijaksanaan, pers dan lain-lain).
e. Melalui pemikiran, instropeksi, penemuan dan sebagaimana yaitu
pelaksanaan pemerintahan mencoba membentuk “kebenaran” baru
dengan memiki secara kreatif dan logis, mencari kebenaran di dalam
diri sendiri, dengan pemikiran serta di dalam diri sendiri menemukan
yang dicari.
62

Pada prinsipnya pemahaman dan pengenalan memerintah dalam

pemerintahan di atas yang bersifat subyektitas yang dikembangkan atas dasar non

ilmiah, mitos, normatif, dan lain-lain. Selain itu terdapat pemahaman dan

pengenalan memerintah dalam pemerintahan melalui secara ilmiah. Pengenalan

dan pemahaman memerintah dalam pemerintahan secara ilmiah pada prinsipnya

adalah pengetahuan yang terjadi dengan cara pemikiran tertentu atau berbagai

cara pemikiran sesuai dengan norma, metode, teknik dan lain-lain yang bersifat

prosedur ilmiah untuk dipertanggung-awabkan berdasarkan ukuran, isi dan

hasilnya yang bermutu konsepsional – teoritis maupun praktek – empiris

pemerintahan. Pengenalan memerintah secara ilmiah mempunyai kecenderungan

untuk mencapai tingkat akstaksi yang tinggi, obyektivitas, sistematis dan

mempunyai kebebasan atau value free yang lebih besar menuju realitas empiris

secara logis dan universal. Pengenalan memerintah kebenaran ilmiah mempunyai

asumsi dasar sebagai pemahaman kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah

memerintah secara teoritis, metodik dan empiris yang eruji dan mengandung

realitas universal. Pengenalan memerintah dalam konteks kebenaran ilmiah

pemerintahan dalam membantu untuk melaksanakan tujuan dan cita-cita

pemerintahan dalam hukum keadilan dan kebahagiaan. (Supriatna dan Yassin,

2013: 2-3)

Lebih lanjut, A. Van Braam dalam bukunya Filosofie van De

Bestuurwetenshappen mengatakan bahwa selama orang memerintah, maka

diadakan pemikiran mengenai pemerintahan. Selama dilakukan studi

pemerintahan, maka terdapat gejala-gejala pemerintahan yang merupakan pokok


63

uraian dalam ilmu pemerintahan. Ilmu-ilmu yang sekarang kita sebut ilmu-ilmu

pemerintahan adalah produk perkembangan ilmu dan perkembanan fiferensiasi

(pembedaan) di abab kedua puluh. Di dalam ruang lingkup ilmu-ilmu modern ada

berbagai ilmu pengetahuan pemerintahan yang salin berkait dan tumpang tindih.

Dengan demikiran dapat menemukan bidang-bidang ilmu seperti ilmu hukum

publik (khususnya hukum pemerintahan dan administrasi), ilmu keuangan,

ekonomi sektor publik, ilmu politik (pemerintahan), ilmu manajemen (keahlian

dalam organisasi, ilmu memimpin, pengetahuan memerintah. Semua ilmu itu

berhubungan erat dengan gejala-gejala pemerintahan, cara memerintah,

manajemen menangani aspek-aspek atau bagian-bagian darinya dalam bidang

perhatian yang khusus. (Supriatna dan Yassin,2013:3-4)

Setiap ilmu pengetahuan baik ilmu yang dikategorikan atau rumpun

keilmuannya yaitu ilmu kealaman, sosial dan humaniora pada dasarnya dalam

keajegan atau konsistensi ilmu harus ditinjau dari pendekatan filsafat lmu.

Pendekatan dari filsafat ilmu dari aspek-aspek : a) ontologi, yaitu hakekat

keberadaan yang mengandung aspek obyek materia dan forma pengetahuan, b)

epistemologi, yaitu subyek, obyek, metode dan kebenaran yang erat kaitannya

dengan karateristik ilmu, dan c) aksiologi atau manfaan dan kegunaan ilmu bagi

kepentingan manusia. (Supriatna dan Yassin, 2013: 4)

Kebenaran atau kesahihan ilmu pengetahuan, menurut Supriatna dan

Yassin (2013: 4), mempunyai konsistensi ilmia secara filsafat harus dipandang

dari:

1. Kebenaran koherensi (kebenaran pengetahuan yang mempunyai


hubungan proposisi yang secara logis);
64

2. Kebenaran korenpondensi (proposisi itu sahih apabila berhubungan


dengan realita yang menjadi obyek pengetahuan);
3. Kebenaran pragmatis (proposisi yang mempunyai konsekuensi terhadap
kegunaan dan manfaat bagi yang menggunakannya);
4. Kebenaran semantik (proposisi mempunyai kebenaran secara arti dan
makna sesungguhnya);
5. Kebenaran logika (poposisi memiliki logis yang berbeda tetapi berisi
informatif yang sama dan tidak perlu dibuktikan lagi). Sehubungan
dengan itu, apabila pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan bagian atau
cabang ilmu politik pada dasarnya ditinjau dari kebenaran ilmiah harus
memiliki karakteristik ilmu pengetahuan yang memnuhi kualifikasi
ilmu yang bersifat pengetahuan yang obyektif, sistematis, terorganisis,
rasional, metodik, verifikatif dan universal serta pengembangannya.

Apakah pemerintahan sebagai disiplin ilmu yang ilmiah? Untuk

memberikan argumentasi kadar ilmiah tentang pemerintahan sebagai ilmu, maka

harus dilihat dari pandangan ahli tentang definisi atau pemahaman tentang ilmu

pemerintahan. H. A. Brassz yang dikutip oleh Soewargono (1998: 8) merumuskan

“ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari cara bagaimana lembaga-

lembaga pemerintahan umum disusun dan difungsikan terhadap warga negara

baik secara internal maupun secara eksternal. (Supriatna dan Yassin, 2013: 5)

Pandangan menurut Braasz letaknya pada fokus atau sasaran ilmu

pemerintahan adalah susunan dan fungsi pemerintahan umum dalam

menyelenggarakan kegiatan, urusan dan aktivitas bagi kepentingan pelayanan

pada warganya. Dalam konsepsi tersebut, Braasz memasukkan dua pendekatan

dalam merumuskan definisinya : Pertama, pendekatan fungsional yang

mempelajari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pemerintahan; Kedua,

pendekatan struktural yang mempelajari lembaga-lembaga dan orang-orang yang

melaksanakan kegiatan pemerintahan tersebut. (Supriatna dan Yassin, 2013: 5)


65

Selain itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM bernama Soempono

Djojowadono mengemukakan ilmu pemerintahan dengan mengacu pada

perkembangan di negeri Belanda. Ilmu pemerintahan di negeri Belanda dikenal

dengan tiga nama, yaitu beesturkunde, bestuurwetenshap dan

bestuurwetenshappen. Dengan mengutif buku Algemene Inleading Tot De

Bestuurkunde karangan Van Poelje (1942), bestuurkunde didefinisikan sebagai

ilmu yang memusatkan perhatian pada bagaimana cara menyusun,

menyelenggarakan pemerintahan umum dan memimpin dinas umum. Sedangkan

Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA (2008: 83) menyatakan bahwa “ilmu

pemerintahan bersumber dari tradisi bestuurkunde yang dikembangkan oleh Van

Poelje merupakan ilmu terapan yang mempelajari bagaimana dinas umum dengan

sebaik-baiknya sehingga ilmu pemerintahan dalam pengertian ini membekali

keterampilan profesional birokratis. (Supriatna dan Yassin, 2013: 5-6)

Pandangan lain seperti Rossenthal (1987) dalam Soewargono (2008: 21)

menyoroti penggunaan istilah kunde dalam menyebutkan ilmu pemerintahan,

kunde mengandung pengertian bahwa dalam ilmu pemerintahan ialah dipahami

dan siap untuk diterapkan, sehingga bestuurwetenschap berisi sarana-sarana

dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan pemerintahan umum. Berkenaan

dengan penggunaan istilah kunde. Max Ivec (1958) dalam Yossi Adiwisastra

(2008: 74) memandang bahwa pemerintahan sebagai sebuah seni, dalam

pernyataannya “we should then be content to think of government rather as an art

a science” (kita harus puas memandang pemerintahan lebih sebagai seni daripada

sebagai ilmu). (Supriatna dan Yassin, 2013: 6)


66

Sedangkan bestuurwetenschappen didefinisikan oleh Braasz (1975) dan

Rosethal (1977) dalam Soempono Djojowadono (2008) sebagai ilmu yang secara

mandiri berusaha mempelajari keseluruhan struktur dan proses bekerjanya atau

berfungsinya openbaah bestuur/openbaar dienst baik ke dalam maupun keluar

dalam hubungannya dengan masyarakat. Sehubungand engan itu Soempono

Djojowadono menenai bestuurwetenschapepen berusaha lebih menerapkan diri

ilmiahnya ilmu pemerintahan yaitu dengan menganalisis, menerapkan dan

menemukan pelbagai keajegan daripada sebagai seni sebagaimana pengertian

dalam bestuurwetenschap. (Supriatna dan Yassin, 2013: 6-7)

Bestuurwetenschappen atau ilmu pemerintahan bersifat jamak merupakan

kumpulan pelbagai bagian dari bestuurkunde atau praktek pemerintahan dan

bestuurwetenschap ditambah sumbangan dari ilmu-ilmu yang secara khusus

memberikan perhatiannya kepada pemerintahan dalam aspek tertentu, seperti

hukum pemerintaahn (bestuurrech), politik pemerintahan (bestuurpolitieck),

sosiologi pemerintahan (bestuursosiologie), psikologi (bestuurpsychologie),

ekonomi pemerintahan (bestuureconomie), administrasi pemerintahan

(bestuuradministratie) dan lain-lain. (Supriatna dan Yassin, 2013: 7)

A.Van Braam (dalam Supriatna dan Yassin, 2013: 7-8) mengatakan bahwa

Ilmu Pemerintahan yang berdimensi ilmu-ilmu pemerintahan mempunyai

berbagai karakteristik, yaitu: Pertama, pertambahan yang eksplosif dari

pengetahuan pemerintahan yang bersifat pengetahuan kemasyarakatan atau sosial,

pengetahuan ilmu pasti dan pengetahuan alam terutama pada aban dewasa ini;

Kedua, bertambah banyaknya pengenalan pemerintahan secara ilmiah dalam


67

penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan cara kerja ilmiah dan

pemanfaatan fakta secara ilmiah bertanggungjawab; Ketiga, penerapan ilmiah

secara arif dalam pembuatan kebijaksanaan dan pelaksanaan pemerintahan umum

secara modern dengan menerapkan sistem informasi pemerintahan yang

dipertanggungjawabkan secara ilmiah; Keempat, adanya relevansi antara produk

ilmiah pemerintahan dan pengguna kebijaksanaan pemerintahan atas dasar

penerapan informasi dan kemauan politik serta kemampuan melaksanakan.

Kemampuan melaksanakan yang dimaksud antara lain terlihat tata kelola

pemerintahan. Untuk itu, diperlukan suatu pendekatan analisis yang dapat

membantu tersusunnya suatu formula strategi pemerintahan yang berguna untuk

meningkatkan efektivitas pemerintahan.

Dalam analisis tata pemerintahan, menurut Ermaya, (2013:18), meskipun

persoalan dasar dan tatanan pemerintahan dianggap sama; namun kemampuan

masing-masing pemerintahan dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan

tentu berbeda. Kemampuan ini tentu sangat diperlukan dalam mengelola tata

pemerintahan yang baik. Untuk itu, menurut Ermaya, (2013:18) :

Analisis tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya menggunakan


analisis SWOT melainkan juga bagi Indonesia menurut saya dapat
menggunakan analisis ASOCA yaitu kepanjangan dari ability
(kemampuan), strength (kekuatan), opportunities (peluang), culture
(budaya), dan agility (kecerdasan). Analisis ASOCA menambahkan
unsur culture (budaya) dan agility (kecerdasan) sebagai unsur yang
penting dalam menemukan strategi pemecahan masalah pengambilan
keputusan, dan dapat dikembangkan dalam mengikuti perubahan,
perkembangan zaman, dan kebutuhan.

Pemikiran yang demikian itu muncul dilatarbelakangi oleh esensi utama

dalam manajemen pemerintahan, yaitu untuk mengambil putusan yang strategis


68

oleh mereka yang memiliki otoritas pemerintahan maupun organisasi sosial

sebagai pengambil putusan dan mereka yang melaksanakan penelitian baik secara

kualitatif maupun kuantitatif setelah mempertimbangkan hasil analisis ASOCA,

dan faktor lainnya yang memerlukan kecerdasan seorang pemimpin dalam

pengambilan keputusan, dan mereka yang melakukan penelitian untuk

memberikan hasil penelitiannya pada mereka yang membutuhkan. (Ermaya,

2013:18) Terminologi ASOCA dapat dijelaskan sebagai berikut:

Abiilty (kemampuan) : Kemampuan berasal dari kata “mampu” yang


berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, dapat juga orang yang
berada atau kaya, mempunyai harta berlebih, kemampuan juga dapat
diartikan kesanggupan, kecakapan, kemampuan diri sendiri.
Strength (kekuatan, ketangguhan) : Ketangguhan berasal dari kata
“tangguh” yang berarti sukar dikalahkan, kuat, handal, kuat sekali, tabah
dan kuat, kukuh. Ketangguhan berarti ula kekuatan, keuletan.
Opportunities (peluang) : Peluang berarti ruang gerak, baik yang bersifat
konkret maupun abstrak dan memberikan kesempatan, kemungkinan
untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi usah untuk mencapai
cita-cita tujuan dan program. Culture (budaya) : Budaya berati pikiran,
akan budaya, hasil, adat istiadat, dan sesuatu mengenai kebudayaan yang
sudah berkembang (beradad, maju) atau sesuatu yang menjadi kebiasaan
yang sulit diubah karena kesepakatan dalam lingkungan tertentu yang
terus menerus dipelihara. Dengan budaya orang akan maju dan modern
dan selalu hidup pada zamannya. Agility (kecerdasan) : Kecerdasan
berasal dari kata “cerdas” yang berarti sempurna perkembangan akal budi,
tajam pikiran, kesempurnaan dalam pertumbuhannya, kesempurnaan akal
budinya, ketajaman pikiran dan kepandaian. Kemampuan saja tidak
cukup, harus dengan kecerdasan dalam mengelola pikir, menganalisis
suatu informasi untuk dijadikan bahan putusan.

Menurut Ermaya (2013:19), sinergitas elemen-elemen ASOCA sangat

penting yang dapat dikelompokkan ke dalam lingkungan strategis internal dan

eksternal yang dapat dibuat dalam bentuk matriks. Berikut ini matriks analisis

ASOCA yang cocok dengan negara Indonesia yang majemuk, dan memiliki letak

yang strategis di dunia.


69

Faktor
Internal Ability Strength Agility
Faktor (kemampuan) (kekuatan) (kecerdasan)
Eksternal
(A) menggunakan (C) menggunakan (E) menggunakan
Opportunities kemampuan untuk kekuatan untuk kecerdasan untuk
(peluang) memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang
(B) melihat kemampuan (D) menggunakan (F) menggunakan
Culture untuk menghadapi kekuatan untuk tanggap kecerdasan untuk
(budaya) tuntutan lingkungan terhadap pengaruh mensiasati pengaruh
perubahan budaya perubahan budaya perubahan budaya
Gambar menampilkan matriks sebelas kotak yang melihat organisasi dari

faktor internal organisasi yaitu, ability, strength, dan agility serta melihat faktor

eksternal yaitu opportunities, dan culture. Enam kotak lainnya merupakan

tindakan yang harus dilakukan organisasi ketika faktor internal organisasi

diperhadapkan dengan faktor eksternal. Untuk mengetahui penerapan sinergitas

elemen-elemen ASOCA ke dalam lingkungan strategis internal dan eksternal

organisasi tentu diperlukan suatu perhitungan matematis tertentu. Praktek

perhitungam matematis yang dimaksud tentu harus didasarkan pada skor-skor

tertentu seperti yang berlaku dalam Analisis SWOT. (Ermaya, 2013:20)

2.2.2 Middle Range Theory : Teori Birokrasi

2.2.2.1 Pengertian Birokrasi

Mengutip pandangan Weber, Farazmand (2009: 5) mengemukakan

pengertian birokrasi berikut :

Bureaucracy has at least three major connotations or meanings: One is


the traditional view of the term as defi ned by Weber and characterized as
a Weberian model, referring to any organization of modern society with
several ideal characteristics such as unity of command, clear line of
hierarchy, division of labor and specialization, record keeping, and merit
system for recruitment and promotion, and fi nally, rules and regulations
to govern relationship and organizational performance. Th is was
Weber’s characterization as an ideal-type bureaucracy for policy
development and implementation (Weber, 1947). To Weber, bureaucracy
in modern society is intimately linked, and works together as a necessary
70

organizational instrument, with capitalism. With the growth of


government, society, and public sectors, bureaucracy assumes bigger
roles due to its unique position of expertise and order-oriented structure,
and it is almost impossible to control it.

Farazmand menjelaskan bahwa birokrasi memiliki setidaknya tiga

konotasi atau makna utama: Salah satunya adalah pandangan tradisional tentang

istilah yang didefinisikan oleh Weber dan dicirikan sebagai model Weberian,

merujuk pada setiap organisasi masyarakat modern dengan beberapa karakteristik

ideal seperti kesatuan komando, garis hierarki yang jelas, pembagian kerja dan

spesialisasi, pencatatan, dan sistem prestasi untuk rekrutmen dan promosi, dan

terakhir, aturan dan regulasi untuk mengatur hubungan dan kinerja organisasi.

Inilah karakterisasi Weber sebagai birokrasi tipe ideal untuk pengembangan dan

implementasi kebijakan (Weber, 1947). Bagi Weber, birokrasi dalam masyarakat

modern terkait erat, dan bekerja sama sebagai instrumen organisasi yang

diperlukan, dengan kapitalisme. Dengan tumbuhnya sektor pemerintahan,

masyarakat, dan publik, birokrasi mengambil peran yang lebih besar karena posisi

keahliannya yang unik dan struktur yang berorientasi pada ketertiban, dan hampir

tidak mungkin untuk mengendalikannya. Lebih jauh Farazmand (2009: 5)

menuturkan :

Bureaucratization is an inevitable process that expands and reaches


everywhere. Unless controlled, bureaucracy has a tendency to
“overtower” society and rule it. With this notion, bureaucracy also
means military–security bureaucracies. Weber’s ideal-type bureaucracy
is the most effi cient form of organization for the implementation of
policy and getting things done as a machinery of governance. Therefore,
his ideal model opens a strategic methodological “comparative
approach” in governance and organization theory. The second meaning
of bureaucracy refers to any large organization or institution structured
with missions, functions, and processes and with signifi cant impact on
its internal and external environments. This is the meaning that Waldo
71

(1992) also adopted, a meaning that is boarder and applicable to all


fairly large organizations, private as well as public, modern or ancient.
In fact long before Waldo raised this view, it was already studied,
mentioned, and applied in social science inquiries. Ancient Persian
bureaucracy is often noted as the most effi cient and eff ective
organization of public administration presenting many of the Weberian
ideal characteristics. Therefore, when speaking of federal bureaucracy,
or local bureaucracy, this meaning often applies. While Weber’s ideal
type is criticized for being rigid, infl exible, and not realistic, the second
meaning does not make any normative claims though by performance it
may produce normative reputations.

Farazmand menjelaskan bahwa birokratisasi merupakan proses

keniscayaan yang meluas dan menjangkau kemana-mana. Jika tidak dikendalikan,

birokrasi memiliki kecenderungan untuk “mengalahkan” masyarakat dan

mengaturnya. Dengan pengertian ini, birokrasi juga berarti birokrasi militer-

keamanan. Birokrasi tipe ideal Weber adalah bentuk organisasi yang paling

efisien untuk implementasi kebijakan dan menyelesaikan sesuatu sebagai mesin

pemerintahan. Oleh karena itu, model idealnya membuka "pendekatan

komparatif" metodologis strategis dalam pemerintahan dan teori organisasi.

Makna kedua dari birokrasi mengacu pada organisasi atau lembaga besar yang

terstruktur dengan misi, fungsi, dan proses serta berdampak signifikan terhadap

lingkungan internal dan eksternal. Ini adalah makna yang juga diadopsi oleh

Waldo (1992), makna yang bersifat kos dan berlaku untuk semua organisasi yang

cukup besar, baik swasta maupun publik, modern atau kuno. Sebenarnya jauh

sebelum Waldo mengemukakan pandangan ini, itu sudah dipelajari, disebutkan,

dan diterapkan dalam penyelidikan ilmu sosial. Birokrasi Persia kuno sering

dicatat sebagai organisasi administrasi publik yang paling efisien dan efektif yang

menghadirkan banyak karakteristik ideal Weberian. Oleh karena itu, ketika


72

berbicara tentang birokrasi federal, atau birokrasi lokal, pengertian ini sering kali

berlaku. Sementara tipe ideal Weber dikritik karena kaku, fleksibel, dan tidak

realistis, makna kedua tidak membuat klaim normatif meskipun dengan kinerja

dapat menghasilkan reputasi normatif. Menurut Farazmand (2009: 5) :

The third meaning of bureaucracy, though not much mentioned in


academe, is the one sociologists and political scientists refer to as
“dynamic” and extends to military and security bureaucratic institutions
of government and governance in public and private sectors. Although
there is a hazard of making arbitrary distinctions among these three
meanings, as they overlap signifi cantly, such distinctions may be useful
for a better understanding of the term bureaucracy. We may also add a
key feature of all bureaucracies—no matter what meaning we apply—and
that is the fact that all bureaucracies are parts of the constitutive elements
of the broader social systems—the society, the government, and the
organization of economy and culture or religion. Bureaucracies, like any
other organizations, are part of, and function within, the broader societal
systems that expand and constrain their environments and performance.
Th e vast literature on bureaucracy opens up numerous topics and areas
of inquiry in social sciences.

Menurut Farazmand, makna ketiga dari birokrasi, meskipun tidak banyak

disebutkan dalam akademisi, adalah yang oleh sosiolog dan ilmuwan politik

disebut sebagai "dinamis" dan meluas ke lembaga birokrasi militer dan keamanan

pemerintah dan pemerintahan di sektor publik dan swasta . Meskipun ada bahaya

membuat perbedaan yang sewenang-wenang di antara ketiga makna ini, karena

mereka tumpang tindih secara signifikan, perbedaan tersebut mungkin berguna

untuk pemahaman yang lebih baik tentang istilah birokrasi. Kami juga dapat

menambahkan fitur utama dari semua birokrasi — apa pun arti yang kami

terapkan — dan itulah fakta bahwa semua birokrasi adalah bagian dari elemen

konstitutif dari sistem sosial yang lebih luas — masyarakat, pemerintah, dan
73

organisasi ekonomi dan budaya atau agama. Birokrasi, seperti organisasi lainnya,

adalah bagian dari, dan berfungsi di dalam, sistem masyarakat yang lebih luas

yang memperluas dan membatasi lingkungan dan kinerja mereka. Literatur yang

luas tentang birokrasi membuka banyak topik dan bidang penyelidikan dalam

ilmu social.

Menurut Ndraha (2003: 26), terdapat tiga macam pengertian birokrasi

yang berkembang saat ini, yakni Birokrasi diartikan sebagai aparat yang diangkat

penguasa untuk menjalankan pemerintahan (government by bureaus); Birokrasi

diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan yang buruk (patologi); dan

Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi.

Ndraha (2003: 26) menjelaskan bahwa pengertian birokrasi pemerintahan

adalah suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari sub-sub struktur yang

memiliki hubungan satu dengan yang lain, yang memiliki fungsi, peran, dan

kewenangan dalam melaksanakan pemerintahan, dalam rangka mencapai suatu

visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan. Dengan pengertian ini,

Ndraha (2003: 26) menjelaskan :

Fungsi dan peran birokrasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1)


melaksanakan pelayanan publik; (2) pelaksana pembangunan yang
profesional (merit system); (3) perencana, pelaksanan, dan pengawas
kebijakan (manajemen pemerintahan); (4) alat pemerintah untuk melayani
kepentingan (abdi) masyarakat dan negara yang netral dan bukan
merupakan bagian dari kekuatan atau mesin politik (netralitas birokrasi).
Dengan fungsi tersebut, kewenangan birokrasi adalah kewenangan formal
yang dimiliki dengan legitimasi produk hukum bukan dengan legitimasi
politik.

Birokrasi dalam Perspektif Administrasi Publik dipandang sebagai

badan atau organisasi pemerintahan yang melaksanakan layanan publik yang


74

profesional, efektif, efisien, dan produktif. Birokrasi mesti melaksanakan tugas

sesuai aturan, cepat, tepat, mudah, murah, dan menghasilkan. Birokrasi dalam

perspektif politik dipandang sebagai badan pemerintah yang merupakan bagian

dari sistem politik atau kepanjangan tangan dari pihak (partai) berkuasa, yang

cenderung memihak (kepentingan penguasa dan rakyat), memiliki kewengan,

terlibat dalam perencanaan kebijakan/keputusan politik, dan dapat menjadi

organisasi mobilisasi massa. Birokrasi dalam Perspektif Pemerintahan

dipandang sebagai badan pemerintah yang melaksanakan fungsi-fungsi

manajemen pemerintahan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi,

koordinasi, resolusi konflik, dll), penetapan kebijakan publik, bersikap netral dan

profesional, melaksanakan etika birokrasi dan tata pemerintahan yang baik

(transparansi, akuntabilitas, dan partispatif). (Ndraha, 2003: 26)

Dalam teori birokrasi Weber, relasionalitas dibentuk antar jabatan, bukan

antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi posisisonal karena masih

berada satu payung kajian mahzab klasik, selain teori empat system dari Rensit

Likert. Birokrasi di Indonesia pada dasarnya terbentuk selaras dengan pemikiran-

pemikiran Max Weber. (Thoha, 1991: 43) Dalam konteks ini, Farazmand (2009:

6) mengemukakan :

Generally speaking, three theoretical perspectives on bureaucracy are


worth considering for analytical purposes. Th e fi rst views bureaucracy
positively as the machinery of government, a necessary and essential
system to organize and run the government aff airs in both domestic and
international relations. This view considers bureaucracy as an integral
part of government and governance system, an unavoidable structural
form of organization. Recognizing its shortcomings and problems, it
views bureaucracy as the best form for eff ectiveness, order and stability,
and an executive arm of government with no equal matches. It reminds
everyone of its impartiality in rule application, Its merit-based decisions
75

and professionalized performance, its stability and continuity against all


disorders, and its durability and expertise, as well as its vast capacities
to perform large-scale tasks no other organizations can (Weber, 1947;
Parsons, 1951; Goodsell, 1985). These and other proponents of
bureaucracy often remind us of the ancient Persian bureaucracy that was
the most effi cient and most eff ective organization of administration of
the vast Achaemenid World State Empire (559–330 BC). Th is
perspective has also tended to expand the notion of bureaucracy into a
concept of “administrative state,” an institutionalized administrative
system with organizational and professional capacities to manage an
economy, a society, and its public aff airs and serve broad-based public
interests—a professional, bureaucratic–administrative system that is also
political and does good (Waldo, 1948, 1992).

Menurut Farazmand, secara umum, tiga perspektif teoritis tentang

birokrasi layak dipertimbangkan untuk tujuan analitis. Yang pertama memandang

birokrasi secara positif sebagai mesin pemerintahan, sistem yang diperlukan dan

esensial untuk mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan baik dalam

hubungan domestik maupun internasional. Pandangan ini memandang birokrasi

sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan dan pemerintahan, suatu bentuk

struktur organisasi yang tidak dapat dihindari. Menyadari kekurangan dan

masalahnya, ia memandang birokrasi sebagai bentuk terbaik untuk efektivitas,

ketertiban dan stabilitas, dan badan eksekutif pemerintah tanpa tandingan. Ini

mengingatkan semua orang akan ketidakberpihakannya dalam penerapan aturan,

keputusan berdasarkan prestasi dan kinerja profesionalnya, stabilitas dan

kontinuitasnya terhadap semua gangguan, dan daya tahan dan keahliannya, serta

kapasitasnya yang besar untuk melakukan tugas skala besar yang tidak dapat

dilakukan oleh organisasi lain ( Weber, 1947; Parsons, 1951; Goodsell, 1985).

Para pendukung birokrasi ini dan lainnya sering mengingatkan kita pada birokrasi

Persia kuno yang merupakan organisasi administrasi paling efisien dan paling
76

efektif dari Kerajaan Negara Dunia Achaemenid yang luas (559–330 SM).

Perspektif ini juga cenderung memperluas pengertian birokrasi menjadi konsep

“negara administratif,” sistem administrasi yang dilembagakan dengan kapasitas

organisasi dan profesional untuk mengelola ekonomi, masyarakat, dan urusan

publiknya dan melayani kepentingan publik yang luas. —Sistem profesional,

birokrasi-administrasi yang juga politis dan melakukan kebaikan (Waldo, 1948,

1992). Farazmand (2009: 6) melanjutkan :

The second perspective views bureaucracy in negative terms: rigid, slow,


pathological, dysfunctional, obstacle, stifl ing, dehumanizing, and
objectifying human and social life. Th is view is also critical of
bureaucracy for being undemocratic and unaccountable to electorate
citizens in democracies. Critics of bureaucracy come from all walks of
life: from sociology to political science, organization theory, economics,
and public administration (Merton, 1957; Mosher, 1968; Hummel,
1976). Th eir solution is not only breaking bureaucracy and privatizing
government and governance functions—through whole-scale
privatization, marketization, commercialization, contracting out, and
outsourcing—but they also want to keep the core of the bureaucracy in
government to steer, to make and lead wars, to grant contracts to private
sectors, and to promote corporate and business interests. Typical of this
theoretical perspective is the contemporary neoclassical and neoliberal
economic and political theorists of “public choice,” and the new public
management (NPM) movements.

Dalam pandangan Farazmand, perspektif kedua memandang birokrasi

dalam pengertian negatif: kaku, lamban, patologis, disfungsional, hambatan,

mencekik, tidak manusiawi, dan mengobjektifkan kehidupan manusia dan sosial.

Pandangan ini juga kritis terhadap birokrasi karena tidak demokratis dan tidak

bertanggung jawab kepada warga negara pemilih di negara demokrasi. Kritikus

birokrasi datang dari semua lapisan masyarakat: dari sosiologi hingga ilmu

politik, teori organisasi, ekonomi, dan administrasi publik (Merton, 1957; Mosher,

1968; Hummel, 1976). Solusi mereka tidak hanya mendobrak birokrasi dan
77

privatisasi fungsi pemerintahan dan pemerintahan — melalui privatisasi skala

besar, pemasaran, komersialisasi, contracting out, dan outsourcing — tetapi

mereka juga ingin mempertahankan inti birokrasi di pemerintahan untuk

mengarahkan, membuat dan memimpin perang, untuk memberikan kontrak

kepada sektor swasta, dan untuk mempromosikan kepentingan perusahaan dan

bisnis. Khas dari perspektif teoretis ini adalah para ahli teori ekonomi dan politik

neoklasik dan neoliberal kontemporer tentang "pilihan publik", dan gerakan

Manajemen Publik Baru (NPM). Kemudian Farazmand (2009: 6) menuturkan :

The third perspective on bureaucracy is a more realistic and more


balanced one. Here bureaucracy is viewed in its positive and negative
ways, like a coin having two sides that represent good and bad.
Literature on this perspective is also heavy, with Waldo reminding us of
the utility of bureaucracy as an institution of governance and public
administration, with positive features on the one side and negative on the
other (Waldo, 1992; Peters, 2001). Look around the world, you will find
no government that is not bureaucratically organized in its executive
functions, and there is no real alternative to bureaucracy. Bureaucracy is
good when it is balanced in its functioning that serves broad-based
public interests, free from corruption, repressions, and rigidity. It is bad
when it serves specific interest groups—including itself—and against
other broad-based interests of the society. An example of this sort is a
bureaucracy inviting or joining a military dictatorship and works against
the popular demands of the society, civil society, and racial and
economic class interests.

Farazmand menuturkan bahwa perspektif ketiga tentang birokrasi lebih

realistis dan lebih seimbang. Di sini birokrasi dilihat dari sisi positif dan

negatifnya, seperti mata uang yang memiliki dua sisi yang mewakili baik dan

buruk. Literatur tentang perspektif ini juga berat, dengan Waldo mengingatkan

kita tentang kegunaan birokrasi sebagai institusi pemerintahan dan administrasi

publik, dengan ciri-ciri positif di satu sisi dan negatif di sisi lain (Waldo, 1992;

Peters, 2001). Lihatlah ke seluruh dunia, Anda tidak akan menemukan


78

pemerintahan yang tidak terorganisir secara birokrasi dalam fungsi eksekutifnya,

dan tidak ada alternatif nyata selain birokrasi. Birokrasi baik jika diimbangi

fungsinya yang melayani kepentingan publik yang luas, bebas dari korupsi,

represi, dan kekakuan. Ini buruk bila melayani kelompok kepentingan tertentu —

termasuk dirinya sendiri — dan melawan kepentingan masyarakat luas lainnya.

Contoh semacam ini adalah birokrasi yang mengundang atau bergabung dengan

kediktatoran militer dan bekerja melawan tuntutan rakyat, masyarakat sipil, dan

kepentingan kelas rasial dan ekonomi.

2.2.3 Applied Theory : Teori Terorisme dan Teori Efektivitas Organisasi

Deskripsi applied theory untuk mendapat driven theory penyusunan

konsep penelitian adalah sebagai berikut :

2.2.3.1 Teori Terorisme

Tindakan teroris dan terorisme seperti dua sisi pada mata uang yang

sama. Karena itu, diperlukan suatu konsep pemahaman yang komprehensif dan

mendalam terhadap fenomena teroris dan terorisme.

2.2.3.1.1 Definisi Terorisme

Golose (2014) mendefinisikan “terorisme” : Setiap tindakan yang

melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat

dengan ancaman atau kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta

menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan atau psikologis dalam waktu

berkepenjangan sehingga dikategorikan sebagai tindakan kejahatan yang luar

biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime giants

humanity)
79

Pemahaman terhadap terorisme tentu tidak bersifat dan terbatas hanya

satu pengertian saja. Berikut telusuran muncul terorisme :

The term "terrorism" gained prominence during the French Revolution


when it was used by the Jacobins to kill known supporters of the Ancien
Régime, and to eliminate those labeled enemies of the revolution. Thus,
the state was the first proponent of using terrorism as a political tool.
Moving into the twentieth century, the regimes of Nazi Germany and
Soviet Russia, through the use of secret police, used tension to subdue
and kill those deemed enemies of the state. Further, a number of Latin
American states backed by the US utilised state-terrorism to silence the
population and consolidate their control – Chile and Nicaragua in
particular. Up until this point, terrorism was largely, though not
exclusively, defined by its use by state. And it was not until later that
academic circles shifted the focus to non-state actors. [21] There is
research to suggest that states that have witnessed severe upheaval
throughout their history will utilise state-terrorism. Such as Iraq, Syria,
Israel, Burundi, Rwanda, Zaire, Myanmar, Indonesia, Serbia and
Chechnya. Furthermore, for weak states, state terrorism is often viewed
as a legitimate total state consolidation.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Critical_terrorism_studies,diakses 1 Okt
2020).

Istilah "terorisme" menjadi terkenal selama Revolusi Prancis ketika

digunakan oleh Jacobin untuk membunuh pendukung Ancien Régime yang

dikenal, dan untuk melenyapkan musuh-musuh revolusi yang diberi label. Dengan

demikian, negara adalah pendukung pertama yang menggunakan terorisme

sebagai alat politik. Memasuki abad ke-20, rezim Nazi Jerman dan Soviet Rusia,

melalui penggunaan polisi rahasia, menggunakan ketegangan untuk menaklukkan

dan membunuh mereka yang dianggap sebagai musuh negara. Lebih lanjut,

sejumlah negara Amerika Latin yang didukung oleh AS memanfaatkan terorisme

negara untuk membungkam penduduk dan mengkonsolidasikan kendali mereka -

khususnya Chili dan Nikaragua. Sampai saat ini, terorisme sebagian besar,

meskipun tidak secara eksklusif, ditentukan oleh penggunaannya oleh negara. Dan
80

baru kemudian kalangan akademisi mengalihkan fokusnya ke aktor non-negara.

Ada penelitian yang menunjukkan bahwa negara-negara yang telah menyaksikan

pergolakan hebat sepanjang sejarah mereka akan memanfaatkan terorisme negara.

Seperti Irak, Suriah, Israel, Burundi, Rwanda, Zaire, Myanmar, Indonesia, Serbia

dan Chechnya.[Lebih lanjut, untuk negara lemah, terorisme negara sering

dipandang sebagai konsolidasi negara total yang sah. Mengacu pada persoalan

definisi terorisme, Wikipedia (2020) mengemukakan :

Terrorism therefore has a number of meanings and interpretations that


we can use to assess terrorist acts in the contemporary era. Terrorism is
a heavily contested concept and it is the context in which a violent act
occurs as to how people define the act. It is symbolic violence, a
communicative act, with the sole purpose to send the message. It is the
psychological effect of using fear, as it is not the victims of a terrorist
act. But the wider audience who are the target, because the victims
become instrumental as they are the message carriers.
 Generic terrorism: "The systematic use of violence and intimidation
to coerce a government or community, into acceding to specific
political demands."[24] It is the use of or the threat of violence that is
meant to intimidate a wider target than the immediate victims of
terrorism.
 Non-state terrorism: Involves attacks on civilians, symbolic and
random targets and is usually, though not exclusively, aimed at
bringing about political change.
 Religious terrorism: Political violence in the name of religion by
religiously motivated people. A problematic term that is used to
categorise terrorism and differentiate it from other forms of terrorism,
by assuming there is a casual relationship between religion and
violence, rather than looking at the study of beliefs and practices in
the production of political violence.
 State terrorism: Involves the intimidation of the civilian population
into submission. This occurs when a third-party is used to silence
dissidents, and kill people, instilling fear in the population.

(https://en.wikipedia.org/wiki/CTS, diakses 1 Okt 2020).

Oleh karena itu, terorisme memiliki sejumlah makna dan tafsir yang

dapat kita gunakan untuk menilai aksi terorisme di era kontemporer. Terorisme
81

adalah konsep yang sangat diperdebatkan dan ini adalah konteks di mana tindak

kekerasan terjadi tentang bagaimana orang mendefinisikan tindakan tersebut. Ini

adalah kekerasan simbolik, tindakan komunikatif, dengan tujuan tunggal untuk

mengirimkan pesan. Ini adalah efek psikologis dari penggunaan rasa takut, karena

ia bukan korban tindakan teroris. Tapi khalayak yang lebih luas yang menjadi

sasaran, karena korban menjadi instrumental sebagai pembawa pesan. Berikut

beberapa jenis terorisme : Terorisme umum: "Penggunaan kekerasan dan

intimidasi secara sistematis untuk memaksa pemerintah atau komunitas, agar

memenuhi tuntutan politik tertentu." Penggunaan atau ancaman kekerasan yang

dimaksudkan untuk mengintimidasi target yang lebih luas daripada korban

langsung terorisme. Terorisme non-negara: Melibatkan serangan terhadap warga

sipil, sasaran simbolis dan acak dan biasanya, meskipun tidak secara eksklusif,

ditujukan untuk membawa perubahan politik. Terorisme agama: Kekerasan

politik atas nama agama oleh orang-orang yang bermotivasi agama. Sebuah istilah

bermasalah yang digunakan untuk mengkategorikan terorisme dan

membedakannya dari bentuk-bentuk terorisme lainnya, dengan mengasumsikan

ada hubungan biasa antara agama dan kekerasan, daripada melihat studi tentang

keyakinan dan praktik dalam produksi kekerasan politik. Terorisme negara:

Melibatkan intimidasi penduduk sipil agar tunduk. Hal ini terjadi ketika pihak

ketiga digunakan untuk membungkam para pembangkang, dan membunuh orang,

menimbulkan ketakutan pada penduduk. Dalam konteks ini, Memorializing the

Victims of Terrorism : Definitions of Terrorism and the Canadian Context

(2015:1) mengatakan :
82

Many factors have been identified as contributing to the complexity


involved in determining the definition of "terrorism." According to
Weinberg et al. (2004), the primary factors that impede any attempt to
provide a formal definition of terrorism include the use of the term for
political purposes; problems associated with the scope of the term (i.e.
identifying where terrorism begins and ends); and issues associated with
the analytical characteristics of terrorism. Others argue that much of the
difficulty surrounding the definition of terrorism stems from the need to
develop a concrete meaning of the term (Grob-Fitzgibbon 2005; Fletcher
2006). For example, Grob-Fitzgibbon (2005) argues that the term
remains ambiguous as a result of governments and scholars seeking to
define the term too broadly so as to classify any form of unconventional
violence as terrorism. Rather, the author suggests that governments and
academics avoid "general" definitions of terrorism and instead
acknowledge the various meanings the term may occupy. Despite this
call to utilize the numerous and varied definitions of terrorism, legal
definitions continue to serve as the primary and formally recognized
definitions utilized by many governments and people. Given the scope of
this project, it is critical that such terms subsequently serve as the
foundation on which this report is based.

Banyak faktor telah diidentifikasi sebagai penyebab kompleksitas yang

terlibat dalam menentukan definisi "terorisme". Menurut Weinberg et al. (2004),

faktor utama yang menghalangi setiap upaya untuk memberikan definisi formal

terorisme termasuk penggunaan istilah tersebut untuk tujuan politik; masalah yang

terkait dengan ruang lingkup istilah (yaitu mengidentifikasi di mana terorisme

dimulai dan diakhiri); dan isu-isu yang terkait dengan karakteristik analitis

terorisme. Yang lain berpendapat bahwa sebagian besar kesulitan seputar definisi

terorisme berasal dari kebutuhan untuk mengembangkan makna konkret dari

istilah tersebut (Grob-Fitzgibbon 2005; Fletcher 2006). Sebagai contoh, Grob-

Fitzgibbon (2005) berpendapat bahwa istilah tersebut tetap ambigu karena

pemerintah dan sarjana berusaha untuk mendefinisikan istilah tersebut terlalu luas

sehingga dapat mengklasifikasikan segala bentuk kekerasan non-konvensional

sebagai terorisme. Sebaliknya, penulis menyarankan agar pemerintah dan


83

akademisi menghindari definisi "umum" dari terorisme dan sebaliknya mengakui

berbagai arti yang mungkin dimilikinya. Terlepas dari seruan untuk

memanfaatkan definisi terorisme yang banyak dan beragam, definisi hukum terus

menjadi definisi utama dan yang diakui secara formal yang digunakan oleh

banyak pemerintah dan masyarakat. Mengingat ruang lingkup proyek ini, sangat

penting bahwa istilah-istilah seperti itu kemudian menjadi dasar yang mendasari

laporan ini.

2.2.3.1.2 Tinjauan dan Kritik Pendekatan Psikologi

Penelitian psikologi “generasi pertama” tentang terorisme tidak secara

resmi ditetapkan atau dibatasi oleh periode waktu mana pun, tetapi untuk tujuan

diskusi ini, secara kasar akan mencakup istilah dari akhir 1960-an hingga

pertengahan 1980-an. Istilah "penelitian" digunakan secara longgar, karena

hampir tidak ada literatur profesional yang didasarkan pada studi empiris.

Sebaliknya, tulisan-tulisan yang dihasilkan sebagian besar didasarkan pada

spekulasi klinis dan formulasi teoritis, yang sebagian besar berakar pada tradisi

psikoanalitik. Terorisme dipatologi sebagai manifestasi penyimpangan psikologis

dan perilaku. Dengan demikian, dalam kerangka psikoanalitik, "psikopatologi

terorisme" diyakini didorong oleh motif dan dorongan tak sadar, yang berasal dari

masa kanak-kanak. (Borum, 2004: 18)

Teori Psikoanalitik : Freud menulis: "seseorang, saya pikir,

memperhitungkan fakta bahwa ada tren yang merusak, dan oleh karena itu, anti-

sosial dan anti-budaya, dan bahwa dalam sejumlah besar orang ini cukup kuat

untuk menentukan perilaku dalam masyarakat manusia ”(Freud, 1927. Tulisan-


84

tulisan awal tentang dimensi psikologis dari perilaku teroris didominasi oleh

rumusan psikoanalitik, yang sebagian mencerminkan orientasi teoritis yang

berlaku dalam praktik klinis pada saat itu. Dua tema yang secara konsisten

menjadi inti rumusan ini adalah (1) bahwa motif terorisme sebagian besar tidak

disadari dan timbul dari permusuhan terhadap orang tua dan (2) bahwa terorisme

adalah produk dari pelecehan dan penganiayaan dini. (Borum, 2004: 18)

Salah satu contoh paling awal dari yang pertama adalah Feuer (1969) Teori

"konflik generasi", "yang didasarkan pada interpretasi Freud tentang terorisme

sebagai reaksi psikologis anak laki-laki terhadap ayah, fenomena generasi yang

berakar pada kompleksitas Oedipus dan, dengan demikian, dalam kejantanan"

(Crenshaw, 1986, hal 390. 390) -391). Gagasan bahwa terorisme berakar pada

pelecehan masa kanak-kanak (seringkali gejala sisa yang tidak disadari) adalah

tema yang relatif umum, dan masih dipegang oleh beberapa analis kontemporer.

Psychohistorian Lloyd De Mause (2002 ) mengamati bahwa "Akar terorisme

tidak terletak pada kesalahan kebijakan luar negeri Amerika ini atau itu, tetapi

pada keluarga teroris yang sangat kejam." (Borum, 2004: 18)

Banyak generasi pertama mencoba untuk memahami dan menjelaskan

terorisme dalam kerangka psikodinamik, yang difokuskan pada sifat narsisme

sebagai faktor penentu dan pendorong (Crayton, 1983). “Kemungkinan hubungan

antara narsisme dan terorisme pertama kali dikemukakan oleh Morf (1970) dan

kemudian dibahas oleh Lasch (1979), Crayton (1983), Haynal et al. (1983), Post

(1984, 1986, 1990), dan Pearlstein (1991) ”(McCormick, 2003). Premisnya

adalah bahwa perilaku teroris berakar pada kekurangan kepribadian yang


85

menghasilkan rasa diri yang rusak. Inti dari narsisme patologis adalah menilai diri

secara berlebihan dan merendahkan orang lain. Tidak sulit untuk melihat

bagaimana seseorang dapat mengamati ciri-ciri ini di antara para teroris.

Faktanya, ilmuwan politik Richard Pearlstein menyimpulkan: "konsep

psikoanalitik tentang narsisme adalah teori yang paling lengkap dan paling

memuaskan secara intelektual mengenai logika pribadi terorisme politik."

(Borum, 2004: 19)

Crayton (1983), misalnya, mengajukan “psikologi narsisme” sebagai

kerangka untuk memahami (bukan memaafkan) perilaku teroris, menggunakan

konsep Kohut untuk memandu argumennya. Menurut Clayton, dua kunci

dinamika narsistik adalah rasa diri yang muluk-muluk dan "imago orang tua yang

diidealkan" ("Jika saya tidak bisa sempurna, setidaknya saya menjalin hubungan

dengan sesuatu yang sempurna"). Berkenaan dengan efek kelompok, ia

berpendapat bahwa orang-orang yang secara narsistik rentan tertarik pada

pemimpin karismatik dan bahwa beberapa kelompok disatukan oleh rasa diri yang

muluk-muluk. Seperti yang dikemukakan orang lain, dia menyarankan bahwa

kemarahan narsistik adalah yang mendorong respons agresif terhadap

ketidakadilan yang dirasakan. (Borum, 2004: 19)

Memang "kemarahan narsistik" telah diajukan oleh lebih dari satu

pengamat sebagai pemicu psikologis utama dari agresi teroris. Dalam konteks

perkembangan cara ini berkembang adalah bahwa sebagai anak-anak teroris yang

baru lahir sangat trauma, menderita pelecehan fisik kronis dan penghinaan

emosional. Hal ini menciptakan rasa takut dan kerentanan pribadi yang mendalam
86

yang menjadi inti konsep diri mereka. Untuk menghilangkan rasa takut ini dan

menciptakan citra diri yang lebih dapat ditoleransi, individu-individu seperti itu

merasa perlu untuk "mematikan" pandangan mereka tentang diri mereka sendiri

sebagai korban. Mereka menopang harga diri mereka sendiri dengan

merendahkan orang lain. Hasil dari devaluasi terhadap orang lain ini - yang oleh

sebagian orang disebut sebagai "narsisme ganas" - meredam suara internal akal

dan moralitas mereka. Selanjutnya, rasa "harga diri" façade harga diri.

Penghinaan semacam itu dikenal sebagai “luka narsistik” dan merupakan pemicu

kemarahan narsistik (Akhtar, 1999). Pengaruh formulasi psikoanalitik secara

umum, dan penekanan pada narsisme secara khusus, telah mereda dalam

penelitian kontemporer. Sementara beberapa orang berpegang teguh pada - atau

mencoba untuk menghidupkan kembali - gagasan lama, gagasan generasi pertama

ini tidak menghasilkan banyak dukungan empiris. Sebagian besar ahli terkini di

bidang ini telah beralih ke pendekatan lain untuk mencari wawasan yang lebih

akurat dan lebih berguna untuk memahami teroris. (Borum, 2004: 19)

Beberapa konseptualisasi dan tulisan generasi pertama mulai

menunjukkan anggapan Laqueur bahwa tidak ada satu terorisme, tetapi banyak

terorisme. Tipologi mulai bermunculan untuk mengkategorikan dan

mengklasifikasikan kelompok, aksi, dan aktor teroris. Berfokus pada keragaman

motivasi, psikiater Frederick Hacker mengusulkan salah satu tipologi psikologis

pertama. Bukunya tahun 1976, Crusaders, Criminals and Crazies, mungkin

merupakan siaran pers populer pertama yang populer tentang psikologi terorisme.

Meskipun rumusan Hacker memang memiliki kecenderungan psikoanalitik,


87

mereka juga jauh lebih luas daripada para penulis kontemporernya. Bukunya

memperkenalkan tipologi teroris Perang Salib yang sekarang populer dan sehari-

hari (terinspirasi secara idealis dan bertindak untuk tujuan yang lebih tinggi),

Penjahat (yang hanya menggunakan terorisme untuk keuntungan pribadi) dan

Orang gila (sering dimotivasi oleh keyakinan dan persepsi palsu yang timbul dari

penyakit mental mereka ). Hacker segera mencatat (dan dengan benar) "tentu saja,

tipe murni jarang ditemukan." Meski demikian, upaya ini memunculkan anggapan

bahwa terdapat perbedaan antara teroris dan bahwa fenomena dan aktor tidak

monolitik. (Borum, 2004: 20)

Upaya penting kedua dilakukan pada awal 1980-an oleh mantan psikiater

CIA, Jerrold Post. Post (1984) dibangun di atas model sebelumnya yang berusaha

menjelaskan terorisme sebagai bentuk psikopatologi atau kekurangan kepribadian,

dengan alasan bahwa dua bentuk disfungsi yang berbeda menghasilkan dua pola

perilaku teroris yang berbeda. Tipe pertama adalah Anarchic-ideologue. Orang-

orang ini dihipotesiskan berasal dari keluarga yang sangat disfungsional di mana

mereka kemungkinan besar telah menderita pelecehan atau penganiayaan parah,

membuat mereka memiliki perasaan bermusuhan terhadap orang tua mereka.

Ideologi ekstremis mereka adalah perpindahan dari pemberontakan dan

permusuhan mereka ke otoritas "negara". Artinya, mereka menunjukkan

permusuhan dengan memberontak melawan "keadaan" orang tua mereka.

Sebaliknya, tipe kedua, Pemisahan Nasionalis tidak bermusuhan, tetapi setia

kepada orang tuanya, dan ekstrimismenya termotivasi untuk membalas atau

membalas kesalahan yang dilakukan oleh negara kepada orang tuanya. Intinya,
88

mereka memberontak melawan masyarakat luar karena loyalitas kepada orang tua

mereka. (Borum, 2004: 20)

Generasi pertama penyelidikan psikologis, yang terutama diambil dari

teori psikoanalitik, sebagian besar berjalan dengan sendirinya. Kerangka kerja dan

temuannya sebagian besar kurang relevan secara operasional. Pada bagian ini

kami mulai meninjau dan mengevaluasi cara dan sejauh mana penelitian ilmu

sosial dan literatur profesional menjelaskan atau menjelaskan terorisme dan

perilaku teroris terkait. Sementara ruang lingkup penugasan ini membutuhkan

fokus pada faktor-faktor psikologis, yang dipahami secara luas, faktor-faktor

tersebut tidak dapat - secara terpisah - membentuk penjelasan yang komprehensif

untuk, atau teori, terorisme. Ada banyak faktor di tingkat makro dan mikro yang

mempengaruhi kekerasan politik secara umum, dan terorisme secara khusus.

Memang, “ada kesepakatan substansial bahwa psikologi terorisme tidak dapat

dianggap terlepas dari politik, sejarah, kekeluargaan, dinamika kelompok,

organik, dan bahkan faktor kebetulan semata. " (Freid,1982). Dengan pengakuan

itu, selanjutnya kami melanjutkan untuk fokus pada kontribusi penelitian

psikologis dan perilaku dan teori untuk "psikologi terorisme." Hipotesis dan

pernyataan dari penelitian generasi pertama digunakan untuk memberikan

konteks, sementara penelitian yang lebih kontemporer memfokuskan temuan

dalam kaitannya dengan pertanyaan studi kunci. (Borum, 2004: 22)

Tuduhan untuk proyek ini diberikan oleh badan intelijen AS dengan

tanggung jawab operasional. Karenanya, kami telah memilih untuk mengatur

temuan dari tinjauan ini seputar serangkaian pertanyaan fungsional yang mungkin
89

memiliki implikasi operasional yang relevan terlibat dan b) terlibat dalam

pelanggaran teroris) dan melepaskan diri dari terorisme ”(Horgan, 2001). Mereka

menyarankan bahwa "perbedaan mendasar dapat dibuat kemudian dalam

menganalisis faktor-faktor yang bekerja pada berbagai tahap menjadi, tetap, dan

meninggalkan atau mengakhiri keterlibatan" (Horgan & Taylor, 2001).

Motif dan Kerentanan : Di antara faktor-faktor psikologis utama

dalam memahami apakah, bagaimana, dan individu mana dalam lingkungan

tertentu yang akan memasuki proses menjadi teroris adalah motif dan kerentanan.

Menurut definisi, motif adalah emosi, keinginan, kebutuhan fisiologis, atau

dorongan serupa yang bertindak sebagai dorongan untuk bertindak, dan

kerentanan mengacu pada kerentanan atau kewajiban untuk mengalah, seperti

pada persuasi atau godaan. (Borum, 2004: 24)

Motivasi seseorang untuk terlibat dalam terorisme seringkali dianggap

sebagai “penyebab” atau ideologi kelompok tersebut. Namun, seperti Crenshaw

(1985) mencatat, "citra populer teroris sebagai individu yang dimotivasi secara

eksklusif oleh komitmen politik yang dalam dan keras mengaburkan realitas yang

lebih kompleks." Kenyataannya adalah bahwa motif untuk bergabung dengan

organisasi teroris dan terlibat dalam terorisme sangat bervariasi di berbagai jenis

kelompok, dan juga dalam kelompok - dan mereka dapat berubah seiring waktu.

(Borum, 2004: 24)

Martha Crenshaw (1985) misalnya, menunjukkan bahwa setidaknya ada

empat kategori motivasi di antara teroris: (1) kesempatan untuk bertindak, (2)

kebutuhan untuk dimiliki, (3) keinginan untuk status sosial, dan (4) perolehan
90

materi Penghargaan. Post (1990) telah melangkah lebih jauh dengan menyarankan

bahkan bahwa terorisme adalah tujuan itu sendiri, terlepas dari tujuan politik atau

ideologis yang dinyatakan. Argumennya adalah bahwa “penyebab bukanlah

penyebab. Penyebabnya, sebagaimana dikodifikasikan dalam ideologi kelompok,

menurut alur penalaran ini, menjadi dasar pemikiran tindakan yang didorong oleh

teroris. Memang, argumen sentral dari posisi ini adalah bahwa individu menjadi

teroris untuk bergabung dengan kelompok teroris dan melakukan tindakan

terorisme ” (Borum, 2004: 24)

Pencarian untuk memahami kerentanan tidak boleh disamakan dengan

pencarian "kepribadian teroris" (Horgan, 2003). Horgan telah membingkai

masalah kerentanan dengan cara yang mungkin paling jelas dan berguna sebagai

"faktor yang menunjukkan bahwa beberapa orang memiliki keterbukaan yang

lebih besar untuk meningkatkan keterlibatan daripada yang lain". Berdasarkan

tinjauan pustaka yang ada, tiga tema motivasi - ketidakadilan, identitas, dan

kepemilikan - tampak menonjol dan konsisten. Tema-tema ini juga berhubungan

dengan potensi keterbukaan atau kerentanan seseorang. (Borum, 2004: 24)

Ketidakadilan: Ketidakadilan yang dirasakan telah lama dikenal sebagai

faktor sentral dalam memahami kekerasan secara umum dan terorisme secara

khusus, sejak beberapa tulisan paling awal. Pada pertengahan 1970-an, Hacker

(1976) menyimpulkan bahwa "ketidakadilan yang dapat diperbaiki adalah

motivasi dasar untuk terorisme". Keinginan untuk membalas dendam atau balas

dendam adalah respons yang umum untuk memperbaiki atau memulihkan

kesalahan ketidakadilan yang ditimpakan pada orang lain. Tidaklah sulit untuk
91

membayangkan bahwa “salah satu motivasi terkuat di balik terorisme adalah balas

dendam, terutama keinginan untuk membalas bukan diri sendiri tetapi orang lain.

Pembalasan bisa spesifik atau tersebar, tetapi itu adalah dorongan obsesif yang

merupakan motif kuat untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, terutama

orang dianggap bertanggung jawab atas ketidakadilan ”(Crenshaw, 199246).

Persepsi ketidakadilan juga dapat dipandang sebagai keluhan, menurut Ross

(1993) telah menjadi penyebab utama terorisme. Dia menyarankan keluhan

tersebut dapat berupa masalah ekonomi, etnis, ras, hukum, politik, agama, dan /

atau sosial, dan mungkin ditujukan kepada individu, kelompok, institusi atau

kategori orang. (Borum, 2004: 24)

Identitas: Identitas psikologis seseorang adalah rasa diri yang

berkembang, stabil, dan keamanan yang teguh dalam nilai-nilai dasar, sikap, dan

keyakinan seseorang. Secara perkembangan, pembentukannya biasanya terjadi

pada krisis remaja atau dewasa muda, dan penuh gejolak serta menantang secara

emosional. Namun, "keberhasilan pengembangan identitas pribadi sangat penting

bagi integritas dan kesinambungan kepribadian" (Crenshaw, 1986). Pencarian

identitas seseorang dapat menariknya ke organisasi ekstremis atau teroris dalam

berbagai cara. Seseorang mungkin jatuh ke dalam apa yang oleh psikolog Jim

Marcia disebut "penyitaan identitas" di mana peran dan seperangkat gagasan dan

nilai (identitas) diadopsi tanpa pemeriksaan kritis pribadi. Sifat absolutis, “hitam

dan putih” dari kebanyakan ideologi ekstremis sering menarik bagi mereka yang

merasa kewalahan oleh kerumitan dan tekanan dalam menjalani dunia yang rumit.

(Borum, 2004: 25)


92

Varian dalam proses ini adalah di mana seorang individu mendefinisikan

identitasnya hanya melalui keanggotaan kelompok. Pada dasarnya, identitas

pribadi seseorang digabungkan dengan identitas kelompok, tanpa rasa (atau

kebutuhan) akan individualitas atau keunikan. Sebagai Johnson dan Feldman

(1992) menyarankan, "keanggotaan dalam kelompok teroris memberikan rasa

identitas atau kepemilikan bagi kepribadian yang rasa identitas dasarnya cacat.”

Untuk individu-individu ini, “menjadi bagian dari kelompok teroris komponen

terpenting dari identitas psikososial mereka”Post (1987, Borum, 2004: 25)

Mekanisme serupa adalah mekanisme di mana pencarian putus asa akan

makna pribadi mendorong seseorang untuk mengadopsi peran untuk memajukan

suatu penyebab, dengan sedikit atau tanpa analisis atau pertimbangan yang

bijaksana tentang manfaatnya. Intinya, individu tersebut menyelesaikan

pertanyaan sulit "Siapakah saya?" dengan hanya mendefinisikan dirinya sebagai

"teroris", "pejuang kemerdekaan", "shahid" atau peran serupa (Della Porta, 1992;

Knutson, 1981). Taylor dan Louis (2004) mendeskripsikan serangkaian keadaan

klasik untuk perekrutan ke dalam organisasi teroris: “Orang-orang muda ini

menemukan diri mereka pada saat dalam hidup mereka ketika mereka melihat ke

masa depan dengan harapan untuk terlibat dalam perilaku yang berarti yang akan

memuaskan dan membuat mereka maju. Keadaan obyektif mereka termasuk

peluang untuk maju hampir tidak ada; mereka menemukan beberapa arah untuk

identitas kolektif agama mereka tetapi keadaan komunitas mereka yang sangat

dirugikan membuat mereka merasa terpinggirkan dan tersesat tanpa identitas

kolektif yang jelas ”. (Borum, 2004: 25)


93

Termasuk: Dalam kelompok ekstremis radikal, banyak calon teroris

tidak hanya menemukan makna, tetapi juga rasa memiliki, keterhubungan, dan

afiliasi. Luckabaugh dan rekan (1997) berpendapat bahwa di antara calon teroris

"penyebab sebenarnya atau motivasi psikologis untuk bergabung adalah

kebutuhan yang besar untuk memiliki". Bagi orang-orang yang terasing dari

pinggiran masyarakat ini, bergabung dengan kelompok teroris mewakili rasa

kepemilikan pertama yang nyata setelah penolakan seumur hidup, dan kelompok

teroris itu menjadi keluarga yang tidak pernah mereka miliki ”(Post, 1984). Rasa

memiliki yang kuat ini sangat penting sebagai faktor pendorong untuk

bergabung, alasan yang kuat untuk tinggal, dan pengaruh yang kuat untuk

bertindak. “Volkan (1997) berpendapat bahwa kelompok teroris dapat

memberikan keamanan keluarga dengan menundukkan individualitas pada

identitas kelompok. Sebuah kepompong pelindung dibuat yang menawarkan

perlindungan dari dunia yang tidak bersahabat ”(Marsella, 2003). Pengamatan

terhadap perekrutan teroris menunjukkan bahwa banyak orang dipengaruhi untuk

bergabung dengan mencari solidaritas dengan keluarga, teman atau kenalan

(Della Porta, 1995), dan bahwa "bagi individu yang menjadi teroris aktif,

ketertarikan awalnya sering kali pada kelompok, atau komunitas orang percaya,

daripada ideologi abstrak atau kekerasan" (Crenshaw, 1988 59). Memang, citra

kekompakan dan solidaritas yang kuat di antara kelompok ekstremis itulah yang

membuat mereka lebih menarik daripada beberapa kolektif prososial sebagai cara

untuk menemukan kepemilikan (Johnson & Feldman, 198260).


94

Ketiga faktor ini - ketidakadilan, identitas, dan kepemilikan - sering

ditemukan terjadi bersamaan pada teroris dan sangat mempengaruhi keputusan

untuk masuk ke organisasi teroris dan terlibat dalam aktivitas teroris. Beberapa

analis bahkan berpendapat bahwa efek sinergis dari dinamika ini membentuk

“akar penyebab” terorisme yang sebenarnya, terlepas dari ideologinya.

Luckabaugh dan rekan (1997), misalnya, menyimpulkan “penyebab sebenarnya

atau motivasi psikologis untuk bergabung adalah kebutuhan yang besar untuk

memiliki, kebutuhan untuk mengkonsolidasikan identitas seseorang. Kebutuhan

untuk menjadi bagian, bersama dengan identitas pribadi yang tidak lengkap,

adalah faktor umum yang terjadi di seluruh kelompok. " Jerrold Post (1984)

memiliki teori yang sama bahwa "kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk

memiliki identitas yang stabil, untuk menyelesaikan perpecahan dan menyatu

dengan diri sendiri dan dengan masyarakat- adalah konsep penting yang

menjembatani yang membantu menjelaskan kesamaan perilaku teroris dalam

kelompok dari motivasi dan komposisi yang dianut sangat berbeda. (Borum,

2004: 26)

Tidak ada jawaban yang mudah atau motivasi tunggal untuk menjelaskan

mengapa orang menjadi teroris. Demikian pula, proses dan jalur bagaimana hal itu

terjadi cukup bervariasi dan beragam. Para peneliti telah mulai membedakan

antara alasan bergabung, tetap di, dan keluar dari organisasi teroris, menemukan

bahwa motivasi mungkin berbeda di setiap tahap, dan bahkan tidak selalu terkait

satu sama lain. Tampaknya ada beberapa kerentanan dan persepsi yang sama di

antara mereka yang beralih ke terorisme - persepsi ketidakadilan, kebutuhan akan


95

identitas, dan kebutuhan untuk memiliki - meskipun tentu saja ada orang-orang

yang memiliki persepsi ini yang tidak menjadi teroris. Bidang penyelidikan yang

menjanjikan telah difokuskan pada tahapan dan proses umum dalam mengadopsi

ideologi ekstremis, bukan pada isi motif atau pembenaran.

Psikologi, sebagai suatu disiplin, memiliki sejarah panjang (bahkan

mungkin bias terhadap) mencari pertama untuk menjelaskan perilaku

menyimpang sebagai fungsi psikopatologi (yaitu, penyakit mental, gangguan, atau

disfungsi) atau sindrom kepribadian yang tidak dapat disesuaikan. Seperti Schmid

dan Jongman (1988) mencatat, "Asumsi utama yang mendasari banyak 'teori'

psikologis ... adalah bahwa teroris dalam satu atau lain cara tidak normal dan

bahwa wawasan dari psikologi dan psikiatri adalah kunci yang memadai untuk

memahami." Pada kenyataannya, psikopatologi telah terbukti, paling banter,

hanya faktor risiko sederhana untuk umumkekerasan, dan semuanya tidak relevan

untuk memahami terorisme. Sebenarnya, “ide terorisme sebagai produk dari

gangguan mental atau psikopati telah didiskreditkan ”(Crenshaw, 1992). (Borum,

2004: 30)

Penyakit Mental Utama : Agak sulit untuk mempelajari prevalensi

psikopatologi dan ciri-ciri kepribadian maladaptif pada populasi teroris. Sebagian

besar penelitian yang telah memeriksa pertanyaan ini menggunakan tindakan

psikologis aktual hanya memasukkan teroris yang telah ditangkap dan / atau

dirujuk untuk pemeriksaan kesehatan mental. Jelas, mereka yang dipandang

membutuhkan penilaian kesehatan mental mungkin berbeda dari populasi teroris

pada umumnya. Namun demikian, penelitian yang ada cukup konsisten dalam
96

menemukan bahwa psikopatologi serius atau penyakit mental di kalangan teroris

relatif jarang, dan tentunya bukan merupakan faktor utama dalam memahami atau

memprediksi perilaku teroris (McCauley, 2002; Sageman, 2004). For as Fried

(1982) telah mengamati, "Bahkan dalam kasus teroris yang jelas-jelas psikotik

dan delusi dalam pemikirannya, kesadaran akan realitas politik dapat memainkan

peran penting dalam menentukan perilaku." (Borum, 2004: 30)

Menurut Friedland (1992), “Untuk dukungan empiris, sampai saat ini tidak

ada bukti kuat bahwa teroris itu abnormal, gila, atau cocok dengan tipe

kepribadian yang unik. Nyatanya, ada beberapa indikasi yang sebaliknya. " Dua

ulasan ilmiah paling signifikan dari perspektif "gangguan mental" tentang

terorisme adalah dari Ray Corrado (1981) dan Andrew Silke (1998). Meskipun

ditulis terpisah hampir dua puluh tahun, keduanya mencapai kesimpulan yang

sama. Mengakui bahwa beberapa penelitian telah menemukan gangguan

psikopatologis di antara beberapa teroris, Silke (1998), meringkas tinjauan pustaka

dengan kesimpulan sebagai berikut: “Kritik menemukan bahwa temuan

mendukung model patologi jarang terjadi dan umumnya berkualitas buruk.

Sebaliknya, bukti yang menunjukkan normalitas teroris lebih banyak dan

berkualitas lebih baik. " Ulasan yang lebih baru dari literatur ilmiah dan

profesional oleh Ruby (2002) sama “menyimpulkan bahwa teroris tidak

disfungsional atau patologis; sebaliknya, ini menunjukkan bahwa terorisme pada

dasarnya adalah bentuk lain dari kekerasan bermotif politik yang dilakukan oleh

orang-orang yang rasional dan jernih yang memiliki motif yang valid. "(Borum,

2004: 30)
97

Psikopati / Kepribadian Antisosial : Terorisme dianggap oleh sebagian

besar sebagai bentuk perilaku antisosial. Memang bagi para korban dan pengamat,

banyak tindakan yang dapat dilihat sebagai tindakan keji dan para aktor sebagai

"pembunuh berdarah dingin" yang tidak berperasaan. Mengingat kecenderungan

umum untuk melihat penyimpangan ekstrim sebagai tanda kelainan atau

psikopatologi, beberapa berpendapat bahwa teroris mungkin paling baik dipahami

sebagai kolektif psikopat (Corrado, 1981). Tentu saja konsep seperti itu digunakan

untuk mencirikan setidaknya beberapa pembajak dalam serangan 9/11 di Amerika.

(Borum, 2004: 31)

Tidak sulit untuk melihat bagaimana gagasan "teroris sebagai psikopat"

memiliki daya tarik intuitif. Pearce (197783), misalnya, menganggap teroris

sebagai "psikopat agresif, yang mendukung beberapa alasan tertentu karena

penyebab ekstremis dapat memberikan titik fokus eksternal untuk semua hal yang

salah dalam hidupnya". Untuk memahami keterbatasan dan ketidakakuratan

dalam generalisasi seperti itu, bagaimanapun, membutuhkan beberapa

pemeriksaan dari elemen penting psikopati dan cara di mana ciri-ciri tersebut

berinteraksi dengan tuntutan partisipasi dalam organisasi teroris. Pertama untuk

mengklarifikasi masalah terminologi, sebutan "gangguan kepribadian antisosial"

(ASPD) adalah diagnosis yang diakui secara klinis yang ditandai dengan riwayat

seumur hidup (termasuk sebelum usia 18) dari terlibat dalam berbagai perilaku

nakal dan antisosial, yang mungkin termasuk berbohong , mencuri, agresi, dan

aktivitas kriminal. Psikopati, meskipun secara luas diakui sebagai sindrom klinis,

tidak secara resmi terdaftar sebagai diagnosis dalam Manual Diagnostik dan
98

Statistik Gangguan Mental American Psychiatric Association. Mirip dengan

ASPD, konstruksi psikopati mencakup pola perilaku antisosial dan gaya hidup

impulsif yang sudah berlangsung lama, tetapi sebaliknya ia juga memiliki elemen

penting pengalaman emosional yang kurang (misalnya, kurangnya rasa bersalah,

empati, dan penyesalan) dan eksploitasi interpersonal (misalnya, tidak

berperasaan, penggunaan orang lain, gaya hidup parasit). Hanya sekitar 25%

penderita ASPD juga mengalami defisit kepribadian inti yang membentuk

sindrom psikopat konstruksi psikopati mencakup pola perilaku antisosial dan gaya

hidup impulsif yang telah berlangsung lama, tetapi sebaliknya ia juga memiliki

elemen penting pengalaman emosional yang kurang (misalnya, kurangnya rasa

bersalah, empati, dan penyesalan) dan eksploitasi interpersonal (misalnya, tidak

berperasaan, penggunaan orang lain, gaya hidup parasit). Hanya sekitar 25%

penderita ASPD juga mengalami defisit kepribadian inti yang membentuk

sindrom psikopat konstruksi psikopati mencakup pola perilaku antisosial dan gaya

hidup impulsif yang telah berlangsung lama, tetapi sebaliknya ia juga memiliki

elemen penting pengalaman emosional yang kurang (misalnya, kurangnya rasa

bersalah, empati, dan penyesalan) dan eksploitasi interpersonal (misalnya, tidak

berperasaan, penggunaan orang lain, gaya hidup parasit). Hanya sekitar 25%

penderita ASPD juga mengalami defisit kepribadian inti yang membentuk

sindrom psikopat. (Borum, 2004: 31)

Dalam salah satu analisis klinis paling rinci tentang topik tersebut,

Martens (2004) mengakui bahwa tidak semua teroris memiliki ASPD (juga tidak

semuanya psikopat), namun ia berpendapat bahwa "individu yang menjadi teroris


99

(TER) (Hudson, 1999) dan orang dengan ASPD (Martens, 1997, 2000) memiliki

karakteristik yang sama seperti: sosial keterasingan, diganggu lebih awal proses

sosialisasi, agresif, berorientasi pada tindakan, haus stimulus, sikap narsistik,

impulsif dan permusuhan, menderita kerusakan dini pada harga diri mereka, sikap

defensif, pertahanan primitif sebagai rasa malu, ketakutan akan ketergantungan,

masalah oedipal yang tidak terselesaikan, penyangkalan mahakuasa, eskalasi

peristiwa, terutama konfrontasi dengan polisi, tidak toleran terhadap kritik,

kesombongan dan penghinaan, keyakinan akan superioritas sistem kepercayaan

mereka sendiri, ketidakpedulian terhadap sistem kepercayaan orang lain,

permusuhan, kurangnya kritik diri, pembenaran atas perilaku kekerasan mereka,

menderita trauma yang dalam, pelepasan moral dengan merendahkan korban. "

Martens (2004) akhirnya menyimpulkan bahwa teroris dengan ASPD harus

dianggap sebagai kelompok yang terpisah di antara teroris (atau orang dengan

ASPD) karena mereka memiliki konstelasi karakteristik yang berbeda. (Borum,

2004: 31)

Di sisi lain, jelas bahwa beberapa defisit inti yang umum terjadi pada

psikopat kemungkinan akan mengganggu fungsi efektif mereka dalam peran

teroris. Cooper (1978) yang telah lama dicatat “terorisme, seperti usaha serius

lainnya, membutuhkan dedikasi, ketekunan, dan sifat tidak mementingkan diri

sendiri. Ini adalah banyak kualitas yang kurang pada psikopat. "(Borum, 2004: 32)

Abnormalitas Psikologis / Kepribadian : Dalam tinjauan kritisnya

tentang tema abadi kelainan teroris dalam penelitian psikologis, Andrew Silke

(19988) mengamati bahwa setelah para peneliti gagal menemukan hubungan kuat
100

antara terorisme dan psikopatologi utama, “sebuah tren telah muncul yang

menyatakan bahwa teroris memiliki banyak ciri kepribadian patologis tetapi tidak

memiliki kelainan klinis yang sebenarnya. Perkembangan ini telah secara efektif

mencemari teroris dengan aura patologi, tanpa menawarkan cara apa pun untuk

dengan mudah menguji atau menyangkal tuduhan itu. (Borum, 2004: 32)

Serangan Bunuh Diri : Sementara serangan bunuh diri telah menjadi

bagian dari konflik sepanjang sejarah dunia, sebagian besar peneliti kontemporer

menandai serangan bunuh diri tahun 1983 di kedutaan besar AS di Beirut, sebagai

awal dari era modern terorisme bunuh diri. Sejak saat itu, “setidaknya ada 188

serangan teroris bunuh diri terpisah di seluruh dunia, di Lebanon, Israel, Sri

Lanka, India, Pakistan, Afghanistan, Yaman, Turki, Rusia, dan Amerika Serikat.

Angka ini meningkat dari 31 pada 1980-an, menjadi 104 pada 1990-an, menjadi

53 pada 2000-2001 saja ”(Pape, 2003). Laju terorisme bunuh diri meningkat,

meski secara keseluruhan jumlah insiden teroris menurun. Senator AS John

Warner menggemakan sentimen dari banyak orang yang mengamati tren ini

ketika dia berkata: "Mereka yang akan bunuh diri dalam serangan mereka di dunia

bebas tidak rasional dan tidak terhalang oleh konsep rasional." Data yang tersedia,

bagaimanapun, menyarankan kesimpulan yang berbeda. (Borum, 2004: 32)

Penelitian yang ada menunjukkan tidak adanya psikopatologi utama di

antara "calon" penyerang bunuh diri; bahwa motivasi dan dinamika untuk

memilih terlibat dalam serangan bunuh diri berbeda dengan yang ada dalam

fenomena klinis bunuh diri; dan bahwa ada “logika strategis” yang rasional untuk

penggunaan kampanye serangan bunuh diri dalam konflik asimetris. Silke (2003)
101

berpendapat bahwa “seperti teroris lainnya, tidak ada indikasi bahwa pelaku bom

bunuh diri menderita gangguan psikologis atau ketidakseimbangan mental dalam

hal lain. Sebaliknya, kepribadian mereka biasanya cukup stabil dan biasa-biasa

saja (setidaknya dalam konteks budaya mereka sendiri) ”. Profesor psikologi

Israel Ariel Merari adalah satu dari sedikit orang di dunia yang mengumpulkan

data sistematis dan empiris tentang sampel penting pelaku bom bunuh diri. Ia

meneliti latar belakang setiap pelaku bom bunuh diri era modern (sejak 1983) di

Timur Tengah. Meskipun ia berharap menemukan dinamika bunuh diri dan

patologi mental, ia malah menemukan bahwa "Secara mayoritas, Anda tidak

menemukan faktor risiko yang biasanya terkait dengan bunuh diri, seperti

gangguan mood atau skizofrenia, penyalahgunaan zat, atau riwayat percobaan

bunuh diri. (Borum, 2004: 33)

Dalam beberapa hal, tidak adanya faktor risiko bunuh diri di antara para

penyerang bunuh diri tidaklah mengherankan. Mereka adalah fenomena yang

berbeda (Borum,2003). Para penyerang bunuh diri memandang tindakan mereka

sebagai salah satu kemartiran, baik karena iman mereka, bangsanya, atau tujuan

mereka. Dalam kasus jihadis, misalnya, “tujuan utama pelaku bunuh diri bukanlah

bunuh diri, karena bagi kelompok teroris, bunuh diri hanyalah sarana untuk

mencapai tujuan dengan motivasi yang bersumber dari amarah dan rasa merasa

benar sendiri. Mereka melihat diri mereka memiliki tujuan yang lebih tinggi dan

diyakinkan akan pahala abadi melalui tindakan mereka ”(Salib, 2003). Borum

(2003) mengartikulasikan beberapa perbedaan spesifik dalam motif, pikiran,

perasaan, tanggapan orang lain, dan perilaku pra-insiden yang mungkin


102

membedakan tindakan bunuh diri dari tindakan syahid jihadis. “Orang biasanya

mengasosiasikan bunuh diri dengan keputusasaan dan depresi. Keinginan untuk

mengakhiri rasa sakit psikologis yang intens dan tak tertahankan biasanya

memotivasi aktor untuk melakukan tindakan semacam itu. Orang lain yang

merawat aktor tersebut biasanya memandang bunuh diri sebagai hasil yang tidak

diinginkan. Keluarga dan orang yang dicintai berusaha mencegah perilaku

tersebut dan sering bergumul dengan perasaan malu jika bunuh diri benar-benar

terjadi. Sebaliknya, orang biasanya mengasosiasikan kemartiran dengan harapan

tentang pahala setelah kematian di surga dan perasaan pengorbanan heroik.

Keinginan untuk memajukan tujuan Islam dan untuk menjawab panggilan

tertinggi dalam agama itu memotivasi aktor tersebut. Orang lain yang peduli

karena aktor melihat tindakan yang tertunda sebagai heroik. Keluarga dan orang

yang dicintai biasanya mendukung perilaku tersebut, dan, jika peristiwa itu

terjadi, keluarga tersebut dihormati. Tidak hanya keluarga seorang martir yang

mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa mereka di akhirat, tetapi komunitas

pendukung sering kali merawat mereka secara sosial dan finansial. " Syekh

Yussuf Al-Qaradhawi, seorang pemimpin spiritual Ikhwanul Muslimin menarik

perbedaan secara ringkas sebagai berikut: “Dia yang melakukan bunuh diri bunuh

diri untuk keuntungannya sendiri, dia yang melakukan kesyahidan mengorbankan

dirinya demi agama dan bangsanya. Mujahed itu penuh harapan. (Borum, 2004:

33)

Terorisme bunuh diri juga bukan hanya taktik ekstremis agama. Sprinzak

(2001) menunjukkan bahwa "Macan Hitam {Macan Pembebasan Tamil Eelam -


103

LTTE} merupakan bukti paling signifikan bahwa terorisme bunuh diri bukan

hanya fenomena agama dan bahwa dalam keadaan politik dan psikologis yang

ekstrim, sukarelawan sekuler sepenuhnya mampu menjadi martir." Faktanya,

kelompok itu sendiri bertanggung jawab atas hampir setengah dari serangan

bunuh diri di seluruh dunia yang terjadi dalam dekade terakhir (Pape, 2003).

Jika serangan bunuh diri tidak didorong oleh penyakit mental atau fanatisme

agama, apa penyebabnya terus-menerus dan meningkat penggunaannya?

Tentunya ada keuntungan logistik dan taktis: operasinya relatif murah, penyerang

tidak mungkin ditangkap dan membahayakan keamanan kelompok; dan efek

psikologis pada populasi sasaran dapat sangat merusak. Selain itu, taktik ini telah

menunjukkan kematian yang tidak proporsional. Bahkan tidak termasuk serangan

9/11 di Amerika, dalam rentang dua dekade antara 1980 dan 2001, serangan

bunuh diri hanya menyumbang 3% dari semua insiden teroris, tetapi mereka

bertanggung jawab atas 48% kematian terkait terorisme (Departemen Luar Negeri

1983-2001). Namun, Pape (2003) menyatakan bahwa “alasan utama

berkembangnya terorisme bunuh diri adalah karena teroris telah mengetahui

bahwa cara itu berhasil…. Mungkin aspek yang paling mencolok dari bunuh diri

baru-baru ini. (Borum, 2004: 34)

Ringkasan : Penelitian tentang psikologi terorisme hampir mencapai

kesimpulan bahwa penyakit mental dan kelainan biasanya bukan faktor penting

dalam perilaku teroris. Penelitian telah menemukan bahwa prevalensi penyakit

mental di antara sampel teroris yang dipenjara adalah rendah atau lebih rendah

daripada populasi umum. Selain itu, meskipun teroris sering melakukan tindakan
104

keji, mereka jarang dianggap sebagai "psikopat" klasik. Teroris biasanya memiliki

hubungan dengan prinsip atau ideologi serta dengan orang lain (termasuk teroris

lain) yang berbagi dengannya. Namun, psikopat tidak membentuk seperti itu

koneksi, mereka juga tidak akan cenderung mengorbankan diri mereka sendiri

(termasuk sekarat) karena suatu alasan. (Borum, 2004: 34)

Penekanan Orang vs. Situasi dalam Menjelaskan Perilaku :

Ciri-ciri kepribadian secara konsisten gagal menjelaskan sebagian besar jenis

perilaku manusia, termasuk perilaku kekerasan. Tentu saja mereka telah

ditunjukkan berulang kali untuk memberikan kontribusi yang lebih sedikit pada

penjelasan daripada faktor situasional dan kontekstual. Crenshaw (2001),

misalnya, berpendapat bahwa "komitmen ideologis bersama dan solidaritas

kelompok adalah penentu yang jauh lebih penting dari perilaku teroris daripada

karakteristik individu." Bandura tampaknya setuju, sebagaimana tercermin dalam

kesimpulannya yang lebih umum bahwa "Membutuhkan kondisi sosial yang

kondusif daripada orang-orang yang mengerikan untuk menghasilkan perbuatan

keji." (Borum, 2004: 35)

Metode yang paling efektif untuk menjelaskan perilaku, bagaimanapun,

adalah dengan menggabungkan faktor-faktor pribadi dan situasional. Analisis di

masa lalu atas tindakan kekerasan yang ditargetkan mengungkapkan bahwa faktor

yang berhubungan dengan "orang" hanyalah satu bagian dari persamaan, dan

seringkali bukan yang paling kritis. Risiko untuk terlibat dalam terorisme

merupakan produk dari faktor-faktor yang tidak hanya terkait dengan individu,

tetapi juga dengan situasi, setting, dan target potensial (Borum, et al., 1999; Fein
105

& Vossekuil, 1998). Faktor kontekstual seperti dukungan atau penolakan teman

dan keluarga terhadap ideologi ekstremis atau pembenaran untuk kekerasan,

tingkat keamanan atau pengerasan target yang ada, keterkinian atau parahnya

pengalaman yang dapat memperburuk permusuhan terhadap target, semuanya

dapat mempengaruhi sifat dan tingkat risiko yang ditimbulkan oleh seseorang

yang menjadi perhatian investigasi. (Borum, 2004: 35)

Kepribadian Teroris : Meskipun kemungkinan keberadaan "kepribadian

teroris" memiliki daya tarik intuitif, hal itu pasti tidak memiliki dukungan empiris.

"Bahkan tinjauan singkat tentang sejarah terorisme mengungkapkan betapa

beragam dan kompleksnya fenomena itu, dan oleh karena itu betapa sia-sia

mengaitkan karakteristik psikologis sederhana, global, dan umum dengan semua

teroris." (Reich, 1990). Lebih rumit lagi upaya ini adalah kenyataan bahwa teroris

dapat mengambil banyak peran berbeda - hanya sedikit yang benar-benar akan

menembakkan senjata atau meledakkan bom. "Kepribadian" dari seorang

pemodal, mungkin berbeda dari administrator atau ahli strategi atau pembunuh.

Penelitian Taylor dan Quayle (1994) mengeksplorasi apakah beberapa perbedaan

sistematis dapat dilihat antara mereka yang terlibat dalam terorisme dan mereka

yang tidak; namun pencarian mereka membawa mereka pada kesimpulan bahwa

“teroris aktif secara psikologis tidak berbeda jauh dari non-teroris; dalam istilah

psikologis, tidak ada kualitas khusus yang menjadi ciri teroris. (Borum, 2004: 35)

Hampir satu dekade kemudian, psikolog John Horgan (2003) kembali

memeriksa bukti penelitian kumulatif tentang pencarian kepribadian teroris, dan

menyimpulkan bahwa "dalam konteks studi ilmiah tentang perilaku (yang


106

menyiratkan setidaknya rasa ketelitian) upaya semacam itu untuk menegaskan

keberadaan kepribadian teroris, atau profil, menyedihkan. " Ini tampaknya

menjadi kesimpulan konsensus di antara sebagian besar peneliti yang mempelajari

perilaku teroris. “Dengan sejumlah pengecualian (misalnya, Feuer 1969),

sebagian besar pengamat setuju bahwa meskipun ciri-ciri kepribadian laten pasti

dapat berkontribusi pada keputusan untuk beralih ke kekerasan, tidak ada satu set

atribut psikis yang menjelaskan perilaku teroris” (McCormick, 2003). Meski

demikian, Marsella (20037) masih berharap bahwa "studi psikologi klasik awal

tentang otoritarianisme, dogmatisme, toleransi ambiguitas, prasangka,

kepercayaan, keterasingan, konformitas, dan kecenderungan serta kecenderungan

pribadi lainnya masih dapat memberikan landasan konseptual dan empiris yang

kokoh untuk upaya kontemporer." (2001) menyarankan “pendekatan populer

terhadap terorisme oleh akademisi telah mencoba untuk membuat profil teroris,

layu secara psikologis atau melintasi dimensi sosial-politik. (Borum, 2004: 36)

Profil Teroris :Bahkan refleksi singkat pun dapat mengungkapkan

masalah bahwa kebanyakan individu yang sesuai dengan gambaran umum

tersebut bukanlah teroris dan tidak akan pernah melakukan tindakan agresi teroris.

Masalah yang sama pentingnya yang dapat diakibatkan oleh penggunaannya,

bagaimanapun, adalah bahwa ada dan akan ada orang-orang yang berencana dan

bersiap untuk melakukan serangan teroris, yang tidak sesuai dengan profil itu

(Borum, et al, 2003). Silke memperingatkan "keyakinan bahwa profil dapat

memberikan pertahanan yang efektif juga secara serius meremehkan intelijen

organisasi teroris" (Silke, 2003). Memang, kelompok teroris yang canggih, seperti
107

al Qa'ida, secara aktif mencari tahu “tipe” orang yang akan menarik kecurigaan

dan kemudian mencari dan menggunakan operator yang menentang prasangka

tersebut. Pakar Al-Qa'ida, Dr. Rohan Gunaratna, telah mendokumentasikan

bahwa organisasi tersebut merekrut anggota dari 74 negara berbeda dan di antara

setidaknya 40 kebangsaan yang berbeda. Jika profilnya adalah penjaga gerbang

yang menimbulkan ancaman, pembela HAM akan dikalahkan dengan teliti oleh

musuh yang dikenal, tetapi tampak asing. (Borum, 2004: 37)

Istilah dan konsep "profiling" telah memiliki banyak arti yang berbeda.

Dalam konteks pembahasan berikut, istilah "profiling" tidak digunakan untuk

merujuk pada jenis analisis investigasi kriminal yang disempurnakan oleh anggota

Unit Ilmu Perilaku FBI. Profil investigasi semacam itu berusaha untuk memeriksa

bukti fisik dan perilaku dari suatu pelanggaran setelah pelanggaran itu terjadi dan,

berdasarkan informasi tersebut, menarik kesimpulan tentang karakteristik

potensial dari orang yang melakukan kejahatan tersebut. Intelijen kontraterorisme,

bagaimanapun, terutama berkaitan dengan identifikasi dan interupsi aktivitas

teroris sebelum serangan terjadi. Hal ini menimbulkan tantangan operasional yang

sangat berbeda. (Borum, 2004: 36)

Beberapa berasumsi dengan memeriksa karakteristik orang-orang yang

pernah melakukan aksi teroris di masa lalu (terutama jika jumlahnya cukup besar),

harus dimungkinkan untuk menggambarkan gabungan demografis / psikologis

dari ciri-ciri umum yang dapat digunakan untuk menemukan teroris di jika tidak,

tumpukan jerami keruh warga yang taat hukum108. Sejumlah peneliti ilmu sosial
108

telah berusaha mengembangkan komposit semacam itu. Faktanya, Horgan dan

Taylor

Ringkasan : Tidak ada kepribadian teroris, juga tidak ada profil akurat -

secara psikologis atau sebaliknya - dari teroris tersebut. Selain itu, ciri-ciri

kepribadian saja cenderung tidak menjadi prediktor perilaku yang sangat baik.

Pencarian untuk memahami terorisme dengan mempelajari ciri-ciri kepribadian

teroris kemungkinan besar menjadi bidang yang tidak produktif untuk

penyelidikan dan penyelidikan lebih lanjut.

Pengalaman hidup tertentu cenderung umum ditemukan di kalangan

teroris. Sejarah pelecehan dan trauma masa kanak-kanak tampaknya tersebar luas.

Selain itu, tema ketidakadilan dan penghinaan sering kali menonjol dalam

biografi teroris dan sejarah pribadi. Tak satu pun dari ini berkontribusi banyak

pada penjelasan kausal terorisme, tetapi dapat dilihat sebagai penanda kerentanan,

sebagai sumber motivasi yang mungkin, atau sebagai mekanisme untuk

memperoleh atau memperkuat ideologi militan seseorang.

Ideologi memainkan peran penting dalam pemilihan target teroris; ia

memberi teroris motif awal untuk bertindak dan memberikan prisma yang

melaluinya mereka melihat peristiwa dan tindakan orang lain (Drake, 1998).

Apa Ideologi Itu? : Istilah "ideologi" seringkali mengandung konotasi

negatif. Namun pada kenyataannya, istilah ini secara fungsional netral, dan,

secara luas, berlaku untuk banyak orang. Ideologi sering didefinisikan sebagai

seperangkat aturan yang umum dan disepakati secara luas yang dianut oleh

individu, yang membantu mengatur dan menentukan perilaku (Rokeach, 1979;


109

Taylor, 1991). "Aturan" ini, tentu saja, juga terkait dengan (bahkan mungkin

dipandu oleh) keyakinan, nilai, prinsip, dan tujuan seseorang (Drake, 1998)..

Perbedaan dan hubungan antara ideologi dan pandangan dunia mungkin

bergantung pada perspektif seseorang - mungkin pandangan dunia yang lebih luas

atau kurang terbuka - namun keduanya memiliki fungsi yang sama dalam

bertindak tidak hanya untuk memberikan pedoman bagi perilaku, tetapi juga

sebagai lensa yang melaluinya kita memahami dan menafsirkan informasi,

isyarat, dan peristiwa di lingkungan kita (Mack, 2002). Banyak agama yang

memeluk atau mendukung sebuah ideologi. Doktrin atau keyakinan inti tentunya

merupakan elemen sentral dari sistem agama, tetapi keyakinan tersebut umumnya

setidaknya secara implisit terkait dengan seperangkat "aturan," yang akan

membentuk sebuah ideologi. (Borum, 2004: 40)

Substansi ideologi di antara individu dan kelompok mungkin meluas ke

seluruh rentang kepentingan dan nilai manusia. Sana memang, bagaimanapun,

tampaknya ada beberapa kesamaan dalam proses atau struktur ideologi teroris

yang dapat membantu menginformasikan pemahaman tentang perilaku teroris.

Aaron Beck (2002) baru-baru ini menerapkan model kognitif pada ideologi teroris

dan menyimpulkan bahwa “pemikiran teroris ternyata menunjukkan jenis distorsi

kognitif yang sama yang diamati pada orang lain yang terlibat dalam tindakan

kekerasan, baik hanya sebagai individu atau sebagai anggota suatu kelompok. Ini

termasuk generalisasi yang berlebihan yaitu, dosa yang dianggap musuh dapat

menyebar ke seluruh populasi. Juga, mereka menunjukkan pemikiran dikotomis

bahwa seseorang itu benar-benar baik atau sangat buruk. Akhirnya, mereka
110

menunjukkan visi terowongan begitu mereka terlibat dalam misi suci mereka

(misalnya, jihad), pemikiran mereka, dan akibatnya tindakan mereka, berfokus

secara eksklusif pada penghancuran target. (Borum, 2004: 40)

Mengambil pandangan yang sedikit lebih luas, berdasarkan pemeriksaan

literatur profesional yang ada dan pertimbangan berbagai ideologi ekstremis, saya

menyarankan bahwa tiga kondisi umum tampaknya diperlukan sebuah ideologi

untuk mendukung terorisme.

Pertama, ideologi harus menyediakan seperangkat keyakinan yang

memandu dan membenarkan serangkaian mandat perilaku. Bandura berpendapat

bahwa "orang biasanya tidak terlibat dalam perilaku tercela sampai mereka

membenarkan moralitas tindakan mereka.” Teroris, seperti kebanyakan orang

lainnya, berusaha untuk menghindari konflik internal atau disonansi dengan

bertindak dengan cara yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri dan yang

memungkinkan mereka untuk melihat diri mereka pada dasarnya baik. Intinya,

"teroris harus mengembangkan pembenaran atas tindakan teroris mereka"

(Cooper, 19777).

Kedua, keyakinan tersebut harus tidak dapat diganggu gugat dan tidak

boleh dipertanyakan atau dipertanyakan. “Dalam volume klasiknya, The True

Believer (1951), Eric Hoffer menunjukkan pentingnya keyakinan bagi pikiran

manusia dan masalah yang muncul ketika ketidakpastian dalam keyakinan tidak

dapat ditoleransi. Keyakinan memberikan makna dan tujuan-itu mengurangi

ketidakpastian dan memfasilitasi adaptasi dan penyesuaian. Ini menawarkan

"jaminan mendalam" dan "persekutuan" dengan orang lain. Signifikansi khusus


111

dalam sindrom ini adalah ketidakmampuan untuk mentolerir keraguan dan

ketidakpastian ”(Marsella, 2003). Keyakinan yang mendasari ideologi teroris

tidak dapat diragukan, dikritik atau diperiksa secara skeptis. Memang, di antara

mereka yang menganut ideologi, “mengandalkan bukti indera dan nalar adalah

bid'ah dan pengkhianatan. Sungguh mengejutkan untuk menyadari betapa banyak

ketidakpercayaan yang diperlukan untuk membuat keyakinan menjadi mungkin

”(Hoffer, 1951. Keane (2001) juga mencatat bahwa “agar terorisme berhasil,

pertama-tama diperlukan kepatuhan yang kaku pada gagasan sederhana. Pikiran

yang mempertanyakan, berdebat, membuka diri terhadap ide-ide yang menantang,

akan menjadi sumber perpecahan bagi gerakan teroris di tengah panasnya

pertempuran. Berpegang pada ortodoksi yang kaku menawarkan keamanan dan

pembenaran bagi orang-orang yang melakukan tindakan teror . (Borum, 2004: 41)

Ketiga, perilaku harus diarahkan pada tujuan dan dilihat sebagai melayani

sebab atau tujuan yang berarti. Orang-orang berjuang untuk mendapatkan makna,

dan mungkin tidak ada sebab yang memiliki makna yang lebih besar daripada

polemik perjuangan antara yang baik dan yang jahat, dalam berbagai bentuknya

(McCormick, 2003). Buktinya tokoh-tokoh dinamis ini menonjol ke dalam

kebanyakan ideologi teroris. Falk (1988) bahkan menunjukkan bahwa "pola pikir

teroris didominasi oleh keasyikan melodramatisnya dengan penghancuran

kejahatan.” Kernberg berpendapat bahwa pemikiran yang dikotomis, absolut,

“hitam putih”, terutama yang menyangkut masalah moralitas, merupakan ciri

umum ideologi fundamentalis pada umumnya. Dia telah mengamati bahwa

ideologi seperti itu, “membagi dunia menjadi alam ideal dan alam jahat; ideologi
112

mereka sendiri termasuk dalam alam ideal. Keyakinan gagasan dan perilaku alam

kejahatan tidak bermoral, berbahaya, merusak, dan mengancam. Biasanya,

ideologi seperti itu memproyeksikan semua agresi ke kelompok sosial yang jahat,

sementara membenarkan agresi terhadap orang kafir sebagai pertahanan dan

pembalasan yang diperlukan jika bukan keharusan moral (Kernberg, 2003).

Banyak analis telah berkomentar tentang bagaimana polemik moral yang

terpolarisasi ini menyediakan lahan subur untuk resep kekerasan (Baumeister,

1997; Post, 1987; Schorkopf, 2003; Putih, 20017).

Bagaimana Ideologi Mempengaruhi Perilaku?: Ideologi umumnya

didasarkan pada seperangkat keyakinan bersama yang menjelaskan dan

membenarkan seperangkat aturan perilaku yang disepakati. Bagi teroris, ideologi

membantu memberikan "visi moral dan politik yang menginspirasi kekerasan

mereka, membentuk cara mereka memandang dunia, dan menentukan bagaimana

mereka menilai tindakan orang dan institusi" (Drake, 1998). Untuk menyatakan

secara sederhana bahwa ideologi mengontrol tindakan (yang secara umum

mungkin benar), bagaimanapun, tidak menjelaskan mengapa atau bagaimana

kontrol itu terjadi. Ini adalah pertimbangan yang relevan karena merupakan

kekuatan dari kontrol perilaku bukan hanya daya tarik retorika - yang

menentukan apakah mandat kekerasan akan diikuti. Taylor mungkin telah

memberikan penjelasan perilaku yang paling jelas: "cara ideologi mengontrol

perilaku adalah dengan menyediakan serangkaian kemungkinan yang

menghubungkan perilaku langsung (misalnya, kekerasan) dengan hasil yang jauh

(misalnya, keadaan baru, hadiah setelah kematian). Karena hubungannya jauh,


113

bagaimanapun, untuk mengerahkan efek apa pun, kontingensi harus benar-benar

pasti (karena itu perlu penerimaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi). Selain itu,

hasil atau penghargaan harus menjadi motivator atau penguat yang kuat. Artinya,

mereka sangat diinginkan. (Borum, 2004: 45)

Kerangka kerja alternatif - meskipun terkait - untuk analisis kendali adalah

mempertimbangkan tindakan yang didorong secara ideologis sebagai bentuk

perilaku mengikuti aturan. Aturan dapat dikonseptualisasikan sebagai "deskripsi

verbal hubungan antara perilaku dan konsekuensi, terutama peristiwa permusuhan

dan penguatan" (Taylor & Horgan), kontrol ideologis atas perilaku. Para

ekstremis agama dipanggil untuk berpartisipasi dalam agama dan mengikuti

aturan. Literatur profesional menyarankan hal berikut tentang jenis kepatuhan ini.

Tiga faktor tampaknya memberikan pengaruh utama dalam mempertahankan

partisipasi keagamaan: 1). Mendengar latihan yang ada akan menghasilkan

penguatan spiritual serta materialistic; 2). Tidak lagi mendengar bahwa praktik

seseorang saat ini menghasilkan sanksi negative; 3). Mendengar bahwa musuh

kita berada dalam masalah supernatural. (Borum, 2004: 45)

Sebaliknya, kepatuhan terhadap aturan agama tampaknya dipertahankan

hanya dengan "kemungkinan melarikan diri," - prospek untuk mengurangi atau

menghilangkan perasaan bersalah atau takut agama telah menyebabkan timbulnya

ketidakpatuhan (Mallot, 1988).

Ideologi - terutama yang religius - mungkin juga mengandung mandat

atau keharusan yang mendorong pengikutnya untuk bertindak. Dua jenis mandat

yang sangat penting: mandat moral dan mandat ilahi. Skitka dan Mullen (2002 150)
114

mendefinisikan mandat moral “sebagai posisi atau pendirian sikap khusus yang

dikembangkan orang dari keyakinan moral bahwa ada sesuatu yang benar atau

salah, moral atau tidak bermoral. Mandat moral berbagi karakteristik yang sama

dari sikap kuat lainnya-yaitu, ekstremitas, kepentingan dan kepastian-tetapi

memiliki komponen motivasi dan tindakan tambahan, karena mereka dijiwai

dengan keyakinan moral. Mandat ilahi adalah salah satu fitur unik - dan

berpotensi paling memprihatinkan - dari ekstremis yang didorong oleh ideologi

agama. Seperti yang dicirikan oleh Rapoport (1984), “Sumber transenden teror

suci adalah karakteristik pembeda yang paling kritis; dewa dianggap terlibat

langsung dalam penentuan tujuan dan sarana. " Dalam studi ekstensifnya terhadap

250 teroris dan perekrut Palestina, Nasra Hassan mencatat bahwa mereka semua

percaya bahwa tindakan mereka "didukung oleh agama Islam yang diturunkan

secara ilahi." (Borum, 2004: 46)

Akhirnya, dalam sebuah analisis tentang hubungan antara ideologi dan

aksi kekerasan, Taylor (1991) mengemukakan kombinasi tiga faktor utama yang

memiliki kepentingan khusus: 1). Potensi militan - (yaitu, apakah kekerasan

dilegitimasi dalam ideologi sebagai alat untuk mencapai tujuan); 2). Totalitas

ideologi - (yaitu, sejauh mana ideologi mengontrol semua perilaku, tidak hanya

elemen agama atau politik tertentu). (Borum, 2004: 46)

Ringkasan : Ideologi sering didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang

umum dan disepakati secara luas yang dianut oleh seorang individu, yang

membantu mengatur dan menentukan perilaku. Ideologi yang mendukung

terorisme, meskipun cukup beragam, tampaknya memiliki tiga karakteristik


115

struktural yang sama: mereka harus memberikan seperangkat keyakinan yang

memandu dan membenarkan serangkaian mandat perilaku; keyakinan itu harus

tidak bisa diganggu gugat dan tidak boleh dipertanyakan atau pun dipertanyakan;

dan perilaku harus diarahkan pada tujuan dan dilihat sebagai melayani sebab atau

tujuan yang bermakna. Budaya merupakan faktor kritis dalam perkembangan

ideologi, tetapi dampaknya terhadap ideologi teroris secara khusus, belum

dipelajari. Ideologi memandu dan mengontrol perilaku mungkin dengan

menyediakan satu set kontinjensi perilaku yang menghubungkan perilaku dan

tindakan langsung dengan hasil dan penghargaan yang positif di jalan. (Borum,

2004: 47)

2.2.3.2 Teori Efektivitas Organisasi

2.2.3.2.1 Knowing Organization Theory

Berbicara tentang efektivitas organisasi tentu kita perlu mengacu pada

pemahaman terhadap organisasi itu sendiri. Mengacu pada pengetahuan organisasi

ini, Choo (2006 :3) mengemukakan :

As a preview, we can visualize sense making, knowledge building,


and decision making as representing three layers of organizational
information practices, with each inner layer building upon the
information created in the outer layer (Fig. 1.1). Information flows from
the external environment (outside the circles) and is progressively
assimilated and focused to enable organizational action. First,
information about the organization’s environment is sensed and its
meaning is constructed. This provides the context for all organizational
activity and guides both the knowledge-creation and decision-making
processes. Knowledge resides in the minds of individuals, and this
personal knowledge needs to be converted into knowledge that can be
shared and applied. Understanding and knowledge forms the basis for
action, and the organization chooses a course according to its
aspirations and capabilities. Organizational action changes the
environment and produces new streams of experience for the
organization to adapt to, so the cycle of learning is continuous.
116

Sebagai permulaan, menurut Choo, kita dapat memvisualisasikan

pembuatan pengertian, pengembangan pengetahuan, dan pengambilan keputusan

sebagai representasi tiga lapisan praktik informasi organisasi, dengan setiap

lapisan dalam dibangun di atas informasi yang dibuat di lapisan luar (Gambar).

Informasi mengalir dari lingkungan luar (di luar lingkaran) dan secara progresif

diasimilasi dan difokuskan untuk memungkinkan tindakan organisasi. Pertama,

informasi tentang lingkungan organisasi dirasakan dan dibangun maknanya. Ini

memberikan konteks untuk semua aktivitas organisasi dan memandu proses

penciptaan pengetahuan dan pengambilan keputusan. Pengetahuan berada di

benak individu, dan pengetahuan pribadi ini perlu diubah menjadi pengetahuan

yang dapat dibagikan dan diterapkan. Pemahaman dan pengetahuan membentuk

dasar untuk tindakan, dan organisasi memilih kursus sesuai dengan aspirasi dan

kemampuannya. Tindakan organisasi mengubah lingkungan dan mengalirkan

pengalaman baru bagi organisasi untuk beradaptasi, sehingga terjadi siklus

pembelajaran yang berkelanjutan. Choo menunjukkan gambar yang terkait dengan

pembuatan pengertian, pengembangan pengetahuan, dan pengambilan keputusan

sebagai representasi tiga lapisan praktik informasi organisasi. ,

Gambar 2.1
The Knowing Organization
117

Dengan gambar yang ditunjukkannya, Choo (2006 :3) memberi penjelasan

berikut :

During sense making, the principal information process is the


interpretation of cues and messages about the environment. Members
must choose what information is significant and should be attended to;
they form possible explanations from past experience; and they exchange
and negotiate their views in an effort to collectively construct an
interpretation. During knowledge creation, the main information process
is the conversion of knowledge. Members share their personal knowledge
through dialogue and discourse, and articulate what they intuitively
know with the help of analogies, metaphors, and stories. During decision
making, the key information activity is the processing of information
about available alternatives in order to select one that can achieve
desired objectives. Members are guided by premises, rules, and routines
that structure their search for information and evaluation of alternatives.
All three modes of information use—interpretation, conversion, and
processing—are dynamic, social processes that continuously constitute
and reconstitute meaning, knowledge, and action.

Choo menjelaskan bahwa selama membangun pengertian, proses

informasi utama adalah penafsiran akan isyarat dan pesan mengenai lingkungan.

Anggota harus memilih informasi apa yang penting dan harus diperhatikan;
118

informasi membentuk penjelasan yang mungkin dari pengalaman masa lalu; dan

pertukaran informasi menegosiasikan pandangan mereka dalam upaya

membangun interpretasi bersama. Selama penciptaan pengetahuan, proses

informasi utama merupakan konversi pengetahuan. Anggota membagikan

pengetahuan pribadi mereka melalui dialog dan wacana, dan mengartikulasikan

apa yang mereka ketahui secara intuitif dengan bantuan analogi, metafora, dan

cerita. Selama pengambilan keputusan, aktivitas informasi utama adalah

pemrosesan informasi tentang alternatif yang tersedia untuk memilih alternatif

yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Anggota dipandu oleh tempat,

aturan, dan rutinitas informasi dan evaluasi alternatif. Ketiga model penggunaan

informasi - interpretasi, konversi, dan pemrosesan - bersifat dinamis, proses

sosial yang secara terus menerus berlangsung menyusun kembali makna,

pengetahuan, dan tindakan. Menurut Choo (2006 :3) :

The organization that is able to effectively integrate sense making,


knowledge creation, and decision making may be described as a knowing
organization. The knowing organization possesses information and
knowledge so that it is well informed, mentally alert, and aware of
threats and opportunities. Its actions are based upon a shared
understanding of the organization’s context and aspirations, and are
leveraged by the available knowledge and skills of its members. Thus, the
knowing organization possesses information and knowledge that confers
a special advantage, allowing it to maneuver with intelligence, creativity,
and occasionally cunning. By managing information resources and
information practices, it is able to sense and respond to a changing
environment, but also shape and influence changes in the environment
that are advantageous; extend its base of knowledge and capabilities, but
also unlearn old assumptions and beliefs; make decisions that are
sometimes rational and sometimes creative in order to meet increasingly
complex challenges.

Menurut Choo, organisasi yang mampu secara efektif mengintegrasikan

pembuatan pengertian, penciptaan pengetahuan, dan pengambilan keputusan dapat


119

digambarkan sebagai suatu pengetahuan organisasi. Pengetahuan organisasi

memiliki informasi dan pemahaman terinformasi dengan baik dan menjadi

kesadaran mental terhadap ancaman dan peluang. Tindakannya didasarkan pada

pemahaman bersama tentang konteks dan aspirasi organisasi, dan dimanfaatkan

oleh pengetahuan dan keterampilan yang tersedia dari anggotanya. Dengan

demikian, pengetahuan organisasi memiliki informasi dan pengetahuan yang

memberikan keuntungan khusus, memungkinkan untuk bermanuver dengan

kecerdasan, kreativitas, dan terkadang dengan kelicikan. Dengan mengelola

sumber daya informasi dan praktik informasi, pengetahuan organisasi mampu

merasakan dan merespons lingkungan yang berubah, dan juga membentuk dan

memengaruhi perubahan lingkungan yang menguntungkan; memperluas basis

pengetahuan dan kemampuannya, dan juga melupakan asumsi dan keyakinan

lama; membuat keputusan yang terkadang rasional dan terkadang kreatif untuk

menghadapi tantangan yang semakin kompleks.

Dorongan awal untuk perubahan dan adaptasi mungkin ada dalam

pengambilan keputusan (misalnya, ketika aturan keputusan yang dilembagakan

tampaknya tidak berfungsi lagi); penciptaan pengetahuan (misalnya, ketika

inovasi atau kemampuan baru tersedia); dan tentu saja masuk akal (misalnya,

ketika ancaman atau peluang dirasakan). Akhirnya Choo (2006 :27) memberi

kesimpulan berikut :

The “knowing organization” is a model of how organizations use


information to adapt to external change and to foster internal growth. It
looks at how people and groups work with information to accomplish
three outcomes: (1) create an identity and a shared context for action
and reflection, (2) develop new knowledge and new capabilities, and (3)
120

make decisions that commit resources and capabilities to purposeful


action.

Menurut Choo, pengetahuan oirganisasi adalah model bagaimana

organisasi menggunakan informasi untuk beradaptasi dengan perubahan eksternal

dan untuk mendorong pertumbuhan internal. Ini melihat bagaimana orang dan

kelompok bekerja dengan informasi untuk mencapai tiga hasil: (1) menciptakan

identitas dan konteks bersama untuk tindakan dan refleksi, (2) mengembangkan

pengetahuan baru dan kemampuan baru, dan (3) membuat keputusan yang

mengikat sumber daya dan kemampuan untuk melakukan tindakan yang

bertujuan. Choo (2006 :27) mengatakan :

In sense making, people in an organization actively construct the


environment they attend to, based on their actions and beliefs: they
selectively highlight and connect information; they enact or create new
features to help them understand the environment.

Dalam penciptaan pengertian, orang-orang dalam organisasi secara aktif

membangun lingkungan yang mereka hadiri, berdasarkan tindakan dan keyakinan

mereka: mereka secara selektif menyoroti dan menghubungkan informasi; mereka

memberlakukan atau membuat fitur baru untuk membantu mereka memahami

lingkungan. Lebih luas lagi, Choo (2006 :27) menyimpulkan:

Sense making constructs a shared context for action (and for thinking
and talking about what is to be done). Sense making brings into focus
problems, opportunities, and issues that the organization needs to work
on. Sense making is a way of seeing but also a way of not seeing: we may
not notice things that we have no categories for, that are not part of our
expectations, or that contradict our beliefs and actions. Organizational
knowledge is different from individual knowledge: in addition to
personal, tacit knowledge, an organization also makes use of explicit
knowledge and cultural knowledge. In knowledge creation, an
organization converts between and combines its different types of
knowledge to develop new capabilities and innovations. Knowledge
creation can extend the range of options available for decision making. It
121

can also introduce options that require new sense making to understand.
The knowledge-based advantage of an organization is temporary and
fragile. The organization needs to continuously expand and refresh its
knowledge-creation capabilities.

Menurut Choo penciptaan pengertian membangun konteks bersama

untuk tindakan (dan untuk berpikir dan berbicara tentang apa yang harus

dilakukan). Penciptaan pengertian menjadi fokus masalah, peluang, dan masalah

yang perlu ditangani oleh organisasi. Penginderaan adalah cara untuk melihat

tetapi juga cara untuk tidak melihat: kita mungkin tidak memperhatikan hal-hal

yang tidak kita kategorikan, yang bukan bagian dari harapan kita, atau yang

bertentangan dengan keyakinan dan tindakan kita. Pengetahuan organisasi

berbeda dengan pengetahuan individu: di samping pengetahuan pribadi dan tacit,

organisasi juga memanfaatkan pengetahuan eksplisit dan pengetahuan budaya.

Dalam penciptaan pengetahuan, organisasi mengubah antara dan menggabungkan

berbagai jenis pengetahuannya untuk mengembangkan kapabilitas dan inovasi

baru. Penciptaan pengetahuan dapat memperluas cakupan pilihan yang tersedia

untuk pengambilan keputusan. Itu juga dapat memperkenalkan opsi yang

membutuhkan akal sehat baru untuk memahaminya. Keuntungan berbasis

pengetahuan dari suatu organisasi bersifat sementara dan rapuh. Organisasi perlu

terus mengembangkan dan menyegarkan kembali kemampuan penciptaan

pengetahuannya. Choo (2006 :27) menyimpulkan:

Decision making in organizations is structured by rules, premises, and


routines. Decision premises are value based or factual. Value premises
specify what qualities or criteria are important in evaluating
alternatives. Factual premises specify what facts are important and need
to be established in a decision situation. Decision making commits the
organization to a course of action. Decision making is a way of learning
122

but also a way of not learning: decision premises and rules encode and
apply past learning, but they can also block new learning.

Menurut Choo, pengambilan keputusan dalam organisasi disusun oleh

aturan, tempat, dan rutinitas. Tempat keputusan didasarkan pada nilai atau faktual.

Tempat nilai menentukan kualitas atau kriteria apa yang penting dalam

mengevaluasi alternatif. Premis faktual menentukan fakta apa yang penting dan

perlu ditetapkan dalam situasi keputusan. Pengambilan keputusan mengikat

organisasi pada suatu tindakan. Pengambilan keputusan adalah cara belajar tetapi

juga cara untuk tidak belajar: tempat keputusan dan aturan menyandikan dan

menerapkan pembelajaran masa lalu, tetapi mereka juga dapat memblokir

pembelajaran baru. Choo (2006 :28) menyimpulkan:

Sense making constructs the context, the frame of reference for


knowledge creation and decision making. Knowledge creation expands
organizational capabilities and introduces innovations. Decision making
converts beliefs and capabilities into commitments to act.

Menurut Choo, penciptaan pengertian membangun konteks, kerangka

acuan untuk menciptakan pengetahuan dan pengambilan keputusan. Penciptaan

pengetahuan memperluas kemampuan organisasi dan memperkenalkan inovasi.

Pengambilan keputusan mengubah keyakinan dan kemampuan menjadi komitmen

untuk bertindak.

Penciptaan pengetahuan organisasi yang memperluas kemampuan

organisasi dan memperkenalkan inovasi; dan pengambilan keputusan yang

mengubah keyakinan dan kemampuan organisasi menjadi komitmen untuk

bertindak secara efektif merupakan serangkaian pengetahuan organisasi yang

diperlukan oleh organisasi atau lembaga pemerintahan seperti Badan Nasional


123

Penanggulangan Teroris (BNPT). Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah apa

yang menjadi kriteria dan ukuran efektivitas organisasi?

2.2.3.2.2 Kriteria dan Ukuran Efektivitas Organisasi

Menurut Etzioni dalam Lubis dan Huseini, (1987 : 54), efektivitas

organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha

mencapai tujuan atau sasaran. Berdasarkan pendapat ini efektivitas merupakan

suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran

mengenai keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuannya.

Dalam konteks ini, Ravianto, (1989:113) mengatakan :

Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana


orang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti
bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan perencanaan,
baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif.

Efektivitas organisasi dapat diartikan sebagai pencapaian tujuan sesuai

dengan rencana yang dibuat berdasarkan kebijakan organisasi. Efektivitas

organisasi dapat dilihat sejauh mana organisasi melaksanakan seluruh tugas

pokoknya atau mencapai semua sasaran. Keefektifan dapat memberikan

pengertian ganda yaitu efektivitas organisasi dan efektivitas sumber daya yang

ada dalam suatu organisasi. Demikian pula konsekuensi pengukurannya juga akan

bervariasi atau bermacam-macam persepsi, dan hasilnya juga akan berbeda.

(Ravianto, 1989:113)

Barnard (1968) (dalam Suyadi (1997: 27) mengatakan “When a

specific desired end is attained we shall say that the action is effective. When the

unsought consequences are unimportant or trival, the action is efficient”.


124

Uraian di atas dapat dijelaskan bahwa apabila tujuan dari suatu kegiatan

yang telah direncanakan dapat direalisasikan, maka dapat dikatakan kegiatan itu

efektif. Sedangkan apabila terdapat akibat atau konsekuensi-konsekuensi dari

proses kegiatan tersebut yang tidak diinginkan, yang maknanya lebih penting

dibandingkan hasil yang telah tercapai dan menimbulkan rasa kecewa pada si

pelaksana kegiatan, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan efektif, tetapi tidak

efisien. Demikian pula sebaliknya apabila akibat yang ditimbulkan tidak

mempengaruhi respon pelaksana, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan yang

dilaksanakan adalah efektif dan efisien.

Lebih jauh Barnard (dalam Suyadi, 1997: 27) berpendapat “ Accordingly,

we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it

satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not.” Suatu kegiatan

dikatakan efektif bila telah mencapai tujuan yang ditentukan. Kegiatan tersebut

dikatakan efisien bila prosesnya memuaskan pelaksana, sehingga menjadi

pendorong untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu

bagaimana pengertian efektif dalam usaha kerja sama di lingkungan organisasi

atau lembaga pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kembali Barnard

(1968:28) mengatakan :

Effectiveness of cooperative effort relates to accomplishment of an


objective of the system and it is determined with a view to the system’s
requirement. The efficiency of a cooperative system is the resultant of the
efficiency of the individuals furnishing the constituent effort, that is, as
viewed by them.

Dari uraian di atas, berarti efektivitas dari usaha kerja sama (antar individu

atau unit kerja) berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai suatu
125

tujuan dalam suatu sistem yang didominasi dengan pandangan dapat memenuhi

kebutuhan sistem tersebut. Sedangkan efisiensi dari suatu sistem kerja adalah hasil

gabungan efisiensi dari upaya setiap individu. Jelasnya bahwa efektivitas dari

kelompok (organisasi) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai

dengan kebutuhan yang direncanakan. Konsep pemahaman efektivitas merujuk

pada proses pencapaian tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Loebbecke (2000 :807), effectiveness is the degree to which the

organization’s objectives are accomplished. Pendapat ini menunjukkan bahwa

keefektifan itu merupakan suatu tingkat dimana tujuan dari organisasi telah

tercapai.

Stair dan Reynolds (2006:11) mengatakan “Effectiveness is a measure of

the extent to which a system achieves its goals. It can be computed by dividing the

goals actually achieved by the total of the stated goals”. Pendapat ini

menunjukkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran dari tingkatan sebuah sistem

untuk mencapai tujuannya. Efektivitas dapat dihitung dengan membagi

pencapaian tujuan yang sebenarnya dengan total dari tujuan yang ditetapkan.

Menurut Soekarno (1986:42) :

Efektif adalah pencapaian tujuan atau hasil dikehendaki tanpa


menghiraukan faktor-faktor tenaga, waktu, biaya, fikiran alat dan lain-alat
yang telah dikeluarkan/digunakan. Hal ini berarti bahwa pengertian
efektivitas yang dipentingkan adalah semata-mata hasil atau tujuan yang
dikehendaki.

Dalam konteks itu, Gedeian et.al. (1991:61) mengatakan “That is, the

greater the extent it which an organization’s goals are met or surpassed, the

greater its effectiveness. Pendapat ini menunjukkan bahwa semakin besar


126

pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas.

Menurut Mahmudi (2005:92), “Efektivitas merupakan hubungan antara

output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap

pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”.

Dengan demikian efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau

kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi

tujuan yang diharapkan atau dikatakan spending wisely.

Kurniawan (2005:109) mengatakan bahwa efektivitas adalah kemampuan

melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu

organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara

pelaksanaannya.

Salah satu pendekatan analisis untuk mengetahui efektivitas adalah

pendekatan analisis tujuan. Pendekatan analisis tujuan ini berfungsi menjelaskan

efektivitas didasarkan suatu gagasan bahwa organisasi diciptakan sebagai alat

untuk mencapai tujuan organisasi. Pendekatan tujuan organisasi dibentuk dengan

maksud mencapai tujuan. Gibson (1989 : 27) mengatakan :

Yang diartikan dengan efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah


disepakati atas usaha bersama. Tingkat pencapaian sasaran itu
menunjukkan tingkat efektivitas. Gagasan bahwa organisasi maupun
kelompok dan individu itu harus dievaluasi dari segi pencapaian tujuan,
telah diterima umum secara luas. Pendekatan tujuan menunjukkan bahwa
organisasi dibentuk dengan tujuan tertentu, bekerja secara rasional dan
berusaha mencapai tujuan tertentu – yakni prinsip dasar dari masyarakat
Barat sekarang ini.

Dari uraian sejumlah pendapat diperoleh suatu konsep pemahaman bahwa

efektivitas merupakan proses pencapaian tujuan dan sasaran. Tujuan dan sasaran
127

ini tidak hanya terkait dengan kepentingan individu dan kepentingan kelompok

namun terkait juga dengan kepentingan organisasi.

Kriteria efektivitas merupakan hal yang sangat penting. Bahwa jika

kriteria yang diusulkan sejauh ini dianggap obyektif sifatnya, tidak seperti hampir

semua karya eksperimental lain, dalam hal perubahan organisasi sulit untuk

melakukan eksperimen terkendali meskipun bukan tidak mungkin. Dalam konteks

ini, Tyson & Jackson (2000:233) mengemukakan jenis kriteria efektivitas sebagai

berikut :

1. Pengarahan : Menetapkan tujuan, perencanaan jangka panjang dan


jangka pendek, kewirausahaan dan investasi yang dapat dipercaya
dalam perusahaan-perusahaan komersial, merencanakan struktur
organisasi yang tepat; memelihara citra positif perusahaan. Diukur
atau ditunjukkan dengan: tingkat tujuan yang dicapai adanya tinjauan
strategi ke masa depan, keberhasilan inovasi, profitabilitas, nilai
saham yang tinggi, dan sebagainya. Kenyataan memperlihatkan bahwa
banyak dari indiator-indikator tersebut tidak selalu merupakan akibat
dari efektivitasnya.
2. Delegasi : Motivasi dengan mendorong diambilnya keputusan yang
dipertimbangkan dengan baik yang mengarah kepada tindakan. Hal ini
menyatakan bahwa manajer memiliki wewenang yang didelegasikan,
dan apakah hal itu dianggap tepat oleh bawahan; tingkat dorongan dari
atas.
3. Pengendalian : Mengawasi kinerja yang tidak sesuai dengan tujuan
dan standar. Diukur atau ditunjukan dengan daftar tugas, seperti
penggunaan sumber daya, banyaknya produk yang ditolak, kualitas
layanan, dan sebagainya. Mungkin juga meliputi pengukuran terhadap
perilaku atau moral.
4. Pertanggungjawaban : Pengertian yang jelas mengenai siapa
bertanggungjawab terhadap apa, tanpa ada kesenjangan diantara
sejumlah pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukan dengan
seberapa jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan.
5. Efisiensi : Penggunaan optimum dari sumber daya dan pencapaian
terhadap tingkat output yang direncanakan dengan biaya minimum.
Diukur atau ditunjukkan dengan; rasio input-output.
6. Koordinasi : Mengintegrasikan aktivitas dan kontribusi dari bagian-
bagian yang berlainan dalam perusahaan. Diukur atau ditunjukan
dengan hubungan yang mendukung di antara unit-unit yang saling
128

tergantung; tingkat gangguan aliran aktivitas. Mungkin juga meliputi


tingkat persediaan, pengantaran, dan sebagainya.
7. Adaptasi : Kemampuan untuk menanggapi perubahan lingkungan,
kecakapan, untuk membuat, inovasi dan memecahkan masalah.
Diukur atau ditunjukan dengan perubahan-perubahan dalam pangsa
pasar dan laju perkembangan produk baru yang berhasil. Mungkin
juga meliputi solusi kreatif terhadap berbagai masalah ataupun
perkembangan praktek-praktek yang mengalami perbaikan.
8. Sistem sosial dan harapan perorangan : memelihara sistem sosial,
hubungan dan keadaan tenaga kerja supaya perusahaan mendapatkan
komitmen dari karyawan. Diukur atau ditunjukan dengan: laporan
penilaian kerja, survai perilaku, tingkat ketidakhadiran, pergantian
staf, dan sebagainya.

Siagian (1995: 32-33) menunjukkan efektivitas organisasi dengan

penjelasan berikut :

1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Kiranya tidak perlu


ditekankan lagi bahwa pembenaran eksistensi suatu organisasi adalah
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan. Telah diketahui bahwa
strategi adalah “peta jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai
upaya untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.
3. Proses analisa dan perumusan kebijakan yang mantap. Strategi
yang ditetapkan seyogyanya diikuti oleh kebijakan pelaksanaan yang
jelas. Kejelasan kebijakan itu memerlukan analisa yang matang.
4. Perencanaan yang matang. Jika orang menerima pendapat bahwa
merumuskan rencana pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang
apa yang akan dikerjakan oleh organisasi dimasa depan, jelaslah
bahwa salah satu kriteria efektifitas organisasi adalah sampai sejauh
mana organisasi itu mampu : memperkirakan keadaan yang akan
dihadapi; mengamnbil keputusan dalam menghadapi masa depan yang
pasti mengandung unsur ketidakpastian; meningkatkan orientasi masa
depannya; mengambil resiko yang telah diperhitungkan;
memperhitungkan faktor faktor pembatas yang diduga akan dihadapi
dalam berbagai segi kehidupan organisasi; dan memperhitungkan
situasi lingkungan yang akan timbul, baik yang bersifat politik,
ekonomi, nilai nilai sosial, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Penyusunan Program yang Tepat. Suatu rencana yang baik masih
perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat pula.
Sebab apa bila tidak, para pelaksana akan tidak/kurang memiliki
pedoman bertindak dan bekerja.
6. Tersedianya Sarana dan Prasarana Kerja. Memang harus diakui
bahwa pada umumnya organisasi dihadapkan kepada situasi
kelangkaan sepanjang menyangkut sarana da prasarana kerja.
129

7. Pelaksanaan yang Efektif dan Efisien. Jelasnya tujuan, tepatnya


strategi, efektifnya proses perumusan kebijaksanaan, matangnya
rencana, tepatnya penjabaran rencana dalam program dan kemampuan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang terbatas masih harus
dicerminkan oleh kegiatan operasional yang efektif dan efisien.
8. Sistem Pengawasan dan Pengendalian yang bersifat Mendidik.
Mengingat sifat manusia yang tidak sempurna dan karenanya
mempunyai kekurangan kekurangan, efektifitas organisasi menuntut
terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.

Karena efektivitas organisasi merupakan topik yang bersifat abstrak

maka diajukan sebuah model sebagai usaha memperlancar pemahaman kita

mengenai sifat efektivitas organisasi. Model ini, menurut Steers (1985:207),

menekankan proses-proses pokok yang berhubungan dengan efektivitas, dan tidak

memandang efektivitas sebagai keadaan akhir. Dengan demikian model ini

mengakui bahwa baik organisasi maupun lingkungannya terus berubah. Lagipula

model ini mengimplikasikan bahwa peranan penting dari manajemen adalah

memahami bagaimana berbagai komponen organisasi saling berhubungan satu

sama lain dan bagaimana saling hubungan ini dapat memperbesar kemungkinan

berhasilnya organisasi. Tiga dimensi utama dari model ini adalah: (1) konsep

optimalisasi tujuan; (2) perspektif sistem; dan (3) tekanan pada perilaku manusia

dalam susunan organisasi.

Steers (1985:207) mengatakan, optimalisasi tujuan adalah penggunaan

ancangan optimisasi tujuan terhadap efektivitas organisasi memungkinkan

diakuinya secara eksplisit bahwa organisasi yang berbeda mengejar tujuan yang

berbeda pula. Dengan demikian, niiai keberhasilan atau kegagalan relatif dari or-

ganisasi tertentu harus ditentukan dengan membandingkan hasil-hasiinya dengan

tujuan organisasi, dan bukan dengan pertimbangan si peneliti. Lagipula, ancangah


130

optimisasi tujuan mengakui kenyataan bahwa sebagian besar organisasi tidak

dapat "memaksimalkan" tujuan tertentu (seperti produksi) sekalipun mereka

menghendakinya. Sebaliknya, berdasarkan pengakuan akan adanya faktor-faktor

pembatas terhadap tingkah laku dan prestasi organisasi, para manajer yang efektif

dianggap menentukan dan mengejar tujuan yang optimal (yaitu, tujuan yang

diinginkan yang telah dibatasi atau dimodifikasi oleh sumber daya yang tersedia).

Jadi optimisasi adalah sarana pengimbang berbagai tujuan yang bertentangan,

sehingga setiap tujuan menerima cukup perhatian dan sumber daya selaras dengan

tingkat kepentingannya bagi organisasi. Dikemukakan di sini bahwa efektivitas

harus dinilai terhadap tujuan yang bisa dilaksanakan ini, dan bukan terhadap kon-

sep tujuan yang maksimum. (Steers, 1985:208)

Mengenai perspektif sistem, Steers (1985:208) mengatakan, aspek kedua

dari ancangan multidimensi pada analisis efektivitas organisasi adalah

penggunaan teori sistem terbuka. Seperti dikemukakan oleh Etzioni (1975),

Georgopoulos dan Tannenbaum (1957), serta lain-lainnya, penggunaan perspektif

sistem menekankan pentingnya arti interaksi organisasi lingkungan. Perspektif

sistem ini memusatkan perhatian pada hubungan antara komponen-komponen

baik yang terdapat di dalam maupun di luar organisasi sementara komponen-

komponen ini secara bersama-sama mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

organisasi. Jika hubungan ini dikenal dengan jelas, akan lebih mudah bagi

manajer mengambil tindakan tegas untuk memperlancar pencapaian tujuan berkat

bertambahnya pengertian mereka mengenai dinamika organisasi.


131

Mengenai tekanan pada perilaku, Steers (1985:209) mengatakan, aspek

terakhir dari ancangan yang disarankan di sini adalah tekanan pada pengertian

mengenai peranan perilaku manusia dengan pengaruhnya pada prestasi organisasi.

Dengan perkataan lain, jika kita ingin mendapat gambaran yang lebih jelas

mengenai faktor-faktor penentu efektivitas, kita harus meneliti unit dasar analisis

dalam penentuan ini; kita harus meneliti perilaku pekerja. Jika para anggota or-

ganisasi menyetujui sasaran pemimpin mereka, maka dapat diperkirakan bahwa

tingkat usaha yang mereka tujukan untuk mencapai sasaran-sasaran ini akan

tinggi. Di pihak lain, jika sasaran organisasi sebagian besar tidak cocok dengan

kebutuhan dan tujuan pekerja, sulit untuk percaya bahwa mereka akan

memaksimalkan kontribusi mereka. Jadi, bila kita membahas efektivitas

organisasi yang tidak kalah pentingnya untuk dibahas adalah hubungan antara apa

yang diinginkan para pekerja dengan apa yang diinginkan organisasi.

Mengenai faktor-faktor pengaruh utama atas efektivitas, Steers

(1985:209) mengatakan : Kerangka kerja yang dipakai di sini mengindentifikasi

empat rangkaian variabel yang berhubungan dengan efektivitas: (1) ciri

organisasi; (2) ciri lingkungan; (3) ciri pekerja; dan (4) kebijakan dan praktek

manajemen. Penelitian yang diadakan belum lama ini atas berbagai bidang

kelembagaan menunjukkan bahwa empat variabel ini memainkan peranan penting

memperlancar terciptanya lingkungan kerja yang berorientasi pada prestasi.

Mengenai ciri organisasi, Steers (1985:209-210) mengatakan : Struktur

dan teknologi organisasi dapat mempengaruhi segi-segi tertentu dari efektivitas,

dengan berbagai cara. Mengenai stuktur, diteniukan bahwa meningkatnya


132

produktivitas dan efisiensi sering merupakan hasil dari meningkatnya spesialisasi

fungsi, ukuran organisasi, sentralisasi pengambilan keputusan, dan formalisasi.

Walaupun produktivitas dan efisiensi cenderung mempunyai hubungan yang

positif dengan beberapa variabel struktur ini tetapi sikap kerja (khususnya

kepuasan kerja dan keikatan) cenderung mempunyai hubungan yang berbanding

terbalik dengan produktivitas dan efisiensi. Bila hasil dari kemungkinan

perubahan struktur bersifat bertentangan (misalnya, bila peningkatan sentralisasi

berakibat meningkatnya prestasi dan menurunnya kepuasan kerja) manajer

menghadapi kesulitan menentukan keuntungan perubahan tersebut.

Menurut Steers (1985:210), teknologi juga dapat berakibat atas tingkat

efektivitas selanjutnya, walaupun mungkin tidak langsung. Bukti-bukti

menunjukkan bahwa variasi teknologi berinteraksi dengan struktur dalam

pengaruhnya terhadap keberhasilan organisasi. Artinya, efektivitas jelas sangat

diperlancar bila susunan struktur sumber daya organisasi (misalnya mekanis

versus organis) sedemikian rupa, sehingga paling cocok untuk menangard

teknologi yang dipakai. Jika hubungan struktur dan teknologi sudah harmonis -

yaitu jika keduanya dapat bekerja sama - para pekerja akan sedikit saja menemui

masalah dalam usaha mencapai tujuan.

Dalam hal ciri lingkungan, Steers (1985:210) mengatakan : Di samping

ciri organisasi, lingkungan luar dan dalam juga telah dinyatakan berpengaruh atas

efektivitas. Keberhasilan hubungan organisasi-lingkungan tampaknya amat

bergantung pada tiga variabel kunci: (1) tingkat keterdugaan keadaan lingkungan;

(2)ketepatan persepsi atas keadaan lingkungan; dan (3) tingkat rasionalitas


133

organisasi. Ketiga faktor ini mempengaruhi ketepatan tanggapan organisasi

terhadap perubahan lingkungan. Makin tepat tanggapannya, makin berhasil

adaptasi yang dilakukan oleh organisasi. Model ini mempunyai implikasi yang

jelas bagi praktek manajemen, yaitu keharusan memonitor perubahan lingkungan

secara terus-menerus dan menyesuaikan desain, teknologi, sasaran, dan perilaku

organisasi menanggapi perubahan-perubahan itu.

Menurut Steers (1985:211), bila lingkungan luar meliputi milieu hukum,

ekonomi, dan pasar di mana organisasi berusaha mendapatkan sumber daya dan

mendistribusikan keluarannya, lingkungan dalam atau iklim meliputi milieu

kebudayaan dan sosial yang sangat menentukan perilaku pekerja. Akibatnya,

bertentangan dengan lingkungan luar, pembahasan iklim biasanya memperhatikan

variabel individu dan bukan variabel organisasi secara keseluruhan. Iklim

organisasi mungkin sebaiknya dipandang sebagai variabel perantara yang

melunakkan pengaruh struktur, teknologi, lingkungan luar, dan gaya manajemen

atas usaha dan prestasi individu.

Dalam hal ciri pekerja, Steers (1985:211) mengatakan : Faktor pengaruh

penting yang ketiga atas efektivitas adalah para pekerja itu sendiri. Pada

kenyataannya, para anggota organisasi mungkin merupakan faktor pengaruh yang

paling penting atas efektivitas karena perilaku merekalah yang dalam jangka

panjang akan memperlancar atau merintangi tercapainya tujuan organisasi.

Kesadaran akan sifat perbedaan pribadi yang terdapat di antara para pekerja

sangat penting artinya karena pekerja yang berbeda memberikan tanggapan


134

dengan cara yang berbeda pula atas usaha-usaha manajemen untuk mencapai

usaha yang diarahkan ke tujuan.

Steers (1985:211) juga mengatakan bahwa sarana pokok untuk

mendapatkan dukungan yang diperlukan ini dari pekerja adalah mengintegrasikan

tujuan pribadi dengan sasaran organisasi. Jika pekerja dapat memperbesar

kemungkinan tercapainya tujuan pribadi dengan kerja mencapai sasaran

organisasi, adalah logis untuk membuat asumsi bahwa baik keterikatan pada

organisasi ataupun prestasi kerja akan meningkat. Di pihak lain, jika para pegawai

dihadapkan pada situasi di mana tujuan pribadi mereka bertentangan dengan

sasaran organisasi, usaha pekerja akan diboroskan dengan mudah dengan akibat

jumiah enerji yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan

efektivitas berkurang. Jadi, pada hakekatnya kunci menuju keberhasilan

organisasi adalah diakuinya oleh para manajer hubungan tukar-menukar antara

organisasi dengan para anggotanya, di mana kedua belah pihak saling membantu

sebagai imbalan atas pertolongan yang diberikan oleh pihak lainnya dalam

mengejar sasaran masing-masing. Sifat hubungan tukar-menukar ini bergantung

pada usaha memaliami mengapa orang bersedia bekerja dan pada hubungan antara

usaha kega mereka dengan efektivitas organisasi.

Kemudian Steers (1985:211) dalam hal kebijakan dan praktek manajemen

mengatakan : Akhirnya, telah diidentifikasikan beberapa mekanisme khusus alat

para manajer meningkatkan efektivitas organisasi. Mekanisme ini meliputi

penetapan tujuan-tujuan strategi, pencarian dan pemanfaatan sumberdaya secara


135

efisien menciptakan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan

pengambilan keputusan, dan adaptasi dan inovasi organisasi.

Menurut Steers (1985:212), penetapan tujuan strategi berikut : Jika

efektivitas berkepentingan dengan kemampuan manajemen untuk mendapatkan

dan mengatur sumber daya bagi pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan

tujuan-tuiuan ini (baik yang operatif maupun operasional) menjadi faktor yang

kritis. Pengertian penetapan tujuan meliputi identifikasi tujuan organisasi yang

berlaku umum dan penetapan bagaimana berbagai bagian, kelompok dan individu

dapat memberikan sumbangannya bagi tuju an-tujuan ini. Bila terdapat dukungan

bersama untuk tujuan yang ditetapkan ini di antara pekerja, kemungkinan

dikeralikannya tingkat usaha yang tinggi bagi tujuan ini cenderung meningkat.

Steers (1985:212) menunjukkan bahwa pencarian dan pemanfaatan sumber

daya. Sehuhungan dengan usaha manajemen mencari dan memanfaatkan sumber-

daya, telah diidentifikasi tiga bidang yang saling berhubungan. Pertama, adalah

keharusan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai subsistem

organisasi (yaitu sub-sistem produktif, pendukung, pemeliharaan, penyesuai, dan

manajemen) sehingga setiap subsistem memiliki sumber-daya yang diperlukan

untuk melaksanakan tugas utamanya. Lagipula, jika sub-sistem-sub-sistem ini

dikoordinasikan dengan tepat (yaitu berimbang), enerji yang tersedia untuk

kegiatan-kegiatan yang diarahkan ke tujuan menjadi lebih efisien.

Bidang perhatian yang kedua berhubungan dengan penetapan,

pengimplementasian, dan pemeliharaan pedoman-pedoman kebijakan. Menurut

Steers (1985:212), pedoman kebijakan dapat mendukung efektivitas organisasi


136

dengan memastikan bahwa organisasi menarik manfaat dari keputusan dan

tindakan-tindakan yang lalu dan menekan pemborosan enerji dan/atau fungsi

ganda dalam beberapa bagian sampai seminimal mungkin. Tetapi manfaat

pedoman kebijakan bagi efektivitas diramalkan dengan asumsi bahwa pedoman-

pedoman ini dianggap adil dan beritikad baik oleh para pekerja. Bila pernyataan

kebijakan ini mendorong orang melakukan pekerjaan "sesuai dengan peraturan"

saja, kegunaannya bagi efektivitas organisasi jelas sangat berkurang.

Ketiga, menurut Steers (1985:213), setiap ancangan sistem pada

penelaahan organisasi mengakui adanya serangkaian umpanbalik dan lingkaran

kendali yang menjalankan fungsi gyroskopik demi menjamin agar organisasi tetap

pada targetnya dalam usahanya mencari tujuan. Walaupun sistem pengendalian

dapat bermacam-macam bentuknya (keuangan, fisik/barang, dan manusia),

terutama diperhatikan aspek manusia dari sistem pengendalian. Teknik-teknik

seperti akunting sumber daya manusia tampaknya menunjukkan potensi untuk

lebih mengakui pentingnya arti kemampuan manusia sebagai faktor penentu

efektivitas. Sejauh mana sistem umpanbalik dan pengendalian berhasil dipakai

untuk memonitor kegiatan-kegiatan yang diarahkan ke tujuan, kegunaannya bagi

para manajer tidak boleh diremehkan.

Lingkungan prestasi : menurut Steers (1985:213), banyak penelitian

menunjukkan pentingnya arti variasi dalam lingkungan kerja dalam menyokong

keberhasilan organisasi. Telah lama diakui bahwa tingkah laku dalam organisasi

terutama merupakan fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungan

kerjanya (Lewin, 1938). Jadi, manajer wajib merancang lingkungan kerja yang
137

memberikan fasilitas yang sejauh mungkin konsisten dengan sumber daya yang

tersedia. Yang harus diperhatikan oleh manajemen dalam bidang ini meliputi

perhatian akan: (1) prosedur pemilihan dan penempatan pekerja; (2) pendidikan

dan pengembangan pekerja; (3) desain tugas; dan (4) penilaian dan pemberian

imbalan pada prestasi. Jika diterapkan secara bersama-sama dan harmonis,

kegiatan-kegiatan ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi peningkatan

kualitas lingkungan kerja, di mana efektivitas organisasi akhirnya ditentukan.

Proses komunikasi : Menurut Steers (1985:213), adalah jauh lebih

mudah mengidentifikasi persoalan dalam komunikasi organisasi daripada

mencarikan pemecahannya. Misalnya, kita mengenali dengan jelas konsekuensi

negatif dari penyimpangan, pengebirian, keberlebihan, ketidaktepatan waktu, dan

tidak sampainya komunikasi (Guetzkow, 1965; Hall, 1972). Langkah penting

untuk meminimalkan masalah-masalah ini meliputi pengakuan bahwa komunikasi

dalam organisasi menjalani suatu proses evolusi, yang membutuhkan waktu

berkembang sampai menjadi seperti sekarang ini. Misalnya, tidak ada presiden

direktur perusahaan yang akan memutuskan mendadak sontak bahwa

perusahaannya akan memakai sistem komunikasi terbuka. Sebaliknya, jika

memang tujuannya ingin menerapkan komunikasi terbuka, hal ini harus

diperlihara dan dikembangkan selama berjalannya waktu dengan berbagai strategi

dan teknik komunikasi yang horisontal, ke atas dan ke bawah. Bila kegiatan

pengumpulan informasi dan penyebarrataan informasi dapat ditingkatkan,

ketidakpastian dan kecemasan sering dapat dikurangi dan mutu keputusan

selanjutnya dapat diperbaiki.


138

Kepemimpinan dan pengambilan keputusan : Menurut Steers (1985:214),

bila diketahui bahwa kepemimpinan dan proses pengambilan keputusan

memegang peranan sentral dalam perilaku organisasi, kita wajib memperhatikan

beberapa cabang variasi dalam proses-prosesnya sepanjang mereka

mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan organisasi, Tema pokok yang muncul

dari berbagai telaah mengenai kepemimpinan memperhatikan pengaruh

pengambilan keputusan yang demokratis atas mutu dan penerimaan terhadap

keputusan. Dikemukakan bahwa tindakan mengajak pekerja melibatkan diri lebih

banyak dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka

berfungsi: (1) menjelaskan harapan organisasi bagi pekerja serta imbalan potensial

untuk prestasi yang berhasil; (2) meningkatkan keikatan psikologis yang dimiliki

pekerja untuk melaksanakan keputusan karena dalam penetapannya mereka ikut

mengambil bagian; dan (3) meningkatkan akibat pengaruh sosial atas perilaku

(Ebert & Mitchell, 1975). Tetapi telah dikemukakan pula oleh beberapa peneliti

bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan tidak selalu menguntungkan

(Vroom & Yetton, 1973). Artinya, jika para pekerja memiiiki informasi penting

atau jika diterima-baiknya keputusan dapat menguntungkan. Di pihak lain, jika

perlu sekali diambil keputusan kilat mengenai persoalan yang hanya sedikit

menyinggung nasib pekerja, teknik yang demokratis dalam kenyataannya menjadi

tidak berfungsi.

Menurut Steers (1985:214), ada beberapa cara untuk memperlancar

peningkatan kualitas efektivitas kepemimpinan. Pertama, dapat diberikan

perhatian yang lebih besar pada pemilihan pertama dan penempatan manajer.
139

Terlalu sering terjadi bahwa para manajer dipilih berdasarkan senioritas atau

prestasinya di waktu-waktu sebelumnya. Tetapi dalam banyak kasus ternyata

bahwa hanya ada sedikit sekali hubungan antara faktor-faktor ini dengan

kemampuan kepemimpinan. Kedua, bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa

pendidikan manajemen kadang-kadang dapat meningkatkan mutu pemimpin,

walaupun hasilnya tidak sepenuhnya konsisten. Ketiga, sistem imbalan bagi para

manajer dapat disusun sedemikian rupa sehingga menumbuhkan semangat

pemimpin yang berorientasi pada tujuan. Keempat, sistem imbalan bagi para

bawahan dapat dirancang sedemikian sehingga mendorong usaha-usaha yang

diarahkan ke tujuan. Artinya, jika tujuan-tujuan pribadi dan organisasi dapat

diintegrasikan sedemikian rupa sehingga usaha yang ditujukan pada tujuan yang

satu memperlancar tercapainya tujuan yang lain, prestasi dan kepuasan dapat

ditingkatkan. Akhirnya, bila dalam kasus-kasus tertentu perubahan sikap dan

usaha kelihatannya tidak tercapai, mungkin perubahan struktur harus diadakan.

Misalnya, jika seorang manajer mempunyai kemampuan teknis yang tinggi tetapi

tidak efektif dalam menciptakan iklim kerja yang tepat, mungkin situasi kerjanya

harus diubah sehingga kegiatan-kegiatan teknis yang vital dapat diteruskan tanpa

mengorbankan aspek-aspek hubungan yang lebih bersifat antar pribadi di

lingkungan kerjanya.

Adaptasi dan inovasi organisasi : menurut Steers (1985:215), sepanjang

pembahasan kita mengenai sifat efektivitas organisasi, selalu ditekankan

keharusan bagi para manajer untuk selalu siap menyesuaikan organisasi mereka

dengan perubahan dalam lingkungan. Dalam kenyataannya, adaptasi dan inovasi


140

oleh banyak orang dianggap sebagai cap efektivitas itu sendiri (Bennis, 1962;

Geogrofoulos & Tannenbaum, 1957). Tapi masalahnya bagi para manajer modern

bukan apakah perubahan itu memang diperlukan tetapi menemukan cara yang

terbaik untuk merancang dan mengimplementasikan perubahan-perubahan itu.

Sebagaimana dikemukakan oleh Katz dan Kahn (1966) dalam paham mereka

mengenai kesamaan hasil akhir, seringkali terdapat banyak cara untuk mencapai

tujuan yang sama. Misalnya, beberapa tahun yang lalu undang-undang yang

dibuat dengan tujuan mengurangi kecelakaan lalu lintas mengharuskan para

produsen mobil memasang tali pengaman pada tempat duduk penumpang. Pada

waktu tindakan ini tidak berhasil mendapat sambutan yang diharapkan,

dikeluarkan undang-undang lagi yang mengharuskan para produsen memasang

lampu dan suara peringatan untuk mengingatkan para pengendara agar memasang

tali pengaman itu pada tubuhnya. Akhirnya, dibuat undang-undang yang

mewajibkan para produsen memasang alat yang membuat kendaraan tidak bisa

dijalankan jika tali pengaman itu belum dipakai oleh pengendara. Dari sudut

kesamaan hasil akhir, mungkin jauh lebih sederhana dan lebih efektif

mengeluarkan hanya satu undang-undang saja yaitu membatalkan hak atas

penggantian dari asuransi kecelakaan bagi para pengendara yang tidak

mengenakan sabuk pengaman pada saat kecelakaan terjadi. Maksudnya ialah

bahwa para manajer harus memeriksa dengan teliti ancangan yang mereka pilih

dalam menghadapi masalah tertentu. Penelitian ini sudah pasti harus meliputi pula

pertimbangan mengenai nisbah laba-rugi yang akan dikeluarkan dan diterima pada

berbagai alternatif pemecahannya.


141

Banyak sekali ancangan pada implementasi perubahan dalam organisasi

(Huse, 1975). Kegagalan di antara banyak teknik ini, menurut Steers (1985:215),

mungkin terletak lebih pada ketidakmampuan manajer mendiagnosis masalahnya

dengan tepat dan memilih teknik yang cocok daripada kelemahan teknik-teknik

itu sendiri. Bila manajer dapat mendiagnosis masalahnya dengan tepat dan

berhasil memilih dan mengimplementasikan program yang lengkap untuk

menyelesaikan persoalannya, maka adaptasi dengan lingkungan yang tidak pasti,

dapat ditingkatkan. Tapi keberhasilan ini bergantung pada kualitas manajernya

dan kesediaan serta keterbukaannya untuk setiap aspek persoalan yang timbul, dan

tidak mengantungkan diri pada pendapat yang belum dibuktikan kebenarannya,

prasangka/firasat, dan seterusnya. Jadi, mutu tanggapan kelihatannya sama

pentingnya dengan kecepatan tanggapan itu.

Berdasarkan penelitian kita atas sifat efektivitas dalam organisasi, menurut

Steers (1985:215), dapat ditarik dua kesimpulan umum yang mempunyai

konsekuensi yang penting bagi praktek manajemen. Pertama, pengertian

efektivitas sebaiknya dipandang sebagai proses yang bersinambung dan bukan

sebagai keadaan akhir. Menggerakkan, mengarahkan, dan mempertahankan usaha

pekerja yang berarahkan tujuan merupakan tugas yang tidak pernah selesai bagi

kebanyakan manajer. Dengan terus berubahnya komposisi tujuan yang dikejar

oleh banyak organisasi, para manajer mempunyai tanggungjawab yang kontiniu

untuk membina ulang struktur sumber daya yang tersedia, mengubah teknologi,

memodifikasi iklim, mengembangkan pekerja, dan seterusnya, dalam usaha

memanfaatkan bakat-bakat yang tersedia semaksimal mungkin demi mencapai


142

tujuan itu. Jadi, manajer muncul sebagai pilar utama efektivitas organisasi melalui

tindakan-tindakan dan tingkahlakunya.

Kedua, dalam analisis, menurut Steers (1985:216), kita terus menerus

kembali pada peranan utama dari ketergantungan dalam setiap diskusi mengenai

efektivitas. Artinya, para manajer wajib mengenali keunikan organisasinya sendiri

- tujuan, struktur, teknologi, orang-orang, lingkungannya, dan seterusnya - dan

menanggapinya dengan cara yang cocok dengan keunikan itu. Kesimpulan yang

demikian memperingatkan agar kita hendaknya jangan berusaha menetapkan

"peraturan" mencapai keberhasilan. Dengan beranekaragamnya organisasi,

peraturan semacam ini terbatas sekali nilainya. Sebaliknya organisasi

bertanggungjawab mendidik para anggotanya sehingga mereka dapat mengenali

sifat situasi tertentu dan menanggapinya dengan cara yang tepat. Dengan tindakan

ini, enerji yang terboroskan dapat ditekan sampai minimum, dan pemanfaatan

yang efisien atas sumber daya organisasi untuk pencapaian tujuan jadi meningkat.

Bila manajer mengakui keharusan untuk memberikan perhatian yang terus

menerus pada kegiatan-kegiatan yang diarahkan ke tujuan dan keunikan dari

kesempatan, tujuan, dan masalah organisasi mereka sendiri, kemungkinan untuk

mencapai tingkat operasi yang efektif akan lebih mudah diwujudkan.

Efektivitas organisasi tidak hanya terungkap dari indikator-indikator

keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang terkait

dengan eksternalitas organisasi. Efektivitas organisasi juga terungkap dari

efektivitas struktural yang terjalin dalam pelaksanaan kebijakan dan kegiatan

administrasi dan manajemen.


143

Dari deskripsi teori-teori efektivitas organisasi, penulis memilih teori

efektivitas organisasi Tyson & Jackson (2000:233) sebagai landasan teoritik

penyusunan konsep dan instrumen penelitian. Alasan pemilihan teori efektivitas

organisasi Tyson & Jackson adalah bahwa kriteria efektivitas organisasi yang

dikemukakan Tyson & Jackson cocok untuk mendsekripsikan dan membahas

efektivitas organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam

melaksanakan fungsi pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tyson

& Jackson (2000:233) menunjukkan kriteria efektivitas organisasi berikut :

1. Pengarahan : Menetapkan tujuan, perencanaan jangka panjang dan


jangka pendek, kewirausahaan dan investasi yang dapat dipercaya
dalam perusahaan-perusahaan komersial, merencanakan struktur
organisasi yang tepat; memelihara citra positif perusahaan. Diukur
atau ditunjukkan dengan: tingkat tujuan yang dicapai adanya tinjauan
strategi ke masa depan, keberhasilan inovasi, profitabilitas, nilai
saham yang tinggi, dan sebagainya. Kenyataan memperlihatkan
bahwa banyak dari indiator-indikator tersebut tidak selalu merupakan
akibat dari efektivitasnya.
2. Delegasi : Motivasi dengan mendorong diambilnya keputusan yang
dipertimbangkan dengan baik yang mengarah kepada tindakan. Hal ini
menyatakan bahwa manajer memiliki wewenang yang didelegasikan,
dan apakah hal itu dianggap tepat oleh bawahan; tingkat dorongan dari
atas.
3. Pengendalian : Mengawasi kinerja yang tidak sesuai dengan tujuan
dan standar. Diukur atau ditunjukan dengan daftar tugas, seperti
penggunaan sumber daya, banyaknya produk yang ditolak, kualitas
layanan, dan sebagainya. Mungkin juga meliputi pengukuran terhadap
perilaku atau moral.
4. Pertanggungjawaban : Pengertian yang jelas mengenai siapa
bertanggungjawab terhadap apa, tanpa ada kesenjangan diantara
sejumlah pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukan dengan
seberapa jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan.
5. Efisiensi : Penggunaan optimum dari sumber daya dan pencapaian
terhadap tingkat output yang direncanakan dengan biaya minimum.
Diukur atau ditunjukkan dengan; rasio input-output.
6. Koordinasi : Mengintegrasikan aktivitas dan kontribusi dari bagian-
bagian yang berlainan dalam perusahaan. Diukur atau ditunjukan
dengan hubungan yang mendukung di antara unit-unit yang saling
144

tergantung; tingkat gangguan aliran aktivitas. Mungkin juga meliputi


tingkat persediaan, pengantaran, dan sebagainya.
7. Adaptasi : Kemampuan untuk menanggapi perubahan lingkungan,
kecakapan, untuk membuat, inovasi dan memecahkan masalah.
Diukur atau ditunjukan dengan perubahan-perubahan dalam pangsa
pasar dan laju perkembangan produk baru yang berhasil. Mungkin
juga meliputi solusi kreatif terhadap berbagai masalah ataupun
perkembangan praktek-praktek yang mengalami perbaikan.
8. Sistem sosial dan harapan perorangan : memelihara sistem sosial,
hubungan dan keadaan tenaga kerja supaya perusahaan mendapatkan
komitmen dari karyawan. Diukur atau ditunjukan dengan: laporan
penilaian kerja, survai perilaku, tingkat ketidakhadiran, pergantian
staf, dan sebagainya.

Berdasarkan kriteria efektivitas organisasi dari Tyson & Jackson disusun

definisi konseptual berikut :

Efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam

Melaksanakan Fungsi Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

adalah proses pencapaian tujuan organisasi dan hasil pelaksanaan berbagai

kebijakan, program dan kegiatan pencegahan dan penanganan teroris yang

dianalisis menurut kriteria efektivitas organisasi yang meliputi pengarahan,

pendelegasian, pengendalian, pertanggungjawaban, efisiensi, koordinasi,

adaptasi, sistem sosial dan harapan perorangan. Dari definisi konsep

diturunkan 8 dimensi analisis : (1) Analisis Pengarahan, (2) Analisis

Pendelegasian, (3) Analisis Pengendalian, (4) Analisis Pertanggungjawaban, (5)

Analisis Efisiensi, (6) Analisis Koordinasi, (7) Analisis Adaptasi, dan (8) Analisis

Sistem sosial dan harapan perorangan.


145

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk menanggulangi berbagai gerakan teroris dan sekaligus

mengantisipasi terorisme, dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Teroris

(BNPT) Tugas pokok dan fungsi BNPT adalah merumuskan, mengoordinasikan,

dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan

Terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan

deradikalisasi; Mengoordinasikan antar penegak hukum dalam penanggulangan

Terorisme; Merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan,

strategi, dan program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kerja sama

internasional; Menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program

nasional di bidang penanggulangan Terorisme; Menyelenggarakan koordinasi

kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;

Melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisme dan radikalisasi, dan

deradikalisasi.

Dengan uraian tugas pokok dan fungsi yang demikian itu, maka quesi

yang menarik untuk dijawab adalah “Bagaimana efektivitas BPNPT dalam

melaksanakan fungsi pencegahan terorisme di Indonesia?” Guna menjawab

pertanyaan secara konseptual, dipilih teori efektivitas organisasi Tyson & Jackson

sebagai landasan teoritik penyusunan konsep penelitian. Tyson & Jackson

(2000:233) menunjukkan kriteria efektivitas organisasi yang meliputi

Pengarahan, Delegasi, Pengendalian, Pertanggungjawaban, Efisiensi Koordinasi,

Adaptasi, Sistem sosial dan harapan perorangan. Berdasarkan kriteria efektivitas

organisasi dari Tyson & Jackson disusun konsep penelitian berikut :


146

Efektivitas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam

Melaksanakan Fungsi Pencegahan Terorisme di Indonesia adalah proses

pencapaian tujuan organisasi dan hasil pelaksanaan berbagai kebijakan,

program dan kegiatan pencegahan dan penanganan radikalisme dan

terorisme yang dianalisis menurut kriteria efektivitas organisasi yang

meliputi pengarahan, pendelegasian, pengendalian, pertanggungjawaban,

efisiensi, koordinasi, adaptasi, sistem sosial dan harapan perorangan. Dari

definisi konsep diturunkan 8 dimensi analisis : (1) Analisis Pengarahan, (2)

Analisis Pendelegasian, (3) Analisis Pengendalian, (4) Analisis

Pertanggungjawaban, (5) Analisis Efisiensi, (6) Analisis Koordinasi, (7)

Analisis Adaptasi, dan (8) Analisis Sistem sosial dan harapan perorangan.

Dengan konsep penelitian dirancang kerangka pemikiran dengan gambar berikut :

Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran

Serangan Terorisme
Tahun 2002, 2004, dan
2016, 2017, 2018, 2019,

Fungsi Pencegahan BNPT


(Perpres No. 46 Th 2010)

Efektivitas BNPT Model Penanggulangan


(1) Pengarahan, (2) Terorisme oleh BNPT
Pendelegasian, (3)
Pengendalian, (4)
Pertanggungjawaban, (5)
Efisiensi, (6) Koordinasi, (7) Penanggulangan Teorisme oleh
Adaptasi, dan (8) Sistem sosial BNPT lebih efektiv
dan harapan perorangan.
(Tyson & Jackson, 2000)

Anda mungkin juga menyukai