Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan penerapan literasi informasi dalam sektor pendidikan formal, informal, dan non
formal, bahkan dalam kehidupan sehari-hari telah merebak di hampir semua belahan
dunia. Konsep information literacy yang diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi
literasi informasi dicetuskan oleh Paul Zurkowski, mantan Presiden U.S Information
Industry Association, pada tahun 1974 yang menulis proposal kepada National
Commission for Libraries and Information Science (NCLIS) dan mengatakan bahwa
seseorang harus menjadi information literate atau “melek informasi” jika ia ingin bertahan
dan mampu berkompetisi dalam masyarakat berinformasi (Eisenberg, Lowe & Spitzer,
2004:3).

Literasi informasi kemudian berkembang dalam dunia kepustakawanan sekolah. Awalnya,


tenaga perpustakaan sekolah hanya berperan dalam mengembangkan koleksi,
mengolahnya agar pemakai dapat menemukan bahan pustaka yang disimpan hingga
menyediakannya agar pemakai dapat meminjam atau memanfaatkannya. Peran ini
kemudian berkembang dalam suatu program layanan pendidikan pemakai, yang intinya
memberi penuntun agar pemakai dapat menggunakan dan memanfaatkan koleksi
perpustakaan secara efektif dan efisien. Dengan perkembangan teknologi informasi dan
beragam bentuk dan media informasi dalam perpustakaan, maka peran tenaga
perpustakaan menjadi penting dalam menyampaikan pendidikan literasi informasi bagi
pemakai.

Dalam pendidikan literasi informasi kepada pemakai di perpustakaan sekolah, pemakai


(peserta didik) belajar memecahkan sebuah permasalahan dengan menggunakan
beragam sumber informasi. Ada beberapa aspek pembelajaran dalam literasi informasi
yang merupakan keterampilan dasar yang penting diberikan sebagai bekal mereka untuk
menjadi pembelajar seumur hidup. Pendidikan Literasi Informasi sangat strategis diberikan
dalam lingkup pendidikan formal di tingkat sedini mungkin. Ketika pemakai atau para
peserta didik menguasai keterampilan literasi pada saat mereka duduk di pendidikan
formal, keterampilan ini diharapkan akan melekat hingga mereka terjun ke dalam
masyarakat nanti. Dengan demikian pemakai akan menggunakan literasi informasi tidak
1
saja dalam sektor pendidikan formal, melainkan juga pada setiap aspek kehidupan sehari-
hari.

Literasi informasi berkembang dalam konteks keterkaitannya dengan literasi lainnya yang
saling menunjang. Seseorang sekurang-kurangnya memiliki keterampilan dasar yaitu
membaca, menulis, dan berhitung terlebih dahulu sebelum ia dapat menguasai
keterampilan literasi informasi. Dasar-dasar penguasaan teknologi juga merupakan salah
satu elemen yang menunjang keterampilan literasi informasi ini di samping literasi media
dan budaya. UNESCO (2007) menyatakan bahwa keterampilan literasi informasi
merupakan satu dari enam kategori survival literacies di abad 21. Keenam kategori ini
adalah:

a. Literasi fungsional inti atau dasar (Basic or core functional literacy) yaitu membaca,
menulis, berbicara, dan berhitung.
b. Literasi komputer (Computer literacy) yaitu kemampuan seseorang dalam
menggunakan dan mengoperasikan komputer sebagai mesin informasi.
c. Literasi media (Media Literacy) yaitu pengetahuan dalam menggunakan teknologi
media yang baru maupun yang lama yang mempunyai hubungan erat dengan isi
pesan yang disampaikannya.
d. Pendidikan jarak jauh yang memanfaatkan teknologi komunikasi (Distance education,
e-learning).
e. Literasi budaya (Cultural Literacy) yaitu pengetahuan tentang sebuah negara, agama,
kelompok suku, dan sarana komunikasi tradisional (seperti budaya cerita lisan) yang
memberi pengaruh pada penciptaan, penyimpanan, penanganan, pelestarian dan
pengarsipan data, informasi, dan pengetahuan.
f. Literasi informasi (Information Literacy) yang akan dibahas lebih lanjut pada bahan
ajar ini.
g. Implementasi literasi informasi tidak bisa terlepas dari kelima literasi lainnya karena
mereka mempunyai keterkaitan yang lekat satu sama lainnya.

1.2 Deskripsi Singkat

Mata ajar ini mencakup pemahaman dasar tentang Literasi Informasi yang meliputi
perkembangan dan elemen-elemen penting yang terkandung didalamnya serta
perancangan sebuah program literasi informasi bagi pemakai di jenjang pendidikan dasar
dan menengah.
2
1.3 Kompetensi Dasar

Setelah mengikuti mata ajar diklat ini, peserta diharapkan :

a. Menguasai aspek-aspek dasar manajemen perpustakaan sekolah


b. Memahami beragam sumber-sumber informasi sebagai koleksi perpustakaan sekolah
c. Memahami keterkaitan teknologi dalam penyediaan sumber- sumber informasi
d. Mampu mengoperasikan teknologi yang berkaitan dengan ketersediaan sumber
informasi

1.4 Indikator Keberhasilan


Setelah mengikuti mata ajar diklat ini, peserta diharapkan mampu:

a. Menjelaskan ruang lingkup, perkembangan dan definisi literasi informasi

b. menjelaskan standar literasi informasi dan model-model literasi informasi

c. menjelaskan komponen penting dalam literasi informasi

d. memahami dan menjelaskan strategi implementasi LI yang sesuai dengan


kebutuhannya

e. merancang sebuah pedoman pelaksanaan program literasi informasi untuk jenjang


sekolah tertentu

3
BAB II
LITERASI INFORMASI

2.1 Definisi dan Pengertian


Beberapa negara mengembangkan definisi tentang literasi informasi seperti yang dikutip
berikut ini.

a. Amerika Serikat
"To be information literate, a person must be able to recognize when information is needed
and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information.
Producing such a citizenry will require that schools and colleges appreciate and integrate
the concept of information literacy into their learning programs and that they play a
leadership role in equipping individuals and institutions to take advantage of the
opportunities inherent within the information society." (AMERICAN LIBRARY
ASSOCIATION, PRESIDENTIAL COMMITTEE ON INFORMATION LITERACY, FINAL
REPORT , JANUARY 10, 1989) 1

“Agar seseorang dikatakan memiliki keterampilan literasi informasi, ia harus mempunyai


kemampuan untuk menyadari kapan informasi diperlukan dan memiliki kemampuan untuk
menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan secara efektif informasi tersebut. Guna
menghasilkan orang-orang demikian, maka sekolah dan perguruan tinggi menerapkan dan
mengintegrasikan konsep literasi informasi ke dalam program pembelajaran dan mereka
memerankan fungsi kepemimpinan dalam memperlengkapi individu dan institusi untuk
mengambil kesempatan inheren ini dalam masyarakat informasi”

b. Australia
"Information literacy is an understanding and set of abilities enabling individuals to
recognise when information is needed and have the capacity to locate, evaluate, anduse
effectively the needed information'." (CAUL, 2004) 2

“Literasi informasi adalah pemahaman dan kemampuan seseorang untuk menyadari


kapan informasi diperlukan, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakannya secara
efektif.”

1
http://www.plattsburgh.edu/library/instruction/informationliteracydefinition.php
2
http://www.caul.edu.au/caul-doc/InfoLitStandards2001.doc
4
c. Inggris
"Information literacy is knowing when and why you need information, where to find it, and
how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner." 3

“Literasi informasi adalah mengetahui kapan anda memerlukan informasi, ke mana


menemukannya, dan bagaimana mengevaluasi dan mengomunikasikannya secara etis.”

d. UNESCO
"Information literacy encompasses knowledge of one's information concerns and needs,
and the ability to identify, locate, evaluate, organize and effectively create, use and
communicate information to address issues or problems at hand; it is a prerequisite for
participating effectively in the Information Society, and is part of the basic human right of
life long learning." (US National Commission on Library and Information Science, 2003) 4

"Literasi informasi mengarahkan pengetahuan akan kesadaran dan kebutuhan informasi


seseorang, dan kemampuan untuk mengidentifikasi, menemukan, mengevaluasi,
mengorganisasi, dan secara efektif menciptakan, menggunakan, mengomunikasikan
informasi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi; juga merupakan persyaratan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan merupakan hak asasi manusia
untuk belajar sepanjang hayat.

e. American Library Association (ALA)


Komisi literasi informasi American Library Association (ALA) yang bertugas mengkaji
peran informasi di dunia pendidikan, bisnis, pemerintahan, dan kehidupan sehari-hari
dalam laporan akhirnya pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa :

Information literate people are those who have learned how to learn. They know how to
learn because they know how knowledge is organized, how to find information and how to
use information in such a way that others can learn from them. They are people prepared
for lifelong learning, because they can always find the information needed for any task or
decision at hand. (ALA, 1989, p.1) 5

”Orang yang berinformasi adalah mereka yang telah belajar bagaimana belajar. Mereka
mengetahui bagaimana harus belajar karena mereka mengetahui organisasi

3
http://www.cilip.org.uk/publications/updatemagazine/archive/archive2005/janfeb/armstrong.htm
4
http://www.nclis.gov/libinter/infolitconf&meet/post-infolitconf&meet/PragueDeclaration.pdf.
5
http://www.ala.org/ala/mgrps/divs/acrl/issues/infolit/infolitoverview/introtoinfolit/introinfolit.cfm
5
pengetahuan, memahami cara menemukan informasi, dan menggunakan/ memanfaatkan
informasi sehingga pihak lain dapat belajar darinya. Mereka adalah orang yang disiapkan
untuk belajar sepanjang hayat karena mereka selalu dapat menemukan informasi yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas atau mengambil keputusan”.

Jabaran ALA mengenai literasi informasi ini sejalan dengan cita-cita dibangunnya
masyarakat melek informasi dalam tataran global yang disepakati World Summit on the
Information Society (WSIS), di Geneva 2003 dan di Tunisia 2005. Adapun batasan
masyarakat global yang ingin dibangun adalah:

We,... declare our common desire and commitment to build a people-centred, inclusive
and development-oriented Information Society, where everyone can create, access, utilize
and share information and knowledge, enabling individuals, communities and peoples to
achieve their full potential in promoting their sustainable development and improving their
quality of life, premised on the purposes and principles of the Charter of the United Nations
and respecting fully and upholding the Universal Declaration of Human Rights. 6

“Kami,…menyatakan keinginan dan komitmen untuk membangun masyarakat informasi


yang inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada pembangunan,
di mana setiap orang dapat mencipta, mengakses, menggunakan, dan berbagi informasi
serta pengetahuan, sehingga memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat
menggunakan seluruh kemampuan mereka untuk mendorong pembangunan
berkelanjutan dan meningkatkan mutu hidup mereka, berdasar tujuan dan prinsip Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa dan menaati sepenuhnya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia”.

Dari definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi informasi adalah
seperangkat keterampilan untuk memecahkan masalah, baik itu untuk kepentingan
akademisi ataupun pribadi, termasuk lingkup tempat kerja; melalui proses pencarian,
penemuan, dan pemanfaatan informasi dari beragam sumber; serta mengomunikasikan
pengetahuan baru ini dengan efisien, efektif serta beretika.

Dalam setiap aspek kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan pada permasalahan yang
membutuhkan jalan keluar maupun keputusan yang harus dibuat. Ini merupakan titik awal
langkah keterampilan informasi dalam menentukan masalah apa yang perlu dicari jalan

6
http://www.itu.int/wsis/docs/geneva/official/dop.html
6
keluarnya. Untuk itu, kita akan menggunakan sumber-sumber informasi yang tersedia baik
di rumah maupun di perpustakaan. Sumber-sumber informasi ini misalnya dari internet,
buku, koran, majalah, peta, dan juga orang. Setelah informasi yang berkaitan dengan
masalah yang ingin kita pecahkan kita peroleh, maka kita akan menyusun kembali
informasi yang kita dapati untuk menjawab permasalahan tadi. Setelah memperoleh
solusi yang sudah ditemukan lewat informasi dari berbagai sumber tadi, maka langkah
selanjutnya adalah mengomunikasikan perolehan solusi ini ke orang lain. Dalam konteks
sekolah, maka bentuk komunikasi yang paling sering digunakan adalah dalam bentuk
tulisan/esai, lisan dalam bentuk presentasi misalnya.

Secara umum, pemahaman yang terkandung dalam makna literasi informasi adalah:

1) literasi informasi merupakan proses belajar bagaimana caranya belajar


2) keterampilan literasi informasi mencakup pemahaman dan kemampuan seseorang
untuk:
a) menyadari kapan informasi itu diperlukan
b) menemukan informasi
c) mengevaluasi informasi
d) menggunakan informasi yang diperoleh dengan efektif
e) mengomunikasikannya dengan etis
3) keterampilan literasi informasi merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat berinformasi
4) keterampilan literasi informasi merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang
hayat 7

2.2 Cikal Bakal Pendidikan Literasi Informasi


Profesi kepustakawanan, pada awalnya hanya terfokus pada pekerjaan pengadaan dan
pengolahan bahan pustaka. Shera dalam Ray (2001: 30) menyebut Tripartite Roles
dalam tugas pustakawan yang mengandung tiga tugas dan peran khusus dalam profesi ini
yaitu sebagai:

a. bibliographer yaitu orang yang bertugas memilih buku dan bahan-bahan lainnya untuk
penambahan koleksi perpustakaan;
b. reference librarian, yaitu orang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh
pengguna perpustakaan dan;

7
Hasil Diskusi Kelompok INDONESIAN Workshop in Information Literacy. 2008. hal 10
7
c. cataloging librarian, yaitu orang yang membuat katalog perpustakaan (tercetak dan
atau elektronik) dan memastikan bahwa koleksi perpustakaan sesuai penempatannya.
Ketiga tugas ini benar-benar telah menempatkan seorang pustakawan dalam profesi
yang hanya berkaitan dengan penataan buku-buku dengan memastikan temu
kembalinya setepat mungkin.

Peran dan tugas pustakawan kemudian berkembang ketika ia harus memberikan


pendidikan pemakai kepada pengguna perpustakaan. Pada tahun 1970-an, Association of
Colleges and Research Libraries (ACRL) mendefinisikan library instruction sebagai
pemberian tuntunan bagi individu maupun kelompok dalam menggunakan bahan dan
sumber-sumber serta dalam menginterpretasikan alat-alat pembelajaran (Branch dan
Gilchrist dalam Andretta, 2005: 6).

Menurut Branch dan Gilchrist cakupan pendidikan pemakai ini sebatas pengenalan bahan-
bahan pustaka dan interpretasi alat-alat pembelajaran dan bukan kepada perolehan atau
pemilihan informasi dalam rangka pembelajaran.Sementara Mellon dalam Andretta
(2005:6-7) mengemukakan sebuah argumentasi bahwa permasalahan dalam penerapan
pendidikan pemakai tradisional lebih terfokus pada kegiatan perpustakaan. Kegiatan ini
mencakup pemanfaatan sarana informasi dan bukan pada tugas-tugas yang lebih
kompleks dalam penelusuran informasi berdasarkan pemikiran kritis dan keterampilan
evaluatif, dan cakupan ini ternyata tidak berhasil mendorong para siswa untuk menjadi
pembelajar seumur hidup.

Dengan berkembangnya teknologi pada tahun 1990-an, ACRL kemudian mengubah


definisi library instruction ini menjadi “program yang memberikan instruksi bibliografi
melalui beragam teknik yang memungkinkan mereka menjadi information literate”.(Mellon
1988 dalam Andretta, 2005: 7). Perubahan pemahaman terhadap kegiatan program library
instruction menjadi lebih luas cakupannya dan menjadi program literasi informasi, karena
literasi informasi memiliki tujuan akhir yang lebih khusus yaitu menjadikan para pemakai
perpustakaan sebagai orang-orang yang melek informasi. Penerapan literasi informasi itu
penting karena:

1) literasi informasi merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup pribadi, sosial,
pekerjaan, dan pendidikan (UNESCO)

8
2) literasi informasi merupakan sarana untuk memecahkan masalah dengan
memanfaatkan beragam sumber-sumber informasi sebagai hak asasi manusia untuk
menjadi pembelajar seumur hidup (US National Commission on Library and
Information Science)

3) literasi informasi sebagai keterampilan menyaring informasi dalam kehidupan


masyarakat berbasis informasi.

Pendidikan literasi informasi membekali para siswa dengan kemampuan untuk


merumuskan masalah yang dihadapinya dan kemampuan menggunakan sumber-sumber
informasi yang benar dan diperlukan sesuai kebutuhan. Termasuk di dalamnya adalah
kemampuan untuk mengorganisasi informasi tersebut, kemampuan mempresentasikan
hasil temuan, mengevaluasi proses pemecahan masalah, dan menyimpannya kembali
sebagai pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.
Pendidikan ini dapat dilakukan dengan kerja sama antara pustakawan sekolah dengan
para guru dalam bentuk kolaborasi kegiatan belajar mengajar.

2.3 Model literasi informasi


Perkembangan literasi informasi ini ditandai dengan munculnya keragaman model literasi
informasi dari berbagai negara. Beberapa di antaranya adalah British Model, Big 6™,
Empowering 8 dan 7 Langkah Knowledge Management.

a. British Model
British Model dikembangkan oleh Michael Marland pada tahun 1981. Marland dalam
bukunya yang berjudul Information Skills in the Secondary Curriculum merumuskan
sembilan langkah dalam memecahkan masalah yaitu:

1) memformulasikan dan menganalisis kebutuhan


2) mengidentifikasi dan memeriksa sumber-sumber informasi
3) Menelusur dan menemukan sumber-sumber individu
4) Menguji dan memilih sumber-sumber informasi
5) Mengintegrasikan sumber-sumber informasi tersebut
6) Menyimpan dan menyortir informasi
7) Menginterpretasikan, menganalisis, menyintesiskan, dan mengevaluasi informasi
8) Mempresentasikan atau mengomunikasikan informasi
9) Mengevaluasi.

9
b. Big 6™
Dari Amerika Serikat, sebuah model yang cukup terkenal dan banyak digunakan di
sekolah adalah Big 6™ yang dikembangkan oleh Michael B.Eisenberg and Robert E.
Berkowitz dari Amerika Serikat. Enam langkah ini adalah:

1) Penentuan tugas atau masalah


2) Strategi pencarian informasi
3) Pencarian sumber informasi yang diperlukan
4) Pemanfaatan informasi yang sudah diperoleh
5) Pengintegrasian informasi yang diperoleh dari sumber-sumber
6) Pengevaluasian terhadap hasil informasi yang diperoleh dan proses pemecahan
masalahnya.

Model Big 6™ sangat populer bukan saja di Amerika Serikat tapi juga di negara-negara
yang sudah menyadari pentingnya implementasi literasi informasi dalam proses belajar
mengajar di sekolah. Selain itu kedua pengembangnya secara aktif dan berkelanjutan
mengembangkan model ini dengan mengeluarkan terbitan-terbitan yang bermanfaat bagi
pemakainya.

c. Empowering 8
Pada tahun 2004, sebuah model yang dirancang khusus untuk kepentingan orang-orang
Asia dirumuskan dalam sebuah pertemuan International Workshop on Information Skills
for Learning yang diselenggarakan oleh IFLA/ALP dan NILIS di University of Colombo, Sri
Lanka. Model yang dihasilkan oleh peserta dari negara-negara Asia ini disebut dengan
Empowering 8 dan dipercaya sebagai salah satu model yang dapat langsung
diimplementasikan oleh negara-negara di Asia dan juga dianggap memiliki pendekatan
yang memberikan sebuah lingkungan pembelajaran yang lebih aktif, melibatkan siswa,
dan mengandung keterampilan superior. Kedelapan langkah tersebut adalah:

1) Mengidentifikasi masalah;
2) Mengeksplorasi sumber informasi
3) Memilih sumber informasi
4) Menyusun informasi yang diperoleh
5) Menciptakan sebuah pengetahuan baru dari informasi yang terkumpul sebagai
jawaban dari masalah
6) Mempresentasikan pengetahuan baru yang sudah tercipta

10
7) Memberi penilaian terhadap pengetahuan baru tersebut
8) Mengaplikasikan pengetahuan baru tersebut.

d. Tujuh (7) Langkah Knowledge Management


Di Indonesia, ada sebuah model literasi informasi yang juga sudah dikembangkan yang
disebut dengan 7 Langkah Knowledge Management oleh Diao Ailien, dkk. yang diterbitkan
oleh Penerbit Atma Jaya, edisi pertama, tahun 2008.

Tujuh Langkah Knowledge Management ini adalah:


1) Langkah pertama: Perumusan masalah
2) Langkah kedua: Mengidentifikasi sumber informasi dan mengakses informasi
3) Langkah ketiga: Evaluasi sumber informasi dan informasi
4) Langkah keempat: Menggunakan informasi
5) Langkah kelima: Menciptakan karya
6) Langkah keenam: Mengevaluasi
7) Langkah ketujuh: Menarik pelajaran (lesson learned)

2.4 Standar Literasi Informasi


Standar literasi informasi digunakan sebagai alat ukur pencapaian proses literasi
informasi bagi para siswa. Standar tersebut juga dimanfaatkan sebagai sebuah landasan
pengembangan program agar pengukuran hasil progam dapat dilakukan berdasarkan
tujuan-tujuan yang ditetapkan. Salah satu standar yang dikembangkan oleh American
Association of School Librarian (AASL) pada tahun 1994 mempunyai tiga kategori yang
mencakup sembilan standar dan dua puluh sembilan indikator. Berikut ini penjabaran tiga
kategori dan sembilan standar tersebut:

a. Kategori 1: Literasi Informasi


1) Standar 1: Siswa yang melek informasi mengakses informasi secara efisien dan efektif
2) Standar 2: Siswa yang melek informasi mengevaluasi informasi secara kritis dan
kompetens
3) Standar 3: Siswa yang melek informasi menggunakan informasi secara akurat dan
kreatif

b. Kategori 2: Pembelajaran Mandiri


1) Standar 4: Siswa pembelajar mandiri adalah siswa yang melek informasi dan
menggunakan informasi berkaitan dengan minat pribadinya

11
2) Standar 5: Siswa pembelajar mandiri adalah siswa yang melek informasi dan
menghargai serta menyukai literatur dan bentuk ekspresi kreatif informasi lainnya
3) Standar 6: Siswa pembelajar mandiri adalah siswa yang melek informasi dan
berusaha sebaik-baiknya dalam penelusuran informasi dan generasi pengetahuan

c. Kategori 3: Tanggung Jawab Sosial


1) Standar 7: Siswa yang memberi sumbangan positif pada komunitas pembelajar dan
masyarakat adalah siswa yang melek informasi dan mengetahui pentingnya informasi
dalam masyarakat demokratis.
2) Standar 8: Siswa yang memberi sumbangan positif pada komunitas pembelajar dan
masyarakat adalah siswa yang melek informasi dan mempraktikkan perilaku etis
terhadap informasi dan teknologi informasi.
3) Standar 9: Siswa yang memberi sumbangan positif pada komunitas pembelajar dan
masyarakat adalah siswa yang melek informasi dan berpartisipasi secara efektif dalam
kelompok dalam penelusuran informasi dan generasi pengetahuan.

2.5 Strategi Implementasi Program Literasi Informasi


Strategi implementasi literasi informasi dapat dilakukan dengan:
a. Menempatkannya dalam program pendidikan pemakai
b. Menempatkannya dalam program orientasi siswa baru
c. Menempatkannya sebagai bagian dari kegiatan program perpustakaan
d. Menempatkannya sebagai bagian dalam kurikulum secara menyeluruh

2.6 Program Literasi Informasi sebagai Kegiatan Program Terkait denga


Pendidikan Pemakai
2.6.1 Orientasi Siswa Baru maupun Kegiatan Program Perpustakaan

Beberapa sekolah telah menyelenggarakan program keterampilan literasi informasi yang


diberikan dalam program literasi informasi mandiri artinya tenaga perpustakaan sekolah
mengembangkan sebuah model pengajaran secara utuh dan terprogram dalam suatu
kurun waktu tertentu. Program yang diberikan mencakup semua bagian keterampilan
literasi informasi yang dikembangkan dari sebuah model yang dipilih. Adapun keuntungan
dan kerugian dari implementasi literasi informasi secara mandiri ini adalah :

12
a. Keuntungan:
1) peserta didik mempelajari setiap unsur keterampilan literasi secara utuh dan
terstruktur
2) peserta didik dapat menerapkan unsur-unsur keterampilan literasi informasi ini dalam
setiap mata pelajaran maupun keperluan memecahkan masalah lainnya yang
dihadapi di rumah, di sekolah maupun lingkungan lainnya
3) tenaga perpustakaan sekolah hanya perlu memberikan keterampilan literasi informasi
ini dalam suatu kali program, tanpa harus mengulangnya di dalam mata pelajaran
sekolah yang diberikan kepada peserta didik

b. Kerugian:
Mengingat pelaksanaannya dalam waktu kegiatan pembelajaran sekolah, maka agak sulit
mengalokasikan waktu pelaksanaan di luar jam sekolah, kecuali jika perpustakaan
mengambil bagian dalam kegiatan ekstrakulikuler

Contoh rancangan program literasi informasi mandiri:


a. Menjadwalkan pertemuan untuk pengenalan jasa dan layanan perpustakaan sekolah
di semester satu saat tahun ajaran belajar dimulai. Pengenalan ini dapat diberikan juga
secara terpisah kepada para guru-guru baru dan peserta didik baru. Adapun materi yang
diberikan dalam satu kali pertemuan awal ini adalah:
a) Pengenalan jam buka perpustakaan
b) Pengenalan hak dan kewajiban anggota perpustakaan
c) Pengenalan tenaga perpustakaan sekolah
d) Pengenalan tata tertib perpustakaan
e) Pengenalan koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan
f) Pengenalan cara menggunakan katalog perpustakaan

b. Menjadwalkan kegiatan pengajaran literasi informasi terstruktur. Tenaga perpustakaan


dapat mengembangkan program pembelajaran literasi informasi ini dengan menentukan
model literasi informasi mana yang dipilih. Sebagai contoh, jika tenaga perpustakaan
menentukan model Tujuh Langkah Knowledge Management, maka materi yang diberikan
dalam rangkaian kegiatan pengajaran literasi informasi ini yaitu:
a) Keterampilan teknik perumusan masalah
b) Keterampilan mengidentifikasi dan mengevaluasi sumber informasi dan mengakses
informasi

13
c) Keterampilan menggunakan informasi
d) Keterampilan menciptakan karya dalam bentuk tulisan
e) Keterampilan mengevaluasi karya tulis.

Tenaga perpustakaan sekolah dapat mengalokasikan lima kali pertemuan untuk


mengajarkan rangkaian materi di atas, namun tidak menutup kemungkinan untuk
menambah waktu untuk praktiknya.

2.6.2. Program literasi informasi sebagai bagian dari Kurikulum


Implementasi program literasi informasi yang disampaikan sebagai bagian dari kurikulum
artinya adanya komunikasi dua arah antara tenaga perpustakaan sekolah dengan
pendidik sebelum kegiatan belajar mengajar ini dilakukan. Pendidik membawa Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sudah disiapkan, dan dalam diskusi, tenaga
perpustakaan dapat memberi masukan keterampilan literasi informasi apa saja yang dapat
diberikan dalam pertemuan yang sudah ditentukan dalam RPP.

a. Keuntungan:
1) peserta didik akan secara langsung menerapkan keterampilan literasi informasi ini
dalam mata pelajaran mereka
2) dari segi waktu, tenaga pustakawan sekolah tidak perlu membuat program pengajaran
terpisah karena pelaksanaannya terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas, mengingat sulitnya alokasi waktu dalam kegiatan proses belajar mengajar

b. Kerugian:
1) karena keterbatasan waktu yang ada dalam RPP, ada kemungkinan besar tidak
semua keterampilan literasi informasi dapat diajarkan secara menyeluruh dalam satu
RPP.
2) karena diterapkan dalam RPP mata pelajaran, ada kemungkinan peserta didik akan
mendapatkan pengajaran keterampilan tertentu lebih dari satu kali.

Contoh implementasi penerapan program literasi informasi berkolaborasi:


Tenaga perpustakaan sekolah dan peserta didik berdiskusi untuk implementasi kegiatan
literasi informasi sesuai dengan RPP mata pelajaran

14
Contoh RPP mata pelajaran IPA kelas VI SD:
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)*

Mapel : IPA
Tema : -
Kelas/semester : VI / 1
Waktu : 2 x (2 x 35 menit)/2 x pertemuan
Hari/tanggal : ....................................................................................
Standar : 5. Memahami saling hubungan antara suhu, sifat
Kompetensi hantaran, dan kegunaan benda.
Kompetensi Dasar : 5.1 Membandingkan sifat kemampuan menghantarkan
panas dari berbagai benda.
5.2 Menjelaskan alasan pemilihan benda dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan
menghantarkan panas.

Indikator Menjelaskan kemampuan menghantar panas dari berbagai


benda dikaitkan dengan bahan pembuatan benda tersebut.
I. Tujuan Pembelajaran
Setelah pembelajaran selesai, siswa dapat:
a. Mengidentifikasi sifat-sifat benda berkaitan dengan kemampuannya menghantarkan
panas;
b. Menjelaskan alasan pemilihan benda dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
kemampuan menghantarkan panas.
II. Materi Ajar
Sifat Hantaran Benda
III. Metode Pembelajaran
Percobaan, diskusi.

IV. Langkah-Langkah Pembelajaran


Pengelolaan Waktu
Kegiatan Pembelajaran
Siswa (menit)
Kegiatan Awal
1. Siswa diminta menyebutkan peralatan rumah K 5’
tangga yang biasa dipakai seperti alat setrika,
wajan, sodet, dan sebagainya;
2. Beberapa siswa diminta mengemukakan alasan
mengapa alat tertentu dibuat dari bahan tertentu
atau dibuat sedemikian rupa, misal sodet
memiliki bagian yang terbuat dari kayu atau
plastik; wajan terbuat dari aluminium.

15
Kegiatan Inti
1. Memperkirakan kemampuan berbagai benda Klp 15’
dalam menghantarkan panas (lambat, sedang,
dan cepat) dan mencatatnya dalam sebuah
daftar; 60’
2. Melakukan percobaan untuk memeriksa
kemampuan tiap benda dalam menghantarkan
panas; 35’
3. Mendiskusikan hasil percobaan terutama bila ada
perbedaan antara apa yang diperkirakan dengan
hasil percobaan, misal berpandu pada
pertanyaan berikut:
 Apa alasan suatu benda dikategorikan sebagai
penghantar panas yang lambat, sedang, atau
cepat (sebelum percobaan dilakukan)?
 Apa kaitan antara hasil percobaan dengan K
bahan-bahan alat kehidupan sehari-hari
(seperti wajan, serok)? 20’
4. Siswa melaporkan hasil percobaannya kepada
kelompok lain.

Kegiatan akhir K
1. Guru menekankan kembali alasan pembuatan 5’
berbagai peralatan rumah tangga berkaitan
dengan bahan dan kemampuannya
menghantarkan panas.
Jumlah 140’
Keterangan: K = Klasikal; Klp = Kelompok; Ps = Berpasangan; I = Individual.

V. Alat/bahan/sumber belajar
a. Peralatan sehari-hari seperti wajan, cangkir, sodet, sendok, dan ceret.
b. Stop watch
c. Thermometer
VI. Penilaian
Membuat uraian tentang berbagai bahan benda dan kemampuannya menghantar
panas.

Mengetahui .................................., ................


Kepala Sekolah Guru Kelas VI

.......................................... ..............................................
NIP: .................................. NIP: .....................................
* Contoh RPP dari SDN Sedayu, Bantul, Yogyakarta

16
Untuk implementasi LI dari RPP ini adalah bagaimana pendidik berdiskusi dengan tenaga
pengelola perpustakaan untuk mendiskusikan bagian apa yang dapat dilakukan oleh pihak
perpustakaan untuk menunjang pelaksanaan RPP ini.

Contoh kegiatan literasi informasi yang dapat dilakukan tenaga pustakawan dalam
kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan RPP di atas adalah:

a. dalam kegiatan inti, tenaga perpustakaan sekolah dapat mengingatkan mereka


bagaimana mencari informasi di perpustakaan untuk menguatkan argumentasi diskusi dan
percobaan yang mereka lakukan. Hal yang dapat dilakukan adalah peserta didik
menggunakan katalog perpustakaan dan menuju rak atau tempat penyimpanan sumber
informasi yang mereka perlukan

b. tenaga perpustakaan dapat turut serta dalam diskusi kelompok dan memberi masukan
atau mengevaluasi hasil temuan informasi mereka.

Struktur kegiatan implementasi literasi informasi ini disesuaikan dengan tingkat


pembelajaran masing –masing siswa di SD, SMP dan SMA.

17
BAB III
PENUTUP

Berkembangnya Literasi informasi dalam konteks keterkaitannya dengan literasi lainnya


yang saling menunjang yaitu seseorang sekurang-kurangnya memiliki keterampilan dasar
yaitu membaca, menulis dan berhitung terlebih dahulu sebelum ia dapat menguasai
keterampilan literasi informasi.

Literasi informasi berkembang juga dalam dunia kepustakawanan sekolah. Awalnya,


tenaga perpustakaan sekolah hanya berperan dalam mengembangkan koleksi,
mengolahnya agar pemustaka dapat menemukan bahan pustaka yang disimpan hingga
menyediakannya agar pemakai dapat meminjam atau memanfaatkannya.

Dengan adanya bahan ajar ini diharapkan pustakawan sekolah dapat mengikuti
perkembangan informasi, mengetahui tata cara literasi informasi dan mendayagunakan
informasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Andretta, Susie. 2005. Information Literacy: a Practitioner’s Guide. Oxford:Chandos


Publishing.

APISI & IFLA/ ALP. 2008. 7-11 Juli. Aplikasi literasi informasi dalam kurikulum nasional
(KTSP) : contoh penerapan untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Hasil diskusi
INDONESIAN Workshop On Information Literacy (INDONESIAN – WIL). Bogor:
APISI.

Diao Ai Lien . 2010. Literasi Informasi : 7 Langkah Knowledge Management. Jakarta:


Penerbit Universitas Atmajaya.

Eisenberg, Michael, et al. 2004. Information Literacy: Essential Skills for The Information
Age. Wesport:Libraries Unlimited.

Shera, Jesse H. 1972. The Foundations of Education for Librarianship. Dalam ,Ray,
Michael.S. 2001.”Shifting Sands-The Jurisdiction of Librarians in Scholarly
Communication’.ACRL Tenth National Conference. Denver, Colorado. March 15-18.
Pp1-20 Melalui http://www.ala.org/acrl/sites/ala.org.acrl/files/content/conferences/pdf/mray.pdf

[14/8/12]

UNESCO Information for All Programme. 2007. “Understanding Information Literacy: A


Primer”. Paris: UNESCO

19

Anda mungkin juga menyukai